• Tidak ada hasil yang ditemukan

program studi keperawatan program sarjana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "program studi keperawatan program sarjana"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2022

PENGARUH AKTIVITAS FISIK CIRCUIT TRAINING TERHADAP REACTION TIME ANGGOTA KUSUMA NURSING CARE EMERGENCY

DI SURAKARTA

Rizqi Akhlaqul Karimah1), Yunita Wulandari2)

1)Mahasiswa Prodi Keperawatan Program Sarjana Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kusuma Husada Surakarta

2) Dosen Prodi Keperawatan Program Sarjana Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kusuma Husada Surakarta

[email protected]

ABSTRAK

Penurunan aktivitas fisik yang disebabkan akibat pemberlakuan lockdown dan physical distancing karena penyebaran Covid-19 yang semakin meluas dapat menyebabkan reaction time terganggu. Reaction time yang lebih lambat dari normal saat merespon kondisi kegawatdaruratan dapat berakibat fatal bagi pasien sehingga akan memperparah cedera dan meningkatkan risiko mortalitas. Salah satu alternatif untuk meningkatkan reaction time yaitu dengan melakukan aktivitas fisik circuit training. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh aktivitas fisik circuit training terhadap reaction time anggota KNC-Emergency di Surakarta.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasy experiment dengan desain pre and post test non-equivalent control group. Teknik sampel menggunakan total sampling dengan jumlah 32 responden. Uji analisa menggunakan uji paired sample t test dan uji independent sample t test.

Hasil uji paired sample t test menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dan kelompok kontrol memiliki pengaruh yang bermakna terhadap penurunan reaction time.

Perbedaan nilai reaction time pada kelompok perlakuan antara sebelum dan sesudah intervensi adalah 567,38 menjadi 504,56 milisekon, dengan selisih 62,82 milisekon.

Perbedaan nilai reaction time pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi adalah 566,00 menjadi 520,56 milisekon, dengan selisih 45,44 milisekon. Hasil uji independent sample t test menunjukkan bahwa reaction time dengan p value 0,270 (> 0,05).

Hal tersebut bermakna tidak terdapat perbedaan pengaruh antara pemberian aktivitas fisik circuit training dan jogging pada anggota KNC-Emergency. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas fisik circuit training dan jogging terbukti dapat menurunkan reaction time.

Kata Kunci : Circuit Training, Aktivitas Fisik, Reaction time Daftar Pustaka : 29 (2012-2021)

(2)

2

NURSING STUDY PROGRAM OF UNDERGRADUATE PROGRAM FACULTY OF HEALTH SCIENCES UNIVERSITY OF KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2022

THE EFFECT OF PHYSICAL ACTIVITIES OF CIRCUIT TRAINING ON THE REACTION TIME OF KUSUMA NURSING CARE EMERGENCY

MEMBERS IN SURAKARTA

Rizqi Akhlaqul Karimah1), Yunita Wulandari2)

1) Student of Nursing Study Program of Undergraduate Programs, Faculty of Health Sciences, University of Kusuma Husada Surakarta

2) Lecturers of Undergraduate Nursing Study Program, Faculty of Health Sciences, University of Kusuma Husada Surakarta

[email protected] ABSTRACT

The implementation of lockdown and physical distancing due to the massive spread of Covid-19 has led to a decrease in physical activity that interferes with reaction time.

Slow reaction time in responding to emergency conditions can be fatal for patients. It will exacerbate injuries and increase the risk of mortality. An alternative to improve reaction time is circuit training. This study aimed to determine the effect of circuit training physical activity on the reaction time of KNC-Emergency members in Surakarta.

The study adopted a quasi-experimental with a non-equivalent control group pre and post-test design. The sampling technique applied total sampling with 32 respondents.

The analysis test used a paired-sample t-test and an independent-sample t-test.

The paired t-test revealed that the treatment group and the control group had a significant effect on reducing reaction time. The differences in reaction time value in the pre-and post-intervention treatment groups were 567.38 to 504.56 milliseconds with a 62.82 milliseconds deviation. The difference reaction time value in the control group at pre and post-intervention was 566.00 to 520.56 milliseconds with a 45.44 milliseconds deviation. The independent sample t-test obtained a p-value of 0.270 (> 0.05) in the reaction time. It inferred that there was no difference in the effect of providing circuit training physical activity and jogging on KNC-Emergency members. Therefore, it proved that circuit training and jogging could improve reaction time.

Keywords: Circuit Training, Physical Activity, Reaction time.

Bibliography : 29 (2012-2021)

(3)

3

PENDAHULUAN

Aktivitassfisikayang rendah dapat mengakibatkan tubuhikurang sehat, sehinggaimenyebabkan mudah lelah, mengantuk, kurang fokus, dan memicu timbulnya berbagai penyakit. Komplikasi penyakit tidak menular akibat kurangnya aktivitas fisik seperti obesitas, diabetes, hipertensi, gangguan jantung, penyakit pernapasan kronis, dan kanker.

Aktivitassfisikiyang rendah berhubungan dengan risiko penyakitijantung sebesar 24%, stroke sebesar 16% dan diabetes sebesar 42% (Callow et.,al., 2020).

Selain itu, style hidupikurang gerak dapat berakibatipada penurunan fungsi kognitif dan dapat mempengaruhi waktu yang lama dalam bereaksi (Chang et.,al., 2012).

Selama pandemi Covid-19 pemerintah telah memberlakukan physical distancing untuk mencegah dan mengurangi penyebaran virus. Penerapan physical distancing membuat orang- orang sulit untuk melakukan olahraga maupun aktivitas fisik di luar rumah.

Menurut WHO (2018) orang yang berolahraga secara tidak teratur memiliki 20%-30% peningkatan risiko kematian dini dibandingkan dengan orang yang berolahraga secara teratur setiap minggu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Tyrol, Austria menunjukkan hasil bahwa sebelum adanya pandemi Covid-19 sebanyak 19% responden tidak pernah olahraga, kemudian presentase ini meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu sebesar 41% selama periode pandemi Covid-19 (Schnitzer et.,al, 2020).

Hasiltsurvei perusahaan riset Ipsos (2020) menunjukkan sebesar 35%

respondenriaktivitas fisik nyanmenurun, sebanyak 11% responden tidak melakukan aktivitas fisik selamaaberada di rumah saat pandemi Covid-19.

Kemudian, sebesar 31% responden menyatakannaktivitasnfisikkmerekaatida k berubah meskipun hanyaaberadaadi rumah. Adapun sebesar 20% menyatakan aktivitas fisik mereka lebih banyak ketika

berada di rumah. Menurut Riskesdas (2018) terjadi penurunan aktivitas fisik penduduk Jawa Tengah yakni sebesar 21% pada tahunn2013 dan 27%

padaatahunn2018.

Aktivitas fisik yang rendah juga dapat mengurangi kecepatan motorik, sehingga kecepatan reaksi dan koordinasi motorik terganggu serta terkesan lamban.

Kusuma Nursing Care Emergency (KNC- E) merupakan unit kegiatan mahasiswa yang memiliki fungsi utama memberikan bantuan pelayanan di bidang kegawatdaruratan, manajemen bencana, dan pelayanan medis keperawatan kepada yang membutuhkan. KNC-E merupakan salah satu organisasi yang terdampak akibat Covid-19. Dimana aktivitas para anggotanya menurun selama pandemi Covid-19 karena seluruh program kegiatannya dilakukan secara online.

Paramedis pentinggmemiliki waktuureaksiyyang cepat agar terbiasa dalam menghadapi situasi dan kondisi yangmmemerlukan kecepatanmdalam bertindak. Semua paramedis harus memiliki beberapa keunggulan dalam keterampilan kognitif dan motorik.

Salah satu alternatif aktivitas fisik yang dapat dilakukan paramedis yang bertugas pada kondisi kegawatdaruratan untuk meningkatkan waktu reaksi yaitu dengan Circuit Training. Circuit Training merupakan salah satu jenis latihan fisik yanggdilakukanndengan membentukkbeberapaapos latihan.

Latihanninindapat dilakukan dilapangan terbuka maupun lapangan tertutup.

Dimana latihan Circuit Training ini menggabungkan elemen kondisi fisik secara menyeluruh untuk meningkatkan komponen biomotorik secara keseluruhan. Adapun komponen tersebut yaitu kekuatan, daya tahan kardiovaskuler, kelincahan, ketepatan, kecepatan, waktu reaksi, kelentukan, keseimbangan, dan tingkat kewaspadaan (Dewi, Yoda, dan Wahyuni, 2016).

(4)

4 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kampus Universitas Kusuma Husada Surakarta pada tanggal 07-19 Februari 2022. Intervensi dilaksanakan 5 kali seminggu selama 2 minggu. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan desain penelitian pre and post test non-equivalent control group.

Sampel pada penelitian ini adalah 36 responden dan terdiri dari kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Ditengah intervensi terdapat 4 responden terdiri dari 2 kelompok intervensi dan 2 kelompok kontrol yang mengalami drop out. Variabel independen kelompok intervensi pada penelitian ini adalah aktivitas fisik circuit training, dan kelompok kontrol adalah aktivitas fisik jogging sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah reaction time.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Standart Operating Prosedure (SOP) circuit training dan software Attentional Network Test (ANT). Cara pemberian aktivitas fisik circuit training adalah sebelum melakukan treatment responden diukur reaction time terlebih dahulu, kemudian diminta untuk melakukan gerakan circuit training yang terdiri dari 6 pos yaitu : 1) Push up, 2) Sit up, 3) Back up, 4) Squat trush, 5) Jumping jack, 6) Tuck jump. Masing-masing gerakan di setiap pos dilakukan selama 30 detik dengan repetisi 10 kali gerakan, dan setelah selesai melakukan gerakan di setiap pos responden istirahat selama 20 detik sebelum melanjutkan gerakan pos berikutnya. Satu sirkuit diselesaikan dalam waktu 5 menit. Intervensi dilakukan selama 10 kali pertemuan.

Selanjutnya reaction time diukur kembali pada post test circuit training.

Analisa pengaruh pemberian treatment dengan uji paired sample test dan untuk mengetahui perbedaan efektifitas antara kelompok intervensi

dan kontrol menggunakan uji independent sample test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

Tabel 1. Distribusi karakteristik usia anggota KNC-Emergency di Surakarta (n=32)

Berdasarkan tabel 1 karakteristik responden menurut usia pada penelitian ini terdiri dari 32 responden cukup bervariasi dari yang termuda berusia 17 tahun sampai yang tertua berusia 20 tahun. Rata-rata usia responden pada kelompok perlakuan adalah 18,81 tahun, sedangkan rata-rata usia responden pada kelompok kontrol adalah 19 tahun.

Menurut Kementerian Kesehatan RI usia remaja terbagi menjadi 2 tahap yaitu remaja awal (usia 12-16 tahun), dan remaja akhir (17-25 tahun). Usia semua responden dalam penelitian ini termasuk dalam kategori usia remaja akhir.

Menurut Kosinski (2014) usia mempengaruhi kecepatan reaction time dimana reaction time akan lebih cepat pada bayi sampai dengan seseorang yang berusia 20-an akhir, kemudian melambat perlahan-lahan sampai usia 50-an dan 60- an, kemudian perlambatan menjadi lebih cepat sejak awal usia 70-an. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Triyanti

& Azali (2017) menjelaskan bahwa usia 17-23 tahun merupakan usia pertumbuhan yang paling drastis, kerja saraf yang cepat menyebabkan respon terhadap suatu hal menjadi lebih cepat.

Didukung oleh penelitian Andriani (2019) menyatakan bahwa usia dapat mempengaruhi kecepatan seseorang dalam menerima dan merespon suatu informasi.

Sejalan dengan penelitian Setyawati (2014) menjelaskan bahwa pada umur yang lebih tua terjadi penurunan

Kelompok Mean Min Max Perlakuan 18,81 18 20

Kontrol 19,00 17 20

(5)

5

kekuatan otot yang dapat menyebabkan otot menjadi semakin melemah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa usia responden yang terlibat dan mengikuti penelitian ini tidak mempengaruhi hasil reaction time karena usia remaja dalam penelitian ini pada kelompok perlakuan berada pada rentang 18-20 tahun, sedangkan rentang usia kelompok kontrol adalah 17-20 tahun. Kategori usia remaja pada penelitian ini adalah remaja akhir (17-25 tahun) dimana kondisi responden sedang dalam performa yang baik. Pada rentang usia 17-25 tahun ini hubungan saraf dengan otot lurik, otot polos, dan otot jantung masih sangat baik.

Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin (n=32)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada anggota Kusuma Nursing Care Emergency, data jenis kelamin responden sebagian besar kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol adalah perempuan, kelompok perlakuan sebanyak 11 orang (68,8%) dan kelompok kontrol sebanyak 10 orang (62,5%). Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi reaction time, dimana laki-laki lebih cepat reaction time nya dari pada perempuan (Kosinski, 2014). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh M. Karia (2013) yang mendapatkan hasil bahwa laki-laki memiliki waktu reaksi yang lebih cepat dibandingkan perempuan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Prabhavathi et.,al., (2017) yang menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran laki-laki memiliki reaction time yang lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.

Perbedaan waktu reaksi antara laki- laki dan perempuan dapat terjadi karena laki-laki mempunyai massa otot yang lebih banyak dibandingkan perempuan, sehingga energi yang dihasilkan lebih banyak dikeluarkan oleh laki-laki. Hal ini salah satunya disebabkan oleh testosterone yang paling banyak dihasilkan pada tubuh laki-laki yang meningkatkan pembentukan protein struktural tubuh pada jaringan otot.

Kondisi ini juga yang mengakibatkan penambahan massa otot pada pria yang 50% lebih banyak dibandingkan perempuan (Habut et al., 2016). Pada perempuan, lebih banyak memiliki hormone estrogen yang membuat penumpukan lemak yang akan ditimbun pada otot lurik. Selain itu, berdasarkan berbagai tingkat steroid seks perempuan selama fase siklus menstruasi akan menolak ikatan antara sinaps dengan reseptor sehingga perempuan menjadi tidak sensitif supaya perempuan ketika dalam fase menstruasi akan fokus pada fase menstruasinya.

Berdasarkan analisa peneliti, mayoritas responden dalam penelitian ini adalah perempuan, dimana perempuan memiliki hormone testosterone yang lebih rendah daripada pria untuk dapat mempengaruhi peningkatkan massa otot yang signifikan seperti pria. Pada perempuan memiliki lebih banyak hormon estrogen yang membuat penumpukan lemak yang akan ditimbun pada otot lurik. Sehingga dapat mengakibatkan perubahan laju impuls dan mempengaruhi hubungan motorik sensorik dengan kecepatan reaksi sehingga reaction time akan menurun atau lebih lambat. Sehingga dari analisa diatas dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin sangat berkaitan dengan kecepatan reaction time.

Jenis Kelamin

Kelompok Perlakuan (n=16)

Frekuensi Presentase

Laki-laki 5 31,3 %

Perempuan 11 68,8 %

Total 16 100 %

Jenis Kelamin

Kelompok Kontrol (n=16)

Frekuensi Presentase

Laki-laki 6 37,5 %

Perempuan 10 62,5 %

Total 16 100 %

(6)

6 Tabel 3. Karakteristik responden

berdasarkan IMT (n=32)

Berdasarkan tabel 3 responden yang terlibat dalam penelitian ini pada kelompok perlakuan yaitu paling banyak responden memiliki rentang IMT 18,5- 25,0 dengan kategori normal berjumlah 7 orang (43,8%). Sedangkan pada kelompok kontrol, mayoritas responden memiliki rentang IMT dengan kategori normal berjumlah 13 orang (81,3%).

Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki IMT kurang atau lebih dari normal tidak memiliki perbedaan yang signifikan

dibandingkan dengan responden yang memiliki rentang IMT normal.

Menurut peneliti, terdapat responden yang memiliki IMT kurang dari normal tetapi memiliki reaction time yang cepat. Menurut asumsi peneliti, IMT tidak mewakili jumlah massa otot seseorang akan tetapi massa tubuh secara keseluruhan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Sedaud et.,al., 2014) bahwa pengukuran IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, pengukuran IMT pada olahragawan umumnya akan menghasilkan rasio yang lebih tinggi,

sehingga ketika

diklasifikasikan/dikategorikan akan merujuk pada overweight atau obesitas.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuhmani & Akhtar (2014) yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara IMT dan kecepatan reaksi. Akan tetapi hal ini tidak sejalan dengan penelitian Putri et.,al. (2017) yang menyatakan bahwa kelompok IMT kategori normal memiliki waktu reaksi yang paling cepat dibandingkan dengan kelompok IMT underweight dan overweight, sedangkan kelompok IMT kategori overweight memiliki waktu reaksi yang lebih cepat dibandingkan kelompok IMT underweight.

Penyebab lain yang mungkin menjadi faktor bahwa IMT tidak mempengaruhi reaction time karena jumlah sampel yang digunakan relatif sedikit dan sebagian besar responden memiliki rentang IMT yang normal (18,5-25,0) sehingga tidak didapatkan hasil penelitian yang lebih kompleks untuk mengetahui berbagai klasifikasi/kategori rentang IMT.

Tabel 4. Pre test reaction time kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada anggota KNC-Emergency

IMT

Kelompok Perlakuan (n=16) Frekue

nsi

Present ase

<17 (Kekurangan BB

tingkat berat)

5 31,3 % 17,0-18,4

(Kekurangan BB tingkat ringan)

2 12,5 % 18,5-25,0

(Normal) 7 43,8 %

25,1-27,0 (Kelebihan BB tingkat ringan)

0 0 %

>27,0 (Kelebihan BB

tingkat berat)

2 12,5 %

Total 16 100 %

IMT Kelompok

Kontrol (n=16) Frekue

nsi

Present ase

<17 (Kekurangan BB

tingkat berat)

1 6,3 %

17,0-18,4 (Kekurangan BB

tingkat ringan)

1 6,3 %

18,5-25,0

(Normal) 13 81,3 %

25,1-27,0 (Kelebihan BB tingkat ringan)

1 6,3 %

>27,0 (Kelebihan BB

tingkat berat)

0 0 %

Total 16 100 %

Kelompok Mean Min Max Perlakuan 567,38 503 640 Kontrol 566,00 503 641

(7)

7

Berdasarkan tabel 4 rata-rata nilai reaction time pada kelompok perlakuan sebelum diberikan intervensi adalah 567,38 milisekon, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata hasil reaction time sebelum diberikan intervensi adalah 566,00 milisekon. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nofita et.,al., (2019) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan perbedaan waktu reaksi seseorang, misalnya usia, gender, beban kerja, kelelahan, aktivitas fisik, dan lingkungan kerja. Selain itu, penggunaan tangan kanan dan kiri, nutrisi juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi reaction time (Andriani et.,al., 2019).

Pemenuhan nutrisi sangat penting yaitu berperan untuk mengaktifkan daya kerja tubuh sehingga tubuh tidak mudah lelah salah satunya dengan makan pagi dan konsumsi gizi yang baik (Wardoyo &

Mahmudiono, 2013). Selain itu, faktor kelelahan dapat menyebabkan reaction time terganggu karena meningkatnya asam laktat dalam darah dikarenakan kurang nya aktivitas fisik seseorang maka dapat menutup antara aktin dan miosin ketika berikatan sehingga menghambat laju impuls.

Menurut analisa peneliti bahwa reaction time nya masih kurang cepat.

Hal ini dikarenakan berbagai latar belakang aktivitas yang dilakukan oleh responden sebelum diberikan intervensi, diketahui bahwa sebelum diberikan intervensi responden tidak ada yang melakukan aktivitas aerobik yang intens, mayoritas responden sebelum diberikan intervensi hanya melakukan aktivitas fisik duduk, berdiri, berpindah tempat, dan beberapa responden hanya melakukan olahraga jogging sebulan sekali. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaction time yang dapat dikontrol seperti kelelahan, aktivitas fisik, dan nutrisi maka dapat mengakibatkan reaction time pada seseorang menjadi semakin lambat,

sehingga perlu adanya intervensi untuk meningkatkan reaction time salah satu alternatifnya dengan diberikan aktivitas fisik circuit training.

Tabel 5. Post test reaction time kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada anggota KNC-Emergency

Berdasarkan tabel 5 rata-rata nilai reaction time pada kelompok perlakuan setelah diberikan intervensi aktivitas fisik circuit training adalah 504,56 milisekon, sedangkan pada kelompok kontrol rata- rata hasil reaction time setelah diberikan intervensi aktivitas fisik jogging adalah 520,56 milisekon.

Latihan/training merupakan suatu gerak fisik yang dilakukan secara berulang-ulang dalam jangka yang lama, secara progresif dan individual, yang bertujuan untuk memperbaki sistem serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar dapat mencapai penampilan atau performa yang optimal (Dewi et.,al., 2016). Penelitian ini didukung oleh penelitian Ritesh & Tejas (2012) yang menyatakan bahwa reaction time dapat memendek 10-20% dengan diberikan latihan fisik. Hal ini dapat diamati dengan jelas pada atlet dan non atlet dimana waktu reaksi atlet akan lebih cepat dibandingkan dengan non atlet, contohnya pelari sprint akan berlari lebih cepat daripada yang bukan pelari sprint.

Gerakan-gerakan circuit training dalam penelitian ini predominan menggunakan sistem metabolisme anaerob atau sistem energi yang tidak memerlukan oksigen. Hal ini dikarenakan bentuk-bentuk pelatihan circuit training ini dilakukan lebih cepat dengan nafas tetap seimbang sehingga tetap bisa bergerak dengan waktu kerja selama 30 detik yang lebih banyak memerlukan asam laktat dan energi sehingga tergolong dalam sistem glikolisis anaerob. Akibatnya pada latihan circuit training ini akan melatih

Kelompok Mean Min Max Perlakuan 504,56 452 586 Kontrol 520,56 445 611

(8)

8 komponen biomotorik otot secara

keseluruhan dan dapat meningkatkan massa otot sehingga dapat memperbaiki koordinasi antara saraf dan otot (Oliveira-Junior et.,al., 2021).

Dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai reaction time setelah diberikan intervensi mengalami penurunan yang artinya reaction time menjadi semakin cepat. Peneliti berasumsi bahwa kedua aktivitas fisik yang diberikan kepada masing-masing responden baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama berpengaruh dapat menurunkan reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency karena aktivitas fisik tersebut dapat menghubungkan saraf dengan otot jantung, otot polos, dan otot lurik secara baik. Aktivitas fisik circuit training dan jogging sama-sama meningkatkan massa otot dan kapasitas kebutuhan oksigen di dalam otot, sehingga menyebabkan semakin banyak aliran darah yang mencapai otak, selain itu juga dapat mengakibatkan kapasitas tempat pembentukan energi (mitokondria) bertambah, dan akan meningkatkan reaction time seseorang sehingga dapat merespon lebih cepat terhadap rangsangan apapun yang ada di sekitarnya.

Tabel 6. Analisis pengaruh aktivitas fisik circuit training terhadap reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency pada kelompok perlakuan

Variabel P Value

Pre-test

kelompok perlakuan

0,000 Post-test

kelompok perlakuan

Berdasarkan tabel 6 diatas diketahui bahwa hasil paired sample t test menunjukkan bahwa hasil reaction time pada pre test dan post test diberikan intervensi circuit training dengan nilai P Value = 0,000 (P Value < 0,005) yang bermakna ada pengaruh aktivitas fisik circuit training terhadap reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency di Surakarta. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan dari nilai reaction time pre test dan post test aktivitas fisik circuit training pada kelompok perlakuan, terjadi penurunan angka nilai reaction time yang artinya reaction time semakin meningkat.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi et.,al.,(2016) bahwa aktivitas fisik circuit training dapat meningkatkan reaction time. Di dukung oleh penelitian Oliveira-Junior et.,al., (2021) menunjukkan bahwa intervensi circuit training mampu meningkatkan tingkat kebugaran dan kualitas hidup pada orang dewasa dengan perilaku sedentary.

Pada penelitian ini, reaction time dapat diukur dengan melalui proses yaitu reseptor akan menghantarkan impuls rangsang ke otak melalui saraf sensorik.

Otak akan mengubah impuls rangsang menjadi informasi untuk melakukan reaksi terhadap rangsang tersebut (respon). Otak akan menghantarkan impuls reaksi ke saraf motorik. Saraf ini melekat pada serabut-serabut otot rangka yaitu neuromuscular junction, kemudian saraf motorik akan memerintahkan efektor untuk melakukan respon. Dalam hal ini efektor yang dimaksud adalah otot, sehingga otot bereaksi melakukan suatu gerakan (Sumiati et.,al., 2019).

Penelitian ini sesuai dengan penelitian (Devi & Madhuri, 2017) yang menunjukkan bahwa mahasiswa yang berolahraga secara teratur memiliki waktu reaksi visual yang lebih cepat dibandingkan mahasiswa yang tidak melakukan olahraga secara tertaur. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Devaki, 2019) bahwa latihan sirkuit memiliki peningkatan yang signifikan terhadap hasil waktu reaksi dengan taraf signifikansi 0,05.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa circuit training berpengaruh pada waktu reaksi karena adanya adaptasi saraf yang memperbaiki koordinasi antara saraf dengan otot jantung, otot polos, dan otot

(9)

9

rangka, selain itu juga adanya sinkronisasi pelepasan energi di sel otot.

Sehingga gerakan yang awalnya disadari seolah olah menjadi gerakan tidak disadari karena waktu reaksi dipercepat.

Tabel 7. Analisis pengaruh aktivitas fisik jogging terhadap reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency pada kelompok kontrol

Berdasarkan tabel 7 diatas diketahui bahwa hasil analisis uji t berpasangan menunjukkan bahwa hasil reaction time pada pre test dan post test diberikan intervensi jogging dengan nilai P Value = 0,000 (P Value < 0,005), yang bermakna aktivitas fisik jogging mempengaruhi hasil reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency di Surakarta.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ramadhan (2017) yang menyatakan olahraga intensitas sedang seperti hal nya jogging atau berlari kecil dapat menurunkan waktu reaksi. Di dukung oleh penelitian Hartono (2015) jogging merupakan olahraga yang dilakukan untuk menjaga kesehatan khususnya organ otak dan jantung yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran. Manfaat yang didapatkan dari jogging adalah merasa nyaman di otot selama aktivitas jogging hingga setelahnya (Purwanto, 2012).

Aktivitas fisik Jogging merupakan aktivitas aerobik yang membutuhkan intensitas rendah dan waktu yang lama.

Selain itu juga membutuhkan kehadiran oksigen dalam proses metabolisme. Saat seseorang melakukan aktivitas fisik aerobik yang adekuat, terjadi peningkatan kebutuhan oksigen. Proses tersebut mengakibatkan lebih banyak darah yang teroksigenasi mengalir ke otot-otot dari tubuh dan memberikan dampak positif pada fungsi motorik, peningkatan jumlah aliran darah di otak

ini dapat meningkatkan fungsi kognitif karena meningkatnya pasokan nutrisi yang diperlukan, seperti oksigen dan glukosa, namun proses ini tidak dapat menaikkan massa otot (Poels et.,al., 2015).

Dari analisa diatas peneliti berpendapat bahwa aktivitas fisik baik jenis aerob maupun anaerob sama-sama berpengaruh dapat menurunkan reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency karena aktivitas fisik tersebut dapat menghubungkan saraf dengan otot jantung, otot polos, dan otot lurik secara baik. Aktivitas fisik circuit training dan jogging sama-sama meningkatkan massa otot dan kapasitas kebutuhan oksigen di dalam otot, sehingga menyebabkan semakin banyak aliran darah yang mencapai otak, selain itu juga dapat mengakibatkan kapasitas tempat pembentukan energi (mitokondria) bertambah, dan akan meningkatkan reaction time seseorang sehingga dapat merespon lebih cepat terhadap rangsangan apapun yang ada di sekitarnya.

Tabel 8. Analisis perbedaan efektifitas aktivitas fisik circuit training dan jogging terhadap reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency

Variabel Kelompok P Value Circuit Training Perlakuan

0,270

Jogging Kontrol

Berdasarkan tabel 8 diatas diketahui bahwa hasil analisis menggunakan independent sample test diperoleh hasil bahwa p value = 0,270 (p value > 0,005).

Hal tersebut tidak terdapat perbedaan efektifitas antara aktivitas fisik circuit training dan jogging terhadap reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency. Kedua intervensi mengakibatkan penurunan nilai reaction time dari pre test dan post test. Dari hasil statistik penelitian nilai rata-rata post test kelompok perlakuan adalah 504,56 milisekon, sedangkan nilai rata-rata post test kelompok kontrol adalah 520,56. Hal tersebut secara kuantitas menunjukkan

Variabel P Value

Pre-test

kelompok kontrol

0,000 Post-test

kelompok kontrol

(10)

10 terdapat perbedaan, yakni kelompok

perlakuan dengan intervensi circuit training memiliki nilai reaction time yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan intervensi jogging. Akan tetapi, dari hasil uji statistik perbedaan efektifitas menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama berpengaruh dan efektif terhadap reaction time anggota Kusuma Nursing Care Emergency di Surakarta.

Hal ini mungkin disebabkan karena durasi latihan yang lebih pendek yakni hanya dilakukan selama 2 minggu dengan 10 kali pertemuan mengakibatkan belum terlihatnya perbedaan yang signifikan dari kedua intervensi tersebut.

Penelitian yang dilakukan Dewi et.,al., (2016) menyatakan bahwa untuk meningkatkan reaction time dilakukan pelatihan yang berulang-ulang selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali seminggu dan dilakukan selama 12 kali pertemuan. Hal ini sesuai dengan teori pelatihan yang menyatakan pelatihan merupakan suatu gerakan fisik yang dilakukan secara sistematis dan berulang- ulang dalam jangka waktu yang lama dengan tujuan memperbaiki sistem serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar mengalami peningkatan dalam mencapai penampilan yang optimal (Nala, 2012). Selain itu, peneliti dalam melakukan penelitian belum membedakan perlakuan yang diberikan kepada responden, karena diketahui bahwa jenis kelamin ini mempunyai struktur tubuh yang berbeda, fisiologi yang berbeda, sehingga pada setiap perlakuan antara laki-laki dan perempuan sebaiknya dibedakan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat pengaruh aktivitas fisik circuit training terhadap

reaction time pada anggota KNC- Emergency dengan P Value 0,000.

Hasil penelitian tersebut, diharapkan:

1. Setelah adanya penelitian ini, diharapkan paramedis yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan dapat menerapkan aktivitas fisik circuit training untuk meningkatkan skill kecepatan reaction time.

2. Diharapkan dapat menambah keterampilan motorik bagi KNC- Emergency untuk meningkatkan reaction time agar anggota KNC- Emergency memiliki waktu reaksi yang cepat dalam melakukan pertolongan pada korban/pasien.

3. Diharapkan dapat menjadi informasi untuk mempromosikan aktivitas fisik kepada semua masyarakat agar masyarakat selalu memiliki tubuh yang sehat dan bugar, serta dapat dipraktikkan oleh perawat untuk merancang strategi intervensi dalam meningkatkan reaction time dalam melakukan pertolongan kepada pasien.

4. Peneliti selanjutnya dapat menjadikan penelitian ini sebagai sumber referensi penelitian dengan tema yang sama dan modifikasi variabel yang berbeda. Serta bagi peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti tentang manfaat aktivitas fisik circuit training terhadap kesehatan tubuh manusia seperti nadi, tekanan darah, selain itu juga dapat membuat alat ukur inovasi (aplikasi) baru untuk meneliti aktivitas fisik terhadap fungsi kognitif, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, R., Purwanto, B., & Adriani, M. (2019). Uji Psikomotor Waktu Reaksi Pada Siswa Yang Sarapan Dan Tidak Sarapan. Amerta

Nutrition, 3(1), 7.

https://doi.org/10.20473/amnt.v3i1.

2019.7-12

(11)

11 Callow, D. D., Arnold-Nedimala, N.

A.,Jordan, L. S., Pena, G. S., Won, J., Woodard, J. L., & Smith, J. C.

(2020). The Mental Health Benefits of Physical Activity in Older Adults Survive the COVID-19 Pandemic.

American Journal of Geriatric Psychiatry, 28(10), 1046–1057.

https://doi.org/10.1016/j.jagp.2020.

06.024

Chang, Y. K., Labban, J. D., Gapin, J. I.,

& Etnier, J. L. (2012). The effects of acute exercise on cognitive performance: A meta-analysis.

Brain Research, 1453(250), 87–

101.

https://doi.org/10.1016/j.brainres.2 012.02.068

Devaki, D. D. (2019). Effect of Circuit Training and Aerobic Training on Reaction Time. 5, 81–88.

Devi, B., & Madhuri, K. (2017).

Comparative Study of Visual and Auditory Reaction Times on The Basic of Gender and Physical Activity Levels of Medical Students. Med Pulse International Journal of Physiology, 4, 04–06.

Dewi, N. M. S., Yoda, I. K., & Wahyuni, N. P. D. S. (2016). Pengaruh Circuit Training Terhadap Waktu Reaksi Dan Daya Ledak Otot Tungkai Siswa Peserta Ekstrakurikuler Bolabasket. Journal Ilmu Keolahragaan Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Keolahragaan, I.

Habut, M. Y., Nurmawan, I. P. S., &

Wiryanthini, I. A. D. (2016).

Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Aktivitas Fisik terhadap Kesimbangan Dinamis pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Erepo Unud,

831, 1–14.

https://simdos.unud.ac.id/uploads/f ile_penelitian_1_dir/599c69fad6ec fc2a1a488b9fb8ccbd00.pdf

Hartono, D. (2015). Pengaruh Olahraga Jogging Terhadap Kesehatan Fisik

dan Mental. PT. Remaja Rosdakarya.

Kosinski, R. J. (2014). A Literature Review on Reaction Time.

Retrieved

HttpbiaeclemsonedubpcbpLab110r eactionhtm 06042010, 10(August), 2006.

http://biology.clemson.edu/bpc/bp/

Lab/110/reaction.htm

M. Karia, D. R. (2013). Effect Of Gender Difference On Visual Reaction Time : A Study On Medical Students Of Bhavnagar Region.

IOSR Journal of Pharmacy (IOSRPHR), 2(3), 452–454.

https://doi.org/10.9790/3013- 0230452454

Nala, N. (2012). Prinsip Pelatihan Olahraga. Program Pasca Sarjana UNUD.

Nofita, S., Bakal, C., Salatoen, T., &

Prabaswari, A. D. (2019). Analisis Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Kecepatan Reaksi Calon Asisten Laboratorium XYZ. 2–3.

Oliveira-Junior, S. A., Boullosa, D., Mendonça, M. L. M., Vieira, L. F.

C., Mattos, W. W., Amaral, B. O.

C., Lima-Borges, D. S., Reis, F. A., Cezar, M. D. M., Vanderlei, L. C.

M., & Martinez, P. F. (2021).

Effects of circuit weight-interval training on physical fitness, cardiac autonomic control, and quality of life in sedentary workers.

International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(9), 1–19.

https://doi.org/10.3390/ijerph1809 4606

Perusahaan Riset IPsos. (2020). Aktivitas Fisik Mayoritas Masyarakat Indonesia Menurun selama Pandemi Covid-19.

Poels, M. M. F., Ikram, M. A., Vernooij, M. W., Krestin, G. P., Hofman, A., Niessen, W. J., Van Der Lugt, A., &

Breteler, M. M. B. (2015). Total cerebral blood flow in relation to

(12)

12 cognitive function: The

RotterdamScan study. Journal of Cerebral Blood Flow and Metabolism, 28(10), 1652–1655.

https://doi.org/10.1038/jcbfm.2008 .62

Prabhavathi, K., Hemamalini, R. V., Kumar, T. G., Amalraj, C., Maruthy, K. N., & Saravanan, A.

(2017). A correlational study of visual and auditory reaction time with their academic performance among the first year medical students. National Journal of Physiology, Pharmacy and Pharmacology, 7(4), 371–374.

https://doi.org/10.5455/njppp.2017.

7.1131828112016

Purwanto. (2012). Beda Pengaruh Jogging dan Latihan Jalan Cepat Terhadap Tingkat Kesegaran Jasmani. universitas Diponegoro Semarang.

Putri, N. K., Wibawa, A., & Primayanti, I. D. (2017). Perbedaan Waktu Reaksi Visual Antara Indeks Massa Tubuh Kategori Underweight, Normal, dan Overweight pada Siswa Sekolah Dasar Saraswati Tabanan. 1, 110–117.

Ramadhan, E. A. (2017). Pengaruh Aktivitas Fisik Intensitas Sedang Terhadap Waktu Reaksi Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Tahun 2016 [Universitas Muhammadiyah Palembang]. In Repository Universitas Muhammadyah Palembang. http://repository.um- palembang.ac.id/id/eprint/674/1/S KRIPSI500-170504389.pdf

Riskesdas. (2018). Hasil Utama RISKESDAS 2018. Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Ritesh, K., & Tejas, G. (2012).

Comparative Study Of Simple And Choice Visual Reaction Time On Medical Students Of Bhavnagar

Region. 3(7), 334–335.

Schnitzer, M., Kopp, M., Barth, M., &

Sch, S. E. (2020). COVID-19 stay- at-home order in Tyrol , Austria : sports and exercise behaviour in change ? 185, 218–220.

https://doi.org/10.1016/j.puhe.2020 .06.042

Sedaud, A., A, M., F, D., J, S., M, D., &

A, H. (2014). BMI, a Performance Parameter for Speed Improvement.

PLoS One, 9(2).

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/

articles/PMC393497/

Setyawati. (2014). Kecelakaan Kerja Kronis, Kajian Terhadap Tenaga Kerja, Penyusunan Alat Ukur Serta Hubungan Alat Ukur dan Produktivitas. Yogyakarta: UGM.

Shibili, N., & Akhtar, N. (2014).

Antropometry and Functional Performance of Elite Indian Junior Tennis Players. Journal of Science, 4(1), 55–59.

Sumiati, N. L., Antari, N. K., Andayani, N. L., & Ruma, I. made. (2019).

Perbedaan Waktu Reaksi Visual Berdasarkan Tingkat Aktivitas Fisik Pada Mahasiswa Kedokteran Universitas Udayana. 2(January), 119–123.

https://doi.org/10.4314/ajcem.v12i 3.

Triyanti, V., & Azali, W. (2017). Analisis Hubungan Aktivitas Dan Karakteristik Fisik Terhadap Waktu Reaksi. Jurnal Ilmiah Teknik Industri, 3(1), 18–24.

https://doi.org/10.24912/jitiuntar.v 3i1.506

Wardoyo, H. A., & Mahmudiono, T.

(2013). Hubungan Makan pagi dan Tingkat Konsumsi Zat Gizi dengan Daya Konsentrasi Siswa Sekolah Dasar (9th ed.). Media Gizi Indonesia.

World Health Organization (WHO).

(2018). The World Health Report.

https://www.who.int/newsroom/fac t-sheets/detail/physical-activity

Referensi

Dokumen terkait

Advanced Nursing Long Term Care Up-grading Skill Training •  Kurikulum Training Kurikulum Materi training disusun oleh School of Nursing , Na/onal Taipei University of Nursing

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2021 Analisis Kepatuhan Perawat Dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri Di Masa

1 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2022 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN METODE SIMULASI TERHADAP PERUBAHAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2021 HUBUNGAN DAILY SPIRITUAL DENGAN MENTAL EMOSIONAL MAHASISWA BARU UNIVERSITAS

1 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2022 HUBUNGAN RESPONSE TIME PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN KELUARGA PASIEN

1 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2021 PENGARUH TERAPI MUROTTAL AL-QUR’AN: AR-RAHMAN DENGAN IRAMA NAHAWAND

1 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2020 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN MEDIA LEAFLET TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU

1 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2022 HUBUNGAN BEBAN KERJA MENTAL DENGAN BURNOUT PERAWAT DI RUANG INSTALASI