• Tidak ada hasil yang ditemukan

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA PADA KOMENTAR AKUN INSTAGRAM MILIK JEROME POLIN SIJABAT

N/A
N/A
th hey

Academic year: 2023

Membagikan "REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA PADA KOMENTAR AKUN INSTAGRAM MILIK JEROME POLIN SIJABAT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA PADA KOMENTAR AKUN INSTAGRAM MILIK JEROME

POLIN SIJABAT

Abstrak: Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa baik secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian ini menggunakan platform media sosial Instagram milik Jerome Polin Sijabat sebagai sumber data utama. Pengumpulan data didasarkan pada interaksi tertulis yang terjalin dalam komentar di antara pengguna Instagram. Pembuatan artikel ini memuat dua tujuan. 1) Mengetahui prinsip kesantunan yang terdapat pada komentar postingan Instagram milik Jerome Polin. 2) Mengetahui skala kesantunan yang terdapat pada komentar postingan Instagram milik Jerome Polin. Prinsip kesantunan berbahasa terdiri atas enam maksim, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Dari hasil penganalisisan ditemukan ada 25 persen tuturan maksim kebijaksanaan, 15 persen tuturan maksim penerimaan, 15 persen tuturan maksim kemurahan, 10 persen tuturan maksim kerendahan hati, 25 persen tuturan maksim kecocokan, dan 10 persen tuturan maksim kesimpatian.

Kedua, skala kesantunan berbahasa menurut Lakoff terdiri ata skala formalitas, skala pilihan, dan skala kesekawanan. Hasil analisis data pada akun Instagram milik Jerome Polin ditemukan ada 35 persen tuturan skala formalitas, 15 persen tuturan skala pilihan, dan 50 persen tuturan skala kesekawanan. Pengguna Instagram menjadikan Instagram sebagai media komunikasi dan bersosialisasi sehingga perlu menanamkan sikap santun bahasa agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Kata Kunci: Kesantunan berbahasa, instagram, interaksi online

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Bahasa memegang peranan penting dalam hidup manusia. Melalui bahasa manusia bisa berkomunikasi, berinteraksi, bersosialisasi, beraktivitas, menyampaikan ide, pikiran, gagasan, serta dapat bertukar informasi. Sepanjang sejarah bahasa tidak henti-hentinya menjadi pembicaraan manusia. Di mana ada manusia, di situ pula ada bahasa. Lebih menariknya lagi, orang membicarakan bahasa melalui bahasa pula. Tidak mungkin terjadi orang membicarakan bahasa melalui matematika. Yang terjadi justru sebaliknya, orang membicarakan matematika melalui bahasa. Itu kehebatan manusia dan bahasa sekaligus. Manusia memang makhluk Tuhan pemilik

‘sah’ bahasa. Bahasa pun menjadi pusat pemahaman dan kesalahpaham manusia.

Maksudnya adalah sesuatu yang tidak jelas bisa menjadi lebih jelas karena bahasa, tetapi sebaliknya sesuatu menjadi tidak jelas juga karena bahasa. Bukankah

(2)

kesalahpahaman yang akhirnya melahirkan konflik sosial juga berawal dari bahasa?

Konflik pun akhirnya mereda setelah ada penjelasan melalui bahasa. Karena itu, tidak berlebihan jika para filosof bahasa mengatakan bahwa ciri keunikan manusia bukan terletak pada fisik dan pola pikirnya, tetapi pada bahasanya. Kecerdasan manusia pun bisa dilihat dari bahasanya. Bahkan peradaban manusia hanya bisa berkembang lewat bahasa.

Kesantunan adalah hal yang penting dan harus diperhatikan dalam berinteraksi.

Globalisasi telah banyak membawa perubahan pada budaya, terutama budaya kesantunan berbahasa. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat. Kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Kesantunan berhubungan erat dengan bahasa karena bahasa merupakan sarana dalam berkomunikasi agar terjalin hubungan sosialisasi dalam kehidupan. Kesantunan berbahasa merupakan nilai budaya di Indonesia yang harus dipertahankan. Bahasa yang santun dapat menunjang proses komunikasi dan membuat lawan tutur merasa di hormati.

Prinsip kesantunan atau politeness principle adalah perilaku petutur dalam melakukan interaksi. Perilaku yang dimaksud merupakan sikap, baik berupa tindakan atau pun ucapan, yang sesuai atau selaras dengancnorma dan tatanan sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat. Komunikasi linguistik menyebabkan peranan masyarakat berubah-ubah terkadang sebagai penutur, sedangkan di pihak lain dapat pula sebagai penyimak. Proses perpindahan dari penutur menjadi penyimak, dari penyimak menjadi penutur dilakukan dengan cepat dan biasanya tidak disadari. Selama proses komunikasi tersebutlah terdapat prinsip kesantunan baik dipatuhi maupun dilanggar, baik secara sadar maupun tidak sadar. Konteks ujaran dan latar belakang dari penutur serta mitra tutur dibutuhkan untuk mengidentifikasi prinsip kesantunan. Hal tersebut karena prinsip kesantunan melihat bahasa sebagai sebuah gejala yang muncul dalam kehidupan sosial manusia sebagai masyarakat.

Kesantunan merupakan suatu norma yang sangat penting di dalam masyarakat.

Terlebih pada jaman sekarang, kesantunan pada anak muda sudah jarang ditemukan. Melalui kesantunan berbahasa orang dapat menilai sifat dalam diri seseorang atau dapat melihat karakteristik dalam diri seseorang tersebut.

Kesantunan berbahasa tidak hanya dilihat dari tutur bicara seseorang tetapi dapat dilihat pula dari perilaku atau tindakan seseorang. Dalam berbahasa banyak yang harus diingat seperti halnya pemilihan kata yang tepat dan harus memperhatikan struktur kalimat yang digunakan. Selain itu hal yang perlu diperhatikan yaitu lawan tutur dalam berbicara, sehingga seseorang tersebut dapat menjaga kata-kata yang digunakannya dan dapat memilih struktur kalimat yang tepat dan sopan.

Prinsip sopan santun menurut Lakoff memiliki enam maksim atau aturan bentuk pragmatik, yaitu sebagai berikut.

a. Maksim kebijaksanaan (tact maxim)

(3)

Prinsip maksim kebijaksanaan adalah prinsip dimana penutur mengurangi keuntungan dalam berkomunikasi dengan lawan tuturnya. Dengan demikian lawan tutur dapat menilai bahwa penutur adalah seseorang yang santun.

b. Maksim kedermawanan (generosity maxim)

Prinsip maksim kedermawanan adalah perinsip dimana penutur dapat bersikap murah hati dengan mengurangi keuntungan pada dirinya dalam berkomunikasi dan lebih melihat bagaimana cara agar lawan tuturnya dapat mendapatkan keuntungan dalam kegiatan berkomunikasi.

c. Maksim penghargaan atau pujian (approbation maxim)

Prinsip maksim penghargaan adalah prinsip maksim yang dimana penutur dapat dianggap seseorang yang santun apabila dalam bertutur memberikan penghargaan pada lawan tuturnya sehinga menghindari terjadinya sesuatu tuturan yang tidak baik misalnya sebuah cacian, makian, yang membuat lawan tutur tidak nyaman. Sama halnya dengan apa yang disampaikan Rahardi (Syariah, Martono, & Sanulita, 2018) menuturkan bahwa maksim penghargaan adalah suatu maksim dimana seseorng akan dinilai santun apabila berusaha untuk memberikan penghargaan pada orang lain.

d. Maksim kesederhanaan atau kerendahan hati (modesty maxim)

Prinsip maksim kesederhanaan adalah suatu prinsip dimana penutur dapat berkomunikasi dengan baik. Diantaranya dengan mengurangi pujian pada dirinya sehingga lawan tutur dapat menilai penutur sebagai seseorang yang rendah hati dan berprilaku santun.

e. Maksim kecocokan atau kesepakatan (agreement maxim)

Prinsip maksim kesepakatan adalah suatu prinsip dimana penutur dan lawan tutur sepakat dalam menekankan suatu persetujuan diharapkan pada maksim ini penutur dan lawan tutur dapat saling menghargai dalam setiap tuturan yang dituturkan.

f. Maksim kesimpatian (syimpathy maxim).

Prinsip maksim kesimpatian adalah suatu maksim dimana penutur dapat memberikan rasa simpati kepada lawan tutur dalam kegiatan yang mereka lakukan.

Sarana komunikasi di zaman yang sudah modern ini memudahkan dalam hal berkomunikasi. Baik komunikasi dekat maupun jauh. Hal inilah yang membuat orang semakin mudah pula dalam mendapatkan informasi. Sarana komunikasi tidak hanya digunakan sebagai media komunikasi bertukar kabar namun juga sebagai sarana bertukar informasi. Kini perkembangan zaman juga memajukan teknologi yang dapat dengan mudah diakses secara online. Sehingga muncul lah ragam media sosial dimana merupakan sebuah media untuk bersosialisasi secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Salah satu media sosial yang sedang fenomenal adalah Instagram. Media sosial Instagram merupakan aplikasi dimana penggunanya dapat membagikan postingan

(4)

pemilik akun berupa koleksi foto atau video dalam sebuah galeri yang disertai dengan caption. Adapun caption adalah deskripsi singkat berupa teks yang disertai dengan gambar. Teks sudah mengalami penilaian ulang yang sebanding. Segala sesuatu dapat dianggap sebagai teks. Teks yaitu objek-objek dan data yang selalu terbuka bagi pembacaan dan interpretasi yang beragam (Cavallaro, 2004:109).

Interpretasi yang beragam sebuah teks salah satunya adalah wacana teks.

Jika dilihat dalam konteksnya, wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretatif dan kontekstual. Artinya, dalam pemakaian bahasa ini selalu mengandaikan secara dialogis, sehingga perlu adanya kemampuan menginterpretasikan dan memahami konteks terjadinya wacana. Pemahaman terhadap konteks wacana diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh.

Konteks wacana adalah situasi atau latar terjadinya sebuah komunikasi. Di dalam analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, dan khususnya interaksi atau dialog antarpenutur. Bahasa yang dipentingkan dalam peristiwa tutur digunakan untuk membentuk dan membina hubungan sosial. Hal tersebut disebabkan oleh sebagian besar interaksi manusia yang diwarnai oleh hubungan antar individu.

Konteks wacana dalam postingan akun instagram terdapat fungsi bahasa yang paling penting adalah sebagai fungsi komunikatif. Fungsi komunikatif tersebut dapat dilihat dari pragmatiknya, yakni berupa sapaan-sapaan yang digunakan pada kolom caption dan komentar. Adapun akun instagram yang akan digunakan sebagai sumber analisis adalah @jerome.polin milik Jerome Polin Sijabat.

Jerome Polin Sijabat lahir di Jakarta, 2 Mei 1998 adalah seorang YouTuber dan selebriti internet berkebangsaan Indonesia. Ia dikenal setelah memulai akun YouTube bernama Nihongo Mantappu yang membagikan kehidupan pribadinya di Jepang. Ia sering membuat vlog cara belajar bahasa Jepang, matematika, dan kesehariannya di Jepang dengan cara yang mengedukasi dan didalamnya terselip komedi. Saat ini, ia masih menimba ilmu di Universitas Waseda, Jepang. Selain menjadi seorang YouTuber, Jerome juga menjadi penulis buku Mantappu Jiwa yang telah diterbitkan pada Agustus 2019. Jerome mendapat beasiswa dari program Mitsui-Bussan Scholarschip agar dapat berkuliah di Jepang. Jerome lolos tes masuk sehingga dapat berkuliah di Universitas Waseda saat ini. Sebelum berkuliah, Jerome diwajibkan untuk belajar bahasa Jepang selama satu setengah tahun lamanya.

Selain itu, ia mendapat setidaknya biaya hidup sekitar 150.000 yen per bulan.

Kondisi masyarakat sekarang semakin memprihatinkan dalam hal kesantunan berbahasa dalam berkomunikasi. Baik dalam berkomunikasi langsung maupun tak langsung. Banyak masyarakat yang menggunakan kata-kata tidak santun dalam menyampaikan pedapat atau komentar mereka terutama dalam media sosial seperti facebook, instagram,dan twitter tetapi bukan berarti semua pengguna sosial media

(5)

menggunakan bahasa yang tidak santun, tidak jarang pula pengguna media sosial yang bertutur dengan santun. Maka dari itu, Saya membuat artikel dengan judul Realisasi Kesantunan Berbahasa Pada Komentar Akun Instagram Milik Jerome Polin Sijabat untuk mengetahui sejauh mana kesantunan berbahasa diterpkan pada akun tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

a) Apa saja prinsip kesantunan yang terdapat pada komentar postingan Instagram milik Jerome Polin?

b) Apa saja skala kesantunan yang terdapat pada komtar postingan Instagram milik Jerome Polin?

1.3 Tujuan

a) Untuk mengetahui prinsip kesantunan yang terdapat pada komentar post postingan Instagram milik Jerome Polin.

b) Untuk mengetahui skala kesantunan yang terdapat pada komentar post postingan Instagram milik Jerome Polin.

2. Kerangka Teoretis

2.1 Kesantunan

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”.

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau

(6)

situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa). Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai.

Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu. Misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda.

Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannnya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.

2.2 Bahasa

Terdapat banyak definisi yang dibuat oleh para ahli tentang bahasa, tergantung penekanannya. Tetapi dari yang banyak itu dapat dirumuskan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang arbitrer yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Ronald Wardhaugh mendefinisikan bahasa sebagai “a system of arbitrary vocal symbols used for human communication”. Defenisi tersebut menekankan bahwa pada intinya bahasa adalah ucapan, bukan tulisan, yang menggabungkan antara bunyi dan makna. Tidak ada kaitan antara lambang, bunyi dan makna. Itu yang dimaksud dengan arbitrer, sebagai salah satu sifat bahasa.

Definisi lain tentang bahasa adalah sistem lambang atau simbol bunyi yang berkembang berdasarkan suatu aturan yang disepakati oleh pemakainya. Setiap lambang bahasa memiliki makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan

(7)

bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Misalnya, lambang bahasa yang berbunyi “kursi” mengandung konsep atau makna ‘sesuatu yang dipakai sebagai tempat duduk”. Kata “manusia” atau “human” wajib disebut dalam definisi bahasa, karena hanya manusia yang bisa berbahasa.

Di dalam bahasa ada kata. Menurut filosof Herakleitos kata adalah realitas kekal, realitas pelintas ruang dan waktu. Di dalam kata ada dunia ide yang kekal. Kata mewakili makna dan realitas, walaupun sebenarnya makna dan realitas yang ada jauh lebih kompleks daripada kata atau simbol yang mewakilinya. Karena itu, andai makna dan realitas bisa bicara, mereka bisa protes karena sebagai simbol kata tidak mampu mewakilinya secara penuh. Menurut filosof bahasa Wittgenstein selalu ada sesuatu di luar kemampuan manusia untuk dikatakan dan dipahami (there are always things in existence that are beyond our human ability to imagine or conceive). Di balik kelebihannya, bahasa juga memiliki kelemahan, karena tidak mampu mengungkap semua realitas kehidupan yang ada, baik realitas emipirik, abstrak, maupun simbolik. Manusia hidup dengan bergelimang realitas, yang oleh Polanyi disebut sebagai “surplus of knowledge”.

Suwarna (2002: 4) bahasa merupakan alat utama untuk berkomunikasidalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif sosial.Kridalaksana (dalam Aminuddin, 1985: 28-29) mengartikan bahasa sebagai suatusistem lambang arbitrer yang menggunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama,berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Chaika (1982) memandang bahasa mewakili gambaran hakikat pengetahuan terdalam umat manusia, maka bahasa adalah cermin masyarakat (language is a mirror of soicety). Ilustrasinya sederhana bahwa masyarakat yang tidak stabil tergambar dengan sangat jelas pada bahasa yang dipakai masyarakat. Sedangkan Ricoueur (1991) menegaskan bahwa keberadaan dan kehidupan manusia pun ada di dalam bahasa. Tidak dapat dihindari, pranata bahasa pun menjadi pembentuk utama sosok dan jati-diri anak manusia. Jadi, kalau menurut perspektif interaksionisme Mead (1934) masyarakat tidak lain adalah pola-pola hubungan antara: (1) aku-subjek (I), (2) orang-orang lain, baik umum (generalized other) maupun khusus (significant others), dan (3) aku-objek (me), maka melalui pranata bahasa, orang lain mempengaruhi dan membentuk aku-objek. Pun melalui lembaga bahasa, aku-subjek (I) berupaya mempengaruhi orang lain.

Sosok dan jati-diri manusia, merujuk konstruksionisme Berger dan Luckman (1990), tidak lebih merupakan hasil konstruksi sosial melalui bahasa. Bahasa, sejauh dapat dikesan dari kajian mereka, adalah salah satu pranata masyarakat paling berkuasa. Bahasa, karena itu, juga merupakan salah satu sumber kekuasaan.

Walhasil, di atas segalanya, Wittgenstein secara tegas mengatakan “the limits of my language mean the limit of my world”. Terjemahan bebasnya adalah batas bahasaku adalah batas duniaku. Maksudnya, penguasaan kita tentang dunia ini dengan berbagai isinya tergantung sejauh mana penguasaan kita tentang bahasa.

2.3 Kesantunan Berbahasa

(8)

Saat berkomunikasi dengan mitra tutur, tuturan harusnya terjalin dengan interaksi yang baik. Agar penutur mampu menguasai bagaimana seluk beluk berkomunikasi yang baik, maka salah satu yang harus penutur kuasai adalah kesantunan berbahasa.

Maksim prinsip kesantunan ditentukan faktor-faktor lain seperti ketepatan dan kejelasan tuturan, saling mematuhi dan saling menghargai pihak lain. Kesantunan berbahasa dapat ditanamkan karena adanya dorongan oleh sikap menghargai dan sikap hormat terhadap pihak lain sehingga dengan adanya sikap saling menghargai dan saling menghormati pihak lain, diharapkan tuturan yang diujarkan dapat menjalin komunikasi yang baik.

Chaer dan Agustina (2004:172), menjelaskan bahwa etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Etika berbahasa ini akan mengatur 1) apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seseorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu, 2) ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik tertentu, 3) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicarasan orang lain, 4) kapan kita harus diam, 5) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita dalam berbicara.

Maksud dari pernyataan Chaer dan Agustina dalam bukunya yang berjudul Perkenalan Awal: Sosiolinguistik ini adalah etika berbahasa adalah hal yang akan mengatur kita dalam bertutur mulai dari pemilihan kata yang tepat pada waktu yang tepat sampai bagaimana kualitas suara dan sikap fisik dalam bertutur, sesuai dengan siapa lawan tutur kita saat berkomunikasi.

Brown dan levinson (Chaer, 2010: 11), mengemukakan bahwa teori tentang kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka atau wajah yaitu “citra diri‟ yang bersifat umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Selain itu, kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan tuturnya di dalam proses berkomunikasi.

Maksud dari pernyataan Brown dan Levinson dalam buku Kesantunan Berbahasa ini adalah, kesantunan berbahasa adalah salah satu aspek kebahasaan yang mampu meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya. Sebab, komunikasi antara penutur dan lawan tutur yang menggunakan kesantunan berbahasa tidak hanya harus mengungkapkan kebenaran, namun tetap harus menjaga keharmonisan hubungan.

Kesantunan berkaitan erat dengan etika berbahasa, sebab etika berbahasa juga mengatur tentang tata cara menggunakan bahasa dalam berkomunikasi.

Menurut Rahardi (2005: 35) penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan.

Fraser (melalui Rahardi, 2005: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.

(9)

1) Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social- norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).

2) Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (facesaving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle).

3) Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract).

Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.

4) Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific, dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40).

Menurut Chaer (2010: 10) secara singkat dan umum ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita.

Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, menurut Chaer (2010: 11) dengan singkat bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada normanorma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.

Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Jadi, diharapkan pelaku tutur dalam bertutur dengan mitra tuturnya untuk tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tuturnya.

3.Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil Penelitian

(10)

3.1.1 Prinsip Kesantunan Berbahasa

Wijana (1996: 55) mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005: 60-66) dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni sebagai berikut.

Maksim Kebijaksanaan

Menurut Leech ( dalam Rahardi, 2006: 60) menyatakan bahwa prinsip kesantunan peserta pertuturan sebaiknya berpegang pada prinsip untuk mengurangi keuntungan pada diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan untuk orang lain dalam kegiatan bertutur. Jika sudah memaksimalkan keuntungan untuk orang lain maka dapat dikatakan penutur sudah bersikap sopan dan bijaksana. Orang yang bertutur dengan memegang prinsip maksim kebijaksanaan akan dikatakan sebagai orang yang santun. Selain itu,tuturan yang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan ini dapat terhindar dari sikap iri hati, dengki, dan sikap lainnya yang kurang santun kepada lawan bicara. Demikian pula perasaan sakit hati akibat dari perlakuan orang lain dapat diminimalkan jika maksim kebijaksanaan ini dipegang secara teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur atau berinteraksi. Jadi, menurut maksim ini, kesantunan saat kegiatan bertutur dapat dilakukan jika maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Penjelasan dan pelaksanaan maksim kebijaksanaan dalam komunikasi yang sebenarnya dapat dilihat pada contoh di bawah ini:

Tuan rumah: “ Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah mendahului”

Tamu : “ Wah, saya jadi tidak enak, Bu”.

(Rahardi, 2006:60) Contoh tersebut dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

Pada tuturan di tersebut tampak sangat jelas bahwa tuturan si Tuan rumah memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Pada umunya, tuturan semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga-keluarga masyarakat di desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya sudah direncanakan maupun datang secara kebetulan. Selain itu, sering kali minuman dan makanan yang disajikan kepada sang tamu diupayakan sebaik mungkin sehingga layak di nikmati oleh sang tamu.

(11)

Masyarakat Jawa mengatakan hal tersebut dinamakan “ dinak-dinakke” yang bermakna “ diada-adakan”. Jadi, dalam masyarakat Jawa sikap demikian sering muncul dalam pertuturan. Sebagai penjelas, tuturan berikut dapat dicermati:

Ibu : “ Ayo, dimakan bakminya! Di dalamnya masih banyak, kok.”

Rekan Ibu: “ Wah, segar sekali. Siapa yang memasak ini tadi, Bu?”

(Rahardi, 2005:61)

Contoh di atas merupakan tuturan seorang Ibu kepada teman dekatnya pada saat ia berkunjung dikerumahnya. Sikap kesantunan mekmaksimalkan bagi pihak mitra tutur sangat tampak jelas pada tuturan sang Ibu, yakni “Ayo, dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok.” Tuturan itu disampaikan kepada sang tamu meskipun sebenarnya satu-satunya hidangan yang tersedia adalah apa yang disajikan kepada tamu itu. Tuturan itu disampaikan dengan tujuan agar tamu merasa senang hati dan bebas menikmati hidangan yang disajikan tanpa perasaan yang tidak enak sedikitpun.

Maksim Kedermawanan

Menurut Leech (dalam Rahardi, 2006: 61) berpendapat bahwa maksim kedermawanan bisa disebut dengan maksim kemurahan hati, artinya orang yang bertutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain dapat terjadi jika penutur mengurangi keuntungan atas dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan untuk orang lain.

Anak kos A : “ Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak yang kotor.”

Anak kos B : “ Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”

(Rahardi, 2006:61) Tuturan di atas merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos di Yogyakarta.

Terlihat jelas bahwa anak yang satu sangat akrab dan berhubungan baik dengan anak yang satunya.

Tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat secara jelas bahwa ia sedang berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Cara itu dilakukan dengan menawarkan bantuan untuk mencuci pakaian kotornya anak kos B. Pada kehidupan masyarakat Jawa, hal tersebut sering terjadi karena merupakan wujud nyata sebuah kerja sama. Misalnya saja, gotong royong dan kerja sama untuk membuat bangunan rumah. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai realisasi maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati di kehidupan bermasyarakat. Orang yang tidak suka membantu orang lain, tidak pernah bekerja sama dengan orang lain, dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak memiliki banyak teman dalam pergaulan sehari-sehari di hidupnya. Tuturan di bawah ini dapat dicermati untuk memperjelas pernyataan ini:

(12)

Kakak : “ Dik, Indosiar filmnya bagus lho, sekarang!”

Adik : “ Sebentar, Kak. Saya hidupkan dulu saluran listriknya.”

Dituturkan oleh seorang kakak kepada adiknya di sebuah keluarga. Mereka sedang membicarakan acara televisi tertentu, kemudian sang Adik memaksimalkan keuntungan kepada sang Kakak dengan menghidupkan saluran listriknya.

Maksim Penghargaan

Menurut Leech (dalam Rahardi, 2006: 62) menjelaskan bahwa seseorang bisa dianggap santun jika dalam komunikasi bertutur berusaha untuk memberikan pernghargaan terhadap pihak lain. Pada maksim ini, diharapkan penutur dan mitra tutur tidak saling mengejek, tidak saling mencela, tidak saling membenci, dan tidak saling merendahkan pihak lawan bicara. Penutur yang mengejek peserta tutur lain saat kegiatan bertutur dapat dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan seperti itu, karena mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain.

Disebut perbuatan yang tidak baik, tindakan tersebut harus dihindari dalam pergaulan yang sebenarnya. Untuk memperjelas pernyataan tersebut, tuturan di bawah ini dapat dicermati:

Siswa A : “ Pak, aku tadi sudah berpidato di acara perpisahan.”

Guru B : “ Oya, tadi aku melihat dan mendengar suaramu jelas dan bagus sekali dari sini.”

Dituturkan oleh seorang siswa kepada salah satu gurunya bahwa ia telah berpidato di acara perpisahan sekolah.

Maksim Kesederhanaan

Menurut Leech ( dalam Rahardi, 2006: 64) maksim kesederhanaan dapat disebut maksim kerendahan hati, dalam komunikasi peserta tutur diharapkan dapat memiliki sikap kerendahan hati dengan cara mengurangi pujian atas dirinya sendiri. Orang bisa dikatakan sombong hati jika dalam komunikasi bertutur selalu mengunggulkan dirinya sendiri atau memuji dirinya sendiri. Di kehidupan masyarakat Indonesia, kesederhanaan atau kerendahan hati dijadikan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Sebagai contoh tuturan di bawah ini sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Ibu A : “ Nanti Ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapat Dasa Wisma!”

Ibu B : “ Waduh,.... nanti grogi aku”

(Rahardi, 2005:64) Tuturan terjadi saat pertemuan rapat Dasa Wisma. Dituturkan oleh seorang Ibu anggota Dasa Wisma kepada temannya. Mereka sedang berangkat bersama-sama.

(13)

Ibu A menyuruh Ibu B untuk memberikan sambutan. Akan tetapi, ibu B bersikap rendah hati bahwa ia nanti bisa grogi.

Sekretaris A: “ Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang memimpin!”

Sekretaris B: “ Ya, Mbak. Tapi suara saya jelek lho.”

Tuturan terjadi di sebuah kantor. Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior. Sekretaris A meminta sekretaris B untuk memimpin doa saat rapat nanti. Akan tetapi, sekretaris B menjawab dengan rendah hati dan menyatakan jika suaranya jelek.

Maksim Permufakatan

Menurut Leech ( dalam Rahardi, 2006: 64) mengatakan bahwa maksim permufakatan bisa disebut maksim kecocokan. Pada maksim ini, menekankan supaya si penutur dan mitra tutur dapat saling membina kecocokan, persetujuan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.

Penutur dan mitra tutur dapat dikatakan memiliki sikap yang santun jika sudah terjadi kemufakatan atau kecocokan dalam kegiatan bertutur.kehidupan masyarakat Jawa, orang tidak diperbolehkan membantah secara langsung atas apa yang dituturkan orang lain. Kehidupan masyarakat Jawa dahulu, wanita tidak diperkenankan menentang sesuatu yang dikatakan pria. Jika kita mencermati orang bertutur masa saat ini, seringkali si mitra tutur menggunakan anggukananggukan untuk tanda setuju, acungan jempol, wajah tanpa kerutan pada dahi, dan lainnya.

Hal tersebut merupakan sifat paralinguistik kinetik untuk menyatakan maksud tertentu.

Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu”!

Guru B : “He, eh! Saklarnya mana, ya?”

(Rahardi, 2006:65) Tuturan terjadi saat mereka berada di ruang guru. Dituturkan oleh seorang guru kepada temannya yang juga seorang guru. Guru A bertanya dengan penuh makna tentang ruangan yang gelap. Kemudian Guru B merespon secara tanggap dengan pemikiran yang sama dan segeramencari saklar.

Noni : “ Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”

Neni : “ Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya pada saat mereka sedang berada di ruang kelas. Noni mengajak Neni untuk makan malam bersama.

Kemudian, Neni menanggapi dengan menyetujuinya bahwa ia mau makan malam bersama Noni.

(14)

Maksim Kesimpatian

Menurut Leech (dalam Rahardi, 2006: 65) mengungkapkan bahwa maksim kesimpatian merupakan pemberian sikap perhatian. Tujuan maksim ini ialah agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap sikap simpatinya antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Masyarakat tutur di Indonesia, menjunjung tinggi sikap simpati kepada orang lain dalam komunikasi sehari-hari. Jika peserta tutur tidak memiliki sikap simpati maka dapat dikatakan peserta tutur memiliki sikap antipati dan bisa dikatakan sebagai suatu tindakan tidak santun. Sikap simpati kepada orang lain bisa ditunjukkan dengan cara memberikan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan lainnya.

Siswa A : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan”.

Siswa B: “Wah, proficiat ya! Kapan pesta?”

(Rahardi, 2006:65) Tuturan terjadi di ruang perpustakaan kampus. Dituturkan oleh siswa kepada siswa yang lain. Kemudian, siswa B menanggapi dengan rasa simpati atau perhatian.

3.1.2 Skala Kesantunan

Skala kesantunan Lakoff (1972) berisi tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu santun. Ketiga kaidah itu adalah:

a. Skala Formalitas

Skala formalitas berarti jangan memaksa atau jangan angkuh. Contoh:

• “Cepat bawa bukunya kemari, lama sekali!”

• “Maaf, pintunya dibuka saja agar udaranya dapat masuk!”

Tuturan yang pertama bukan merupakan kaidah formalitas karena tuturan tersebut tidak santun dan angkuh. Sedangkan tuturan yang kedua merupakan kaidah formalitas karena pada tuturan kedua penutur menuturkan tuturan tersebut dengan santun dan menggunakan kata maaf pada saat menuturkan tuturan tersebut.

b. Skala Ketidaktegasan

Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya menentukan pilihan.

• “Jika Anda tidak keberatan dan tidak sibuk, saya harap Anda bisa datang dalam acara peresmian gedung nanti sore!”

• “Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”

(15)

Kedua tuturan di atas merupakan tuturan yang termasuk dalam kaidah ketidaktegasan karena tuturan di atas adalah tuturan yang santun dan memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk melakukannya atau tidak.

c. Skala Persamaan atau Kesekawanan

Makna kaidah ini adalah bahwa penutur hendaknya bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang.

• “Tulisanmu rapi sekali, hampis sama seperti tulisanku.”

• “Tarianmu tadi sungguh memukau.”

Kedua tuturan di atas merupakan tuturan yang memenuhi kaidah persamaan atau kesekawanan karena dalam tuturannya, penutur membuat mitra tutur merasa senang.

Tabel 1. Hasil Analisis Prinsip Kesantuan Berbahasa Pada Akun Instagram Milik Jerome Polin Sijabat

No Prinsip Kesantunan Presentase Tuturan 1 Maksim kebijaksanaan 25%

2 Maksim penerimaan 15%

3 Maksim kemurahan 15%

4 Maksim kerendahan hati 10%

5 Maksim kecocokan 25%

6 Maksim kesimpatian 10%

Tabel 2. Hasil Analisis Skala Kesantuan Berbahasa Pada Akun Instagram Milik Jerome Polin Sijabat

No Skala Kesantunan Presentase Tuturan

1 Maksim formalitas 35%

2 Maksim pilihan 15%

3 Maksim kesekawanan 50%

3.2 Pembahasan

3.2.1 Prinsip Kesantunan

Dalam melakukan analisis data peneliti menemukan enam prinsip kesantunan berbahasa, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian.

Prinsip Maksim Penerimaan

Maksim penerimaan pada prinsip kesantunan adalah penutur hendaknya berpengang prinsip untuk mengurangi keuntungan pada dirinya sendiri dan

(16)

memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri. Hasil pen Maksim ini diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Berikut data yang termasuk maksim penerimaan.

(1) Selamat bang, sll jd panutan yang baik ya. Sehat sll ya. Terima kasih ya aku banyak belajar dari semua konten yang bang Jerome bikin. terima kasih udh memotivasi dan memberi contoh yg baik. Semoga 5M subscriber bisa jadi berkat untuk semua.

Data (1) termasuk tuturan maksim penerimaan. Penutur dalam tuturan ini berusaha mengurangi keuntungan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri. Penutur menginginkan mitra tutur untuk tetap menjadi sebuah panutan dan mendoakan supaya mitra tutur tetap sehat sehingga dapat menebarkan kebaikan.

Prinsip Maksim Kemurahan

Maksim kemurahan pada prinsip kesantunan adalah penutur memaksimalkan rasa hormat kepada lawan tutur dan mengurangi rasa tidak hormat kepada lawan tutur.

Maksim ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Berikut data yang termasuk maksim kemurahan.

(1) Yaampun pinter bangett sih.

Data (1) termasuk tuturan maksim kemurahan. Penutur dalam tuturan ini berusaha memaksimalkan memaksimalkan rasa hormat kepada lawan tutur dan mengurangi rasa tidak hormat kepada lawan tutur. Penutur memberikan rasa hormat dengan memuji kemampuan lawan tutur.

Prinsip Maksim Kebijaksanaan

Maksim kebijaksanaan pada prinsip kesantunan adalah penutur hendaknya berpengang prinsip untuk mengurangi keuntungan pada dirinya sendiri dan

memaksimalkan keuntungan pihak. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Berikut data yang termasuk maksim kebijaksanaan.

(1) Aku sdh beli bukunya dan baca sampai habis. Keren tulisannya. Semoga menjadi inspirasi. Anakku senang banget baca buku ini.

Data (1) termasuk tuturan maksim kebijaksanaan. Penutur dalam tuturan ini

memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Penutur mengungkapkan bahwa buku karya Jerome Polin banyak memuat berita yang dapat memotivasi dan

menginspirasi banyak orang, sehingga akan 6x lebih banyak pembaca yang tertarik.

Prinsip Maksim Kecocokan

Maksim kecocokan ini diharapkan penutur mampu membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dengan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Berikut data yang termasuk maksim kecocokan.

(1) Bener bro, generasi kita hari ini cerminan generasi berikutnya.

(17)

Data (1) termasuk tuturan maksim kecocokan. Penutur dalam tuturan ini

memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan.

Penutur sangat bangga dan setuju dengan caption yang ditulis oleh mitra tutur.

Prinsip Maksim Kerendahan Hati

Maksim kerendahan hati diharapkan mampu membuat penutur mampu bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Seseorang dikatakan sombong apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Berikut data yang termasuk maksim kerendahan hati.

(1) Baru kali ini liat soal dari bang Jerome langsung tau jawabannya.

Data (1) termasuk tuturan maksim kerendahan hati. Penutur dalam tuturan ini berusaha meminimalkan rasa hormat bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri. Penutur tidak bersikap sombong meskipun ia dapa menjawab soal yang diberi mitra tutur dalam caption.

Prinsip Maksim Kesimpatian

Maksim kesimpatian mengharuskan penutur memberikan rasa simpati kepada lawan tutur dan mengurangi rasa antipati kepada lawan tutur. Maksim ini diungkapkan dengan tututan asertif dan ekspresif. Berikut data yang termasuk maksim kesimpatian.

(1) Kok terharu bacanya (caption kisah perjuangan)

Data (1) termasuk tuturan maksim kesimpatian. Penutur dalam tuturan ini memberikan rasa simpati kepada lawan tutur dan mengurangi rasa antipati kepada lawan tutur. Penutur sangat bangga dengan kisah perjuangan yang berbuah kesuksesan yang telah dicapai oleh lawan tutur.

3.2.2 Skala Kesantunan Skala Formalitas

Skala formalitas dinyatakan agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan tidak bosan dalam kegiatan bertutur. Skala ini dapat terwujud apabila penutur tidak memaksa atau tidak bersikap angkuh terhadap mitra tutur. Tuturan yang memaksa dan angkuh adalah tuturan yang tidak atau kurang sopan.

(1) Semangat, Bang Jer. Terima kasih telah menjadi inspirasi banyak mahasiswa di kala sudah lelah kuliah dan tetaplah menebar kebaikan.

Data (1) termasuk data skala formalitas. Tuturan tersebut dianggap santun karena penutur tidak memaksa dan tidak bersikap angkuh terhadap mitra tutur. Penutur tidak memaksakan Jerome untuk dijadikan contoh oleh semua anak, tetapi ia berharap anak-anak kuliah zaman sekarang bisa menjadikan kisah Jerome sebagai contoh yang baik.

Skala Pilihan

(18)

Skala Pilihan menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan tidak bosan dalam bertutur. Skala ini dapat terwujud apabila penutur tidak memaksa dan memberikan pilihan kepada mitra tutur.

(1) Mantab, pas balik jadi artis aja atau jadi mentri.

Data (1) termasuk data skala pilihan. Skala pilihan dapat terjuwud jika penutur tidak memaksa dan memberikan pilihan kepada 9 mitra tutur. Penutur tidak memaksa dan memberikan pilihan kepada mitra tutur mengenai pekerjaan yang harus dipilihnya setelah Jerome lulus S-1 di Jepang.

Skala Kesekawanan

Skala kesekawanan menunjukkan bahwa agar dapat bertutur santun, orang haruslah bersikap ramah, akrab, dan selalu mempertahankan persahabatan. Skala ini dapat terwujud apabila penutur menganggap semua mitra tutur sama atau tidak memandang kedudukan. Penutur hendaknya membuat mitra tutur merasa senang.

(1) Pinter banget mah dia

Data (1) termasuk data skala kesekawanan. Tuturan tersebut dianggap santun karena penutur membuat mitra tutur merasa senang. Penutur memuji kepintaran yang dimiliki oleh mitra tutur.

4. Penutup

4.1 Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan mengenai kesantunan berbahasa pada komentar caption akun milik Jerome Polin dapat ditarik dua simpulan. Pertama, prinsip kesantunan berbahasa terdiri atas enam maksim, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Hasil analisis data dalam penelitian ini ditemukan ada 25% tuturan maksim kebijaksanaan, 15% tuturan maksim penerimaan, 15% tuturan maksim kemurahan, 10% tuturan maksim kerendahan hati, 25% tuturan maksim kecocokan, dan 10% tuturan maksim kesimpatian.

Tuturan yang paling mendominasi berdasarkan prinsip kesantunan berbahasa yaitu tuituran maksim kebijaksanaan dan maksim kecocokan. Kedua, skala kesantunan berbahasa menurut Lakoff terdiri atas tiga, yaitu skala formalitas, skala pilihan, dan skala kesekawanan. Hasil analisis data pada akun Instagram milik Jerome Polin ditemukan ada 35% tuturan skala formalitas, 15% tuturan skala pilihan, dan 50%

tuturan skala kesekawanan. Tuturan yang paling mendominasi berdasarkan skala kesantunan berbahasa yaitu skala kesekawanan.

4.2 Saran

(19)

Pengguna Instagram menjadikan media ini sebagai media komunikasi dan bersosialisasi. Oleh karena itu, perlu menanamkan sikap bahasa yang baik agar penggunaannya tepat dan efektif sehingga setiap kali menggunakan Instagram dapat menjaga kesantunan berbahasa agartidak terjadi kesalahpahaman.

Kesantunan dalam menggunakan media jejaring sosial tidak akan terjadi apabila pemakainya dapat menjaga sikap bahasa yang dimilikinya agar selalu baik dan benar.

Daftar Pustaka

Rachmawati, A. A. 2018. eprints.ums.ac.id, diunduh di Kabupaten Semarang, 10 Oktober 2020.

Hartini, 2017. www.neliti.com, diunduh di Kabupaten Semarang, 10 Oktober 2020

Kurniawan, Puguh. 2017. “Pemanfaatan Media Sosial Instagram Sebagai Komunikasi Pemasaran Modern Pada Batik Burneh” dalam Jurnal Kompetensi, Vol 11, No 2, hlm.217-225

Wardhono, Agus. 2013. “An Analysis on Politeness in Sms of the Students to the Lecturers of English Department Unirow Tuban”. Jurnal Didaktika, Vol 19, No 2

Yuni, Qonita Fitra. 2013. “Kesantunan Berbahasa dalam Mata Najwa (Tinjauan Pragmatik)”.

Jurnal NOSI Vol 1, No. 7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dalam penelitian ini ditemukan kesantunan berbahasa anak maksim kesimpatian dengan indikator menunjukkan rasa simpati terhadap mitra tutur, maksim kebijaksanaan dengan indikator

meet sesuai kondisi  Peserta didik mengisi absensi yang telah disiapkan guru di GC, guru mengeceknya sebagai sikap disiplin  Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam