• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Restorative Justice oleh Pengadilan dalam Kasus Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik ditinjau dari Perspektif Hak atas Upaya Hukum yang Efektif sebagai HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Restorative Justice oleh Pengadilan dalam Kasus Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik ditinjau dari Perspektif Hak atas Upaya Hukum yang Efektif sebagai HAM"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

23 BAB III

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENGADILAN MERUPAKAN PELANGGARAN

KEWAJIBAN TO RESPECT DAN TO FULFIL

TERHADAP HAK ATAS UPAYA HUKUM YANG EFEEKTIF SEBAGAI HAM

1. Kebijakan Restorative Justice oleh Pengadilan dalam Kasus Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik

Bagian ini akan menjelaskan tentang "yang dimasalahkan" dalam isu hukum yaitu RJ oleh pengadilan dalam kasus tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Secara sistematis, penjelasan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, hubungan antara tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dengan RJ. Kedua, ketentuan terkait dengan penerapan RJ. Ketiga, praktik penerapannya melalui putusan pengadilan.

Tindak kejahatan menghina adalah menyerang kehormatan nama baik seseorang, akibatnya yang diserang merasa malu, “kehormatan” yang dimaksud dalam hal ini ialah nama baik seseorang.53 Tindak pidana penghinaan didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara lisan dengan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.54 Pencemaran nama baik digolongkan sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana penghinaan yang didefinisikan: menyerang kehormatan atau nama baik, dimana bentuk pencemaran nama baik dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan dengan menuduhkan sesuatu hal.55 Secara jenis dan sifat, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik termasuk dalam kategori

53 R. Soesilo, KUHP serta Komentar-Komentarnya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995, h. 225.

54 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

55 Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1990, h. 36.

(2)

24 delik aduan.56 Tindak pidana yang termasuk ke dalam kategori delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat diproses apabila terdapat pengaduan oleh orang tertentu yang menjadi korban peristiwa pidana.57 Sebagai delik aduan, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik masuk kualifikasi untuk bisa diterapkan kebijakan RJ karena tindak pidana tersebut merupakan perkara pidana dimana terjadi pelanggaran terhadap hubungan antar individu satu dengan lainnya, hal ini sejalan dengan konteks RJ yang memandang bahwa kejahatan bukan hanya sebagai pelanggaran hukum melainkan sebagai pelanggaran terhadap hubungan antar individu.58 Terhadap pelanggaran tersebut ada peluang yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara korban dengan pelaku. Oleh karena itu, RJ menjadi dapat diberlakukan dimana penerapannya berbasis kesepakatan korban dan pelaku.59

Kebijakan RJ menjadi dapat diberlakukan dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik karena secara formal tindak pidana tersebut masuk kualifikasi untuk bisa diterapkan menjadi objek RJ. Hal ini sejalan dengan ketentuan terkait dengan penerapan RJ yang ada pada tingkat penyidikan (Kepolisian), penuntutan (Kejaksaan) serta pada tingkat persidangan (Pengadilan). Ketentuan terkait dengan penerapan RJ dimulai dari tingkat penyidikan yang dijalankan oleh Institusi Kepolisian dimana penyelesaian tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dapat diproses melalui aduan dari pihak yang merasa dirugikan. Penerapan RJ dilakukan melalui usaha perdamaian

56 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum …, Op.Cit.

57 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2017, h. 118.

58 Peraturan Kepolisian Negara RI No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

59 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum …, Op.Cit.

(3)

25 dengan menekankan untuk memberikan sanksi terhadap pelaku (tidak berorientasi pada pemidanaan).60

Pada tingkat penuntutan, RJ diberlakukan sebagai penyelesaian di luar pengadilan yakni dengan memberikan ruang kepada pelaku dan korban untuk mempertimbangkan kembali terciptanya pemulihan melalui sebuah kesepakatan.61 Dalam konteks penuntutan fokus RJ adalah pada korban. Korban diberikan ruang untuk menentukan dan menyampaikan pandangannya terkait dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku. Dengan kata lain, pilihan dari korban akan menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara diajukan ke pengadilan. Apabila terdapat penolakan dari korban untuk melakukan perdamaian maka perkara akan dilimpahkan pada tingkat persidangan dalam hal ini ke pengadilan.62

Penolakan atas tawaran RJ oleh Kejaksaan akan langsung dilimpahkan pada tingkat persidangan. Pada tingkat persidangan, RJ difasilitasi oleh pengadilan dan dalam hal ini diwakili oleh hakim dalam memutus perkaranya. hakim dalam mengadili suatu perkara pidana harus mengutamakan konsep RJ dengan mengupayakan perdamaian dalam putusannya.63 Penerapan RJ oleh hakim akan mempertimbangkan beberapa faktor yang dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana kepada pelaku, seperti dengan melihat ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku sesudah melakukan tindak pidana maupun pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban.64 Dengan menerapkan RJ yang mempertimbangkan hal-hal demikian maka dalam penyelesaian perkara pidana,

60 Peraturan Kepolisian Negara RI No. 8 Tahun 2021 …, Op.Cit.

61 Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

62 Ibid.

63 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum …, Op.Cit.

64 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 …, Op.Cit.

(4)

26 sanksi pidana menjadi tidak diterapkan (kebijakan non-penal) sebagaimana semestinya putusan pemidanaan dijatuhkan dan oleh hakim, pelaku yang terbukti bersalah tidak dikenakan sanksi pidana dan putusan yang dijatuhkan adalah putusan tanpa pemidanaan.

Dalam perkembangannya, dengan diundangkannya KUHP baru, UU No. 1 Tahun 2023, peran pengadilan dalam penerapan RJ lebih dipertegas dengan pengadilan diberikan kewenangan memberikan judicial pardon. Kewenangan memberikan judicial pardon ini diatur dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP, tentang Pedoman Pemidanaan. Judicial pardon tidak hanya berfokus pada tindak pidana yang terjadi tetapi berfokus pada tujuan pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.65 Judicial pardon dijembatani oleh hakim untuk memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana. Hakim melalui kewenangannya berhak memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah akan tetapi tidak dijatuhi pidana.66 Hakim akan mempertimbangkan berbagai faktor seperti keadaan pelaku, keadaan korban, serta kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya hubungan antara pelaku dengan korban.67 Hakim menghubungkan perbuatan pidana oleh pelaku dengan mempertimbangkan kesadaran pelaku yang mengakui dan menyesali perbuatannya serta dengan adanya ‘pemaafan’ dari korban sehingga walaupun terbukti bersalah maka bagi hakim sudah cukup untuk memberikan ‘pengampunan’ pada pelaku dan hakim tidak akan menjatuhkan sanksi pidana dalam putusannya terhadap pelaku (non

65 Ibid.

66 Ibid.

67 Ibid.

(5)

27 imposing of a penalty).68 Sehingga dalam penyelesaian perkara antara pelaku dan korban, maka akan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat dan perdamaian menjadi terwujud dalam putusannya sebagaimana konsep RJ dijalankan.69

Selanjutnya, hal terakhir yang akan dikemukakan pada bagian ini adalah praktik penerapan RJ oleh pengadilan. Untuk memberikan ilustrasi atas praktik penerapan RJ tersebut, akan digunakan putusan pengadilan yang menerapkan RJ pada kasus tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan yaitu Putusan Nomor 159/Pid.B/2016/PN Msb. Dalam Putusan Nomor 159/Pid.B/2016/PN Msb, Soka Diseng alias Bapak Randi (korban) menggugat Junadir alias Daeng Parawe (pelaku). Junadir alias Daeng Parawe terbukti melakukan tindak pidana menista secara lisan dengan sengaja merusak kehormatan atau nama baik korban dan menuduhkan melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak dilakukan oleh korban.

Pelaku menuduh korban dengan mengatakan “kau yang racuni kayuku” serta “tidak ada yang lain racuni selain kau karena kau ji yang pernah minta mau beli tapi tidak saya kasiko”. Dimana secara jelas hal tersebut tidak dilakukan oleh Soka Diseng alias Bapak Randi. Selain itu Junadir alias Daeng Parawe juga menghendaki agar tuduhannya tersebut diketahui oleh orang lain terbukti dengan memberitahukan kepada saksi Nasrang Sabah alias Bapak Akra bahwa Soka Diseng alias Bapak Randi telah meracuni pohon kayu miliknya. Oleh karena hal-hal tersebut, membuat Soka Diseng alias Bapak Randi keberatan dan merasa dipermalukan dan mengakibatkan kehormatan dan nama baiknya rusak.

68 Adery Syahputra, Tinjauan atas Non-Imposing of a Penalty …, Op.Cit., h. 5.

69 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum …, Op.Cit.

(6)

28 Praktik RJ yang diberlakukan oleh hakim berfokus pada pemulihan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku dan korban.70 Sesuai dengan konsep RJ, dalam mengadili perkara tindak pidana, hakim harus mengupayakan adanya perdamaian dalam putusannya.71 Mengingat kejahatan dapat menimbulkan terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu didalam hubungan kemasyarakatan.72 Putusan Nomor 159/Pid.B/2016/PN Msb memperlihatkan bahwa hakim sedang menjalankan perannya dalam menawarkan RJ dengan mengupayakan adanya perdamaian: memfasilitasi penyelesaian konflik untuk para pihak yang sedang berselisih di persidangan. Hakim mengupayakan adanya perdamaian di antara para pihak dengan mengingatkan kembali bahwa pelaku dan korban masih berdomisili dalam lingkungan tempat tinggal yang sama dimana ikatan kekeluargaan harus tetap terjaga didalamnya serta mengingatkan bahwa dengan adanya perdamaian antara pelaku dan korban tentu akan mewujudkan nilai kehidupan yang tinggi dalam bermasyarakat.73 Dengan peranan hakim dalam memfasilitasi penyelesaian tindak pidana tersebut, terbuka sebuah fakta bahwa di persidangan antara pelaku dan korban sepakat untuk berdamai dan saling memaafkan.74

70 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 …, Op.Cit.

71 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum …, Loc.Cit.

72 Peraturan Kepolisian Negara RI No. 8 Tahun 2021 …, Op.Cit.

73 Putusan Nomor 159/Pid.B/2016/PN Msb h. 15.

74 Ibid.

(7)

29 2. Penerapan Kebijakan Restorative Justice oleh Pengadilan merupakan Pelanggaran Kewajiban to Respect dan to Fulfil terhadap Hak Korban Tindak Pidana atas Upaya Hukum yang Efektif sebagai HAM

Bagian ini merupakan inti dari penelitian, yaitu secara spesifik memberikan jawaban terhadap isu hukum setelah sebelumnya dijelaskan tentang poin hukum penelitian (BAB II) dan "yang ditanyakan" dalam isu hukum penelitian (BAB III.1).

Jawaban yang diberikan di sini secara fungsional memberikan justifying reasons terhadap thesis statement penelitian yang merupakan kesimpulan atas isu hukum sehingga thesis statement tersebut terjustifikasi. Adapun thesis statement penelitian ini (BAB I.1) adalah: RJ oleh pengadilan tidak sesuai dengan hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM karena bertentangan dengan kewajiban to respect dan to fulfil. Untuk thesis statement tersebut terjustifikasi, bagian ini berisi tiga hal.

Pertama, menjelaskan tentang fungsi badan yudisial (court atau pengadilan) sebagai pemegang kekuasaan yudisial. Kedua, atas dasar pengertian tersebut, RJ oleh pengadilan akan dikualifikasikan bertentangan dengan kewajiban to respect sebagai kewajiban korelatif hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM. Ketiga, sama seperti poin kedua, kali ini mengenai pertentangan dengan kewajiban to fulfil.

2.1. Makna Kekuasaan Yudisial

Pengadilan atau badan yudisial (court) merupakan institusi atau otoritas yang terlibat secara langsung dalam menyediakan upaya hukum bagi setiap individu akibat dari adanya pelanggaran hukum. Dalam menyelesaikan sebuah perkara, pengadilan tentunya membuat sebuah putusan pada akhir (final) proses persidangan yang telah berjalan sebagai wujud terselenggaranya sebuah upaya hukum. Sesuai dengan fungsi dan ranah kekuasaannya, pengadilan berperan sebagai pemegang

(8)

30 kekuasaan yudisial (judicial power) yang didefinisikan sebagai “to decide ‘cases’

and ‘controversies’ in conformity with law and by the methods established by the usages and principles of law.75 Sesuai dengan pengertian tersebut, pengadilan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan kasus atau perkara dengan berdasarkan pada hukum, dalam hal ini adalah Undang-Undang.

Kekuasaan yudisial berbeda dengan kekuasaan eksekutif. Bekerjanya kekuasaan yudisial ditentukan oleh adanya kasus atau perkara. Dengan demikian, konsep kasus atau perkara menjadi sangat penting untuk bekerjanya pengadilan.

Kasus atau perkara adalah suatu masalah atau perselisihan yang harus diselesaikan melalui proses hukum.76 Kasus atau perkara menjadi subjek dimana wewenang pengadilan bekerja untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan dalam menerapkan hukum.77 Oleh karena itu, fungsi dari kasus atau perkara adalah kualifikasi yang menentukan lingkup yurisdiksi dari pengadilan.

Poin pengertian penting dalam hubungan antara pengadilan dan kasus adalah berlakunya asas bahwa hakim atau pengadilan bersikap pasif dan menunggu datangnya perkara. Ini berbeda dengan lingkup kekuasaan eksekutif yang didefinisikan sebagai “to execute the laws”.78 Sesuai pengertian tersebut, tindakan- tindakan yang dilakukan adalah untuk melaksanakan hukum (Undang-Undang).

Dalam menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, terdapat batas paling tinggi dalam melaksanakan Undang-Undang, yaitu pada tahap law enforcement dimana pada

75 Edward S. Corwin, Harold W. Chase, and Craig R. Ducat, The Constitution and What it Means Today, New Jersey: Princeton University Press, 1978, h. 204.

76 Bryan A. Garner, Jeff Newman, and Tiger Jackson, Black’s Law Dictionary (Ninth Edition), United States of America: Thomson Reuters, 2009, h. 406.

77 Ibid., h. 924.

78 Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, ‘The Unitary Executive During the First Half- Century’ (1997) 47 (4) Case Western Reserve Law Review h. 1452.

(9)

31 tahap ini terdapat tindakan tertentu yang bersinggungan dengan badan yudisial (hakim atau pengadilan) yakni law enforcement Undang-Undang Pidana. Tindakan yang dilakukan adalah membawa perkara pidana ke pengadilan untuk diputuskan hakim dan melaksanakan putusan pengadilan atas perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berlakunya asas bahwa hakim atau pengadilan bersikap pasif dan menunggu datangnya perkara, pada pelaksanaannya adalah inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak. Jika tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim atau pengadilan.79 Lingkup kekuasaan yudisial baru bekerja jika ada perkara yang diajukan kepada pengadilan untuk diputuskan. Apabila tidak ada perkara yang dibawa ke hadapan pengadilan sebagai pemegang kekuasaan yudisial, maka pengadilan tidak akan melakukan tindakan dalam bentuk apapun, karena pengadilan hanya akan hadir untuk membuat putusan hukum atas adanya perkara. Oleh karena itu, berlaku asas bahwa hakim atau pengadilan bersikap pasif dan menunggu datangnya perkara.

Pengadilan berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan Undang- Undang kepadanya, oleh karena itu, kekuasaan yudisial dikonsepsikan sebagai kekuasaan ‘memutus’ untuk mengidentifikasi dan menegaskan adanya pelanggaran hukum serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang telah dirugikan.80 Sebagai konsep ‘memutus’ kekuasaan yudisial hanya akan menjalankan apa yang didasarkan pada hukum yang berlaku terutama Undang-Undang. Kekuasaan yudisial tidak dapat memberlakukan ketentuan yang bertentangan dengan hukum yang

79 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993, h. 10.

80 Edward S. Corwin, Harold W. Chase, and Craig R. Ducat, The Constitution …, Op.Cit., h.

219-220.

(10)

32 berlaku. Jika pengadilan memberlakukan atau menerapkan ketentuan yang bertentangan dengan hukum, maka pengadilan tidak lagi merepresentasikan diri sebagai pemegang fungsi kekuasaan yudisial: untuk memutus perkara berdasarkan hukum.81

Pengadilan (sebagai bagian dari upaya hukum yang disediakan negara) difungsikan sebagai tools dalam mewujudkan upaya hukum yang efektif agar hak- hak yang telah terlanggar mendapatkan perlindungan hukum termasuk didalamnya hak dari korban tindak pidana. Oleh karena itu, pengadilan diharapkan dapat menjadi saluran upaya hukum dari korban tindak pidana sesuai dengan kodratnya sebagai pemegang kekuasaan yudisial. Pengadilan memiliki kuasa untuk memutus suatu perkara sesuai dengan hukum dan kebijakan yang berlaku salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan RJ. Penerapan kebijakan RJ yang dipraktikkan oleh pengadilan tidak sesuai dengan fungsinya sebagai pemegang kekuasaan yudisial karena bertentangan dengan hak korban tindak pidana atas upaya hukum yang efektif. Untuk itu, kebijakan RJ oleh pengadilan akan dikualifikasikan bertentangan dengan kewajiban korelatif hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM yang dimiliki oleh korban tindak pidana dalam hal ini bertentangan dengan kewajiban to respect dan kewajiban to fulfil.

2.2. Pertentangan dengan Kewajiban to Respect

Penerapan RJ pada tingkat persidangan oleh pengadilan bertentangan dengan kewajiban to respect. Pada bagian ini Penulis akan memberikan argumentasi untuk pertentangan tersebut. Penerapan RJ oleh pengadilan bermasalah dalam kaitan

81 Jeffrey C. Tuomala, ‘Marbury v. Madison and the Foundation of Law’ (2010) 4 (297) Liberty University Law Review h. 311.

(11)

33 dengan kewajiban to respect karena peran yudisial pengadilan diarahkan menjadi proses dialog dan mediasi, dengan melibatkan pelaku, korban tindak pidana, keluarga pelaku/korban dan pihak-pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil.82 Proses RJ dapat dilakukan dengan ketentuan telah dilakukannya perdamaian antara pelaku, korban tindak pidana, keluarga pelaku/korban dan pihak-pihak lain yang terkait untuk membangun sebuah kesepakatan perdamaian.83 Persidangan dengan RJ dibuka oleh hakim dengan membacakan catatan dakwaan dan menanyakan pendapat pelaku, korban tindak pidana, keluarga pelaku/korban dan pihak-pihak lain yang terkait untuk selanjutnya dilakukan upaya perdamaian oleh hakim.84 Dalam melakukan upaya perdamaian, hakim akan menjembatani atau secara aktif menjadi penengah dengan melakukan mediasi dan memulai dialog kepada pelaku, korban tindak pidana, keluarga pelaku/korban dan pihak-pihak lain yang terkait, dilakukan dengan menanyakan kembali pendapat para pihak dan keinganan untuk melakukan perdamaian atas perkara yang terjadi, hakim juga mengonfirmasikan kembali apakah para pihak bersepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan proses hukum berikutnya (penjatuhan sanksi pidana) kepada pelaku.85

Dalam hal membangun kesepakatan perdamaian, sepenuhnya berada ditangan para pihak yang sedang berperkara, sehingga hakim akan melihat dari sisi lain seperti ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku sesudah melakukan tindak pidana maupun pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban yang dapat dijadikan

82 Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum …, Op.Cit.

83 Ibid.

84 Ibid.

85 Ibid.

(12)

34 pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana kepada pelaku.86 Melalui proses RJ yang demikian, maka penyelesaian perkara pidana dapat terselesaikan secara damai dan sanksi pidana menjadi tidak diterapkan (kebijakan non-penal) sebagaimana semestinya putusan pemidanaan dijatuhkan. Pelaku yang terbukti bersalah tidak dikenakan sanksi pidana dan putusan yang dijatuhkan adalah putusan tanpa pemidanaan. Dengan demikian, penyelesaian perkara antara pelaku dan korban terselesaikan serta akan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat dan perdamaian menjadi terwujud dalam putusannya sebagaimana konsep RJ dijalankan.87

Mengapa praktik yang nampaknya baik ini bertentangan dengan kewajiban to respect pengadilan dalam kaitan dengan hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM? Apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh pengadilan dalam menjalankan fungsi yudisialnya sehingga penerapan RJ oleh pengadilan ini bermasalah? Suatu kasus dibawa ke pengadilan adalah untuk mendapatkan putusan sehingga kontroversi dapat berakhir. Cara mengakhiri kontroversi lewat RJ oleh pengadilan ini yang tidak dapat dibenarkan dalam kaitan dengan fungsi yudisial dan hak korban tindak pidana untuk mendapatkan upaya hukum yang efektif dari pengadilan.

Sebelum sampai pada tahap persidangan, tahap penyidikan dan penuntutan sudah menerapkan RJ. Oleh karena itu, ketika kasus ini berakhir di pengadilan, pengadilan seharusnya dalam posisi tidak mengkonfirmasi lagi “perdamaian” antara pelaku dan korban. Proses penerapan RJ secara “bertingkat” dengan pengadilan sebagai pihak terakhir yang bertanggung jawab menerapkan RJ justru “tidak bersahabat” dengan korban di mana korban datang ke pengadilan adalah dalam rangka menggunakan

86 Ibid.

87 Ibid.

(13)

35 hak-nya, dalam hal ini “hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM” ketika dirinya menjadi korban tindak pidana.

Jika skenario perdamaian yang terjadi, maka sebenarnya putusan itu diambil oleh para pihak, dalam hal ini korban dan pelaku tindak pidana, bukan oleh pengadilan. Peran pengadilan, dengan menerapkan RJ, justru bertolak belakang dengan hakikat dari kekuasaan yudisial, sehingga dengan demikian penerapan RJ oleh pengadilan tersebut bertentangan dengan kewajibannya to respect terhadap hak atas upaya hukum yang efektif dari korban tindak pidana. Ketika mengakses upaya hukum, korban tindak pidana menginginkan klaim atas haknya sebagai pemenuhan dari hak-hak asasinya, dan hanya oleh pengadilan hak tersebut dapat tersalurkan ‘it must respect the essence of the right or freedom at stake.88 Dengan hak atas upaya hukum yang efektif melalui pengadilan korban tindak pidana memiliki harapan agar sanksi pidana dalam ketentuan Undang-Undang Pidana yang berlaku harus diberlakukan oleh hakim kepada pelaku yang bertanggung jawab. Penerapan RJ oleh pengadilan di persidangan bertolak belakang dengan harapan korban tindak pidana tersebut sehingga keuntungan yang dijanjikan oleh hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM tidak diperoleh.

2.3. Pertentangan dengan Kewajiban to Fulfil

Isu krusial pertentangan RJ oleh pengadilan dan kewajiban to fulfil adalah korban yang memiliki keterbatasan secara sumber daya untuk mengakses upaya hukum akan menghadapi situasi relasi kuasa yang tidak berimbang jika pelaku adalah pihak yang powerful. Padahal dalam situasi relasi kuasa yang posisinya

88 Sacha Precha, Fundamental Rights in International and European Law …, Op.Cit. h. 152.

(14)

36 demikian, pemihakan pengadilan terhadap korban justru adalah sesuatu yang positif nilainya jika dikaitkan dengan kewajiban to fulfil.

Penerapan RJ oleh pengadilan dapat bermasalah dalam kaitan dengan kewajiban to fulfil karena peran yudisial pengadilan dilakukan hakim dengan berusaha mendamaikan pelaku dan korban tindak pidana khusus dalam situasi di mana korban posisinya powerless dan pelaku posisinya powerful. Isu relasi kuasa yang tidak berimbang dalam penerapan RJ ini telah diberikan catatan untuk menjadi perhatian: there may also be a preexisting relationship where abuse of power.89 Penerapan RJ oleh pengadilan dalam relasi kuasa yang tidak berimbang antara korban dan pelaku seperti dijelaskan di atas dapat bertentangan dengan kewajiban to fulfil jika, situasi yang sangat sulit dikontrol oleh pengadilan sendiri, terjadi diskriminasi tidak langsung (indirect discrimination). Diskriminasi tidak langsung adalah “a practice, rule, requirement or condition is neutral on its face but has a disproportionate effect on particular groups without any objective justification.”90

Dalam diskriminasi tidak langsung yang menjadi masalah adalah akibat dari suatu praktik: meskipun suatu praktik nampak netral (hakim dalam memperlakukan korban dan pelaku berusaha memperlakukannya secara sama), tetapi dalam relasi kuasa yang tidak berimbang akibat dari praktik ini dapat berbeda. Kesan bahwa dalam kasus demikian penerapan RJ lebih menguntungkan untuk pelaku (yang posisinya powerful) sulit dihindari – terlebih penerapan RJ ini sudah dilakukan

89 Theo Gavrielides, Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the Discrepancy, Helsinki: Criminal Justice Press, 2007, h. 179.

90 Titon Slamet Kurnia, ‘Mahkamah Konstitusi dan Hak untuk Bebas dari Diskriminasi (Constitutional Court and The Right To Be Free From Discrimanatory Treatment)’ (2015) 12 (1) Jurnal Konstitusi h. 25., dikutip dari Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge:

Cambridge University Press, 2002, h. 177.

(15)

37 secara berjenjang mulai dari penyidikan dan penuntutan. Hakim akan kesulitan menghindari situasi relasi kuasa yang tidak berimbang tersebut walaupun telah berusaha semaksimal mungkin untuk netral. Kesulitan ini digambarkan dengan sangat baik lewat pendapat berikut ini: there is still an enormous risk that negotiations will favor the abuser due to the victim's deepseeded fears of his potential for revenge and her ingrained feelings of helplessness and powerlessness.91

Oleh karena itu, ketimbang dapat bermasalah dari sisi kewajiban to fulfil, justru pemenuhan kewajiban to fulfil pengadilan seharusnya adalah “memihak kepada korban yang posisinya powerless” sehingga pengadilan seyogianya menahan diri untuk tidak menerapkan RJ. Peran ini, walaupun sejatinya pengadilan tidak boleh memihak, adalah pengecualian yang dapat dibenarkan yang menurut teori ajudikasi disebut sebagai praktik selective judicial activism. Pemihakan pengadilan kepada pihak yang lemah dapat dibenarkan karena mereka tidak dapat melindungi dirinya sendiri. Ini berbeda dengan pemihakan pengadilan kepada pihak yang kuat. Hal demikian justru tidak bermoral karena, menurut Geoffrey Stone:

It is fundamentally misleading to equate activist decisions that protect the interests of corporations, the National Rifle Association and the wealthy with activist decisions that safeguard the rights of African-Americans, women, gays, political dissenters and persons accused of crime. The courts are needed to vindicate the rights of the latter. They are not needed to protect the interests of the former, who can protect themselves quite well in the give-and-take of the democratic process.92

Dalam situasi relasi kuasa yang tidak berimbang peran yudisial pengadilan seharusnya adalah melakukan affirmative action terhadap korban tindak pidana: to

91 Alana Dunnigans, ‘Restoring Power to the Powerless: The Need to Reform California's Mandatory Mediation for Victims of Domestic Violence’ (2003) 37 (1031) University of San Francisco Law Review h. 1042.

92 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi …, Op.Cit., h. 107.

(16)

38 rectify an existing imbalance,93 dengan mengurangi atau menghapuskan kondisi- kondisi yang menyebabkan diskriminasi atau membantu melanggengkan praktik diskriminasi.94 Praktik perlakuan berbeda untuk mengurangi atau menghapuskan diskriminasi dipandang sebagai bentuk diferensiasi atau pembedaan yang sah.95 Dengan demikian, sebagai reverse dari diskriminasi yang terjadi, pemihakan kepada korban tindak pidana dari pengadilan justru lebih relevan untuk dilakukan dalam relasi kuasa yang tidak berimbang tersebut. Atas dasar itu, poin penting untuk digaris bawahi terkait dengan hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM dan peran yudisial pengadilan sebagai tanggapan atas hak tersebut adalah pengadilan seharusnya menjawab pengharapan yang sah (legitimate expectation) dari korban karena tujuan korban “datang ke pengadilan” adalah dalam rangka menggunakan hak-nya, dalam hal ini “hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM”, ketika dirinya menjadi korban tindak pidana yakni agar sanksi pidana sesuai Undang- Undang Pidana yang berlaku harus dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana oleh pengadilan.

3. Solusi untuk Masalah dalam Penerapan Restorative Justice oleh Pengadilan

Secara umum RJ adalah kebijakan yang baik. Akan tetapi menempatkan pengadilan sebagai penerap RJ secara umum, dan RJ untuk tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan secara khusus tidaklah tepat seperti telah dibahas sebelumnya (yaitu melanggar hak atas upaya hukum yang efektif sebagai HAM dari

93 Paul Sieghart, A Mounting Tragedy of Errors, London: International Commission of Jurists and Justice, 1984, h. 12-13.

94 Titon Slamet Kurnia, ‘Mahkamah Konstitusi dan Hak untuk Bebas dari Diskriminasi …, Op.Cit., h. 26.

95 Ibid., dikutip dari Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, h. 819.

(17)

39 korban). Lebih lanjut, penegasan RJ oleh KUHP baru dengan memberikan kewenangan judicial pardon juga semakin tidak tepat. Bagian ini hendak memberikan solusi supaya RJ yang baik, khususnya untuk tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan, tidak bermasalah secara hukum sendiri. Solusi tersebut ada dua. Pertama, RJ hanya di lingkup eksekutif (penyidikan dan penuntutan), tidak di lingkup yudisial. Kedua, dekriminalisasi tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan.

3.1. RJ hanya di Lingkup Eksekutif

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penempatan RJ pada tingkat persidangan tidaklah sesuai dengan lingkup yudisial karena praktik penyelesaian kontroversi melalui RJ dapat menimbulkan beberapa pertentangan yakni pertentangan dengan kewajiban to respect dan to fulfil terhadap korban tindak pidana. Oleh karena itu, agar RJ menjadi tidak bermasalah atau menimbulkan adanya pertentangan adalah dengan menempatkan RJ hanya pada lingkup eksekutif (penyidikan dan penuntutan). Penegakan Undang-Undang Pidana (law enforcement) dengan membawa perkara pidana ke pengadilan bersifat diskresioner. Dalam menentukan kapan dan bagaimana penyidikan dan penuntutan dihentikan, kepada penyidik kepolisian dan jaksa penuntut diberikan kewenangan diskresioner.

Pelaksanaan RJ pada lingkup eksekutif tidak bermasalah secara hukum karena telah sesuai dengan fungsinya yaitu untuk melaksanakan Undang-Undang. Oleh karena itu penerapan RJ seyogianya dibatasi hanya untuk tingkat penyidikan dan penuntutan.

Pada tingkat penyidikan, penyidik kepolisian diberikan kewenangan diskresioner sebagai “a power or authority conferred by law to action on the basic

(18)

40 of judgement or conscience, and its use is more an idea of morals than law.”96 Undang-Undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik untuk bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya.97 Pengaturan mengenai penghentian penyidikan ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), secara khusus dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i. Penyidikan dapat dihentikan jika sudah tidak ada cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan.98 Secara spesifik, kriteria untuk melakukan penghentian penyidikan diperjelas dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”

Wewenang penghentian penyidikan digariskan Undang-Undang untuk dipergunakan kepada alasan-alasan yang telah ditentukan, dan tidak semaunya dapat dilakukan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi landasan perujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian penyidikan.99 Penerapan RJ dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku yakni dengan mempertemukan pelaku dan korban tindak pidana serta pihak terkait dalam membangun perdamaian dengan menekankan untuk memberikan sanksi terhadap pelaku (tidak berorientasi pada

96 Thomas J. Aaron, Control of Police Discretion, Springfield: Charles C. Thomas Publisher, 1960, h. 9.

97 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan …, Op.Cit., h. 150.

98 Ibid.

99 Ibid., h. 150-151.

(19)

41 pemidanaan).100 Dalam hal pelaku dan korban tindak pidana bersepakat untuk berdamai, tidak ada alasan bagi penyidik kepolisian untuk melanjutkan perkara pada tingkat berikutnya (terutama karena tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik adalah delik aduan).

Pada tingkat penuntutan, jaksa penuntut juga memiliki kewenangan diskresioner untuk menghentikan penuntutan suatu perkara yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP yang menyatakan: “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.” Hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan.101 Hal ini tidak dimaksudkan mengenyampingkan perkara pidana tersebut, dalam Pasal 77 KUHAP menegaskan:

“yang dimaksud dengan ‘penghentian penuntutan’ tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.” Alasan penghentian penuntutan didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri dan perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat kembali diajukan penuntutan jika ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan.102

Penerapan RJ pada tingkat penuntutan adalah dengan memberikan ruang pada korban tindak pidana untuk menentukan dan menyampaikan pandangannya terkait dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku. Dengan kata lain, pilihan dari

100 Peraturan Kepolisian Negara RI No. 8 Tahun 2021 …, Op.Cit.

101 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan …, Op.Cit., h. 436.

102 Ibid., h. 437-438.

(20)

42 korban akan menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara diajukan ke pengadilan.

dalam hal perdamaian diterima oleh pelaku dan korban tindak pidana, penuntut umum berwenang melanjutkan proses perdamaian sehingga tidak perlu dilanjutkan sampai pada tahap persidangan.103 Proses RJ pada tingkat penuntutan telah diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian penerapan RJ yang dijalankan oleh penyidik kepolisian dan jaksa penuntut tidak bermasalah/menimbulkan pertentangan karena sesuai fungsinya dalam lingkup eksekutif. Oleh karena itu, RJ pada lingkup eksekutif sangat “fleksibel” dalam menyesuaikan diri dengan kewenangan diskresioner yang dimiliki penyidik kepolisian dan jaksa penuntut dalam menjalankan Undang-Undang (to execute the laws).

Selanjutnya adalah terkait dengan perkembangan baru dalam Hukum Pidana Indonesia di mana KUHP baru mempertegas penerapan RJ di ranah pengadilan dengan pengadilan diberikan kewenangan judicial pardon seperti tertuang dalam Penjelasan Pasal 54 ayat (2) KUHP. Untuk lengkapnya, Penjelasan Pasal 54 ayat (2) KUHP menyatakan: “Ketentuan pada ayat ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon atau judicial pardon yang memberi kewenangan kepada Hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan Tindak Pidana yang sifatnya ringan. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan Hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana yang didakwakan kepadanya.”

Dalam kaitan dengan penerapan RJ oleh pengadilan untuk tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan, judicial pardon sangat terbuka untuk diberikan

103 Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 …, Op.Cit.

(21)

43 kepada pelaku tindak pidana. Adapun catatan penting Penulis atas perkembangan hukum yang baru ini adalah konsep pardon bukanlah konsep yang tepat dalam lingkup kekuasaan yudisial (pengadilan), melainkan dalam lingkup eksekutif khususnya ranah kekuasaan Presiden: the pardon power in the executive branch, specifically to be held by the President.104 Pardon secara ekplisit merupakan ranah kekuasaan konstitusional Presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945.

Menurut hemat Penulis, judicial pardon dalam KUHP inkonstitusional karena sebagai materi muatan undang-undang, materi muatan tersebut “mengurangi”

kekuasaan konstitusional Presiden yang diatur Pasal 14 ayat (1) UUD 1945.

Walaupun secara prosedural adanya ketentuan tentang judicial pardon tersebut merupakan suatu kemajuan terkait dengan efisiensi dari proses peradilan pidana, pembentuk Undang-Undang seharusnya jeli dengan isu konstitusionalitas dari judicial pardon itu sendiri (karena Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar). Penulis tidak bermaksud memperpanjang diskusi atas isu ini karena ini sekadar ide untuk sebuah penelitian dengan tema berbeda tentang judicial pardon itu sendiri.

3.2. Dekriminalisasi Tindak Pidana Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Supaya penanganan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik tidak bermasalah seperti telah dijelaskan di atas Penulis mengajukan solusi supaya tindak pidana ini didekriminalisasi dan perlindungan hukum terhadap pihak yang dirugikan menjadi isu hukum di ranah Hukum Perdata. Dekriminalisasi merupakan sebuah tindakan untuk menghilangkan sifat pidana dari sebuah perbuatan.105 Suatu

104 Paul F. Eckstein and Mikaela Colby, ‘Presidential Pardon Power: Are There Limits and, if Not, Should There Be?’ (2019) 51 (71) Arizona State Law Journal h. 77.

105 Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1986, h. 31-32.

(22)

44 perbuatan yang akan dihilangkan sifat pidananya perlu dilihat efektif atau tidaknya perbuatan tersebut didekriminalisasikan dengan melihat dasar justifikasinya.

Kebijakan kriminalisasi tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan memiliki kecenderungan harm the reputation of another.106 Oleh karena itu, pencemaran nama baik/penghinaan menjadi sebuah kontroversi yang melibatkan kepentingan antar individu. Dekriminalisasi tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan untuk menjadi isu Hukum Perdata dapat dilihat dalam pengaturan KUHPerdata, secara khusus diatur dalam ketentuan Pasal 1372 sampai dengan 1380 KUHPerdata.

Pengaturan tersebut berorientasi agar kehormatan (nama baik) dapat mendapat pemulihan serta ganti kerugian dapat tercapai sebagai akibat yang ditimbulkan dari perbuatan mencemarkan nama baik.107 Dengan demikian solusi untuk dilakukannya dekriminalisasi memberikan keseimbangan yang adil atas reputasi yang dimiliki dari nama baik itu sendiri tanpa harus diberikan sanksi pidana. Sehingga daripada harus menerapkan RJ sebagai penyelesaian tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan, dekriminalisasi menjadi solusi yang relevan untuk diterapkan.

106 Lyissa Barnett Lidsky, ‘Defamation, Reputation, and the Myth of Community’ (1996) 71 (1) Washington Law Review h. 11.

107 Pasal 1372-1380 KUHPerdata.

Referensi

Dokumen terkait

“ Pasal 1 ayat 6 Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk

Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan.. pembela secara

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Studi Putusan Nomor 107/Pid.B/2019/Pengadilan Negeri

Padahal melalui pendekatan restorative justice Keadilan Restoratif suatu tindak pidana dapat diselesaikan secara adil dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain