URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1
Abstract
The development of science and technology and globalization were already unstoppable today, not only have a beneficial impact, but also often have a negative impact for example by the "globalization of crime" and the development of quality (modus of operation) and the quantity of criminal acts. Offenses rife nowadays with regard to the corporate existence of the corporation is a criminal offense that could result in serious and widespread impact, damage the joints of the nation and threatens the stability of the State. Therefore, the law should take back its role in order to create justice and welfare and in handling needed ways remarkable that one of them is to make the corporation as a subject of criminal law that is considered to be committing a crime and can be criminally)
Keywords: criminal law, corporate criminal offense, criminal liability corporation
Abstrak
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang sudah tidak terbendung dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya dengan adanya “globalisasi kejahatan” dan berkembangnya kualitas (modus operandi) dan kuantitas tindak pidana. Tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini berkaitan dengan eksistensi korporasi adalah tindak pidana korporasi yang akan menimbulkan dampak serius dan meluas, merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan mengancam stabilitas Negara. Oleh sebab itu, hukum harus mengambil kembali peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat dan dalam penangannya dibutuhkan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya adalah menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana)
Kata kunci: hukum pidana, tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban pidana korporasi
1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik
I. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang, dikatakan demikian karena Pembangunan Nasional Indonesia dewasa ini telah memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menyangkut pembangunan di bidang ekonomi semata namun menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di bidang hukum, pembangunan dibidang ekonomi bahkan dibidang sosial dan politik. Perkembangan dan pembangunan sebagaimana telah dikemukakan diatas sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu cepat. Namun demikian, globalisasi ini tentu saja di samping menimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia sudah tentu harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yaitu adanya “globalisasi kejahatan” dan meningkatnya kuantitas (modus operandi) serta kualitas tindak pidana di berbagai negara dan antar negara.2
Dengan adanya globalisasi dan modernisasi tepatnya dalam hal kemajuan teknologi, komunikasi, transportasi dan informatika khususnya di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi, kemajuan dan perkembangan dunia, seolah-olah membuat batas-batas negara, kedaulatan dan hak-hak berdaulat menjadi kabur. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif yang sangat memprihatinkan. Atau dengan perkataan lain bahwa manusia seringkali memanfaatkan perkembangan tersebut untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak dikendalikan akal dan hati nurani dan sebaliknya justru menggunakan alat-alat teknologi modern tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana, tidak jarang disertai violence yang bertentangan dengan peradaban manusia. Dengan berkembangnya berbagai jenis kejahatan yang semakin kompleks sudah tentu menuntut adanya sarana penanganan yang mampu untuk memecahkan dan tanggap akan kondisi tersebut.
Hal ini diperkuat dengan Article 1 United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime Tahun 2000 (TOC) disebutkan dengan tegas
bahwa: The purpose of this convention is to promote cooperation to prevent
and combat transnational organized crime more effectively. (tujuan dari
konvensi ini adalah untuk memajukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif). Dilihat ketentuan tersebut, terbukti adanya peningkatan kejahatan dan keprihatinan masyarakat internasional mengenai kejahatan yang berkembang dewasa ini yang tidak saja merupakan masalah suatu negara, tetapi juga merupakan masalah global.
Kemudian diperkuat pula dengan laporan Kongres PBB ke-5 dan ke 6 mengenai The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders terungkap bahwa Crime As Business merupakan bentuk kejahatan dalam
2 Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum, Makalah:
disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Undip Tahun 2010, tanggal 18 September 2010.
bidang bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi dan mereka mempunyai kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau dapat dikatakan sebagai white collar crime. Dan dalam Kongres ke-6 PBB lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana bisnis atau tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi meliputi berbagai bidang tidak dapat dipisah-pisahkan melainkan kesemuanya memiliki hubungan satu dengan yang lain. Hal ini akan membawa konsekuensi lebih lanjut dalam hal atau upaya pencegahan dan pemberantasannya. Karena kesemua bidang tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain, maka dalam upaya pencegahan dan pemberantasannyapun tidak dapat dilakukan satu persatu atau bagian perbagian melainkan harus dilakukan secara terpadu dengan sebuah kebijakan hukum pidana (criminal penal policy).
Menghadapi efek negatif dari globalisasi yaitu adanya “globalisasi kejahatan” serta peningkatan terhadap kuantitas dan kualitas kejahatan sebagaimana telah dikemukakan diatas, hukum harus kembali mengambil peranannya sebagai sarana atau alat untuk mengatur ketertiban umum dan memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam tataran Negara Republik Indonesia, hukum harus mengambil peranananya dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam alinea ke 4 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi:
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dalam kaitannya dengan era globalisasi dewasa ini, eksistensi suatu korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi kepentingan manusia ataupun bagi kepentingan negara. Dikatakan demikian karena korporasi tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan bermasyarakat atau dengan kata lain, dalam rangka mencukupi kebutuhan umat manusia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan korporasi. Sebagaimana dikemukakan diatas, selain bagi manusia, eksistensi korporasipun dirasakan penting bagi kepentingan Negara. Hal ini dikarenakan korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap perekonomian nasional tepatnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa korporasi memiliki peranan penting seperti meningkatkan penerimaan Negara dengan penerimaan pajak, menciptakan lapangan pekerjaan, alih teknologi, terlebih untuk sebuah bank, korporasi (yang dalam hal ini adalah bank) dapat dikatakan sebagai pilar penopang perekonomian nasional.
Namun demikian, peranan penting dan hal positif yang dapat diambil dari suatu korporasi sebagaimana tersebut tidak selamanya dapat terealisasi melainkan dengan tidak dapat dilepaskannya eksistensi korporasi dewasa ini, seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran atau bahkan perbuatan melanggar hukum termasuk pelanggaran hukum pidana. Salah satu contoh
perbuatan pidana yang seringkali dilakukan oleh suatu korporasi misalnya adalah korporasi melakukan pencemaran lingkungan, melakukan unfair
business atau bahkan melakukan suatu tindak pidana di bidang ekonomi seperti
tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang (tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara pasif bahkan secara aktif) yang tidak hanya merugikan orang perseorangan ataupun masyarakat luas tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan suatu kerugian Negara.
Selain itu, tindak pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena kejahatan korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsur-unsurnya yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang tersistematis karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingan-kepentingan lain, dengan kode etik yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan “unsur-unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi selalu ada kelompok (protector) yang antara lain terdiri atas para oknum penegak hukum dan professional. dan kelompok-kelompok masyarakat yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara tersistematis tersebut.3 Perlu pula dikemukakan bahwa kejahatan ini seringkali mengandung elemen-elemen kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (ilegal
circumvention) sehingga sangat merugikan masyarakat secara luas.4
Selain itu, menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh
Shutherland berikut ini: “…is a violation of criminal law by the person of the upper socioeconomic class in the course of his occupational activities”
(kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan jabatannya).
Melihat hal-hal tersebut diatas, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa tindak pidana korporasi sebagai bentuk kejahatan yang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terkait dengan korporasi sebagai pembuat tindak pidana, ketika korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka korporasi tersebut seharusnya dapat dimintakan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya baik yang ditunjukan langsung kepada korporasi yang bersangkutan ataupun yang ditunjukan kepada pengurus-pengurusnya
3
Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010, hal. 111.
4 Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, (Jakarta: Prenada Media,
organ korporasi). Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (corporate criminal responsibility) bukanlah merupakan hal baru yang menimbulkan banyak persoalan hukum dan suatu perdebatan baik dikalangan akademisi maupun dikalangan praktisi hukum.
Permasalahan mengenai pertanggungjawaban korporasi ini baru muncul manakala pertanggungjawaban korporasi ini dikaitkan dengan pertanyaan mendasar dalam hukum pidana diantaranya: Apa yang dimaksud dengan korporasi itu? Kapan suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana? Apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana? Kemudian apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana Indonesia yang menganut asas kesalahan (mens
rea), maka akan timbul pertanyaan bagaimana kesalahan (mens rea)
sebagaimana tergambar dari asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf
zonder schuld; keine strafe ohne schuld) diterapkan terhadap korporasi? Dan
bentuk pertanggungjawaban seperti apakah yang dapat dimintakan terhadap korporasi? Apakah hanya pidana denda ataukah dapat pula diterapkan sanksi pidana lain seperti pidana mati atau pidana penjara? Namun sebelum menjawab hal-hal berikut, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai definisi dari korporasi itu sendiri.
II. Pengertian Korporasi
Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah) sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula subjek hukum yang lain yaitu badan hukum (korporasi) yang padanya melekat hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum. Atas dasar itu, untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh karena istilah korporasi sangat erat kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang dikenal dalam bidang hukum perdata. Perlu pula dikemukakan bahwa menurut
Rudi Prasetya, “Kata korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di
kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.5
Sedangkan apabila dilihat secara etimologisnya, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu “corporatio”.6
5 Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”,
(Bandung: STHB, 1991), hal. 13.
6
Terkait dengan istilah “corporatio” ini, menurut Muladi dan Dwidja
Priyatno:
Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio” maka “corporatio” dianggap sebagai kata benda (substantivum) yang berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. “Corporare” itu sendiri berasal dari kata “corpus” yang dalam bahasa Indonesia berarti “badan” atau dapat disimpulkan bahwa corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.7
Menurut Garner dan Bryan A, mengemukakan bahwa pengertian korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-Undang diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya.8
Dilain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya Corporation
Law menyatakan bahwa:
A corporation is an artificial person. It can do anything a person can do. It can buy and sell property, both real and personal, in its own name. It can sue and be sued in its own name. It is formal.9
(korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual properti, baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini menyebabkan korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya sendiri).
Mengenai hakekat dari korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa:
Korporasi adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya sendiri dibanding dengan tubuhnya sendiri; kehendak yang
7 Ibid., hal. 12.
8 Garner, Bryan A., (Ed.), “Black‟s Law Dictionary”, Second Pocket Edition, (tanpa
kota, tanpa penerbit, 2003), page. 147
9
dijalankan dan bersifat mengarahkan harus secara konsisten dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin disebut agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi.10
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun ditentukan oleh hukum.11
Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Sutan Remi Sjahdeini menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang luas. Beliau menyatakan bahwa:
Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya‖ korporasi itu diakui oleh hukum.12
Sedangkan secara luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum pidana, beliau mendefinisikan korporasi sebagai berikut: “Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum”.13
10
Peter Gillies (Penyunting: Barda Nawawi Arief), “Criminal Law”, (Tanpa kota, tanpa penerbit, 1990), page. 126
11 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 13. 12 Sutan Remi Sjahdeini, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jakarta: Grafiti
Pers, 2006), hal. 44.
13
Hampir senada dengan pandapat Sutan Remi Sjahdeini diatas, menurut
Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai
korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi itu? Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi, dalam hal ini hanya dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Adapun alasan yang dikemukakan oleh kelompok pertama ini bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.14
Terkait dengan hal ini, H. Setiyono mengemukakan bahwa:
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau legal person. Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan”.15
Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan ruang lingkup mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah “badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan hanya yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa beberapa pengertian korporasi sebagaimana dikemukakan diatas merupakan pengertian korporasi yang disampaikan oleh para ahli hukum sedangkan perumusan definisi sebagai hukum positif belum ada. Keadaan ini tentu dalam prakteknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena penafsiran apa yang dimaksud dengan “korporasi” akan sangat
14 Loebby Loqman, “Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian”, (Jakarta,
Datacom, 2002), hal. 32.
15 H.Setiyono, “Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Edisi kedua, Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia Publishing, 2003), hal. 17.
bergantung dari pendapat siapa kita berangkat. Singkatnya, apabila dilihat dari sudut pandang hukum pidana Indonesia, terminologi “korporasi” belum didefinisikan secara tegas. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat dalam hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda masing menganut individual responsibility.
Namun demikian, didalam beberapa Undang-Undang yang bersifat khusus seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Berikut ini akan diuraikan Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus diluar KUHP yang ruang lingkupnya diatur sedemikian luas (lebih luas dari pengertian korporasi dalam hukum perdata) yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-undang berikut ini:16 Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos; Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; dan lain sebagainya.
Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang tersebut diatas,
Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa:17
1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus;
2. Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten; 3. Istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam Undang-
Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993.
Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang khusus diluar KUHP. Oleh karena itu, menuruh hemat saya, perumusan korporasi sebagai subjek hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I KUHP sehingga dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi baik tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur
16 Lihat selengkapnya dalam Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, Op.
Cit., hal. 225-226 dan Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Op. Cit., hal. 168-172.
