Pidana Penyalahgunaan Narkoba Di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya Berbasis Hak Asasi Manusia
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam tugas ujian tengah semester pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Siliwangi
Oleh:
Silpia Meliani NPM. 223507045
JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALA
2025
1
1. Proposal penelitian ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik baik di Universitas Siliwangi maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Proposal penelitian ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dari dosen pengampu Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi.
3. Proposal penelitian ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Tasikmalaya, ...
Yang membuat pernyataan Materai Rp. 10.000,00
(Silpia Meliani) NPM 223507045
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan proposal dengan judul:
Dinamika Kebijakan Restorative Justice pada Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba di Kejaksaan Negeri Kota Tasikmalaya dalam
Perspektif HAM
Yang disusun oleh Silpia Meliani NPM 223507045 Telah disetujui untuk penilaian Ujian Tengah Semester pada
Tanggal...2025
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima.
Subhan Agung, S.IP., M.A. (Dosen Pengampu)
NIP. 198211072021211006
(...)
Tasikmalaya,...
KATA PENGANTAR
Segala puja serta syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang sudah memberikan kebahagiaan serta rezekinya, sehingga peneliti senantiasa dalam kondisi yang sehat dan diberikan kelancaran untuk menyelesaikan penelitian proposal yang berjudul “Dinamika Kebijakan Restorative Justice pada Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba di Kejaksaan Negeri Kota Tasikmalaya dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Proposal ini diajukan sebagai upaya pemenuhan salah satu syarat penilaian Ujian Tengah Semester Genap di Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi.
Salah satu tindak pidana yang masih menjadi barometer penilaian dalam aspek moral dan sosial adalah penyalahgunaan narkoba. Jenis permasalahan yang memiliki kompleksitas tinggi dan multidimensional, artinya tidak hanya berdampak pada individu tersebut akan tetapi pada keluarga, masyarakat, dan negara. Dewasa ini, upaya penanganan dengan menggunakan pendekatan konvensional acap kali dianggap tidak efektif dan tidak memberikan solusi yang holistik, sehingga konsep Restorative Justice hadir sebagi alternatif solusi yang mengedepankan aspek kemanusiaan serta berorientasi pada pemulihan bagi pelaku, korban, ataupun lingkungan sosial.
Melalui penelitian ini, peneliti berupaya untuk menggambarkan dinamika kebijakan Restorative Justice yang diterapkan di Kejaksaan Negeri Kota Tasikmalaya, serta bagaimana kebijakan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan kebijakan hukum yang lebih adil dan berkelanjutan,
serta meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya pendekatan keadilan dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkoba.
Terima kasih peneliti ucapkan kepada Bapak Subhan Agung, S.IP., M.A.
yang telah membantu peneliti baik secara moral maupun materi. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah terlibat dalam penelitian sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.
Peneliti menyadari, bahwa proposal yang dibuat ini masih jauh dari kata sempurna baik segi penelitian, bahasa, maupun penelitiannya. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan penelitian akademik yang berkaitan dengan tema yang dikaji peneliti pada masa yang akan datang.
Semoga proposal ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan, khususnya untuk mahasiswa prodi Ilmu Politik, Universitas Siliwangi.
Taikmalaya, Maret 2025
Silpia Meliani 223507045
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... 1
LEMBAR PENGESAHAN ... 2
KATA PENGANTAR ... 3
DAFTAR ISI ... 5
BAB I ... 7
PENDAHULUAN ... 7
1.1 Latar Belakang ... 7
1.2 Rumusan Masalah ... 14
1.3 Batasan masalah ... 14
1.4 Tujuan Penelitian... 15
1.5 Anggapan Dasar ... 16
1.6 Manfaat Penelitian ... 17
1. Manfaat Teoritis ... 17
2. Manfaat Praktis ... 18
BAB II ... 19
TINJAUAN PUSTAKA ... 19
2.1 Landasan Teori ... 19
2.1.1 Konsep Restorative Justice ... 19
2.1.2 Teori Hak Asasi Manusia ... 22
2.1.3 Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia ... 25
2.2 Penelitian Terdahulu ... 26
BAB III ... 33
METODOLOGI PENELITIAN ... 33
3.1 Metode Penetian ... 33
3.2 Pendekatan Penelitian ... 33
3.3 Fokus Penelitian ... 35
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 35
3.5 Sasaran Penelitian ... 36
3.6 Validitas Data ... 40
3.7 Metode Analisis Data ... 40
3.8 Kesimpulan dan verivikasi ... 41
3.9 Lokasi Penelitian ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini bahaya dan dampak narkoba pada kehidupan dan kesehatan penggunanya semakin meresahkan, tidak hanya bagi pemakai akan tetapi juga terhadap keluarga, teman, dan lingkungan sosialnya. Bagi medis narkoba digunakan sebagai salah satu obat yang jika digunakan sesuai resep dokter akan memberikan efek ketenangan, akan tetapi berbeda jika penggunaanya bukan untuk kesehatan dan justru digunakan sema-mata sebagai pelampiasan emosi dengan harapan mendapatkan ketenangan. Pemakaian awal narkoba akan terasa menyenangkan sehingga dari sinilah muncul motivasi untuk terus memakainya.
Meskipun begitu bahaya akan dampak domino narkoba, tetap saja tidak memberikan dampak yang baik bagi preferensi jumlah pemakainya.
Dikutip oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) narkotika merupakan zat atau obat yang memiliki sifat alamiah, sintesis, dan semi sintesis, yang akan menurunkan kesadaran, menyebabkan halusinasi, serta daya rangsang.1 Dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh obat berbahaya tersebut menyebabkan permasalahan narkoba di Indonesia masih sering terjadi. Beberapa indikasi yang menyebabkan semakin tingginya preferensi penggunaan narkoba yaitu pergaulan bebas. Dengan demikian, hal tersebut masih tergolong tidak sedikit pemakai atau
1 Humas BNN, “Pengertian Narkoba Dan Bahaya Narkoba Bagi Kesehatan,” Badan Narkotika Nasional Repubik Indonesia, January 7, 2019, https://bnn.go.id/pengertian-narkoba-dan-bahaya- narkoba-bagi-kesehatan/.
pengguna narkoba yang berkeliaran di lingkungan bermasyarakat tanpa adanya penyembuhan intensif.
Penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu tindak kejahatan pidana, karena perlu disadari bahwa dengan penanganan yang tidak tepat, masalah ini dapat menimbulkan dampak yang lebih luas, baik bagi individu maupun masyarakat.2 dijelaskan bahwa di tahun 2024 adalah tahun yang penuh tantangan dalam menjalankan tugas di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P2GN). Tantangan yang dihadapi bidang P2GN tersebut membuat kejahatan pidana narkotika semakin kompleks dan sulit untuk dikendalikan, terlebih lagi dengan munculnya modus-modus baru yang berkembang dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Kejahatan narkoba yang semakin dirasakan dampak berbahayanya tersebut membuat bangsa Indonesia resah, hal itu kemudian mendorong Presiden Prabowo Subianto dalam menjadikan permasalahan narkoba sebagai salah satu isu strategis yang diangkat dalam misi Asta Cita ke-7. Selain itu, Prabowo sebagai presiden juga telah mengeuatkan upaya “Pencegahan dan Pemberantasan Narkoba” ke dalam program prioritas ke-6 dalam rangka mewujudkan visi “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045”.3
Oleh karena itu, dalam mendukung komitmen Presiden, Kemenkopolkam telah membentuk “Desk Pemberantasan Narkoba” untuk mempercepat penanganan masalah narkoba di lembaga pemerintah terkait. Untuk membuat upaya penanganan
2 Biro Humas dan Protokol BNN, “Tahun 2024: Penguatan Strategi Dan Aksi Kolaborasi Dalam P2GN” (Jakarta, December 23, 2024).
3 Agatha Olivia Victoria, “BNN: Prabowo Presiden Pertama Tempatkan Narkoba Sebagai Isu Sentral,” Antara News, January 22, 2025.
masalah narkoba lebih terintegrasi, BNN tentunya akan sangat mendukung akan hal ini. Pada tahun transisi perencanaan pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang ini, BNN mengubah kebijakan dan strategi penanganan masalah narkotika untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari ancaman narkoba dan mewujudkan visi “Indonesia Bersinar”, yang berarti Indonesia Bebas dari narkoba.
Berbagai kebijakan dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan penyalahgunaan narkoba.
Namun, faktanya memang tidak dapat dipungkiri masih terdapat kekurangan dalam implementasi ataupun evaluasi terhadap suatu kebijakan penyalahgunaan narkoba. Salah satu kebijakan yang akan diteliti dalam proposal ini adalah kebijakan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.
Restorative justice (keadilan restoratif) telah menjadi paradigma global dalam sistem peradilan pidana modern, termasuk di Indonesia. Kebijakan ini diadopsi melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menekankan penyelesaian konflik secara partisipatif, pemulihan korban, dan reintegrasi pelaku ke masyarakat. Dalam konteks tindak pidana narkoba, penerapan restorative justice dihadapkan pada kompleksitas antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama bagi pengguna narkoba yang seringkali diposisikan sebagai korban ketimbang pelaku kriminal.
Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya, sebagai institusi peradilan di wilayah dengan tingkat kasus narkoba yang tinggi, telah mulai mengimplementasikan pendekatan ini. Namun, dinamika kebijakan dan praktiknya masih menghadapi
tantangan serius, seperti inkonsistensi penerapan, kurangnya pedoman operasional, dan potensi pelanggaran HAM dalam proses peradilan.
Beberapa permasalahan yang telah terindikasi terkait hal tersebut meliputi, pertama, inkonsistensi penerapan kebijakan RJ dalam penanganan kasus pidana narkoba, dimana hakim cenderung menggunakan pendekatan konvensional (penjeraan) ketimbang putusan yang bersifat rehabilitasi. Kedua, adanya stigmatisasi dan kriminalisasi yang berlebihan terhadap pengguna narkoba yang bertentangan dengan prinsip HAM seperti hak atas standar kesehatan tinggi yaitu pada pasal 12 ICESCR dan hak atas proses peradilan yang adil dan setara sesuai pada pasal 28D UUD 1945.
Ketiga, ketidakjelasan kriteria khusunya dalam memilih antara pengguna sebagai korban (victim) atau pengedar sebagai pelaku tindak kejahatan (offender), sebagaimana diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika. Keempat, kurangnya tingkat partisipasi korban dan masyarakat dalam proses restorative justice, sehingga tujuan untuk pemulihan sosial berbasis hak asasi manusia tidak tercapai optimal.
Di Indonesia, penyalahgunaan narkoba telah menjadi masalah yang sangat serius dan mendesak. Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai lebih dari 3,6 juta orang pada tahun 2021, dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya (BNN, 2021). Sementara di Tasikmalaya pada tahun 2024 diwarnai dengan berbagai kejadian kasus narkoba yang membuat geger seantero Tasik, yaitu terbongkarnya salah satu pabrik pembuatan pil setan atau pil koplo di kawasan Jalan Letjen Mashudi yang kemudian
melibatkan seorang anggota kepolisian aktif terjerat kasus narkoba. Dilaporkan dalam situs berita rmoaljabar.id bahwa pada tahun yang sama, 2024 Polres Kota Tasikmalaya telah menangkap 105 tersangka yang terlibat kasus narkoba dengan 11 kg ganja, 9 kg sabu, 100 kg tembakau sintesis, dan 586 butir psikotropika.
Penyalahgunaan narkoba tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik dan mental individu, tetapi juga berkontribusi pada meningkatnya angka kriminalitas, kerusakan sosial, dan beban ekonomi bagi negara. Permasalahan narkoba di Indonesia juga diperparah oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan ketidakstabilan sosial. Banyak individu yang terjebak dalam penyalahgunaan narkoba sebagai pelarian dari masalah hidup yang mereka hadapi. Selain itu, jaringan peredaran narkoba yang semakin kompleks dan terorganisir membuat upaya penanggulangan menjadi semakin sulit.
Penegakan hukum yang bersifat represif sering kali tidak efektif dalam menanggulangi masalah ini, karena tidak mengatasi akar permasalahan yang mendasari penyalahgunaan narkoba.
Dampak dari penyalahgunaan narkoba juga dirasakan oleh keluarga dan masyarakat. Keluarga yang memiliki anggota yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba sering kali mengalami stigma sosial, tekanan emosional, dan kerugian finansial. Masyarakat pun harus menghadapi peningkatan angka kejahatan dan ketidakamanan yang berkaitan dengan peredaran narkoba. Oleh karena itu, penanganan masalah narkoba di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum,
tetapi juga pada rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi para pelaku penyalahgunaan narkoba.
Hal ini perlu disadari oleh masyarakat karena dengan adanya pengguna narkotika ini berkeliaran dilingkungan masyarakat dapat merusak segala hal terdapat di sekitar sosial nya, maka dari ituhal ini para pelaku pengguna narkotika dapat dikategorikan melakukan perbuatan pidana, yang dalam hal ini bias memenuhi unsur-unsur dalam penyidikan perkara penggunaan narkotika.
Dalam hal penggunaan narkotika ini karena semakin banyaknya sehingga dalam penyelesaian permasalahan pidana ini dapat diselesaikan dengan menggunakan Restorative Justice (RJ) yang dalam hal ini nantinya para pengguna narkoba dalam sistem Restorative Justice (RJ) dapat diarahkan untuk melakukan pemulihan atau biasa disebut rehabilitasi. Kemudian dalam hal ini tujuannya adalah agar dapat membantu individu yang pengguna narkotika baik dalam hal ini sebagai pelaku ataupun korban yang tujuannya tidak saja sembuh, akan tetapi harapan besarnya dapat bersosialisasi lagi dengan masyarakat dan tidak memakai barang haram itu lagi.
Maka dari itu diharapkan adanya keadilan restorative bagi semua pelaku yang memakai narkotika tersebut. Hal ini lebih difokuskan pada pembahasan di aspek filosofisnya dengan jalan rehabilitasi untuk wujud negara membantu mensuport para pelaku atas tindakan dan sikapnya. Kemudian research ini mempunyai tujuan agar dapat mengetahui keefektifan penerapan Restorative Justice (RJ) oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Serang pada tindak pidana narkotika serta hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya.
Studi oleh Wicaksono (2021) mengkaji implementasi restorative justice di Pengadilan Negeri Jakarta, namun kurang menyoroti aspek HAM. Sementara itu, penelitian Sari (2020) mengevaluasi kebijakan rehabilitasi bagi pengguna narkoba, tetapi terbatas pada level nasional tanpa analisis spesifik di wilayah seperti Tasikmalaya. Penelitian ini akan melengkapi gap tersebut dengan fokus pada dinamika lokal dan integrasi prinsip HAM. Sementara urgensi dari penelitian ini dilakukan adalah karena adanya Konflik antara penegakan hukum dan HAM, Kebijakan represif berpotensi mengabaikan hak rehabilitasi pengguna narkoba, sebagaimana dijamin dalam Pasal 54 No. 35 tahun 2009 UU Narkotika bahwa pencandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi media dan sosial. Kebutuhan reformasi kebijakan, temuan penelitian dapat menjadi rekomendasi bagi pengadilan dan legislator dalam menyusun pedoman restorative justice berbasis HAM. Dampak sosial yang signifikan, tingginya angka recidivism (pengulangan kejahatan) di Tasikmalaya akibat pendekatan hukuman konvensional memerlukan solusi restoratif.
Metode yang dipakai dalam research ini yaitu menggunakan normative empiris, yang hakikatnya adalah yuridis empiris dengan melihat hukum yang ada di dalam undang-undang. Pengumpulan datanya menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan menjadi referensi akademis dan praktis dalam memperkuat sinergi antara sistem peradilan pidana dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Penerapan restorative justice dalam tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya tentunya menghadapi dinamika dan tantangan yang cukup kompleks antara idealisme pemulihan berbasis HAM dan realitas penegakan hukum yang masih represif. Pertama, bagaimana dinamika kebijakan restorative justice diimplementasikan dalam kasus narkoba di wilayah Tasikmalaya, mengingat tingginya angka pengguna yang justru diposisikan sebagai pelaku kriminal dan distigmakan negatif oleh lingkungan sosial? Kedua, dalam konteks integrasi HAM, bagaimana implementasi restorative justice di Pengadilan Negeri Tasikmalaya menjamin hak-hak dasar terdakwa, seperti hak atas rehabilitasi (Pasal 54 UU Narkotika), hak bebas dari penyiksaan (Pasal 28G UUD 1945), dan hak atas kesetaraan di muka hukum (Pasal 28D UUD 1945)? Dengan demikian rumusan masalah ini menuntut eksplorasi mendalam untuk mengurai dilema kontemporer antara hukum pidana yang berorientasi pemidanaan dan paradigma restoratif yang berpusat pada pemulihan hak asasi manusia.
1.3 Batasan masalah
Penelitian ini membatasi ruang lingkup analisis secara spesifik untuk memastikan fokus kajian tetap terarah dan mendalam, sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Pertama, penelitian hanya akan mengkaji kasus penyalahgunaan narkoba ringan (kategori pengguna) yang masuk ke Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya dalam periode 2020–2024, dengan pertimbangan bahwa kasus ini paling relevan untuk pendekatan restorative justice. Kasus pengedaran narkoba
(produsen/kurir) tidak termasuk dalam batasan karena cenderung ditangani secara represif dan kurang memenuhi prinsip restoratif. Kedua, penelitian difokuskan pada implementasi kebijakan restorative justice di tingkat pengadilan, bukan pada tahap penyidikan atau penuntutan oleh kepolisian/kejaksaan, meskipun ada keterkaitan antar-institusi.
Ketiga, aspek Hak Asasi Manusia (HAM) yang dianalisis dibatasi pada hak- hak terdakwa yang secara langsung terkait dengan proses restorative justice, seperti hak atas rehabilitasi (Pasal 54 UU Narkotika), hak atas peradilan yang tidak diskriminatif (Pasal 28D UUD 1945), dan hak untuk bebas dari perlakuan merendahkan martabat (Pasal 28G UUD 1945). Isu HAM di luar konteks peradilan pidana, seperti hak ekonomi-sosial-budaya, tidak menjadi fokus. Keempat, penelitian hanya akan mengevaluasi kebijakan dan praktik yang secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Restorative Justice, serta RKUHP, tanpa memasukkan perbandingan dengan sistem hukum negara lain. Batasan ini dipilih untuk memastikan penelitian menghasilkan rekomendasi yang konkret, aplikatif, dan sesuai dengan kebutuhan spesifik wilayah studi.
1.4 Tujuan Penelitian
Menganalisis dinamika kebijakan restorative justice dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkoba ringan di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya periode 2020–2023, termasuk faktor hukum dan non-hukum yang
memengaruhi inkonsistensi penerapannya. Mengevaluasi Kesesuaian Implementasi dengan Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM): Tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sejauh mana implementasi restorative justice di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya menjamin hak-hak dasar terdakwa, seperti hak atas rehabilitasi (Pasal 54 UU Narkotika), hak atas peradilan yang adil (Pasal 28D UUD 1945) dan hak bebas dari penyiksaan. Penelitian ini akan menilai apakah praktik yang ada sudah sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip HAM, serta mengidentifikasi potensi pelanggaran yang mungkin terjadi dalam proses peradilan. Dengan tujuan-tujuan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam memahami dan mengatasi dilema antara penegakan hukum yang represif dan pendekatan restoratif yang lebih manusiawi, serta mendorong reformasi kebijakan yang lebih berorientasi pada pemulihan hak asasi manusia.
1.5 Anggapan Dasar
Penelitian ini didasarkan pada beberapa anggapan dasar yang menjadi landasan logis dalam mengkaji dinamika kebijakan restorative justice pada tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya berbasis HAM. Asumsi-asumsi tersebut adalah:
1. Restorative Justice sebagai Solusi Humanis karena diiyakini bahwa pendekatan RJ lebih efektif dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan narkoba ringan (pengguna) dibandingkan dengan pendekatan pemidanaan konvensional. Hal ini didasarkan pada teori bahwa pengguna narkoba
seringkali merupakan korban dari sistem peredaran narkoba dan memerlukan rehabilitasi, bukan penghukuman, untuk memutus siklus ketergantungan dan mengurangi angka recidivism.
