• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESUME JURNAL BEHAVIOR SETTING

N/A
N/A
Febty Fajar Rahayu

Academic year: 2023

Membagikan "RESUME JURNAL BEHAVIOR SETTING"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal 1 : “Penerapan Arsitektur Perilaku Pada Redesain Pasar Tradisional Jongke Kota

Surakarta”

Penulis : Aulia Putri Septiani, Untung Joko Cahyono, Leny Pramesti

Instansi : Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia

Dimuat di : SENTHONG Jurnal Ilmiah Mahasiswa Arsitektur, Vol 6 No 3, September 2023;

halaman 771-782, E-ISSN : 2621 – 2609 Rangkuman:

Konsep sosial yang berkaitan dengan behavior setting antara lain teritorialitas, personal space dan privasi (Meilan, 2020). Penerapan konsep behavior setting yang digunakan juga memperhatikan beberapa aspek dengan penjabaran sebagai berikut :

1) Tingkat privasi : Ruang-ruang di pasar ini di dominasi oleh ruang yang dapat di jangkau oleh banyak orang. Sedangkan ruang privat terdiri dari ruang kantor, ruang kesehatan, dan ruang laktasi.

Sehingga pengelompokkan ruang dibagi menjadi area parkir, penerimaan, penunjang, servis, dan ruang pasar utama. Kesesakan pada Pasar Jongke terjadi pada area sirkulasi utama yang dipenuhi oleh pedagang oprokan dan ditambah adanya becak dan motor yang masuk ke dalam pasar melalui sirkulasi utama. Dengan banyaknya orang yang ada di area sirkulasi utama menyebabkan

kesesakan terjadi, dan pengguna menjadi tidak mampu mempertahankan ruang privatnya. Sehingga area privat di

(2)

pasar ini paling dominan

ditentukan berdasarkan

fungsi dan pengguna.

Gambar 1, Kelompok Ruang

Pasar Jongke

2) Personal space : Sebagai

suatu batas maya yang

mengelilingi diri kita yang tidak

boleh dilalui oleh orang lain

(Laurens, 2004).

Kebutuhan privasi

pedagang lebih tinggi

dibanding dengan pengguna lain, hal ini dikarenakan pedagang membutuhkan tempat untuk menyimpan dagangan, menyimpan uang, dan menetap di kios saat jam operasional pasar. Sedangkan pengunjung cenderung berpindah-pindah tempat.

Gambar 2. Personal Space Pasar Jongke

3) Teritorialitas : Melakukan penataan batas-batas teritori pedagang yang jelas sesuai komoditas masing-masing. Teritori antara pedagang dengan tingkat privasi yang lebih tinggi dilakukan dengan tindakan memberi batasan teritori berupa dinding, sekat, ataupun komoditas dagang. Elemen penanda teritori dalam bentuk ruang dibagi menjadi ruang berbatas tetap, ruang berbatas semi tetap, dan ruang informal.

Gambar 3. Teritori Pedagang Pasar Jongke

Teritori primer area dagang Pasar Jongke yaitu pada area pedagang berupa kios atau los. Teritori sekunder pada Pasar Jongke tidak dimiliki oleh individu ataupun kelompok, namun siapapun diperbolehkan

(3)

menggunakna area tersebut dan dipersonalisasikan sampai batas waktu tertentu. Teritori sekunder pada pasar berupa tangga, area tunggu atau area antri pembeli yang sekaligus menjadi batasan antara area pedagang dan sirkulasi. Sedangkan untuk teritori publik memiliki tingkat kepemilikan rendah dan tidak ada batasan dalam mengakses area ini.

Teritori publik pada pasar berupa area sirkulasi.

Gambar 4. Pembagian Teritori Pasar Jongke

Jurnal 2 : “Penelusuran Konsep Penataan Spasial Dalam Primbon Jawa Ditinjau Dengan

Pendekatan Konsep Behavior Setting”

Penulis : Staf Pengajar Teknik Arsitektur UPN “Veteran” Jawa Timur, Mahasiswa Pascasarjana

Arsitektur ITS Surabaya

Instansi : UPN Veteran Jawa Timur dan ITS Surabaya, Indonesia

Dimuat di : JURNAL REKAYASA PERENCANAAN, Vol 2 No 2, Februari 2005 Rangkuman :

1) Behavior setting dapat dibentuk oleh suatu aktivitas yang berulang dan merupakan kumpulan pola perilaku yang sedang berlangsung (Barker, 1968).

2) Ada beberapa prinsip hidup (Magnis-Suseno, 1984) yang menjadi panutan bersosialisasi dalam masyarakat bagi orang Jawa, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat.

3) Konsep behavior setting terdiri dari beberapa jenis perilaku yang ikut membentuknya. Karena itu dalam tinjauan ini walaupun primbon dibicarakan dalam ranah etika (Jawa) dan perilaku dalam ranah psikologis tetapi konsep behavior setting dapat menghubungkan keduanya karena konsep behavior setting dapat menunjukkan perilaku yang nyata (psikologis) dengan perilaku yang berupa movement atau gross motor activity (etika).

(4)

Gambar 4. Sifat Spasial dan Keutaman Fasilitas Tabel 1. Fungsi Fasilitas Spasial

(5)

Tabel 2. Perilaku yang terjadi Table 3. Frekuensi Perilaku

4) Ada hirarki dalam sub-sub behavior setting ini. Sub-sub ini mewadahi perilaku domestik untuk peran (pengguna) utama itu menempati hirarki yang paling tinggi dengan keutamaan perletakan terlindungi (berada ditengah-tengah). Yang paling rendah hirarkinya sebenarnya adalah fasilitas servis.

5) Semakin tinggi hirarki suatu sub behavior setting maka akan semakin rendah frekuensi perilaku yang terjadi didalamnya.

Semakin utama suatu fasilitas spasial ternyata semakin rendah

derajat kesesuaian atau synomorphynya.

(6)

Jurnal 3 : “Coastal Settlement Behavior Setting in Kampung Blok Empang, North Jakarta”

Penulis : A D Tohjiwa, R Q Pramantha, P R E Paksi

Instansi : Departemen Arsitektur Universitas Gunadarma, Indonesia

Dimuat di : IOP Cond. Ser : Earth Environ. Sci. 933 012042, tahun 2021 Rangkuman:

1) Zona 1 adalah ruang terbuka di sekitar dermaga perikanan dengan aktivitas nelayan berupa bongkar muat ikan dan perbaikan kapal.

Sedangkan aktivitas perdagangan adalah dengan berdirinya warung-warung makan dan pedagang kaki lima. Pergerakan pedagang dan aktivitas jual beli membentuk pola berulang.

Pengaturan perilaku di zona 1 menunjukkan hubungan antara lingkungan fisik dan perilaku manusia. Hal ini dilihat dari pola aktivitas nelayan berhubungan dengan lokasi yang berada di dermaga, perdagangan tumbuh karena perilaku wisatawan, dan pasang surut air laut dimanfaatkan untuk aktivitas bermain anak.

Gambar 5. Potensi di Zona 1

2) Zona 2 berada di area permukiman. Perilaku manusia yang muncul

mengikuti tatanan potensial disana adalah kegiatan olahraga dan pengolahan ikan. Olahraga dilakukan di lapangan badminton, sedangkan pengolahan ikan dilakukan secara fleksibel pada area terbuka di permukiman dengan media pekarangan bambu untuk

(7)

menjemur ikan. Pengaturan perilaku di zona 2 menunjukkan hubungan antara lingkungan fisik dan perilaku manusia. Hal ini dilihat dari kebiasaan berolahraga yang tumbuh bersama objek fisik berupa lapangan badminton, selain itu juga sebagai wadah

bersosialisasi, pembuatan trotoar dengan adanya aktivitas pengolahan ikan.

Gambar 6. Potensi di Zona 2

3) Zona 3 merupakan area permukiman dengan fasilitas umum yang dipilih yaitu Mushola Nurul Huda yang digunakan oleh RT 4, 6, dan 7. Pola perilaku manusia yang berulang terbentuk dengan sholat

lima waktu. Selain untuk kegiatan ibadah, mushola juga digunakan untuk berkumpul dan berdiskusi kajian keagamaan. Pengaturan perilaku pada zona 3 ditunjukkan dengan bagaimana mushola membentuk pola ibada yang berulang.

Gambar 7. Potensi di Zona 3

(8)

4) Pengaturan perilaku di Kampung Blok Empang ditunjukkan dengan bagaimana pengaturan permukimannya yang terletak di area Pelabuhan. Hal ini mempengaruhi sebagian besar hubungan antara objek-objek fisik dengan perilaku warga. Performa terbaik dari pengaturan perilaku di Kampung Blok Empang terjadi di ruang terbuka karena adanya saling ketergantungan antara lingkungan dan perilaku. Hal ini juga ditunjukkan oleh perilaku yang berulang pada lingkungan yang spesifik. Mereka dicirikan oleh aktivitas berulang dalam aspek ekonomi dan sosial.

Jurnal 4 : “Kajian Behavior Setting Di Pasar Tugu Simpang Lima Gumul Kediri”

Penulis : Anisah Nur Fajarwati

Instansi : Arsitektur Universitas Gadjah Mada

Dimuat di : Jurnal Arsitektur NALARs Vol 15 No 2, Juli 2016:99-108 Rangkuman :

Sejalan dengan Setiawan, Barker dalam Popov dan Chompalov (2012) menuturkan bahwa poin utama dalam kajian behavior setting adalah sekelompok orang, aktivitas, tempat dan waktu yang spesifik.

1) A behavior setting consists of one or more standing patterns of behavior : Tatanan perilaku di dalam titik tertentu yang dilakukan tidak hanya satu individu. Pengunjung datang silih berganti namun melakukan aktivitas yang sama.

2) It consists of standing patterns of behavior-and-milieu : Satu tempat memiliki kondisi dan aktivitas yang berbeda dengan tempat lainnya kemudian menghasilkan perilaku tertentu.

Aktivitas utama yang terjadi di dalam Pasar Tugu adalah jual beli.

Aktivitas jual beli yang terjadi menghasilkan suatu perilaku tertentu baik dari dari penjual maupun pembeli.

3) The milieu is circum jacent to the behavior pattern : Pemilihan ruas jalan di sebelah utara monumen sudah sesuai dengan kebutuhan ruang untuk aktivitas Pasar Tugu. Aktivitas yang ada terwadahi dengan baik oleh milieu yang disediakan, didukung dengan tenda-tenda artificial dan kondisi alam terbuka.

4) The milieu is synomorphic with the behavior pattern : Di antara pola perilaku dan milieu dalam sebuah behavior setting saling bersesuaian membentuk suatu hubungan yang disebut dengan synomorphic. Aktivitas yang terjadi di dalam Pasar Tugu sama halnya dengan kegiatan yang terjadi di dalam pasar pada umumnya, antara lain: jual beli, makan, menyiapkan dan menyajikan barang dagangan.

(9)

5) The behavior-milieu parts are called synomorphs : Synomorphic dari Pasar Tugu ini terdiri dari manusia pelaku aktivitas dan barang dagangan, tenda dan tentu saja milieu berupa ruas jalan yang telah di sediakan pengelola yang mendukung aktivitas serta saling bersesuaian.

6) The synomorphs have a specified degree of interdependence : Ketergantungan antara milieu dan standing behavior dalam kasus ini bisa dilihat dari elemen-elemen yang melengkapi. Contoh elemen tersebut adalah tenda, jika tidak ada tenda untuk berjualan maka tidak akan ada batas teritori yang jelas antar pedagang, dan saat cuaca hujan atau terik maka tidak ada pernaungan yang melindungi.

7) The synomorphs have a greater degree of interdependence among themselves than with parts of other behavior settings : Synomorphic, antara individu (yang bisa sendiri atau jamak) dan lingkungannya beraktivitas sesuatu pasti berkesinambungan, tidak bisa berdiri sendiri dari yang lainnya. Kasus Pasar Tugu, antara milieu dan pelaku aktivitasnya saling berkesinambungan. Apabila tidak ada pasar Tugu maka lokasi milieu itu hanyalah jalanan biasa. Milieu Pasar Tugu tanpa manusia di dalamnya maka akan seperti pasar mati.

Analisis behavior setting dengan behavioral mapping

Hasil pengamatan di segmen barat Pasar Tugu pada hari dan waktu tertentu (Sabtu sekitar pukul 17.00 s/d 22.00 WIB dan Minggu sekitar pukul 06.00 s/d 10.00 WIB) menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa behavior setting di segmen barat Pasar Tugu yang terjadi berdasarkan analisis data yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

1) Behavior setting yang terjadi di setiap tenda dagangan memiliki ciri tersendiri sesuai dengan barang yang diperdagangkan, kegiatan memasak dan makan minum tidak terjadi di dalam tenda yang menjual aksesoris. Kegiatan utama jual-beli tetap ada dan terjadi.

2) Peletakkan dan penataan tenda didasarkan pada jenis barang dagangan, setiap tenda untuk satu penyewa.

(10)

3) Hubungan antara aktivitas perilaku pengguna (standing patterns of behavior) dan lay out ruang lingkungan pengguna (milieu) sangat sesuai dan terpenuhi dengan baik (synomorphic).

Gambar 8. Pengamatan Aktivitas di Hari Sabtu

(11)

Gambar 9. Pengamatan Perilaku di Hari Minggu

Jurnal 5 : “Penerapan Arsitektur Perilaku Pada Redesain Pasar Sentral Sudu di Kabupaten

Enrekang”

Penulis : Muhammad Chaidar Febriansyah, Burhanuddin, Musytahidah

Instansi : Arsitektur Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Dimuat di : Jurnal Proyeksi Vol 2 No 2, tahun 2022;27-34

Rangkuman:

1) Penerapan konsep behavior setting diaplikasikan pada peruangan bangunan. Bentuk dari ruang seringkali dilatarbelakangi oleh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan dan dipengaruhi oleh kondisi setting (Nurbaity, 2016). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pada kondisi eksisting pasar tersebut ditemukan banyak pedagang yang memodifikasi ruang-ruang daganganya dikarenakan pergerakannya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekayasa ruang dengan membatasi gerak pelakunya.

2) Adapun tipe ruang yang digunakan terdiri dari tiga tipe ruang dasar yaitu ruang berbatas tetap (fixed-feature space), ruang berbatas semi tetap (semi-fixed feature space), dan ruang informal.

(12)

3) Ruang

berbatas tetap (fixed-feature space), yaitu tipe ruang dengan pembatas relatif tetap dan tidak mudah digeser seperti dinding masif.

Gambar 10. Fixed-feature space di Pasar Sentral Sudu

(13)

4) Ruang berbatas semi tetap, merupakan ruang yang memiliki pembatas dapat digeser, dibongkar pasang bahkan dipindahkan sesuai dengan keinginan dan waktu penggunaannya. Tipe ruang ini diterapkan pada ruang-ruang dagang seperti kios dan los.

Gambar 11. Semi fixed feature space di Pasar Sentral Sudu 5) Dalam Saputro (2018), Ruang informal, merupakan ruang yang

bersifat tidak tetap dan terbentuk dalam kurun waktu yang singkat.

Tipe

ruang ini diterapkan pada ruang-ruang komunal di pasar seperti kantin.

(14)

Gambar

12. Ruang

Informal di Pasar Sentral Sudu

Jurnal 6 : “Pengaruh Setting Ruang Terbuka Terhadap Sebaran Teritori PKL di

Waterfront Kota Pontianak”

Penulis : Yudithya Ratih, Estar Putra Akbar, Caesar Destria

Instansi : D4 Arsitektur Bangunan Gedung, Politeknik Negeri Pontianak

Dimuat di : Langkau Betang Jurnal Aesitektur, Vol 8 No 1, Tahun 2021 (E- ISSN 2550-1194)

Rangkuman:

1) Teori yang digunakan yaitu :

a) Unsur mendasar dalam identifikasi tipe dari tata ruang menurut Hall, 1966 (dalam Lang, 1987), (Rapoport, 1982) :

Fix feature space, contohnya dinding solid, lantai, jendela; bentukan yang sulit untuk berubah

Semifix feature space, contohnya perabot meja kursi;

bentuknya yang mudah berubah atau sifatnya tidak tetap

Informal space (non-fix), yaitu ruang yang terbentuk diluar kesadaran dalam jangka waktu tertentu

b) Barker (dalam Laurens, 2004), Behavioral setting disebut juga dengan “tata perilaku” yaitu pola perilaku manusia yang berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Haviland (dalam Laurens, 2004) bahwa tata perilaku sama dengan “ruang aktivitas” untuk menggambarkan suatu unit hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur.

(15)

c) Barker, 1968 (dalam Lang, 1987) mendefinisikan Behavior Setting terdiri atas kombinasi aktifitas (activity) dan tempat (Place) yaitu:

A

recurrent activity (aktivitas).

A

particular layout of the

environment (setting Ruang).

A specific time period (waktu).

Synomorph y yaitu membentuk suatu

hubungan yang sesuai dan

berkaitan.

2) Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara dan kuisioner, dan behavior mapping melalui sketsa- sketsa dan identifikasi secara langsung di lapangan.

Mengidentifikasi setting ruang berkumpul terkait teritori Place Centered Mapping dan melihat pola aktivitas para PKL dengan metode Person Centered Mapping.

3) Contoh Place Centered Mapping yang digunakan :

Zona A, yang merupakan gerbang masuk utama terdiri atas PKL dengan karakter jualan yaitu : Makanan Ringan dan minuman, Sewa mainan, dan Gorengan. Beberapa PKL menempati area Plaza sebagai tempat berjualan dan duduk di bangku taman dan sebagian mengambil tempat disisi luar waterfront yang berbatasan di area darat.

4) Contoh Person Centered Mapping yang digunakan :

Zona A menunjukkan Pergerakan pengunjung yang datang dari pintu gerbang utama waterfront melewati plaza utama yang kemudian bergerak menyisiri tepian sungai (dekat pagar sisi sungai) dan pergerakan pulang melewati sisi pagar darat

(16)

5) Setting waktu yang digunakan : Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan maka didapatkan bahwa intensitas PKL terbesar didominasi pada waktu Sore hari sampai malam yaitu sekitar Pukul 16.00 sampai 23.00. Berikut ini adalah sebaran intensitas PKL berdasarkan periode waktu:

6) Analisis Setting Ruang yang digunakan :

a) Pola I : Untuk PKL sewa mainan dan penjual makanan minuman ringan. Mereka menempati bangku taman (elemen fix) yang sudah ada dan meletakkan barang dagangan di sekitar bangku tersebut.

b) Pola II : Sifatnya mobile atau tidak menetap, mereka menempati elemen fix seperti area plaza atau parkir kosong.

Elemen semi fix yang muncul yaitu barang dagangan dan box jualan.

c) Pola III : PKL yang berjualan seperti komoditi makanan, gorengan, sosis bakar, bakwan dan minuman. Elemen setting yang cukup berpengaruh yaitu pagar pembatas waterfront, sehingga personalisasi mulai

terlihat

jelas. Untuk mempertahankan teritorinya para PKL meninggalkan setting semi fix berupa gerobak, meja, ataupun kursi kayu.

d) Pola IV : Meletakkan barang jualan berupa mainan di sepanjang railing tangga naik (elemen fix). Penggunaan elemen semi-fix yang terjadi adalah PKL menggunakan sepeda motor untuk dudukan lapak berjualan.

(17)

e) Pola V : PKL datang dari luar, sifatnya lebih fleksibel. Mereka cenderung tidak masuk ke dalam hanya sampai sekitar area gerbang waterfront dan setting yang digunakan yaitu anak tangga gerbang masuk waterfront sebagai area berduduk.

Jurnal 7 : “Tematisasi Desain : Studi Behavior Setting Pengguna Terhadap Tema Ruang

Perpustakaan”

Penulis : Ahmad Ibrahim Rahmani, Abd. Karim

Instansi : Teknik Arsitektur Universitas Islam Negeri Alauddin, Universitas Gadjah Mada

Dimuat di : Jurnal Desain Vol 0, No 0, PP 27-29, p-ISSN : 2339-0107, e- ISSN : 2339-0115

Rangkuman:

1) Teori yang digunakan :

a) Behavior setting dijabarkan dalam dua istilah yakni system of setting dan system of activity dimana keterkaitan dua hal ini membentuk satu behavior setting tertentu (Zohrah and Hartono 2005). Elemen penting dalam behavior setting meliputi sekelompok orang sebagai pelaku aktivitas, perilaku atau aktivitas, tempat terjadinya aktivitas, serta waktu spesifik saat aktivitas tersebut berlangsung. Analisis behavior setting dapat dilakukan melalui Behavior Mapping (Pradani and Nurini 2020).

2) Metode pengumpulan data yang digunakan :

 Penelitian ini menggunakan pendekatan studi tata perilaku dalam kerangka paradigma rasionalistik dan metode penelitian kualitatif dengan melakukan jenis observasi pada interval waktu tertentu dan selama observasi, pemetaan perilaku digunakan untuk mencatat lokasi pengguna dan pola perilakunya.

 Pemetaan perilaku dilakukan dengan teknik pengkodean setiap jenis perilaku pengunjung National Building Corner untuk memudahkan dalam proses analisis studi perilaku.

behavioral mapping digambarkan dalam bentuk sketsa atau diagram mengenai suatu area dimana manusia melakukan berbagai kegiatannya.

3) Behavior mapping : Peta perilaku (behaviour mapping) dapat dilihat sebagai penghubung langsung antara pengguna diruang dan bentuk fisik serta fungsionalitas tempat itu sendiri (Marušić and Marušić 2012). Berikut contoh behavior mapping yang digunakan pada kasus ini :

(18)
(19)

4) Behavior setting : Behaviour setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria tertentu (Nurzamni and Marlina 2019). Dari contoh pemetaan tata perilaku di atas terlihat bahwa untuk aktivitas edukasi pengunjung cenderung memilih tempat di area lesehan dengan orientasi mengikuti garis dinding ruang, pemilihan ini dikarenakan dengan duduk mengikuti garis dinding ruang maka pengunjung dapat menjaga privacy aktivitas yang merekan kerjakan, meski harus duduk berdekatan dengan pengunjung lain.

Jurnal 8 : “Penerapan Konsep Sosial dan Behavior Setting Pada Rumah Adat Bali”

Penulis : Josephine Roosandriantini, Fernanda Yosefi Meilan Instansi : Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika Dimuat di : ATRIUM, Vol 6 No 1, Mei 2020, 23-31

Rangkuman:

1) Teori yang digunakan :

a) Aktivitas yang berulang-ulang membentuk sebuah pola aktivitas, yang mana menurut Barker dan Wright (1968) dikatan sebagai behavior setting

b) Behavior setting menurut Edward Hall (1966) dalam Laurens (2004) terdapat tiga pola ruang, yaitu ruang berbatas tetap (fixed feature space), ruang berbatas semi tetap (semifixed- feature space) dan ruang informal

c) Konsep sosial yang berkaitan dengan behavior setting antara lain tentang teritorialitas, personal space dan privacy.

2) Metode pengumpulan data berdasarkan buku, jurnal, artikel terakit behavior setting, penataan rumah adat Bali dan konsep sosial dari rumah adat Bali. Metode analisis data dilakukan dengan memilih literatur yang tersedia dan disesuaikan dengan topik permasalahan.

3) Pembahasan mengenai konsep sosial yang berkaitan dengan behavior setting :

Teritorialitas : rumah adat Bali adalah satu kavling dengan berbeda massa yang dikelilingi tembok yang menggambarka sebuah teritori. Menurut Altman (1975) dalam Halim (2005), teritori terbagi menjadi 3 yaitu :

a) Primary Territory : Satu kavling rumah itu sendiri, dan jika ingin memasuki rumah tersebut harus melalui pintu keluar masuk (jelanan awang atau kori ngeleb)

b) Secondary Territory : Hanya seseorang tertentu yang memiliki akses, sehingga kepemilikan ruang tersebut dapat berganti sesuai periode tertentu. Bale Buga untuk upacara, dan Bale Meten untuk tempat tidur dan penyimpanan barang

c) Public Territory : Ruang tidak dimiliki oleh seseorang sehingga rasa kepemilikan ruang publik ini sangat rendah.

Dalam rumah Bali, ruang paon (dapur) dan natah (ruang Tengah yang dikelilingi massa-massa bangunan untuk pusat sirkulasi).

(20)

Personal space : Bersifat pribadi dan cenderung tidak memiliki batas nyata. Dalam rumah adat Bali yang termasuk personal space adalah Sanggah Kelod sebagai media pemujaan leluhur dan Tuhan (Runa, 2018).

Privacy : Suatu keinginan dalam membatasi diri dari orang lain dan lingkungan sekitar (Laurens, 2004). Rumah adat Bali memiliki tingkat privasi cukup tinggi karena dibatasi oleh tembok keliling (tembok penyengker).

4) Analisis berdasarkan konsep sosial di atas juga dapat didukung dengan pengamatan tentang behavior setting :

a) Jelanan awang/kori ngeleb memiliki batas tetap secara fisik berupa tembok penyengker mengelilingi pavilion

b) Bale Buga berfungsi sebagai tempat upacara dan tempat tidur orang tua lanjut usia. Ruang ini tidak memiliki dinding pembatas yang nyata, hanya digambarkan sifat ruang tersebut yaitu semi publik

c) Sanggah Kelod berfungsi sebagai temoat memuja roh leluhur dan Tuhan

d) Sanggah Kaja, berfungsi sebagai media pemujaan Betara dari Ngis, ruang ini tidak memiliki pembatas secara fisik

e) Bale Tengah berfungsi untuk upacara kelahiran dan kematian, tidak memiliki pembatas secara fisik

f) Bale Meten berfungsi sebagai tempat tidur dan menyimpan barang berharga

g) Paon berfungsi sebagai tempat memasak dan menumbuk padi yang tidak memiliki penutup/pembatas secara fisik

Jurnal 9 : “Studi Spatial Behavior Ruang Hunian Rumah Susun; Studi Kasus Rumah Susun

Sederhana Milik Tipe 36 di Jakarta”

Penulis : Noeratri Andanwerti, Bambang Deliyanto

Instansi : Prodi Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Terbuka

Dimuat di : JURNAL VISUAL Vol 12, No 1 tahun 2016 Rangkuman :

1) Teori yang digunakan :

a) Istilah behavioral setting oleh Roger Barker (1968) digunakan untuk menjelaskan kombinasi yang stabil antara perilaku dan milleu tertentu

b) Spatial behavior menurut Laurens (2005) adalah cara bagaimana manusia menggunakan suatu setting lingkungan, atau dengan kata lain kemanfaatan (affordances) lingkungan 2) Teknik penelitian menggunakan cluster samping, metode analisis

menggunakan Evaluasi Purna Huni (Post Occupancy Evaluation).

Evaluasi Purna Huni dapat dibagi mejadi tiga kelompok yaitu evaluasi teknis, evaluasi fungsional dan evaluasi perilaku (Snyder 1995;Laurens 2005).

3) Menjelaskan behavior setting yang berfokus pada pembahasan tiap ruang rumah tipe 36 dengan poin :

(21)

 Gambaran rumah eksisting

 Gambaran penghuni berdasarkan status dan lama tinggal

 Gambaran penghuni berdasarkan jumlah anak dalam keluarga

 Gambaran penghuni berdasarkan komposisi jenis kelamin anak

 Gambaran perilaku penghuni di ruang keluarga, ruang tidur, dapur, area servis, kamar mandi

 Gambaran perilaku memilih furniture, meletakkan furnitur Jurnal 10 : “Identifikasi Pola Aktivitas Pada Ruang Terbuka Publik di Kampung Gampingan Kota

Yogyakarta”

Penulis : Sidhi Pramudito, Bezaliel Tera Kurnialohi Instansi : Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Dimuat di : NATURE Vol 7, No 2, tahun 2020 hlm 205-2019, p-ISSN 2302- 6073, e-ISSN 2579

4809 Rangkuman :

1) Teori yang digunakan :

a) Dalam penelitian ini, aktivitas warga ditinjau dengan menggunakan kajian arsitektur lingkungan dan perilaku yaitu konsep behavior setting oleh Roger Barker. Behavior setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik.

b) Behavior setting juga dapat dijelaskan sebagai perilaku dan lingkungan tertentu (Laurens 2004)

c) Behavior setting berkaitan erat dengan lingkungan fisik, begitu pula sebaliknya (Fajarwati 2016)

d) Behavior setting juga dapat dijelaskan sebagai interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik yang meliputi sekelompok orang sebagai pelaku aktivitas, perilaku atau aktivitas, tempat terjadinya aktivitas, serta waktu spesifik saat aktivitas tersebut berlangsung (Haryadi and Setiawan, 2010)

2) Variabel penelitian : (1)pelaku ; (2) aktivitas; (3) tempat terjadinya aktivitas; (4) waktu terjadinya aktivitas

3) Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan pemetaan perilaku (behavioral mapping). Untuk mencapai tujuan penelitian ini, pemetaan perilaku atau behavioral mapping yang digunakan adalah pemetaan berdasarkan tempat (place-centered mapping).

4) Pembahasan pada penelitian ini menggunakan beberapa analisis yaitu :

a) Pola aktivitas berdasarkan waktu

Dalam penelitian ini, pengamatan dilakukan selama empat kali pada waktu hari kerja dan waktu hari libur,dengan rentang waktu pengamatan yaitu pagi (08.00-11.00 WIB), siang (13.00-15.00 WIB), sore (16.00-18.00 WIB), dan malam (19.00-22.00 WIB).

(22)

b) Pola

aktivitas berdasarkan variabel dari teori behavior setting

(23)

Referensi

Dokumen terkait

54 Theory and test peak acceleration at 30mm diameter cylinder 예상대로 큰 차이를 보이는 실험 값과 이론 값을 관찰할 수 있다.. 이제, 해당 결과와 관련된 고찰을