LAPORAN PROPOSAL
MODERN INTEGRATED FARMING MODEL DALAM OPTIMALISASI PRODUKTIVITAS PERTANIAN
DISAMPAIKAN OLEH:
BIDANG RISET DAN INOVASI BAPPELITBANG PROVSU
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PROVINSI SUMATERA UTARA 2024
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Perkembangan jumlah penduduk di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tahun 2023 ini setidaknya tercatat sebanyak 15.386.640 jiwa berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Nasional (BPS 2024). Pertambahan penduduk ini pastinya akan memiliki konsekuensi lanjutan, salah satunya terkait dengan penyediaan kebutuhan pangan.
Pertanian adalah sektor penunjang perekonomian yang berkontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB), menciptakan lapangan kerja, dan penyedia kebutuhan pangan dan energi bagi manusia. Selama tahun 2019-2022, lapangan usaha pertanian secara luas (termasuk kehutanan dan perikanan) menduduki peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan dengan rata-rata kontribusi sebesar 13,02% terhadap PDB Indonesia, dengan kontribusi pertanian sempit (tanpa kehutanan dan perikanan) sebesar 9,67% terhadap PDB Indonesia (Sabarella dkk., 2023), dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian, menurunnya kesuburan tanah, kompetisi penggunaan lahan dan lain-lain, diperlukan satu usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian untuk menjaga ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis khususnya dalam konteks negara berkembang. Untuk mendukung program ketahanan pangan di masa mendatang, maka setiap daerah dituntut untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lahan agar kelestarian produksi lebih terjaga (Descheemaeker, dkk., 2016). Program ketahanan pangan harus dirancang dengan konsep penggabungan berbagai sub sektor untuk menunjang pembangunan pertanian yang berkelanjutan (Noer, 2016). Pembangunan pertanian yang berkelanjutan dapat diwujudkan melalui empat model sistem, yaitu 1) Sistem pertanian terintegrasi, 2) Sistem pertanian organik, 3) Sistem pertanian input eksternal rendah, dan 4) Sistem pengendalian hama terpadu (Salikin, 2003).
Kondisi pertanian Indonesia saat ini untuk ketahanan pangan belum pada kondisi mantap dengan pertambahan penduduk Indonesia pada tahun 2023 sebesar 281.603.800 jiwa (BPS, 2023), dan laju pertumbuhan 1,13%. Pelestarian sumber daya alam, daya dukung lingkungan dan areal semakin rendah dan sudah semakin terbatas, serta kesejahteraan masyarakat masih rendah yang ditunjukkan dengan masih adanya stunting 18,9%. Tingkat kemiskinan ekstra (8,15%) dan SDM Pertanian (135,3 juta) sebanyak 70% dengan Pendidikan petani yang masih rendah. Maka untuk
itu diperlukan solusi untuk meningkatkan skor indeks ketahanan pangan, karena ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi suatu wilayah sampai dengan pereorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, bergizi, merata dan terjangkau. Sehingga Masyarakat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Sektor pertanian Provinsi Sumatera Utara dengan luas 647.223 ha, hanya 349.379,7 ha dengan luas lahan yang masih dikembangkan oleh petani. Mayoritas petani hanya memanfaatkan lahan pertanian untuk bercocok tanam. Selain itu permasalahan petani dan pertanian Sumatera Utara yang dihadapi adalah:
1. Penguasaan lahan oleh industri (perkebunan, kehutanan, peternakan, pariwisata dan pertambangan) yang semakin luas, dan petani yang masih banyak belum memiliki lahan sendiri.
2. Tingginya kerusakan infrastruktur pertanian khususnya jaringan irigasi. Kerusakan jaringan irigasi di Sumatera Utara. Luas lahan sawah di Sumatera Utara pada tahun 2022 mencapai 348.204 ha dengan lahan irigasi sebesar 221.477 ha. Kerusakan jaringan irigasi rusak sedang mencapai sebesar 30 % dan rusak berat mencapai 23 %.
3. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Pertanian tahun 2023 petani yang berumur lebih dari 39 tahun mencapai 56,18 persen. Artinya bahwa sebagian besar petani di Sumatera Utara didominasi oleh golongan tua.
4. Masih tingginya biaya produksi pertanian yang menyebabkan harga pangan tinggi, dan masih sedikitnya modal yang dimiliki petani. Adapun jenis sumber daya permodalan usaha pertanian adalah: modal seadanya, modal lemah, modal kuat dan modal dengan skema perbankan. Kebanyakan petani masih sedikit mempunyai modal dengan skema perbankan.
5. Investasi pada bidang pertanian masih lemah, dan nilai tukar produk pertanian masih rendah dan juga mempunyai resiko yang tinggi dengan keuntungan yang rendah.
6. Pasar dan tata niaga yang masih panjang rantai penjualannya, dan masih dikuasai oleh agen/tengkulak. Kelembagaan petani masih lemah terutama dalam kemampuan akses terhadap permodalan dan informasi pasar. Berdasarkan data dari Simluhtan, periode Januari 2022 sampai Juni 2023 dari total 45.134 kelompok tani yang ada di Sumatera Utara, 32.115 kelompok tani (71,54%) merupakan kelas pemula yang masih perlu pendampingan dan pengawalan di lapangan. Selebihnya merupakan kelas lanjut dengan jumlah 7.948
kelompok (17,60 %), kelas madya 736 kelompok (1,63%) dan kelas utama 83 kelompok (0,18%)
7. Masih sedikit petani yang terampil dan masih sedikit petani yang menggunakan teknologi.
adapun sumber daya teknologi (Produksi Pertanian) ada 6 tipe yang digunakan oleh petani yaitu: Teknologi Tradisi (Adat), Teknologi Sederhana, Teknologi Input Tinggi, Teknologi Canggih (Komoditas Mahal), Pertanian Organik dan Pertanian Terpadu.
8. Nilai tukar petani (NTP) hortikultura masih belum mencapai 100. Kondisi bulan Februari 2024, Nilai Tukar Petani (NTP) padi palawija mencapai 102,56 atau naik 0,77 persen dibandingkan dengan bulan Januari 2024 sedangkan Nilai Tukar Petani (NTP) Hortikultura pada bulan Februari 2024 baru mencapai 95,23 meskipun naik 4,37 persen dibandingkan bulan Januari 2024, capaian NTP hortikultura masih dibawah 100.
9. Belum optimalnya Skor Pola Pangan Harapan (PPH), realisasi tahun 2023 hanya 98,16%
10. Kebijakan akan pertanian masih belum berpihak kepada petani
11. Perubahan iklim telah menyebabkan banyak situasi krisis yang berdampak terhadap ruang hidup dan kehidupan masyarakat, seperti siklus banjir dan kemarau yang semakin sering.
12. perkembangan hama yang semakin meluas dan semakin resisten.
13. Perilaku tidak ramah lingkungan, menyebabkan semakin menurunnya daya dukung dan daya tampung terhadap kehidupan masyarakat.
Permasalahan produksi pertanian di Sumatera Utara adalah ketersediaan benih unggul, air, terbatasnya sarana produksi, hama dan penyakit tanaman, serta sumber daya manusia yang relatif rendah dan NTP Sumatera Utara untuk tanaman pangan, hortikultura dan peternakan masih kecil sekitar >100. (Nikson, 2021)
NTP merupakan indikator proxy kesejahteraan petani. NTP merupakan perbandingan antara Indeks harga yg diterima petani (It) dengan Indeks harga yg dibayar petani (Ib). Arti Angka NTP adalah sebagai berikut:
NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.
NTP = 100, berarti petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.
NTP< 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya.
Kegunaan dan Manfaat NTP:
Dari Indeks Harga Yang Diterima Petani (It), dapat dilihat fluktuasi harga barang- barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian.
Dari Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib), dapat dilihat fluktuasi harga barang- barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian. Perkembangan Ib juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan.
NTP mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumah tangga.
Angka NTP menunjukkan tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain. Atas dasar ini upaya produk spesialisasi dan peningkatan kualitas produk pertanian dapat dilakukan.
Berikut NTP Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2021 sampai dengan 2023.
Tabel. 1. NTP Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara Tahun 2021-2023
No. Tanaman 2021 2022 2023
1. Pangan 96,36 95,44 100,10
2. Hortikultura 94,88 93,15 89,75 (BPS, 2023)
Selain NTP, lahan merupakan salah satu permasalahan dari petani dan pertanian di Sumatera Utara. Penggunaan lahan utama di Provinsi Sumatera Utara dimanfaatkan pada kegiatan non pertanian, hutan, perkebunan, sawah, lahan kering dan badan air. Berdasarkan data spasial tutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016-2022 dengan updating dan penyesuaian kenampakan Citra Satelit Spot 6 tahun 2022 (LAPAN) diperoleh penggunaan lahan utama yang paling dominan pada tahun 2016 didominasi oleh penggunaan lahan kering atau ladang dengan prosentase sebesar 30,73%, kemudian penggunaan lahan hutan berupa hutan rimba
sebesar 21,55% dan penggunaan lahan perkebunan sebesar 19,48%. Sedangkan pada tahun 2022 penggunaan lahan kering (ladang) berkurang sebesar 12,07% sehingga menjadi 18,66%.
