1 BAB I
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Penelitian ini hendak mengkaji isu hukum tentang kebijakan restorative justice (RJ) sebagai pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana secara umum, dan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik secara khusus. Sebagai isu hukum, kebijakan RJ tersebut hendak dikritisi dalam hubungan dengan hak atas upaya hukum yang efektif (effective legal remedies) sebagai HAM bagi pihak yang dirugikan atau menjadi korban tindak pidana tersebut. Kebijakan RJ adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.1 Sesuai pengertian tersebut maka inti dari RJ adalah menghindari penerapan sanksi pidana (kebijakan non-penal) dalam penyelesaian perkara pidana.
Kebijakan RJ dapat diberlakukan dalam proses peradilan pidana pada tingkat penyidikan (Kepolisian), penuntutan (Kejaksaan) maupun persidangan (Peradilan).
Fokus penelitian ini terkait dengan RJ adalah pada tingkat persidangan (Peradilan) karena, dalam kaitan dengan hak atas upaya hukum yang efektif, korban memiliki pengharapan yang sah (legitimate expectation) supaya sanksi pidana dalam ketentuan Undang-Undang Pidana yang berlaku tetap harus diberlakukan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana.
1 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No.
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice Di Lingkungan Peradilan Umum; Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif; Peraturan Kepolisian Negara RI No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
2 Secara substantif, penelitian ini juga dibatasi terkait dengan jenis tindak pidana yang dapat diberlakukan RJ untuk penghinaan dan pencemaran nama baik karena tindak pidana tersebut secara jenis dan sifat termasuk dalam kategori delik aduan.2 Tindak pidana dalam kategori delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban.3 Oleh karena itu, sebagai delik aduan, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik terbuka untuk RJ karena penerapan RJ yang berbasis kesepakatan korban dan pelaku.4 Hal ini sejalan dengan yang berlaku dalam pedoman umum penerapan RJ di lingkungan Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan, di mana ditentukan bahwa tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik termasuk jenis tindak pidana yang dapat diterapkan RJ untuk penyelesaian perkaranya. Pada tingkatan pengadilan, peranan hakim dalam penerapan RJ adalah mengupayakan perdamaian dalam putusannya.5 Hakim, ketika menerapkan RJ, tidak menjatuhkan sanksi pidana dalam ketentuan Undang-Undang Pidana yang berlaku kepada pelaku tindak pidana. Putusan demikian dikenal dengan putusan tanpa pemidanaan (non imposing of a penalty).6
Kebijakan RJ dimasalahkan terhadap hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM karena, meskipun pilihan tidak menerapkan sanksi pidana sering dianggap baik atau positif, kedudukan korban tindak pidana, apapun tindak pidananya, harus mendapatkan perhatian terlebih dahulu. Kebijakan RJ membuat
2 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No.
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice Di Lingkungan Peradilan Umum.
3 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education, 2012, h. 32.
4 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum ..., Loc.Cit.
5 Ibid.
6 Adery Syahputra, Tinjauan atas Non-Imposing of a Penalty/Rechterlijk Pardon/Dispensa De Pena dalam KUHP serta Harmonisasinya dengan RKUHP, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016, h. 2.
3 sanksi pidana pada Undang-Undang Pidana yang berlaku menjadi tidak diterapkan.
Situasi ini berdampak pada tidak diperlakukannya korban kejahatan secara layak.
Hal itu bertentangan dengan hak-hak korban: “They are entitled to access to the mechanisms of justice and to prompt redress, as provided for by national legislation, for the harm that they have suffered.”7 Korban berhak untuk mengakses mekanisme keadilan terkait kerugian yang mereka alami akibat tindak pidana yang terjadi. Korban memiliki harapan agar sanksi pidana dalam ketentuan Undang- Undang Pidana yang berlaku tetap harus diberlakukan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana sebagai wujud hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM.
Dengan sifat non-penal dari kebijakan RJ maka ada insentif untuk timbulnya praktik diskriminasi apabila pelaku tindak pidana memiliki power sementara korban sebaliknya.
Seperti sudah dijelaskan, kebijakan RJ dalam penelitian ini hendak dikritisi dalam kaitan dengan hak atas upaya hukum yang efektif. Pokok pikiran yang mendasari kritik ini adalah penerapan kebijakan RJ dapat melanggar kewajiban negara terhadap hak atas upaya hukum yang efektif. Hak atas upaya hukum yang efektif merupakan pelembagaan konsep keadilan yang oleh Aristoteles dikonsepsikan keadilan korektif (corrective justice). Keadilan korektif menurut Aristoteles: “is concerned with righting wrongs.”8 Hal yang prinsip dari hak atas upaya hukum yang efektif adalah sifatnya prosedural di mana ketentuan-ketentuan hukum yang sifanya substantif, perintah atau larangan, dapat diterapkan jika terjadi
7 Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power Adopted by General Assembly Resolution 40/34 of 29 November 1985.
8 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia (The Jimly Court 2003-2008), Bandung: CV. Mandar Maju, 2018, h.
228., dikutip dari Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspective, The University of Chicago Press, Chicago, 1969, h. 21.
4 pelanggaran. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan HAM, hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM merupakan bentuk jaminan terhadap kaidah-kaidah substantif HAM manakala terjadi pelanggaran HAM.9 Hak atas upaya hukum yang efektif menjadi prasyarat bagi eksistensi dan perlindungan hak hukum, termasuk HAM. Chief Justice Marshall dalam kasus Marbury v. Madison (1803) dengan konteks menegaskan asas the Rule of Law (yaitu government of laws, not of men) sebagai landasan bagi perlindungan terhadap hak-hak pribadi, menyatakan:
The very essence of civil liberty certainly consists in the right of every individual to claim the protection of the laws, whenever he receives an injury.
One of the first duties of government is to afford that protection … The government of the United States has been emphatically termed a government of laws, and not of men. It will certainly cease to deserve this high appellation, if the laws furnish no remedy for the violation of a vested legal right.10 Pendapat Chief Justice Marshall sangat relevan dengan penelitian ini, terutama terkait dengan peran pengadilan dalam menjembatani keadilan bagi korban tindak pidana dengan penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana. Dalam Hukum Pidana, sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan atas dasar putusan pengadilan. Oleh karena itu peran pengadilan untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana sangat esensial sebagai hak atas upaya hukum yang efektif bagi korban tindak pidana (secara umum).
Isu HAM dalam kaitan dengan RJ disini adalah pengadilan tidak melakukan obligation to respect pada korban tindak pidana manakala hakim secara aktif memfasilitasi RJ dalam putusannya. Dengan putusan non-penal, korban tidak mendapatkan haknya atas upaya hukum yang efektif ketika mengakses keadilan melalui mekanisme peradilan: Judicial and administrative mechanisms should be
9 Ibid., h. 231.
10 Ibid., h. 228-229., dikutip dari Craig R. Ducat, Contitutional Interpretation, Wadsworth, Boston, 2009, h. 6.
5 established and strengthened where necessary to enable victims to obtain redress.11 Isu HAM kedua dengan RJ adalah pengadilan tidak melakukan obligation to fulfil pada korban tindak pidana. Penerapan RJ oleh pengadilan menyalahi nature-nya sebagai judicial remedy. Korban tindak pidana membawa kasusnya ke pengadilan tentu berharap pengadilan sebagai otoritas paling berwenang untuk jatuhnya sanksi pidana dalam menjalankan fungsi seharusnya (terlebih pada tahap penyidikan dan penuntutan sudah ada upaya penerapan RJ).
Berdasarkan penjelasan terhadap isu hukum di atas maka penelitian ini hendak mempertahankan tesis bahwa kebijakan RJ sebagai pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana secara umum, dan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik secara khusus cenderung melanggar kewajiban negara terhadap hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM bagi pihak yang dirugikan atau menjadi korban tindak pidana tersebut. Penerapan RJ oleh pengadilan mengindikasikan kegagalan negara (yang diwakili oleh pengadilan) dalam menjalankan obligation to respect dan obligation to fulfil dari hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM karena pengadilan bertindak tidak lagi sesuai dengan kodratnya sebagai saluran upaya hukum bagi korban tindak pidana untuk memperoleh keadilan seperti yang diharapkannya, yaitu "sanksi pidana sesuai Undang-Undang Pidana yang berlaku harus dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana." Dalam kerangka lebih luas, seperti pendapat Chief Justice Marshall, upaya hukum yang efektif adalah jaminan niscaya untuk perlindungan hak secara umum, termasuk hak dari korban tindak pidana. Penerapan RJ oleh pengadilan menjadi ancaman serius terhadap the Rule of Law ketika korban tindak pidana gagal
11 Declaration of Basic Principles of Justice for Victim …, Loc.Cit.
6 memperoleh upaya hukum yang efektif karena pengadilan bertindak tidak seperti harapannya dalam memberikan keadilan korektif.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah kebijakan RJ oleh pengadilan sebagai pendekatan dalam penyelesaian perkara tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik melanggar hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjawab isu hukum yang merupakan rumusan masalah dari penelitian ini. Terhadap isu hukum tersebut penelitian ini sudah mengemukakan thesis statement sehingga atas dasar itu tujuan lebih spesifik dari penelitian ini adalah memberikan justifikasi terhadap thesis statement tersebut. Dengan demikian, dalam proses menjustifikasi thesis statement tersebut, penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM yang berposisi sebagai poin hukum penelitian.
2. Memberikan justifikasi bahwa penerapan kebijakan RJ oleh pengadilan sebagai pendekatan dalam penyelesaian perkara tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik merupakan pelanggaran terhadap hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM.
7 4. Manfaat Penelitian
4.1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah memberikan kontribusi pengetahuan hukum di bidang Hukum Tata Negara, khususnya HAM, terkait dengan pemikiran mengenai hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM untuk menjadi tolak ukur keabsahan kebijakan RJ.
4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat praktis untuk supaya kebijakan RJ, khususnya oleh pengadilan, dapat diterapkan sesuai dengan batasan hukum yang berlaku. Untuk itu, sebagai saran spesifik penelitian, pembentuk Undang-Undang sebaiknya mendekriminalisasi penghinaan dan pencemaran nama baik untuk menjadi isu hukum di ranah Hukum Perdata.
5. Metode Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini adalah permasalahan hukum atau isu hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Sesuai pendekatan-pendekatan tersebut maka poin hukum penelitian akan dielaborasi menggunakan sumber-sumber hukum: peraturan perundang-undangan "dalam arti luas" yang akan mencakup instrumen HAM internasional yang berlaku bagi Indonesia, putusan-putusan pengadilan yang di dalamnya mengandung pernyataan tentang poin hukum penelitian (seperti pendapat
8 Chief Justice Marshall dalam kasus Marbury), literatur hukum (buku maupun jurnal) dan hukum negara lain.
Setelah poin hukum penelitian berhasil dielaborasi maka selanjutnya poin hukum tersebut diterapkan untuk menjawab isu hukum, dalam hal ini untuk menjustifikasi tesis penelitian. Dengan demikian, pada tahap ini, aspek metodologis di sini berkaitan dengan bagaimana penelitian ini membangun argumentasi hukum dalam mempertahankan tesis penelitian.
6. Sistematika Pembahasan
Sesuai dengan isu hukum dan tesis penelitian maka sistematika pembahasan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bagian pembahasan pada hakikatnya merupakan proses justifikasi tesis penelitian. Terkait dengan itu, bagian pembahasan dari penelitian ini dirancang untuk terdiri dari dua Bab. BAB II menjelaskan poin hukum penelitian, yaitu hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM, yang dalam kerangka penelitian akan berfungsi sebagai dasar dalam penarikan kesimpulan (penyimpulan). BAB III adalah penerapan poin hukum untuk menanggapi isu hukum, yaitu penerapan RJ oleh pengadilan. Untuk lebih detailnya, isi dari BAB II dan BAB III adalah sebagai berikut.
BAB II akan menjelaskan tentang hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM. Pembahasan ini diawali dengan penjelasan konseptual tentang hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM, terutama fungsinya yang bersifat prosedural serta maknanya yang penting dalam konteks the Rule of Law seperti pendapat Chief Justice Marshall. Bagian selanjutnya penjelasan ini difokuskan pada aspek doktrinal dari hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM. Fokus utama dari aspek doktrinal ini adalah elaborasi kewajiban korelatif negara terhadap hak
9 atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM. Dengan dapat dirumuskannya kewajiban korelatif HAM maka pada gilirannya dapat dikualifikasikan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di pihak negara yang menurut Hukum HAM memiliki kapasitas sebagai obligation holder.
BAB III akan memberikan argumentasi yang menjustifikasi tesis penelitian bahwa penerapan RJ oleh pengadilan merupakan pelanggaran kewajiban to respect dan to fulfil terhadap hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pada BAB ini hal-hal yang akan dibicarakan adalah:
Pertama, menjelaskan kebijakan RJ oleh pengadilan dan penerapannya dalam penyelesaian perkara pidana (khususnya untuk tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik). Kedua, atas dasar penjelasan tentang poin hukum penelitian, penerapan kebijakan RJ tersebut akan dikualifikasikan sebagai pelanggaran kewajiban to respect dan to fulfil terhadap hak korban tindak pidana atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM. Terakhir adalah solusi supaya pengadilan tidak perlu menerapkan kebijakan RJ terhadap tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik sehingga pelanggaran terhadap hak atas upaya hukum yang efektif tidak terjadi. Untuk isu ini, solusinya adalah pembentuk Undang-Undang mendekriminalisasi tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik sehingga menjadi isu hukum di ranah Hukum Perdata.
BAB IV adalah bagian penutup penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
Poin kesimpulan dari penelitian ini adalah penegasan kembali tesis penelitian dan sekaligus argumentasi bahwa tesis tersebut terjustifikasi melalui penelitian.
Sementara saran atau rekomendasi dari penelitian ini dirumuskan sesuai dengan kesimpulan.