1
-RESPIRATORY FAILURE
Dosen Pembimbing: Ns.Dwi Nur Rahmantika, M.Kep
Disusun oleh : Kelompok 4
1. Indah Ayu Saputri G2A021083 2. Puri Dhinar Syafira Disty G2A021084 3. May Sita Ari Setiana G2A021085 4. Sufia Rahmawati G2A021086 5. Devi Mariska Agustin G2A021087 6. Hesti Norma Sari G2A021088 7. Dika Sukmawati G2A021092
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN AJARAN 2023/2024
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... 2
KATA PENGANTAR ... 3
BAB I ... 4
PENDAHULUAN ... 4
A. Latar Belakang ... 4
B. Tujuan penulisan ... 5
C. Metode Penulisan ... 5
D. Sistematika Penulisan ... 5
BAB II ... 6
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
A. Definisi ... 6
B. Etiologi ... 6
C. Patofisiologi ... 7
D. Manifestasi Klinik ... 10
E. Penatalaksanaan ... 12
F. Pengkajian Fokus ... 13
G. Pathways Keperawatan ... 17
H. Diagnosa ... 18
I. Intervensi Keperawatan ... 18
BAB III ... 26
PENUTUP ... 26
A. Kesimpulan ... 27
B. Saran ... 27
DAFTAR PUSTAKA ... 27
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan karunianya kami dapat menyelesaikan asuhan keperawatan ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah kami adalah “Respiratory Failure”
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga ingin mengucapkan terimakasih kepda pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan asuhan keperawatan ini.
Kami jauh dari kata sempurna dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga asuhan keperawatan ini dapat berguna bagi saya pada khusunya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.
Semarang, 2 November 2023
Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
ARDS merupakan masalah yang sering ditangani di ICU. ARDS ini pertama kali digambarkan oleh Ashbaugh di tahun 1967 dan berlanjut sampai konsensus American- European Consensus Conference (AECC) tentang ARDS pada tahun 1994. Pada tahun 2012 European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) bersama American Thoracic Society (ATS) dan Society of Critical Care Medicine (SCCM) membuat klasifikasi terbaru tentang ARDS dengan kriteria Berlin. Pada awalnya, ARDS juga dikenal dengan nama shock lung, Da Nan lung (dari perang Vietnam), sindrom stiff-lung, acute lung injury, non- cardiogenic pulmonary edema, adult respiratory distress syndrome, atau leaky capillary pulmonary edema, dengan gambaran morfologi berupa kerusakan alveoli inflamatorik yang difus. ARDS didefinisakan oleh Kriteria Berlin dengan gagal napas hipoksemik akut dengan penyebab tertentu (seperti infeksi virus pernapasan) disertai munculnya infiltrat bilateral pada foto thoraks/CT scan dengan menyingkirkan etiologi kardiogenik atau hidrostatik. ARDS yang disebabkan oleh pneumonia COVID-19 biasa disebut sebagai CARDS (Pustaka et al., 2021)
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan sindrom, kumpulan observasi klinis dan fisiologis yang menggambarkan suatu keadaan patologis. Patogenesis ARDS belum sepenuhnya jelas dan belum ada gold standard untuk mendiagnosis. ARDS adalah kelainan yang progresif secara cepat dan awalnya bermanifestasi klinis sebagai sesak napas (dyspneu dan tachypneu) yang kemudian dengan cepat berubah menjadi gagal napas (Ward et al., 2018)
Etiologi kompleks ARDS mencakup faktor langsung seperti pneumonia berat, cedera paru inhalasi, kontusio paru, dan cedera reperfusi iskemia serta faktor tidak langsung seperti transfusi darah, pankreatitis akut, dan septikemia. Respon inflamasi yang berlebihan dan rusaknya sawar mikrovaskuler paru yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas endotel dan epitel merupakan mekanisme kunci yang terlibat dalam patogenesis ARDS; Akibatnya, ARDS menjadi masalah global yang sangat mengancam kesehatan manusia (Liu et al., 2022)
B. Tujuan penulisan 1. Tujuan umum
a. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan dari kegawatdaruratan respiratory failure
2. Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi respiratory failure 2. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi respiratory failure 3. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi respiratory failure 4. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinik respiratory failure 5. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan respiratory failure 6. Mahasiswa mampu membuat pengkajian fokus
7. Mahasiswa mampu membuat pathways keperawatan 8. Mahasiswa mampu merencanakan diagnosa keperawatan 9. Mahasiswa mampu menjelaskan fokus intervensi
C. Metode Penulisan
Metode penulisan karya tulis ini dengan menggunakan metode pengumpulan data yang relevan dan mencari informasi melalui sumber-sumber elektronik ,jurnal dan internet. Makalah ini disusun dengan cara pengumpulan data dan informasi yang dilakukan sesuai topik pada tulisan ini melalui artikel ilmiah, referensi jurnal, buku, gagasan sendiri dan lain sebagainya.
Makalah ini mencangkup teori mengenai asuhan keperawatan respiratory failure D. Sistematika Penulisan
1. BAB I
2. BAB II KONSEP DASAR 3. BAB III PENUTUP 4. KESIMPULAN 5. DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi
Respiratory failure/gagal nafas akut atau adult respiratory distress syndrome (ARDS) adalah adanya gagal napas hipoksemi akut yang disebabkan oleh kerusakan alveoli yang difus bilateral dengan onset akut. Gagal nafas akut adalah tidak mampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi. Gagal nafas akut adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan. Gagal nafas akut terjadi bila mana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Ersunnianti, Gian Anggraini, Kartika Ufla Alfiah, Liza Apriani, Nila Wahyuni, 2020)
B. Etiologi
Faktor penting penyebab ARDS antara lain (sitasi disini):
1. Trauma (memar pada paru-paru, fraktur multipel, dan cedera kepala).
2. Cedera sistem saraf yang serius Cedera sistem saraf yang serius seperti trauma, CVA, tumor, dan peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan terangsangnya saraf simpatis sehingga mengakibatkan vasokonstriksi sistemik dengan distribusi sejumlah besar volume darah ke dalam paru-paru. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan kemudian akan menyebabkan cedera paru-paru (lung injury).
3. Gangguan metabolisme (pankreatitis dan uremia).
4. Emboli lemak dan cairan amnion.
5. Infeksi paru-paru difus (bakteri, virus, dan jamur).
6. Inhalasi gas beracun (rokok, oksigen konsentrasi tinggi, gas klorin, NO, dan ozon).
7. Aspirasi (sekresi gastrik, tenggelam, dan keracunan hidrokarbon).
8. Menelan obat berlebih dan overdosis narkotik/nonnarkotik (heroin, opioid, dan aspirin).
9. Kelainan darah (DIC, transfusi darah multipel, dan bypass kardiopulmoner) 10. Operasi besar.
11. Respons imunologik terhadap antigen pejamu (sindrom goodpasture dan SLE).
(Somantri, 2020) C. Patofisiologi
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan. Kerusakan pada sel pneumosit tipe II dapat mengganggu transport cairan yang menimbulkan terjadinya edema dan berkurangnya produksi surfaktan. Kerusakan pada fase akut menyebabkan terjadinya pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang terkelupas.
Selain itu, epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular yang mengalami kerusakan pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler sehingga cairan yang kaya protein akan masuk ke dalam ruang alveolar. Selain cairan, neutrofil juga akan masuk ke dalam alveolus. Di alveolus juga terdapat makrofag yang akan mensekresi sitokin-sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 dan IL-10 yang beraksi secara lokal memicu kemotaksis dan mengaktivasi neutrofil. Kemudian, neutrofil dapat melepaskan oksidan, protease, sehingga terjadi reaksi inflamasi dan penghancuran struktur protein seperti kolagen, elastin, fibrinogen, proteolisis protein plasma. Hal ini menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pertukaran gas. Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dapat mengaktifkan kaskade inflamasi yang dibagi dalam tiga fase yang saling tumpang tindih yaitu fase inflamasi (eksudatif), fase proliferasi, dan fase fibrotik. Pasien dengan ARDS tidak selalu melewati 3 fase
tersebut karena kesembuhan dapat muncul di fase manapun namun bentuk paling parah dari Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) akan berkembang menuju fase fibrotik.
Tiga fase dalam Acute Respiratory Distress Syndrome antara lain fase inflamasi (eksudatif), fase proliferasi, dan fase fibrotik.
1. Fase inflamasi (eksudatif)
Fase ini bertahan selama 1 minggu setelah onset dari kegagalan respiratorik.
Neutrofil berkumpul di kapiler, jaringan interstitial, dan ruang udara, dan menyebabkan kerusakan sel seiring dengan produksi dari radikal bebas, mediator inflamasi, dan protease. Meskipun begitu, neutrofil bukanlah satu-satunya tipe sel yang terlibat karena ARDS juga muncul pada pasien dengan kadar neutrophil yang rendah. Sitokin (terutama TNF-α, IL-1 IL-6 dan IL-8) juga dilepaskan oleh sel endotelial dan sel imun dan membuat kerusakan mikrovaskular yang serupa. Hasilnya yaitu kecoran cairan dan protein plasma ke alveolus dan jaringan interstitial (edema pulmoner non kardiogenik), sedangkan pada waktu yang bersamaan, protein plasma mendenaturasi surfaktan alveoli sehingga menyebabkan alveolus kolaps). Hal ini kemudian menyebabkan hipoksia karena alveoli yang terisi cairan mendorong aliran darah.
Tubrukan terjadi ketika daerah dari paru-paru menerima suplai darah namun tidak mampu untuk mengoksigenasi (dengan membentuk batasan difusi). Seiring waktu kemudian terjadi vasokonstriksi dan oklusi kapiler pulmoner oleh neutrofil. Selain itu, platelet dan fibrin juga muncul menuju area paru yang terventilasi namun tidak terperfusi ruang mati/ ruang kosong (deadspace). Peningkatan dari total cairan paru juga membuat paru tegang (penurunan compliance) sehingga meningkatkan usaha bernapas secara drastis.
2. Fase proliferasi
Fase ini dikarakteristikkan dengan influks dan proliferasi dari pneumosit tipe II, fibroblast dan miofibroblas yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding alveolus dan perubahan eksudat pendarahan menjadi jaringan granulasi seluler / membran hialin. Kerusakan pada sel pneumosit tipe dua disertai adanya denaturasi protein menyebabkan total produksi dari surfaktan berkurang. Pada fase ini menentukan cedera bisa mulai sembuh atau menajdi menetap serta terdapat resiko terjadinya lung rupture (pneumotoraks).
3. Fase fibrotik
Deposisi kolagen yang tidak beraturan mulai terjadinya menyebabkan kerusakan paru lebih lanjut sehingga membuat paru-paru lebih kaku dan kemudian meningkatkan usaha bernapas. Hal ini dapat menjadi semakin parah sampai menjadi tidak mungkin untuk melepaskan pasien dari ventilator, namun umumnya hal ini berpengaruh pada usaha untuk mengembalikan kekuatan otot pasien sampai pada poin dimana pasien mampu untuk bertahan dengan usaha.
10 D. Manifestasi Klinik
Gagal napas dapat terjadi secara tiba-tiba (dalam hitungan menit atau jam) atau secara bertahap (membutuhkan waktu beberapa hari atau lebih lama). Penurunan PaO2 yang tiba-tiba atau peningkatan PaCO2 yang cepat menyiratkan kondisi serius yang dapat dengan cepat mengancam jiwa.
Manifestasi terkait dengan tingkat perubahan PaO2 dan PaCO2, kecepatan perubahan (akut versus kronis), dan kemampuan untuk mengimbangi perubahan ini. Bila mekanisme kompensasi pasien gagal, maka terjadi gagal napas. Karena manifestasinya bervariasi, penting untuk memantau tes nilai gas darah arteri (ABG) atau menggunakan oksimetri nadi untuk mengevaluasi tingkat perubahan.
1) Perubahan status mental seperti kegelisahan, kebingungan, dan perilaku agresif akan terjadi lebih awal, sering kali sebelum hasil ABG menunjukkan perubahan.
2) Takikardia, takipnea, dan hipertensi ringan juga merupakan tanda awal. Sakit kepala yang parah di pagi hari dapat menunjukkan bahwa hiperkapnia terjadi pada malam hari.
11
Napas yang cepat menunjukkan bahwa volume tidal mungkin tidak memadai untuk mengeluarkan CO2 dari paru-paru.
3) Ketika PaO2 menurun dan asidosis meningkat, miokardium menjadi tidak berfungsi, yang mengakibatkan angina dan disritmia. Kerusakan otak permanen dapat terjadi jika hipoksia parah dan berkepanjangan. Fungsi ginjal dapat terganggu, dan retensi natrium (Na+), pembentukan edema, nekrosis tubular akut, dan uremia dapat terjadi.
4) Pasien mungkin memiliki pola pernapasan yang cepat dan dangkal atau laju pernapasan yang lebih lambat dari biasanya. Perubahan dari laju yang cepat ke laju yang lebih lambat pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan akut menunjukkan kelelahan yang ekstrem dan kemungkinan terjadinya henti napas.
5) Perilaku pernapasan seperti asumsi posisi tripod, pernapasan bibir yang terkatup, dan dispnea dua atau tiga kata juga mengindikasikan gangguan pernapasan.
6) Mungkin ada perubahan dalam rasio pernapasan (I) ke ekspirasi (E), (I/E). Biasanya, rasio I/E adalah 1:2. Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan, rasio ini dapat meningkat menjadi 1:3 atau 1:4. Perubahan ini menandakan adanya hambatan aliran udara.
7) Anda dapat mengamati retraksi (gerakan ke dalam) ruang interkostal atau area supraklavikula dan penggunaan otot aksesori selama menandakan gangguan sedang.
Pernapasan paradoksal menandakan gawat darurat yang parah.
Segera laporkan setiap perubahan status mental, seperti perilaku agresif, kebingungan, atau penurunan tingkat kesadaran (LOC), karena perubahan ini dapat mengindikasikan timbulnya kemunduran yang cepat dan perlunya ventilasi mekanik.
E. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana ARDS adalah mengembangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat, keseimbangan cairan dan asam basa serta sirkulasi yang memadahi sampai integritas membrane kapiler utuh Kembali.
Selain itu juga ditunjukkan untuk mengatasi factor pencetus dan hal lain serta memberikan terapi penunjang. Ventilasi selalunya diberikan melalui intubasi. Factor-faktor penting dalam pengobatan ARDS setelah luka bakar berat, syok atau sepsis adalah sebagai berikut:
1. Mengendalikan masalah primer
2. Dehidrasi progresif hati-hati sementara perfusi jaringan dipertahankan dengan baik.
3. Distensi optimal alveoli untuk meningkatkan kapasitas residu fungsional dan mengoreksi atelectasis progresif.
a. Farmakoterapi
1) Anti-Endotoxin Immunotherapy 2) Kortikosteroid
3) Mediator lipid (prostaglandin E1 dan E2)
Prostaglandin E1 merupakan vasodilator mediator lipid yang dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner dan akumulasi cairan ekstravaskuler paru, meningkatkan pertukaran gas, pelepasan leukotrien D4, radikal oksigen dan enzim sitotoksik dari aktivasi granulosit. Sebuah uji prospektif pada pasien bedah menunjukkan angka survival yang signifikan tetapi belum ada uji prospektif mengenai ARDS.
4) Antioksidan
5) Inhaled pulmonary vasodilators (nitric oxid)
Nitric oxide merupakan relaksan otot polos yang berasal dari endothelium nitric oxide memiliki peranan penting dalam neurotransmisi, pertahanan tubuh host, agregasi platelet, adhesi leukosit, dan bronkodilatasi. Dalam dosis 60 bagian opermiliar inhelid nitric oxide (Ino), dapat meningkatkan oksigenasi. Tetapi pada penanganan ARDS hanya diperlukan 1-40 bagian perjuta. Ino dapat diberikan terus menerus atau menggunakan injeksi inspirasi intermiten. Hanya 40-70%
pasien ARDS yang mengalami perbaikan oksigenasi dengan menggunakan ino, hal ini kemungkinan karena vasokonstriksi pulmoner aktif.
6) Surfactant Replacement Therapy
Apoprotein surfaktan penting untuk mencegah inaktivasi surfaktan pada paru-paru yang meradang dan meningkatkan fungsi biofisikal. Studi saat ini difokuskan untuk membuat surfaktan sintetis yang berisikan apoprotein atau analog apoprotein. Terapi replacement ini potensial untuk digunakan pada neonatus dengan respiratory distress syndrome. Telah dilakukan studi uji coba terhadap hewan, namun penggunaan terapi replacement pada manusia memerlukan studi lebih lanjut.
F. Pengkajian Fokus
1. Identitas pasien, meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, agama, diagnosa medis)
2. Riwayat Kesehatan, meliputi keluhan utama, riwayat penyakit sekarang.riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, dan alergi.
3. Pengkajian keperawatan, meliputi pola nutrisi, pola tidur dan istirahat, pola aktivitas dan Latihan, pola eliminasi.
4. Pemeriksaan fisik a. Pengkajian Primer:
1) Airway
Tindakan pertama kali yang dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan napas. (Thygerson, 2011). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway antara lain:
a) Kaji kepatenan jalan napas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas
b) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan napas pada pasien seperti:
adanya bunyi snoring, gurgling, stridor atau suara napas tidak normal, agitasi (hipoksia), penggunaan otot bantu pernapasan, dan adanya sianosis.
c) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran nafas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi seperti: muntah, perdarahan, gigi lepas atau hilang, gigi palsu, trauma wajah.
d) Lindungi tulang belakang dari Gerakan yang tidak perlu e) Lakukan intubasi
2) Breathing (pernafasan)
Pengkajian pada pernapasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan napas dan keadekuatan pernapasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka Langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dikompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing antara lain:
Look, listen dan feel. Lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi.
a) Inspeksi untuk mengetahui apakah ada tanda: cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
b) Palpasi untuk mengetahui: pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema.
c) Auskultasi untuk mengetahui: suara abnormal pada dada.
3) Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hypovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urine. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan external yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000).
Langkah yang harus diperhatikan dalam pengkajian antara lain:
a) Cek nadi dan melalui CPR jika perlu
b) CPR terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk dilakukan.
c) Kontrol perdarahan d) Palpasi nadi radial
e) Kaji kulit untuk melihat tanda hipoperfusi atau hipoksia f) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4) Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU:
a) A – alert, yaitu merespon suara dengan tepat.
b) V – vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti.
c) P – respons to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal merespon).
d) U – unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
b. Pengkajian Sekunder:
1) B1 (Breath)
Sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, apakah terdapat suara tambahan seperti Krekel, ronchi, dan wheezing.
2) B2 (Blood)
Kakikardi, tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia).
3) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran menurun (seperti bingung atau agitasi), pingsan, nyeri kepala (penyebabnya karena adanya trauma), mata berkunang-kunang, berkeringat banyak.
4) B4 (Bowel)
Adakah penurunan prouksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal).
5) B5 (Bladder)
Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutrisi dan cairan akan memperberat keadaan seperti cairan yang berlebihan dan albumin yang rendah akan memperberat edema paru.
6) B6 (Bone)
Kelemahan otot, mudah Lelah.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto rontgen dada atau CT-scan, dapat ditemukan infiltrat luas, sering disertai dengan karakteristik yang menandakan adanya pengisian alveolar.
2) Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan kadar oksigen darah, analisa cairan paru, analisa gas darah), dapat menunjukkan adanya penurunan PaO2, dengan PaCO, yang normal.
G. Pathways Keperawatan
Sesak napas Hipoksemia
Peningkatan kerja pernapasan
Gangguan Pertukaran Gas Respiratory Failure
Anoreksia Sitokin (TNF-α, IL-1 IL-6 dan IL-8) dilepas
Defisit Nutrisi
Kebocoran cairan dan protein plasma ke alveolus dan jaringan
interstitial
Edema paru
Alveolus kolaps
Kerusakan sel pneumosit tipe II
Kontriksi vaskuler
pulmoner Hipoksia Hipervolemia
Penurunan pengembangan
paru
Abnormalitas ventilasi perfusi
Pola Napas Tidak Efektif
H. Diagnosa
Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian klinis terhadap adanya pengalaman dan respon individu, keluarga ataupun komunitas terhadap masalah kesehatan, pada risiko masalah kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis keperawatan adalah bagian vital dalam menentukan proses asuhan keperawatan yang sesuai dalam membantu pasien mencapai kesehatan yang optimal. Mengingat diagnosis keperawatan sangat penting maka dibutuhkan standar diagnosa keperawatan yang bisa diterapkan secara nasional di Indonesia dengan mengacu pada standar diagnosa yang telah dibakukan sebelumnya (PPNI, 2016).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), (SDKI, 2017) diantaranya:
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas (SDKI D.0005)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler (SDKI D.0003)
3. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi (SDKI D.0022) I. Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan, kriteria hasil, rencana tindakan atau intervensi dan rasional tindakan (Dermawan, 2012).
No Dx
Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Rencana Tindakan Rasional
1. Pola napas tidak efektif
berhubungan dengan
hambatan upaya napas
(SDKI D.0005)
Setelah dilakukan tindakan 1x3 jam, maka diharapkan pola napas membaik, dengan kriteria hasil:
(SLKI L.01004)
Manajemen Jalan Napas (SIKI 1.01011)
Observasi:
1. Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
Rasional:
Observasi:
1. Untuk mengetahui frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
1. Ventilasi semenit cukup meningkat 2. Tekanan ekspirasi
meningkat
3. Tekanan inspirasi meningkat
4. Penggunaan otot
bantu napas
menurun
5. Frekuensi napas membaik
6. Kedalaman napas membaik
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik:
1. Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien 2. Dokumentasikan
hasil pemantauan Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
2. Untuk mengetahui pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussamu, kusmaull, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik.
3. Untuk mengetahui adanya produksi sputum Terapeutik:
1. Agar interval waktu pemantauan respirasi sesuai dengan kondisi pasien
2. Untuk memantau hasil pemantauan
Edukasi:
1. Membantu pasien
mengetahui tujuan dan prosedur pemantauan 2. Agar pasien mengetahui
hasil pemantauan, jika perlu
Kolaborasi:
1. Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menjadi menuju area bronkus yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi
2. Gangguan pertukaran gas
Setelah dilakukan tindakan 1x3 jam,
Manajemen Ventilasi Mekanik (SIKI 1.01013)
Rasional:
Observasi:
berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler (SDKI D.0003)
diharapkan respon ventilasi mekanik meningkat, dengan kriteria hasil:
(SLKI L.01005)
a. FiO2 memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan nilai normal yang dibutuhkan , semakin rendah pengunaan FiO2 maka semakin
baik fungsi
parunya
b. Tingkat kesadaran pasien meningkat dengan harapan dari yang awalnya stupor menjadi Compos mentis c. Saturasi oksigen
pasien dalam batas normal (95-100%) dan tidak
membutuhkan alat bantu ventilasi
mekanik dan
oksigenasi
d. Tidak ada sekresi jalan nafas saat di
Observasi:
1. Periksa indikasi ventilator mekanik misal
kelelahan otot nafas, disfungsi
neurologis, asidosis respiratorik
2. Monitor efek ventilator terhadap status oksigenasi misal bunyi paru, X ray paru, AGD, Respon
subyektif pasien 3. Monitor kriteria
perlunya penyapihan ventilator 4. Monitor efek
negatif ventilator misal deviasi trakea, barotrauma,
penurunan curah jantung, emfisema subkutan
5. Monitor gejala peningkatan
pernafasan misal
1. Memonitor apakah pasien perlu dilakukan
penyapihan ventilator atau tidak
2. Mengetahui efek
ventilator apakah memperbaiki
oksigenasi atau malah memperparah oksigenasi 3. Mengetahui kriteria
kapan ventilator psien harus Disapih
4. Mengetahui tanda awal komplikasi buruk dari pemasangan ventilator 5. Mentukan mode ventilator
yang dipilih serta
kebutuhan oksigenasi seperti PEEP dan FiO2 pada
pasien sesuai dengan kebutuhan
6. Membantu mempertahankan kepatenan jalan nafas
dan mempertahankan saturasi oksigen
Terapeutik:
1. Agar mencegah terjadinya aspirasi
suction tidak terdapat sputum atau
sekret
1. Tidak ada suara nafas tambahan, suara nafas normal 2. Pasien tidak terlihat gelisah,
pasien bisa
tertidur dengan tenang
peningkatan denyut
jantung atau
pernafasan,
peningkatan tekanan darah, diaforesis, perubahan
status mental
6. Monitor kondisi yang meringankan tekanan
Oksigen Terapeutik:
1. Atur posisi kepala
45-60° untuk
mencegah aspirasi 2. Reposisi pasien
setiap 2 jam bila perlu
3. Laksanakan oral hygiene secara rutin 4. Lakukan tindakan
suvtion sesuai kebutuhan
5. Ganti sirkui ventilator tiap 24 jam sesuai SOP 6. Sediakan BVM
disamping tempat
tidur untuk
mengatasi malfungsi
2. Membantu mencegah terjadinya masalah dekubitus
pada pasien
3. Membantu membersihkan jalan nafas dan
mengurangi risiko infeksi 4. Membantu membersihkan
jalan nafas dengan penghisapan sekret 5. Mencegah terjadinya
infeksi nosokomial 6. membantu pasien saat
tindakan emergency agar meminimalkan mortalitas Kolaborasi:
1. Memberikan oksigen sesuai kebutuhan agar tidak
terjadi hiperoksigenasi
dan memperburuk
keadaan
2. Membantu saat
pemasangan ETT dan tindakan
Keperawatan
3. Membantu menyesuaikan ventilator dengan
perubahan pada membran alveolus
mesin dan tambahkan media guna berkomunikasi misal pensil dan kertas
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemilihan metode ventilator misal kontrol volume, kontrol tegangan aau tekanan
paru
2. Kolaborasi
pemberian sedasi dan analgesik sesuai dengan kebutuhan 3. Kolaborasi
penggunaan PS atau PEEP untuk
meminimalkan hiperventilasi alveolus 4. Hipervolemia
berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
(SDKI D.0022)
Setelah dilakukan tindakan 1x3 jam, maka diharapkan
Keseimbangan
cairan meningkat, dengan kriteria hasil:
(SLKI L.03020)
Manajemen Hipervolemia (SIKI 1.03114)
Observasi:
1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia misal
Rasional:
Observasi:
1. Mengetahui sejauh mana tingkat keparahan dari hypervolemia
2. Mengetahui penyebab hipervolemia dan tindakan
a. Asupan Cairan meningkat sesuai dengan kebutuhan b. Keluaran urin normal/ 0,5 – 1 cc/kg BB
c. Keseimbangan membran mukkosa
meningkat atau membran mukosa lembab
d. Asupan makan
dalam batas
normal sesuai dengan kebutuhan e. Tidak ada edema
pada kedua
ekstremitas bagian bawah
f. Pasien tidak dehidrasi
g. Pasien tidak acites h. Mata tidak cekung i. Tekanan darah
dalam batas
normal
(120/70mmHg) dan nadi dalam batas
ortopnea, dispnea, edema, peningkatan CVP,
adanya suara nafas tambahan
2. Identifikasi penyebab hipervolemia
3. Monitor status hemodinamik misal frekuensi
jantung, tekanan darah, MAP & CVP apabila
tersedia
4. Monitor intake dan output cairan
5. Monitor tanda hemokonsentrasi misal kadar
natrium, BUN, Hematokrit dan berat jenis urine 6. Monitor tanda
peningkatran tekanan onkotik
plasma misal
peningkatan kadar protein dan
albumin
guna mengatasi
hipervolemia
3. Mengetahui keberhasilan dan tindakan berikutnya yang harus dilakukan 4. Mengetahui tingkat
keparahan dari
hipervolemia
5. Mengetahui nilai pemeriksaan penunjang guna
menegakan diagnose 6. Mengetahui apakah perlu
dilakukan transfusi albumin dan protein 7. Menyesuaikan dengan
intake dan output guna menegakan diagnosa 8. Monitor efek samping
agar tidak menjadi semakin
parah dan terjadi komplikasi
Terapeutik:
1. Mengetahui berat badan guna mengetahui
keparahan hipervolemia 2. Membatasi asupan cairan
dan garam agar tidak memperpara hipervolemia
normal (80 – 100x/menit)
7. Monitor kecepatan tetesan infus secara ketat
8. Monitor efek samping deuretik misal hipotensi ortostatik, hipo
kalemia dan
hiponatermia Terapeutik:
1. Timbang berat badan setiap hari pada jam yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tingkatkan kepala tempat tidur 30-40°
Edukasi:
1. Anjurkan melapor apabila haluaran urine kurang
dari 0,5cc/kgBB/jam 2. Anjurkan melapor
apabila BB
bertambah selama setiap hari
3. Ajarkan cara mencatat input dan output cairan
3. Membantu
meringngankan sesak dan beban kerja
jantung pada pasien guna mengurangi edema Edukasi:
1. Melakukan assesment awal agar tidak semakin
parah tingkat
hipervolemia
2. Mengetahui apakah hipervolemia membaik atau
semakin buruk
3. Mengajarkan keluarga agar mampu merawat dan mengenali masalah hipervolemia
Kolaborasi:
1. Membantu keberhasilan tindakan keperawatan dan mengeluarkan sisa metabolisme cairan dalam tubuh
2. Memberikan kalium agar tidak terjadi hipokalemia pada pasien
3. Pemberian CRRT agar membantu meringankan edema pada pasien
serta bagaimana perhitungan balance cairan
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemberian deuretik 2. Kolaborasi
kehilangan kalium akibat terapi
Deuretik 3. Kolaborasi
pemberian CRRT bila perlu
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
ARDS adalah kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non pulmonal.
Masalah keperawatan yang didapat pada ARDS, diantaranya:
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas (SDKI D.0005) 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler
(SDKI D.0003)
3. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi (SDKI D.0022) B. Saran
1. Kepada perawat diharapkan dapat memberikan komunikasi yang jelas kepada pasien dalam mempercepat penyembuhan. Berikan pula penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan mencegah terjadinya resti pada ARDS.
2. Kepada tenaga keperawatan untuk dapat memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan ARDS sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Kepada dosen pembimbing dapat memberikan penjelasan secara merinci tentang askep pada pasien ARDS.
DAFTAR PUSTAKA
Ersunnianti, Gian Anggraini, Kartika Ufla Alfiah, Liza Apriani, Nila Wahyuni, N. H. (2020).
Anestesiologi dan Terapi Intensif. PT Gramedia Pustaka Utama.
Liu, C., Xiao, K., & Xie, L. (2022). Advances in the use of exosomes for the treatment of ALI / ARDS. August, 1–14. https://doi.org/10.3389/fimmu.2022.971189
Pustaka, T., Fatoni, A. Z., & Rakhmatullah, R. (2021). Acute Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ) pada Pneumonia COVID-19. 1, 11–24.
Somantri, I. (2020). Gangguan Sistem Pernapasan (S. D. Citra (ed.)). Salemba Medika.
Ward, P., Kaw, G. J., Tsou, J. Y., & Goh, J. (2004). Severe acute respiratory syndrome. Vestnik Rentgenologii i Radiologii, 4(5), 60–63.
Dirksen, S., Lewis, S., Heitkemper, M., & Bucher, L. (t.thn.). MEDICAL SURGICAL NURSING Assessment and Management of Clinical Problems (Eight Edition ed.). Elsevier Mosby.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia . Jakarta Selatan : Edisi, I.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Edisi, I.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI . (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia . Jakarta Selatan:
Edisi I,.
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition . Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8