17 Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
diluar KUHP. Hal ini dapat dijumpai dalam Rancangan KUHP (yang selanjutnya akan disingkat RKUHP) tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 47 yang menyatakan: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana” dan pasal 182 yang menyatakan bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari
orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
III. Pengertian Dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi
Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering disebut juga dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white
collar crime itu sendiri Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie
memberikan definisi yaitu sebagai: white collar crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and bussines
world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara
popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).18
Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup tindak pidana korporasi melingkupi:19
1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban.
Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for
corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh
18 Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), hal. 44.
19 Lihat juga Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah
Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 41.
keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini, Muladi membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan korporasi sebagai berikut:
Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya banyak, sedangkan secara individual kerugiannya sangat sedikit.20
Sedangkan menurut Clinard dan Yeager, terdapat enam jenis korban kejahatan korporasi yaitu:21
1. Konsumen (keamanan atau kualitas produk).
Bilamana resiko keamanan dan kesehatan dihubungkan dengan penggunaan produk, maka konsumen telah menjadi korban dari produk tersebut.
2. Konsumen (kekuasaan ekonomi).
Pelanggaran kredit, yakni memberikan informasi yang salah dalam periklanan dengan tujuan untuk mempengaruhi konsumen.
3. Sebagian besar sistem ekonomi telah terpengaruh oleh praktik-praktik perdagangan yang tidak jujur secara langsung (pelanggaran terhadap ketentuan anti monopoli dan pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan persaingan lainnya) dan kebanyakan pelanggaran keuangan kecuali yang berkaitan dengan belanjaan konsumen.
4. Pelanggaran lingkungan (pencemaran udara dan air), yang menjadi korban yakni lingkungan fisik.
5. Tenaga kerja menjadi korban dalam pelanggaran terhadap ketentuan upah.
6. Pemerintah menjadi korban, karena adanya pelanggaran-pelanggaran administrasi atau perintah pengadilan dan kasus-kasus penipuan pajak. Selain itu, tindak pidana korporasi telah menimbulkan kerugian diberbagai bidang misalnya kerugian di bidang:
1. Kerugian di bidang ekonomi atau kerugian materil
Berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommitee on Antitrust and Monoplay
of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip
Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan
20 Arief Amrullah, “Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on
Democracy)”, (Malang: Banyumedia Publishing, 2006), hal. 133.
21
korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4 miliar.
2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa
Menurut Geis, setiap tahunnya korporasi bertanggungjawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi.
3. Kerugian di bidang sosial dan moral
Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis. The President„s Commision on Law Enforcement and
Administration of Justice pernah menyatakan bahwa kejahatan
korporasi merupakan kejahatan yang paling penting mencemaskan bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business). Mengingat dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi sangat berdampak luas, menurut hemat saya, terdapat urgensi untuk mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Namun demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi harus tetap memperhatikan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Clinard dan Yeagar sebagai berikut:22
1. The degree of loss to the public. (Derajat kerugian terhadap public); 2. The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat
keterlibatan oleh jajaran manager);
3. The duration of the violation. (Lamanya pelanggaran).
4. The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi);
5. Evidence of intent to violate. (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran);
6. Evidence of extortion, as in bribery cases. (Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap);
22
7. The degree of notoriety engendered by the media. (Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan media);
8. Precedent in law. (Jurisprudensi);
9. The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi);
10. Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan);
11. The degree of cooperation evinced by the corporation. (Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).
Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi menyangkut tujuan yang bersifat integratif yang mencakup :23
1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat.
2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana.
3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. . Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.
4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi
23
kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun.
Mengutip kembali pernyataan Muladi diatas yang menyatakan bahwa:
…Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi…24
Hazel Croall, menyatakan bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan
korporasi ini karena karakteristik umum yang melekat pada white collar crime, yaitu:25
1. Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (Diffusion Of Responsibility)
2. Ketidakjelasan korban (Diffusion Of Victim)
3. Aturan hukum yang samar (Ambiguous Criminal Law)
4. Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (Weak Detection And
Prosecution).
