• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Badan Peradilan Dalam Kekuasaan Kehakiman

N/A
N/A
nurilkhamida

Academic year: 2023

Membagikan " Posisi Badan Peradilan Dalam Kekuasaan Kehakiman"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Posisi Badan Peradilan Dalam Kekuasaan Kehakiman 1. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia Pasca Reformasi

A. Kewenangan Absolut

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan ,dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya.

Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang- orang yang beragama Islam.1

Kewenangan peradilan agama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan bidang perdata dimaksud, sekaligus dikaitkan dengan asas “personalita” ke- islaman yakni yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan lingkungan peradilan agama, hanya mereka yang beragama islam.yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama dilakukan oleh pengadilan agama yang bertindak sebagai peradilan tingakat pertama, bertempat kedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten. Peradilan tingkat “banding”

dilakukan oleh pengadilan tinggi agama yang bertempat kedudukan di ibukota provinsi.2 Kewenangan absolut yang disebut juga dengan kewenangan mutlak adalah kewenangan peradilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum. Para ahli juga mengartikan kewenangan absolut adalah kewenangan para hakim atau pengadilan-pengadilan dari sesuatu jenis atau tingkatan lain dalam perbedaannya dengan kewenangan hakim-hakim atau pengadilan-pengadilan dari jenis atau tingkatan lain. Sedangkan yang lain merumuskan bahwa yang dimaksud dari kewenangan atau kompetensi absolut adalah persoalan yang menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili. Maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan absolut adalah kekuasaan atau kewenangan untuk mengadili perkara yang diberikan negara (Undang-undang) kepada pengadilan dalam lingkungan badan peradilan

1 Abdullah Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, 2016, 36.

2 M. Yahya Harahap, Kedudukan, kewenangan, dan acara peradilan agama: UU no. 7 tahun 1989, Cet. 1.

([Jakarta]: Pustaka Kartini, 1990), 100.

3

(2)

masing-masing. Berkenaan dengan kewenangan absolut badan Peradilan Agama, hal ini bisa mengenai perkara, dan bisa juga mengenai subjek atau orang yang berperkara.3

B. Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pasca Reformasi

Pada masa ini kewenangan terjadi beberapa kali perubahan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang Peradilan Agama, yaitu:

a. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

b. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Perubahan pertama menghapuskan hak opsi dalam perkara penyelesaian sengketa waris yang semula para pihak berhak untuk memilih menyelesaikan melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dihapus menjadi kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengekta waris apabila pewaris beramaga Islam. Dua perubahan peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Agama tersebut semakin banyak memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama.4

Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara- perkara di tingkat pertama antar orang-orang yang beragama Islam di bidang.5

a. Bidang Perkawinan

Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:

1) Izin beristri lebih dari seorang;

2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata (Gema Insani Press, 1996), 11.

4 Abdullah Tri Wahyudi, “KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA MASA PASCA REFORMASI,” YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam 7, no. 2 (2016): 301–2, https://doi.org/10.21043/yudisia.v7i2.2156.

5 “Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama di Era Reformasi,” 685, diakses 3 Oktober 2022,

https://www.pta-medan.go.id/index.php/2016-12-22-04-37-57/hasil-penelitian/artikel-anda/844-kedudukan- dan-kewenangan-peradilan-agama-di-era-reformasi.

(3)

3) Dispensasi kawin;

4) Pencegahan perkawinan;

5) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

6) Pembatalan perkawinan;

7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;

8) Perceraian karena talak;

9) Gugatan perceraian;

10) Penyelesian harta bersama;

11) Penguasaan anak-anak;

12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;

13) Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri

14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16) Pencabutan kekuasaan wali;

17) Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;

18) Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;

19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;

20) Penetapan asal usul seorang anak;

21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran

22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.6 b. Bidang Warisan

Perkara warisan yang menjadi kewenangan Peradilan Agama meliputi:

1) Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;

6 “Hukum Islam dan Peradilan Agama : (kumpulan tulisan) / Mohammad Daud Ali | PERPUSTAKAAN DAERAH KOTA TANGERANG,” 35, https://pustaka.tangerangkota.go.id/inlislite3/opac/detail-opac?id=15280.

(4)

2) Penentuan mengenai harta peninggalan;

3) Penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan

4) Melaksanakan pembagian harta peninggalan (Pasal 49 ayat (3) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989).

Warisan seara rinci diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan yang terdiri dari Bab I sampai dengan Bab IV sebagai berikut :

 Bab I tentang Ketentuan Umum (pasal 171)

 Bab II tentang Ahli waris (pasal 172 s/d pasal 175).

 Bab III tentang Besarnya Bahagian (pasal 172 s/d 175).

 Bab IVtentang Aul dan Rad ( pasal 172 s/d 175).

c. Wasiat

Mengenai wasiat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak mengatur secara jelas.

Wasiat secara jelas diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku II tentang Hukum Kewarisan Bab V tentang wasiat (pasal 197 s/d 209). Dalam bab ini diatur tentang:

1) Syarat-syarat pihak dalam wasiat;

2) Harta benda yang di wasiatkan;

3) Cara-cara wasiat;

4) Batalnya wasiat;

5) Pencabutan wasiat;

6) Batas besarnya harta yang di wasiatkan;

7) Cara pembukaan surat wasiat;

8) Wasiat anggota tentara pada waktu perang;

9) Wasiat yang dalam perjalanan melalui laut;

10) Pihak yang tidak dapat menerima wasiat;

11) Wasiat wajibah.

d. Hibah

Pengaturan hibah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II bab VI tentang Hibah (Pasal 210 s/d 214). Dalam bab ini diatur tentang:

1) Syarat-syarat orang yang menghibahkan;

2) Batas maksimal harta benda yang di hibahkan;

(5)

3) Harta benda yang di hibahkan;

4) Hibah orang tua kepada anak;

5) Hibah tidak dapat ditarik kembali;

6) Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian;

7) Cara menghibahkan Warga Negara Indonesia yang berada di liuar negeri.7 e. Wakaf

UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf beserta peraturan pelaksanaannya dan peraturan turunannya adalah peraturan perundang- undangan yang paling akhir mengatur tentang wakaf. Dengan peraturan tersebut maka semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang- undang ini.

Yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat dilaksanakannya wakaf adalah:

1) Wakif;

2) Nazhir’

3) Harta benda wakaf;

4) Ikrar wakaf;

5) Peruntukan harta benda wakaf;

6) Jangka waktu wakaf.

f. Zakat

Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

g. Infaq

7 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan agama di Indonesia (Pustaka Pelajar, 2004), 119–21.

(6)

Yang di maksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang memeberikan sesuatu kepada orang lain guna menutup kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT. Mengenai infaq tidak ada peraturan yang definitif di dalam peraturan perundang-undangan sehingga pengaturan mengenai infaq didasarkan pada dalil- dalil Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’, qiyash, serta kitab-kitab fikih karangan para ahli fikih.

h. Shodaqoh

Yang dimaksud dengan shodaqoh adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharapkan ridho Allah SWT dan pahala semata.

Mengenai shodaqoh tidak ada peraturan yang definitif di dalam peraturan perundang- undangan sehingga pengaturan mengenai shodaqoh didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’, qiyash, serta kitab-kitab fikih karangan para ahli fikih.

i. Ekonomi Syari’ah

Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:

1) Bank Syari’ah;

2) Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;

3) Asuransi;

4) Reasuransi Syari’ah;

5) Reksadana Syari’ah;

6) Obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah Syari’ah;

7) Sekuritas Syari’ah;

8) Pembiayaan Syari’ah;

9) Pegadaian Syari’ah;

10) Dana pensiun lembaga keuangan Syari’ah;

11) Bisnis Syari’ah.

