B. A. Rukiyanto, S.J.
Pokok bahasan
Yesus menjadi yang diwartakan
Masalah Soteriologis
Arianisme – Konsili Nicea
Yesus Kristus sungguh Allah
Konsili Kalsedon
Yesus Kristus sungguh Manusia
Yesus menjadi yang diwartakan
Dengan pengalaman Paska, Yesus yang tadinya pewarta Kerajaan Allah, kini menjadi yang
diwartakan. Yesus dilihat sebagai
pengejawantahan pribadi dari Kerajaan Allah itu sendiri.
Maka sekarang Yesus menjadi sembahan dan junjungan umat, menjadi alamat doa-doa dan pujian dalam liturgi.
Pewartaan dan liturgi mendahului refleksi doktriner tentang Yesus Kristus yang mulai disebut sebagai “Kyrios” (Tuhan) jemaat.
Namun masih panjang jalannya bagi jemaat untuk sampai pada pengakuan doktriner “Yesus Kristus sungguh Allah.”
Setelah kebangkitan, para murid melanjutkan
pewartaan-Nya akan Kerajaan Allah yang menjadi nyata dalam peristiwa Yesus. Lama kelamaan,
mereka berpisah dari Yudaisme, dan langsung berhadapan dengan budaya kuat kawasan Laut Tengah, yaitu budaya hellenis (Yunani).
Perjumpaan dengan budaya hellenis yang berbeda dari pikiran alkitabiah Yahudi memunculkan
banyak pertanyaan kritis; muncul tafsiran dan ajaran baru yang sering membingungkan umat.
Maka muncul proses refleksi tentang pokok- pokok iman Kristini dengan menggunakan menggunakan pemikirian hellenis sebagai bagian usaha mewartakan Kabar Gembira dalam kultur baru. Ini disebut
“perkembangan ajaran” dalam Tradisi Gereja
Masalah Soteriologis
Masalah yang direfleksikan dalam konteks keselamatan atau pengilahian manusia:
bagaimana menjelaskan bahwa berkat karya Yesus Kristus dan Roh-Nya manusia sungguh diselamatkan, diilahikan secara total?
Bila manusia sungguh-sungguh diilahikan oleh Kristus dan Roh-Nya, Penyelamat itu harus ilahi.
Bila yang diilahikan adalah seluruh kenyataan manusiawi, Penyelamat itu harus manusia
seutuhnya.
Masalah ini menjadi diskusi sepanjang sejarah.
Maka masalah soteriologis bergeser dari fungsi Yesus dalam karya keselamatan ke siapa Yesus dalam diri-Nya sendiri.
Fungsi penyelamatan memang tidak bisa lepas dari “siapa” Penyelamat itu.
Namun pemikiran yang terlalu ontologis (fokus pada siapa itu Yesus dan Roh Kudus dalam
dirinya) mengandung resiko melupakan fungsi atau karya ilahi bagi manusia.
Refleksi selanjutnya: kalau yang dikenal manusia adalah jatidiri Allah sebagaimana terwahyu
dalam Kristus dan Roh-Nya (Allah bagi kita), bagaimana jatidiri Allah dalam dirinya sendiri?
Tradisi Kristiani menjawab dalam perjalanan
refleksinya: Allah dalam diri-Nya sendiri adalah sama dengan Allah yang mewahyukan Diri dan menyelamatkan manusia.
Tindakan pewahyuan dan penyelamatan Allah muncul dari kebebasan ilahi yang penuh cinta, sehingga tindakan pewahyuan tidak
mengurangi misteri hidup ilahi dan hati Allah.
Pertanyaan selanjutnya: bila Sang Penyelamat sungguh-sungguh ilahi, bagaimana ini
diterangkan dalam konteks monoteisme?
Bagaimana mengimani keilahian Kristus dan mempertahankan keesaan Allah? Seberapa ilahikah Yesus Kristus itu?
Perkembangan Dogma
Perkembangan Dogma
Para apologet (pembela iman) abad II dan III berusaha memperlihatkan kepada orang
Yunani yang terpelajar bahwa Allah yang mereka imani dan wartakan adalah Allah yang dicari dan dirindukan oleh filsafat Yunani.
Titik tolak: iman monoteistik.
Ajaran sesat
Monarkianisme dinamis: Yesus manusia biasa, Allah melengkapi dengan kekuatan (dunamis) istimewa
Monarkianisme modalis: Yesus adalah cara Allah menyatakan diri; Bapa, Putera, Roh Kudus adalah cara penampakan (prosopon: topeng) yang berbeda dari Allah yang sama
Arianisme: Logos berada pada Allah, sifat Allah,
tetapi tidak abadi (dari ketiadaan), ciptaan pertama dan paling utama. Logos menjadi manusia,
menggantikan jiwa manusiawi Yesus. Selama hidup, Yesus menyempurnakan diri hingga dinamakan
Allah.
Konsili-konsili
Melawan Arius, diadakan konsili di Nicea (325):
Yesus, Putera Allah tunggal, lahir dari Bapa
sebelum segala abad, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa.
Konsili Konstantinopel I (381): mengakui keilahian Roh Kudus (melawan Pneumatochoi yang
menyangkal keilahian RK): Roh Kudus, Tuhan
yang menghidupkan, berasal dari Bapa, yang serta Bapa dan Putera disembah dan dimuliakan,
bersabda melalui perantaraan para nabi
Konsili Efesus (431): Maria sebagai Teotokos, bukan Kristotokos
Konsili Kalsedon: Yesus sungguh Allah, sungguh manusia
Konsili Konstantinopel II (553): Allah satu kodrat tiga pribadi
Sinode Toledo (589): menambahkan Filioque – Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera (Yoh 14:26, 16:15, 16:7 >< 14:6-7, 15:26).
Konsili Konstantinopel III (681): Yesus 2 kodrat 1 pribadi - dua kehendak dalam satu pribadi Yesus Kristus, keduanya tak tercampur, tak berubah, tak terbagi, tak terpisah. Kehendak manusia
dalam segalanya selalu mengikuti kehendak ilahi dalam Kristus. Berkat persatuan hypostasis,
kehendak manusia itu tidak dirusakkan.
Mat 26: 39, 42, Mrk 14:36; Luk 22:42 kehendak manusiawi menyesuaikan dengan kehendak ilahi
Ibr 4:15 Yesus tidak berdosa
Konsili Nicea dan Konstantinopel tidak
berusaha menyelami rahasia (hakekat) Allah (lain dengan Arius yang mau menyelaminya dari sudut filsafat).
Dengan menetapkan dogma Trinitas, Gereja bermaksud menunjukkan bahwa Allah
sendirilah yang menemui kita dalam Yesus Kristus, dan bahwa dalam Roh Kudus, Allah sendiri hadir di dalam Gereja.
Arianisme – Konsili Nicea
Arius (+336), imam Iskandaria, memberi
pemecahan: Yesus itu makhluk yang bersifat
ilahi, semacam makhluk tengah antara manusia dan Allah; lebih tinggi dari manusia dan lebih rendah dari Allah; dijadikan oleh Allah, ada sebelum adanya waktu, mendahului segala ciptaan.
Yesus inilah yang menderita sengsara, wafat dan dibangkitkan dari alam maut, sementara Allah terlalu sempurna untuk mengalaminya.
Maka Allah tetap esa, sementara Yesus bersifat ilahi.
Ajaran itu disebut Arianisme, termasuk ajaran sesat (bidaah), dikutuk dalam Konsili
Ekumenis di Nicea (325)
Konsili ini diundang oleh Kaisar Konstantinus dan merumuskan Syahadat Nicea: “Aku
percaya akan Yesus Kristus, Putra tunggal Bapa, berasal dari hakekat Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan, bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa.”
Sehakekat dengan Bapa (homoousios to Patri) – mengungkapkan iman alkitabiah di tengah alam pikiran hellenis.
Yang disangkal: pernah ada saatnya bahwa Kristus tidak ada, Dia tidak ada sebelum
dikandung, Putra Allah berbeda hakekat dari Allah, Ia diciptakan.
Dari sisi ini persoalan diselesaikan, namun di sisi lain membuka persoalan dan perdebatan baru.
Yesus Kristus sungguh Allah
Konsili Nicea merumuskan eksplisit iman Gereja akan keallahan Kristus yang penuh.
Pengakuan ini menentukan jatuh bangunnya iman bahwa Allah yang mahatinggi telah
berkenan masuk sejarah dan dunia manusia serta bersedia menjadi bagian di dalamnya.
Dalam peristiwa Yesus Kristus, Allah tidak sekedar mempengaruhi atau campur tangan dalam dunia, melainkan berkenan
mengenakan keterbatasan selaku pelaku sejarah. Inilah yang sulit dicerna Arius
dengan solusinya tentang makhluk tengah.
Dengan menggunakan pendekatan kristologi dari bawah, para murid dihadapkan pada
pengalaman akan alternatif yang hanya bisa berasal dari Allah sendiri. Hanya Allah yang bisa membere pembebasan sebagaimana
dimaklumkan Kristus: pembebasan dosa dan keikutsertaan dalam hidup ilahi (manusia
baru).
Konsili Kalsedon
Pengakuan resmi Gereja akan keallahan Kristus menimbulkan persoalan baru karena kekaburan istilah homoousios.
Kalau Yesus sehakekat dengan Allah, bagaimana menerangkannya supaya tidak menyalahi
keesaan Allah. Apanya pada Allah yang hanya satu? Apanya yang pada Allah ada tiga?
Bagaimana hubungan kemanusiaan dan
keallahan Kristus dirumuskan: berdiri sendiri- sendiri, keallahan menelan kemanusiaan,
kemanusiaan Yesus pura-pura?
Jawaban permasalahan
Muncul aliran-aliran untuk memecahkan masalah itu dengan menekankan kesatuan dalam diri
Kristus, dengan resiko mengaburkan perbedaan hakiki antara keallahan dan kemanusiaan-Nya
Doketisme: mengajarkan bahwa kemanusiaan Yesus hanya pura-pura.
Appolinarisme: Yesus tidak mempunyai jiwa
manusia, karena peran dan kedudukan jiwa-Nya diambilalih oleh Sabda Allah, sehingga
kemanusiaan Yesus ditelan oleh keallahan-Nya – Yesus hanya mempunyai 1kodrat.
Aliran lain menekankan perbedaan antara 2 kodrat, dan menegaskan kemandirian baik dari keallahan maupun kemanusiaan dalam diri Kristus, dengan resiko mengabaikan
kesatuan dalam diri Yesus dan seakan-akan menjadikan-Nya mempunyai “dua keakuan.”
Nestorianisme: mengajarkan bahwa
keallahan dan kemanusiaan dalam diri Yesus begitu otonom sehingga menjadi 2 pribadi yang berbeda. Konsekuensi: Maria boleh disebut Bunda Yesus, tetapi bukan Bunda Allah.
Konsili Efesus
Bidaah Nestorianisme disanggah di dalam
Konsili Efesus (431) yang menegaskan bahwa Maria adalah bunda Allah, bukan sekedar
Bunda Yesus. Maka disiratkan bahwa dalam diri Yesus hanya ada satu pribadi.
Soal berikutnya: dalam diri Yesus, apa yang boleh disebut “satu” dan apa yang disebut
“dua”?
Dalam perjalanan refleksi, muncul istilah:
hypostasis (pribadi)-Nya satu, sedangkan ousia/physis (kodrat)-Nya dua.
Melawan bidaah monofisitisme yang
mengajarkan hanya ada satu kodrat dalam diri Yesus (yaitu kodrat ilahi), Konsili
Kalsedon (451) menegaskan bahwa dua
kodrat dalam pribadi Kristus itu tidak rancu atau berubah, tidak terpecah atau terpisah satu dari yang lain.
Rumusan: Yesus sungguh Allah sungguh manusia.
Kesatuan dalam pribadi Yesus itu tidak
menghapus perbedaan antara 2 kodrat itu.
Dalam diri manusia sejati Yesus dari Nazaret tampaklah Allah sejati.
Yesus Kristus sungguh manusia
Rumusan konsili Kalsedon masih meninggalkan soal: bagaimana kodrat keallahan dan
kemanusiaan itu terjalin (terkoordinasi) dalam diri Yesus.
Apakah Yesus pernah mengalami pertumbuhan pengetahuan dan kesadaran sebagaimana
lazimnya manusia? Bagaimana bisa didamaikan dengan kemahatahuan-Nya sebagai pribadi
ilahi? Apakah Yesus bisa berdosa karena Dia manusia yang mempunyai kebebasan sepenuh- penuhnya?
Sampai sekarang orang masih bergulat
dengan konsekuensi serius rumusan konsili Kalsedon.
Dulu penghayatan umat cenderung
monofisistik, terlalu menekankan bahwa Yesus itu Allah, maka semuanya pasti beres dan
dapat dijalankan-Nya), sekarang orang menekankan kemanusiaan-Nya dan tidak peduli akan keallahan-Nya.
Orang lupa bahwa dalam segala hal Yesus
sama dan solider dengan kita manusia, tetapi Dia menawarkan kemanusiaan alternatif yang tidak tunduk pada dosa (Ibr 4:15, 5:8).
Misteri Allah Tritunggal
Ajaran Trinitas merupakan inti iman kristiani.
Meskipun kata ‘TRINITAS’ tidak ada dalam Alkitab, tetapi para bapa Gereja mula-mula merumuskannya dengan dasar Alkitabiah.
Istilah pertama kali digunakan oleh
Theophilus dari Antiokhia di Gereja Timur
dalam bahasa Yunani triados dan Tertulianus dari Gereja Barat dengan istilah bahasa Latin trinitas.
Ini dilakukan dalam usaha untuk menjelaskan tentang fakta yang terdapat dalam Alkitab
mengenai Allah yang Esa yang disebut Bapa, yang memiliki Sabda yang disebut Putera dan Roh yang disebut Roh Kudus yang bersifat
kekal. Dan juga untuk menerangkan
hubungan Sabda Allah dan Roh Allah itu dengan Allah Yang Esa itu sendiri.
Titik pangkal rujukan tentang Allah
Tritunggal adalah iman yang diakui waktu orang dibaptis atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus (Mat 28:19).
Pengakuan iman (syahadat) bersama dengan rumus pembaptisan trinitaris merupakan
rangkuman seluruh iman kristiani.
Dalam ekaristi, selalu diawali: “Semoga
rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah (Bapa) dan persekutuan Roh Kudus
besertamu” (2Kor 13:13).
Diperlukan waktu lama (sampai abad IV)
untuk mendapatkan rumusan Trinitas dalam Teologi Sistematik.
Abad I: Paham Allah dalam PB
Dalam PB tidak ada ajaran tentang Allah Trinitas, karena memang PB tidak bermaksud
menyampaikan ajaran tertentu, melainkan
memaklumkan Kerajaan Allah yang menyingsing dengan dan dalam diri Yesus Kristus.
Namun akar-akar ajaran Trinitas dapat
ditemukan di dalam Kitab Suci, khususnya PB.
Allah PB: Allah yang Esa (monoteisme) –
kepercayaan ketat agama Yahudi, berlawanan
dengan politeisme bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal YHWH. Monoteisme dianut orang
Kristiani dan Yahudi, meski pemahaman berbeda.
Selain percaya akan Allah (YHWH), Allah Abraham, Allah Ishak, dan Yakub, orang kristiani juga percaya akan Yesus Kristus.
Perkembangan iman akan Yesus Sang Kristus inilah yang diandaikan oleh iman akan Allah Tritunggal.
Berkat terjadinya peristiwa-Yesus dalam sejarah umat manusia, kita diperkenalkan dengan misteri Trinitas.
Pendorong utama bagi iman pasca-paskah akan Yesus Kristus: kepercayaan akan kebangkitan-Nya berkat penampakan-penampakan, berakar pada pewartaan Yesus pra-paskah.
Hanya dalam rangka iman akan Allah, Sang Bapa, maka iman akan Yesus memperoleh bobot: Yesus yang bangkit dikenal sebagai Anak Allah (Rom 1:4).
YHWH, Allah para leluhur, sejak sekarang
disebut “Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (Rm 15:6; 2Kor 11:31; Ef 1:3).
Kristus yang dibangkitkan oleh Allah Bapa
diyakini sebagai Juru Selamat yang bersatu tak terpisahkan dengan Bapa, dan dengan cara itu menjadi gambar Allah (2Kor 4:4; Kol 1:15).
Dalam diri Yesus, Logos ilahi (Sabda, Allah Putera) yang sejak semula bersama-sama
dengan Allah, telah menjadi manusia. Maka Ia pra-ada, sudah ada sebelum di bumi (Yoh 1:1-18;
Flp 2:5-11; Rom 8:32; 2Kor 8:9).
Yoh 10:30, 14:28 mengungkapkan iman bahwa dalam manusia Yesus, kita bertemu dengan Allah sendiri.
Pemahaman akan Kristus ditentukan juga Roh Kudus, sebagai nilai pengalaman lain di samping Bapa.
Paulus: Kristus yang mulia dan Roh yang berkarya dalam jemaat bertindih tepat, meskipun tidak
seluruhnya sama. Roh hanya dapat didekati melalui Kristus, dan Kristus hanya dapat didekati melalui Roh. Maka roh Kudus tidak dapat disamakan
dengan Bapa atau pun Putera.
Roh Kudus adalah kehadiran Allah dalam manusia dan Gereja untuk meneruskan karya penebusan Kristus. Ia diutus Kristus sbg “Penolong lain” (Yoh 14:16)
Orang dalam kuasa dosa dan maut dimerdekakan oleh Roh yang memberi hidup (Rm 8:1-2), dan umat dipersatukan dalam pengakuan akan Ketuhanan
Yesus (1Kor 12:3) dan dalam doa (Gal 4:6).
Pengakuan akan Kristus yang sedang berkembang dalam Gereja perdana diendapkan dalam
pemahaman akan penebusan dan pembaptisan.
Eksistensi baru orang yang dibaptis ditentukan oleh Kristus dan Roh Kudus, Bapa juga terlibat dalam proses pemulihan sebagai Inisiator karya
keselamatan (1Kor 6:11) – ucapan berkah trinitaris (1Kor 13:13).
Ef 4:4-6 – kita percaya akan satu Allah, bukan tiga.
Mat 28:19 – perintah membaptis bukan
dimaksudkan tiga nama, tapi satu (Yun: bentuk tunggal onoma).
Pengakuan Allah yang satu membuat Paulus juga mengakui Tuhan yang satu (1Kor 8:6; Gal 3:20;
1Tim 2:5) dan Roh yang satu (1Kor 12:11-13)
Pengutusan Roh Kudus, oleh Bapa atas nama Putera dan oleh Putera "dari Bapa " (Yoh
15:26), mewahyukan bahwa Ia bersama
mereka adalah Allah yang Esa dan sama. Ia
"disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera ".
"Roh Kudus berasal dari Bapa sebagai asal pertama dan karena la tanpa jarak waktu
memberikan (daya menjadi asal juga) kepada Putera, maka Roh berasal dari Bapa bersama Putera" (Agustinus, Trin. 15,26,47).
Simpulan
Simpulan
Trinitas merupakan misteri
Kita hanya bisa mendekati melalui simbol dan bahasa yang terbatas.
Lebih penting adalah menghayati kehadiran- Nya yang mencintai dan menyelamatkan.