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korban kejahatan korporasi tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga kerugian imateril seperti kesehatan, bahkan bukan tidak mungkin kehilangan nyawa dan juga menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup. Kerugian materi yang diderita oleh korban kejahatan korporasi sangat sulit untuk diestimasi. Hal ini dikarenakan korban kejahatan korporasi yang sangat luas (masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang dihasilkan korporasi baik berupa barang maupun jasa, korporasi yang bertindak selaku kompetitor, para karyawan dan pemegang saham dalam sebuah korporasi, bahkan negarapun dapat menjadi korban kejahatan korporasi). Selain itu, tidak jarang kerugian yang diderita oleh korban kejahatan korporasi bersifat kompleks sehingga tidak mudah melakukan pembuktiannya dan korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi.
IV. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin pertanyaan inilah yang pertama-tama harus dijawab. Istilah “kriminalisasi” pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “Criminalization” yang menurut penulis secara sederhana dapat diartikan bahwa sebuah langkah atau proses yang diambil oleh legislative untuk menilai, menentukan dan merumuskan, apakah suatu perbuatan yang sebelumnya
24 Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 133. 25
dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) menjadi suatu tindak pidana.
Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, pada dasarnya akan meliputi dua masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:26
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perlu memperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu diperhatikan kriteria umum sebagai berikut:27
1. Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan atau mendatangkan korban;
2. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai; 3. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga
terjadi ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyara-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak hukum;
4. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, yakni terwujudnya masyarakt yang adil dan makmur sehingga merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan pula bahwa istilah “krimanalisasi” hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana. Proses kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.28
Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan hukum yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah
26 Kristian, Draf buku “Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban pidana korporasi”,
non publikasi hal 34.
27 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial”, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 62. 28 R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas disini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintahan. Disinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana.
Perlu pula dikemukakan bahwa proses kriminalisasi di bidang tindak pidana ekonomi yang salah satunya tindak pidana korporasi terus berlangsung dari waktu ke watu dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar mengingat salah satu peran negara adalah melindungi warganya. Dalam rangka ini, negara (pemerintah) melakukan banyak kriminalisasi terhadap tindak pidana baru di bidang ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 sebagaimana saat ini telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kriminalisasi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kriminalisasi di bidang perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan kriminalisasi di bidang perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan uraian singkat diatas, dapat dilihat bahwa proses kriminalisasi dalam hal tindak pidana di bidang ekonomi berlangsung begitu cepat dan diatur dalam berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masing-masing.
Namun demikian, berbeda dengan hal sebagaimana disebutkan diatas, kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai dengan saat ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Sudah tentu hal ini nampaknya akan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kualitas dan kuantitas kejahatan yang bersangkutan dan akan sangat berpengaruh dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi.
Selain itu, dengan terlambatnya melakukan kriminalisasi tindak pidana korporasi maka akan manimbulkan dampak yang sangat serius. Hal ini dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahayanya. Hal ini Nampak dalam hal lumpur Lapindo, apabila tindak pidana lumpur Lapindo ini sudah menimbulkan dampak (rusaknya lingkungan) maka sangat sulit atau tidak ada lagi cara yang dapat diambil Negara untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula. Oleh sebab itu, alangkah baiknya dalam proses kriminalisasi tindak pidana korporasi ini dirumusakan baik dengan menggunakan rumusan delik formal ataupun material, delik aduan ataupun
delik biasa sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dapat dilaksanakan secara efektif dan evisien.
Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan yang mengkriminalisasi tindak pidana di bidang ekonomi adalah berkaitan dengan subtansi atau pengaturannya. Dalam hal ini seringkali ditemukan terjadi tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan evisiensi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tetapi justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ekonomi yang dalam hal ini adalah tindak pidana korporasi (yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan bidang lainnya) dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana dikemukakan diatas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana (criminal penal policy) yang terpadu dan dibutuhkan kebijakan penal mengenai kriminalisasi di bidang ekonomi itu sendiri.
V. Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi
Dilihat dari segi historis, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana sudah berlangsung sejak 1635. Pengakuan korporasi ini dimulai ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana namun hanya terbatas pada tindak pidana ringan.29 Berbeda dengan sistem hukum Inggris, di Amerika Serikat, Eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diakui dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana baru diakui eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan pengadilan.30
Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi pertanggungjawaban korporasi atau mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dimintakan pertanggungjawaban secara pidana berkembang pula pada beberapa Negara seperti Belanda, Italia, Perancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberapa Negara Eropa termasuk berkembang pula di Indonesia.31
29 Andrew Weissmann dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate Liability, “Indiana Law Journal”, 2007, hal. 419.