Dalam perkara ekonomi Syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi Syari’ah, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008

(7)

tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:

1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi Syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip Syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.8

2. Peradilan Tata Usaha Negara Tahun 2009-Sekarang

A. Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen

Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) berbunyi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dan selanjutnya di pertegas dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar NKRI tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam Pasal 63 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pada saat undang-undang ini berlaku, semua ketentuan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.9

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sudah dilakukan dua kali perubahan yaitu Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang- Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memuat peraturan-peraturan tentang kedudukan, susunan, kekuasaan, serta Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang ini dapat disebut sebagai suatu hukum acara dalam arti luas, karena undang-

8 Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, 71–80.

9 Dr Ali Abdullah M. M.Kn S. H. , M. M. , M. H., Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen: Pergeseran Paradigma dan Perluasan Norma Edisi Kedua (Prenada Media, 2021), 11.

(8)

undang ini tidak saja mengatur tentang cara-cara beperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sekaligus juga mengatur tentang kedudukan, susunan, dan kekuasaan dari Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-undang yang mengatur hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku untuk di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:

 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang- Undang tentang Administrasi Pemerintahan dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihak- pihak lain yang terkait dengan Administrasi Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.

Lahirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ini selain mengatur hukum formil (hukum acara) dan sekaligus juga mengatur hukum materiilnya.

B. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang dan badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Dalam penjelasan Pasal 1 angka 4 menyebutkan, bahwa istilah “sengketa” yang dimaksudkan di sini mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi peradilan tata usaha negara, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum badan atau pejabat tata usaha negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu, dalam asas hukum tata negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.

a. Subjek Sengketa Tata Usaha Negara

(9)

Subjek sengketa tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha negara. Subjek sengketa tata usaha negara semula diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, namun setelah dilakukan perubahan atas ketentuan tersebut maka kemudian diatur dalam UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradulan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 8 berbunyi: Badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 1 angka 3 UUAP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Adapun Pasal 34 UUAP ayat 1 Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan terdiri atas:

a. Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat penyelenggaran pemerintahan terjadi; atau

b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat seorang individu atau sebuah organisasi berbadan hukum melakukan aktivitasnya.

Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum berbeda dengan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Tata Usaha Negara, di Pengadilan Umum siapa saja boleh menjadi Tergugat sebaliknya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara boleh menjadi Penggugat. Ini sejalan dengan UU PERATUN yang mengatur bahwa hanya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara saja yang dapat dijadikan Tergugat sedangkan yang menjadi Penggugat adalah Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan karena telah dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengingat antara Badan atau Pejabat TUN dengan Orang/Badan Hukum Perdata mempunyai kedudukan yang tidak seimbang. Namun paradigma tersebut bergeser setelah berlakunya UUAP, Badan atau/Pejabat Pemerintahan dapat menjadi Penggugat/Pemohon. UU PERATUN juga tidak mengenal adanya gugat balik (rekonvensi), maka oleh karena itu warga masyarakat tidak akan menjadi Tergugat karena salah satu tujuan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah untuk melindungi warga masyarakat yang memberikan kedudukan seimbang dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan

(10)

ini berlaku juga pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pasal 1 angka 15 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merumuskan Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 7 ayat (2), huruf f dan g mewajibkan Pejabat Pemerintahan memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan serta wajib memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilaksanakan. Pasal 7 ayat (2), huruf I mewajibkan Pejabat Pemerintahan membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 21 ayat (2), (3) membuka peluang bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara guna menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutuskan permohonan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dimaksud paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Adapun Pasal 21 ayat (4), (5) dan (6) menyatakan bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan hakim banding wajib memutus paling lama 21 hari kerja dan terhadap putusan pengadilan tinggi tersebut bersifat final dan mengikat, artinya bahwa tidak dapat diajukan upaya hukum lagi.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan kewenangan PTUN menjadi lebih luas, tidak sekedar memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, tetapi juga menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Dan bahwa terhadap putusan Pengadilan mengenai ada atau tidak adanya penyalahgunaan wewenang tersebut, dapat diajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang putusannya bersifat final dan mengikat.

Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, telah mengikuti perluasan subjek sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana pada huruf E angka 2 disebutkan bahwa:

(11)

Subjek Gugatan/Permohonan Pasal 53 ayat (1), Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang Peratun), dan Pasal 21 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan:

1) Penggugat/Pemohon: Orang atau Badan Hukum Perdata, dan Badan/Pejabat Pemerintahan.

2) Tergugat/Termohon: Badan/Pejabat Pemerintahan.

Sengketa tata usaha negara ini berpangkal dari ditetapkannya suatu keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Oleh karena itu, pada hakikatnya sengketa tata usaha negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Berdasarkan hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Yang dapat digugat di hadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah badan atau pejabat tata usaha negara;

2. Sengketa yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa mengenai sah atau tidaknya suatu keputusan tata usaha negara, bukan sengketa mengenai kepentingan hak.10

b. Objek Sengketa Tata Usaha Negara

Objek sengketa Tata Usaha Negara adalah keputusan. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha Negara (yang selanjutnya disebut KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan berbunyi: “Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya

10 “Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada - PDF Free Download,” adoc.pub, 4, https://adoc.pub/abdullah-rozali-hukum-acara-peradilan-tata-usaha-negara- cet-.html.

(12)

disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.”

Berdasarkan pengertian dari KTUN di atas, dapat kita lihat bahwa unsur-unsur dari KTUN sebagai objek sengketa TUN menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 ialah:

1) Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan dalam segi pembuktian. Secara substansial KTUN yang merupakan penetapan tertulis menurut UU Peradilan Tata Usaha harus jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya, maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut, dan kepada siapa tulisan tersebut ditunjukkan dan apa yang ditetapkan di dalamnya;

2) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN baik di pusat maupun daerah harus bersifat eksekutif;

3) Tindakan Hukum adalah menimbulkan akibat hukum seperti misalnya Surat Keputusan Kepegawaian, LPH Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dsb;

4) Tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5) Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam keputusan tata usaha negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu, atau dapat ditentukan misalnya keputusan izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.

Menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2016 bahwa konkret-individual (contoh: keputusan izin mendirikan bangunan, dsb). Di dalam SEMA No. 14 tahun 2016 tersebut ditambahkan dengan konkret umum (contoh: keputusan tentang penetapan upah minimum regional, dsb). Dan dalam SEMA tersebut ditambahkan dengan abstrak- individual (contoh: keputusan tentang syarat-syarat pemberian perizinan, dsb);

6) Bersifat individual, artinya KTUN tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupul hal yang di tuju. Misalnya, jika KTUN ditujukan kepada orang-orang tertentu, maka KTUN tersebut harus menyebutkan nama orang atau badan hukum perdata tersebut. Umpamanya, keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan

(13)

tersebut. Menurut SEMA No. 14 tahun 2016 bahwa abstrak-individual (contoh:

keputusan tentang syarat-syarat pemberian perizinan, dsb);

7) Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. (contoh: perizinan tentang fasilitas penanaman modal oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Izin Lingkungan, dsb); dan 8) Memiliki akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, artinya perbuatan

hukum yang diwujudkan dalam pembuatan keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara itu dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada seseorang atau badan hukum perdata.

Dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur Keputusan TUN pada prinsipnya meliputi:

a) Ditinjau dari segi pembuatannya: dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan pemerintahan).

b) Ditinjau dari segi wujud materilnya: berisi Tindakan hukum tata usaha negara yaitu Tindakan hukum administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah

c) Ditinjau dari segi sifatnya: konkret, individual, dan final.

d) Ditinjau dari segi akibatnya: menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.11

3. Pengadilan Umum

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan pengadilan ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan. Menurut Sjachran Basah, peradilan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas dalam memutus

11 Untung Sastrawijaya, Perusahaan Kertas, dan W. R. Tjandra, “Teori & Praktek Peradilan Tata Usaha Negara,”

Undefined, 2010, 24, https://www.semanticscholar.org/paper/Teori-%26-praktek-peradilan-tata-usaha-negara- Sastrawijaya-kertas/4ebb26a2fc0134e39d4e1768da1aa6864195215c.

(14)

perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.12

Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan.13 Dalam kamus Bahasa Arab, disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus ataumengadili perselisihan-perselisihan hukum.14

Peradilan umum diatur dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan telah diubah menjadi Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2004, yang isinya

“Peradilan Umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya”15. Kemudian pada Pasal 3 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan PengadilanTinggi, dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi.16

Pengaturan- pengaturan baru yang berkaitan tentang pengadilan dan peradilan diakui harus diadakan terutama sebagai akibat dari tuntutan reformasi yang tercemin dalam perubahan UUD 1945 dan juga Undang- Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pada hal ini terjadi juga perubahan pada Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.17 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai Peradilan Umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial, yaitu urusan tentang organisasi, administrasi dan finansial dibawah kekuasaan Mahkamah Agung yang kebijakan tersebut

12 Sjachran Basah, Mengenal Peradilan di Indonesia, (Raja Grafindo Persada, 1995),9 13 “Peradilan agama di Indonesia / Cik Hasan Bisri | OPAC Perpustakaan Nasional RI.,” 2, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=190368#.

14 “Peradilan agama di Indonesia / Cik Hasan Bisri | OPAC Perpustakaan Nasional RI.,” 3.

15 Jaenal Arifin, Peradilan agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia (Kencana, 2008), 227.

16 Arifin, Peradilan agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia.

17 Arifin.

(15)

ditentukan oleh Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945.18

Berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum tersebut, untuk dapat diangkat menjadi hakim, seseorang harus lebih dahulu menjadi pegawai negeri yang terdaftar sebagai calon hakim. Namun, dalam Pasal 12 Ayat (1), telah dikatakan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Syarat dan tatacara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam undang- undang ini, yang artinya hakim sendiri memiliki status sebagai pejabat Negara yang sebelum menjadi pejabat Negara, ia sudah harus terlebih dahulu merupakan pegawai negeri.19

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 14 Ayat :

1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. sarjana hukum;

e. lulus pendidikan hakim;

f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

h. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun;

i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan negeri, hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim pengadilan negeri.20

18 Arifin, 228.

19 Arifin, Peradilan agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia.

20 Andi Dimah Laila Nurfa Iqah, “PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM,” LEX ADMINISTRATUM 9, no. 3 : 188,

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/33231.

(16)

3) Pasal 14A Ayat :

i. Pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

ii. Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

iii. Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

4) Pasal 14B ayat :

i. Untuk dapat diangkat sebagai hakim adhoc, seseorang harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14ayat (1) kecuali huruf d, huruf e, dan huruf h.

ii. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada (1) untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc, seseorang dilarang merangkap sebagai pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18ayat (1) huruf c kecuali undang-undang menentukan lain.

iii. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.21

5) Pasal 15 ayat :

i. Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. syarat sebagaimana dimaksud dalamPasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, hurufc, huruf d, huruf f, huruf g, dan huruf i.

b. berumur paling rendah 40 (empatpuluh) tahun

c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua pengadilan negeri, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan negeri;

d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan

e. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

ii. Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi harus berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi yang pernah menjabat ketua pengadilan negeri.

21 Iqah, “PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM.”

(17)

iii. Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi yang pernah menjabat ketua pengadilan negeri.22 iv. Berdasarkan dengan ketentuan dari Pasal 21, seorang hakim yang diberhentikan

dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.

Sedangkan berdasarkan Pasal 22, seorang ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan dengan tidak hormat dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh ketua Mahkamah Agung, dalam pemberhentian sementara, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (2), pemberhentian ini berlaku paling lama selama 6 bulan, dan berdasarkan Pasal 26, ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah jaksa agung setelah mendapat persetujuan ketua Mahkamah Agung.23

v. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Pasal 20 ayat:

1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:

a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus- menerus selama 3 (tiga) bulan;

d. melanggar sumpah atau janji jabatan;

e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan/atau f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.

