• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI SOSIALISME DALAM NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (SOCIALISM AS REFLECTED IN PRAMOEDYA ANANTA TOER’S NOVEL BUMI MANUSIA)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "REPRESENTASI SOSIALISME DALAM NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (SOCIALISM AS REFLECTED IN PRAMOEDYA ANANTA TOER’S NOVEL BUMI MANUSIA)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI SOSIALISME DALAM NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

(SOCIALISM AS REFLECTED IN PRAMOEDYA ANANTA TOER’S NOVEL BUMI MANUSIA)

Jihaduddin Akbar SMAN 1 Martapura

Jl. A. Yani No.59, Cindai Alus, Kab. Banjar, Kalimantan Selatan e-mail: jihaduddinakbar@gmail.com

Abstract

Socialism As Reflected In Pramoedya Ananta Toer’s Novel Bumi Manusia. Literature use to bring out the deepest desire of a writer. Literature appear as result of inner turmoil of a writer who try to see the world from his point of view, then literature be a messenger to public. Pramoedya Ananta Toer as a writer try to inculcate his wild ideas in to a brilliant creation be entitled Bumi Manusia. In Buru Tetralogy, this novel is a beginning of seeding the maturity of character named Minke, learning process, seeking knowledge, and sharpen his mind. describe the representation of socialism in the novel Bumi Manusia by Pramoedya Ananta Toer. This research is a qualitative descriptive study using genetic structuralism as a technical analysis. The data sources of this research come from sentences that represent socialism in the fields of education, law, and gender in the novel Bumi Manusia by Pramoedya Ananta Toer. Overall, incident in Bumi Manusia Novel is protest form to colonial injustice practice in Hindia Belanda.

Key words: reflected, genetic-structuralism, socialism, education, law, gender

Abstrak

Representasi Sosialisme dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sastra muncul sebagai hasil pergolakan batin seorang sastrawan yang mencoba melihat dunia dari sudut pandangnya, sastra kemudian menjadi penyampai pesan pada masyarakat. Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang sastrawan mencoba menanamkan gagasan-gagasan liarnya ke dalam salah satu karya cemerlang berjudul Bumi Manusia. Dalam Tetralogi Buru, novel ini merupakan awal penyemaian kedewasaan tokoh Minke, proses belajar, mencari ilmu pengetahuan, serta menajamkan pikiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan representasi sosialisme dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan strukturalisme genetik sebagai teknis analisis. Sumber data penelitian ini berasal dari kalimat-kalimat yang merepresentasikan sosialisme dalam bidang pendidikan, hukum, dan gender pada pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Secara keseluruhan kejadian-kejadian dalam novel Bumi Manusia merupakan bentuk protes pada praktik ketidakadilan kolonial di Hindia Belanda.

Kata-kata kunci: representasi, strukturalisme-genetik, sosialisme, pendidikan, hukum, gender

PENDAHULUAN

Sastra sering dihadapkan dengan realita pahit dibandingkan cerita syahdu dua sejoli yang sedang kasmaran. Persoalan ini kemudian membawa sastra menjadi media kritik dalam suatu kelompok masyarakat, bergantung pada peran dan daya persuasi sastrawan melalui karyanya.

Karya sastra lahir dari imajinasi yang didasari pengalaman sastrawan dalam realita. Setiap sastra yang dibuat oleh subjek kolektif merupakan perwujudan dari hubungan antara pengarang dengan masyarakat yang melingkupinya. Sastra menyajikan kehidupan yang terdiri atas sebagian besar kenyataan sosial yang sangat berpengaruh pada kehidupan (Rahmi,

(2)

2021, hlm. 195). Artinya, ada hubungan dialektis antara karya sastra dengan masyarakat yang merupakan keseluruhan utuh dari pengarang. Pengarang yang merupakan bagian dari sebuah sistem kemasyarakatan tentu memiliki pandangan dunia yang menurutnya benar. Pandangan dunia ini dipengaruhi oleh masyarakat yang melingkupinya. Namun, tidak sedikit hal yang sebaliknya terjadi yaitu, karya sastra menjadi alat kekuasaan yang mampu mengarahkan pandangan dunia penulis pada masyarakat pembaca. Karya sastra memengaruhi prilaku dan tindakan manusia baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok, karena karya satra memberikan pesan moral secara langsung maupun tidak langsung (Gani dan Effendi, 2019, hlm. 143).

Sastra sebagai media paling dinamis yang dimiliki masyarakat menjadi sebuah jalan keluar dari kegelisahan yang dialami masyarakat secara umum dan seorang penyair secara khusus. Karya sastra berisi peristiwa nyata atau hanya sebuah imajinasi dari pengarang atau penulisnya (Sari, 2021, hlm. 206). Salah satu kelebihan yang dimiliki sastra adalah pengaruhnya terhadap pembaca. Sastra dapat memengaruhi pembaca. Sastra sebagai media digunakan untuk memunculkan hasrat terpendam seorang penulis. Muncul sebagai hasil pergolakan batin seorang penulis yang mencoba melihat dunia dari sudut pandangnya, sastra kemudian menjadi penyampai pesan pada masyarakat. Di sisi lain pesan yang disampaikan dibalut dengan imajinasi dan hasil kreasi seorang penulis. Hal ini, mengakibatkan pesan yang terdapat dalam sastra tidak bisa langsung dipahami dengan mudah. Sastra harus dipahami dengan dibaca berulang kali untuk memunculkan pesan yang terdapat dalam sastra.

Karya sastra dibangun berdasarkan hasrat terpendam pengarang mengenai pandangan dunia yang memengaruhinya untuk menciptakan keseimbangan. Faruk (2017, hlm. 160) menjelaskan secara psikologis ada dua proses dalam membangun keseimbangan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyesuaian lingkungan eksternal ke dalam skema pikiran manusia. Sedangkan, akomodasi merupakan penyesuaian skema pikiran manusia pada lingkungan sekitarnya. Dalam proses asimilasi seorang cenderung menyesuaikan lingkungannya dengan skema berpikirnya atau secara sederhana mencoba menerapkan pemahamannya pada lingkungannya. Namun, hal ini tidak selalu berjalan dengan baik, pada beberapa kasus yang terjadi adalah sebaliknya. Lingkungan tempat manusia berada sudah memiliki sistem yang kuat. Oleh karena proses asimilasi tidak dapat dilakukan, manusia mengarahkan proses penyesuaiannya pada proses akomodasi. Manusia menyesuaikan skema pikirannya pada lingkungan yang sudah memiliki sistem yang kuat. Hal inilah yang menyebabkan sebuah karya sastra muncul sebagai pandangan dunia pengarang. Sikap ini merupakan bentuk pelarian skema pikiran manusia yang tidak dapat diterapkan pada realitas.

Manusia sebagai subjek mengalami berbagai persoalan dalam masyarakat yang menyebabkannya melarikan skema pikiran pada karya sastra. Salah satu yang paling menarik dari persoalan-persoalan ini adalah kaitan manusia dengan lingkungannya, sesama manusia atau antar manusia dengan alam sekitar, serta antara manusia dengan dirinya sendiri. Pada hakikatnya, sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata, walaupun berbentuk sastra tradisional sekalipun, persoalan yang disodorkan tak terlepas dari pengalaman kehidupan sehari-hari. Hanya dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dalam gaya yang berbeda-beda dan sarat pesan moral bagi kehidupan manusia (Wardani, 2018, hlm. 147).

Sastra sebagai ekspresi jiwa tentunya mencerminkan bentuk-bentuk masyarakat ketika penulis hidup atau pernah hidup. Bentuk yang dimaksud di antaranya, struktur sosial masyarakat, sistem hukum, keadaan ekonomi, bentuk pemerintahan, dan tentunya pengaruh penulis pada karya sastra. Penulis memiliki ideologi masing-masing yang akan dibawanya dalam karya sastra. Kesadaran seorang penulis terhadap kelebihan sastra untuk memengaruhi

(3)

dimanfaatkan beberapa orang atau kelompok untuk menanamkan sebuah konsep ideologi secara tidak langsung.

Pada penelitian ini ideologi yang dimaksud adalah sosialisme yang direpresentasikan dalam novel Bumi Manusia. Pramoedya Ananta Toer sebagai sastrawan mencoba menuangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam karya. Ia memberi gambaran jelas mengenai pembebasan seorang atau sekelompok orang keluar dari masalah yang dihadapi dengan menumbuhkan kesadaran terhadap kondisi sosial.

Nusantara tumbuh sebagai masyarakat feodal dan patriarki, hal ini mengakibatkan masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas sosial. Pram mengkritik persoalan ini melalui karyanya. Ia mencoba menyadarkan masyarakat pembaca bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan lelaki. Ide ini direpresentasikan oleh sosok Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Buru yang ia gambarkan sangat berbeda dibandingkan dengan perempuan lain pada latar masa Bumi Manusia di Nusantara, secara khusus Jawa. Bumi Manusia sebagai novel pertama dalam Tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan novel yang mengawali kesuksesan tetralogi ini. Novel ini merupakan titik awal penyemaian kedewasaan tokoh Minke, proses belajar, mencari ilmu pengetahuan, serta menajamkan pemikiran.

Bumi Manusia merupakan representasi pemikiran Pramoedya Ananta Toer yang perlu dipahami sebagai bahan renungan. Kritik yang ditanamkan oleh Pram pada Bumi Manusia berusaha menyadarkan masyarakat untuk mengerti persoalan sosial pada masa lalu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang.

Penelitian tentang novel Bumi Manusia bukan penelitian pertama yang dilakukan.

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Islamiyati (2019) dengan judul “Analisis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (Kajian Sosiologi Sastra)”. Dalam penelitiannya, Islamiyati mencoba menelaah bentuk-bentuk penyimpangan budaya dalam novel Bumi Manusia. Penelitian lain mengenai novel Bumi Manusia juga pernah dilakukan oleh Ridwan (2019) dengan judul “Rasisme dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer : Kajian Sosiologi Sastra”. Pada penelitiannya, Ridwan menelaah satu bagian yang cukup mengemuka, yaitu rasisme dalam novel Bumi Manusia. Selain itu, pada aspek kebudayaan dan implikasinya diteliti oleh Indriastuti (2020) dengan judul “Nilai-Nilai Budaya dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Penelitian ini memiliki kemiripan dengan Islamiyati mengenai kebudayaan. Namun, pada penelitian Indriastuti ditambah dengan implikasi terhadap pembelajaran. Berkaitan dengan ideologi ada penelitian lain oleh Rahayu (2016) dengan judul “Analisis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer dengan Kajian Feminisme”. Penelitian ini menelaah representasi feminisme dalam novel Bumi Manusia. Masih berkenaan dengan representasi ada penelitian oleh Muntafida (2016) dengan judul “Representasi Diskriminasi Sosial dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer”. Pada penelitiannya, Muntafida menelaah representasi diskriminasi sosial dalam novel Bumi Manusia.

Berbeda dengan penelitian terdahulu, dalam penelitian ini Peneliti ingin merepresentasikan sosialisme dalam novel Bumi Manusia dalam beberapa bidang, yaitu pendidikan, hukum, dan gender.

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, bukan psikologi individu (Fiske dalam Eriyanto,

(4)

2006, hlm. 93). Bagi Thompson, seluruh konsepsi ideologi adalah konsepsi netral selama tidak menyiratkan pemahaman negatif. Sebaliknya, konsepsi ideologi yang ditawarkan Marx merupakan konsepsi kritis (2004, hlm. 87). Ideologi pada konsepsi ini dipangang sebagai fenomena yang harus mendapat kritik karena dianggap bermuatan negatif. Selanjutnya, ideologi dimaksudkan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, dan sikap dasar sebuah gerakan, kelompok sosial atau idividu. Ideologi diartikan sebagai media pemertahanan eksistensi suatu kelompok sosial (Kristeva, 2015, hlm. 2). Dalam beberapa konteks, kelompok sosial yang dimaksud merupakan kelas dominan pada suatu negara.

Marx dan Engels (2015, hlm. 29-30) mengungkapkan setiap zaman sejarah, masyarakat tersusun dari berbagai macam golongan dalam tingkatan kedudukan sosial. Setiap golongan yang terbentuk itu hidup dalam pertentangan kelas. Masyarakat borjuis modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghapuskan pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.

Dalam perkembangan ideologi, sosialisme muncul sebagai solusi bagi golongan yang tertindas. Sosialisme didefinisikan sebagai sistem kelembagaan terpusat yang mengatur kontrol atas sarana-sarana produksi dan produksi itu sendiri, dengan kata lain kepemilikian alat-alat produksi tidak dimiliki oleh pihak swasta. Dalam definsi ini sosialisme identik dengan sistem produksi yang berkaitan dengan sistem ekonomi. Schumpeter beranggapan bahwa sosialisme tidak sebatas sistem ekonomi, sosialisme juga tidak berkutat pada sarekat buruh, dan egalitarian saja. Lebih dari itu, sosialisme diharapkan menjadi tatanan dunia budaya baru. Dunia baru yang dimaksudkan oleh Schumpeter dunia yang berkeadilan, kesetaraan, kebebesan pada umumnya dan kebebasan atas eksploitasi manusia oleh manusia.

(Schumpeter, 2013, hlm. 271-279).

Masyarakat menurut pandangan Marx (dalam Fakih, 1996, hlm. 34-35) terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu bertentangan, yaitu kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang dieksploitasi. Masyarakat berkembang dari komunisme primitif kemudian perbudakan, feodal, kapitalis, sosialis dan akhirnya menuju komunisme yang terjadi melalui suatu konflik.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi sastra dengan pendekatan kualitatif yang difokuskan pada penunjukan makna deskripsi, penafsiran, dan penempatan pada konteks masing-masing data dalam bentuk kata-kata dan kalimat. Data yang dimaksud merupakan sejumlah kalimat yang merepresentasikan sosialisme dalam novel Bumi Manuisa karya Pramoedya Ananta Toer.

Data utama yang digunakan berupa teks sastra dalam novel yang diteliti. Oleh karena itu, pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan hermeneutik. Pembacaan hermeneutik artinya peneliti mencoba menafsirkan terus-menerus, sesuai bahasa simbol sosial, dikaitkan dengan konsteks serta pengaruh historis (Endraswara, 2011, hlm. 105). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan memisahakan kalimat-kalimat yang merepresentasikan sosialisme berdasarkan hasil pembacaan hermeneutik dengan kalimat yang tidak merepresentasikan sosialisme, yaitu menandai kalimat yang merepresentasikan sosialisme dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer agar dapat dengan baik memisahkan data-data yang diperlukan dan tidak diperlukan.

Teknik analisis yang digunakan adalah strukturalisme-genetik. Faruk (2017, hlm. 159) menjelaskan, strukturalisme-gentik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra, sebagai sebuah struktur. Karena itu, usahanya untuk memahami karya sastra terarah pada usaha menemukan struktur karya itu. Lebih jauh lagi Faruk menjelaskan

(5)

strukturalisme-genetik memahami segala aktivitas dan hasil aktivitas manusia tidak hanya memiliki struktur, melainkan juga memiliki arti. Pemahaman karya sastra tidak hanya diperoleh dengan menggali keterkaitan antarstruktur, tetapi juga asal-usul karya ketika dihasilkan. Strukturalisme-genetik yang dicetuskan oleh Goldmann menggali makna karya sastra melalui struktur karya sastra dan asal-usul karya (Riana, 2021, hlm. 28). Oleh karena itu, penelitian sosiologi sastra dalam analisis strukturalisme-genetik tidak berhenti pada penentuan atau penemuan struktur karya sastra tetapi berlanjut pada penentuan atau penemuan makna sebuah karya sastra. Berdasarkan pada struktur karya sastra yang tidak dinamis, dipengaruhi oleh struktur luarnya, yaitu masyarakat maka penempatan kesatupaduan struktur karya sastra harus dalam konteks dengan struktur yang terdapat dalam masyarakat (Kurniawan, 2012, hlm. 115).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini mengambil latar belakang sosialisme sebagai pandangan dunia berdasarkan metode penelitian strukturalisme-genetik. Oleh karena itu, sudut pandang penelitian ini menggunakan sosialisme sebagai filter dalam menyeleksi data yang akan diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan oleh peneliti, maka hasil penelitian ini akan diawali dengan a) Representasi sosialisme novel Bumi Manusia di bidang pendidikan; b) Representasi sosialisme novel Bumi Manusia di bidang hukum; dan c) Representasi sosialisme novel Bumi Manusia di bidang gender.

1. Representasi Sosialisme Novel Bumi Manusia di Bidang Pendidikan

Pendidikan menurut pandangan sosialisme merupakan pendidikan yang tidak membeda- bedakan objek pendidikan. Sosialisme mengacu pada pendidikan yang menyetarakan umat manusia pada kondisi sebagai terpelajar. Oleh karena itu, dalam pandangan ini semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pramoedya Ananta Toer menggambarkan suatu kejadian sederhana pada novel ini sebagai sebuah ketidakadilan dalam bersikap bahkan oleh seorang guru di sekolah.

Meneer Rooseboom melotot menakutkan, membentak: “Diam kau, monk… Minke!

(Toer,1980, hlm. 51)

Kejadian pada kutipan tersebut diiringi dengan kemarahan Minke yang tidak senang dengan bentakan gurunya terhadapnya saat di kelas. Selain itu, ia juga menjadi bahan tertawaan seisi kelas. Sehingga, secara tidak langsung Pram ingin menyampaikan bahwa kejadian itu tidak berkeadilan pada Pribumi dalam bidang pendidikan.

Selain Minke, Pramoedya Ananta Toer juga ikut menyinggung Kartini, seorang perempuan Pribumi, putri Bupati yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh Hindia Belanda karena ia menulis dalam bahasa Belanda dan diumumkan pada majalah keilmuan.

Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat dalam majalah keilmuan? Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan yang ia bisa lakukan.

(Toer,1980, hlm. 106)

Meskipun Pramoedya Ananta Toer melalui tokoh Minke menyatakan kekagumannya pada Kartini, ia tetap menggambarkan ketidakadilan para terpelajar Hindia Belanda dalam pikiran masing-masing terhadap sebuah fenomena. Sebagai contoh, Kartini, dalam fenomena

(6)

Kartini, sebagian siswa di H.B.S menyangkal kebenaran hal itu, bahwa ada seorang perempuan Pribumi dapat menyatakan pikiran dengan bahasa yang bukan bahasa ibunya.

Kembali Pramoedya Ananta Toer menyatakan ketidakadilan dalam pikiran masing-masing terpelajar di Hindia Belanda. Sebuah penggambaran kontra terhadap pandangan sosialisme Pramoedya Ananta Toer, dengan penggambaran ini ia ingin menyatakan bahwa betapa ketidakadilan membutakan mata seorang terpelajar dari realitas kehidupan. Meskipun demikian, betapa ketidakadilan berakar pada setiap pikiran di H.B.S Surabaya, tapi tidak pada Minke, ia menyatakan simpatinya pada Kartini dan menganggap bahwa Kartini merupakan sosok yang merangsang keinginannya untuk menulis.

Namun, praktik ketidakadilan kembali dimunculkan oleh Pramoedya Ananta Toer melalui seorang guru di sekolah.

Melihat aku mempunyai perhatian penuh dan membikin catatan. Meneer Lastendienst bertanya padaku dengan nada mendakwa: Eh, Mingke wakil bangsa Jawa dalam ruangan ini, apa sudah disumbangkan bangsamu pada ummat manusia? (Toer,1980, hlm. 16)

Wakil bangsa Jawa dalam ruangan, Meneer Lastendienst menegur Minke yang memiliki perhatian penuh dibandingkan teman sekelas lainnya. Meneer Lastendienst malah menegur Minke dengan mengatakan kalimat di atas. Sebuah perkataan rasis terhadap murid yang harusnya diperlakukan sama dengan murid lainnya. Padahal jika dibandingkan dengan teman sekelas lainnya, Minke lebih memperhatikan pelajaran dari pada yang lain. Ketidakadilan yang dialami oleh Minke dianggapnya sebagai hal yang sudah biasa. Ia tetap menjalani kegiatan belajar di sekolah.

Pada diskusi rutin yang diadakan oleh Magda Peters. Pada diskusi tersebut Magda Peters mengemukakan sebuah pokok diskusi mengenai tulisan seorang bernama Max Tollenaar yang berjudul: Uit bet shoone Leven van een mooie Boerin (Indonesia: Dari Kehidupan indah seorang Wanita Petani Cantik). Nama itu merupakan nama pena Minke untuk surat kabar.

Seperti biasanya pemunculan tindakan rasisme dilakukan kali ini oleh seorang siswa bernama Robert Suurhof.

“Juffrouw Magda Peters, rasanya sangat berlebihan kalau tulisan demikian dibicarkaan dalam diskusi-sekolah H.B.S. Hanya bikin kotor saja, Juffrouw. Kalau aku tak salah – dan aku yakin tidak – penulis tersebut, bahkan nama keluarga pun tak punya.” (Toer,1980, hlm.

317)

Tindakan ini dilakukan oleh Robert Suurhof karena ia mengetahui bahwa Max Tollenaar adalah Minke yang ia benci. Tentu hal rasis kemudian dilakukan atas perkataan Robert Suurhof di depan semua murid di aula sekolah. Meskipun mendapatkan izin untuk bersekolah anak-anak Pribumi ini tidak mendapatkan keadilan seperti halnya orang-orang Eropa. Mereka tidak diperlakukan dengan baik oleh sesama murid dan guru. Robert Suurhof tanpa ragu menuding pada Minke, menyatakan pada seluruh orang yang hadir pada diskusi tersebut Minke adalah Max Tollenaar. Sebutan sebelumnya yang menyatakan “kotor” dirasai oleh Minke sebagai serangan yang tak terelakan pada dirinya.

Pada kejadian yang lain Minke dikeluarkan dari sekolah. Dalam penggambaran ini Pramoedya menggambarkan pendidikan memang benar-benar barang mahal di Hindia Belanda. Dengan permintaan Ayahanda Minke untuk mengeluarkan atau memecatnya sebagai siswa, Minke sebagai Pribumi tidak lagi memiliki keistimewaan sebagai anak Bupati.

(7)

Dan H.B.S. bagi Pribumi hanya mungkin kalau ada orang berpangkat menanggungnya.

(Toer,1980, hlm. 411)

“Bagaimana mungkin di H.B.S. tanpa nama keluarga, tanpa nama Kristen? Kan Tuan tidak bermaksud mengatakan Pribumi? (Toer,1980, hlm. 300)

Meskipun tidak berlangsung lama, pemecatan Minke sebagai murid di H.B.S Surabaya mendapat perhatian dari Assisten Residen yang prihatin pada nasib yang menimpa Minke.

Oleh karena itu, Assisten Residen bersedia menanggung semua keperluan Minke di sekolah.

Ia melanjutkan sekolahnya kembali dan pada saat kelulusan prestasi yang luar biasa didapatkan oleh Minke.

Aku gemetar. Tak pernah aku duga. Dan memang tidak terpikirkan oleh seorang siswa Pribumi boleh berada di atas anak Eropa. Yang demikian tabu di Hindia Belanda ini.

(Toer,1980, hlm. 446)

Adegan kemengan Minke atas murid-murid Eropa lain di H.B.S. digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai suatu kekalahan pada Eropa dalam bidang pendidikan.

Seorang Pribumi Jawa, bernama Minke dapat mengalahkan murid-murid Eropa di sekolah dengan semua intimidasi yang dialaminya, Minke ditampilkan sebagai Pribumi yang luar biasa. Namun, dengan ketidakadilan yang telah mengakar pada setiap pikiran murid-murid Eropa serta guru di sekolah. Kemenangan Minke tidak mendapat sambutan, tidak mendapatkan tepuk tangan.

2. Representasi Sosialisme Novel Bumi Manusia di Bidang Hukum

Borjuasi modern merupakan hasil dari proses perkembangan yang panjang. Pada setiap perkembangannya, borjuasi selalu meningkatkan kekuasaannya dengan cara apapun. Dalam perkembangannya, borjuasi sampai pada titik kolonialisme, yaitu sistem di mana suatu negara menguasai negara lain dari sumber daya manusia dan sumber daya alam negara tersebut.

Oleh karena itu, untuk mempertahankan kekuasaan kolonial suatu negara membuat hukum- hukum yang melegitimasi kekuasaan negara kolonial terhadap negara-negara jajahan. Sistem politik yang dibuat oleh negara kolonial di negara-negara jajahan dibuat untuk memudahkan praktik kolonial pada masyarakat jajahan tanpa merasa dijajah. Pandangan sosialisme menentang kebiadaban borjuis itu karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Borjuasi menghalalkan kolonialisme untuk mendapatkan kekuasaan yang pada praktiknya tidak memperdulikan rakyat kecil dan tertindas. Egoisme borjuis ini ditentang oleh Pramoedya Ananta Toer melalui novel Bumi Manusia, disampaikan oleh tokoh-tokoh di dalamnya.

Aku tersinggung. Aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert Suurhof itu hanya pandai menghina, mengucilkan, melecehkan, dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku:

tak ada darah Eropa dalam tubuhku. (Toer,1980, hlm. 18)

Kejadian sederhana dalam Bumi Manusia ini digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai wujud penolakan terhadap tindakan rasis yang pernah terjadi di Hindia Belanda.

Perbedaan warna kulit Pribumi dengan Eropa sangat memengaruhi sikap seorang. Hal ini dimunculkan sebagai wujud norma yang berlaku pada tahun latar belakang novel Bumi Manusia. Pramoedya Ananta Toer dengan kalimat sederhana itu tetapi serius menolak tindakan seperti itu, manusia seharusnya diperlakukan adil bagaimanapun rupanya. Deskripsi

(8)

berikut ini merupakan ungkapan Pramoedya Ananta Toer melalui Minke mengenai ketidakadilan hukum di Hindia Belanda terhadap Pribumi.

Dalam persangkaan bahwa dia kawula Belanda, ia berperilaku seakan-akan warganegara Belanda untuk kepentingan anak-cucunya kelak. Setidak-tidaknya dalam bualan dan keseakanan. Dia berharap kelak kedudukan dan gajinya akan lebih tinggi daripada Pribumi.

(Toer,1980, hlm. 21)

Kunjungan Minke ke keluarga Mellema menjadi sebuah babak awal penggambaran keluarga yang berbeda dari keluarga lain di Hindia Belanda. Pramoedya Ananta Toer menjadikan keluarga Mellema sebagai representasi penolakannya terhadap hukum dan norma yang berlaku di atas ketidakadilan.

Seorang pelayan wanita menghidangkan susucoklat dan kue. Dan pelayan itu tidak datang merangkak-rangkak seperti pada majikan Pribumi. (Toer,1980, hlm. 35)

Kejadian yang digambarkan melalui kalimat di atas menyatakan bahwa dalam keluarga Mellema seorang pelayan tidak merendahkan diri di hadapan majikannya. Pada kalimat ini pun dapat ditangkap dengan jelas kalau Pramoedya menentang sistem perbudakan yang dilakukan oleh orang Pribumi Jawa sejak ratusan tahun yang lalu. Pramoedya melalui Minke menyatakan kekaguman terhadap perilaku pelayan di keluarga Mellema sekaligus bentuk penolakan dan kritik terhadap budaya feodal yang dipraktikkan oleh bangsawan-bangsawan Jawa. Secara representatif keluarga Mellema mendapat pujian dari Minke sebagai keluarga masa depan dan modern yang akan datang, meskipun tidak semua keluarga sempurna.

Pramoedya Ananta Toer menyatakan ketidaksukaannya terhadap budaya feodal bangsa Jawa yang pelik. Kepelikan hidup itu sendiri yang mengakibatkan bangsa Jawa tidak dapat bangkit dari penjajahan yang dilakukan Belanda. Di samping itu, Robert Mellema ditunjukkan sebagai sosok antagonis lain bersikap tidak menyukai Pribumi padahal ibunya sendiri adalah Pribumi.

“Terima kasih, Mas,” jawabnya senang. “Kau tak perlu perhatikan Robert. Dia benci pada semua dan segala yang serba Pribumi kecuali keenakan yang bisa didapat daripadanya.

Rasa-rasanya dia bukan anak sulung Mama, bukan abangku, seperti orang asing yang tersasar kemari (Toer,1980, hlm. 95)

“Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakanya, kata Mama. Bagi dia tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua Pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk….” (Toer,1980, hlm. 97)

Representasi ketidakadilan hukum di Hindia Belanda yang digambarkan pada kalimat di atas tentu merupakan bentuk menolakan terhadap hal tersebut. Pramoedya benar-benar menjadikan keluarga Mellema sebagai representasi kompleks antara ketidakadilan dan keadilan dalam satu keluarga.

Suatu hari Nyai Ontosoroh menjadi korban ketidakadilan hukum di Hindia Belanda.

Hukum di Hindia Belanda menolak status keibuan Nyai Ontosoroh hanya karena ia Pribumi.

Dalam kejadian ini Pramoedya Ananta Toer kembali menolak ketidakadilan yang terjadi pada Nyai Ontosoroh.

(9)

“Kalau ayahmu ternyata memang gila dan oleh Hukum ditaruh onder curateele? Seluruh perusahaan, kekayaan dan keluarga akan diatur seorang curator yang ditunjuk oleh Hukum.

Mamamu, hanya perempuan Pribumi, akan tidak mempunyai sesuatu hak atas semua, juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk anakku sendiri, kau, Ann. Percuma saja akan jadinya kita berdua membantung tulang tanpa hari libur ini. Percuma aku telah lahirkan kau, karena Hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku Pribumi dan tidak dikawin secara sah . Kau mengerti?” (Toer,1980, hlm. 112)

Pada suatu hari aku dan Tuan datang ke Pengadilan untuk mengakui Robert dan kau sebagai anak Tuan Mellema. Pada mulanya aku menduga, dengan pengakuan itu anak-anakku akan mendapatkan pengakuan hukum sebaagai anak sah . Ternyata tidak, Ann. Abangmu dan kau tetap dianggap anak tidak sah , Hanya diakui sebagai anak Tuan Mellema dan punya hak untuk menggunakan namanya. Dengan campurtangan Pengadilan hukum justru tidak mengakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi, walau Mama ini yang melahirkan. (Toer,1980, hlm. 136)

Demikian praktik ketidakadilan hukum di Hindia Belanda yang digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai bentuk protes. Dalam penggambaran yang representatif Pramoedya di novel Bumi Manusia sering menggunakan kejadian-kejadian yang berlawanan dari pandangannya. Protes yang ingin diungkapkannya merupakan bentuk kontra dari pandangannya, tetapi dengan umpatan dan kekesalan para tokoh. Ia ingin menunjukan bahwa ketidakadilan hukum yang terjadi mengakibatkan kerugian bagi kaum tertindas.

Jadi Pribumi pun sudah salah, ucapan Nyai Ontosoroh itu diutarakan sebagai bentuk kekesalan yang dirasakan oleh Nyai Ontosoroh, sebagai seorang Pribumi dan gundik.

Kalimat ini diutarakan Pramoedya Ananta Toer melalui Nyai Ontosoroh yang memendam dendam terhadap orang Eropa yang membuat dirinya tersiksa secara batin. Setelah Herman Mellema meninggal, persidangan digelar untuk melakukan penyelidikan. Koran-koran kolonial sudah mulai memberitakan rencana persidangan tersebut karena Herman Mellema termasuk orang terpandang di Surabaya.

“Mama ada pada pihakmu,” kata, wanita itu. “Tapi di depan hukum kau tak bakal menang.

Kau menghadapi orang Eropa, Nyo. Sampai-sampi jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua pokrol dan advokat bisa dipercaya, apalagi kalau soalnya Pribumi menggugat Eropa. (Toer,1980, hlm. 414)

Nyai Ontosoroh memperingatkan Minke bahwa ketidakadilan kolonial tidak akan memenangkan Pribumi dalam setiap kasus hukum di Hindia Belanda. Sebuah representasi penolakan dari pandangan Pramoedya Ananta Toer terhadap hukum seperti di Hindia Belanda. Kemudian, Minke menggunakan kemampuan terbaiknya untuk melawan kolonial, menulis. Tulisan-tulisan Minke diterbitkan di beberapa koran yang juga menolak ketidakadilan di Hindia Belanda. Tanggapan kolonial melalui koran-koran memang sesuai dengan peringatan Nyai Ontosoroh. Banyak koran-koran yang berpihak pada kolonial menyerang balik Minke dengan tuduhan-tuduhan lain seperti menjadi benalu yang menyedot harta Herman Mellema. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena hampir semua orang di Wonokromo mengetahui bahwa Minke tinggal di Boerderij Buitenzorg bersama Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema. Pramoedya Ananta Toer bermaksud untuk menyatakan bahwa kolonialisme yang disebabkan oleh borjuasi memang benar-benar melakukan penindasan terhadap bangsa-bangsa jajahan, bahkan setelah penghapusan perbudakan.

(10)

Ketidakadilan yang mengakar di Hindia Belanda tidak bisa hilang begitu saja. Setiap orang Eropa yang membela kolonial tetap menganggap bahwa Pribumi lebih rendah dari bangsa Eropa.

“Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpamer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam segala hal – juga kejahilannya. (Toer,1980, hlm. 416)

Perlawanan Minke lewat tulisan tidak dapat mengalahkan kolonial. Pada saat persidangan tindakan rasis dimunculkan saat persidangan. Nyai Ontosoroh dilarang menggunakan bahasa Belanda karena dianggap sebagai Pribumi rendahan yang derajatya tidak lebih tinggi dari orang Eropa.

Ia tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Belanda. Ia diperintahkan menggunakan Jawa, menolak, dan menggunakan Melayu. Ia menerangkan, rekening almarhum Herman Mellema kepada Ah Tjong adalah empatpuluhlima gulden sebulan, yang selalu ditagih di kantornya oleh seorang pesuruh. (Toer,1980, hlm. 420)

Pada kalimat di atas Pramoedya menggambarkan bahwa bangsa Eropa sangat angkuh, seorang Pribumi meskipun bisa menggunakan bahasa Belanda dilarang untuk menggunakannya di persidangan. Pada situasi ini praktik ketidakadilan hukum di Hindia Belanda dinampakkan sebagai bentuk arogansi kolonial. Persidangan berlangsung sebagai permainan bangsa Eropa kolonial. Hakim dan Jaksa memanfaatkan kekuasaanya dalam persidangan untuk mempermalukan keluarga Nyai Ontosoroh dan setiap perbuatannya.

Nyai Ontosoroh tidak bisa tinggal diam membiarkan derai tawa seluruh penonton di persidangan, ia marah persidangan menyinggung hubungan anaknya yang didasari rasa cinta yang tulus tapi tidak ada yang menggugat mengenai dirinya yang dijadikan gundik oleh Herman Mellema sampai melahirkan dua anak. Kolonial seakan diam hanya karena yang melakukan pergundikan adalah orang Eropa.

“Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai membongkar keadaan rumahtanggaku … (ketokan palu; diperingatkan agar menjawab lanngsung). Aku, Nyai Ontosorh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mellema, mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan mendiang Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena Tuan Minke Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua golongan Indo? Antara aku dengan Tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum. Antara anakku dengan Tuan Minke ada cinta-mencintai yang sama-sama tulus. Memang belum ada ikatan hukum. Tanpa ikatan itu pun anak-anakku lahir, dan tak ada seorang pun yang berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena, keunggulan uang dan kekuasaannya, menagapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus?” (Toer,1980, hlm. 426)

(11)

Perkataan Nyai Ontosoroh membuat semua orang yang sebelumnya tertawa diam, perkataanya menyadarkan bahwa tawa orang-orang di persidangan lebih tepat ditujukan pada bangsa Eropa yang melakukan pergundikan. Menjadikan wanita-wanita Pribumi yang suci dan lugu sebagai barang yang bisa dibawa dan dibuangnya setiap dia mulai bosan. Di Hindia Belanda praktik pergundikan memang telah lama berjalan tanpa ada teguran dan hukum yang melarang hal tersebut. Hukum di Hindia Belanda seperti membiarkan hal itu terjadi, bagaimana mungkin menghapus perbudakan tetapi mebiarkan praktik pergundikan tetap berjalan.

Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis novel Bumi Manusia dalam pandangan sosialisme, ia menerangkan bahwa praktik ketidakadilan yang dimunculkan di setiap kalimat- kalimat dalam novel Bumi Manusia merupakan bentuk penolakan dan protes terhadap tindakan yang tidak manusiawi. Tindakan ini lebih jauh lagi dilegitimasi oleh hukum yang dibuat untuk kepentingan kekuasaan kolonial selama ratusan tahun di Hindia Belanda.

Namun, sebagai lawan dari praktik ketidakadilan yang terjadi di Hindia Belanda, Pramoedya Ananta Toer menghadirkan sosok Minke. Sebagai tokoh utama dalam novel Bumi Manusia Minke bertindak sebagai pusat cerita yang mengalami penindasan oleh kolonial, meskipun ia merupakan seorang terpelajar. Dalam hal ini Pramoedya Ananta Toer ingin menggambarkan bahwa penindasan kolonial tidak memandang seorang terpelajar atau bangsawan. Selama ia merupakan halangan bagi pelanggengan kekuasaan kolonial dan arogansinya, maka harus disingkirkan.

Hukum yang dibuat oleh kolonial dimunculkan oleh Pramoedya sebagai bukti kongkrit bahwa kolonial menggunakan hukum sebagai legitimasi atas tindakan-tindakan yang tidak adil. Pandangan sosialisme Pramoedya Ananta Toer dimuat dalam novel Bumi Manusia melalui Minke sebagai pusat cerita dan korban ketidakadilan. Selain itu, seorang wanita Pribumi Nyai Ontosoroh dan anaknya, Annelies Mellema ikut menjadi korban penindasan kolonial yang tidak manusiawi. Novel Bumi Manusia dibuat agar setiap pembaca merasakan bahwa ketidakadilan hukum itu mengakibatkan kerugian bagi orang-orang tertindas di manapun berada. Oleh karena itu, sastra yang dikatakan sebagai alat untuk memengaruhi pembaca difungsikan sebagai simulasi kehidupan yang berasas pada ketidakadilan kolonial yang borjuis. Dalam simulasi yang dibuat oleh Pramoedya Ananta Toer pada novel Bumi Manusia menceritakan ketidakadilan yang mengakar lama dan menjadi kebiasaan di Hindia Belanda. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh siapapun yang memiliki jiwa humanis dalam dirinya. Sehingga pembaca akan merasa bahwa hukum itu harus adil bagi setiap umat manusia.

3. Representasi Sosialisme Novel Bumi Manusia di Bidang Gender

Kesetaraan gender dalam pandangan sosialisme dikenal dengan nama feminisme sosialis.

Pemikiran ini menyatakan bahwa penindasan terhadap perempuan merupakan akibat dari struktur sosial yang dibuat oleh borjuis. Struktur sosial terebut mengakibatkan perempuan kesulitan mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Dalam budaya patriarki, perempuan ditempatkan pada derajat yang jauh di bawah derajat laki-laki. Oleh karena itu, dominasi politik, otoritas, hak-hak, dan penguasaan properti dititikberatkan pada laki-laki. Pandangan feminisme sosialis menentang budaya ini sebagai penghambat kemajuan suatu bangsa.

Menurut pandangan ini bangsa yang maju adalah bangsa yang memberikan hak-hak yang sama antara perempuan dan laki-laki. Pada novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer mereka adegan-adegan dalam novel Bumi Manusia sebagai bentuk protes terhadap penindasan kaum perempuan melalui tokoh Nyai Ontosoroh atau Sanikem.

(12)

Sosok Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan luar biasa jika dibandingkan dengan Pribumi lain dan bahkan perempuan Eropa. Setiap tindakan dan penampilannya merepresentasikan pemikiran dan pandangan feminisme sosialis Pramoedya Ananta Toer.

Pada kunjungan Minke ke Boerderij Buitenzorg atas ajakan Robert Suurhof, ia melihat Nyai Ontosoroh memiliki pengetahuan yang luas tentang hal-hal yang tidak diketahuinya sebagai siswa H.B.S. Representasi perempuan masa depan yang diidamkan oleh Pramoedya Ananta Toer digambarkan dalam bentuk Nyai Ontosoroh. Awal pertemuan dengan Nyai Ontosoroh, Minke kaku menghadapai perempuan Pribumi itu. Pengaruh Nyai Ontosoroh sangat luar biasa bagi Minke. Nyai Ontosoroh tidak hanya bisa berbahasa Belanda tapi juga perempuan yang baik, ditambah lagi ia tidak seperti wanita Pribumi biasa yang pernah ditemui Minke.

Pada wanita Pribumi biasanya bukan sesuatu yang wajar menerima tamu laki-laki apalagi di Jawa, bangsa yang memiliki budaya kompleks mengenai fungsi laki-laki dan perempuan.

Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia seperti wanita Pribumi – jadi aku harus tidak peduli? Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku terheran-heran dan kikuk menerima jabatannya. (Toer,1980, hlm. 33)

Nyai Ontosoroh pergi lagi melalui pintu belakang. Aku masih terpesona melihat seorang wanita Pribumi bukan saja bicara Belanda, begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu komplex terhadap tamu pria. (Toer,1980, hlm. 34)

Aku tunggu-tunggu meledaknya kemarahan Nyai karena puji-pujian itu. Tapi ia tidak marah.

Tepat seperti Bunda, yang juga tidak pernah marah padaku. Terdengar peringatan pada kuping batinku: awas, jangan samakan dia dengan Bunda. Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan sah , melahirkan anak-anak tidak sah , sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan untuk kehidupan senang dan mewah …. Dan tak dapat aku katakan dia bodoh. Bahasa Belandanya cukup fasih, baik, dan beradab;

sikapnya pada anaknya halus dan bijaksana, dan terbuka tidak seperti ibu-ibu Pribumi;

tingkah lakunya tak beda dengan wanita Eropa terpelajar. (Toer,1980, hlm. 38)

Kunjungan Minke di Boerderij Buitenzorg disambut baik oleh Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema. Oleh karena itu, ia diajak untuk melihat-lihat keadaan perkebunan dan peternakan dipandu oleh Annelies Mellema. Di peternakan Minke melihat para pekerja tidak hanya didominasi oleh laki-laki. Hal ini merupakan bukti pandangan feminisme sosialis dituangkan dalam novel Bumi Manusia ini oleh Pramoedya. Hal yang tidak biasa di Hindia Belanda ini menjadi perhatian Minke untuk pertama kali ia melihat perempuan dan laki-laki berbaur dalam bekerja.

Tidak semua lelaki. Sebagian perempuan, nampak dari kain batik di bawah baju putihnya.

Perempuan bekerja pada perusahaan! Mengenakan baju blacu pula! (Toer,1980, hlm. 43)

Kalimat tersebut menunjukan kesetaraan gender sudah dipraktikkan di perusahaan Boerderij Buitenzorg yang dikelola oleh Nyai Ontosoroh. Hal ini tentu merepresentasikan feminisme sosialis dalam wujud yang sederhana tetapi kompleks menurut pandangan orang luar Boerderij Buitenzorg yang beranggapan bahwa perempuan tidak seharusnya bekerja di perusahaan yang di pimpin oleh Wanita Pribumi pula. Kekaguman Minke tidak cukup sampai pada pekerjanya saja, ia baru mengetahui bahwa Annelies, seorang perempuan yang bertugas sebagai mandor dalam perusahaan ini.

(13)

Minke dalam situasi ini mengalami kesulitan dalam memahami keadaan dalam perusahaan yang dipimpin oleh Nyai Ontosoroh. Ia tidak pernah menemui hal seperti ini bahkan untuk seorang terpelajar H.B.S. seperti dirinya. Ia bahkan mengagumi hal ini dan mengungkapkan pertanyaan besar mengenai zaman modern. Pramoedya Ananta Toer melalui Minke secara tersirat mengungkapkan pandangannya mengenai perempuan zaman modern yang akan meninggalkan pekerjaan dapur seperti yang biasa dikerjakan oleh perempuan Pribumi biasa.

Di sela-sela kejadian-kejadian luar biasa dalam novel Bumi Manusia, Prampedya Ananta Toer menyisipkan sebuah pernyataan yang menunjukan bahwa keluarga Nyai Ontosoroh lebih maju dan modern dibandingkan dengan Eropa. Dalam pernyataan itu melalui korespondensi Minke dengan Miriam de la Croix, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan bahwa di Eropa sendiri perlakuan terhadap perempuan masih tidak adil, perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota dewan. Sedangkan, di Hindia Belanda bangsa yang dijajah selama ratusan tahun terdapat keluarga yang telah mempraktikkan feminisme dalam sebuah perusahaan yang dipimpin oleh seorang wanita Pribumi, Nyai Ontosoroh.

Kolonial Hindia Belanda yang diebut-sebut sebagai bangsa maju dalam penggambaran Pramoedya Ananta Toer sama sekali tidak mencerminkan kemajuan berpikir. Mereka menolak simpati Dokter Martinet atas wanita Pribumi yang berstatus gundik. Padahal mereka sendiri yang menyebut bahwa budaya patriarki itu budaya yang terkebelakang. Di sisi lain mereka mendukung pandangan patriarki yang ditujukan kepada Nyai Ontosoroh.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Sosialisme secara sederhana didefinisikan sebagai sistem kelembagaan terpusat yang mengatur kontrol atas sarana-sarana produksi dan produksi itu sendiri, dengan kata lain kepemilikian alat-alat produksi tidak dimiliki oleh pihak swasta. Dalam definsi ini sosialisme identik dengan sistem produksi yang berkaitan dengan sistem ekonomi. Namun, seiring dengan perkembangan ideologi, sosialisme tidak lagi mengenai sistem ekonomi saja.

Sosialisme diharapkan menjadi tatanan dunia baru, dunia yang berkeadilan, kesetaraan, kebebesan pada umumnya dan kebebasan dari eksploitasi manusia oleh manusia.

Pendangan sosialisme Pramoedya Ananta Toer mengenai pendidikan dituangkan dengan menggambarkan sebuah ketidakadilan yang terjadi di sekolah. Pramoedya Ananta Toer membuat simulasi mengenai praktik ketidakadilan yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda di sekolah-sekolah. Ia menunjukan bahwa ketidakadilan yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda mengakibatkan kerugian bagi Pribumi.

Persoalan hukum di Hindia Belanda tidak kalah rasis dari pendidikan yang telah disebutkan di atas. Hukum di Hindia Belanda benar-benar tidak adil dan hanya berpihak pada kolonial sebagai bentuk pemertahanan kekuasaan di Hindia. Hukum yang dinyatakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia tidak hanya hukum resmi pemerintah tetapi juga norma-norma yang berlaku tanpa disadari oleh masyarakat di Hindia Belanda.

Pada suatu persidangan Minke dan Nyai Ontosoroh diperlakukan tidak adil oleh pengadilan hanya karena mereka Pribumi. Hukum kolonial ini dibuat untuk melegitimasi perbuatan kolonial yang tidak terpuji.

Pramoedya menggambarkan ketidakadilan lain yang selain pendidikan dan hukum di Hindia Belanda, yaitu gender. Dalam struktur sosial masyarakat pada saat itu perempuan digambarkan sebagai pribadi yang lemah dengan kedudukan rendah di bawah laki-laki. Oleh karena itu, perempuan sering kali diperlakukan tidak adil. Dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer mengadakan simulasi mengenai kesetaraan gender yang diterapkan

(14)

dalam perusahaan yang dipimpin oleh Nyai Ontosoroh. Pada perusahaan itu, gender tidak menjadikan seorang lebih tinggi dari yang lainnya. Laki-laki dan perempuan diperlakukan sama sebagai pekerja di perusahaan. Selain itu Nyai Ontosoroh merupakan pimpinan perusahaan yang sukses mengembangkannya. Penggambaran-penggambaran kesetaraan gender oleh Pramoedya Ananta Toer kebanyak dimunculkan dalam bentuk protes terhadap ketidakadilan yang terjadi.

DAFTAR RUJUKAN

Endraswara, S. (2011). Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. PT Buku Seru.

Eriyanto. (2006). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. PT LKiS Pelangi Aksara.

Fakih, M. (1996). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar.

Faruk. (2017). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penelitian Awal. Pustaka Pelajar

Gani, A. (2019). Religiusitas Pada Kumpulan Cerita Si Palui Di Surat Kabar Banjarmasin Post Edisi Bulan Ramadan. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya (JBSP), 9(2), 142-149. http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v9i2.7478.

Indriastuti, L., Mulyati, S., & Anwar, S. (2020). Nilai-Nilai Budaya dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, 14(2), 156-165.

https://e-journal.usd.ac.id/index.php/sintesis/article/view/2781.

Islamiyati. (2019). Analisis Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (Kajian Sosiologi Sastra). Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Muhammadiyah Mataram, Mataram.

Kristeva, N.S.S. (2015). Sejarah Ideologi Dunia: Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Fasisme, Anarksime, Anarkisme-Marxisme, Konsevatisme. Lentera Kreasindo.

Kurniawan, H. (2012). Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Graha Ilmu.

Marx, K. & Engels, F. (2015). Manifesto Partai Komunis. Ultimatus.

Muntafida, A. (2016). Representasi Diskriminasi Sosial dalam Novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Semarang, Semarang.

Rahayu, I., & Pujiatna, T. (2016). Analisis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer dengan Kajian Feminisme. Deiksis Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 3(1), 31-43.

http://www.fkip-unswagati.ac.id/ejournal/index.php/deiksis/article/view/231.

(15)

Rahmi, Y. (2021). Representasi Kekerasan dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S.

Chudori. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya (JBSP), 11(2), 194-204.

http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v11i2.11730.

Riana, D.R. (2021). Pandangan Dunia Dewi Anggraeni dalam Novel My Pain My Country:

Kajian Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya (JBSP), 11(1), 27-45. http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v11i1.10571.

Ridwan, M. F., & Sofianto, K. (2019). Rasisme dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: Kajian Sosiologi Sastra. Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Sastra Indonesia, 3(2), 1-11.

http://www.jurnal.unma.ac.id/index.php/dl/article/view/1320.

Sari, I. K. (2021). Representasi Kepribadian Tokoh Sasana dan Jaka Wani Dalam Novel

“Pasung Jiwa” Karya Okky Madasari. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya (JBSP), 11(2), 205-121. http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v11i2.11717.

Schumpeter, J.A. (2013). Capitalism, Socialism, & Democracy. Diterjemahkan oleh Teguh Wahyu Utomo. Pustaka Pelajar.

Thompson, J.B. (2004). Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dengan Komunikasi Massa. Diterjemahkan oleh Haqqul Yaqin. IRCiSoD.

Wardani, T. D. (2018). Nilai Personal Dalam Cerita Palaya Subetnik Katingan. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya (JBSP), 8(2), 147-165.

http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v8i2.5503.

Referensi

Dokumen terkait

Regarding strategy applied, the students implement the following ways: give pause and replay, guessing unknown words, finding difficult words in dictionary, predict the content by using