2. HAM sebagai Kerangka Normatif Utama Penelitian mengasumsikan bahwa hak-hak dasar terdakwa, seperti hak atas rehabilitasi (Pasal 54 UU Narkotika), hak atas peradilan yang adil (Pasal 28D UUD 1945), dan hak bebas dari perlakuan merendahkan martabat (Pasal 28G UUD 1945), merupakan prinsip yang tidak dapat dikompromikan dalam proses peradilan. Pelanggaran terhadap hak-hak ini dianggap sebagai kegagalan sistem hukum dalam memenuhi mandat konstitusional dan internasional (misalnya, ICESCR).
Asumsi-asumsi ini menjadi pijakan untuk menganalisis data, menginterpretasi temuan, dan merumuskan kesimpulan yang relevan dengan konteks penelitian. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga kritis dalam menilai sejauh mana sistem hukum mampu merealisasikan keadilan yang berperspektif HAM.
1.6 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan teori keadilan restoratif dan penerapannya dalam konteks hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Dengan menganalisis dinamika kebijakan restorative justice di
Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya, penelitian ini akan memperkaya literatur yang ada mengenai hubungan antara keadilan restoratif dan Hak Asasi Manusia (HAM). Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi akademisi, peneliti, dan praktisi hukum dalam memahami dan mengkaji lebih lanjut tentang keadilan restoratif sebagai alternatif dalam penanganan kasus narkoba.
2. Manfaat Praktis
Dari segi praktis, penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang dapat langsung diterapkan dalam sistem peradilan pidana. Pertama, hasil penelitian dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang konkret bagi Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya dan lembaga terkait lainnya untuk meningkatkan penerapan restorative justice yang lebih efektif dan berperspektif HAM. Kedua, penelitian ini juga dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya rehabilitasi bagi pengguna narkoba, serta mengurangi stigma negatif yang sering kali melekat pada mereka. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya berkontribusi pada pengembangan kebijakan yang lebih baik, tetapi juga pada perubahan sosial yang mendukung pemulihan dan reintegrasi pengguna narkoba ke dalam masyarakat.
19 2.1 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, beberapa teori yang menjadi landasan untuk memahami dinamika kebijakan restorative justice dalam tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya adalah sebagai berikut:
2.1.1 Konsep Restorative Justice 2.1.1.1 Pengertian Restorative Justice
Restoratice Justice dalam bahasa Inggris terdiri dari dua kata yaitu,
“restorative” artinya memulihkan, menyembuhkan, dan menguatkan sementara “justice” artinya keadilan. Sehingga secara definitif RJ diartikana sebagai proses memperoleh keadilan melalui pemulihan atau perbaikan secara berkeadilan.4 Mulanya, terminologi RJ dipopulerkan pertama kali oleh psikoloh yaitu Albert Eglas di tahun 1958 kemudian banyak digunakan di tahun 1977 sebagai tulisan lanjutannya yang mengklasifikasikan jenis sistem peradilan pidana dalam tiga hal, yaitu retributif, distributif, dan restoratif.5 Hal ini menyoroti berbagai istilah dalam penggunaan pendekatan RJ pada tindak pidana mencakup reparative justice (keadilan reparatif), positive justice (keadilan positif), community justice (keadilan masyarakat), relation
4 Muhammad Rif’an Baihaky, “Restorative Justice: Pemaknaan, Problematika, Dan Penerapan Yang Seyogianya,” Isnawati, Muridah 8, no. 2 (July 2024): 276–89.
5 Shadd Maruna, “The Role of Wounded Healing in Restorative Justice: An Appreciation of Albert Eglash,” Restorative Justice 2, no. 1 (2014): 9–23.
justice (keadilan relasional), dan communitarian justice (keadilan komunitarian).6
Secara umum, keadilan restoratif sebagai sebuah pendekatan, konsep, teori, proses, atau bentuk intervensi dalam penyelesaian konflik.7 Dalam Handbook of Restorative Justice Programmes yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), keadilan restoratif dijelaskan sebagai berbagai metode penyelesaian masalah yang melibatkan sistem peradilan, komunitas, jaringan sosial, serta korban dan pelaku. Howard Zehr, yang dikenal sebagai “Bapak Keadilan Restoratif,” dalam bukunya Changing Lenses, mendefinisikan konsep ini sebagai proses yang berfokus pada pemulihan dengan mengajak semua pihak terkait untuk secara bersama-sama mengidentifikasi dampak, kebutuhan, dan tanggung jawab guna mencapai keadilan yang seimbang.
Sementara itu, Tony Marshall menggambarkan keadilan restoratif sebagai mekanisme penanganan tindak kejahatan, di mana pihak-pihak yang terlibat bekerja sama mencari solusi terhadap konsekuensi yang ditimbulkan serta langkah-langkah pencegahan di masa mendatang. Dari penjabaran pengertian dan konsep restorative justice oleh beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan sebagai suatu pendekatan penyelesaian konflik yang
6 Vienna, Handbook on Restorative Justice Programmes, ed. United Nations Office on Drugs and Crime, 1st ed. (Canada: United Nations, 2006).
7 Asruddin, Sufirman Rahman, and Azkari Razak, “Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penegakan Hukum Pidana: Studi Kasus Di Kepulauan Selayar,” Qisthosia: Jurnal Syariah & Hukum 5, no. 1 (June 2024): 68–83.
berfokus pada pemulihan dan keseimbangan bagi semua pihak yang terlibat, baik korban, pelaku, maupun komunitas.
Pendekatan ini dilakukan melalui proses dialog dan mediasi guna menemukan solusi yang adil dan dapat diterima bersama, dengan tujuan utama memperbaiki dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, bukan sekadar memberikan hukuman. Keadilan restoratif menempatkan tanggung jawab pada pelaku untuk memperbaiki kesalahan serta memenuhi kebutuhan korban, sehingga menciptakan keadilan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan sosial.
Pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya adalah sebuah prinsip yang menitikberatkan pada upaya penyelesaian konflik secara damai di luar jalur peradilan konvensional. Metode yang digunakan dalam suatu peradilan pidana melalui kebijakan RJ adalah mediasi, di mana semua pihak terkait, termasuk pelaku, korban, dan pihak lain yang terdampak, berusaha mencapai kesepakatan bersama mengenai penyelesaian yang dianggap adil. Fokus utama dari keadilan restoratif adalah mencari solusi yang menitikberatkan pada pemulihan kondisi seperti semula, bukan sekadar memberikan hukuman atau pembalasan.8
Dasar Penerapan Keadilan Restoratif Justice pada penyelesaian Perkara Tindak Pidana
1) Undang-Undang Dasar 1945
8 John Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulastion, ed. Madision, 1st ed. (Inggris:
Oxford University Press, 2002).
2) UU No. 1 Tahun 1946 tentag Hukum Pidana atau Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
5) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 diperbarui melalui UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
6) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
7) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Tindak Pidana Ringan.
8) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No. 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Peradilan Anak.
9) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana
2.1.2 Teori Hak Asasi Manusia
Berdasarkan UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang dimaksud hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan YME dan merupakan anugerah- Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.9 Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara selalu berkaitan dengan kewajiban yang harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, agar tercipta keseimbangan dan harmoni antara hak dan tanggung jawab individu. Delapan hak yang dijelaskan secara terperinci dalam undang- undang hak asasi manusia mencerminkan komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi HAM di tanah air. Beberapa di antaranya meliputi:
1) Hak setiap individu untuk mendapatkan perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga, kehormatan, martabat, serta kepemilikan pribadinya
2) Hak untuk diakui sebagai pribadi yang memiliki kedudukan hukum di mana pun berada.
3) Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman yang dapat membatasi kebebasan seseorang dalam bertindak atau tidak bertindak; serta
4) Hak atas privasi yang tidak boleh diganggu, terutama terkait kehidupan pribadi di tempat tinggalnya.
5) Setiap individu memiliki hak untuk menjaga kebebasan dan kerahasiaan dalam komunikasi melalui sarana elektronik, yang tidak boleh diganggu kecuali atas perintah hakim atau otoritas sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
6) Setiap orang berhak terbebas dari segala bentuk penyiksaan, hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, penghilangan paksa, serta ancaman terhadap nyawanya.
9 Peraturan BPK, “Undang-Undang Dasar (UU) No. 39. Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,”
Pub. L. No. Berlaku, Database Peraturan BPK (1999).
7) Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang tanpa dasar hukum yang jelas.
8) Setiap individu berhak hidup dalam lingkungan sosial dan sistem kenegaraan yang damai, aman, serta tenteram, di mana hak asasi manusia dihormati, dilindungi, dan diterapkan secara penuh sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan begitu sudah dijelaskan secara terperinci bahwasannya kedaulatan has asasi setiap manusia, warga Indonesia, telah dan terus dilindungi oleh negara sebagai organisasi tertinggi disuatu wilayah. Maka dari itu segala aspek kehidupan manusia akan terikat dengan has asasi, tak terkecuali proses pengadilan atas suatu tindakan melanggar hukum seperti penyalahgunaan narkoba. Pengadilan berbasis HAM di Indonesia dibentuk berdasarkan UU No.
26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah lembaga peradilan khusus yang berada dalam sistem peradilan umum dan berlokasi di tingkat kabupaten atau kota. Khusus untuk wilayah ibu kota Jakarta, pengadilan ini beroperasi di setiap yurisdiksi pengadilan negeri yang bersangkutan. Pengadilan ini memiliki beberapa tugas dan kewenangan utama, di antaranya:
1) Menangani serta memutuskan kasus pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
2) Mengadili pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah kedaulatan Republik Indonesia, serta
3) Tidak memiliki kewenangan untuk mengadili individu yang masih berusia di bawah 18 tahun.
Upaya yang telah dilakukan lembaga peneakan hak asasi manusia di Indonesia telah menjadi prioritas, hal itu diselaraskan pada muatan materi HAM yang termaktub dalam Pancasila sila ke-2 yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, oleh karena itu dalam menwujudkan peradilan yang bebrbasis HAM maka pemerintah dan masyarakat harus berkomitmen untuk bersama-sama menegakkan HAM diatas segalanya.10
2.1.3 Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia
Kebijakan hukum pidana (Penal Policy) merupakan bagian dari kebijakan hukum yang bertujuan untuk mengendalikan tindak kejahatan melalui instrumen hukum pidana. Di Indonesia, kebijakan ini mencakup formulasi (pembuatan hukum pidana), aplikasi (penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum), dan eksekusi (pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan).11 Dalam bukunya John Kenedi (2017) yang berjudul Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana atau penal policy diterjemahkan sebagai politik hukum pidana, yang mempunyai makna yang sama dengan criminal law policy dan strafrechtspolitiek. Dengan begitu, istilah kebijakan hukum pidana merupakan upaya rasional dalam menangani kejahatan dnegan menggunakan instrumen hukum pidana sebagai sarana penyelesaiannya. Muatan dalam kebijakan hukum
10 Dewi Setyowati, “Memahami Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan,” Pandecta 15, no. 1 (June 1, 2020): 121–41.
11 John Kenedi, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia, ed. Sirajuddin, 1st ed. (Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2017).
pidana harus dapat terukur sehingga keadilan masyarakat akan lebih dirasakan, sebab penyelenggaraan dan pelaksanaan peradilan akan berpegangan pada pedoman yang lebih baik.
Kebijakan hukum pidana dilaksanakan sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa yang akan datang. Maksud disesuaikan berdasarkan waktu dalam pengertian tersebut mengandung makna keadilan dan daya guna.
Sementara pelaksanaan kebijakan hukum pidana di Indonesia dilakukan melalui beberapa tahapan: Pertama, tahap formulasi yaitu proses penyusunan undang- undang dan regulasi yang berfungsi sebagai dasar dalam menindak pelanggaran hukum pidana. Kedua, tahap aplikasi yaitu sebagai implementasi oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiga, tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan melalui sistem pemasyarakatan.12
Dalam penelitian ini yang mengambil fokus pada dinamika kebijakan restorative justice sebagai salah satu implementasi atas instrumen kebijakan hukum pidana maka akan mendeskripsikan terkait hambatan, tantangan, atau sistem pelaksanaan yang seperti apa yang diterima oleh pengadilan sebagai salah satu instrumen penegak hukum di Indonesia.
2.2 Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian sebelumnya memiliki keterkaitan, baik dalam persamaaan maupun perbedaanya, dengan penelitian ini. Oleh karena itu,
12 Gema Fitria Harja, “Analisis Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Berbasis HAM Di Polda Jawa Tengah” (Tesis, Universitas Darul Ulum Islamic Center Sudirman GUPPI Unggaran, 2024).
penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau referensi dalam proses analisis dan penelitian penelitian ini. Dalam hal ini, peneliti merujuk pada beberapa penelitian terdahulu, diantaranya sebagai berikut:
Tabel 2.1 Penelitian Terdaahulu
No Peneliti dan Judul Ringkasan Persamaan Perbedaan 1 Harja, Gema Fitria.
(2024). Analisis Penerapan Restorative Justice dalam
Penyelesaian Perkara Tindak Pidaana Penganiayaan Berbasis HAM di Polda Jawa Tegah.
http://repository.unda ris.ac.id/id/eprint/1570
Fokus pada penelitian pada penerapan RJ dalam kasus penganiayaan yang berbasis HAM di tingkay penyidikan yaitu kepolisian.
Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode yuridis sosiologis.
Hasil penelitian menjelaskan Polda Jateng telah
mengikuti peraturan hukum berdasarkan dasar peraturan UUD, HAM, dan KUHP
1. Kajian implementasi kebijakan publik yaitu
Restorative Justice dalam sistem hukum pidana
2. Menggunakan perspektif HAM sebagai
pendekatan subjek penelitian 3. Metode
kualitatif
1. Fokus pada tindak pidana penganiayaan 2. Mengkaji
penerapan RJ di tahap penyidikan oleh
kepolisisana
dalam menyelesaikan perkara pidana ringan terkait penganiayaan melalui dialog antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Research Gap 1. Belum mengkaji restorative justice dalam kasus lain selain penganiayaan.
2. Terbatas pada lingkup penyidikan di kepolisian.
2. Daulay, Husnil Mubarok. (2022).
Implikasi Kbeijakan Keadilan Restorative Justice Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Jenis Sabu Dihungkan dengan Efektivitas
Pemberantasan Tindak Pidana Narkoba.
Jurnal Impresi
Mengkaji penerapan kebijakan restorative justice terhadap pelaku
penyalahgunaan narkoba jenis sabu serta efektivitasnya dalam pemberantasan narkoba. Permasahan dalam penyelesaaian penyalahgunaan narkoba secara pidana
1. Kajian
penerapan RJ dalam kasus narkoba
2. Menganalisis efektivitas kebijakan hukum dalam menangani kasus
penyalahgunaan narkoba
1. Fokus tujuan pada dinamika kebijakan Rj dalam
perspektif HAM
2. Berfokus pada implementasi kebijakan di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya
Indonesia (JII). 1(11).
1125-1133.
Doi:
10.36418/jii.v1i11.623
yaitu dengan
memberikan hukuman konvensional atau pemenjaraan tidak menjadi alternatif solusi masalah.
3. Menggunakan pendekatan hukum dalam subjek
penelitian
3. Melihat apakah restorative justice bisa menjadi
alternatif pemidanaan dalam kasus narkoba
berdasarkan prinsip HAM.
Research Gap 1. Belum menyoroti aspek HAM dalam penerapan RJ pada kasus narkoba
2. Terbatas pada analisis kebijakan tanpa melihat implementasi di tingkat peradilan
3. Sartika, Dewi. et all.
(2023). Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Narkotika Sebagai Strategi
Penanggulangan Overcrowding di Lembaga
Mengkaji peluang penerapan restorative justice untuk
mengurangi masalah overkapasitas di lembaga
pemasyarakatan akibat tingginya jumlah narapidana
1. Kajian RJ dalam perkara tindak pidana narkoba 2. Menggunakan
pendekatan hukum normatif 3. Mengkaji
tantangan
1. Fokus pada strategi penerapan RJ untuk
mengurangi Overcrowding di Lapas 2. Menyoroti
efektivitas
Pemasyarakatan.
Jatiswara. 38(1). 112- 123.
https://doi.org/
10.29303/jtsw.v38i1 .529
kasus narkotika. Dari hasil penelitian dijelaskan bahwa kebijakan RJ
merupakan langkkah tepat dalam
menanggulangi overcrowding di Lapas mengingat persentase napi berasal dari tindak pidana narkoba
dalam
implementasi kebijakan RJ
kebijakan pemidanaan terhadap napi narkoba 3. Tidak ada
keterkaitan dalam perspektif HAM
Reseacrh Gap 1. Belum menyoroti aspek hak asasi manusia dalam penerapan restorative justice terhadap narapidana narkotika.
2. Terbatas pada analisis overcrowding di Lapas tanpa membahas bagaimana restorative justice diterapkan di pengadilan.
2.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menggambarkan bagaimana kebijakan Restorative Justice diterapkan dalam menangani tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya dengan pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM). Pada tahap awal, kebijakan Restorative Justice menjadi titik awal dalam upaya penyelesaian perkara penyalahgunaan narkoba. Pendekatan ini menekankan pada keadilan yang berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar penghukuman, sehingga memungkinkan pelaku mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri melalui rehabilitasi daripada sekadar dipenjara.
Selanjutnya, dalam implementasinya, kebijakan ini harus selaras dengan prinsip-prinsip HAM. Artinya, hak-hak tersangka atau terdakwa, korban, serta masyarakat harus dilindungi dan dijamin selama proses hukum Kebijakan Restorative Justice
Dinamika Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya sebagai lembaga peradilan
Penyalahgunaan Narkoba
Langkah konkret Hak Asasi Manusia
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
berlangsung. Prinsip ini menghindari tindakan represif yang berlebihan dan memastikan keadilan tetap ditegakkan sesuai dengan standar hukum internasional dan nasional.
Dinamika penerapan kebijakan ini di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya kemudian menjadi fokus utama penelitian. Pengadilan sebagai lembaga peradilan memiliki peran sentral dalam memastikan bahwa kebijakan Restorative Justice dapat diterapkan secara optimal dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Hal ini melibatkan aspek regulasi, kesiapan aparat hukum, serta dukungan dari berbagai pihak, termasuk korban, keluarga pelaku, dan masyarakat. Terakhir, penelitian ini akan mengidentifikasi langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk meningkatkan efektivitas kebijakan ini di masa mendatang. Evaluasi kebijakan yang komprehensif diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat bagi sistem peradilan dan kebijakan narkotika di Indonesia, khususnya dalam konteks Restorative Justice yang berbasis HAM.
33 3.1 Metode Penetian
Dalam memahami permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang dan rumusan masalah maka metodologi penelitian untuk menjawab permasalahan ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan sebuah metodologi yang banyak digunakan sebagai alat untuk memahami permasalahan sosial dan budaya, hal tersebut karena metode kualitatif mencakup tingkah laku manusia dan makna yang terkandung dari tingkat laku tersebut yang sulit untuk di ukur dengan persentase angka yang berdasarkan perhitungan statistika dalam menguji hipotesis penelitian.
Penelitian dengan menggunakan metodologi kualitatif merupakan penelitian yang memiliki sifat deskriptif dan cenderung menggunakan teknis analisis. (Rita Fiantika et al., 2022.). Sedangkan menurut Meleong (2007) tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami suatu fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Lanjutnya, Meleong menjelaskan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan perilaku, sikap, motivasi, persepsi, dan tindakan dari subjek penelitian yang mana kesemuanya itu tidak bisa dianalisis dengan metode kuantitatif.
3.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan studi kasus. Menurut Sugiyono (2016), studi kasus merupakan metode
penelitian di mana peneliti mengeksplorasi secara mendalam suatu program, peristiwa, proses, atau aktivitas yang melibatkan satu atau lebih individu.
Pendekatan ini dibatasi oleh aspek waktu dan efektivitas, serta mengharuskan peneliti untuk mengumpulkan data secara rinci dengan teknik yang dilakukan secara berkelanjutan.
Jenis penelitian case studi berasal dari kata “case” artinya kasus, kajian peristiwa. Sedangkan arti “studi” memiliki makna yang kompleks dan luas. Studi kasus merupakan eksplorasi “sistem terikat” atau “suatu kasus/kejadian” yang terjadi dalam beberapa waktu tertentu melalui pengumpulan data yang mendalam dan melibatkan beragam sumber informasi yang secara kontekstual memiliki pendalaman lebih jelas tentang suatu kasus tertentu. Jenis penelitian ini dibatasi oleh waktu, tempat, kondisi suatu kasus yang terjadi. Dengan demikian, pendefinisian jenis penelitian studi kasus ialah suatu pendekatan dimana peneliti mengeksplorasi suatu kasus tertentu pada waktu dan aktivitas tertentu dan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada subjek penelitian untuk mengumpulkan informasi secara rinci.
(Assyakurrohim et al., 2022).
Dengan menerapkan pendekatan studi kasus, peneliti bertujuan untuk mengkaji secara mendalam suatu fenomena tertentu yang berlangsung di masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan peneliti memahami latar belakang, kondisi, serta interaksi yang terjadi dalam fenomena tersebut.
3.3 Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini akan dibatasi dengan penjelasan mengenai fokus utama penelitian, yaitu dinamika kebijakan restorative justice dalam tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya dan juga menggunakan teori hak asasi manusia menurut UUD 1945 dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan dan penelitian langsung kelapangan melalui :
a. Teknik Wawancara Mendalam (In Depth Interview)
Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 2016, hal. 231), wawancara merupakan interaksi antara dua individu yang bertujuan untuk bertukar informasi dan pemikiran melalui diskusi, sehingga dapat dijelaskan makna dari suatu topik. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah dengan melakukan tanya jawab secara langsung untuk memperoleh keterangan lisan dari orang-orang yang dapat memberikan informasi di lokasi penelitian.
b. Teknik Pengamatan Langsung (Observasi)
Teknik dalam pengumpulan data dengan cara pengamatan secara langsung di lokasi penelitian guna mendapatkan data-data atau informasi tentang hal yang diberhubungan dengan masalah yang diteliti yakni Dinamika Kebijakan Restorative Justice dalam Tindak
Pidana Penyalahgunaan Narkoba di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya Berbasis HAM, dengan cara :
- Teknik observasi partisipatif yaitu peneliti terlibat langsung dalam situasi yang diamati. Peneliti dapat berinteraksi dengan para pelaku, korban, dan pemangku kepentingan lainnya di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya. Dengan cara ini, peneliti dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dinamika interaksi dan proses yang terjadi dalam penerapan restorative justice. Observasi partisipatif memungkinkan peneliti untuk merasakan konteks sosial dan budaya yang mempengaruhi praktik hukum.
c. Studi Dokumentasi
Teknik dokumentasi merujuk pada proses pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisis dokumen- dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Dokumen tersebut dapat berupa arsip, laporan, catatan, foto, rekaman, dan berbagai jenis dokumen lainnya yang dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mendukung penelitian. (Sugiyono, 2012).
3.5 Sasaran Penelitian
Sasaran pada penelitian ini merupakan pihak terkait yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam memperoleh informasi atas persoalan yang telah dirumuskan yaitu seputar dinamika kebijakan RJ yang dihadapi oleh pengadilan
negeri Kota Tasikmalaya dalam menangani perkara pidana penyalahgunaan narkoba dalam konteks ini perspektif HAM.
Oleh karena itu, dalam mengumpulkan informasi penelitian, penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yang didukung serta diperkuat dengan snowball sampling. Teknik purposive sampling adalah metode pemilihan sampel sumber data berdasarkan pertimbangan tertentu, seperti memilih individu yang dianggap memiliki pengetahuan mendalam tentang topik yang sedang diteliti.
Menurut Spradley dalam (Sugiyono, 2012), informan yang dipilih melalui teknik purposive sampling sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Individu yang memiliki pemahaman mendalam terhadap suatu hal melalui proses enkulturasi, sehingga tidak hanya sekadar mengetahuinya, tetapi juga benar-benar menghayatinya.
b. Individu yang masih aktif atau terlibat dalam kegiatan yang sedang menjadi objek penelitian.
c. Individu yang memiliki waktu yang cukup untuk memberikan informasi yang dibutuhkan.
d. Individu yang mampu memberikan informasi secara objektif tanpa cenderung menyajikannya dalam bentuk yang telah disesuaikan atau dikemas ulang.
Menurut Sugiyono (2016), snowball sampling adalah metode pengambilan sampel yang dimulai dengan jumlah kecil dan secara bertahap berkembang menjadi lebih besar. Ciri khas dari teknik ini antara lain: (1) prosesnya menyerupai bola salju yang terus menggelinding dan membesar, (2) pemilihannya disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, dan (3) dilakukan hingga mencapai titik kejenuhan data.
Tabel 3.1
Informan dan Jenis Informasi yang diperlukan
No Kategori Informan Teknik Pengambilan Informan
Informasi yang Dikumpulkan
1
Hakim di Pengadilan Negeri Kota
Tasikmalaya
Purposive Sampling – Dipilih berdasarkan keterlibatan dalam kasus penyalahgunaan narkoba yang menerapkan
restorative justice
• Proses penerapan restorative justice dalam kasus penyalahgunaan narkoba
• Pertimbangan hukum dalam menentukan kebijakan
• Hambatan dan tantangan dalam penerapan di pengadilan
2
Jaksa dari Kejaksaan Negeri Kota
Tasikmalaya
Purposive Sampling – Jaksa yang menangani kasus narkoba dengan pendekatan restorative justice
• Peran kejaksaan dalam mendukung penerapan
restorative justice
• Perspektif jaksa terhadap efektivitas kebijakan ini
• Faktor penghambat dan pendukung dalam penerapan
3
Polisi (Penyidik dari Satres Narkoba Polres Kota Tasikmalaya)
Purposive Sampling – Dipilih penyidik yang menangani kasus narkoba
• Peran kepolisian dalam tahap penyelidikan dan penyidikan
• Kriteria kasus yang memungkinkan penerapan
restorative justice
• Tantangan dalam implementasi di tingkat penyidikan 4 Advokat/Pengacara
Snowball Sampling – Berdasarkan rekomendasi pihak hukum yang sering menangani kasus narkoba
• Pandangan advokat terhadap efektivitas restorative justice
No Kategori Informan Teknik Pengambilan Informan
Informasi yang Dikumpulkan
5
Terpidana/Pelaku Penyalahgunaan Narkoba
Purposive Sampling – Dipilih berdasarkan kasus yang mendapatkan pendekatan restorative justice
• Pengalaman menjalani proses hukum dengan pendekatan restorative justice
• Dampak kebijakan terhadap rehabilitasi dan kehidupan setelahnya
• Harapan terhadap kebijakan ini ke depan
6 Keluarga Pelaku
Purposive Sampling – Keluarga yang
mendampingi pelaku selama proses hukum
• Dampak proses hukum terhadap keluarga
• Persepsi keluarga terhadap restorative justice
• Harapan keluarga terhadap kebijakan ini
7 Lembaga Rehabilitasi Narkoba
Purposive Sampling – Lembaga yang menerima pelaku untuk rehabilitasi
• Proses rehabilitasi dalam konteks restorative justice
• Efektivitas program rehabilitasi bagi pelaku
• Tantangan dalam mendukung pemulihan pelaku
8 Akademisi dan Pakar Hukum Pidana
Purposive Sampling – Dosen/Peneliti di bidang hukum pidana dan HAM
• Analisis akademik mengenai kebijakan restorative justice
• Relevansi kebijakan dengan perspektif HAM
• Saran dan evaluasi terhadap kebijakan yang ada
3.6 Validitas Data
Validitas data dalam penelitian ini sangat penting untuk memastikan bahwa informasi yang diperoleh akurat, dapat dipercaya, dan relevan dengan tujuan penelitian. Untuk mencapai validitas data, beberapa langkah akan diambil, antara lain :
a. Teknik triangulasi yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber, seperti wawancara, observasi, dan dokumen, untuk membandingkan dan memverifikasi informasi yang diperoleh. Dengan cara ini, peneliti dapat memastikan bahwa data yang dikumpulkan tidak hanya bergantung pada satu sumber, sehingga mengurangi kemungkinan bias.
b. Teknik member check, di mana informan diberikan kesempatan untuk memverifikasi hasil wawancara dan interpretasi data yang telah dilakukan.
Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa pemahaman peneliti terhadap informasi yang diberikan oleh informan adalah akurat dan sesuai dengan konteks yang dimaksud.
Dengan menerapkan metode validasi yang komprehensif ini, diharapkan data yang diperoleh dapat memberikan gambaran yang jelas dan objektif mengenai dinamika kebijakan restorative justice dalam konteks penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya.
3.7 Metode Analisis Data 3.7.1 Reduksi Data
Menurut Sugiyono (2018), reduksi data adalah proses merangkum, memilih informasi yang relevan, serta memfokuskan pada aspek penting untuk kemudian mengidentifikasi tema dan pola yang muncul. Dengan adanya reduksi data, hasil
penelitian menjadi lebih jelas dan memudahkan pencarian informasi jika diperlukan.
Dalam proses reduksi data, peneliti mengumpulkan berbagai informasi dari observasi, wawancara, atau dokumen yang berkaitan dengan subjek penelitian. Seorang peneliti harus mampu mencatat data lapangan dengan baik, kemudian menafsirkan dan menyaring informasi yang sesuai dengan fokus penelitian. Selama tahap ini, peneliti dapat menyusun ringkasan, memberikan kode, serta mengidentifikasi tema yang muncul. Reduksi data berlangsung sepanjang penelitian di lapangan hingga proses penyusunan laporan penelitian selesai.
3.7.2 Display Data
Setelah proses reduksi data selesai, langkah berikutnya adalah menyajikan data. Penyajian data dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti deskripsi singkat, diagram, atau hubungan antarvariabel. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghindari tumpukan data yang tidak terstruktur, sehingga peneliti dapat menyusun informasi secara sistematis agar data yang diperoleh dapat memberikan penjelasan atau jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
3.8 Kesimpulan dan verivikasi
Menarik kesimpulan merupakan tahapan lanjutan dari reduksi dan penyajian data, di mana informasi yang telah dikumpulkan dapat dirangkum, namun tetap terbuka untuk menerima masukan. Kesimpulan yang ditarik bersifat sementara dan masih dapat diuji kembali dengan data lapangan. Dengan melakukan refleksi serta berdiskusi dengan rekan sejawat, keabsahan ilmiah dari penelitian
dapat diperkuat. Jika proses analisis ini dilakukan secara berkelanjutan dan sistematis, maka validitas hasil penelitian dapat diterima secara akademik. Setelah kebenaran data terverifikasi, peneliti dapat menyusun kesimpulan dalam bentuk deskriptif sebagai bagian dari laporan penelitian. Tahap verifikasi dan penarikan kesimpulan bertujuan untuk memahami makna dari berbagai data yang diperoleh, kemudian mengidentifikasi pola, model, tema, serta hubungan yang sering muncul dalam penelitian.
3.9 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat penelitian dilakukan dimana tempat tersebut terdapat fenomena atau peristiwa tentang topik yang bahas. Pada penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya, yang berlokasi di Jl.
Siliwangi No. 46, Kahuripan, Kec. Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pemilihan lokasi ini didasarkan pada relvansi institusi tersebut dalam menangani kasus tindak pidana penyalahgunaan narkoba serta implementasi kebijakan restorative justice.
43
Baihaky, Muhammad Rif’an. “Restorative Justice: Pemaknaan, Problematika, Dan Penerapan Yang Seyogianya.” Isnawati, Muridah 8, no. 2 (July 2024): 276–
89.
Biro Humas dan Protokol BNN. “Tahun 2024: Penguatan Strategi Dan Aksi Kolaborasi Dalam P2GN.” Jakarta, December 23, 2024.
Braithwaite, John. Restorative Justice & Responsive Regulastion. Edited by Madision. 1st ed. Inggris: Oxford University Press, 2002.
Harja, Gema Fitria. “Analisis Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Berbasis HAM Di Polda Jawa Tengah.”
Tesis, Universitas Darul Ulum Islamic Center Sudirman GUPPI Unggaran, 2024.
Humas BNN. “Pengertian Narkoba Dan Bahaya Narkoba Bagi Kesehatan.” Badan Narkotika Nasional Repubik Indonesia, January 7, 2019.
https://bnn.go.id/pengertian-narkoba-dan-bahaya-narkoba-bagi-kesehatan/.
Kenedi, John. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia. Edited by Sirajuddin. 1st ed. Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2017.
Maruna, Shadd. “The Role of Wounded Healing in Restorative Justice: An Appreciation of Albert Eglash.” Restorative Justice 2, no. 1 (2014): 9–23.
Peraturan BPK. Undang-Undang Dasar (UU) No. 39. Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pub. L. No. Berlaku, Database Peraturan BPK (1999).
Setyowati, Dewi. “Memahami Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan.” Pandecta 15, no. 1 (June 1, 2020):
121–41.
Victoria, Agatha Olivia. “BNN: Prabowo Presiden Pertama Tempatkan Narkoba Sebagai Isu Sentral.” Antara News, January 22, 2025.
Vienna. Handbook on Restorative Justice Programmes. Edited by United Nations Office on Drugs and Crime. 1st ed. Canada: United Nations, 2006.