3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.

4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.

5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial.

22 Iqah, 189.

23 Arifin, Peradilan agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia.

(18)

6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8) Pasal 22 Ayat :

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.

(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.

(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).

(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

4. Pengadilan Militer

A. Sejarah Peradilan Militer di Indonesia

 Masa Pra Kemerdekaan

Sebelum perang Dunia ke-II, Peradilan Militer di Indonesia dikenal dengan

Krijgsraad” dan “Hoog Militair Gerechtshof”.Peradilan ini berkewenang mengadili perbuatan. Pidana militer yang dilakukan oleh anggota Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda), yaitu KNIL (Konijlijke Nederlansch Indie Leger) dan Angkatan Laut Belanda.Dimana Anggota Angkatan Darat Hindia Belanda (KNIL) di periksa dan diadili oleh

Krijgsraad” untuk tingkat pertama dan “Hoog Militair Gerechtshof” untuk tingkat banding.Sedangkan Anggota Angkatan Laut Belanda di periksa dan diadili oleh

Zeekrijgsraad” dan “Hoog Militair Gerechtshof”.

(19)

Krijgsraad terdapat di kota Cimahi, Padang. Dimana Krijgsraad bersidang untuk mengadili perkara apabila ada panggilan sidang oleh komandan Militer. Susunan mejelisnya,terdiri dari seorang ketua (orang sipil/ahli hukum) dengan 4 (empat) orang anggota militer dengan pangkat opsir (perwira).Sedangkan Hoog Militair Gerechtshof berkedudukan di Jakarta. Majelis hakim Hoog Militair Gerechtshof saat bersidang terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu dua dari sipil yang ahli hukum (salah satunya akan bertindak selaku ketua majelis) sedangkan tiga orang dari militer berpangkat opsir tinggi atau menengah dan terdiri dari 2 (dua) orang KNIL dan satu orang Angkatan Laut. Belanda, baik yang masih dinas aktif maupun yang sudah pensiun.

 Masa Sesudah Kemerdekaan Indonesia

1) Periode tahun 1945-1949 Peradilan Militer berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946.

Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, peradilan yang telah ada pada jaman Jepang tetap berlaku seperti peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan militer.

Kenyataannya tidak demikian, hanya peradilan umum dan peradilan agama yang berlaku.

Sedangkan peradilan militer belum diadakan, meskipun angkatan perang Republik Indonesia telah dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Peradilan militer dibentuk setelah di undangkannya undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara pada tanggal 8 Juni 1946, selain itu di undangkannya undang-undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana guna mengadili Tentara.

2) Peradilan Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948.

Pada pasal 1 Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:

a) Mahkamah Tentara

b) Mahkamah Tentara Tinggi c) Mahkamah Tentara Agung

(20)

Tempat kedudukan dan daerah hukum Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Tinggi ditetapkan oleh Menteri Kehakiman sesuai dalam PP No.37 Tahun 1948 Pasal 7 dan Pasal 13.

Sedangkan Mahkamah Tentara Agung berdasarkan Pasal 21 berkedudukan ditempat kedudukan Mahkamah Agung dengan daerah hukumnya yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

3) Periode tahun 1949-1950 Peradilan Militer berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950.

Masa ini dikenal sebagai era Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana peraturan peradilan militer yang masih berlaku, antara lain:

a) Peraturan Pemerintah penggganti Undang-undang Nomor 36 Tahun 1949 tanggal 29 Desember 1949 tentang Penghapusan Peraturan Darurat Nomor 49/ MBKD/49 dan menghidupkan kembali pengadilan tentara yang ada sebelum tanggal 7 Mei 1949.

b) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan atau Kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan.

4) Periode tahun 1950-1959.

1. Peradilan Militer berdasarkan UU No.5 Tahun 1950

Perubahan bentuk negara dari federasi menjadi kesatuan maka terjadi perubahan dalam bidang peradilan .Dimana sebelumnya masingmasing daerah berhak mengatur sendiri peradilan di daerah nya disamping adanya Peradilan Federal, sehingga terdapat bermacam- macam badan peradilan.Hal ini tidak sesuai lagi dengan kondisi negara kesatuan RI. Oleh karena itu,dikeluarkan UndangUndang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 pada tanggal 13 Maret 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan.Setelah itu dikeluarkan keputusan-keputusan bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan secara berturut-turut dari tahun 1950 sampai dengan Tahun 1956, perihal kedudukan dan daerahdaerah hukum pengadilan-pengadilan Tentara di Indonesia. Undang-Undang ini menghapuskan semua undangundang yang berkaitan dengan pengadilan/kejaksaan ketentaraan.

2. Mahkamah Militer Luar Biasa

(21)

Tahun 1950 Sebagian wilayah Indonesia masih ada yang dinyatakan dalam keadaan perang atau dalam keadaan darurat perang. Khusus untuk bekas Negara Indonesia Timur dengan keputusan Presiden Nomor 160, 169, dan 204 Tahun 1950, hampir seluruh wilayah Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang. Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku,panglima Tentara dan Teritorium VII memegang kekuasan militer tertinggi di daerah itu, dan dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya dapat menyimpangi ketentuan meskipun secara terbatas.Panglima pada waktu itu (Kolonel Inf Kawilarang). “mengusulkan kepada Menteri Pertahanan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di pusat untuk membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa,kemudian terbit surat keputusan kekuasaan Militer Pusat Nomor 3 Tahun 1950 tanggal 10 Oktober 1950 yang isinya di daerah yang dalam keadaan darurat perang,Panglima dapat membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa yang terdiri dari tiga orang Perwira bawahannya.

5) Masa 5 Juli 1959-11 Maret 1996.

1. Peradilan Militer Angkatan dan Polri

Berdasarkan ketentuan peralihan UUD 1945, Peradilan Militer masih berlaku sebagaimana diatur dalam undang-Undang Nomor 5 tahun 1950 dan Hukum Acara sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 6 tahun 1950 serta perubahannya dalam undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958. Setelah berlakunya UUD 1945, untuk melaksanakan ketentuan pasal 24 ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok mengenai kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 yang diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, dan Pasal 7 menetapkan:

a. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a) Peradilan Umum b) Peradilan Agama c) Peradilan Militer

d) Peradilan Tata Usaha Negara.

(22)

b. Semua Pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan untuk semua lingkungan Peradilan.

c. Peradilan-peradilan tersebut diatas, teknis ada dibawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi secara organisatoris, administratif dan finansial ada dibawah kekuasaan Departemen-Departemen dalam Lingkungan Angkatan Bersenjata.

Berdasarkan penetapan presiden Nomor 3 Tahun 1965, maka hukum pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara, dan Hukum Disiplin Tentara dinyatakan berlaku bagi Tamtama, Bintara, dan Perwira Angkatan Kepolisian, sehingga apabila ada anggota Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi diadili oleh peradilan umum (Negeri) tetapi oleh Peradilan Militer.

6) Periode Tahun 1966-Sekarang 1. Peradilan Militer Integrasi

Pengadilan ini dimulai setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pelaksanaan peradilan militer di dalam lingkungan masing-masing Angkatan masih berjalan terus sebagaimana sebelumnya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan tanggal 16 Agustus 1973, sebagaimana ditentukan dalam keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan atau Panglima Angkatan Bersenjata, masing masing: No.J.S.4/10/14 tanggal 10 Juli 1972 tentang Perubahan Nama, Tempat, kedudukan, Daerah Hukum, Yurisdiksi serta kedudukan organisatoris Mahkamah Militer Tinggi, Oditurat Militer Tinggi, dan No.KEP/B/10/III/1973 Tanggal 19 Maret 1973, mengenai Tempat kedudukan dan Daerah Hukum Mahkamah Militer dan Oditurat Militer. Terintegrasinya peradilan atau Mahkamah militer telah menjadikan peradilan militer tidak lagi berada dalam lingkungan Angkatan masing-masing, tetapi dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada dibawah Departemen Pertahanan atau Keamanan, dan pelaksanaan peradilan militer yang terintegrasi ini merupakan suatu perkembangan penting yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ABRI. Disamping itu, terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1973, semua perkara harus diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Militer Integrasi.