Sedangkan untuk penggunaan lahan hutan rimba bertambah sebesar 1,13% sehingga menjadi 24,33% dan penggunaan lahan perkebunan bertambah sebesar 8,38% sehingga menjadi 27,86%
(Tabel 3). (Draft Revisi RT RW Provinsi Sumatera Utara, 2024).
Tabel 3. Perubahan Penggunaan Lahan Utama Provinsi Sumatera Utara pada (2016-2022)
No Jenis
Penggunaan Tanah
Luas Penggunaan Tanah (Ha)
Th 2016 % Th 2022 %
1 Badan Air 152.891,22 2,11 151.106,76 2,09
2 Bandara 1.016,02 0,01 2.522,68 0,03
3 Belukar 596.770,46 8,24 391.961,40 5,41
4 Belukar Rawa 50.696,34 0,70 31.766,03 0,44
5 Hutan Rawa 62.730,77 0,87 18.854,84 0,26
6 Hutan Rimba 1.561.252,24 21,55 1.643.460,09 22,68 7 Hutan Tanaman 145.218,17 2,00 167.633,92 2,31 8 Kebun Campuran 328.163,23 4,53 938.600,09 12,95 9 Ladang 2.226.753,61 30,73 1.351.978,00 18,66 10 Lahan Terbuka 256.980,08 3,55 33.867,62 0,47
11 Mangrove 38.815,11 0,54 37.851,77 0,52
12 Perkebunan 1.411.775,95 19,48 2.018.867,41 27,86
13 Permukiman 81.181,33 1,12 118.542,83 1,64
14 Pertambangan 10,04 0,00 419,67 0,01
15 Rawa 8.102,99 0,11 4.512,96 0,06
16 Sawah 294.311,61 4,06 311.095,25 4,29
17 Tambak 29.538,10 0,41 23.165,94 0,32
Total 7.246.207,27 100 7.246.207,27 100 Sumber: Analisa GIS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022
Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting. Lahan merupakan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan dan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumah tangga petani. Hasil Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa rumah tangga usaha pertanian yang menguasai lahan kurang dari 1 Ha mendominasi jumlah rumah tangga usaha pertanian di Sumatera Utara atau sebesar 22,77 %, dan mengalami peningkatan 104,17 % dibandingkan dengan hasil SUTAS (survei pertanian antar sensus) 2018.
Pertanian memberikan peranan sebesar 22,04% terhadap PDRB, dengan jumlah unit usaha pertanian hasil Provinsi Sumatera Utara tahun 2023 sebanyak 1.517.141 unit, turun sebesar 11,25 persen dibanding tahun 2013 yang sebanyak 1.709.546 unit berdasarkan sensus UTP (usaha pertanian perorangan) yang dilaksanakan BPS setiap 10 tahun sekali. Oleh sebab itu kita
memerlukan solusi untuk meningkatkan usaha pertanian. UTP merupakan unit usaha pertanian yang dikelola oleh satu orang yang memiliki tanggung jawab teknis, yuridis, dan ekonomis untuk unit pertanian tersebut. UTP adalah petani pada umumnya yang kita kenal yang mengusahakan pertanian di mana hasilnya sebagian atau seluruhnya untuk dijual atau ditukar. (BPS, 2023).
Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang dikuasai di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 dan 2023
No
Golongan Luas Lahan Sawah yang Dikuasai
(Ha)
2013 2023
Perubahan
Absolut %
1 < 1.000 166.027 338.977 172.950 104,17
2 1.000–1.999 118.903 142.596 23.693 19,93
3 2.000–4.999 304.510 321.242 16.732 5,49
4 5.000–9.999 267.595 250.528 -17.067 -6,38
5 10.000–19.999 266.226 262.997 -3.229 -1,21
6 20.000–29.999 108.167 95.894 -12.273 -11,35
7 ≥ 30.000 96.331 76.562 -19.769 -20,52
1.488.796
Sumber : Publikasi Buku BPS Provinsi Sumatera Utara, data diolah
Pada tahun 2023, produksi padi di Sumatera Utara sebesar 4.049.438 ton dengan luas panen sebesar 760.857 hektar dan produktivitas sebesar 53,22 kuintal/hektar. Produksi Jagung pada tahun 2023 sebesar 1.898.955 ton dengan luas panen sebesar 304.816 ha. Produksi kedelai pada tahun 2023 sebesar 15.693 ton dengan luas panen sebesar 9.834 ha.
Tabel 5. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Pangan Utama Tahun 2019 – 2023
NO Uraian 2019 2020 2021 2022 2023
1 Padi
- Luas Panen (Ha) 1.007.603 823.551 757.592 745.421 760.857 - Produktivitas
(Kw/Ha) 46,58 51,00 51,83 53,46 53,22
NO Uraian 2019 2020 2021 2022 2023
- Produksi (Ton) 4.693.563 4.200.11 2
3.926.76 8
3.985.35 4
4.049.43 8 2 Jagung
- Luas Panen (Ha) 319.507 321.184 273.703 289.238 304.816 - Produktivitas
(Kw/Ha) 61,36 61,19 63,10 62,46 62,30
- Produksi (Ton) 1.960.424
1.965.44 4
1.727.16 6
1.806.54 4
1.898.95 5 3 Kedelai
- Luas Panen (Ha) 5.563 2.559 854 5.195 9.834
- Produktivitas
(Kw/Ha) 17,30 15,64 17,13 15,81 15,96
- Produksi (Ton) 9.627 4.003 1.463 8.214 15.693
Perkembangan tanaman hortikultura berdasarkan luas panen serta produktivitas dan jumlah produksi tanaman hortikultara dari tahun 2019 sampai dengan tahun 2023 semakin meningkat, adapun rincian jenis komoditi perkembangan tanaman hortikultura adalah bawang merah, cabai besar, cabai rawit, kentang jeruk siam/keprok, salak dan durian dengan rincian (pada tabel 6) sebagai berikut:
Tabel 6. Perkembangan Tanaman Hortikultura Utama di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019 – 2023
No Uraian 2019 2020 2021 2022 2023
1 Bawang Merah
- Luas Panen (Ha) 2.246 3.060 4.374 4.249 4.296
- Produktivitas
(Kw/Ha) 80,45 95,51 123,37 152,60 152,65
- Produksi (Ton) 18.072 29.222 53.962 64.835 65.585
No Uraian 2019 2020 2021 2022 2023 2 Cabai Besar
- Luas Panen (Ha) 16.029 18.523 17.216 17.465 17.657 - Produktivitas
(Kw/Ha) 96,08 104,66 122,11 121,24 123,42
- Produksi (Ton) 154.008 193.862 210.220 211.747 217.917 3 Cabai Rawit
- Luas Panen (Ha) 5.034 6.938 6.169 6.484 6.715
- Produktivitas
(Kw/Ha) 97,83 88,15 127,51 134,19 129,39
- Produksi (Ton) 49.246 61.160 78.663 87.012 86.880 4 Kentang
- Luas Panen (Ha) 7.089 6.926 7.986 7.294 7.176
- Produktivitas
(Kw/Ha) 167,55 179,52 199,11 204,11 193,95
- Produksi (Ton) 118.778 124.326 159.014 148.872 139.172 5 Jeruk Siam/Keprok
- Luas Panen (Ha) 6.119 5.524 7.784 7.055 6.429
- Produktivitas
(Kw/Ha) 537,58 609,95 575,84 564,21 685,85
- Produksi (Ton) 296.934 336.905 448.211 398.064 440.910 6 Salak
- Luas Panen (Ha) 4.027 3.716 2.561 3.472 3.367
- Produktivitas
(Kw/Ha) 633,69 812,43 1.143,5
7 763,83 951,58 - Produksi (Ton) 235.506 301.932 292.881 265.180 320.362
No Uraian 2019 2020 2021 2022 2023 7 Durian
- Luas Panen (Ha) 7.001 5.976 7.346 6.284 6.647
- Produktivitas
(Kw/Ha) 150,78 124,96 162,84 189,96 206,63
- Produksi (Ton) 90.105 74.675 119.632 119.371 137.353
Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi yang cukup besar dalam pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Beberapa komoditas strategis tanaman pangan dan hortikultura di Provinsi Sumatera Utara memberikan kontribusi yang besar terhadap nasional, seperti padi, jagung, jeruk, cabai dan komoditas lainnya. Berikut adalah posisi produksi komoditas strategis hortikultura Provinsi Sumatera Utara dibandingkan Nasional.
Tabel 7. Kontribusi Produksi Komoditas Unggulan Sumatera Utara Terhadap Produksi Nasional.
No Komoditi Produksi Sumut (Ton)
Share terhadap produksi nasional (%)
Urutan Ranking Nasional ATAP 2023
1 Bawang Merah 65.585 3,30 % 7
2 Cabai Besar 217.917
14,02
% 3
3 Cabai Rawit 86.880 5,77 % 4
4 Kentang 139.172 11,15 % 5
5 Jeruk Siam/ Keprok 440.910 15,57 % 2
6 Salak 320.362 28,58 % 2
7 Durian 137.353 7,42 % 4
Lahan sawah sebagai salah satu media tumbuhnya tanaman merupakan lahan yang sangat potensial dalam konteks peningkatan tanaman pangan khususnya padi dan palawija. Selama
Periode Tahun 2013 s/d 2017 potensi lahan sawah mengalami penurunan sebesar 6.392 Ha atau 1,41 % setiap tahunnya. Perkembangan jenis penggunaan lahan selama lima tahun terakhir di sajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 8. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2013 - 2017 di Provinsi Sumatera Utara Penggunaan lahan tahun 2018-2023 belum ada N
o
Jenis Penggunaan
(Ha) 2013 2014 2015 2016 2017
1 Lahan Sawah 452.295 449.213 436.831 434.967 427.262 Sawah Irigasi 281.155 280.847 270.902 268.262 267.327 Sawah Non Irigasi 171.140 168.366 165.929 166.705 159.935 2 Lahan kering 1.192.14
1
1.145.42 0
1.225.51 4
1.215.51 7
1.312.02 5 - Tegal/ kebun 564.480 547.717 593.174 598.239 691.625 - Ladang huma 331.629 331.344 353.059 335.806 345.331 - Sementara tidak
diusahakan 296.032 266.359 279.281 281.472 275.070
3
Lainnya
(perkebunan, hutan rakyat, tambak, kolam/tebat/empan g, dll
3.777.21
7 3.982.03
6 4.290.27
8 4.288.80
6 3.924.73 0
4 Lahan Bukan
Pertanian 1.761.56
0 1.566.67
3 1.211.65
9 1.189.78
3 1.396.56 8 Sumber : BPS Sumatera Utara
Data luas lahan sawah pada tahun 2018 - 2023, data sementara luas lahan sawah di Sumatera Utara berdasarkan Statistik Pertanian (SP) Lahan adalah sebagai berikut.
Tabel 9. Luas Lahan Sawah (Ha) Pada Tahun 2018 – 2023
No Tahun Lahan Sawah (Ha) Ket
1 2018 245.729 SK Menteri ATR/BPN
397.947 SK Menteri ATR/BPN
2 2019 387.456 Surat Gubernur Sumut
369.928 Statistik Pertanian (SP) Lahan Kabupaten
308.668 SK Menteri ATR/BPN
3 2020 368.830 Lahan Eksisting Kabupaten Kota
4 2021 349.378 Lahan Eksisting Kabupaten Kota
5 2022 348.204 Lahan Eksisting Kabupaten Kota
6 2023 330.441 Lahan Eksisting Kabupaten Kota
Walaupun potensi lahan yang tersedia cukup luas, namun dalam pemanfaatannya masih banyak lahan-lahan tersebut yang dibiarkan begitu saja/tidak dimanfaatkan, sehingga masih dapat diusahakan/dimanfaatkan bagi peningkatan dan pengembangan produksi tanaman pangan dan hortikultura sehingga indeks pertanaman masih dapat ditingkatkan.
Salah satu opsi peningkatan produksi pertanian adalah Pertanian terintegrasi atau integrated farming yang pada dasarnya merupakan sistem pertanian yang mengintegrasikan kegiatan sub sektor pertanian tanaman, dan ternak untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya (lahan, manusia, dan faktor tumbuh lainnya), meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan petani secara berkelanjutan. sistem pertanian terpadu merupakan praktek pertanian yang mengintegrasikan pengelolaan tanaman, dan ternak dalam satu kesatuan yang utuh dan adanya aliran energi biomassa. (Purba, dkk., 2022)
Integrated Farming System merupakan praktek pertanian yang mengintegrasikan pengelolaan tanaman: perkebunan/pangan dan hortikultura dengan hewan piaraan(ternak dan ikan) untuk mewujudkan agroekosistem yang mendukung produksi pertanian, peningkatan eknomi dan pelestarian sumber daya alam secara berkelanjutan.
Integrated Farming system awal mulanya Pada tahun 1978, di perkebunan Lautenbach, FRG (Republik Federal Jerman) di distrik Ortenau, Baden-Württemberg, Jerman, pembedaan yang jelas antara sistem pertanian input rendah (pertanian terpadu) dengan sistem pertanian
“tradisional” Proyek Lautenbach dimulai pada tahun 1978 di lahan pertanian Lautenbach seluas 245 ha. Proyek Lautenbach dirancang untuk menunjukkan perbedaan antara produktivitas dan dampak ekologis dari kedua sistem pertanian tersebut,yaitu, “terpadu” dan “konvensional” dengan
perbedaan pemupukna pada pertanian terintegrasi denga jumlah minimum sedangkan pertanian konvensional dengan jumlah optimal. Pertanian terintegrasi tetap menggunakan pupuk organic sedangkan konvensional tidak menggunakan pupuk organik. Untuk perlindungan tanaman terhadap gulma dan penyakit pada pertanian terintegrasi dengan cara mekanik dan kimiawi sedangkan secara konvensional menggunakan kimiawi, untuk pengendlian serangga secara selektif dengan dosis pestisida yang dikurangi . Dampak kedua praktik pertanian terhadap komponen fauna tanah dipelajari oleh Titi dan Ipach (1989). Populasi cacing tanah umum (Lumbricus terrestris) lebih banyak terdapat di lahan terpadu dibandingkan dengan lahan konvensional. Sistem pertanian terpadu dikembangkan di Eropa menjelang akhir tahun 1970-an sebagai strategi untuk membangun sistem pertanian berkelanjutan yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan masalah lingkungan yang disebabkan oleh pertanian konvensional pada akhir tahun 1970-an. Hal ini didasarkan pada penelitian dari tahun 1920-an tentang Pengelolaan Hama Terpadu. Hal ini memicu serangkaian uji coba pertanian terpadu yang berjangka panjang, berskala besar, dan terkoordinasi di seluruh Eropa (Holland,dan lain-lain, 1994), khususnya di Belanda (Vereijken dan Royle, 1989).
Pertanian integrasi merupakan suatu sistem yang menggabungkan beberapa sektor, seperti pan gan, palawija dan hortikultura, peternakan, perkebunan, perikanan, dan tanaman kehutanan pada satu wilayah atau lokasi kegiatan, sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan konservasi lingkungan dengan memanfaatkan interaksi antara berbagai komponen usaha tani.
Sistem pertanian integrasi ini mampu menghasilkan empat produk, yaitu komoditas tanaman berkualitas, pupuk organik, pestisida organik, pakan ternak dan ikan, serta energi. Produk-produk tersebut adalah kebutuhan dasar dalam menjalankan usaha budidaya pertanian, usaha peternakan dan perikanan sehingga akan menciptakan usaha yang berkelanjutan serta mengurangi pengeluaran untuk usaha tani. Sistem pertanian integrasi diharapkan dapat menghasilkan pakan yang murah, pupuk organik dan pestisida organik yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian, dengan penataan aspek produksi ini, diharapkan dapat menjadi akselerator bagi pencapaian penataan aspek tata produksi-konsumsi dalam skala yang lebih besar (Farid, 2020).
Terdapat tiga komponen utama dalam sistem pertanian terintegrasi, yaitu: manusia, tanaman, dan peternakan. Ketiga komponen tersebut saling terintegrasi. Manusia sebagai motor penggerak jalannya sistem pertanian terpadu yang membutuhkan makanan baik dari tanaman, peternakan maupun perikanan. Tanaman yang diusahakan dalam sistem pertanian terintegrasi merupakan
tanaman yang menjadi sumber makanan, utamanya bagi manusia dan sekaligus dapat menjadi sumber pakan ternak. Peternakan yang dikelola dalam sistem pertanian terintegrasi ini selain yang memberikan manfaat sebagai sumber makanan bagi manusia, produk sampingnya juga dapat diolah menjadi sumber penyedia unsur hara bagi tanah yang merupakan media bagi tumbuhnya tanaman
Sistem pertanian terintegrasi ini mempunyai keuntungan yaitu peningkatan keluaran hasil (output) yang lebih bervariasi. Selain itu, secara ekonomi sistem pertanian integrasi memiliki keuntungan lainnya yaitu memperkecil resiko kegagalan panen dengan memaksimalkan daya dukung sumberdaya lahan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Oleh karena itu, sistem pertanian terintegrasi bermanfaat positif pada pengembangan pertanian dan juga pendapatan petani.