30
Leonard Orland, The Transformation of Corporate Criminal Law, “Brooklyn Journal of Corporate, Finansial & Commercial Law”, 2006, hal. 46, Zachary Bookman, Convergences And Omissions In Reporting Corporate And White Collar Crime, “DePaul Business & Commercial Law Journal”, 2008, hal. 347.
Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia, menurut KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara common law seperti Inggris, Amerika Serikat dan Canada. Di negara-negara Common Law tersebut perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Pengadilan Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum.32Perlu pula dikemukakan bahwa pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul pada dasarnya tidak melalui penelitian yang mendalam dari para ahli hukum, melainkan hanya sebagai trend akibat dari adanya kecenderungan dari formalisme hukum (legal formalism). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi berkembang melalui peran pengadilan tanpa adanya teori pendukung yang membenarkannya.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, konsep pertanggungjawaban korporasi yang hanya terbatas bagi tindak pidana ringan dirasakan tidak mencukupi oleh sebab itu konsep pertanggungjawaban korporasi hanya terbatas pada tindak pidana ringan hanya bertahan hingga akhir abad ke-1913. Setelah itu, para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana barulah mencari dasar pembenar perlunya korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Berikut beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar pembenar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana:
1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan.33 2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga
kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan actor rasional korporasi.34 3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi seringkali
menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga 31 Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (Strick Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 30.
32 Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan
Kuliah Kejahatan Korporasi, hal. 2.
33 Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, hal. 46;bandingkan juga dengan Dwidja Priyanto, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 27-28 dan Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008.
34 Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, “American Criminal Law Review”, 2007, hal. 1288.
kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari mengulangi tindakannya itu.35
4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;36
5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi, atau pengurus saja;37
6. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula;
7. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat; Berbeda dengan pemikiran diatas, terdapat beberapa para ahli hukum pidana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan alasan sebagai berikut :38
1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah (manusia alamiah); 2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat
dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku
Barda Nawawi Arief dalam perkara yang menurut kodratnya tidak
dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah palsu”39
3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara atau pidana mati”40
4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;
35
Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, “Journal of Business & Technology Law”, 2007, hal. 27.
36 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 47. 37 Ibid.
38 H.Setiyono, Op. Cit., hal. 10.
39 Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), hal. 45-46.
40
5. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana; Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum ada putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan badan hukum atau korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat setidaknya tiga putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 136/KR/1966, tertanggal 1 Maret 1969; putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66/KR/1969, tertanggal 19 September 1970; putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 346/KR/1980, tertanggal 26 Januari 1984.41 Dengan adanya ketiga putusan Mahkamah Agung tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab.
VI. Tahap-Tahan Perkembangan Pertanggungjawaban Korporasi
Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa korporasi diatur atau dijadikan sebagai subjek hukum karena adanya perkembangan masyarakat yang tidak terbendung lagi. Dengan adanya perkembangan masyarakat ini, dirasakan perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dimana korporasi sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek hukum, korporasi tersebut dapat melakukan hak dan kewajibannya dengan nyata. Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis besar dapat dibagi dalam tiga tahap sebagaimana akan diuraikan dibawah ini. Perlu pula dikemukakan bahwa tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi ini akan mempengaruhi bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.
1. Tahap Pertama
Pada tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.42 Pandangan pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat
41 Lihat selengkapnya dalam Dwidja Priyatno dan Muladi, hal 169 sampai dengan 196. 42
melakukan tindak pidana.43 Jadi, apabila dalam suatu korporasi terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.
Asas “societas delinquere non potest” ini merupakan dasar dan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S.) yang berbunyi:
Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.
Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan dari manusia.
2. Tahap Ke Dua
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi) namun demikian tanggung jawab untuk itu tetap menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Tanggungjawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya atau dengan perkataan lain bahwa pertanggungjawaban pidana tetap dimintakan terhadap pengurus yang secara nyata memimpin korporasi tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku tindak pidana akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggotanya atau pengurusnya selama dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan ataupun dalam aturan korporasi yang bersangkutan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum muncul.44
Dalam upaya menggambarkan korporasi sebagai subjek hukum yang perbuatannya dilihat dari perbuatan para pegawai yang mewakilinya,
Denning L.J menjelaskannya secara metaforis:
A company may in many ways be likened to a human body. It has a brain and a nerve centre which control what it does. It also has hands which holds the tools and act in accordance with directions from the centre. Some of the people of the company are mere servants and agent who are nothing more
43 Ibid., hal. 53.
44
than hands to do the work and cannot be said to represent the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing mind and will of the company, and control what it does. The state of mind of these managers are the state of mind of the company and is treated by the law as such. So you will find that in cases where the law requires a personal fault as a condition of lability in tort, the fault of the manager will be the personal fault of the company.
So also in the criminal law. In cases where the law requires a guilty mind as a condition of a criminal offence, the guilty mind of the directors or managers will render the company itself guilty.45
Adapun contoh dari peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini antara lain:46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Tenaga Kerja); Undang-Undang Nomor 2 tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing); Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 Undang Penerbangan); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang- (Undang-Undang Telekomunikasi; berubah menjadi (Undang-Undang-(Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998); dan lain sebagainya.
3. Tahap Ke Tiga
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan diaturnya korporasi sebagai pembuat dan pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh
45 Peter Gillies, Op. Cit., page 136.
46 Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Cetakan Ke Dua
korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.47
Pada mulanya, peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan:
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.
Berdasarkan perumusan diatas dapat dilihat bahwa yang dapat melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah orang dan korporasi itu sendiri.
Tahap ketiga ini telah mempengaruhi politik hukum pidana (criminal
penal policy) Indonesia dimana hal ini menyebabkan peraturan
perundang-undangan di Indonesia mulai mencantumkan tanggungjawab langsung dari korporasi dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertangguingjawabkan secara pidana meskipun masih terbatas hanya dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP. Peraturan perundang-undangan khsus ini diantaranya: 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Kerja; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 Tentang Kecelakaan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api; Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan.
Sedangkan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
47 Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia”, (Bandung, CV Utomo, 2004), hal. 27.
48
pertanggungjawaban secara pidana antara lain dalam:49 Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak Pidana Ekonomi); Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 (Pos); Undang-Undang Nomor 11 Prips. 1963 (Subversi; sudah dicabut); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 (Psikotropika); Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 (Perindustrian); Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 (Perikanan); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 (Pasar Modal); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup) ; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) dan lain sebagainya.
Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut:50
1) Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.
2) Atas dasar kekeluargaan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
3) Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan). 4) Untuk perlindungan konsumen.
5) Untuk kemajuan tehnologi.
Perlu pula dikemukakan bahwa menurut Muladi, tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun sekarang di Negeri Belanda menurut beliau telah memasuki tahap keempat, yaitu pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di luar KUHP (WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya Undang-Undang Tanggal 23 Juni 1976 Stb 377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi :
1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap : badan hukum atau terhadap yang “memerintah” melakukan tindakan yang dilarang itu; atau terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan
49 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 89.
50 Edi Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi
tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama . 3) Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:
perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda (pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.
Dalam RKUHP Tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 48 mencantumkan kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara langsung yaitu:
Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”.
Dan Pasal 50 yang menyatakan bahwa:
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”.
Dengan melihat fase-fase perkembangan sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek yang mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan korporasi itu dijadikan subjek hukum pidana, pertama kali disebabkan oleh perkembangan di bidang perekonomian, yang kedua adalah merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang memiliki aspek ganda yaitu:
1) Modernisasi hukum, yaitu memperbaharui hukum positif sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat seirama dengan perkembangan masyarakat.
2) Fungsionalisasi hukum, yaitu memberikan peranan pada hukum untuk ikut dalam mengadakan perubahan pada masa pembangunan
VII. Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi
Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior inilah yang kemudian menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious
liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.51 Namun sebelum membahas teori teori tersebut, perlu ditekankan bahwa antara teori teori tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
1. Identification Theory Atau Direct Liability Doctrine
Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan
Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari
badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.52
Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct
Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat
bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” (senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan “pejabat senior” (senior officer) dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi, dalam teori ini agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat didentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan “directing mind” dari korporasi
51
Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995), hal. 53. Wayne R LaFave & Austin W. Scott Jr., “Criminal Law”, (Michigan: West Publishing co, 1982, hal. 228.
52