2. Peradilan Militer berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1997

(23)

Berdasarkan undang-undang ini, maka undang-undang yang berkaitan dengan Peradilan Militer maupun hukum acaranya, seperti UURI Nomor 5 tahun 1950, UURI Nomor 6 tahun 1950, UU Dtr Nomor 1 tahun 1958, UU Nomor 5 Pnps tahun 1965, UU Nomor 3 Pnps tahun 1965, UU Nomor 23 Pnps tahun 1965,dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini selain mengatur (memuat) tentang susunan dan kekuasaan pengadilan serta Oditurat (Kejaksaan) dilingkungan peradilan militer juga hukum acara pidana militer. Hal paling baru yang tidak ada pada ketentuan-ketentuan sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana sehingga memuat materi lebih luas dari pada ketentuan-ketentuan sebelumnya.24

24 Hade Miladianur Farah, “DINAMIKA PERADILAN MILITER DI INDONESIA,” t.t., 18.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

adoc.pub. “Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cet. IV; Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada - PDF Free Download.”. https://adoc.pub/abdullah-rozali- hukum-acara-peradilan-tata-usaha-negara-cet-.html.

Arifin, Jaenal. Peradilan agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia. Kencana, 2008.

Basah, Sjachran. Mengenal Peradilan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, 1995

Farah, Hade Miladianur. “DINAMIKA PERADILAN MILITER DI INDONESIA,” t.t., 18.

Harahap, M. Yahya. Kedudukan, kewenangan, dan acara peradilan agama: UU no. 7 tahun 1989. Cet. 1. [Jakarta]: Pustaka Kartini, 1990.

“Hukum Islam dan Peradilan Agama : (kumpulan tulisan) / Mohammad Daud Ali | PERPUSTAKAAN DAERAH KOTA TANGERANG.”.

https://pustaka.tangerangkota.go.id/inlislite3/opac/detail-opac?id=15280.

Iqah, Andi Dimah Laila Nurfa. “PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM.” LEX ADMINISTRATUM 9, no. 3.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/33231.

“Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama di Era Reformasi.”. https://www.pta- medan.go.id/index.php/2016-12-22-04-37-57/hasil-penelitian/artikel-anda/844- kedudukan-dan-kewenangan-peradilan-agama-di-era-reformasi.

M.Kn, Dr Ali Abdullah M., S. H. , M. M. , M. H. Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen: Pergeseran Paradigma dan Perluasan Norma Edisi Kedua. Prenada Media, 2021.

“Peradilan agama di Indonesia / Cik Hasan Bisri | OPAC Perpustakaan Nasional RI.”.

https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=190368#.

Sastrawijaya, Untung, Perusahaan Kertas, dan W. R. Tjandra. “Teori & Praktek Peradilan Tata Usaha Negara.” Undefined, 2010. https://www.semanticscholar.org/paper/Teori-

%26-praktek-peradilan-tata-usaha-negara-Sastrawijaya- kertas/4ebb26a2fc0134e39d4e1768da1aa6864195215c.

Supriyatna, S. “MEMAHAMI URGENSI PERADILAN MILITER DARI SUDUT

KEPENTINGAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA” 1, no. 2 (2014):

20.

Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek. Mandar Maju, 1989.

(25)

Wahyudi, Abdullah. Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, 2016.

Wahyudi, Abdullah Tri. “KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA MASA PASCA REFORMASI.” YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam 7, no. 2 (2016): 285–304. https://doi.org/10.21043/yudisia.v7i2.2156.

———. Peradilan agama di Indonesia. Pustaka Pelajar, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mendefinisikan Pajak adalah suatu kontribusi kepada negara yang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek