Bab II
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi
A. Tindak Pidana Korupsi
Korupsi dipahami sebagai suatu kejahatan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial tinggi.11 Dikatakan demikian karena orang-orang yang memiliki status sosial tinggi cenderung mempunyai sumber daya baik uang maupun kekuasaan, yang mana hal tersebut digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, kolega atau korporasinya.
Dilihat dari perspektif etimologis, Istilah kata korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu Corrumpere, dari kata tersebut lalu melahirkan kata Corruptio atau Corruptus. Kemudian dari kata tersebut banyak diterjemahkan ke banyak Bahasa Eropa, dalam Bahasa Inggris (Corruption, Corrupt), Bahasa Prancis (Corruption), dan Bahasa belanda (Corruptie, Korruptie). Maka dari itu, kita dapat memberanikan diri menyatakan bahwa dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu Korupsi. 12 Lalu dari Bahasa Malaysia (Rasuah), Filipina (Lagay), Thailand (Gin Muong), India (Bhrashtaachaar, Bakhesh) dan Arab (Fasad, Risywah, Ghulul). Selain itu negara-negara di Asia lainnya seperti Taiwan, Cina, dan Hongkong menyebutnya dengan “Yum Cha”.
11Jupri, Suardi Rais, Hukum Pidana Korupsi Teori; Praktik; dan Perkembangannya, Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, 2021 hlm 2.
12 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Pemecahannya, PT Gramedia, Jakarta, 1986, hlm 9.
Arti kata korupsi secara harafiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata- kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.13 Dalam naskah kuno Negara Kertagama terdapat kata “Korupsi” dalam Bahasa Sansekerta yang mana arti secara harafiah menunjukkan pada suatu perbuatan yang rusak, bejat, busuk, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuntungan.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak terdapat definisi mengenai korupsi, namun dalam Pasal 2 dan Pasal 3 diatur secara tegas mengenai unsur-unsur dari tindak pidana korupsi, Pasal 2 ayat (1) dan (2) merumuskan :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. (2) “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
13 Mispansyah dan Amir Ilyas, Tindak Pidana Korupsi Dalam Doktrin dan Yurisprudensi,
Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hlm 17.
Dalam Pasal di atas menegaskan bahwasannya dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi jika memenuhi unsur-unsur setiap orang, melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kemudian Pasal 3 yang merumuskan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Pasal di atas menjelaskan bahwa apabila setiap orang yang memiliki tujuan menguntungan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan yang dapat merugikan perekonomian negara maka dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, jika dilihat dari kedua Pasal di atas sebenarnya tidak secara langsung menjelaskan pengertian dari korupsi, akan tetapi pengertian korupsi dijelaskan secara tersirat di dalam unsur-unsur yangt terdapat dalam kedua Pasal tersebut.
Dari sudut pandang hukum sendiri, seacara garis besar tindak pidana korupsi mencangkup unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur “setiap orang”, menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ialah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
2. Unsur “melawan hukum”, menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ialah melawan hukum baik formil maupun materiil.
“Yang dimaksud ialah meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”14
3. Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi” merupakan unsur yang bersifat alternatif yang dimaksud ialah cukup membuktikan salah satu saja yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
4. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
unsur ini menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil sehingga adanya tindak pidana korupsi cukup dengan tepenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan timbulnya akibat, yang
14 Shinta Agustina, Penafsiran Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 2 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LeIP, Jakarta, hlm 11.
dimaksud dalam hal ini ialah menjadi rugi atau berkurangnya keuangan negara.
Secara Yuridis tindak pidana korupsi memberikan batasan guna dapat memahami rumusan delik hal tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk memahami rumusan delik maka dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kelompok delik yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
2. Kelompok delik penyuapan aktif maupun pasif (yang menyuap maupun yang menerima suap) (Pasal 5, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
3. Kelompok delik penggelapan (Pasal 8, Pasal 10 Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12e dan 12f Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborosan, leveransir, dan rekaan (Pasal 7 Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).15
Kaitannya dengan tindak pidana korupsi adanya pengelompokan delik bertujuan untuk membantu dalam menyusun sistem hukum yang lebih
15 Chaerudin Ahmad Syaiful Dinar, Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, Bandung, hlm 4.
teratur dan juga konsisten, dengan adanya pengelompokan delik-delik yang mempunyai kesamaan karakteristik atau unsur-unsur maka hukum dapat menjadi lebih terstruktur dan dapat diterapkan secara konsisten. Sehingga hal tersebut memungkinkan para penegak hukum untuk lebih mudah memahami jenis-jenis pelanggaran yang ada serta agar lebih mudah dalam mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus dengan lebih efisien.
B. Kerugian Keuangan Negara
Menurut Arifin Surya Atmaja keuangan negara ialah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang dibentuk oleh negara untuk kepentingan publik dimanapun dan dalam kepentingan apapun.16 M. Ichwan juga memberikan pendapat mengenai definisi keuangan negara ialah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang lazimnya satu tahun mendatang.17 Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan juga kewajiban yang bisa dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dari pengertian mengenai keuangan negara di atas dapat disimpulkan bahwa keuangan negara sama dengan kekayaan negara, yang mana aktiva dan pasifa semua barang yang memiliki nilai uang seperti tanah, kali, tambang,
16 Arifin P.Soeria Atmadja, Aktualisasi Hukum Keuangan Publik,Mujahid Press, Bandung, 2014, hlm 14.
17 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, PT. Grasindo, Jakarta, 2006, hlm 1.
gunung, dan segala yang ada di wilayah Republik Indonesia dan juga semua sarana yang dimiliki oleh negara RI, baik melalui pembelian maupun dari cara perolehan lainnya.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memakai istilah “kerugian keuangan negara” , bukan “kerugian negara”
hal tersebut dapat di lihat melalui konsiderans menimbang huruf a Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 merumuskan “ bahwa tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”. kemudian dalam konsiderans menimbang huruf b merumuskan “bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga...”. Selain itu unsur “merugikan keuangan negara juga tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah “kerugian negara” tanpa kata keuangan.
Pada hahikatnya istilah “kerugian keuangan negara” maupun “kerugian negara digunakan dalam pengertian yang sama. Penyelesaian tindak pidana korupsi yang menggunakan istilah “kerugian keuangan negara” dalam berbagai pasal di Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 saat sampai pada pembuktian unsur adanya “kerugian keuangan negara” penegak hukum akan meminta keterangan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan).
C. Restorative Justice
1. Pengertian Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Keadilan Restoratif (Restorative justice) adalah gerakan baru di bidang viktimologi dan kriminologi. Mengakui bahwa kejahatan menyebabkan cedera pada orang-orang dan masyarakat, hal itu menegaskan bahwa perbaikan pengadilan mereka cedera dan bahwa para pihak diizinkan untuk berpartisipasi dalam proses tersebut. Oleh karena itu program restorative justice, memungkinkan korban, pelaku dan anggota yang terkena dampak dari masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam menanggapi kejahatan.
Mereka menjadi sentral dalam proses peradilan pidana, dengan profesional pemerintah dan hukum yang berfungsi sebagai fasilitator dari sistem yang bertujuan pelaku akuntabilitas, reparasi kepada korban dan partisipasi penuh oleh korban, pelaku dan masyarakat.
Menurut Tony F. Marshall seorang ahli kriminologi berkebangsaan Inggris, Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future” 18 (Keadilan Restoratif adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara
18 Tony Marshall, 1999, Restorative Justice: An Overview, London: Home Office Research Developement and Statistic Directorat, hlm 8. (dalam Dwidja Priyatno, 2007, Pemidanaan untuk Anak dalam Konsep Rancangan KUHP (dalam Kerangka Restorative Justice), Jurnal Advokasi LAHA, Vol. 3, Ed. VIII, Bandung: Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), hlm. 9).
bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).
Restorative Justice muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep retributive justice yang lebih berfokus kepada pembalasan terhadap suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Pembalasan tersebut diwujudkan dalam bentuk pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana.
Menurut pendapat Satjipto Rahardjo suatu penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum ke arah jalur lambat19.
“Sehingga dengan demikian restorative justice dipandang sebagai cara yang lebih baik dan efisien dalam menyelesaikan suatu perkara dibandingkan dengan retributive justice. Luhut MP Pangaribuan menyatakan bahwa dalam perkembangannya, penyelesaian suatu kasus pidana tidak lagi melalui penjara karena merupakan perwujudan dendam dan sekaligus menjadi beban kepada negara, akan tetapi lebih merestorasi hubungan pelaku, korban dan masyarakat”20.
2. Tujuan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah peradilan yang lebih menekankan kepada perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana 21 . Restorative Justice Model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa
19 Henny Saida Flora, 2018, Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian Tindak Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Indonesia, UBELAJ Jurnal, Volume 3, Issue 2, hlm. 2.
20 Luhut MP Pangaribuan, 2009, Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm 257.
21 M Taufik Makaro, 2013, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative Justice dalam Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Jakarta: BPHN Kementerian Hukum dan HAM, hlm 27.
sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif 22 . Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara23.
Penerapan restorative justice perlu diakomodasi untuk mengevaluasi kelemahan pendekatan retributive justice sebagaimana yang selama ini ada dan berlaku24 . Marwan memberikan pendapatnya bahwa restorative justice dapat digunakan dalam tindak pidana korupsi, tidak seperti restorative justice pada tindak pidana umum yang mana harus melibatkan keterlibatan para pihak korban, pelaku dan masyarakat, terkait perkara tindak pidana korupsi bertitik berat pada pengembalian kerugian Negara25
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia memperlihatkan adanya kecenderungan mengikuti perkembangan keadilan masyarakat khususnya perkembangan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang mencerminkan keadilan sebagai suatu bentuk keseimbangan hidup manusia, akibatnya perilaku menyimpang dari pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku yang menghilangkan keseimbangan hidup manusia. Maka dari itu metode penyelesaian perkara yang dilakukan ialah adanya upaya mengembalikan keseimbangan tersebut dengan
22 Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipta, hlm. 15.
23 Ibid., hlm 101.
24 Budi Suhariyanto, 2016, Restorative Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara, Jurnal Rechtsvinding, Volume 5, Nomor 3, hlm 432.
25 https://aai.or.id/v3/index.php?option=com.content&view=article&id=186:kebijakan restorative-justice-masalah-tindak-pidana korupsi&catid=87&itemid=550&showall=1&limitstart, diakses pada 10 Juli 2023
cara membebani kewajiban terhadap pelaku kejahatan yang dengan kesadarannya mengakui kesalahan yang diperbuat dan mengembalikan kerusakan dan kerugian yang dialami korban, yang mana sesuai dengan tujuan keadilan restoratif yaitu dapat memenuhi rasa keadilan korban.
3. Syarat-Syarat Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Persyaratan penerapan keadilan restoratif diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dijelaskan bahwa syarat- syarat keadilan restoratif diterapkan pada saat penyelenggaraan fungsi reserse criminal, penyelidikan dan/atau penyidikan. Persyaratan umum terdiri atas syarat materiil dan formil. Persyaratan formil diatur dalam Pasal 4 huruf (a) yang meliputi :
a. Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
b. Tidak berdampak konflik sosial;
c. Tidak berpotensi memecah belah bangsa;
d. Tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
e. Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan;
f. Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.26 Lalu persyaratan materiil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang meliputi :
a. Perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana Narkotika;
26 Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif
b. Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, berupa pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana narkotika).27
Syarat-syarat penerapan keadilan restoratif juga dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Syarat keadilan restoratif pada peraturan tersebut diterapkan pada tahap penuntutan, sebagai berikut :
a. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun;
c. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000,00.28
Akan tetapi untuk tindak pidana yang berkaitan dengan harta benda, tindak pidana terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan, serta tindak pidana karna kelalaian maka persyaratan yang ada pada Pasal 5 ayat (1) dapat dikesampingkan karna keadilan restoratif ini bersifat tidak kaku sehingga terdapat syarat lainnya yang diatur dalam Pasal 5 ayat (6) meliputi :
a. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka dengan cara :
1. Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban;
2. Mengganti kerugian korban;
3. Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau;
27 Ibid.
28 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
4. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.
b. Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka; dan c. Masyarakat merespon positif.29
4. Mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Pada penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana adalah pintu (entry point) dari suatu penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. 30 Maka dari itu proses penyelidikan dan penyidikan pada tindak pidana ialah kunci utama untuk penentuan dapat tidaknya suatu perkara tindak pidana dilanjutkan ke proses penunutan dan peradilan pidana hal ini guna mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang mana tetap mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Mekanisme Keadilan restoratif (restorative justice) dijelaskan dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Penghentian penentututan berdasarkan Keadilan restoratif dalam Undang-Undang tersebut dilaksanakan dengan berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir dan cepat; sederhana; dan biaya ringan.
Proses perdamaian melalui keadilan restorative terdapat pada Pasal 9 Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 yang mana dalam proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah mufakat tanpa
29 Ibid.
30 Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
tekanan paksaan dan juga intimidasi. Dalam jalannya proses perdamaian penuntut umum berperan sebagai fasilitator maka dari itu penuntut umum sebagai fasilitator dilarang mempunyai kepentingan dengan perkara; korban;
maupun tersangka baik seara pribadi maupun profesi. Pelaksanaan proses perdamaian dilaksanakan di Kantor Kejaksaan kecuali jika kondisi tidak memungkinkan karena alasan keamanan; kesehatan atau kondisi geografis maka pelaksanaannya dapat diadakan di tempat lain yang sudah disepakati dengan surat perintah dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri. Kemudian proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 hari sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan juga barang bukti.
D. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi sebagai berikut “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Hal ini berarti meskipun pelaku tindak pidana korupsi mengembalikan kerugian yang telah ditimbulkan, tetap ada konsekuensi hukum pidana yang harus dihadapinya.
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang tindak pidana korupsi yang melibatkan gratifikasi atau suap.
Meskipun pelaku tindak pidana tersebut mengembalikan atau mengganti nilai gratifikasi atau suap yang diterima, hal itu tidak akan menghapuskan pertanggungjawaban pidana mereka. Dalam konteks ini, pengembalian kerugian yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat dilihat sebagai upaya pemulihan atau kompensasi bagi negara atau perekonomian negara yang mengalami kerugian akibat tindakan mereka. Pengembalian tersebut tidak secara otomatis membebaskan pelaku dari pertanggungjawaban pidana, karena tindak pidana korupsi tetap dianggap sebagai pelanggaran hukum yang serius.
E. Pengaturan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
Surat Edaran Jampidsus Nomor: B-1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dengan berkembangnya tindak pidana korupsi maka Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B- 1113/F/Fd.1/05/2010, tanggal 18 mei 2010. Yaitu terdapat dalam poin 1 antara lain sebagai berikut :
1) “Penanganan perkara tindak pidana korupsi diprioritaskan pada pengungkapan perkara yang bersifat berskala besar (big fish) dan still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan), sesuai penjelasan Jaksa Agung RI saat RAKER dengan Komisi III DPR RI tanggal 5 Mei 2010 dan pengarahan Presiden RI pada pembukaan Rakor MAHKUMJAPOL di Istana Negara tanggal 4 Mei 2010 agar dalam penegakan hukum mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan negara (restoratif justice), terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan negara relatif kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti, kecuali yang
bersifat still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan).
2) Agar mencermati kembali beberapa Surat Jaksa Agung RI dan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus terkait penanganan perkara tindak pidana korupsi, yaitu:
a) Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor:
B- 1452/F/Fd.1/08/2008 tanggal 05 Agustus 2008 perihal Pungutan Liar, pada pokoknya menjelaskan tentang dugaan adanya pungutan tidak jelas dasar hukumnya pada tempat-tempat pelayanan umum yang perlu ditangani.
b) Surat Jaksa Agung RI Nomor: B-0051A1Fd.1/011 2009 tanggal 22 Januari 2009 perihal Mempercepat Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi se Indonesia, pada pokoknya menjelaskan tentang program optimalisasi penanganan perkara tindak pidana korupsi yang berorientasi pada secara maksimal penyelamatan kerugian negara, mengedepankan kwalitas perkara yang ditangani serta penanganannya dilakukan secara profesional dan proporsional berlandaskan Tri Krama Adhyaksa.
c) Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-1017/F/Fd.1/ 051/2009 tanggal 20 Mei 2009 perihal Pelaksanaan Program Optimalisasi Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, pada pokoknya menjelaskan tentang indikator keberhasilan penanganan perkara tindak pidana korupsidilihat dari jumlah capaian penyelesaiannya dan jumlah kerugian negara yang diselamatkan.
3) Di samping itu juga agar memperhatikan:
a) Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor:
B- 217/F/Fd.1/02/2009 tanggal 2 Pebruari 2009 perihal Penanganan TindakPidana Korupsi Saat Pemilu, pada pokoknya menjelaskan bahwa ditenggarai ada pihak- pihak tertentu yang menggunakan isu tindak pidana korupsi melaporkan pada aparat penegak hukum untuk merusak pencitraan dan bahkan menggagalkan pencalonan pihak tertentu, maka penanganannya harus memperhatikan situasi dan kondisi sosial politik setempat.
b) Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor:
B- 1237/F/Fd.1/06/2009 tanggal 25 Juni 2009 perihal Penanganan Laporan Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pada Proyek Pemerintah Masih Pada Tahap Pelelangan, pada pokoknya menjelaskan tentang
laporan dugaan tindak pidana korupsi terhadap proyek yang masih pada tahap pelelangan tidak dapat dibenarkan dilakukan penyelidikan kecuali apabila ada bukti permulaan yang cukup ada indikasi penyuapan.”31 Sehubungan dengan point 1, 2 dan 3 di atas, diharapkan penanganan perkara tindak pidana korupsi tidak saja dapat menimbulkan efek jera, daya tangkal, tetapi lebih mengedepankan upaya penyelamatan keuangan negara, agar kinerja jajaran Tindak Pidana Khusus dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kejaksaan RI.
31 Surat Edaran Jampidsus Nomor: B-1113/F/Fd.1/05/2010 Tentang Prioritas Dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi.