• Tidak ada hasil yang ditemukan

RHINOSINUSITIS & EPISTAKSIS ET CAUSA CHONCA BULOSA

N/A
N/A
KURNIAWATI SEKAR YUNASTI

Academic year: 2023

Membagikan "RHINOSINUSITIS & EPISTAKSIS ET CAUSA CHONCA BULOSA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

TUTORIAL KLINIK I

RHINOSINUSITIS & EPISTAKSIS ET CAUSA CHONCA BULOSA Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung

Tenggorokan

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Disusun oleh:

Kurniawati Sekar Yunasti / 42220678

Pembimbing

dr. Arin Dwi Iswarini, Sp. THT-KL, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN PERIODE 27 NOVEMBER - 27 DESEMBER 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA

2023

(2)

BAB I STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.W

No.RM : 01-XX-XX-XX

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 43 tahun

HRMS : 29 November 2023

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan di Poli THT Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta pada tanggal 29 November 2023

A. Keluhan Utama

Hidung sering tersumbat dan mimisan B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli untuk kontrol dengan keluhan awal hidung sering tersumbat dan mimisan, terutama pada hidung kiri. Keluhan pasien sudah dirasakan sejak kurang lebih satu tahun yang lalu. Onset pertama kali pasien mengalami keluhan yaitu secara spontan tanpa adanya trauma. Pasien mengatakan frekuensi mimisan semenjak satu tahun ini bertambah yaitu bisa mencapai 2x sehari. Pada saat pasien datang ke poli ini merupakan hari ke 23 setelah mendapatkan obat namun keluhan tidak kunjung membaik.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

• Keluhan Serupa : (+) pada saat umur 7 tahun

• Maag : Disangkal

• Asma : (+)

• Alergi : Disangkal

• Trauma : Disangkal

• Vertigo : Disangkal D. Riwayat Penyakit Keluarga

• Keluhan serupa : Disangkal

• Diabetes Mellitus : Disangkal

• Hipertensi : Disangkal

• Alergi : Disangkal E. Gaya Hidup

• Merokok : Disangkal

• Alkohol : Disangkal

(3)

• NAPZA : Disangkal

• Olahraga : 2x seminggu

• Diet : Cukup, 3x sehari dan bervariasi

• Aktivitas : Beraktivitas dirumah sebagai ibu rumah tangga III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan di Poli THT Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta pada tanggal 29 November 2023.

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : sedang

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

Tanda Vital

Tekanan darah : 117/86 mmHg

Nadi : 70x/menit

Pernapasan : 16/menit

Suhu : 36,5°C

A. Kepala

o Ukuran kepala : normocephalic

o Mata : isokor, direk +/+ indirek +/+, konjuctiva anemis -/- o Hidung : sesuai status lokalis

o Mulut : sesuai status lokalis o Telinga : sesuai status lokalis

B. Leher : Tidak terlihat adanya massa, tidak teraba pembesaran limfonodi C. Thorax

o Inspeksi : deformitas (-), ketertinggalan gerak napas (-), iktus kordis tidak terlihat

o Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (-), iktus kordis teraba di SIC 5 linea midclavicularis sinistra

o Perkusi : suara perkusi paru sonor

o Auskultasi : suara paru vesikuler, S1S2 reguler, wheezing -/-, murmur (-), rhonchi -/-

D. Abdomen

o Inspeksi : Simetris, Distensi abdomen (-)

(4)

o Auskultasi : Bising usus, bruit abdominal (-) o Perkusi : Timpani

o Palpasi : DBN

E. Ekstremitas : ROM semua ekstremitas dbn STATUS LOKALIS

A. Pemeriksaan Telinga dan Fungsi Pendengaran

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Auricula Deformitas (-), benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), discharge yang

keluar (-), nyeri tekan (-)

Deformitas (-), benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), discharge yang

keluar (-), nyeri tekan (-)

Tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Planum mastoid Benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), nyeri

tekan/nyeri ketok (-)

Benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), nyeri

tekan/nyeri ketok (-)

Glandula limfatikum Nyeri tekan (-), pembesaran (-) Nyeri tekan (-), pembesaran (-) Canalis auditorius eksternus Serumen (+), edema (-),

hiperemis (-), massa (-), discharge (-)

Serumen (-), edema (-),

hiperemis (-), massa (-), discharge (-)

Membran timpani Ruptur (-), hiperemis (-),

hematotimpani (-), reflek cahaya tidak dapat diperiksa

Ruptur (-), hiperemis (-), hematotimpani (-), reflek cahaya tidak dapat diperiksa

Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada

Kesan Terdapat serumen pada liang telinga kanan

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Rinne Positif Positif

Weber Tidak ada lateralisasi kiri dan kanan

Schwabach Pasien = Pemeriksa Pasien = Pemeriksa

Kesan Fungsi pendengaran dalam batas normal

(5)

B. Pemeriksaan Mulut dan Orofaring

Pemeriksaan Hasil

Bibir Sianosis (-), kering (-), stomatitis (-)

Gusi dan gigi Ulkus (-), karies dentis (-)

Lingua Deviasi (-), atrofi papil (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-), hiperemis (-)

Dasar mulut Ulkus (-), hiperemis (-)

Uvula Tidak tampak deviasi, hiperemis (-)

Dextra Sinistra

Tonsil palatina Tonsil T1/T1,

hiperemis (-), detritus (- ),

granulae (-), ulkus (-)

Tonsil T1/T1, hiperemis (-), detritus (- ),

granulae (-), ulkus (-)

Peritonsilar Abses (-), edema (-) Abses (-), edema (-)

Faring Hiperemis (-), discharge (-), granular (-),

massa (-)

Kesan Mulut dalam batas normal, orofaring dalam

batas normal C. Pemeriksaan Hidung dan Paranasal

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Inspeksi Hidung Luar

Cavum nasi Rhinorrhea (-) Rhinorrhea (-)

Dorsum nasi Massa (-), edema (-), krepitasi (- ), nyeri tekan (+)

Massa (-), edema (-), krepitasi (- ), nyeri tekan (+)

Rhinoskopi Anterior

Vestibulum nasi Mukosa warna merah muda, mukosa tidak pucat, discharge (-), edema (-), hiperemis (-), krusta (-)

Septum nasi Tampak deformitas, mendelep Meatus nasi inferior Hiperemis (+), Masa (-),

Sekret (-)

Hiperemis (+), Masa (-), Sekret (-)

Konka inferior Hiperemis (+), Edema (+) Hiperemis (+), Edema (+) Meatus nasi media Hiperemis (-), sekret (-) Hiperemis (-), sekret (-) Konka media Hiperemis (+), Edema (+),

Hipertrofi (+)

Hiperemis (+), Edema (+), Hipertrofi (+)

Rhinoskopi Posterior

(6)

Nasofaring Tidak dilakukan Tidak dilakukan Fossa Rosenmuller Tidak dilakukan Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Saraf Kranialis

Saraf Kranialis Dextra Sinistra

I Fungsi penciuman baik Fungsi penciuman baik

II Pengelihatan ganda (-), refleks pupil (+), funduskopi tidak dilakukan

Pengelihatan ganda (-), refleks pupil (+), funduskopi tidak dilakukan III, IV, dan VI Ptosis (-), gerak bola mata baik,

nistagmus (-/-), pupil isokor, refleks pupil (+/+)

Ptosis (-), gerak bola mata baik, nistagmus (-/-), pupil isokor, refleks pupil (+/+)

V Tidak terdapat penurunan sensasi pada wajah.

VII Wajah simetris Wajah simetris

VIII Pemeriksaan garputala (sesuai status lokalis)

IX Fungsi menelan baik Fungsi menelan baik

X Tidak tampak deviasi uvula Tidak tampak deviasi uvula XI Fungsi M. Trapezius dan M. sternokleidomastoideus baik XIII Tidak tampak deviasi lidah Tidak tampak deviasi lidah

IV. DIAGNOSIS BANDING - Rhinosinusitis

Torus tubarius Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Muara tuba eustachius Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Adenoid Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Konka superior Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Choana Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sinus paranasal

Inspeksi Eritem (-), benjolan/massa (- ), edema (-), jejas (-)

Eritem (-), benjolan/massa (- ), edema (-), jejas (-)

Palpasi Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (+)

Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

Transluminasi Tidak dilakukan

Kesan Pada hidung kanan dan kiri terdapat hipertrofi pada concha media. Pada sinus paranasal terdapat nyeri tekan pada kedua hidung

(7)

- Epistaksis Anterior - Epistaksis Posterior

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium

PDL (29 November 2023)

Hasil Nilai Rujukan

Jumlah Lekosit 10,47 3,2 - 10,0 x 103/L

Hemoglobin 11,0 (L) Pria: 13 - 18 gr/dL

Wanita: 12 - 16 gr/dL

Hematokrit 32,5 (L) Pria: 40% - 50%

Wanita: 35% - 45%

MCV 86,2 80 – 100 fl

MCH 29,2 28 – 34

MCHC 33,8 32 – 36

Neutrofil 61,7 36 – 73 %

Limfosit 29,5 15 – 45 %

Monosit 7,3 0 – 8%

Eosinofil 1,1 (L) 2 – 4 %

Basofil 0,4 0 – 1 %

Eritrosi 3,77 (L) 4,50 – 6,20 juta/mmk

Trombosit 375 150 – 450 ribu/mmk

Masa Perdarahan 2.30 1.00 – 6.00 menit.detik

Masa Pembekuan 10.00 5.00 – 12.00 detik

GDS 104,6 70 – 140 mg/dL

Natrium 139,3 136 – 146 mmol/L

Kalium 4,28 3,5 – 5,1 mmol/L

Ureum 29,1 14,0 – 40,0 mg/dL

Creatinine 0,76 0,55 – 1,02 mg/dL

Chlorida 108,8 (H) 98,0 – 107,0 mmol/L

(8)

2. MSCT Sinus Paranasal Coronal Slice

Ditemukan pada MSCT Sinus Paranasal Coronal Slice:

- Recessus faringeus tampak terbuka, simetris kanan kiri, tidak tampak tegas adanya soft tissue massa pada dinding cavum nasofaring maupun atap nasofaring

- Atap nasofaring dan ossea basis cranii tampak intact, tidak tampak adanya destruksi

(9)

infiltrasi malignancy.

- Lnn Faringeal tidak tampak prominen

- Septum nasalis ditengah, tidak lurus dengan penebalan krista septi

- Penebalan dan iregularitas mukosa cavum nasi dengan concha nasi tampak prominen, dengan pneumatisasi conchae terutama dextra

- Mucosal thickening sinus maxillaris sinistra

- SPN yang lain tampak bersih, tidak tampak adanya fluid collection.

Kesan:

- Rhinitis reaction dengan conchae bullosa bilateral - Mocosal reaction sinus maxillaris sinistra

VI. DIAGNOSIS KERJA

Rhinosinusitis et epistaksis ec chonca bullosa VII. TATALAKSANA

1. Farmakologi

a) Illiadin Spray 0,05% (10 ml)

R/Oxymetazoline HCl nasal spray 0,05% fl. No. I S.2.d.d.puff.II.N.D.S.

b) Rhinofed (2,5+60) mg Tablet

R/ Rhinofed Tab (2,5+60) mg. No XV S.2.d.d. Tab ½.

c) Natrium diklofenak 50 mg Tablet

R/ Natrium Diklofenak Tab 500 mg. No X S.2.d.d.p.r.n.Tab I (bila nyeri)

2. Non-Farmakologi

a) Tampon hidung apabila terjadi perdarahan VIII. EDUKASI

Pasien dan keluarga diedukasi mengenai kelainan anatomis (concha hipertrofi) yang diderita pasien sehingga membuat pasien sering merasa hidungnya tersumbat dan mimisan. Apabila tidak segera dioperasi maka keluhan pasien tidak berkurang hanya dengan tatalaksana obat saja. Pasien juga diminta untuk tidak sering menggorek hidung.

IX. PLAN

- Motivasi untuk dilakukan prosedur operasi reduksi concha - Kontrol selama 1 minggu di spesialis THT-KL

(10)

X. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA RHINOSINUSITIS

2.1. Definisi

Rinosinusitis adalah suatu penyakit peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya, dengan dua gejala atau lebih, salah satunya berupa sumbatan atau obstruksi atau nasal discharge dan disertai nyeri pada wajah dan/atau berkurangnya sensitivitas pembau berlangsung lebih 12 minggu.

2.2. Epidemiologi

Rinosinusitis akut memiliki prevalensi 6-15% dalam satu tahun dan biasanya konsekuensi dari virus flu biasa, sedangkan rinosinusitis kronis adalah masalah kesehatan yang signifikan dan mempengaruhi 5-12% dari populasi umum. Prevalensi rinosinusitis kronik di Amerika Serikat mencapai 14-16% dari populasi, terdapat 18- 22 juta pasien yang mengunjungi poliklinik dan 545.000 pasien yang masuk ke ruang emergensi. Setelah penelitian yang mengikuti metode yang kurang lebih sama menunjukkan prevalensi 5,5% di Brasil, 8% di Cina, 11% di Korea Selatan, 12% di Amerika Serikat, 16% di Belanda 28% di Iran dan di Eropa penyakit rinosinusitis kronik diperkirakan sekitar 10 – 15%.

2.3. Klasifikasi

Menurut American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO- HNS), rinosinusitis di klasifikasikan menjadi 3, yaitu :

Tabel Klasifikasi Rinosinusitis

Klasifikasi Durasi

• Akut • 4 minggu

• Sub akut • 4 - 12 minggu

• Akut rekuren 4 atau lebih episode berulang

• Kronik • 12 minggu

2.4. Etiologi

Rinosinusitis akut dan kronik memiliki gambaran bakteriologi yang berbeda.

Rinosinusitis akut dapat disebabkan oleh bakteri, yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis,

(12)

sedangkan virus yang paling umum pada rinosinusitis akut adalah rhinovirus, adenovirus, virus influenza, dan virus parainfluenza. Pada rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah S. Aureus, Staphylococus koagulase negatif, Gram negatif, dan juga bakteri anaerob.

2.5. Gejala Klinis

Rinosinusitis kronik ditandai dengan adanya dua atau lebih lebih gejala, salah satunya hidung tersumbat, nyeri atau rasa tertekan di wajah dan penurunan atau hilangnya penghidu. Gejala yang sering dijumpai pada penderita rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat. Hidung tersumbat terjadi akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan proses infeksi, alergi, serta sekret kental karena infeksi sekunder dan juga oleh karena sebab lain seperti polip nasi, hipertrofi konka dan septum deviasi juga mengeluhkan gejala lain seperti keluarnya cairan hidung bernanah, sakit kepala, dan sakit gigi.

Rinosinusitis kronik ditandai dengan 5 gejala mayor yang telah terjadi setidaknya selama 12 minggu, yaitu kongesti nasal, rasa sakit atau tertekan pada wajah, obstruksi nasal, adanya sekret di hidung bagian anterior dan posterior, serta menghilanganya daya penciuman. Menurut EPOS 2020 ada dua atau lebih gejala rinosinusitis kronik yaitu hidung tersumbat, nyeri pada wajah dan pengurangan atau hilangnya penciuman yang terjadi selama 12 minggu.

2.6. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam kompleks ostio-meatal. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk kompleks ostio-meatal letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri sehingga sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karenaada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan

(13)

ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan rnukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.

2.7.Diagnosis

Rinosinusitis kronis didiagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat sinonasal, termasuk komorbiditas terkait rinosinusitis kronis dan riwayat keluarga.

Pedoman konsensus klinis dari American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery mendefinisikan rinosinusitis kronik ada setidaknya dua dari empat gejala utama yaitu, nyeri wajah, hiposmia atau anosmia, sumbatan hidung, dan drainase hidung selama 12 minggu berturut-turut. Bukti objektif pada pemeriksaan fisik adalah drainase mukopurulen, edema, polip di meatus tengah atau radiografi.

CT-Scan sinus paranasal merupakan pemeriksaan penunjang pilihan untuk diagnosis rinosinusitis kronik dan dapat mengevaluasi kavum nasi, kompleks osteomeatal, sinus paranasal, dan dapat memperlihatkan perluasan serta komplikasi penyakit. Lund dan Mackay telah mengembangkan suatu sistem berdasarkan skor dari CT-Scan sinus paranasal untuk menilai kuantifikasi proses peradangan pada sinus paranasal sebelum pembedahan. CT sinus telah menjadi standar emas untuk pencitraan sinus pada kasus penyakit sinus yang rumit karena peningkatan visualisasi anatomi sinus.

Radiografi polos dapat mendeteksi penebalan mukosa, tingkat cairan udara, kekeruhan sinus, varian anatomi, dan benda asing, tetapi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang buruk untuk penyakit sinus dan oleh karena itu biasanya tidak direkomendasikan. Pencitraan Resonansi Magnetik atau MRI dengan dan tanpa kontras intravena dapat digunakan untuk mengevaluasi penyakit sinus, tetapi ini bukanlah tes pencitraan pertama yang dilakukan.

2.8. Pengobatan

Perawatan atau pengobatan rinosinusitis kronik umumnya melibatkan kortikosteroid, antibiotik, dan pembedahan dengan tujuan pengobatan pada pasien dengan rinosinusitis kronis adalah untuk mengelola gejala dan meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup. Pengobatan diarahkan untuk meningkatkan pembersihan mukosiliar, memperbaiki drainase/aliran keluar sinus, menghilangkan infeksi dan peradangan lokal, dan meningkatkan akses untuk obat topikal.

a. Antibiotik

Antibiotik sering diperlukan mengingat sulitnya membasmi patogen yang ada dirongga sinus. Kadang-kadang, antibiotik profilaksis dapat berguna untuk

(14)

mengurangi frekuensi eksaserbasi rinosinusitis kronik.Terapi antibiotik untuk rinosinusitis kronis dapat bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Pada pasien dengan rinosinusitis kronis dan infeksi, pendapat ahli menyarankan terapi antibiotik jangka pendek yang dipandu oleh kultur endoskopik cairan yang diperoleh melalui endoskopi hidung. Penggunaan antibiotik makrolida jangka panjang, yang dikenal memiliki anti-inflamasikhasiat, untuk mengobati rinosinusitis kronis.

b. Dengokestan

Dekongestan oral dan topikal, merupakan pilihan untuk menghilangkan gejala di rinosinusitis, harus digunakan dengan hati- hati dan tidak lebih dari 3 sampai 5 kali berturut-turut. Namun, dekongestan oral tidak direkomendasikan karena kurangnya klinis percobaan yang telah mempelajari keefektifannya dalam sinusitis akut. Dekongestan oral berguna untuk vasokonstriksi, namun tidak mempunyai efek anti inflamasi. Efek samping yang dapat ditimbulkan palpitasi, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, membran mukosa kering, retensi urin, eksaserbasi glaukoma.

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama dalam manajemen medis rinosinusitis kronik dan pilihan untuk perbaikan jangka pendek dengan gejala pada pasien dengan polip yang sudah ada terapi pemeliharaan (irigasi saline hidung) dan semprotan kortikosteroid intranasal.

d. Irigasi hitung dengan larutan saline

Irigasi hidung dengan larutan saline dapat menghilangkan mediator inflamasi, sehingga menghasilkan kontrol yang lebih baik, efeknya tidak hanya dalam menghilangkan gejala tetapi juga dalam menahan peradangan dan telah direkomendasikan sebagai pengobatan tambahan untuk rinosinusitis. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa melakukan irigasi saline setiap hari dapat mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien dengan rinosinusitis kronis. Irigasi salin idealnya digunakan dalam kombinasi dengan semprotan kortikosteroid intranasal.

e. Bedah

Bedah sinus endoskopik adalah cara yang efektif pengobatan rinosinusitis kronis ketika terapi medis tidak efektif. Tujuan dari operasi sinus endoskopik pada pengobatan rinosinusitis kronis adalah untuk memberikan ventilasi dan drainase sinus paranasal, untuk memperbesar sinus paranasal untuk menciptakan akses yang lebih besar untuk topikal obat-obatan. Namun, pembedahan harus dipertimbangkan untuk pasien dengan rinosinusitis kronik yang berespons buruk

(15)

terhadap terapi medis dan terutama ditujukan untuk menghilangkan penyakit mukosa dan yang terlibat tulang di dalam sinus dan memulihkan drainase sinus fungsional.

2.9. Komplikasi

a. Abses subperiosteal

Abses subperiosteal merupakan salah satu komplikasi dari rinosinusitis baik akut ataupun kronis. Diagnosis rinosinusitis kronik dengan komplikasi abses periorbita ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, nasoendoskopi, tomografi komputer serta Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Abses subperiosteal pada dinding anterior sinus frontal yang terjadi akibat osteomielitis tulang frontal dan merupakan komplikasi rinosinusitis kronik yang sering terjadi.

b. Infeksi intrakranial

Adanya komplikasi intrakranial pada rinosinusitis kronis memiliki prognosis yang buruk. Komplikasi intrakranial yang paling sering terjadi adalah abses dan empiema. Triad klasik yang biasa dialami pasien dengan kecurigaan abses serebri adalah demam, nyeri kepala dan adanya defisit neurologis fokal.

Jika rinosinusitis tidak diobati atau tidak diobati dengan benar, maka dapat menyebabkan komplikasi lokoregional dan menyebabkan komplikasi berpotensi yang mengancam jiwa.

c. Orbita

Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan infeksi rinosinusitis akut pada anak dan pada orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik adanya infeksi pada sinus juga dapat menimbulkan komplikasi pada jaringan disekitar sinus. Pada rinosinusitis frontalis didapatkan pembengkakan pada kelopak mata atas, pada rinosinusitis maksilaris pada kelopak mata bawah serta, pada ethmoidalis pembengkakan didapatkan pada kedua kelopak mata baik atas maupun bawah.

EPISTAKSIS 2.1 Anatomi

Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dan atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh

(16)

kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka hidung luar dibentuk oleh 1) tulang hidung (Os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) pars nasalis os frontalis, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari lempeng-lempeng tulang rawan hialin yang terletak di bagian bawah hidung.

Gambar 1. Hidung luar dan septum nasi.

A. Permukaan lateral rangka tulang dan cartilaginosa hidung luar.

B. Facies anterior rangka tulang dan cartilaginosa hidung luar.

C. Rangka tulang dan cartilaginosa septum nasi (sekat rongga hidung).

Kavum Nasi

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Septum nasi dibentuk oleh cartilago septi nasi, lamina verticalis osis ethmoidalis, dan vomer. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang bermuara ke dalam nasofaring.

Bagian dan kavum nasi yang letaknya tepat di belakang nares, disebut vestibulum.

Gambar 2. A. Dinding lateral cavum nasi kanan. B. Dinding lateral cavum nasal kanan;

concha nasalis superior, media, dan inferior dibuang sebagian untuk memperlihatkan

(17)

muara dari sinus paranasalis dan ductus lacrimalis ke dalam meatus.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis Os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis Os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dan labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dan letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dan os etmoid, tulang ini berlubang- lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dan a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dan cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dan foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

(18)

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dan cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dan cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Pendarahan cavum nasi berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris, yang merupakan salah satu cabang terminal arteria carotis externa. Cabang yang terpenting adalah arteria sphenopalatina. Arteria sphenopalatina beranastomosis dengan ramus septalis arteria labialis superior yang merupakan cabang dari arteria facialis di daerah vestibulum. Darah di dalam anyaman vena submucosa dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.

Gambar 3. A. Dinding lateral cavum nasi memperlihatkan pendarahan membrana mucosa. B. Septum nasi memperlihatkan pendarahan membrana mucosa.

2.2 Definisi

Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung.

Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Epistaksis bisa disebabkan oleh faktor lokal maupun sistemik.

2.3 Epidemiologi

Epistaksis merupakan kejadian perdarahan spontan kedua yang sering terjadi.

60% pasien pernah mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis dalam hidup mereka. 80% kasus terjadi karena rupturnya pleksus Kiesselbach. Insiden epistaksis

(19)

sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita. Pada anak-anak, 30% pasien yang mengalami perdarahan pada salah satu hidung berkisar pada umur 5 tahun. Pada anak yang berusia antara 6-10 tahun mengalami peningkatan jumlah hingga 56%.

Perdarahan hidung jarang terjadi pada awal masa kelahiran dan pasca pubertas.

Epistaksis paling umum terjadi pada anak yan tinggal pada daerah yang kering, khususnya jika mereka memiliki riawayat infeksi pernafasan atas atau rinitis alergi.

Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar episode berhenti secara spontan atau dengan self treatment dan karena itu tidak dilaporkan.

Kejadian epistaksis sedikit lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Bagi kebanyakan orang, epistaksis merupakan gangguan fisiologis saja. Namun, masalah yang mengancam nyawa pada pasien dengan usia lanjut dan adanya penyakit yang mendasari seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

2.4 Etiologi

Epistaksis memiliki penyebab lokal dan sistemik. Faktor-faktor lokal seperti trauma, benda asing dan penggunaan alat medis seperti intubasi endotrakeal dan nasogastric tube juga merupakan penyebab epistaksis. Infeksi dan inflamasi seperti sinusitis, rinitis alergi dan dekongestan topikal juga merupakan faktor lokal yang berkontribusi terhadap epistaksis.

Faktor sistemik seperti kardiovaskular terkait dengan risiko kejadian epistaksis karena volume yang berlebihan dan peningkatan tekanan di pembuluh darah vena yang memicu pecahnya daerah pleksus Kiesselbach.

Faktor-faktor ini termasuk gagal jantung kongestif, stenosis mitral, obstruksi vena kava superior. Disfungsi koagulasi biasanya terjadi pada penggunaan obat-obatan seperti OAINS, clopidogrel dan warfarin. Sepertiga pasien dengan epistaksis berulang memiliki gangguan hemostasis yang mendasari seperti defisiensi faktor koagulasi, penyakit Von Willebrand dan beberapa kelainan fungsi platelet yang langka.

Tabel 1. Penyebab epistaksis.

(20)

Tipe Penyebab

Lokal Idiopatik

Sinusitis kronik Rinitis

Neoplasma intranasal Perforasi septum Iritan (contoh : rokok)

Deviasi septum Infeksi Trauma Neoplasia Benda Asing Telengiektasis

Sistemik Hipertensi

Obat-obatan (antikoagulan)

Penyakit kelainan darah seperti hemofilia, leukimia Disfungsi platelet

Trombositopenia

Penyakit hati seperti sirosis hepatis 2.5 Patofisiologi

Suplai darah dari hidung sangat kompleks dan didistribusi sebagian besar oleh arteri karotis interna dan eksterna. Arteri karotis eksterna memperdarahi hidung melalui arteri fasialis dan arteri maxilla interna. Arteri labialis superior yang merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis yang berkontribusi sebagai suplai darah pada bagian anterior hidung dan septum melalui cabang septum. Arteri maksilla interna memasuki fossa pterigomaksilla dan membelah menjadi 6 cabang yaitu alveolar superior posterior, palatina decendens, infraorbital, sphenopalatina, pterygoid canal dan pharyngeal. Arteri palatina descendens melalui canalis palatina mayor dan sebagai suplai darah pada bagian dinding lateral kavum nasi. Masuk kembali ke hidung melalui cabang dari foramen foramen incisive untuk mengirigasi septum anterior. Arteri sphenopalatina memasuki hidung melalui foramen sphenopalatina yang terletak kira-kira 10 mm secara dorsal ke garis teoritis yang ditarik antara kedua pasang posterior dari turbinat tengah dan bawah untuk mesuplai dinding hidung lateral, dan juga memiliki cabang ke septum. Arteri karotid internal mengirigasi hidung melalui arteri ophthalmic yang memasuki tulang orbita melalui fisura orbita superior dan terbagi menjadi beberapa cabang.

Salah satunya, arteri ethmoid posterior yang keluar dari orbit untuk hidung

(21)

melalui foramen ethomoid posterior, terletak 2 mm sampai 9 mm anterior ke kanal optik. Arteri ethmoid anterior keluar dari orbit melalui foramen ethmoid anterior.

Kedua pembuluh darah tersebut melewati atap ethmoid untuk memasuki fossa cranial anterior dan kemudian turun ke rongga hidung di mana terbagi menjadi cabang lateral dan cabang septum untuk mesuplai dinding lateral hidung dan septum hidung. Plesus Kiesselbach atau Little Area, terletak di sepertiga bawah septum tulang rawan dan merupakan sumber yang paling sering untuk kebanyakan epistaksis anterior. Banyak dari arteri yang mesuplai septum memiliki anastomosis di pleksus ini. Mukosa yang menutupi area ini tipis dan rapuh dan pembuluh-pembuluh kecil yang mesuplai selaput lendir hidung memiliki dukungan struktural yang minimal. Kemacetan pembuluh darah yang disebabkan oleh kondisi seperti URI atau pengeringan mukosa dari kelembaban lingkungan yang rendah membuat daerah ini rentan terhadap perdarahan. Saraf sensorik mengikuti pola umum anatomis pembuluh darah.

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada epistaksis akan tergantung pada etiologi dan patofisiologi yang mendasarinya. Namun, pasen mungkin akan berubah secara emosional karena kehilangan darah yang bisa mereka amati. Kecemasan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan takikardi.

Berdasarkan sumber perdarahan, epistaksis terbagi atas epistaksis anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoidalis anterior, a.

labialis superior dan a. palatina mayor. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Perdarahan biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak-anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.

Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis aau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahnya a. sfenopalatina.

2.7 Penegakkan Diagnosis

Pada anamnesis, ditanyakan mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, durasi, riwayat perdarahan di hidung sebelumnya dan sumber perdarahan apakah dari depan atau dari belakang hidung. Pertanyaan selanjutnya yaitu mengenai tatalaksana awal yang dilakukan oleh pasien untuk menghentikan perdarahan. Riwayat trauma pada kepala dan leher sehingga menimbulkan gejala perdarahan pada hidung perlu

(22)

ditanyakan kepada pasien. Selain itu, seorang dokter juga harus menanyakan mengenai kondisi medis yang menyertai (seperti hipertensi, aterosklerosis, koagulopati, penyakit hati), obat-obatan yang sedang dikonsumsi (seperti komadin, NSAID), riwayat merokok dan minum alkohol juga penting untuk ditanyakan.

Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan memastikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harus diperiksa dengan teliti untuk menentukan lokasi dan penyebab perdarahan. Lampu kepala dan spekulum hidung sebaiknya digunakan untuk visualisasi yang optimal.

Jika pasien mengalami trauma nasal, perhatikan adanya septal hematoma, yang tampak berupa massa hitam kebiruan pada septum anterior memenuhi kavum nasal.

Terkadang dapat dilihat hemangioma mukosa atau teleangiektasis. Jika tidak dijumpai sumber perdarahan, namun dijumpai darah yang mengalir di tenggorokan, kemungkinan asal perdarahan dari daerah posterior.

Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan atau tidak membantu pada epistaksis untuk yang pertama kalinya atau jarang berulang dan disertai dengan riwayat mengorek hidung atau trauma terhadap hidung. Tetapi, pemeriksaan penunjang diperlukan bila terjadi perdarahan hebat atau dicurigai terdapat koagulopati.

1) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kondisi pasien dan masalah medis penyebab epistaksis. Pemeriksaan ini tidak dilakukan bila perdarahan bersifat minor dan tidak berulang. Bila terdapat riwayat perdarahan yang berat dan berulang, kelainan platelet atau neoplasia dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Bleeding time digunakan untuk menilai kecurigaan terdapatnya kelainan perdarahan dan pemeriksaan INR (International Normalized Ratio) aPTT(activated Partial Thromboplastin Time) dan PT (Prothrombin Time) dilakukan bila pasien dicurigai mengonsumsi warfarin atau menderita penyakit liver.

2) Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan CT-Scan dan MRI diindikasikan untuk menilai anatomi dan menentukan kehadiran dan perluasan dari rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.

3) Nasofaringoskopi

Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai sebagai penyebab perdarahan.

2.8 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ada empat yaitu:

(23)

• Langkah awal pertolongan pertama

• Pemantauan kehilangan darah

• Evaluasi penyebab

• Melakukan prosedur untuk menghentikan perdarahan

Langkah awal pertolongan pertama pada pasien adalah pemeriksa memeninta pasien untuk dalam posisi duduk dengan badan membungkuk ke depan agar tidak tertelan darah. Kemudian minta pasien untuk menekan hidung secara bersamaan dan pasien diminta untuk bernafas lewat mulut (gambar 4.a). Menekan tulang hidung adalah cara yang salah dan tidak efektif (gambar 4.b).

Gambar 4. (a). Kompresi manual dengan tehnik yang benar. (b) kompresi manual dengan tehnik yang salah.

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.

Untuk mengevaluasi penyebab kita perlu untuk menghentikan perdarahannya terlebih dahulu. Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan antara lain yaitu lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap.

Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/5000- 1/10.000 lalu dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pdaa saat dilakukan tindakan selanjutnya.

Tampon dibiarkan selama 10-15 menit lalu dibuka kemudian dilihat apakah perdarahan berasal dari anterior atau posterior.

B A

(24)

Gambar 5. Algoritma Tatalaksana Epistaksis

2.8.1 Epistaksis Anterior

Penatalaksanaan pada epistaksis anterior tidak terlalu membutuhkan perawatan medis yang intensif karena biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri. Pasien diminta untuk menekan hidung luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil.

Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu dan sesudahnya diberikan krim antibiotik.

(25)

Bila dengan kaustik pendarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa sebanyak 2-4 buah yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotika. Pemakaian pelumasdiperlukan agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan pendarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Dapat juga dipakai tampon rolyang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapatdipertahankan selama 1-2 hari, setelah 1-2 hari, harus diambil untuk mencegahinfeksi hidung. Bila pendarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.

Gambar 6. Pemasangan tampon anterior 2.8.2 Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pernenikaaan rinoskopi anterior.

Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya ditangani oleh dokter spesialis. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.

Posterior nasal packing atau tampon posterior dilakukan dengan memasukkan

(26)

kateter melalui salah satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui mulut. Tampon kasa di kaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari hidung sehingga tampon kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran rogga hidung posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan. Bila masih ada perdarahan maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dan hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di ternpatnya. Benang lain yang keluar dan mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.

Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.

Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa. Bila perdarahan berat dan kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.

Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dan bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian

endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan endoskop.

Gambar 6. Pemasangan tampon posterior

(27)

2.9 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menyebabkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.

Pada kauterisasi dapat terjadi sinekia dan perforasi septum. Pada pemasangan tampon anterior juga dapat menyebabkan sinekia, rinosinusitis, sindrom shock toksik dan disfungsi tuba eustachius. Pemasangan tampon posterior dapat terjadi disfagia, luka pada ala nasi dan columela, hipoventilasi dan bisa terjadi tuli mendadak.

2.10 Prognosis

Prognosis pada kasus epistaksis umumnya adalah baik tetapi bisa jadi prognosisnya bervariasi. Penanganan yang bersifat suportif dan mengontrol penyakit yang mendasari dapat mengurangi perdarahan berulang. Sebagian pasien memiliki tingkat kekambuhan kecil yang dapat sembuh spontan atau membutuhkan perawatan yang minimal. Sebagian kecil lainnya perlu mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Faktor yang menyebabkan terjadinya perdarahan yang berulang yaitu usia, riwayat hipertensi sebelumnya, penggunaan obat antikoagulan, tanda- tanda vital pasien, jenis kemasan tampon dan riwayat epistaksis posterior yang berat sebelumnya.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Soto-Galindo GA, Treviño González JL. 2017. Epistaxis Diagnosis and Treatment Update: A Review. Annals of Otolaryngology and Rhinology Review. 4(4): 1176.

Kucik C., Clenney T. 2005. Management of Epistaxis. American Academy of Family Physician. 71(2).

Dhillon. R.S., East C.A. 2000. Ear, nose, and throat and Head and Neck Surgery Second Edition. China: Hartcourt Publishers.

Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.

Bertrand B., Eloy Ph., Rombaux Ph., Lamarque C., Watelet JB., Collet S. 2005. Guideline of the management of epistaxis. 1:27-43.

Van De Water, Thommas R., Staecker, Henrich. 2006. Otolaryngology Basic Sciene and Clinical Review. United States of America: Thieme Medical Publishers Inc.

Probst R., Grevers G., Heinrich I. 2006. Basic Otorhinolaryngology. New York: Geig Thieme Verlag Stuttgart .

Osguthorpe JD, Hadley JA. Rhinosinusitis: Current concepts in evaluation and management.

Otolaryngol Head and Neck Surg 119: S24-S29,2006.

Higler PA. Penyakit Sinus paranasal, dalam: Buku ajar penyakit THT, EGC, Jakarta, 2003:210- 225.

Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In: Bailey BJed.

Head and neck surgery otolaryngology. 2th Ed. Lippincott-Raven. Philadelphia,1998;442- 52.

Greevers G,Diseases of the nose and paranasal sinuses. In:Probst R ed. Basic otorhinolaryngology - a step by step learning guide. Thieme. New York,2006;54-6

Gustafson RO,Bansberg SF.Sinus surgery.In:Bailey BJ ed.Head and neck surgery otolaryngology. 2th Ed. Lippibcott Raven. Philadelphia, 1998; 458 - 67.

Referensi

Dokumen terkait

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan

CT-Scan pada sinusitis akan tampak  penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding

Pato$isiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan in$lamasi mukosa hidung khususnya kompleks osteomeatal. edem mukosa akan

Sinusitis kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai

Squamous cell carcinoma (ICD-O 8070/3) merupakan tumor ganas epitel yang berasal dari epitel mukosa rongga hidung atau sinus paranasal yang terbagi. atas tipe keratin dan

Triolit Z, 2004, ‘Hubungan Kelainan anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Dengan Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis Berdasarkan Gambaran CT-Scan Sinus Paranasal dan Temuan

Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan tanda- tanda edema mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat mengurangkan

ABSTRAK Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa atau selaput lendir pada hidung dan sinus paranalisis yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis etmoid,