• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Stuart Hall

N/A
N/A
Azdisyah Hutabarat

Academic year: 2025

Membagikan "Representasi Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Stuart Hall"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 7, Nomor 02, Tahun 2024, Hal. 440 449 Available online at:

http://ejurnal.budiutomomalang.ac.id/index.php/alfabeta

440

Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall

Winda Ayuanda1, Dindasari Sidabalok2, Alemina Br. Perangin-angin3

123Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara [email protected] , [email protected] , [email protected]

Informasi Artikel ABSTRACT

Submit: 17 – 08 – 2024 Diterima: 29 – 09 – 2024 Dipublikasikan: 10 – 10 – 2024

This research aims to analyze and describe the representation of Javanese culture in the film entitled 'Primbon'. Primbon is an Indonesian horror film directed by Rudi Soejarwo and released in 2023. The data source for this research is the Primbon film.

Researchers take dialogues or settings that show representations of Javanese culture as research data. Research data was collected by watching films repeatedly, listening and taking notes. Then at the analysis stage, the data was studied using Stuart Hall's representation theory. From the research results, seven representations of Javanese culture were found in the primbon film, namely tahlilan, primbon, Javanese language, weton, ruwatan, Bujang Ganong, and clothing. It can be concluded that cultural representation can be seen in any media, including films. So through films, people can also learn and understand cultural diversity so that they can eliminate stereotypes about certain groups of people with different cultures.

Keywords: cultural representation, film, Javanese culture

Penerbit ABSTRAK

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Insan Budi Utomo, Malang, Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan representasi budaya Jawa dalam film „Primbon‟. Primbon merupakan film horor Indonesia yang disutradarai Rudi Soejarwo dan dirilis pada tahun 2023. Sumber data penelitian ini adalah film Primbon. Peneliti mengambil dialog atau setting yang menunjukkan representasi budaya Jawa sebagai data penelitian.

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara menonton film secara berulang, menyimak, dan mencatat. Kemudian pada tahap analisis, data-data tersebut dikaji dengan menggunakan teori representasi Stuart Hall. Dari hasil penelitian ditemukan tujuh representasi budaya Jawa dalam film primbon, yaitu tahlilan, primbon, bahasa Jawa, weton, ruwatan, Bujang Ganong, dan pakaian. Dapat disimpulkan bahwa representasi budaya dapat dilihat dari media apapun, termasuk film. Maka melalui film, orang-orang juga dapat mempelajari dan memahami keberagaman budaya sehingga dapat menghilangkan steriotip terhadap suatu kelompok masyarakat tertentu dengan budaya yang berbeda.

Kata kunci: representasi budaya, film, budaya Jawa

(2)

Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall 441 PENDAHULUAN

Film mampu menjadi media penyampai pesan atau media komunikasi melalui gambar bergerak dan suara. Sebagaimana Panuju (2019) menyebutkan bahwa film merupakan gejala komunikasi massa yang hingga kini terus berlangsung, yang digunakan orang untuk menyampaikan pesan dan mempengaruhi khalayak dengan tujuan yang spesifik. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebagai media komunikasi massa, film menjadi semakin menarik, detail, dan tepat (presisi). Film tidak hanya menjadi media yang mendeskripsikan, namun juga menvisualisasikan sehingga sebuah karya film mampu mewadahi realitas, pikiran, dan perasaan.

Narasi, lokasi produksi, kostum, sampai logat bahasa yang digunakan di dalam film, dapat merepresentasikan nilai-nilai budaya dalam kelompok masyarakat. Selain budaya yang sangat berpengaruh dalam proses pembuatan film, film juga mampu mempengaruhi persepsi masyarakat melalui isu-isu sosial yang diangkat ke dalam cerita. Analisis representasi budaya melalui film mampu memberi pemahaman dan pandangan terhadap nilai-nilai budaya dalam konteks yang lebih luas dan beragam.

Menurut Puspasari dkk (2019: 18) penyampaian pesan melalui film merupakan cara yang cukup efektif agar penonton dapat mengetahui informasi yang ingin disampaikan oleh sutradara, serta visualisasi dan suara dalam film adalah bentuk hasil yang mengandung unsur hiburan, kebudayaan, dan informasi sekaligus keberadaan film tersebut, yang dapat digunakan menjadi sarana sosialisasi politik, budaya, pendidikan, keindahan alam, maupun keagamaan.

Bangsawan dan Juwariyah (2019: 258) juga menyampaikan bahwa film berperan sebagai pengembangan ideologi untuk meningkatkan nilai moral atau mitos yang diinginkan sebagai teks psikologis masyarakat tentang suatu subjek yang menarik atau menegangkan, sebagai bagian dari budaya yang mewakili gambaran tertentu, dan dan sebagai teks visual yang menawarkan tingkat pemahaman dan makna yang kompleks.

Representasi merupakan bagian penting dari proses dimana makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota suatu budaya, yang melibatkan penggunaan bahasa, tanda-tanda dan gambar yang mewakili atau merepresentasikan sesuatu (Hall, 1997: 15). Lebih lanjut Hall menyebutkan bahwa representasi adalah produksi makna konsep-konsep dalam pikiran melalui bahasa. Hubungan antara konsep dan bahasalah yang memungkinkan manusia merujuk pada dunia 'nyata' yang berisi objek, orang, atau peristiwa, atau bahkan dunia imajiner yang berisi objek, orang, dan peristiwa fiksi. Melihat pada pernyataan tersebut, maka representasi budaya dapat dikatakan memiliki peran penting dalam melestarikan warisan budaya. Selain itu, representasi yang baik juga dapat melawan stereotip negatif dan bias budaya yang merugikan individu atau kelompok budaya tertentu. Menurut Eduar (2024: 68) teori representasi Stuart Hall merupakan kerangka konseptual yang mendalam tentang memahami bagaimana media dan budaya menciptakan makna serta merepresentasikan realitas sosial.

Identifikasi representasi identitas budaya dapat dianalisis melalui produksi apa pun yang berkaitan dengan film, seperti film itu sendiri, review, dan booklet (Ali, 2021: 2).

Representasi budaya memunculkan nilai-nilai, adat istiadat, dan kebiasaan dari sifat penduduk pada film (Saba dkk, 2022: 3). Representasi yang diciptakan dapat membentuk suatu presepsi, identitas, dan hubungan sosial, oleh karena itu, representasi memiliki tempat yang cukup krusial dalam studi budaya (Sholichah dkk, 2022: 35).

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis representasi budaya Jawa dalam film Primbon. Primbon merupakan film horor Indonesia yang disutradarai Rudi Soejarwo dan dirilis pada tahun 2023. Primbon sendiri merupakan pengetahuan tradisional dan ramalan yang berkaitan dengan budaya Jawa, umumnya memuat berbagai hal seperti penanggalan Jawa, tafsir mimpi, perhitungan hari baik dan buruk, ramalan jodoh, perhitungan hari lahir (weton), pantangan-pantangan, dan pedoman tata cara kehidupan sehari-hari. Budaya Jawa

(3)

442 Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall

sangat berperan dalam membangun alur cerita di film ini. Selain judulnya yang merupakan terminologi dari budaya Jawa yaitu Primbon, film ini juga menampilkan beberapa dialog dalam bahasa Jawa, walaupun hampir keseluruhan dialognya menggunakan bahasa Indonesia namun tetap diucapkan dengan logat Jawa. Beberapa kostum yang digunakan juga merefleksikan budaya Jawa, seperti kebaya, beskap, blangkon, dan jarik. Film ini menyuguhkan data yang cukup untuk dianalisis, sehingga film ini dipilih sebagai objek penelitian.

Penelitian ini menggunakan teori representasi Stuart Hall (1997) dalam penyelesaiannya. Hall menyebutkan ada dua sistem yang terlibat dalam proses representasi yaitu representasi mental (mental representation) dan bahasa (language). Dalam representasi mental, makna bergantung pada sistem konsep dan gambaran yang terbentuk dalam pikiran, sehingga memungkinkan manusia untuk merujuk pada hal-hal baik di dalam maupun di luar kepala. Sedangkan bahasa merupakan proses dimana peta konseptual tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa yang umum, sehingga apat menghubungkan konsep dan ide dengan kata- kata tertulis, suara lisan, atau gambar visual tertentu. Dengan bahasa yang umum atau sama, seseorang dapat mengungkapkan makna dan mengkomunikasikan pikirannya kepada orang lain. Istilah bahasa dalam hal ini memiliki arti yang luas, tidak hanya sebatas bahasa lisan dan tulis, tapi juga gambar visual, ekspresi wajah, gerak tubuh, pakaian, lampu lalu lintas, bahkan musik adalah sebuah „bahasa‟. Inti dari proses pemaknaan dalam kebudayaan adalah dua sistem representasi yang saling berkaitan, yaitu representasi mental dan bahasa.

Terdapat tiga pendekatan dalam representasi menurut Hall, yaitu pendekatan reflektif, pendekatan intensional, dan pendekatan konstruksionis atau konstruktivis. Pendekatan reflektif menganggap makna terletak pada objek, orang, ide atau peristiwa di dunia nyata, dan bahasa berfungsi seperti cermin, untuk mencerminkan makna sebenarnya sebagaimana yang telah ada di dunia. Pendekatan intensional menganggap bahwa pengaranglah yang menentukan makna uniknya pada dunia melalui bahasa. Kelemahan pendekatan ini adalah, seorang pengarang tidak bisa menjadi satu-satunya sumber makna yang unik dalam bahasa, karena hakikat bahasa adalah komunikasi dan bergantung pada konvensi linguistik dan kode bersama. Bahasa tidak pernah bisa sepenuhnya menjadi permainan pribadi. Pendekatan konstruksionis tidak menganggap bahwa makna sudah ada sebelumnya dalam objek atau dihasilkan oleh orang/pengarang yang memberikan gagasan makna tersebut. Menurut pendekatan ini bukan dunia material yang menyampaikan makna, melainkan sistem bahasa atau sistem apa pun yang digunakan untuk mewakili konsep-konsep. Aktor sosial lah yang menggunakan sistem konseptual budaya mereka dan sistem linguistik serta representasi lainnya untuk membangun makna, untuk membuat dunia bermakna, dan mengkomunikasikan dunia itu secara bermakna kepada orang lain. Dalam pendekatan konstruksionis, dapat dikatakan makna dibangun melalui proses sosial, budaya, dan politik, dan bahwa representasi memiliki peran penting dalam pembentukan identitas, nilai-nilai, dan persepsi.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konstruksionis karena representasi budaya Jawa dalam film Primbon dapat dipaparkan melalui bahasa yang ditafsirkan dan mempunyai makna. Bahasa yang terkandung dalam kumpulan tanda baik berupa dialog, setting, maupun gestur karakternya, mempunyai makna yang mewakili budaya yang ada di dalam masyarakat. Menurut Nurlaili, dkk (2022: 1540) dalam mengkaji representasi budaya dapat dilakukan dengan menganalisis makna budaya dengan cara mengkonstruksi makna, mengembangkan hubungan antara peta konsep yang ada di pikiran (sistem representasi mental) kemudian menjelaskannya dengan bahasa (sistem bahasa) karena konsep yang ada di kepala masyarakat harus diubah menjadi bahasa global.

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan adalah Sere, dkk (2020) yang mengkaji representasi identitas budaya Afrika dalam film Black Panther menggunakan teori Representasi oleh Stuart Hall melalui pendekatan konstruksionis. Film Black Panther menjadi

(4)

Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall 443 media untuk mengubah cara pandang penonton tentang Afrika melalui gambaran berbagai macam identitas budaya di Afrika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film Black Panther menjadi media untuk memberikan perspektif yang lebih baik melalui deskripsi beberapa elemen terkait identitas Afrika: representasi peradaban Afrika melalui simbol vibranium, ritual budaya, kostum tradisional, citra Afrika melalui karakter, elemen tersebut digunakan oleh Ryan Coogler sebagai sutradara untuk mengembangkan perspektif berbeda tentang Afrika.

Nurlaili, dkk (2022) melakukan analisis terhadap representasi budaya Meksiko dalam film Coco. Banyaknya media visual seperti film yang menampilkan Meksiko sebagai sesuatu yang buruk, menjadi salah satu latar belakang penelitian ini. Film Coco mampu menunjukkan keindahan Meksiko melalui budayanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan representasi budaya Meksiko dalam film Coco, dengan menggunakan teori Representasi Budaya oleh Stuart Hall. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat delapan belas representasi budaya Meksiko dalam film Coco, yaitu papel picado, piñata, luchador, tamales, pan dulce, alebrijes, xolo dog, cumbia, mariachi, huaraches, hacienda, piramida Aztec, churros, marimba, el grito, agama dominan, Dia de los Muertos, dan bahasa Spanyol.

Perangin-angin, dkk (2023) mengkaji representasi budaya dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer menggunakan model analisis wacana kritis Norman Fairclough. Dapat ditemukan tiga unsur dasar dalam model Norman Fairclough, yaitu unsur representasi, relasi, dan identitas pada novel Bumi Manusia, namun batasan penelitian ini hanya membahas satu unsur yaitu representasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan yang terdapat dalam teks novel Bumi Manusia, berupa tingkah laku sehari-hari, bahasa, pakaian, hingga nama-nama yang muncul dalam teks novel tersebut. Dalam teks novel tersebut tidak hanya terdapat kebudayaan Indonesia saja, namun juga kebudayaan Belanda.

Berdasarkan penelitian representasi budaya sebelumnya, topik mengenai budaya Jawa dalam film belum diteliti. Dapat diingat pula bahwa suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik persentasenya mencapai 40,05% dari jumlah penduduk Indonesia, dan banyak tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut menjadi kebaruan dan faktor signifikan untuk melakukan penelitian ini.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Creswell (2023: 248), peneliti merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif, dalam hal ini peneliti mengumpulkan sendiri data melalui dokumentasi dan observasi, serta menjadi satu-satunya instrumen dalam mengumpulkan informasi. Sumber data penelitian ini adalah film Primbon. Peneliti mengambil dialog dan setting yang menunjukkan representasi budaya Jawa budaya sebagai data penelitian. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara menonton film secara berulang, menyimak, dan mencatat. Setelah data terkumpul, selanjutnya pada tahap analisis, data-data tersebut dikaji dengan menggunakan teori representasi Stuart Hall. Setelah semua data selesai dianalisis kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk uraian deskriptif dengan tujuan agar pembaca dapat memahami isi tulisan ini dengan lebih mudah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Alur cerita film Primbon dimulai dengan pencarian Rana – seorang gadis tokoh utama film – yang hilang di hutan. Sebelumnya Rana dan sahabatnya, Janu, pergi ke hutan untuk mencari hadiah ulang tahun untuk ibu Rana, yaitu Dini. Namun yang kembali dari perjalanan itu hanya Janu, sedangkan Rana hilang di hutan. Setelah berhari-hari Rana belum juga

(5)

444 Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall

ditemukan, kemudian pada hari ke-7 keluarga besarnya memutuskan untuk mengadakan tahlilan meskipun jasadnya belum ditemukan. Keluarga Rana adalah orang Jawa yang kerap mempercayai primbon, dan sebenarnya malapetaka yang terjadi pada Rana sudah diperingati oleh Bude Sepuhnya, yaitu Bude Nur, yang sudah melarang Rana pergi ke hutan waktu itu.

Namun, Dini sebagai ibunya tetap mengizinkan karena Rana memaksa. Dini bukanlah orang Jawa, dan tidak mempercayai budaya Primbon. Dua orang Bude Rana yang lain yaitu Bude Ning dan Bude Sri juga mempercayai ramalan Primbon seperti Bude Nur. Sedangkan ayah Rana, yaitu Banyu, adik bungsu dari ketiga bude Rana, tidak terlalu mempercayai Primbon.

Karakter lain yang tidak mempercayai ramalan primbon adalah pakde Rana, suami Bude Sri, yaitu Basuki. Selesai acara tahlilan, ketika semua keluarga berkumpul, tiba-tiba Rana pulang.

Semua keluarga kaget dan bertanya-tanya, apakah yang pulang itu Rana yang asli atau bukan.

Hingga pada akhirnya sosok Rana tersebut diruwat atau dibersihkan.

Berikut adalah representasi budaya Jawa yang terdapat dalam film Primbon melalui dialog, narasi, dan setting film tersebut.

a. Tahlilan

Tahlilan merupakan ritual atau tradisi yang dilakukan oleh etnis Jawa untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal. Tradisi ini biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai hari ketujuh, kemudian hari ke-40, ke-100, dan seterusnya. Mas‟ari dan Syamsuatir (2017: 79) menyebutkan bahwa tahilan merupakan sebuah bacaan yang komposisinya terdiri dari beberapa ayat al-Qur‟an, shalawat, tahlil, tasbih dan tahmid, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal.

Data 1 (3:11 – 3:29)

Konteks Tradisi tahlilan telah dilaksanakan oleh keluarga Rana, walaupun jenazah Rana belum ditemukan atau belum dapat dipastikan apakah ia hilang atau benar-benar meninggal.

Dialog Pria 1 : Eh Kang, padahal jenazahnya urung ditemukan, wis ngenengke tahlil iki lo.

Pria 2 : Yo biasa to, Kang. Menurut Mba Nur-nya, dari perhitungan weton, yo memang sudah waktunya kok yo, ya to?

Pria 1 : Padahal baru 7 hari, tapi udah tahlilan yo.

Berdasarkan dialog tersebut dapat dilihat interpretasi masyarakat Jawa terhadap tradisi tahlilan, yaitu merupakan tradisi yang biasanya dilakukan apabila ada seseorang yang meninggal dunia. Film ini memperlihatkan adegan banyak orang berkumpul di sebuah rumah untuk mendoakan orang yang telah meninggal. Setelah tahlilan selesai, orang-orang tersebut pulang sambil membawa bungkusan makanan yang diberikan oleh tuan rumah yang mengadakan tahlilan. Adegan tersebut merepresentasikan budaya tahlilan oleh masyarakat Jawa melalui skrip dialog dan visualisasi setting latar yang ditampilkan dalam film.

Representasi mental merujuk pada sebuah kebiasaan atau tradisi berkumpul bersama untuk mendoakan orang yang telah meninggal, sedangkan bahasa umum yang mewakili konsep tersebut adalah „tahlilan‟.

b. Primbon

Primbon merupakan sebuah buku atau kitab yang berisi pengetahuan tradisional dan ramalan yang berkaitan dengan budaya Jawa, umumnya memuat berbagai hal seperti penanggalan Jawa, tafsir mimpi, perhitungan hari baik dan buruk, ramalan jodoh, perhitungan hari lahir, pantangan-pantangan, dan pedoman tata cara kehidupan sehari-hari. Menurut Hartono (2016: 256) kitab primbon sampai saat ini masih digunakan sebagian masyarakat Jawa untuk memulai atau melakukan aktivitas sehari-hari.

(6)

Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall 445

Data 2 (5:25 – 6:39)

Konteks Keluarga Rana berkumpul untuk menentukan tanggal kematiannya berdasarkan kitab primbon.

Bude Ning dan Bude Nur memegang dan melihat kitab primbon.

Dialog Ning : Yang penting itu kita sepakat dulu, ini tanggal kematiannya tu mau ditulis kapan?

Sri : Oiya, jadi piye? Ini mau dianggap pas hari hilangnya atau setelah pencariannya ditutup, Mba?

Nur : Jangan hari hilangnya, hari itu hari sial. Hari senin pon, hari menuju sampar bangkeng dan ringkel jomo. Artinya petakanya manusia bumi tertepak dan berkalang tanah. Dapat juga diartikan terpendam dalam bumi. Memang waktu itu sudah saatnya. Waktu akhir kehidupan di muka bumi. Artinya, mati.

Ning : Ya kalau gitu jangan, nanti 40 harinya kena masalah lagi lo.

Potongan dialog Ning, Sri, dan Nur yang merupakan etnis Jawa telah menunjukkan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap primbon. Untuk menentukan apakah hari itu baik atau buruk, dapat dilihat melalui primbon. Film ini menunjukkan Ning dan Nur yang membaca buku tua dengan lembar-lembar halaman yang bewarna coklat, kemudian berdiskusi untuk menentukan tanggal kematian keponakan mereka, yaitu Rana. Ketika menemukan ramalan bahwa tanggal atau hari itu memiliki arti yang buruk, mereka langsung mempercayai bahwa hari itu merupakan hari yang sial, kemudian menghindari hari tersebut.

Data 3 (7:30 – 8:21)

Konteks Keluarga Rana berkumpul untuk menentukan tanggal kematiannya berdasarkan kitab primbon.

Dini, yang bukan etnis Jawa, tidak mempercayai primbon.

Dialog Dini : Saya ibunya. Saya tahu apa yang terbaik untuk anak saya. Yang kalian lakukan ini apa?

Bikin tahlilan, menentukan tanggal kematian, menyerah, apa itu lebih baik?

Nur : kamu tahu dari mana yang lebih baik? Sudah saya peringatkan, kalau Rana pergi hari itu dia akan celaka, tapi kamu membiarkan. Kamu ndak pernah mau percaya omongan keluarga kami, padahal kamu juga tahu itu bukan baru yang terjadi. Sekarang, anak kamu celaka, masih ndak percaya juga?

Dini : Saya hanya ingin percaya, bahwa anak saya masih hidup.

Data 4 (26:32 – 27:10)

Konteks Basuki (paman Rana) dan Banyu (ayah Rana) berbicara ketika sedang berjualan di pasar.

Dialog Basuki : Wis, Nyu, gak usah terlalu didengerin. Mbak-mbakmu itu kadang-kadang suka berlebihan. Memang primbon itu jadi pegangan mereka sehari-hari. Dulu waktu ibumu masih hidup, aku juga begitu. Mau melaut pergi itu, ya harus nunggu keputusannya. Harinya baik atau ndak. Repot kan?

Banyu : Ya aku juga gitu, Mas. Waktu aku mau nikah dulu itu lo, pada ribut semua. Terus kejadian itu lah, ibuk meninggal.

Data 3 menunjukkan bahwa Dini tidak mempercayai primbon. Bukan hanya karena ia percaya anaknya masih hidup, tetapi film ini juga menyampaikan bahwa Dini tidak bersuku Jawa.

Maka dapat dikatakan bahwa budaya Primbon hanya dilakukan oleh kelompok etnis tertentu, yaitu Jawa. Pada Data 4 memperlihatkan bahwa sudah sejak dulu masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang kuat terhadap primbon, walaupun ada juga pandangan yang berbeda di zaman modern ini. Dari dialog tersebut, secara tidak langsung, Basuki dan Banyu digambarkan sebagai orang Jawa yang tidak mengindahkan ramalan primbon. Meski demikian, keduanya tetap membenarkan interpretasi bahwa primbon merupakan panduan hidup bagi masyarakat Jawa, khususnya keluarga mereka. Representasi mental pada data 2, 3 dan 4 merujuk pada kumpulan teks pengetahuan atau ramalan tradisional yang dipercayai masyarakat Jawa sebagai panduan hidup, kemudian direpresentasikan melalui sistem linguistik atau bahasa yang umum digunakan khalayak menjadi „primbon‟.

(7)

446 Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall

c. Bahasa jawa

Setiap suku bangsa memiliki bahasanya masing-masing sehingga bahasa mampu menjadi identitas dari suatu suku atau etnis tertentu. Bahasa jawa yang digunakan dalam film primbon secara otomatis mampu merepresentasikan budaya Jawa pada film tersebut.

Walaupun hampir keseluruhan film Primbon menggunakan dialog dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa, di beberapa dialog masih disisipkan kalimat dalam bahasa Jawa.

Data 5 (27:11 – 27:29)

Konteks Basuki (paman Rana) dan Banyu (ayah Rana) berbicara ketika sedang berjualan di pasar.

Dialog Basuki : Iya, gak semua menyangkut kepercayaan mereka. Wong Jowo iku nggone roso, orang Jawa itu mendahulukan perasaannya. Soal hari baik atau ndak, sopo seng tahu? Yo ora?

Banyu : Iyo, Mas.

Data 6 (1:11:58 – 1:12:16)

Konteks Banyu menyerahkan anaknya, Rana, untuk diruwat kepada Dalang.

Dialog Banyu : Matur Pak Dalang. Kulo pasrahken anak kulo, Rana, supados dipun ruwat.

Dalang : Njih. Kulo tampi pasrah panjenengan …..

Terdapat ujaran dalam bahasa Jawa pada data 5 dan 6. Bahasa jawa sendiri mampu diinterpretasikan sebagai budaya Jawa. Film Primbon menampilkan beberapa dialog dalam bahasa Jawa untuk lebih memperkuat budaya Jawa yang melatarbelakangi di film ini. Simbol- simbol bunyi, atau kata-kata dalam bahasa Jawa merupakan salah satu konsep dalam representasi mental yang diwakilkan dengan istilah „bahasa Jawa‟ dalam sistem bahasa umum yang disepakati khalayak.

d. Weton

Weton merupakan penanggalan atau perhitungan tanggal lahir seseorang berdasarkan tujuh hari dalam seminggu dan lima hari pasaran dalam kalender Jawa yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Setiap weton memiliki karakteristik, sifat, dan peruntungan yang diyakini dapat memengaruhi nasib dan kehidupan seseorang. Fungsi weton diantaranya adalah meramalkan kecocokan pernikahan dan menentukan tanggal-tanggal baik untuk melakukan suatu aktivitas. Sebagaimana disebutkan oleh Simamora dkk (2022: 44) bahwa tujuan utama perhitungan weton dalam pernikahan adat jawa adalah untuk mencari hari joyo atau hari baik yang dimiliki oleh pengantin pria dan pengantin wanita.

Data 7 (1:05:37 – 1:06:28)

Konteks Nur bertengkar dengan adik iparnya, Dini, karena sejak awal keduanya berbeda pendapat. Nur meyakini bahwa Rana sudah meninggal dan membawa roh jahat, sedangkan Dini meyakini bahwa anaknya masih hidup.

Dialog Nur : Seharusnya kalian tidak menikah, wetonnya tidak cocok. Bisa membawa malapetaka.

Dan kamu, lahir dihari yang salah. Di hari yang sial. Dan sudah terbukti kamu membawa petaka dalam keluarga kita.

Dalam dialog pada data 7 dapat dilihat interpretasi weton merupakan ramalan kecocokan pernikahan dan perhitungan hari lahir seseorang. Nur menyebutkan bahwa Dini dan Banyu seharusnya tidak menikah, karena perhitungan kombinasi weton antara keduanya tidak bagus dan dipercayai dapat membawa kesialan. Nur juga mengatakan bahwa Dini lahir pada hari yang salah sehingga mampu membawa petaka ke dalam keluarga. Film ini berusaha menunjukkan perspektif orang Jawa yang diperankan oleh Nur, sangat meyakini ramalan weton sebagai panduan hidup. Representasi mental pada data 7 adalah sistem penghitungan tanggal kelahiran untuk melihat kecocokan pernikahan dan menentukan hari baik atau buruk untuk melakukan kegiatan, sedangkan representasi bahasa umum yang mewakili konsep tersebut adalah „weton‟.

(8)

Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall 447 e. Ruwatan

Ruwatan merupakan sebuah ritual penyucian diri yang dilakukan masyarakat Jawa.

Dalam bahasa Jawa, ruwatan memiliki arti „dilepas‟ atau „dibebaskan‟. Tujuan upacara Ruwatan adalah untuk membebaskan seseorang yang diruwat dari hal-hal yang membawa sial dan membahayakan.

Data 8 (1:01:47 – 1:01:57)

Konteks Nur merasakan banyak roh jahat yang mulai bermunculan di sekitarnya. Menurutnya, sosok Rana telah menarik roh-roh jahat tersebut untuk bermunculan.

Dialog Basuki : kenapa Mba?

Nur : roh-roh makin banyak.

Sri : Mba Yu, ada apa?

Nur : Rana harus diruwat.

Data 9 (1:03:03 – 1:03:29)

Konteks Rana mendatangi rumah bude Nur kemudian bertemu dengan ketiga budenya serta pamannya, Basuki. Kemudian Basuki menanyakan kesediaan Rana untuk diruwat.

Dialog Basuki : Rana, kalau kamu diruwat, ndak apa-apa to?

Rana : menurut primbon, setelah diruwat, bersih. Selesai kan?

Pada data 8 dapat dilihat bahwa Nur ingin menghilangkan roh-roh jahat yang berbahaya di sekitarnya, ia merasa kemunculan roh-roh tersebut disebabkan oleh Rana, sehingga ia ingin Rana diruwat. Pada data 9, Rana juga menyebutkan bahwa setelah dilakukan upacara ruwatan, yang diruwat akan bersih kembali. Dari dialog Nur dan Rana, film ini menunjukkan bahwa interpretasi masyarakat terhadap ruwatan adalah sebuah ritual yang dapat membersihkan diri dengan menghilangkan hal-hal yang membawa sial dan berbahaya dari tubuh yang diruwat.

Konsep yang terbentuk dalam representasi mental masyarakat adalah sebuah kegiatan upacara pembersihan diri, kemudian direpresentasikan dalam sistem bahasa umum menjadi „ruwatan‟.

f. Bujang Ganong

Tarian Bujang Ganong muncul di film Primbon pada menit 27:50. Bujang Ganong merupakan salah satu penari dalam kesenian Reog Ponorogo, yaitu tarian tradisional dari Ponorogo, Jawa Timur. Penari Bujang Ganong mengenakan topeng yang mirip dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang besar tanpa taring, wajah merah, dan rambut yang lebat menutup pelipis kiri dan kanan. Makna yang terbentuk dalam representasi mental ketika melihat Bujang Ganong adalah salah satu budaya Jawa berupa tarian dengan topeng yang menghibur melalui penampilannya, dan diwakilkan dengan sistem representasi bahasa menjadi „Bujang Ganong‟.

g. Pakaian

Masyarakat Jawa identik dengan pakaian seperti kebaya, kain jarik, blangkon, serta beskap. Pakaian yang digunakan karakter Nur disepanjang film adalah kebaya dan kain jarik.

Ketika upacara ruwatan, karakter Banyu dan Basuki juga memakai beskap lengkap dengan blangkon sebagai penutup kepala. Kostum yang dimunculkan dalam film ini seakan-akan memberi gambaran terhadap budaya Jawa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, istilah

„bahasa‟ dalam sistem representasi tidak hanya dalam bentuk lisan dan tulisan, tapi juga dapat berupa gambar visual, ekspresi wajah, gerak tubuh, pakaian, lampu lalu lintas, bahkan musik.

Oleh karena itu, pakaian yang ditampilkan dalam film Primbon mampu membentuk makna dan merepresentasikannya menjadi budaya Jawa.

(9)

448 Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall

Berdasarkan gambaran alur cerita film dan hasil-hasil representasi budaya yang telah dipaparkan, dapat dilihat bahwa film Primbon ingin menampilkan fenomena tradisi mempercayai primbon yang dilakukan etnis Jawa dalam kehidupan sehari-hari, sering mengalami pro dan kontra. Sebagian karakter memiliki kepercayaan yang kuat terhadap primbon, sedangkan beberapa karakter yang lain tidak menjadikan primbon sebagai pedoman hidup. Hal ini memberi gambaran terhadap realita yang terjadi saat ini, perspektif-perspektif modern membuat masyarakat membentuk keyakinan masing-masing terhadap suatu tradisi atau kepercayaan.

KESIMPULAN

Film Primbon merepresentasikan beberapa budaya Jawa di dalamnya. Budaya Jawa bukan hanya sekedar tempelan setting latar di film ini, tapi juga digunakan untuk membangun alur cerita. Terdapat beberapa dialog dan setting film yang mewakili budaya Jawa. Melalui pendekatan konstruksionis dari teori representasi budaya Stuart Hall, ditemukan tujuh representasi budaya Jawa dalam film primbon, yaitu tahlilan, primbon, bahasa Jawa, weton, ruwatan, Bujang Ganong, dan pakaian. Perbedaan kepercayaan masyarakat terhadap tradisi budaya juga tergambar melalui karakter-karakter dalam film ini. Representasi budaya dapat dilihat dari media apapun, termasuk film. Maka melalui film, orang-orang juga dapat mempelajari dan memahami keberagaman budaya sehingga dapat menghilangkan steriotip terhadap suatu kelompok masyarakat tertentu dengan budaya yang berbeda.

RUJUKAN

Ali, A.J.K.N. (2021). Immigrant Cultural Identity Representation in Just Get Married Film Promotion Booklet. Journal of Language and Literature, 9(1), 1–11.

https://doi.org/10.35760/jll.2021.v9i1.3902

Bangsawan, A. & Juwariyah, A. (2019). The Representation of Javanese Culture in the

“Knight Kris” Animated Movie Charles Sanders Pierce‟s Semiotic Analysis.

Proceedings of the Social Sciences, Humanities and Education Conference (SoSHEC 2019), 258 – 261. 10.2991/soshec-19.2019.57

Creswell. J.W. (2023). Research Design Pendekata Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Eduar. (2024). Representasi Budaya Sumatera Selatan dalam Film Pendek “Lenget”. Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya, 8(1), 65-74.

http://dx.doi.org/10.30872/jbssb.v8i1.13542

Hall, S. (Ed.). (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. Sage Publications, Inc; Open University Press.

Hartono. (2016). Petung dalam Primbon Jawa. LITERA Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 15(2), 256-268. https://doi.org/10.21831/ltr.v15i2.11827

Panuju, R. (2019). Buku Ajar Film Sebagai Gejala Komunikasi Massa. Surabaya.

Perangin-angin, A. B., Andayani, W., Brahmana, R. A., Putri, M. M., & Khoir , M. S. (2023).

The Representation of Culture in “Bumi Manusia” Novel by Pramoedya Ananta Toer. JURNAL ARBITRER, 10(2), 116–125. https://doi.org/10.25077/ar.10.2.116- 125.2023

Puspasari, Masriadi, Rahmah Yani, R. (2019). Representasi Budaya dalam Film Salawaku.

Jurnal Jurnalisme, 9(1), 18-37. https://doi.org/10.29103/jj.v9i1.3097

Mas‟ari, A., & Syamsuar. (2017). Tradisi Tahlilan: Potret Akulturasi Agama dan Budaya Khas Islam Nusantara. KONTEKSTUALITA Jurnal Penelitian Sosial dan Keagamaan, 33(1), 78-95.

https://doi.org/10.30631/10.30631/kontekstualita.%25x

(10)

Winda Ayuanda, dkk - Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall 449 Nurlaili, D., Asanti, C., Nasrullah. (2022). The Representation of Mexican Culture in Coco

Film. Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya, 6(4), 1537-1554.

http://dx.doi.org/10.30872/jbssb.v6i4.7377

Saba, S., Prawira, N.G., & Pratama, G. (2022). Representasi Budaya Nusantara di Indonesia dalam Film Animasi Raya And the Last Dragon. Jurnal Finder, 2(1), 1-13.

https://doi.org/10.17509/finder.v2i1.46236

Sere, S.A., Muarifuddin, Amalia, F. (2020). The Representation of African Cultural Identity in Black Panther Film by Ryan Coogler (The Application of Stuart Hall‟s Theory). Elite Journal, 5(1), 1 – 13. https://doi.org/10.33772/elite.v3i1.876

Sholichah, I.M., Putri, D.M., & Setiaji, A.F. (2023). Representasi Budaya Banyuwangi Dalam Banyuwangi Ethno Carnival: Pendekatan Teori Representasi Stuart Hall. Jurnal Sosial Humaniora dan Pendidikan, 3(2), 32-42. https://doi.org/10.51903/education.v3i2.332 Simamora, A., Ruwaida I.M., Makarima, N.I.T., Raharja, B.P.L., Risma, N.A, Saputro, R.D.,

dan Ardhian, D. (2022). Analisis Bentuk dan Makna Perhitungan Weton pada Tradisi Pernikahan Adat Jawa Mayarakat Desa Ngingit Tumpang (Kajian Antropolinguistik).

Jurnal Budaya, 3(1), 44-54. https://jurnalbudaya.ub.ac.id/index.php/jbb/article/view/44

Referensi

Dokumen terkait

Ayu Sukmo Mangkujiwo, Iwang, Ibu Iwang, dan Ibu Yanti maka peneliti menarik kesimpulan bahwa Budaya Mistis Jawa yang terdapat pada film ini adalah Mistis

REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA LOKAL BALI DALAM KUASA POSTCOLONIAL PADA FILM EAT PRAY

Representasi identiras budaya lokal Bali dalam kuasa postcolonial dalam film Eat Pray Love merupakan proses pengkonstruksian dari realita dan representasi budaya

Tujuan dari tulisan ini tidak lain dalah untuk melihat representasi kultural yang ditunjukkan oleh tokoh Siti di dalam film Opera Jawa serta melihat relasinya

Berdasarkan data representasi dan akulturasi budaya Jawa dan Barat yang diperoleh dari novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo di atas, budaya Jawa memiliki banyak

Representasi budaya Suku Kutai dalam Film “Erau Kota Raja” adalah gambaran mengenai makna di film Erau Kota Raja yang di analisis untuk mengkaji tanda dengan

Hal tersebut memunculkan suatu penggambaran atau representasi tentang degradasi budaya jawa yang ada dalam film Teman Tapi Menikah, dimana pada akhir ceritanya saat

Cultural Specifity dalam Film Horor Indonesia Dalam penelitian ini, persoalan unsur budaya lokal sebagai bagian penting dalam pembicaraan mengenai cultural specificity kekhasan budaya