RELEVANSI SISTEM KASTA DALAM BABAD TANAH JAWI DENGAN KEPRIBADIAN MASYARAKAT JAWA
Athaalia Rananur Salsabilla
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Masyarakat Indonesia terutama mereka yang menghuni Pulau Jawa dapat dikatakan terkena dampak yang cukup signifikan dari masuknya pengaruh kerajaan bercorak Hindu- Budha. Secara segi sistem, kerajaan-kerajaan yang berasal dari India ini menerapkan sistem kasta. Efek dari penerapan sistem ini menjalar kepada watak dan sifat masyarakat, baik secara sadar maupun tidak. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menelaah pengaruh sistem kasta dalam novel Babad Tanah Jawi Buku I karya R. Ng. Yasadipura terjemahan Amir Rochkyatmo dan tim. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif serta teori perbandingan dengan menjadikan beberapa buku sebagai acuan referensi.
Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa terdapat beberapa pengaruh akibat penerapan sistem kasta dalam kerajaan di Jawa seperti terjadi kesenjangan sosial serta timbul rasa hormat kepada orang yang lebih tua maupun yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Rasa hormat ini berpengaruh terhadap cara bersikap dan bertutur kata kepada orang tersebut.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa sistem kasta yang telah diperkenalkan oleh kerajaan bercorak Hindu-Budha dari India memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan perkiraan awal. Hal tersebut mempengaruhi segi watak dan kepribadian masyarakat Jawa berupa terdapat penggunaan tingkatan bahasa tergantung lawan bicara, unggah-ungguh atau sopan-santun, serta beberapa peraturan adat yang timbul dari kesenjangan sosial seperti larangan pernikahan beda kasta. Pengaruh-pengaruh tersebut masih diterapkan dan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa hingga zaman modern ini.
Keyword: Sistem kasta; Babad Tanah Jawi; kepribadian; sifat; kebudayaan; masyarakat Jawa.
1. Pendahuluan
1.1 Latar BelakangStruktur sosial masyarakat Jawa memiliki sebuah ciri khas unik yang disebut kasta. Ciri ini berasal dari masuknya sistem kasta yang sebelumnya diterapkan di India. Sistem kasta India adalah sebuah sistem stratifikasi sosial dan batasan sosial dimana komunitas didefinisikan oleh ribuan kelompok herediter endogami yang disebut Jātis.1 Dalam arti lain, kelompok Jātis adalah kelompok yang melakukan perkawinan antara etnis, klan, suku, atau kekerabatan dalam lingkungan yang sama secara turun-temurun.
Para Jātis dikelompokkan secara hipotetis dan formal oleh teks-teks Brahmana di bawah empat kategori terkenal, yaitu: Brahmana, Vaishya, Kshatriya, dan Sudra. Orang- orang tertentu seperti orang asing, nomaden, suku-suku hutan, dan chandala sama sekali tidak dilibatkan dan diperlakukan sebagai orang-orang yang harus dihindari.1 Setelah pengaruh ini masuk, sistem kasta lalu diterapkan oleh kerajaan-kerajaan bercorak Hindu- Budha.
Efek serta pengaruh dari penerapan sistem kasta tersebut dapat ditemukan dalam naskah -naskah kuno, seperti dalam Babad Tanah Jawi Buku I yang merupakan kumpulan naskah berbahasa Jawa. Buku ini memuat susunan pemerintahan suatu kerajaan seperti nama-nama raja maupun beberapa peristiwa yang terjadi di Pulau Jawa.
Salah satu contoh efek yang dapat ditemukan dalam buku tersebut adalah tidak adanya sedikitpun keraguan dalam diri para kesatria ketika melaksanakan perintah sang Raja.
Padahal perintah tersebut dapat mencelakakan bahkan membunuh dan terkadang tidaklah masuk akal. Seperti dalam Babad Tanah Jawi Buku I, Raja Pajajaran memerintahkan untuk membunuh Ki Ajar Cepaka dikarenakan ia merasa kesaktiannya terancam. Lalu ia juga memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Jaka Siyung Wanara hanya karena Ki Jaka mengusap gading gajah miliknya. Para prajurit Raja Pajajaran tetap melaksanakan perintah seakan segala permintaan dan perintah para penguasa adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.
_________________________________________________________________
1Devi Maibam, Arundhati. 2014. Indian Caste System. Educational Multimedia Research Centre.
Namun jika kita tukarkan posisinya, apakah Raja akan dibunuh jika ia lebih sakti dari para pertapa? Apa Raja akan ditangkap jika ia mengelus gading milik rakyat? Maka, dapat disimpulkan bahwa sistem stratifikasi sosial berupa kasta adalah dimana para penguasa atau orang-orang yang menduduki posisi kasta lebih tinggi memiliki kekuatan yang jauh lebih besar.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang dapat dilihat bahwa muncul sebuah permasalahan, yaitu mengenai pengaruh sistem kasta dalam novel Babad Tanah Jawi Buku I sebagai pokok pembahasan.
Apakah pengaruh sistem kasta hanya terbatas pada naskah kuno? Apa pengaruh tersebut masih diaplikasikan dan dapat dirasakan bahkan di zaman modern ini? Berupa apa pengaruh sistem kasta di zaman modern? Siapa saja yang terpengaruh? Serta apakah pengaruh ini sebaiknya terus dilestarikan atau perlukah introspeksi diri?
Perihal topik pengaruh stratifikasi sosial kasta dalam novel pernah diteliti oleh Gongsar Silaban dalam artikel yang berjudul Pengaruh Stratifikasi Sosial Kasta Hindu Dalam Novel Oka Rusmini, namun acuan novel dalam artikel beliau dengan penelitian ini adalah berbeda. Topik konsep kasta dalam dunia modern pernah diteliti oleh Drs. I Made Purana, M.Si dalam artikel berjudul Konsep Kasta Dilihat Dari Kaca Mata Idiom Estetika Postmodern, namun beliau lebih membahas kaitan konsep kasta dengan idiom-idiom estetika postmodern tidak dengan novel maupun naskah.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari relevansi sistem kasta dalam sejarah tanah Jawa seperti yang digambarkan dalam novel Babad Tanah Jawi dengan kepribadian masyarakat Jawa modern atau masa kini. Apa pengaruh dari sistem kasta tersebut memiliki dapmpak yang baik dan dapat terus dilestarikan atau perlu dilakukan pengubahan tradisi kepribadian. Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkannya para pembaca dapat mengetahui dampak-dampak yang muncul akibat penerapan sistem kasta serta dapat menerapkan dampak yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
2. Objek Kajian dan Metode
2.1 Objek KajianObjek kajian pada penelitian ini adalah kumpulan naskah berbahasa Jawa yang diubah menjadi sebuah novel kemudian ditranslasikan dari Bahasa Jawa menjadi Bahasa Indonesia. Judul novel yang akan digunakan adalah Babad Tanah Jawi Buku I. Wujud asli dari novel tersebut merupakan naskah yang ditulis dalam bentuk tembang macapat oleh R. Ng.
Yasadipura lalu dialihbahasakan oleh Amir Rochkyatmo dan tim pada tahun 2004. Panjang novel Babad Tanah Jawi Buku I sekitar 38710 kata.
2.2 Kajian Teoritis
2.2.1 Stratifikasi Sosial Berbentuk Sistem Kasta
Menurut P.J. Bouman, stratifikasi sosial ialah penggolongan manusia ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hal istimewa yang tertentu dan karena itu menuntut gengsi kemasyarakatan. Sementara itu, menurut Astrid S. Susanto, stratifikasi sosial ialah hasil kebiasaan hubungan antar manusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakat. Sistem stratifikasi sosial terdapat dalam sistem kasta India yang lalu pengaruhnya masuk kedalam kebudayaan masyarakat Jawa.
2.2.2 Mamayu Hayuning Buwana, Menerapkan Tata Tertib Dalam Budaya Jawa Definisi tata tertib menurut Adiwimarta dalam Prayoga (2000:14) adalah peraturan- peraturan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007), tata tertib berasal dari dua kata yaitu tata dan tertib. Tata adalah aturan (umumnya digunakan untuk kata majemuk) dapat diartikan kaidah, aturan, susunan, dan cara menyusun sistem. Sedangkan tertib adalah teratur menurut aturan, rapi.
Jadi tata tertib adalah peraturan peraturan yang harus ditaati atau dilaksanakan (disiplin).
Tata tertib dijadikan sebagai suatu bentuk peraturan dalam kelompok masyarakat tertentu. Ketetapan dan hukuman tertulis untuk menilai tindakan dan standar yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah, tepat dan tidak tepat, adil dan tidak adil,
maupun baik dan buruk dalam hubungan sosial sebagai keharusan yang bersifat operasional, karena adanya sanksi.
Dalam kebudayaan Jawa, upaya melaksanakan tata tertib dalam dunia untuk mencapai kesejahteraan dunia didasari oleh falsafah hidup mamayu hayuning buwana. Mamayu hayuning buwana adalah filosofi atau nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa.
Falsafah ini diperkenalkan oleh pujangga terkenal bernama Ki Rangga Warsita. Di satu sisi secara harafiah, pengertian falsafah ini adalah manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. aSedangkan di sisi lain secara abstrak, amanusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spritualnya.2 Pandangan tersebut memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan. Orang Jawa menyebutkan bahwa manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak dan berbuat semena-mena.3
2.2.3 Unggah-Ungguh, Sopan Santun Budaya Jawa
Unggah-ungguh menurut bahasa adalah gabungan dari dua kata yaitu kata unggah dan kata ungguh. Kata unggah dalam kamus bahasa Jawa disama-artikan dengan kata munggah yang artinya naik, mendaki, memanjat.4 Maka kecenderungan orang Jawa dalam menghormati orang lain didasarkan pada tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi.
Sedangkan ungguh dengan tingkat bahasa Jawa ngoko yang artinya berada, bertempat, pantas, cocok sesuai dengan sifat-sifatnya.5 Dalam hal ini mayoritas orang Jawa menghormati orang lain selalu melihat atau memperhatikan keadaan, selalu berhati-hati dalam membawa diri. Sikap berhati-hati dan waspada bermaksud agar tingkah lakunya sesuai, pantas dan tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik dalam masyarakat. Kedua kata tersebut jika digabung menjadi unggah-ungguh artinya sopan santun, basa basi atau tata krama.6
_________________________________________________________________
2 Endraswara, Suwardi. 2013. Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi. hlm. 15-33
3 G. Babcock, Tim. 1989. Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
4 S. Prawiroatmodjo. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: CV. Haji Masagung,. h. 296.
5 P.S. Zoetmulder. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. h.
1334.
6 S.A. Mangunsuwito. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Bandung: CV. Yrama Widya. h. 570.
2.3 Metodologi Penelitian 2.3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan perbandingan dengan metode deskriptif asosiatif. Hal ini dikarena adanya variabel-variabel yang akan ditelah hubungannya serta tujuan untuk menyajikan gambaran secara faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan hubungan variabel yang diteliti. Pengertian metode penelitian deskriptif menurut Sugiyono (2012:35) adalah metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui nilai variabel mandiri atau lebih tanpa membuat perbandingan atau menggabungkan antara variabel satu dengan yang lainnya. Sementara itu, metode penelitian asosiatif menurut Sugiyono (2012:36) adalah metode penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini akan dibangun suatu teori yang dapat berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol suatu gejala.
2.3.2 Jenis Data
Jenis data yang digunakan sebagai acuan perbandingan dalam penelitian ini merupakan jenis data sekunder, karena data primer pada penelitian ini berupa novel Babad Tanah Jawi Buku I karya R. Ng. Yasadipura terjemahan Amir Rochkyatmo dan tim.
2.3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumen yang berasal dari novel Babad Tanah Jawi Buku I . Dokumen tersebut merupakan sumber primer pada penelitian ini. Setelah diambil data dari dokumen tersebut, kemudian data dianalisis pada tahap selanjutnya.
2.3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini adalah dengan cara mengkaji data yang telah didapat. Kemudian data tersebut akan diujikan terhadap teori-teori yang ada untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang telah dirumuskan pada penelitian ini.
3. Pembahasan
3.1 Stratifikasi Sosial Berbentuk Sistem Kasta Beserta Dampaknya
Penerapan sistem kasta dalam suatu kelompok masyarakat memiliki banyak dampak yang tidak diduga. Hal tersebut menghasilkan terbentuknya suatu ‘sifat’ yang kerap dilakukan, menjadi suatu kebiasaan, lalu dijadikan sebagai karakteristik. Dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa penerapan sistem kasta menjadi alasan terbentuknya beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh hampir seluruh anggota masyarakat Jawa, menjadikannya karakteristik masyarakat Jawa.
Salah satu contoh karakteristik orang Jawa adalah menganggap anggota keluarga penting secara segi sosial dan emosional, jika tidak sebagai identitas diri, paling tidak sebagai sumber pembelajaran moral dan bantuan materil.7 Hal tersebut terdapat di dalam novel Babad Tanah Jawi Buku I, berikut kutipannya :
“Sang Wishnu menjawab, ‘Hamba tidak bersedia berperang kalau anak hamba satu- satunya diambil. Hamba pasti mati menjalankan tugas. Siapa nanti yang akan menggantikan hamba? Dan, seandainya hamba menang, siapa pula yang ikut berbahagia? Untuk apa hamba menjalani tugas kalau tidak demi anak dan istri? Kalau Srigati mati, hamba tidak akan mungkin bahagia menjadi Raja. Lebih baik hamba tinggal di tengah hutan.’”
Dari kutipan diatas, dapat dilihat bahwa walaupun bayaran yang ditawarkan adalah menjadi seorang Raja, tokoh Wishnu merasa bahwa keselamatan anaknya lebih penting dibandingkan kedudukan dan kekuasaan yang ditawarkan kepadanya.
Namun, kadangkala rasa kekeluargaan ini dapat menghasilkan efek negatif. Rasa kekeluargaan yang berlebihan dapat berdampak pada munculnya sifat seperti sombong, egois, dan merendahkan orang lain. Terdapat suatu tradisi bagi masyarakat Jawa menerapkan hukum Hindu dimana seorang Ida bagus harus menikahi seorang Ida ayu guna mempertahankan garis keturunan, wangsa atau kulit dari seorang Brahmana.8 Perkawinan dianjurkan atau diharapkan terjadi antara dua orang yang sederajat karena hal ini akan membawa dampak pada martabat serta kedudukan keluarga.
_________________________________________________________________
7 Mulder, Niels. 1985. Individual And Society In Java: A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hlm. 23
8 Dewi, Ida Ayu Made Lestari. 2013. Implikasi Perkawinan Beda Kasta Dalam Perspektif Hukum Sosial- Budaya dan Religius di Banjar Brahmana Bukit, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
Hal ini sesuai dengan Manawa Dharmasastra III, sloka 15 yang berbunyi : Hinajati striyam mohad
udwa hanto dwijatayah kulanyewa nayantyacu sasamtanani cudratam
Terjemahan: “Orang dwijati yang karena kebodohannya kawin dengan wanita sudra akan cepat menjatuhkan martabat keluarga dan anak-anak mereka ketingkat sudra.”
Bagi masyarakat Jawa, kehormatan, martabat dan harga diri merupakan hal-hal yang sangat penting dalam berlangsungnya kehidupan. Masyarakat Jawa memiliki toleransi yang rendah bagi hal yang berkaitan dengan status atau kedudukan, tidak memberi toleransi maupun dapat berkompromi.9 Mengutip isi dari buku Individual And Society In Java: A Cultural Analysis, yaitu:
“’It is like the wayang, one wins or dies. To ask for forgiveness is to give in and lose.’
Because of that he often found people to be stubborn and motivated to protect their status by every means, irrespective of consequences.”
“To tell a lie or write a false report are unimportant. If that protects me, it is good.”
Terjemahan: “Ini seperti dalam wayang, seseorang menang atau mati. Meminta pengampunan berarti menyerah dan kalah.’ Karena itu ia sering menemukan orang-orang keras kepala dan termotivasi untuk melindungi status mereka dengan segala cara, terlepas dari konsekuensinya.”
“Untuk mengatakan suatu kebohongan atau menulis laporan palsu tidak penting. Jika itu melindungi saya, itu bagus.”
Efek dari stratifikasi sosial berbentuk sistem kasta adalah nyata. Dengan terbiasanya masyarakat oleh mindset ‘pola pikir’ yang memandang status, masyarakat Jawa menjadi terlalu memperhatikan kehormatan dan harga diri. Disini akan muncul masalah seperti kesenjangan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok masyarakat yang dianggap
_________________________________________________________________
9Mulder, Niels. 1985. Individual And Society In Java: A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hlm. 151
‘berkasta rendah’ atau dalam versi dunia modern ini adalah ‘rakyat kecil’ akan kerap direndahkan atau bahkan sama sekali tidak dianggap oleh mereka yang menganggap dirinya berada pada kasta yang lebih tinggi. Dalam arti lain, sistem kasta versi dunia modern ditentukan berdasarkan jumlah harta dan kekayaan yang dimiliki seseorang.
3.2 Mamayu Hayuning Buwana Guna Mencapai Kesejahteraan Dunia
Mamayu hayuning buwana sebuah falsafah tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa yang diperkenalkan oleh pujangga terkenal bernama Ki Rangga Warsita. Falsafah ini diterapkan dalam kehidupan masyarakat Jawa, sesuai dengan kutipan dari buku Individual And Society In Java: A Cultural Analysis, yaitu:
“These qualities are by themselves indications of superior inner resources, of a well- developed control over their inner selves (batin) and a well-trained inner feeling (rasa) that guide their actions in everyday life. They have achieved inner personal order and are thus in the position to control their environment. They do the right things and speak the right words because they know, because they have insight; from this they naturally derive their position of respect; moreover, they will generally also be admired for their simple life styles, congeniality and sincerity. They will fulfil the idea of not being self-interested (sepi ing pamrih), while being active in their duty (rame ing gawe), thus making the world a well ordered place (mamayu hayuning buwana) (Mulder 1980: 27. 36-8).”
Terjemahan: “Kualitas-kualitas ini dengan sendirinya merupakan indikasi dari sumber daya batin yang superior, dari kontrol yang dikembangkan dengan baik atas batin mereka dan rasa yang terlatih yang memandu tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka telah mencapai tatanan pribadi batiniah dan dengan demikian berada dalam posisi untuk mengendalikan lingkungan mereka. Mereka melakukan hal yang benar dan mengucapkan kata-kata yang benar karena mereka tahu, karena mereka memiliki wawasan;
dari sini mereka secara alami mendapatkan posisi hormat mereka; Selain itu, mereka umumnya akan dikagumi karena gaya hidup mereka yang sederhana, pengertian dan ketulusan. Mereka akan memenuhi suatu ide untuk tidak mementingkan diri sendiri (sepi ing pamrih), bersamaan dengan aktif dalam tugas mereka (rame ing gawe), sehingga menjadikan dunia tempat yang tertata dengan baik (mamayu hayuning buwana) (Mulder 1980: 27. 36-8).”
Dikisahkan dalam novel Babad Tanah Jawi Buku I, bahwa Raden Fatah bersama Raden Kusen bertemu dua perampok kakak beradik yang bernama Supala dan Supali.
Mereka adalah pejudi yang telah kalah habis-habisan, mengadu ayam dengan taruhan sampai habis hartanya, bahkan istri dan anak-anaknya dijadikan taruhan pula. Mereka selalu bertindak semena-mena dan merusak lingkungan. Dapat dilihat bahwa kedua tokoh ini memiliki sifat dan watak yang berbanding terbalik dengan falsafah mamayu hayuning buwana dimana manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak dan berbuat semena- mena. Setelah berusaha merampok Raden Fatah dan Raden Kusen, tokoh Supala dan Supali terkena karma berupa datangnya angin topan dengan kilat menyambar, pohon-pohon roboh, lalu mereka tertiup dan terangkat tinggi oleh angin.
Dapat disimpulkan bahwa gambaran tersebut mengimplikasikan akan adanya sebuah karma ‘balasan’ jikalau seseorang bertindak tidak selaras dengan falsafah mamayu hayuning buwana, dan bagaimana falsafah tersebut berperan penting dalam kelangsungan hidup. Sama seperti gambaran penerapan falsafah tersebut dalam novel Babad Tanah Jawi Buku I, penerapan mamayu hayuning buwana dalam zaman modern ini adalah memelihara dan memperbaiki lingkungan, baik fisik maupun spiritual, serta tidak merusak maupun berbuat semena-mena. Memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dapat dilakukan dengan menerapkan hal sekecil membuang sampah ditempatnya. Lalu penerapan memelihara dan memperbaiki lingkungan spiritual dapat dilakukan dengan cara meningkatkan ibadah kepada Tuhan serta menjaga kebersihan rumah ibadah.
3.3 Unggah-Ungguh
Mengutip Ayu Sutarto dalam artikelnya yang berjudul Becoming A True Javanese: A Javanese view of attempts at Javanisation, yaitu:
“The active bearers of Javanese culture generally have two main aims in life, to try to make themselves real or true Javanese, and to try to make others Javanese. The word
‘others’ includes those Javanese who have yet to become real Javanese as well as other ethnicities. They believe that life is bener (correct), pener (appropriate) and slamet (safe) if somebody manages to make himself or herself a true Javanese, which means becoming someone who is berbudi bawa leksana lan ngudi sejatining becik – wise and continually striving to do good.”
Terjemahan: “Pembawa aktif budaya Jawa umumnya memiliki dua tujuan utama dalam kehidupan, untuk mencoba menjadikan diri mereka Jawa yang nyata atau benar, dan mencoba membuat orang lain menjadi orang Jawa. Kata 'orang lain' meliputi orang Jawa yang belum menjadi orang Jawa (durung Jawa, wis lali Jawane) dan juga etnis lain. Mereka percaya bahwa hidup itu bener (benar), pener (pantas) dan slamet (aman) jika seseorang berhasil menjadikan dirinya orang Jawa sejati (wis Jawa), yang berarti menjadi seseorang yang berbudi bawa leksana lan ngudi sejatining becik - bijak dan terus berjuang untuk lakukan yang baik.
Sejak kecil, masyarakat Jawa dibesarkan untuk menjadi manusia (dadi wong), yaitu menjadi anggota masyarakat yang dihormati. 10 Secara perlahan, mereka dilatih untuk mematuhi peraturan, bersikap sepantasnya, dan untuk menguasai diri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi manusia adalah untuk mempelajari tata tertib, baik secara internal maupun eksternal. Mempelajari tata tertib berarti mengetahui peraturan, dan paling tidak hal tersebut dapat terlihat dari cara ia bersikap (eksternal).
Seorang anak harus menghargai dan menghormati (ngajeni) orang tua mereka. Ini berarti mereka perlu mematuhi permintaan maupun perintah orang tua mereka. Seorang anak juga harus mengaplikasikan penggunaan bahasa yang lebih ‘halus’ sebagai tanda hormat kepada orang tua mereka. Baik orang tua yang melahirkan, maupun orang yang lebih tua secara general ‘umum’. Hal-hal tersebut dapat dikategorikan menjadi bagian dari unggah- ungguh ‘sopan santun’ dalam budaya Jawa. Unggah-ungguh dijadikan sebagai sebuah pedoman maupun pemberi batas dalam kehidupan bermasyarakat.
Prinsip utama dalam sopan santun pergaulan adalah penghormatan kaum muda terhadap kaum tua. Kaum tua berkewajiban menjadi pelindung, pembimbing, dan memberi nasehat kepada yang muda. Sebaliknya, kaum muda harus memberi hormat, tunduk, dan diharapkan mengikuti petunjuk-petunjuk atau nasehat kaum tua.11 Salah satu norma pergaulan yang dianggap kaku adalah hubungan atara mertua dengan menantu. 12 Setelah dilakukannya ikatan perkawinan, menantu masuk menjadi anggota kerabat mertuanya namun tetap memelihara jarak. Menantu akan bersikap dan berbahasa lebih sopan ketika berinteraksi.
_________________________________________________________________
10 Mulder, Niels. 1985. Individual And Society In Java: A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hlm. 30
11 Suwondo, Bambang. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah. Hlm. 35
12 Suwondo, Bambang. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah. Hlm. 36
Penggunaan tingkatan bahasa adalah salah satu perwujudan dari penghormatan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tergantung pada status sosial, apakah lawan bicara memiliki status sosial lebih tinggi, lebih rendah atau sederajat, penggunaan tingkatan bahasa akan disesuaikan. Bahasa ngoko digunakan untuk menyatakan keakraban atau untuk berkomunikasi diantara orang-orang dengan tingkat sederajat. Bahasa karma digunakan sebagai tanda hormat. Umumnya digunakan antara untuk berkomunikasi kepada yang lebih tua, maupun yang sederajat namun tidak terlalu akrab.
Contoh penerapan unggah-ungguh dalam buku Babad Tanah Jawi Buku I ditunjukkan pada bagian:
“Nyai Medang segera menunjukkan bakti kepada suami, menghanturkan sembah dan sungkem di kaki, sementara si suami memeluk istri seraya berkata, ‘Duduklah, adinda.
Baktimu telah aku terima.’”
Ketika menemui suaminya, Hyang Wishnu, Nyai Medang menghanturkan sembah dan sungkem di kaki terlebih dahulu, menunjukkan rasa hormatnya. Di zaman modern ini, tentu saja sembah maupun sungkem kaki tidak diperlukan guna menunjukkan rasa hormat.
Dengan menggunakan bahasa yang lebih ‘halus’ kepada orang yang lebih tua saja sudah menunjukkan adanya suatu rasa hormat.
4. Kesimpulan
Sistem kasta yang telah diperkenalkan oleh kerajaan bercorak Hindu-Budha dari India memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan perkiraan awal. Pengaruh tersebut mempengaruhi bahkan hingga segi watak dan kepribadian masyarakat Jawa. Begitu banyak masyarakat Jawa yang menerapkan pengaruh-pengaruh ini, menjadikannya sebagai karakteristik orang Jawa. Pengaruh-pengaruh ini antara lain berupa beberapa peraturan adat yang timbul dari kesenjangan sosial, penerapan tata tertib guna mempertahankan kesejahteraan alam semesta, serta pengaplikasian unggah-ungguh atau sopan-santun. Tidak terbatas hanya dalam naskah kuno seperti dalam kandungan novel Babad Tanah Jawa Buku I, namun pengaruh-pengaruh tersebut masih diterapkan dan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa hingga zaman modern ini.
Secara teoritis, Ilmu yang didapat dari penelitian ini adalah pengaruh dari sistem kasta yang menghasilkan dampak-dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Penggunaan ilmu tersebut secara praktis dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Menghargai orang yang memiliki kedudukan kasta yang berbeda, mensejahterahkan lingkungan dengan melaksanakan tata tertib, serta berbahasa yang santun. Namun, walau pengaruh sistem kasta memiliki banyak dampak positif dalam terlaksananya kehidupan, kita tetap harus mengingat dampak-dampak negatifnya. Rasa kekeluargaan yang berlebihan dapat berdampak pada munculnya kesenjangan sosial. Kadangkala peraturan memiliki fungsi fleksibilitas yang dapat disesuaikan dengan keadaan serta lingkungan sekitar. Menuntut pengaplikasian unggah-ungguh secara berlebihan dapat mengakibatkan seseorang menjadi gila hormat.
Sehingga, kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh sistem kasta telah menjadi bagian besar dalam kehidupan masyarakat Jawa, bahkan hingga saat ini. Pelestarian pengaruh-pengaruh ini sangat dianjurkan untuk tetap dilakukan asalkan tidak secara berlebihan hingga menjadi suatu hal yang negatif. Dengan begitu, nilai-nilai leluhur yang telah dikenal sebagai karakteristik masyarakat Jawa akan terus terlestarikan serta dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
5.1 Daftar Referensi
R. Ng. Yasadipura. terjemahan Rochkyatmo, Amir. 2004. Babad Tanah Jawi Buku I. Jakarta: Amanah-Lontar
Devi Maibam, Arundhati. 2014. Indian Caste System. Educational Multimedia Research Centre.
Endraswara, Suwardi. 2013. Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi.
G. Babcock, Tim. 1989. Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
S. Prawiroatmodjo. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: CV. Haji Masagung.
P.S. Zoetmulder. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
S.A. Mangunsuwito. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Bandung: CV. Yrama Widya.
Mulder, Niels. 1985. Individual And Society In Java: A Cultural Analysis. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Dewi, Ida Ayu Made Lestari. 2013. Implikasi Perkawinan Beda Kasta Dalam Perspektif Hukum Sosial-Budaya dan Religius di Banjar Brahmana Bukit, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
Suwondo, Bambang. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah.
5.2 Daftar Pustaka
R. Ng. Yasadipura. terjemahan Rochkyatmo, Amir. 2004. Babad Tanah Jawi Buku I. Jakarta: Amanah-Lontar
Devi Maibam, Arundhati. 2014. Indian Caste System. Educational Multimedia Research Centre.
Endraswara, Suwardi. 2013. Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi.
G. Babcock, Tim. 1989. Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
S. Prawiroatmodjo. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: CV. Haji Masagung.
P.S. Zoetmulder. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
S.A. Mangunsuwito. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Bandung: CV. Yrama Widya.
Mulder, Niels. 1985. Individual And Society In Java: A Cultural Analysis. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Dewi, Ida Ayu Made Lestari. 2013. Implikasi Perkawinan Beda Kasta Dalam Perspektif Hukum Sosial-Budaya dan Religius di Banjar Brahmana Bukit, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
Suwondo, Bambang. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah.
Silaban, Gongsar. 2019. Pengaruh Stratifikasi Sosial Kasta Hindu Dalam Novel Oka Rusmini. Jurnal Littera: Fakultas Sastra Darma Agung Volume I, Nomor 2, Oktober 2019:
256–264
Drs. I Made Purana. 2016. M.Si. Konsep Kasta Dilihat Dari Kaca Mata Idiom Estetika Postmodern. Jurnal Kajian Pendidikan Widya Accarya FKIP Universitas Dwijendra.