Secara umum, teknologi integrasi tanaman-ternak bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan ternak, mengurangi pencemaran lingkungan, memperbaiki kesuburan lahan secara berkelanjutan dengan biaya murah, meningkatkan pendapatan petani, dan meningkatkan kegiatan usahatani secara efisien. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan penerapan teknologi integrasi tanaman-ternak, antara lain: adanya diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; dapat mengurangi terjadinya risiko; terjadinya efisiensi penggunaan tenaga kerja; terjadinya efisiensi penggunaan komponen produksi; terjadinya pengurangan ketergantungan terhadap energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar; menjadikan sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga dapat melindungi lingkungan hidup; dapat meningkatkan output; dan menjadikan berkembangnya rumah tangga petani yang lebih stabil (Devendra, 1993).
Pertanian terpadu atau pertanian campuran adalah kegiatan pertanian yang mendukung pertanian berkelanjutan dengan melibatkan tanaman dan hewan dalam suatu lahan yang sama.
Tujuan utama dari pertanian terpadu adalah mengurangi input eksternal karena adanya saling dukung antara satu komponen dengan komponen lainnya. Beberapa keuntungan lain dari pertanian terpadu adalah efisiensi dan produktivitas lahan yang meningkat, menghasilkan diversifikasi produk, memperbaiki kesuburan tanah, memperbaiki sifat fisik tanah, serta mengurangi gulma, hama dan penyakit (Schroder and Munch, 2008). Sistem pertanian terpadu juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem pengelolaan tanaman, hewan ternak dan ikan dengan lingkungannya untuk
menghasilkan suatu produk yang optimal dan sifatnya cenderung tertutup terhadap masukan luar (Preston, 2000).
Gambar 1. Model Sistem Pertanian Terpadu secara umum (Preston, 2000)
Dalam sistem pertanian terpadu, berbagai sub sektor seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan lainnya dikembangkan dalam satu lahan yang sama, dengan satu manajemen bersama pula. Dengan konsep pertanian terpadu, input eksternal dapat dikurangi karena adanya saling dukung antara satu komponen dengan komponen lainnya. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas lahan, diversifikasi produk, memperbaiki kesuburan tanah, memperbaiki sifat tanah, serta mengendalikan hama, penyakit, dan gulma (Schroder and Munch, 2008). Sistem pertanian terpadu juga dapat mengurangi resiko kegagalan panen karena dapat mengurangi ketergantungan pada satusub sektor. Selain itu, dengan adanya sistem pertanian terpadu, ongkos produksi juga dapat diminimalisir. Dalam sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak juga akan saling menguntungkan dan saling berkaitan.
Keterkaitan tersebut ditunjukkan dengan adanya pembagian lahan dan pemanfaatan limbah dari masing-masing sub sektor. Sistem pertanian terpadu ini mengintegrasikan kegiatan sub sektor pertanian tanaman, ternak, dan perkebunan dalam satu kesatuan yang utuh, dengan aliran energi biomassa yang optimal sehingga tidak ada limbah yang terbuang (zero waste production system).
Dengan demikian, limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, dan limbah kacang-kacang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sehingga menghemat tenaga kerja dan meningkatkan
ketersediaan pakan. Sebaliknya, limbah ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman (pupuk padat maupun pupuk cair). Limbah ternak bahkan dapat dimanfaatkan sebagain sebagai bahan bakar alternatif, seperti biogas, yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Adaanya keterkaitan diantara sub sektor yang saling terintegrasi akan memicu dan mendorong peningkatan pendapatan petani dan tentunya pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut (Kariyasa dkk., 2005).
(sumber: kementan 2020)
Konsep petanian terintegrasi, yaitu: pertanian, peternakan dan perikanan. Ketiga komponen tersebut saling terintegrasi. Manusia sebagai motor penggerak jalannya sistem integrasi pertanian yang membutuhkan makanan baik dari tanaman, peternakan maupun perikanan.
Pertanian yang diusahakan dalam sistem pertanian terpadu merupakan pertanian yang menjadi sumber makanan, utamanya bagi manusia dan sekaligus dapat menjadi sumber pakan ternak.
Peternakan yang dikelola dalam sistem pertanian terintegrasi memberikan manfaat sebagai sumber makanan, produk sampingnya dapat diolah menjadi sumber penyedia unsur hara bagi tanah yang merupakan media bagi tumbuhnya tanaman. Perikanan yang dikelola dalam sistem pertanian terintegrasi merupakan ikan air tawar yang tidak banyak memerlukan perawatan, namun dapat memanfaatkan nutrisi yang ada dari hasil produk samping sistem pertanian terintegrasi yang semuanya dapat dikelola secara industri kecil dan dijual di pasar (Arimbawa, 2015).
Kondisi pertanian di Sumatera Utara menunjukkan potensi yang signifikan dalam meningkatkan ekonomi daerah dan penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian di Sumatera Utara memberikan kontribusi utama dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan penyerapan tenaga kerja, dengan kontribusi sebesar 22,04% terhadap PDRB dan 35,43% terhadap penyerapan tenaga kerja total angkatan kerja (Novita dkk., 2023). Hal ini menjadi dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk mengembangkan sektor pertanian melalui pendekatan komoditas unggulan. Komoditas unggulan di Sumatera Utara antara lain kopi arabika, kopi robusta, karet, kelapa sawit, dan kakao (Martauli dan Gracia, 2021). Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan yang sangat penting bagi perekonomian daerah. Selain perkebunan, sub sektor pertanian juga merupakan komoditas unggulan dengan beberapa komoditas seperti kentang, kubis, petai dan tomat (Martauli dan Gracia, 2021). Selain itu, padi juga merupakan komoditas penting di Sumatera Utara. Luas panen padi mencapai sekitar 411,46 ribu hektare pada tahun 2022, dengan produksi sebesar 2,09 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2023). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terus berupaya meningkatkan produksi pangan dengan program unggulan perluasan kerjasama antar daerah (KAD) terintegrasi dan digitalisasi rantai pasok pangan (Sumutprov.go.id, 2023). Kondisi pertanian di dataran tinggi Sumatera Utara juga menunjukkan potensi dalam pengembangan komoditas unggulan lainnya. Analisis komoditas unggulan sektor pertanian dataran tinggi menunjukkan bahwa subsektor tanaman pangan merupakan komoditas unggul dengan nilai LQ (Location Quotient) sebesar 1,62 (Martauli dan Gracia, 2021). Subsektor holtikultura sayuran dan buah juga termasuk dalam komoditas unggulan, meskipun beberapa subsektor belum menunjukkan peningkatan perekonomian secara signifikan (Martauli dan Gracia, 2021). Dalam upaya membangun kebijakan ketahanan pangan, Sumatera Utara memiliki potensi dalam pengembangan pangan. Pemerintah telah mengembangkan indeks ketahanan pangan untuk meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor (Databoks.katadata.co.id, 2023). Kebijakan ini didukung oleh pemerintah dengan program- program yang bertujuan meningkatkan produksi komoditas strategis, seperti enam komoditas strategis yang surplus. Dengan demikian, kondisi pertanian di Sumatera Utara menunjukkan potensi yang signifikan dalam meningkatkan ekonomi daerah dan penyerapan tenaga kerja.
Pengembangan komoditas unggulan seperti kopi, padi, dan holtikultura sayuran dan buah merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan perekonomian daerah. Sumber-sumber literatur yang relevan termasuk penelitian tentang potensi dan pengembangan komoditas unggulan
sektor pertanian di Sumatera Utara, analisis komoditas unggulan sektor pertanian dataran tinggi, dan upaya membangun kebijakan ketahanan pangan di Sumatera Utara (Martauli dan Gracia, 2021; Novita dkk., 2023).
Kondisi peternakan di Sumatera Utara menunjukkan potensi yang signifikan dalam pengembangan sektor peternakan, terutama dalam meningkatkan produksi daging sapi dan pengembangan teknologi peternakan. Populasi ternak sapi di Sumatera Utara telah mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2009 hingga 2020, mencapai 896.200 ekor pada tahun 2020 (Martauli dkk., 2022). Produksi daging sapi di Sumatera Utara total keseluruhan pada tahun 2021 adalah 14,569,878 kg, dengan Deli Serdang sebagai kabupaten dengan produksi daging sapi terbesar yaitu 4,243,164 kg (Martauli dkk., 2022). Pemerintah Sumatera Utara telah berupaya meningkatkan pengembangan peternakan melalui optimalisasi pemanfaatan teknologi peternakan Inseminasi Buatan, yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas peternakan. Kebutuhan daging sapi per tahun di Sumatera Utara berjumlah 24.539 ton, dengan produksi lokal yang mencapai 19.100 ton. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk meningkatkan produksi daging sapi melalui pengembangan teknologi dan inovasi peternakan (sumutprov.go.id, 2019).
Dengan demikian, kondisi peternakan di Sumatera Utara menunjukkan potensi yang signifikan dalam pengembangan sektor peternakan. Pengembangan inovasi peternakan dan optimalisasi teknologi peternakan Inseminasi Buatan merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan produksi daging sapi dan mengurangi ketergantungan pada impor. Sumber-sumber literatur yang relevan termasuk penelitian tentang populasi ternak sapi, produksi daging sapi, dan strategi pengembangan peternakan di Sumatera Utara (Martauli dkk., 2022).
Kondisi Tingkat pendapatan/kesejaheraan petani. (jelaskan 2-3 paragraf)
Melihat kondisi sub sektor dan sektor lainnya yang terkait di Sumatera Utara saat ini, produktivitas dan peningkatan kesejateraan petani pada berbagai sub sektor ini tentu saja memiliki potensi untuk ditingkatkan dan dikembangkan melalui penerapan sistem pertanian terpadu untuk mengintegrasikan berbagai sub sektor ini. Di Sumatera Utara, model pertanian terpadu sudah banyak dilakukan di beberapa lokasi (Abdul Rauf dkk., 2013; Parulian dkk., 2019). Namun demikian, model integrasi yang sudah dilakukan umumnya dua sub sektor saja, yaitu pertanian dan peternakan. Belum pernah dilakukan pertanian terpadu yang mengintegrasikan tiga sub sektor atau lebih, seperti pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, pariwisata dan lainnya. Selain itu, kendala lainnya yang ditemukan di lapangan yaitu kondisi sosial budaya masyarakat yang
terkadang belum mau atau belum menerima sistem pertanian terpadu. Ditambah lagi kualitas SDM pengelola pertanian terpadu yang belum mumpuni menyebabkan pelaksanaan pertanian terpadu masih belum maksimal. Ketersediaan lahan yang sesuai sebagai tempat pelaksanaan pertanian terpadu juga masih menjadi kendala, karena untuk melakukan pertanian terpadu, apalagi dengan mengkombinasikan berbagai sub sektor, tentu saja memerlukan lahan yang sesuai dan mendukung.
Penerapan integrasi peternakan dan perkebunan juga masih mengalami kendala, khususnya integrasi diantara ternak milik kelompok dengan kebun sawit milik pemerintah atau swasta.
Permasalahan yang ditemui di lapangan yaitu belum bersedianya pemilik kebun untuk bekerjasama dengan para peternak dikarenakan ternak yang masuk ke dalam perkebunan dianggap akan merusak tanaman. Selain itu belum ada peratuan daerah (perda) yang mengatur pola integrasi ini secara hukum. Peran penyuluh, LSM, maupun pemerintah juga belum maksimal dalam menerapkan sistem pertanian terpadu. Akses terhadap modal dan pasar juga menjadi kendala.
Beberapa persoalan di atas sering ditemui di lapangan kaitannya dengan implemetasi sistem pertanian terpadu.
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap kondisi pelaksanaan pertanian terpadu di Sumatera Utara. Selain itu, akan dilakukan juga studi kasus mengenai implementasi sistem pertanian terpadu di beberapa lokus di Sumatera Utara, khususnya kepada beberapa kelompok tani yang sudah mencoba melaksananakan sistem pertanian terpadu. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk melihat potensi peningkatan produktivitas adalah dengan menggunakan analisi metode regresi linear berganda. Dalam analisis ini, pengaruh antara variabel- variabel dalam sistem integrasi pertanian dapat dilihat dan diukur. Selain itu analisis kelayakan usaha tani akan digunakan untuk melihat apakah dengan adanya integrasi sistem pertanian akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Dan terakhir, pendekatan Location Quotient (LQ) akan digunakan untuk melihat potensi integrasi diantara berbagai sub sektor.
Dengan menggabungkan tiga pendekatan ini diharapkan akan menghasilkan sebuah model sistem pertanian terpadu yang efektif yang dapat dijadikan rekomendasi bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan dan penguatan sistem pertanian terpadu di Sumatera Utara. Model integrasi berbagai sub sektor ini diharapkan dapat meningkatkan produksi sektor pertanian secara berkelanjutan, dengan memanfaatkan keanekaragaman fungsional, mengurangi limbah, dan meningkatkan kesejahteraan petani.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana potensi sumber daya eksisting yang dapat mengoptimalkan produktivits pertanian?
2. Bagaimana model integrsi pertanian modern (Modern Integrated Farming Model) yang dapat mengoptimalkan produktivitas pertanian?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengidentifikasi potensi sumber daya eksisting yang dapat mengoptimalkan produktivits pertanian.
2. Untuk menemukan model integrsi pertanian modern (Modern Integrated Farming Model) yang dapat mengoptimalkan produktivitas pertanian.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan pemetaan potensi sumber daya eksisting yang dapat mengoptimalkan produktivits pertanian.
3. Menghasilkan model integrsi pertanian modern (Modern Integrated Farming Model)yang dapat mengoptimalkan produktivitas pertanian.
1.5 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sumber daya dalam konteks penelitian ini hanya sebatas sumber daya alam, sumber daya manusia, dan lahan yang mendukung optimalisasi produktivitas pertanian.
2. Optimalisasi produktivits pertnian dalam konteks penelitian ini merujuk pada target produktivits pertanian di lokasi penelitian
3. Model integrsi pertanian modern (Modern Integrated Farming Model) dalam konteks penelitian ini adalah dari sisi pengelolaan yang efektif dan efisien dengan memanfaatkan potensi sumber daya eksisting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produktivitas
Produktivitas adalah suatu konsep yang menggambarkan hubungan antara hasil (jumlah barang dan jasa yang diproduksi) dengan sumber (tenaga kerja, modal, bahan baku, energy, dan lain-lain) yang dipakai untuk menghasilkan barang tersebut (Swasta dan Sukotjo, 1998).
Produktivitas juga dapat diartikan sebagai perbandingan antara jumlah pengeluaran dibagi jumlah masukan dalam periode tertentu (Sinungan, 1985). Terdapat dua aspek penting dalam konsep produktivitas, yakni efisiensi dan efektivitas. Efisiensi merupakan suatu kemampuan dalam penggunaan sumberdaya secara minimum guna mencapai hasil yang optimal, sedangkan efektivitas berkaitan dengan pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Konsep produktivitas dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek individu dan aspek organisasi. Dimensi individu menganggap produktivitas berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian individu. Hal ini diwujudkan dalam bentuk sikap mental yang mencakup pentingnya keinginan dan upaya pribadi untuk senantiasa meningkatkan kualitas hidup. Dimensi organisasi mengacu pada produktivitas dalam konteks hubungan teknis antara produktivitas (input) dan keluaran (output). Oleh karena itu, dalam perspektif ini, peningkatan produktivitas tidak hanya dilihat dari perspektif kuantitatif tetapi juga dari perspektif kualitatif. Secara umum, produktivitas didefinisikan sebagai efisiensi penggunaan sumber daya untuk produksi.
Dikaitkan dengan produktivitas hasil pertanian, khususnya produktivitas usahatani maka upaya peningkatan produktivitas tidak hanya diukur melalui pengelolaan lahan pertanian saja, namun terdapat aspek lain yang mempengaruhi, seperti manajemen usaha para petani, dukungan kelembagaan, serta aspek petani itu sendiri yang menyangkut faktor-faktor psikologis dari petani (Suhartoyo, 1987). Konsep produktivitas hasil pertanian dilihat dari dimensi individu berkaitan dengan karakteristik kepribadian individu yang muncul dalam bentuk sikap mental dan mengandung makna keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha meningkatkan kualitas kehidupannya serta dimensi karakteristik sosial ekonomi petani. Dimensi individu menyangkut tingkat pendidikan petani dan pengalaman berusahatani, sementara dimensi karakteristik sosial
ekonomi petani menyangkut luas penguasaan lahan, modal kerja, dan tenaga kerja (Revianto, 1989).
Pada bidang pertanian, produktivitas adalah kemampuan suatu faktor produksi (seperti luas lahan) untuk memperoleh hasil produksi per satuan luas lahan. Produksi dan produktivitas ditentukan oleh banyak faktor, seperti kesuburan tanah, varietas bibit yang ditanam, penggunaan pupuk yang memadai (baik jenis maupun dosis), tersedianya air dalam jumlah yang cukup, teknik bercocoktanam yang tepat, penggunaan alat-alat pertanian yang memadai, dan tersedianya tenaga kerja. Dalam bidang pertanian, upaya untuk meningkatkan produktivitas hasilnya dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Husin (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas hasil pertanian antaralain adalah luas lahan garapan, tingkat kosmopolitan petani, pendidikan, modal usaha, umur, dan pengalaman berusahatani.
1. Umur petani
Umur berkaitan dengan kemampuan fisik petani dalam mengelola usaha tani. Baking dan Manning (dalam Hermaya Rukka, 2003) mengemukakan bahwa usia produktif untuk bekerja adalah 15-55 tahun. Pada usia produktif kerja, motivasi kerja cenderung lebih tinggi, keterampilan dan kapasitas profesional masih berada pada tingkat yang baik. Kapasitas kerja penduduk usia produktif akan terus menurun seiring bertambahnya usia petani. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa petani-petani yang lebih tua cenderung tidak melakukan difusi inovasi pertanian daripada mereka yang lebih muda.
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan petani juga dapat mempengaruhi produktivitas hasil pertanian. Tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu faktor penghambat inovasi teknologi dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin efisien dia bekerja dan semakin banyak pula dia mengikuti pelatihan cara-cara berusahatani yang lebih produktif dan lebih menguntungkan. Banoewidjoyo (2002) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki tenaga kerja bukan saja dapat meningkatkan produktivitas dan mutu kerja yang dilakukan, tetapi sekaligus mempercepat proses penyelesaian kerja yang diusahakan. Petani yang berpendidikan lebih cepat mengerti dan memahami penggunaan teknologi baru (Soekartawi, 2006).
3. Luas lahan garapan
Luas lahan garapan adalah jumlah seluruh lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian (Addhitama, 2009). Semakin luas lahan usahatani, maka semakin besar presentase penghasilan produksi (Sajogyo, 1980). Luas lahan garapan berperan penting terhadap besaran pendapatan petani, sebaliknya petani yang mempunyai lahan sempit atau tidak bertanah merupakan beban usaha pada sektor pertanian.
4. Pengalaman bertani
Soekartawi (2006) mengemukakan bahwa pengalaman berusahatani yang cukup lama akan menjadikan petani lebih berhati-hati dalam proses pengambilan keputusan. Pengalaman berusahatani akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam mengolah usahataninya. Kegagalan yang ia alami akan menjadikannya lebih berhati-hati dalam proses pengambilan keputusan, sebaiknya petani yang kurang berpengalaman akan lebih cepat mengambil keputusan karena lebih berani menanggung resiko.
5. Keterlibatan dalam kelompok tani
Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota (Mardikanto, 1993).
Keberadaan kelompok tani merupakan salah satu potensi yang mempunyai peranan penting dalam membentuk perubahan perilaku petani dan menjalin kemampuan kerjasama anggota kelompoknya. Melalui kelompok tani, proses pelaksanaan kegiatan yang melibatkan anggota kelompok dalam berbagai kegiatan bersama, seperti penyuluhan, akan mampu mengubah atau membentuk wawasan, pengertian, pemikiran, minat, tekad, dan kemampuan berinovasi sehingga mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian.
6. Modal usaha
Modal usaha merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan produksi pertanian.
Tanpa modal yang memadai sulit bagi petani untuk mengembangkan usahatani hingga mencapai produksi yang optimal dan keuntungan yang maksimal. Dalam kegiatan proses produksi pertanian, modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu modal tetap dan modal tidak tetap (Soekirno, 2000).
Dengan tersedianya modal, petani akan dimudahkan dalam melakukan kegiatan usahatani, seperti
pembelian obat-obatan, bibit, membayar upah kepada buruh, dan perawatan tanaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian.
2.2 Teori Pendapatan
Pendapatan berasal dari kata “dapat”. Pengertian dari pendapatan adalah hasil kerja (usaha dan sebagainya). Pendapatan adalah semua penerimaan, baik berupa tunai maupun non tunai yang merupakan hasil dari penjualan barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu (Sholihin, 2013).
Pendapatan juga sebagai salah satu unsur kesejahteraan. Secara umum pendapatan merupakan balas jasa yang diterima oleh individu melebihi hasil penjualan (Satyana & Nawawi, 2022).
Pendapatan dapat juga diartikan sebagai jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan maupun tahunan (Sukirno, 2006). Pendapatan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain dipengaruhi:
a) Jumlah faktor-faktor produksi yang dimiliki yang bersumber pada, hasilhasil tabungan tahun ini dan warisan atau pemberian; b) Harga per unit dari masing-masing faktor produksi. Harga ni ditentukan oleh penawaran dan permintaan dipasar faktor produksi; dan c) Hasil kegiatan anggota keluarga sebaga pekerjaan sampingan (Boediono, 2002).
Pendapatan petani adalah salah satu tolak ukur yang diperoleh petani dari usahatani yang dilakukan. Pendapatan petani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya, dengan kata lain pendapatan meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor atau penerimaan total adalah nilai produksi komoditas pertanian secara keseluruhan biaya produksi (Rahim, 2007). Pendapatan total adalah nilai produksi komoditas pertanian secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya produksi (Putri Mandasari, 2015). Pendapatan merupakan bentuk timbal balik jasa pengolahan lahan, tenaga kerja, modal yang dimiliki petani untuk usahanya. Pendapatan petani sering digunakan sebagai indikator kesejahteraan ekonomi.
Kesejahteraan petani dapat meningkat apabila pendapatan petani lebih lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan, tetapi diimbangi jumlah produksi yang tinggi dan harga yang baik (Hernanto, 1996). Dalam analisis usahatani, pendapatan yang diperoleh oleh petani adalah sebagai indikator yang sangat penting karena merupakan sumber pokok dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tingkat pendapatan yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kualitas hidup mereka
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani antara lain:
1. Luas Lahan
Luas lahan usahatani adalah penguasaan lahan oleh petani. Dalam ilmu usahatani, semakin luas lahan yang dikuasai, maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang dihasilkan. Menurut Soekartawi (2006). Semakin luas lahan garapan yang diusahakan petani, semakin besar potensi pendapatan yang dapat dihasilkan. Petani yang memiliki luas lahan yang luas relatif tergolong tinggi perhatiannya terhadap usahatani dan juga akan lebih berpengaruh besar karena merupakan tumpuan harapan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Mubyarto, 2003).
Menurut (Hernanto, 1996) bahwa terdapat empat golongan petani berdasarkan luas lahan yang diusahakan yaitu:
1. Golongan petani luas (lebih dari 2 hektar) 2. Golongan petani sedang (0,5-2 hektar)
3. Golongan petani sempit (kurang dari 0,5 hektar) 4. Golongan buruh tani tidak bertanah
2. Harga dan Produksi
Harga dalah salah satu elemen yang ada pada pemasaran. Harga adalah tingkat kemampuan suatu barang yang dapat ditukarkan dengan barang lain yang dinilai dalam satuan uang (Nitisemito) dalam (Aulia, 2011). Produksi merupakan salah satu hasil bercocok tanam yang dilakukan dengan penanaman bibit dan perawatan serta pemupukan secara teratur sehingga menghasilkan suatu produksi padi yang dapat dimanfaatkan. Jumlah atau hasil produksi adalah suatu konsep yang menggambarkan hubungan antar hasil (jumlah barang dan jasa yang diproduksi) dengan sumber (tenaga kerja, bahan baku, modal, energi, dan lain-lain) yang dipakai untuk menghasilkan barang tersebut (Umar, 2009). Pendapatan akan meningkat jika harga produk tinggi dan produksi optimal.
3. Pengalaman dan Pendidikan
Pengalaman bertani dan tingkat pendidikan petani dapat memengaruhi kemampuan mereka dalam mengelola usaha tani, yang pada gilirannya berdampak pada pendapatan. Semakin lama atau berpengalaman seseorang dalam bertani, maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang diterima. Pengalaman usahatani akan dapat memotivasi petani untuk meningkatkan pendapatan (Asih, 2009).
4. Biaya Produksi
Biaya produksi adalah semua korbanan yang perlu dilakukan untuk suatu proses produksi, yang dinyatakan dengan satuan uang menurut harga pasar yang berlaku. Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual (Mulyadi, 2000). Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi hasil pertanian juga memengaruhi pendapatan. Pendapatan bersih petani dihitung setelah mengurangi semua biaya produksi dari total penerimaan.
2.3 Analisis Persepsi
Oxford Dictionaries (2013), menyatakan persepsi adalah kemampuan untuk melihat, mendengar, atau mengetahui sesuatu melalui indera. Mulyana (2004) menyatakan bahwa pers epsi menyangkut kondisi yang mencakup kegiatan mental (otak), penafsiran objek, tanda, orang s erta pengalaman yang bersangkutan.
Adesina dan Zinnah (1993) menyatakan bahwa persepsi adopter terhadap inovasi teknolog i mempengaruhi proses adopsi inovasi teknologi yang diusulkan. Jika persepsi adopter positif, maka inovasi teknologi tersebut cenderung lebih cepat diadopsi. Menurut Leavit dalam Sobur (2009), persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, m aka dapat diartikan bahwa petani memiliki pandangan tersendiri terhadap sistem pertanian terpadu. Menurut Muhyadi (1989), persepsi seseorang di pengaruhi oleh tiga faktor, salah satuny a faktor stimulus yang di pengaruhi obyek, peristiwa tertentu dan bantuan obyek lain (benda, orang, proses, dll). Faktor tersebut dapat ditafsirkan berupa dukungan dari instansi terkait.
Menurut Toha (1983) persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh seseorang di dalam memahami informasi tentang lingkungan, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi yang menghasilkan suatu gambar yang mungkin sangat berbeda dari kenyataannya.
Terdapat tiga komponen utama proses pembentukan persepsi antara lain adalah :
a. Seleksi, yaitu penyampaian oleh indera terhadap rangsangan dari luar intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. Setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi.
b. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dapat dipengaruhi oleh kenyataan objek proses persepsi hasil peristiwa perilaku tanggapan sikap yang terbentuk pengamatan stimulus faktor yang mempengaruhi persepsi evaluasi dan penafsiran kenyataan stimulus umpan balik. Berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan kecerdasan.
Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang komplek menjadi sederhana.
c. Pembulatan, yaitu penarikan kesimpulan dan tanggapan terhadap informasi yang diterima. Persepsi yang diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi yaitu bertindak sehubungan dengan apa yang telah diserap yang terdiri dari reaksi tersembunyi sebagai pendapat atau sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi atau pembentukan kesan (Sobur, 2009).
2.4 Potensi Integrasi Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan
2.5 Keterlibatan Pemerintah/LSM Terhadap Kegiatan Integrated Farming Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan
2.6 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu terkait pelaksanaan sistem pertanian terpadu di Sumatera Utara yang telah dilakukan diantaranya:
No Judul Hasil Referensi
1 Sistem Pertanian Terpadu Di Lahan Pekarangan Mendukung Ketahanan Pangan
Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan
Penerapan sistem pertanian terpadu dalam bentuk agroforestry, seperti tipe agrosilvofishery (kombinasi pohon hutan, tanaman pertanian dan kolam ikan) dan tipe agrosilvopastural (kombnasi pohon huan, tanaman pertanian dan ternak kambing) telah memberi manfaat tambahan kesejahteraan ekonomi
Abdul Rauf dkk., 2013
keluarga dan perbaikan ekologi (kesejukan dan peningkatan biodiversitas) di lahan pekarangan 2 Tingkat Adopsi Petani
Terhadap Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan
Perbaungan,
Kabupaten Serdang Bedagai )
Tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian terpadu usahatani padi organik yaitu tergolong kategori tinggi. Ada hubungan antara pengalaman bertani dengan tingkat adopsi petani terhadap pertanian terpadu usahatani padi organik
Romauli dkk., 2014
3 Pengaruh Integrasi
Tanaman dan Ternak Sapi Terhadap Peningkatan Pendapatan dan Produktivitas
Petani (Studi Kasus : Petani Kentang di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir)
Pertanian terpadu tanaman dan ternak sapi berdampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Rata-rata pendapatan petani peserta pertanian terpadu per musim tanam lebih tinggi dibandingkan pendapatan petani bukan peserta
Parulian dkk., 2019
4 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Adopsi Petani Dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Di Kabupaten Deli
Serdang Sumatera Utara
Faktor-faktor yang berpengaruh sangat nyata terhadap adopsi petani dalam pengelolaan tanaman terpadu padi sawah adalah kekosmopolitan dan kehadiran petani, sedangkan pendidikan, self efficacy dan peran penyuluh pertanian berpengaruh nyata
Yahya, 2016
2.8 Kerangka Berpikir
PERUMUSAN MASALAH
Luas lahan pertanian yang semakin menurun
Biaya produksi yang masih tinggi
Berbagai sub sektor seperti pertanian, perkebunan, peternakan yang lainnya yang belum terintegrasi
Produktivitas pertanian, perkebunan, dan peternakan yang perlu ditingkatkan
Pendapatan dan kesejahteraan petani yang perlu ditingkatkan
Sistem pertanian terpadu sebagai solusi untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani
INPUT
Data primer dari hasil kuesioner dan
wawancara responden
Data sekunder terkait penerapan sistem pertanian terpadu yang sudah dilaksanakan, kegiatan pertanian, perkebunan, dan peternakan, termasuk laporan-laporan
PROSES
Identifikasi potensi integrasi pertanian, perkebunan, dan peternakan
Analisis potensi integrasi
Analisis peningkatan produktivitas
Analisis peningkatan pendapatan melalui penurunan biaya produksi
Analisis persepsi petani
OUPUT
Model integrasi
pertanian, perkebunan, dan peternakan
Kebijakan integratif yang mengintegrasikan
berbagai sub sektor untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya.
Gambar 2. Kerangka berpikir (Peneliti 2024)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa lokus yang telah mengembangan sistem pertanian terpadu yaitu di daerah.... Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dari bulan Agustus – September 2024.
Tabel 3.2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No. Uraian Kegiatan Agusus
Minggu ke
September Minggu ke
Oktober Minggu ke
November Minggu ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Penyusunan ICP
2. Penyusunan TOR Rapat ICP & TOR
3. Penyusunan Proposal dan Intrumen Penelitian
4. Rapat Proposal 5. Perbaikan Proposal
6. Pelaksanaan survey untuk mendapatkan data awal
7. Rapat TPM 1
8. Perbaikan saran TPM 1 9. Pengumpulan data lapangan:
a. Pengisian kuesioner b. Wawancara dan observasi 8. Pengolahan/analisa data 9. Focus Group Discussion 10. Penyusunan laporan akhir 11. Rapat TPM 2
12. Perbaikan saran TPM 2
No. Uraian Kegiatan Agusus Minggu ke
September Minggu ke
Oktober Minggu ke
November Minggu ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 13. Seminar Hasil
14. Revisi akhir laporan penelitian 15. Penjilidan laporan akhir
3.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dapat digunakan adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif dapat digunakan dalam tahap pengumpulan data melalui wawancara atau kuisioner terstruktur untuk mendapatkan pandangan, persepsi, dan pengalaman dari para pemangku kepentingan terkait penerapan sistem pertanian terpadu. Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif dapat memberikan gambaran mendalam tentang faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi penerapan sistem pertanian terpadu.
Pendekatan kuantitatif digunakan dalam analisis data menggunakan metode regresi linier berganda untuk menganalisis pengaruh antara variabel-variabel dalam sistem integrasi pertanian terpadu. Pendekatan ini melibatkan pengumpulan data kuantitatif melalui kuisioner terstruktur yang diisi oleh responden yang terkait dengan integrasi pertanian, perkebunan, dan peternakan di Provinsi Sumatera Utara.
3.3 Sumber dan Jenis Data 3.3.1 Sumber Data
Data primer: Data yang dikumpulkan secara langsung dari sumber aslinya untuk tujuan penelitian ini. Contohnya adalah data hasil survei, wawancara, atau observasi langsung terkait dengan penerapan sistem pertanian terpadu di Provinsi Sumatera Utara.
Data sekunder: Data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain untuk tujuan lain, tetapi dapat digunakan dalam penelitian ini. Contohnya adalah data statistik terkait dengan kegiatan pertanian, peternakan dan perkebunan, laporan pemerintah, laporan lembaga riset, dan studi terdahulu yang relevan dengan topik penelitian.
3.3.2 Jenis Data
Data kualitatif: Data yang berupa kata-kata, pendapat, dan narasi. Data kualitatif dapat diperoleh melalui wawancara dengan pemangku kepentingan terkait penerapan sistem pertanian terpadu, observasi langsung, atau analisis dokumen seperti laporan pemerintah dan studi terdahulu.
Data kuantitatif: Data yang berupa angka atau variabel yang dapat diukur secara numerik. Data kuantitatif dapat diperoleh melalui survei menggunakan kuisioner terstruktur, data statistik terkait dengan penerapan sistem pertanian terpadu, atau data lain yang dapat dianalisis menggunakan metode statistik.
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini meliputi masyarakat kelompok tani yang telah melaksanakan sistem pertaian terpadu di daerah Provinsi Sumatera Utara. Dari populasi yang ada, ditentukan sample penelitian menggunakan metode purposive sampling yaitu lokus Dairi, Karo, dan Pak-pak Barat.
Sampel penelitian dipilih secara representative yang mewakili populasi tersebut. Dari setiap lokus, dipilih beberapa kelompok tani dari setiap kabupaten/kota sebagai lokasi riset.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian menggunakan:
1. Kuisioner: Kuisioner akan disebarkan kepada responden yang terlibat dalam sistem pertanian terpadu di Provinsi Sumatera Utara, termasuk pemangku kepentingan terkait.
2. Wawancara: Wawancara mendalam akan dilakukan dengan responden yang memiliki pemahaman mendalam tentang penerapan sistem pertanian terpadu di wilayah tersebut.
Wawancara ini akan membantu memperoleh pandangan yang lebih mendalam dan nuansa yang tidak dapat diungkapkan melalui kuisioner.
3. Dokumentasi: Data sekunder yang relevan akan dikumpulkan melalui sumber-sumber seperti laporan, dokumen kebijakan, rencana pembangunan, dan data ekonomi terkait.
Dokumentasi akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang konteks dan perkembangan wilayah terkait:
a. Laporan Resmi: Laporan dari instansi pemerintah terkait, seperti Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perkebunan dan Peternakan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, yang mencakup informasi tentang rencana pembanguan
pertanian, anggaran yang dialokasikan, dan perkembangan program-program terkait, misalnya: Renstra, LAKIP 2022 dan Renja 2023.
b. Dokumen Kebijakan: Dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan pertanian khususnya pengembangan sistem pertanian terpadu di Provinsi Sumatera Utara. Ini dapat termasuk dokumen rencana strategis, rencana tata ruang wilayah, serta dokumen kebijakan terkait sektor pertanian dan ekonomi.
c. Rencana Pembangunan: Rencana jangka panjang dan jangka pendek yang telah dirancang oleh pemerintah daerah untuk pengembangan wilayah, termasuk pengembangan pertanian secara makro, misalnya RPJMD. Rencana-rencana ini akan memberikan wawasan tentang prioritas dan arah pengembangan wilayah tersebut.
d. Data Ekonomi: Data ekonomi terkait Provinsi Sumatera Utara, seperti data pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, kepemilikan lahan, dan data dari sektor lainnya, misalnya data BPS. Data ini akan membantu memahami kondisi ekonomi dan dampak dari pengembangan sistem pertanian terpadu.
4. Observasi: Pengamatan langsung akan dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang pelaksanaan sistem pertanian terpadu yang ada di lapangan. Observasi akan membantu menguatkan data yang diperoleh melalui teknik lainnya. Observasi dilakukan masing masing pada 2 titik di tiap lokus penelitian.
3.6 Teknik Analisis Data
3.6.1 Analisis kelayakan usaha tani
Analisi kelayakan usahatani digunakan untuk menilai kelayakan usahatani dengan menghitung rasio antara pendapatan dan biaya dengan menggunakan metode R/C Ratio.
Rumus untuk menghitung R/C ratio adalah:
RC Ratio=total penerimaan(TR)
total biaya(TC) x100 %
Kriteria R/C Ratio (Revenue/Cost Ratio) digunakan untuk menilai kelayakan suatu usaha, terutama dalam konteks pertanian dan peternakan. Kriteria utama yang digunakan untuk menafsirkan hasil R/C Ratio:
- R/C Ratio > 1 = Layak/Untung, jika R/C Ratio lebih besar dari 1, maka usaha tersebut menguntungkan.
- R/C Ratio = 1= Impas, jika R/C Ratio sama dengan 1, maka usaha tersebut berada dalam kondisi impas.
- R/C Ratio < 1 = Tidak Layak/Rugi, jika R/C Ratio kurang dari 1, maka usaha tersebut mengalami kerugian.
3.6.2 Analisis produktivitas produk pertanian
Analisis produktivitas produk pertanian dilakukan dengan menggunakan Metode Regresi Linier Berganda untuk menganalisis pengaruh antara variabel-variabel dalam sistem integrasi pertanian.
Regresi Linier Berganda dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut (Arikunto, 2002):
𝑌 = 𝑎 + 𝑏1𝑋1 + 𝑏2𝑋2 + ⋯ + 𝑏𝑛𝑋𝑛 Ket :
Y = Variabel Terikat
x1,x2,x3 = Variabel bebas
a = Konstanta
b1,b2,b3 = Koefisien Regresi e = Variable Pengganggu.
3.6.2 Analisis persepsi
Analisis persepsi dilakukan untuk melihat penerimaan kelompok tani mengukur bagaimana respon dan penerimaan kelompok tani terhadap pengembangan pertanian terpadu. Tingkat persepsi penerimaan kelompok tani ditunjukkan oleh indikator berupa skala likert. Data setiap indikator akan diambil dari responden anggota kelompok tani dengan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan: (i) pengalaman menerapkan pertanian terpadu, (ii) akses informasi, (iii) peran kelompok, (iv) persepsi petani secara teknik dan sosial. Alternatif jawaban terdiri dari jawaban sangat setuju
(skor 5), setuju (skor 4), ragu (skor 3), tidak setuju (skor 2), dan sangat tidak setuju (skor 1).
Persepsi diukur sebagai penjumlahan dari jawaban responden. Analisis pesepsi penerimaan kelompok tani ini juga akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan perankingan lokus prioritas untuk pengembangan sistem pertanian terpadu. Lokus yang memiliki nilai preferensi yang paling tinggi dan positif akan menjadi lokus yang paling siap dalam menerapkan sistem pertanian terpadu.
Untuk mengukur tingkat persepsi penerimaan petani dalam penerapan sistem pertanian terpadu menggunakan rumus Sugiyono (2012):
Tingkat persepsi penerimaan= score total kuesioner
score maksimal kuesioner x100 % Kriteria Interpretasi Skor (Riduwan, 2015):
0-20% = Tingkat persepsi penerimaan petani terhadap penerapan sistem pertanian terpadu sangat rendah
21-40% = Tingkat persepsi penerimaan petani terhadap penerapan sistem pertanian terpadu rendah
41-6 % = Tingkat persepsi penerimaan petani terhadap penerapan sistem pertanian terpadu sedang
61-80% = Tingkat persepsi penerimaan petani terhadap penerapan sistem pertanian terpadu tinggi
81-100% = Tingkat persepsi penerimaan petani terhadap penerapan sistem pertanian terpadu sangat tinggi
3.6.3 Analisis potensi integrasi
Potensi integrasi antar sub sektor dianalisis dengan menggunakan pendekatan Location Quotient (LQ). Analisi LQ digunakan untuk melihat potensi suatu sub sektor yang ada untuk dapat diintegrasikan dengan sektor yang lain. Kriteria pengukuran LQ yaitu: 1) bila nilai Jika nilai LQ >
1, maka sub sektor tersebut berpotensi untuk diintegrasikan dengan sub sektor lain, dan sub sektor tersebut merupakan sub sektor yang layak untuk dikembangkan di wilayah tersebut; 2) bila nilai LQ < 1, maka sub sektor tersebut tidak berpotensi untuk diintegrasikan dengan sub sektor lain, dan sub sektor tersebut merupakan sub sektor yang tidak layak untuk dikembangkan di wilayah
tersebut. Sehingga semakin tinggi nilai LQ, semakin tinggi pula potensi integrasi dan pengembangan sub sektor di wilayah tersebut.
Persamaan umum analisis LQ adalah (Panuju dan Rustiadi, 2013):
LQ=Xij/Xi
Xj/X x100 % Keteragan:
Xij = jumlah produksi sub sektor x di lokus x Xi = jumlah produksi seluruh sub sektor di lokus x Xj = jumlah produksi sub sektor x di Kabupaten y X = jumlah produksi seluruh sub sektor di Kabupaten y 3.7 Observasi
Observasi dilakukan untuk melihat faktor-faktor lain yang mendukung seperti:
a. Aspek hukum
b. Jenis rumputan/hijauan yang toleran terhadap naungan di perkebunan yang bisa dipakai untuk pakan ternak
c. Kemampuan padang rumput untuk menampung ternak
d. Sumber daya alam yang dimanfaatkan secara berlebihan dan sumber daya alam yang belum dimanfaatkan
e. Kesesuaian lahan (termasuk luas lahan) f. Inventarisari potensi SDA yang ada
g. Potensi pasar: Hal-hal yang dianalisis terkait aspek pasar dalam penelitian ini adalah peluang, potensi pasar, perkembangan harga produk, dan gambaran saluran pemasaran hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan di setiap lokus.
h. Ada tidaknya dukungan pemerintah, LSM, dan perusahaan kepada kelompok tani