texture,
art & culture journalPOLA PRAKTIK HERI PEMAD DALAM MEMBANGUN ARTJOG PADA MEDAN SENI RUPA YOGYAKARTA DENGAN TEORI PRAKTIK SOSIAL PIERRE BOURDIEU
Abdul Yusuf 1, Agustino Duwi Stiawan2
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Surakarta [email protected]1 ,
ABSTRACT
Yogyakarta is known as a gathering place for art agents, not just fine arts, and the abundance of art agents has a huge impact on Yogyakarta's art scene and its economy. ARTJOG is one of the art festivals that is always awaited by art agents and the local and non-local community. The success of ARTJOG is undeniable considering its young age compared to other similar events. The establishment of ARTJOG was the result of Heri Pemad's anxiety who saw the imbalance in Yogyakarta's art scene.
This research is conducted to see and dissect Pemad's practice in building ARTJOG that is able to exist until now using Pierre Bourdieu's social practice theory, which conveys the concepts of habitus, capital and field. The research method used is descriptive qualitative and the data collection techniques are documentation of several video podcasts of Heri Pemad and ARTJOG and written documents. It is hoped that this paper can add insight into the factors that can be considered in creating a festival and managing it.
Keywords: Heri Pemad, ARTJOG, Social Practic Teory, Yogyakarta Art Scene.
PENDAHULUAN
Medan Seni Rupa adalah istilah yang lebih efektif menggambarkan suatu jejaring yang cair, dimana kategori sosial yang baku seperti keprofesian, kelas, dan peran sosial berlaku secaa dinamis (Hujatnikajenong). Dalam medan seni rupa terdapat sebuah hubungan yang berkelindan antar agen-agen seni, seperti patron, kurator, kritikus, seniman, institusi (galeri, museum, dst), kolektor, balai lelang, dll.
Hubungan antaragen ini erat kaitannya dengan bagaimana tiap agen mengambil struktur dan
fungsi dari posisi ranah seni rupa. (Santi Jesika, 2019 :1).
Ranah seni rupa di Indonesia, dari waktu ke waktu terus mengalami dinamika, berbagai pengetahuan masuk, dan agen-agen yang membawa pengetahuan tersebut berusaha memapankan pengetahuannya diantara pengetahuan yang lebih dahulu telah mendominasi. (Santi Jesika, 2019 :1).
Ir. Soekarno merupakan seorang patron dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa Indonesia, selain berkat
dari hasrat keseniannya, relasi dan kuasa yang di miliki oleh Ir. Soekarno menjadi salah satu faktor yang juga mempengaruhi medan seni rupa di Indonesia, yang mana dalam buku "Bukit-Bukit Perhatian Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno"
menyebutkan kerja sama dengan Jepang yaitu dengan mengolaborasikan seniman Jepang dan Indonesia, selain itu juga ia mengajak para pemilik modal membuat studio praktik seni rupa yang tujuannya untuk menghidupkan minat masyarakat terhadap seni rupa (Darmawan , 2004).
Relasi dan kuasa merupakan suatu hal yang saling berkaitan, dimana relasi sebagai modal dan kuasa sebagai habitus yang terbentuk dari modal di dalam sebuah ranah atau medan, hal tersebut merupakan sebuah praktik yang dilakukan oleh tiap agen individu. Sebagaimana habitus, modal menjadi bagian tak terpisahkan dari pertarungan agen di dalam suatu ranah ( Krisdinanto, 2014 ).
Sama halnya dengan praktik yang dilakukan oleh sosok pendiri ARTJOG yang dulu bernama Jogja Art Fair yaitu Heriyanto atau Heri Pemad yang mampu membuat ARTJOG berkembang dan berpengaruh dalam medan seni rupa di Indonesia. Berdasarkan paparan Heri Pemad melalui kanal youtube podcast mojokdotco bisa disimpulkan bahwa sosok Heri Pemad yang menjadi dalang dibalik ketenaran ARTJOG dengan berbekal relasinya yang ia dapatkan ketika menjadi kurir undangan para seniman, dan keingintahuannya dalam
mendalami seni rupa hingga berfokus untuk mempelajari manajemen seni atau tata kelola seni. (Putut EA, 2021). Relasi dan habitus berupa kengitahuan Heri Pemad tentang dunia seni merupakan bentuk dari praktik yang terjadi di suatu ranah, dan ranah ada pada medan seni rupa Yogyakarta.
Untuk mengeluas lebih lanjut tentang praktik yang dilakukan Heri Pemad, penulis menggunakan teori yang di gagas oleh seorang filsuf, sosiolog dan antropolog asal Prancis Pierre Bourdieu. (Mustikasari , 2023) mengatakan Pierre Bordieu mengembangkan teori dengan berorientasi pada hubungan dialektik antara struktur objektif dan fenomena subjektif dalam melihat realitas sosial yang di kenal dengan strukturalisme konstruktif. (Krisdinanto, 2014) menyebutkan bahwa dengan strukturalis, berarti sosiologi berusaha mencari proses pola relasi yang bekerja dibelakang agen. Sementara dengan konstruktuvis, sosiologi berarti menyelidiki persepsi comon sense dan tindakan individu. Dengan menggunakan teori dari Pierre Bourdieu memudahkan dalam menganalisis bagaimana praktik Heri Pemad yang mampu membangun ARTJOG menjadi besar dan eksis hingga sekarang. Pierre Bourdieu menyodorkan sebuah rumus generatif tentang praktik sosial yaitu dengan persamaan ( Habitus x Modal) + Arena = Praktik Sosial ( Krisdinanto, 2014 ).
Dengan menggunakan teori atau persamaan tersebut nantinya nantinya dapat dilihat bagaimana pola praktik Heri Pemad dalam membangun ARTJOG pada medan seni rupa
Yogyakarta yang membawa dampak besar pada Yogyakarta sendiri. Bagaiamana habitus dari Heri Pemad yang mampu mempengaruhi Yogyakarta terutama pada medan seninya, dan modal apa saja yang Heri Pemad dapatkan dan manfaatkan ketika berada pada medan seni rupa Yogyakarta.
METODE DAN PEMBAHASAN
Pada tulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Menurut (Moelong, 2014) Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk dengan kata- kata, gambaran holistic dan rumit. Pada penulisan ini pandangan yang akan diteliti adalah mengenai pola relasi Heri Pemad dengan subjek penelitiannya adalah ARTJOG pada medan seni rupa Yogyakarta menggunakan teori praktik sosial Pierre Bourduie. Teori adalah untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku, meramalkan teori lainnya, digunakan untuk aplikasi praktis, memberikan perspektif bagi usaha penjaringan data, membimbing dan menyajikan gaya penelitian (Moelong, 2014 ).
Teknik sampling yang digunakan yaitu purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Abdussamad, 2021 ).
Dalam penelitian ini sample yang ditelti adalah Heri Pemad dengan relasinya yang kemudian akan dikaji dengan teori Pierre Bourduie
Sumber data yang diperoleh dari penelitian ini berupa video podcast tentang Heri Pemad dan ARTJOG dari beberapa chanel Youtube yaitu chanel Mojokdotco, Galeri
Nasional Indonesia dan Kompas.com. Selain dari beberapa video podcast youtube tersebut, sumber data penelitian ini berupa buku, jurnal, dan arsip dokumen yang membahas mengenai medan seni rupa yogyakarta serta teori praktik sosial Pierre Bourduie .Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah metode anaslis data menurut Miles dan Huberman, dimana kegiatan tersebut meliputi penyajian data, reduksi data, verifikasi data dan penarikan kesimpulan.
Teori Praktik Sosial Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah pemikir sosial yang fokus pada kajian bahasa sebagai instrument tindakan atau praktik sdeocial (Pierre Bourdieu : 2007) dalam (Ningtyas, 2015 :154). Pierre Bourdieu merupakan seorang filsafat yang terkenal dengan kritiknnya tentang dualisme subjektivisme dan objektivisme, yang akhirnya ia melahirkan gagasannya yaitu struktualisme genetik yang tujuannya adalah untuk memahami asal – usul struktur sosial dan asal – usul kecenderungan para agen sosial terhadap struktur yang ada. Cara berpikir ini melihat bahwa struktur objektif dan representasi - representasi subjektif , agen dan pelaku, terjalin berkelindan secara dialektif. Cara berpikir inilah yang disebut di atas sebagai strukturalisme genetik (Krisdiananto, 2014).
Pierre Bourdieu menekankan bahwa subjektivisme dan objektivisme tidak memadai untuk melihat realitas sosial, untuk itu dia memfokuskan perhatiannya pada praktik.
Dengan adanya struktualisme genetik terjadi hubungan dialektik antara hubungan dibelakang agen dan tindakan yang dilakukan agen. Dengan strukturalis, berarti sosiologi berusaha mencari proses pola relasi yang bekerja dibelakang agen.
Sementara dengan konstruktuvis, sosiologi berarti menyelediki persepsi common sense dan tindakan individu. Common sense merupakan realitas sosial, yang oleh kalangan fenomenologis dan etnometodologis dilihat hadir secara terpola dan terkadang diterima begitu saja oleh seseorang (Poloma: 2003) dalam Krisdinanto : 199.
Pierre Bourdieu memahami praktik sebagai dinamika hubungan timbal balik antara internalisasi ekternalitas dan eksternalittas internalisasi. Serta praktik merupakan pertemuan antara struktur objektif dan pengertian subjetif ,struktur dan agen .Hingga pada akhirnya Pierre Bourdieu menyodorkan rumus generatif tentang praktik sosial dengan persamaan
(Habitus X Modal ) + Arena = Praktik Sosial.
Yang berguna untuk mendamaikan pertikaian objektivisme dan subjektivisme.
Habitus adalah hasil dari pembelajaran selama bersosialisasi dimasyarakat. Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.
Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat
halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar (Takwin, 2009) dalam Mahingut Siregar : 80. Habitus dibentuk dari ranah (field), jadi setiap individu agen memiliki habitus berbeda dengan setiap agen lainnya sesua ranahnya. Habitus muncul dalam keseluruhan relasi-relasi sosial dan makna, misalnya dalam keterlibatan interaksi dengan orang lain, akan tetapi terjadi tanpa artikulasi eksplisit ( Mustikasari , 2023 ).
Ranah (field) menjadi medan pertarungan setiap agen untuk mendapatkan berbagai sumber. Di dalam ranah/arena para agen bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber maupun kekuatan simbolis (Siregar , 2016).
Konsep habitus tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai ranah (field), karena keduanya saling mengandaikan hubungan dua arah: strukturstruktur objektif (struktur-struktur bidang sosial) dan struktur struktur habitus yang telah terintegrasi pada perilak
u
(Mahar dan Harker : 2010) dalam Nanang Krisdinanto : 200. Habitus berada dipikiran para agen sedangkan ranah sesuatu hal diluar agen. Pertarungan dalam ranah menurut Pierre Bourdieu bukan diartikan sebagai aksi fisik melainkan simbolik, pertarungan disini dilakukan oleh para agen agen yang memperebutkan sebuah modal yang tujuannya untuk memastikan perbedaan dengan agen yang lain. Dengan adanya perbedaan tersebut si aktor mendapat sumber kekuasaan simbolis dan kekuasaan simbolis akan digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut (Peter Jackson : 2009) dalam ( Mangihut Siregar, 2016)Modal (capital) menurut Pierre Bourdieu dalam Kusdiananto : 2014 menyebutkan bahwa sumber daya yang ada pada suatu ranah tidak selalu berupa materi. Pierre Bourdieu menyampaikan tentang beberapa modal yaitu modal ekonomi, modal simbolik, modal sosial dan modal kultural. Modal dikategorikan sebagai kekuatan yang spesifik yang berada atau beroeprasi dalam ranah. Setiap ranah tertentu mengharuskan seseorang untuk memiliki modal khusus (Haerussaleh, 2021). Modal ekonomi merupakan modal yang bisa ditukarkan secara langsung dan dipatenkan sebagai hak milik yang meliputi alat produksi, materi, dan uang. Namun Bourdieu tetap menganggap penting modal ekonomi, yang di antaranya adalah alat-alat produksi (mesin, tanah, tenaga kerja), materi (pendapatan, benda-benda), dan uang ( Krisdinanto, 2014). Modal simbolik merupakan modal yang tidak bisa lepas dari kekuasaan simbolik, adanya kekuasaan simbolik juga karena adanya modal simbolik. Kuasa simbolik adalah kekuasaan untuk mendapatkan setara dengan yang diperoleh melalu kekuatan fisik dan ekonomi (Bourdieu: 1993) dalam Krisdinanto : 203. Modal sosial atau jaringan sosial ini dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa (Bourdieu: 1993; Haryatmoko: 2003) dalam Krisdinanto : 204. Modal kultural dapat diproduksi melalui pendidikan formal ataupun berupa keturunan (Haerussaleh, 2021). Jadi bisa dikatakan modal kulturan bisa berupa pengetahuan atau intelektualitas yang di dapat dari pendidikan maupun keturunan.
Setiap agen individu akan yang mampu menguasi modal dengan habitusnya pada sebuah ranah maka dia berhak atas kekusaan yang ia dapatkan. Seseorang yang menguasai kapital dengan habitus yang memadai akan menguasai arena dan memenangkan pertarungan sosial karena di dalam arena selalu terjadi pertarungan sosial (Wiranata, 2020) dalaM ( Mustikasari , 2023 ). Jadi dapat disimpulakan pada sebuah praktik sosial yang digagas oleh Pierre Bourdieu terjadi interaksi secara sadar maupun tidak sadar antara habitus, modal serta ranah.
Pola Relasi Heri Pemad dalam Praktik Sosial Pierre Bourdieu
Bisa lihat dari ketiga podcast yang mengulas tentang Heri Pemad dan keberhasilannya membangun ARTJOG, adanya sebuah perjalanan panjang yang dilakukan oleh Pemad dari ketika ia masih kecil yang dianggap pintar menggambar sampai ia harus “ngenger” di Yogyakarta sebelum ia lolos ASRI, hingga di mana ia mampu melihat kebolongan yang ada pada medan seni rupanya saat itu dan berupaya untuk mengatasinya, kegelisahan melihat perselisihan dan ketimpangan di medan seni rupa Yogyakarta membuat ia semakin yakin untuk membangun ARTJOG.
Heri Pemad dalam membangun sebuah ARTJOG tentu tidak sendiri. Dijelaskan pada ketiga podcast tersebut factor dibalik kesuksesannya membangun ARTJOG salah satunya adalah karena relasi yang ia dapatkan.
Pemad mendapatkan relasi berkat usaha dan
kebiasaanya yang selalu ingin tahu dan belajar megenai dunia seni rupa. Heri Pemad memang sudah terbiasa untuk membantu orang lain dibuktikan dengan beberapa podcast yaitu ketika masih tinggal dikampunya, kemudian ketika ia belum lolos ke ASRI dan memutuskan untuk mencari pengalaman dengan membantu salah satu dosen dan pengusaha di Yogyakarta.
Setelah di perkuliahanpun keaktifan sosok Heri Pemad dalam membantu orang lain begitu terlihat dari ia yang aktif dalam mejadi panitia pameran, dan puncaknya adalah ketika keluar kampus dan menjadi sosok pengirim undangan kepada para seniman. Berkat bantuan – bantuan yang Heri Pemad berikan kepada orang lain kini ia memiki banyak kepercayaan dari semua orang tersebut dan dari kepercayaan – kepercayaan itu ia mampu membangun ARTJOG sebuah festival yang sangat berdampak tinggi di medan seni rupa Yogyakarta.
Habitus Heri Pemad
Habitus terbentuk dari proses insteraksi di sebuah ranah pada ruang dan waktu. Setiap individu memiliki habitus yang berbeda, hal itu terjadi karena faktor perbedaan ranah pada tiap – tiap agen dan struktur sosial yang membentuknya baik dari pembelajaran dan pengasuhan. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas ( Mustikasari, 2023).
Habitus pada Heri Pemad dapat dilihat mulai dari keinginannnya menjadi seorang pelukis, di mana saat itu Pemad dikenal sebagai orang yang pintar
menggambar sehingga mendapat pujian dari lingkungan sekitarnya, tidak dijelaskan mengenai bakat yang didapat dari Heri Pemad. Selain itu dilihat dari lingkungan masa kecilnya Pemad dikenal baik karena suka membantu orang lain.
Di bangku SMA ia mulai mengenal seniman – seniman besar yang membuat ia semakin tertarik akan dunia seni lukis, serta ditambah dengan dukungan keluarganya yaitu kakeknya untuk melanjutkan mimpinya di sebuah institusi seni di Yogyakarta.
Jika melihat kembali konsep habitus, yaitu habitus dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sekitar ,cita – cita menjadi seorang pelukis salah satu faktornya adalah pengaruh dari sekitar yang senang akan bakat Pemad yaitu menggambar, selain itu ada sebuah kebisaan yang Pemad yang lakukan di lingkungan masa kecilnya yaitu senang membantu orang lain, sehingga masyarakat menilai Pemad seorang yang baik. Hal tersebut sama dengan konsep habitus yang selain habitus dipengaruhi juga mempengaruhi (Krisdinanto, 2014).
Habitus pada Heri Pemad juga dapat dilihat ketika ia mulai melanjutkan mimpinya di Yogyakarta. Meskipun adanya perbedaan suasana lingkungan dengan kampung kecilnya, tidak membuat kebiasaannya yang membantu orang hilang melainkan semakin meningkat, hal tersebut terjadi karena ke penasaran Heri Pemad akan dunia seni rupa. Hingga pada akhirnya ia banyak merambantu orang lain dan membangun sebuah kepercayaan, hal ini memang sengaja dilakukan guna menambah wawawasan dan
pengalamannya. Semakin bertambahnya pengalaman dan pengetahuannya, dunia seni rupa membuat habitus baru pada Heri Pemad yaitu kekritisan dan kegilaan pemikiran terbukti pada perhelatan ARTJOG yang selalu membawa suasana baru dan pernah menjadi sebuah kontroversi. Namun itulah cara berpikir Heri Pemad yang selalu kritis dan gila yang ternyata membawa dampak pada medan seni rupa Yogyakarta berkat adanya ARTJOG.
Bisa disimpulkan bahwa habitus memang dipengaruhi dan memparuhi sebuah ranah, melihat Heri Pemad sebagai agen yang memiliki habitus kemudian dipengaruhi dan mempengaruhi medan seni rupa Yogyakarta.
Selain itu dalam ranah (field) terjadi pertaruhan sumber daya berupa modal yang berguna untuk menunjang dan melanjutkan keberhasilan suatu agen. Dalam konsep modal Bourdieu menyebutkan ada empat modal yaitu, modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal kultural. Modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik (Bourdieu, 1995) memungkinkan untuk membentuk struktur lingkup social.
Modal Heri Pemad
Modal disebutkan oleh Pierre Bourdieu sebagai sumber daya yang gunanya adalah untuk mempermudah keberhasilan setiap agen individu, Bourdieu juga menambahkan bahwa sumber daya tidak hanya materi saja namun sumber daya lain, yang ia kemukakan menjadi empat jenis modal yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal kultural (Krisdinanto, 2014).
Modal Heri Pemad, jika dilihat dari data
berupa video podcast ada berbagai modal yang ia dapatkan akibat dari perjalanannnya dan habitusnya yang selalu berbuat baik dan selalu ingin belajar. Ditambah dengan medan seni rupa Yogyakarta yang kental akan pengetahuan seni rupa menambah semakin banyak modal yang Pemad dapatkan, baik dari modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal kultural.
Bisa dilihat bahwa relasi menjadi modal yang sering disebut karena memang dengan relasi inilah Pemad mendapatkan berbagai modal lain hingga mampu membangun ARTJOG.
1. Modal Ekonomi
Modal ekonomi merupakan jenis modal yang relatif paling independen dan dan fleksibel karena modal ekonomi secara mudah bisa digunakan atau ditransformasi ke dalam ranah-ranah lain serta fleksibel untuk diberikan atau diwariskan pada orang lain (Krisdinanto, 2014). Modal ekonomi merupakan modal yang bisa secara langsung di dapat dan dipatenkan seperti alat – alat produksi, uang. Melihat podcast Heri Pemad tidak secara langsung Heri Pemad menjelaskan mengenai modal ekonomi, namun yang jelas, modal ekonomi yang ada pada Heri Pemad adalah keuntungan pada setiap event ARTJOG jika melihat keseluruhan podcast Heri Pemad. Tidak banyak disinggung mengenai modal ekonomi, namun lebih banyak menyebutkan modal sosial.
2. Modal Sosial
Modal sosial adalah kumpulan
sumber daya aktual dan potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan yang tahan lama berupa hubungan saling kenal dan pengakuan yang kurang lebih terlembagakan – atau dengan kata lain, keanggotaan dalam suatu kelompok (Bourdieu, 1986). Melihat konsep Bourdieu modal sosial berkaitan dengan jaringan, relasi.
Heri Pemad sering sekali membahas tentang relasi maupun kepercayaannya sebagai modal awal membangun ARTJOG. Pencapaian terbesar membangun ARTJOG tidak lepas dari relasi yang dimilikinya. Dari beberapa video dijelaskan mengenai Relasinya terhadap para seniman, kolektor, geleri dan semua agen – agen seni terutama di Yogyakarta membawa keuntungan terbesar bagi Heri Pemad.
Hal ini terjadi akibat dari kebiasaan Pemad yang senang membantu orang lain sehingga orang menjadi percaya pada Pemad, yang salah satunya adalah menjadi kurir undangan. Kepercayaan adalah penting karena keberadaan atau ketiadaannya berpengaruh pada apa yang akan kita lakukan. Selain itu, dengan adanya rasa saling percaya, suatu transaksi yang menguntungkan dapat berjalan dengan lancer (Santoso, 2020).
Relasi sebagai modal sosial dimanfaatkan oleh Pemad untuk bersama – sama mengatasi kegelisahannya
selama ini dan keinginannya membangun sebuah wadah untuk para seniman muda terutama di Yogyakarta untuk memamerkan karya dan berproses bersama. Hal itulah yang akhirnya membawa dampak luar biasa pada medan seni rupa Yogyakarta saat itu, ketika ARTJOG muncul..
3. Modal Simbolik
Modal simbolik tidak lepas dari sebuah kekuasaan simbolik. Kekuasaan Kuasa simbolik adalah kekuasaan untuk mendapatkan setara dengan yang diperoleh melalu kekuatan fisik dan ekonomi (Bourdieu: 1993) dalam Krisdinanto : 203. Modal simbolik berkaitan dengan penghargaan, kehormatan. Bourdieu melihat modal simbolik atau simbolic capital (seperti : harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial (Hakim ,2016).
Berdasarkan data berupa video podcast Heri Pemad dan ARTJOG modal simbolik yang terlihat yaitu ketika ia mendapatkan penghargaan di ISI Yogyakarta sebagai pemenang lomba lukis cat air terbaik, kemudian penghargaan menjadi direktur artistik ARTJOG. Hal tersebut berkat kegigihan Pemad dalam mewujudkan impiannya.
4. Modal Kultural
Modal budaya atau modal kultural
terkait salah satunya dengan kualifikasi diri terkait intelektual. Modal kultural dapat diproduksi melalui pendidikan formal ataupun berupa keturunan (Haerussaleh, 2021). Modal budaya erat kaitannya juga dengan intelektualitas.
Melihat video podcast Heri Pemad dijelaskan bahwa ISI Yogyakarta (ASRI) menjadi tempat yang banyak membawa dampak pengetahuan seni, meskipun bukan hanya di ISI Yogyakarta saja pegetahuann akan seninya bertambah, namun itu semua berkat pengalaman dan kebiasaan Pemad yang selalu ingin tahu dan ingin belajar dengan siapapun.
terlihat pada video podcast Heri Pemad yang menyebut “sok akrab” dan itu memang cara dia untuk menggali pengetahuan seni rupa sebanyak – banyaknya, Hingga suatu ketika ia telah mendapatkan banyak pengalaman dan wawasan lahir intelektulitas seni yang gila dari Heri Pemad yang berpengaruh pada medan seni rupa Yogyakarta. Berbagai aspek modal buaya seperti kemampuan berbicara, bersikap, bertutur kata diwujudkan melalui proses internalisasi dan penubuhan yang berupa disposisi tubuh dan pikiran yang dihargai di wilayah tertentu (Haerussaleh, 2021).
Jika ditarik kesimpulan, modal – modal yang digagas oleh Bourdieu yang diterapkan pada Pemad memiki keterkaitan satu sama lain, terlihat jelas disini modal yang paling jelas adalah
modal sosial yaitu relasinya dengan para agen – agen medan seni rupa dan masayarakat yang notabene bukan seni.
Modal tersebut ditukar dengan beberapa modal seperti modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik. Modal dapat dipertukarkan antara modal yang satu dengan modal yang lainnya, modal juga dapat diakumulasi antara modal yang satu dengan yang lain. Akumulasi modal merupakan hal yang sangat penting di dalam ranah (Harker, Richard, dkk. (ed), 2009) dalam Siregar : 2.
Modal – modal yang didapat dari
Pemad merupakan bentuk
perjuangannya dan usahannya dalam mewujudukan impiannnya berbekal habitus yang ia bentuk secara sadar maupun tidak sadar pada sebuah ranah.
Ranah Heri Pemad (Medan Seni Rupa Yogyakarta)
Konsep ranah atau arena atau medan (field) merupakan ruang atau semesta sosial tertentu sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Di dalam ranah/arena para agen bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber maupun kekuatan simbolis (Siregar ,2021).
Ranah menjadi wadah modal-modal yang nantinya akan diperebutkan oleh tiap agen dengan habitus yang mereka milki.
Berdasarkan video podcast Heri Pemad , ada dua medan yang diapaparkan yaitu medan dimana Pemad masih kecil yang bercita – cita menjadi seorang pelukis yaitu di daerah Sukoharjo. Kemudian medan kedua adalah
Yogyakarta yang membawa dampak besar bagi Pemad dan masyarakat Yogyakarta.
Sebelum merambah ke medan seni rupa Yogyakarta, medan ketika Pemad masih kecil yaitu di Sukoharjo juga penting untuk diulas karena disitulah akhirnya lahir impian seorang Pemad yang ingin menjadi pelukis sebab keterampilannya menggambar dan dukungan dari sekolah dan keluarga ia belajar. Hal itulah yang mendasari Pemad untuk menggapai mimpinya dengan bersekolah di ISI Yogyakarta.
Yogyakarta memang memiliki banyak seniman – seniman besar, karena memang Yogyakarta memilki Institusi Seni yang sudah berpuluh – puluh tahun eksis yaitu ISI Yogyakarta yang dulu bernama ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Yogyakarta telah menghasilkan banyak sekali seniman hebat dengan karyanya yang sudah terkenal baik di dalam maupun luar negri seperti Affandi, Eko Nugroho, Robby Dwi Antono, Edi Sunarso, Irwanto Letho dan masih banyak lagi (Pienathan, 2020).
Medan seni rupa Yogyakarta memang sudah ada sejak dulu dan semakin berkembang, ditambah dengan kemunculan ARTJOG pada tahun 2008 yang didirikan oleh Heri Pemad.
Sebelum ARTJOG muncul event serupa sudah ada di Yogyakarta bernama Binnale Yogyakarta yang diselenggarakan pada tahun 1988.
Biennale Seni Lukis untuk pertama kali diselenggarakan pada tahun 1988 dan merupakan alih wujud dari Pameran Seni Lukis Yogyakarta (Nugroho, 2013).
Melihat medan seni rupa Yogyakarta
yang memang menjadi tempat para seniman, membuat Yogyakarta memilki banyak modal, dan hal itu telah dimanfaatkan oleh Pemad. Kembali lagi ke konsep habitus yang mana habitus dibentuk dan membentuk ranah pada ruang dan waktu tertentu. Pemad mengawali impiannya dengan berbekal bakat dan keingintahuannya tentang dunia seni rupa terutama manajemen seni dengan mencoba masuk ISI Yogyakarta yang dulu ASRI namun dia gagal selama tiga kali dan akhirnya lolos, disana yang notabenenya sebagai kota para seniman membuat intelektualitasnya bertambah mengenai dunia seni rupa serta mendapat jaringan sosial yang luas. Dengan pengetahuan dan pengalamannya ia menyadari kebolongan dan ketimpangan pada medan seni rupa di Yogyakarta dan menyelesaikannya dengan membangun ARTJOG, tentunya hal ini direspon baik oleh para agen – agen medan seni rupa di Yogyakarta.
Apalagi ditambah dengan pemikiran Pemad yang yang ingin mendekatkan seni sedekat dekatnya dengan masyarakat, direspon dan diapresiasi sangat baik oleh masyarakat Yogyakarta maupun luar Yogyakarta, hingga bisa dikatakan ARTJOG membawa dampak pada medan seni rupa Yogyakarta dan perekonomian Yogyakarta, dan sosok dibalik besarnya ARTJOG adalah Heri Pemad.
Bisa disimpulkan dengan banyaknya modal – modal yang ada di Yogyakarta, Pemad mampu mendapatkan dan memanfaatkan modal tersebut dengan baik bahkan membawa dampak luar biasa pada sekitar. Sama dengan konsep
ranah Bourdieu yang menyebutkan ranah sebagai tempat pertarungan dengan agen lain, disini Pemad telah memperlihatkan pertarungan antara para agen – agen seni yang ada di Yogyakarta dan Pemad bisa dikatakan unggul.
KESIMPULAN
ARTJOG merupakan sebuah festival seni terbesar di Yogyakarta yang membawa dampak luar biasa pada medan seni rupa Yogyakarta dan masyakarat Yogyakarta. Meskipun festival serupa pernah digelar sebelumnya namun tidak begitu eksis seperti ARTJOG. ARTJOG telah membawa dampak begitu banyak dan kehadirannya setiap tahun selalu ditunggu oleh seluruh lapisan masyarakat, wisatawan lokal bahkan dari mancanegara.
Melihat kesuksesan ARTJOG pasti ada sosok yang sangat berpengaruh yang bisa membuat ARTJOG tampil beda dengan festival seni yang lain. Sosok tersebut adalah Heri Pemad pendiri ARTJOG. Uniknya dari Heri Pemad adalah caranya dalam mebangun ARTJOG yaitu dengan bermodal kepercayaan dimana yang disampaikan pada video podcast yang mewawancarai Heri Pemad. Hal tersebut menarik untuk diulas mengingat cara tersebut cukup jarang dilakukan oleh orang lain atau seorang manajer. (Pemad, (BEGINU S6E15):
Heri Pemad, Merawat Kegilaan agar Waras dan Art Jog, 2023)
Dengan adanya teori praktik sosial dari Pierre Bourdieu ini dapat diketahui seluk beluk sosok Heri Pemad dalam membangun ARTJOG yang begitu berdampak pada medan seni rupa
Yogyakarta. Dalam konsep Bourdieu Pemad sebagai agen yang memilki habitus yang terbentuk dari suatu ranah yaitu Yogyakarta, di ranah tersebut ada modal atau sumber daya yang dipertaruhkan oleh para agen guna memudahkan keberhasilannya mewujudkan imipiannya. Heri Pemad yang bermimpi menjadi seorang pelukis berbekal bakat kebiasaan keingintahuannya mengenai dunia seni rupa mampu mendapatkan dan memanfaatkan modal modal yang ada di Yogyakarta baik modal ekonomi, modal simbolik, modal kultural dan modal sosial, dimana modal yang paling terlihat jelas adalah modal sosial yaitu relasi Heri Pemad yang begitu luas dan modal itulah yang mampu membangun ARTJOG.
Dari beberapa konsep praktik sosial Bourdieu dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ARTJOG bisa menjadi besar dan eksis yaitu faktor manajerial dan faktor medan. Meskipun Heri Pemad memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai seni dan manajemen seni, jika tidak didukung dengan medan yang memadai bisa dipastikan event sebesar ARTJOG tidak akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussamad, Z. (2021). Metode Penelitian Kualitatif. Makasar: Syakir Media Press.
Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. Greenwood, New York, New York State. Retrieved December 17, 2023, from https://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/fr/bourdieu-forms- capital.htm#n11
Cole, N. L. (2019). What Is Cultural Capital? Do I Have It? New York. Retrieved December 18, 2023, from https://www.thoughtco.com/what-is-cultural-capital-do-i-have-it-3026374
Darmawan, A. (2004). Bukit-Bukit PerhatianDari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno. Gramedia Pustaka Utama.
Dewi, N. M. (2021). Dinamika Art Fair di Indonesia - Pasar Seni Rupa ITB, Art jog, dan Art Jakarta (1972-2019).
Institut Seni Indonesia Surakarta, 1-21.
Dollu, E. B. (2020). MODAL SOSIAL : Studi tentang kumpo kampo sebagai Strategi Melestarikan Kohesivitas Pada Masyarakat Lanantuka di Kabupaten Flores Timur. Jurnal Warta Governare Vol.1.No.1.
Fashri, F. (2014). Pierre Bourdieu Menyikap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra.
Haerussaleh, & Huda, N. (2021). MODAL SOSIAL, KULTURAL, DAN SIMBOLIK SEBAGAI REPRESENTASI PELANGGENGAN KEKUASAAN DALAM NOVEL THE PRESIDENT KARYA MOHAMMAD SOBARY ( KAJIAN PIERRE BOURDIEU). METALINGUA Vol.6.No.1, 19-28.
Hujatnikajenong, A. (2015). Kurasi Dan Kuasa : kekuratoran dalam medan seni rupa kontenporer di indonesia.
Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri.
Jesica, E. S., & Budiman, C. (2019). Ranah Seni Rupa Indonesia : Kolektor, Pasar, dan Penasbihan Karya. Jurnal Imajinasi Vol.XIII No.2 , 75 - 88.
Krisdinanto, N. (2014). PIERRE BOURDIEU, SANG JURU DAMAI. Kanal. Vol 2,. No.2.
M, A. L., Nugraha, G. P., Fitri, I., Prawirosusanto, K. M., AB, M., Hutomo, P., . . . Taufik Nur Rachman, U. L. (2013).
MEMBACA ARSIP, MEMBONGKAR SERPIHAN FRIKSI, IDEOLOGI, KONTESTASI : Seni Rupa Jogja 1990-2010.
(I. S. Kuncoro, Ed.) Yogyakarta: Yayasan Indonesian Visual Archive.
Moeloeng, L. J. (2014). Metodelogi Penelitian Kuaitatif. Remaja Rosdakarya.
Mustikasari, M., Arlin, & Kamaruddin, S. A. (2023). Pemikiran Pierre Bourdieu Dalam Memahami Realitas Sosial.
Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Humaniora (KAGANGA), 9-14.
Ningtyas, E. (2015). PIERRE BOURDIEU, LANGUAGE AND SYNBOLIC POWER. Jurnal Poetika Vol. III No.2 , 154-157.
Nugeraha, M. A. (2015). Kajian Sosiologis Art Fair Dalam Seni Rupa Konten[orer Indonesia : ARTJOG DAN BAZAAR ART JAKARTA. Institut Teknologi Bandung , 1 -142.
Pemad, H. (2021, April 21). ARTJOG: Jogja, seniman Muda, Karya dan Seluk Beluknkya | Heri Pemad #Putcast.
Mojokdot.co. (P. EA, Interviewer) Retrieved November 28, 2023, from https://www.youtube.com/watch?v=4Q9qUmKe7iI&t=1031s
Pemad, H. (2022, Januari 27). #BicaraRupa Eps.2 | Heri Pemad. Galeri Nasional Indonesia. (Z. S. Negara, Interviewer) Retrieved November 29, 2023, from https://www.youtube.com/watch?
v=g53ceG41XtY&t=1823s
Pemad, H. (2023, Juni 30). (BEGINU S6E15): Heri Pemad, Merawat Kegilaan agar Waras dan Art Jog. Kompas.co. ( W. Nugroho, Interviewer) Retrieved November 28, 2023, from https://www.youtube.com/watch?
v=jGfdKym3hnc&t=11s
Pienathan, D. (2020). Pusat Seni Rupa di Yogyakarta Dengan Pendekatan Arsitektur Neo Vernakuler. Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 4.
Santoso, T. (2020). Memahami Modal Sosial. Surabaya: CV Saga Jawadwipa.
Siregar, M. (2016). Teori "Gado-Gado" Pierre-Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultural, 79-82.
Syahra, R. (2003). MODAL SOSIAL : KONSEP DAN APLIKASI. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 1 - 22.
Yuliantoro, M. N. (2016). ILMU DAN KAPITAL : Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu. PT Kanisius.