MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
IKHTISAR PUTUSAN
PERKARA NOMOR 35/PUU-X/2012 Tentang
Hutan Adat Sebagai Hutan Negara
Pemohon : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman); Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu; dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu
Jenis Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pokok Perkara : Pasal 1 angka 6 sepanjang kata ”negara”, Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1) sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”, ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa
“dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah” UU 41/1999 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Amar Putusan :
1.
Mengabulkanpermohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;
1.3. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
“penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”;
1.4. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”;
1.5. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
1.6. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
1.7. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.8. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.9. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.10. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.11. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.12. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”;
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Tanggal Putusan : Kamis, 16 Mei 2013.
Ikhtisar Putusan :
Pemohon I adalah badan hukum privat yang peduli untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat yang merasa mengalami hambatan dalam menjalankan tugas dan peranannya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, sedangkan Pemohon II dan Pemohon III adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merasa kehilangan wilayah hutan adatnya sehingga tidak memiliki akses untuk memanfaatkan dan mengelola wilayah hutan adatnya yang mengakibatkan hilangnya sumber pekerjaan dan sumber penghidupan akibat berlakunya pasal-pasal UU Kehutanan.
Terkait dengan kewenangan Mahkamah oleh karena karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo.
Terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon mendalilkan mengalami hambatan dalam menjalankan tugas dan peranannya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat serta kehilangan wilayah hutan adatnya sehingga tidak memiliki akses untuk memanfaatkan dan mengelola wilayah hutan adatnya yang mengakibatkan hilangnya sumber pekerjaan dan sumber penghidupan. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah oleh karena Pemohon I adalah badan hukum privat yang peduli untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat, sedangkan Pemohon II dan Pemohon III adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara potensial dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal UU Kehutanan yang dimohonkan pengujian, dan apabila dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Terkait dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 6 sepanjang kata ”negara”, Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1) sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”, ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah” UU Kehutanan, telah melanggar prinsip persamaan di depan hukum sebagai salah satu ciri negara hukum atau rule of law karena bertentangan dengan asas legalitas, prediktabilitas, dan transparansi yang diakui dan diatur dalam konstitusi, yang menjadi salah satu prinsip pokok bagi tegaknya negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat sebagai kelompok masyarakat otonom disadari oleh dunia yang terbukti dari ketentuan yang ada dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dan dalam melaksanakan hak atas penentuan nasib sendiri, memiliki hak atas otonomi atau pemerintahan sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan internal dan lokal mereka, juga dalam cara-cara serta sarana dan prasarana untuk mendanai fungsi-fungsi otonom yang mereka miliki.
Terhadap dalil-dalil Pemohon, sebelum mempertimbangkan tentang pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu perlu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Ketika rakyat yang mendiami wilayah nusantara mengikatkan diri menjadi suatu bangsa dan kemudian membentuk negara ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mereka menjatuhkan pilihan negara kesejahteraan sebagaimana jelas tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang menyatakan, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, terdapat dua hal penting dalam pembentukan negara dengan pilihan negara kesejahteraan. Pertama, mengenai tujuan negara, yaitu perlindungan terhadap bangsa dan wilayah, kesejahteraan umum, kecerdasan kehidupan bangsa, dan partisipasi dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kedua, mengenai dasar negara, Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan tujuan dan dasar negara tersebut maka negara melalui penyelenggara negara haruslah bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut. Siapa yang mesti disejahterakan, dalam tujuan negara disebutkan “kesejahteraan umum”, secara spesifik dalam dasar negara disebutkan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian yang dimaksud dengan kesejahteraan umum adalah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Rakyat yang telah mengikatkan diri menjadi Bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam semboyan pada Lambang Negara Garuda Pancasila, “Bhinneka Tunggal Ika”
[vide Pasal 36A UUD 1945] adalah rakyat yang terdiri atas berbagai golongan, macam golongan, dan etnis dengan berbagai ragam agama, adat dan kebiasaan masing-masing,
namun mereka bersatu mengikatkan diri sebagai suatu bangsa dalam rangka membentuk negara merdeka untuk melindungi dan menyejahterakan mereka. Rakyat yang terdiri atas berbagai golongan dan etnis dengan berbagai ragam agama, adat, dan kebiasaan masing- masing yang telah ada sejak sebelum terbentuknya NKRI, terlebih lagi yang telah terbentuk sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, tetap diakui dan dihormati eksistensi dan hak-hak tradisionalnya sebagai hak konstitusional, terutama setelah terjadinya perubahan UUD 1945.
Hal tersebut termaktub dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal penting dan fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai “penyandang hak”
yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan. Terkait dengan hal tersebut, UUD 1945 telah menentukan dasar-dasar konstitusionalnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dalam ketentuan konstitusional sebagai dasar-dasar pengaturan dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk di dalamnya sumber daya alam, seperti hutan, terdapat hal penting dan fundamental. Pertama, penguasaan negara terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua, penguasaan negara terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketiga, penguasaan negara terhadap sumber daya tersebut, termasuk di dalamnya sumber daya alam, dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka pengelolaan terhadap sumber daya kehidupan tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik rakyat secara individual maupun rakyat sebagai anggota masyarakat hukum adat.
UU Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, dalam hal ini terkait dengan kategorisasi hutan yang di dalamnya terdapat hubungan hukum antara subjek hukum dengan hutan. Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan.
Dengan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak.
Keadaan sebagaimana diuraikan di atas sebagai akibat berlakunya norma yang tidak menjamin kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan hutan sebagai sumber-sumber kehidupan mereka, karena subjek hukum yang lain dalam Undang-Undang a quo memperoleh kejelasan mengenai hak-haknya atas hutan. Masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selanjutnya, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok-pokok permohonan Pemohon sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan sepanjang kata
“negara” telah memungkinkan negara memberikan hak-hak di atas tanah hak ulayat kepada subjek hukum tertentu tanpa memperoleh persetujuan masyarakat hukum adat dan tanpa memiliki kewajiban hukum untuk membayar kompensasi kepada masyarakat hukum adat yang mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa keberadaan hutan adat dalam kesatuannya dengan wilayah hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat adalah konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law”. Putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010 juga telah memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, yang antara lain mempertimbangkan bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka sebesar-besar kemakmuran rakyatlah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
Terhadap dalil Para Pemohon bahwa Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa
“sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” karena telah menyebabkan terjadinya perampasan dan penghancuran masyarakat hukum adat beserta wilayah hukum adat serta hak-haknya.
Mahkamah mempertimbangkan bahwa persoalan tersebut pernah diputus dalam Putusan Nomor 34/PUU-IX/2011. Menurut Mahkamah, syarat pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat dalam frasa ―sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, harus dimaknai sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, karena hukum adat pada umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis dan merupakan living law, artinya merupakan hukum yang diterima (accepted) dan dijalankan (observed) serta ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan karena memenuhi rasa keadilan bagi mereka dan sesuai serta diakui oleh konstitusi.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan, Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam pasal a quo berkaitan dengan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Oleh karena itu, pertimbangan hukum terhadap Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan mutatis mutandis berlaku pula terhadap dalil permohonan menyangkut Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan. Namun demikian, oleh karena pasal a quo mengatur tentang kategorisasi hubungan hukum antara subjek hukum terhadap hutan, termasuk tanah yang di atasnya terdapat hutan maka ‘hutan adat’ sebagai salah satu kategorinya haruslah disebutkan secara tegas sebagai salah satu kategori dimaksud, sehingga ketentuan mengenai ‘kategori hutan hak di dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat’.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa
“dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya” karena pasal a quo sulit dipahami, sulit dilaksanakan secara adil, dan mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum adat. Mahkamah mempertimbangkan bahwa oleh karena permohonan pengujian atas ketentuan Pasal 5 ayat (2) dinyatakan beralasan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan tidak relevan lagi dan harus pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun terhadap frasa “dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, Mahkamah berpendapat bahwa frasa dimaksud sudah tepat dan konstitusional.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 5 ayat (4) UU Kehutanan yang telah membatasi hak-hak masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan hasil kekayaan alam yang berada di wilayah adatnya dan mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum adat. menurut Mahkamah, apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat adalah tepat untuk dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara. Sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UU Kehutanan karena membatasi hak para Pemohon untuk memanfaatkan hasil kekayaan alam yang berada di wilayah adatnya serta mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum adat, dan karena pengaturan hak masyarakat hukum adat serta pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat dengan Peraturan Pemerintah adalah ketentuan yang inkonstitusional. Oleh karena substansi yang dipersoalkan sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan, maka pertimbangan Mahkamah sebelumnya mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan ini.
Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut Mahkamah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang“.
Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan perundang- undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud terbentuk. Hal tersebut dapat dipahami dalam rangka mengisi kekosongan hukum guna menjamin adanya kepastian hukum.
Dengan demikian, pengaturan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Lagi pula dalam menetapkan batas wilayah hutan negara dan hutan adat tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh negara tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012 yang harus melibatkan pemangku kepentingan (stake holders) di wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon; Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Dengan demikian selanjutnya Mahkamah menjatuhkan putusan yang amar putusannya Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.