Klaster : Eksakta Skema : Dasar
LAPORAN PENELITIAN
PENELITIAN INTERNAL UNISSULA
Pembuatan Hewan Model Rhinosinusitis Infeksi Staphylococcus Aureus
dr. Andriana Tjitria Widi Wardani, Sp THT M.Si.Med / 0618046502 dr. Agung Sulistyanto, Sp.THT-KL / 0628046802
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
MARET 2021
HALAMAN PENGESAHAN USULAN PENELITIAN INTERNAL PERGURUAN TINGGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)
Judul Penelitian : Pembuatan Hewan Model Rhinosinusitis Infeksi Staphylococcus Aureus
Bidang Penelitian : Kesehatan
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : dr. Andriana TWWS, Sp THT., M.Si.Med.
b. NIP/NIK : 210106110
c. NIDN : 0618046502
d. Jabatan Fungsional : Lektor e. Jabatan Struktural :
f. Fakultas/Jurusan : Kedokteran Umum
g. Pusat Penelitian : Universitas Islam Sultan Agung h. Alamat Institusi : Jl. Raya Kaligawe KM.4 Semarang i. Telp/Faks/Email : 024-6583584/024-6582455
[email protected] Waktu Penelitian : Tahun ke 1
Pembiayaan :
a. Tahun pertama : b. Tahun kedua : c. Tahun ketiga :
d. Biaya dari institusi lain Rp10.000.000,-
Mengetahui, Dekan
(Dr. dr. Setyo Trisnadi, Sp.KF., SH) NIK. 210199049
Semarang, 11 Maret 2021
Ketua Peneliti,
(dr. Andriana, Sp THT M.Si.Med) NIDN. 0618046502
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan
(Prof. Dr. Heru Sulistyo, SE., M.Si) NIK. 210493032
ABSTRAK
Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa atau selaput lendir pada hidung dan sinus paranalisis yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis etmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang.
Rhinosinusitis disebabkan oleh semua keadaan yang mengakibatkan tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung. Apabila rhinosinusitis tidak diobati atau tidak sembuh sempurna, maka dapat menimbulkan beberapa komplikasi bagi si penderita seperti infeksi pada otak, infeksi / bengkak jaringan di sekitar bola mata, penurunan fungsi penglihatan, infeksi tulang sekitar sinus nanah keluar dari wajah, perubahan bentuk wajah / menonjol / bengkak, dan radang tenggorokan sering kambuh. Tujuan utama sistem medis dalam Islam adalah untuk mempertahankan kesehatan ketimbang menyembuhkan penyakit. Sinusitis yang tidak segera ditangan juga dapat menyebabkan hilangnya kemampuan indera penciuman secara permanen. Biasanya sinusitis cukup diatasi dengan obat- obatan. Tetapi pada kasus tertentu, sinusitis harus ditangani dengan operasi.
Pembuatan hewan model rhinosinusitis dilakukan dengan cara nares kanan tikus diblokir secara sesisi dengan menggunakan tamponade merocel. Kemudian dibuat sayatan pada kulit, bagian superior dari sinus maksilaris. Induksi intraperitonial dan induksi intranasal 0,1 ml larutan Streptococcus aureus tipe 1, yang terdiri dari 107-109 S. aureus / ml diinokulasi ke dalam sinus maksilaris kanan. Jumlah yang sama dari garam fisiologis juga disuntikkan ke sinus maksilaris kiri sebagai agen kontrol.
Keyword : Rhinosinusitis, Hewan Model
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG :
Rinosinusitis akut (RSA) adalah masalah kesehatan umum pada anak-anak dan orang dewasa. RSA didefinisikan sebagai infeksi sinus paranasal, dengan gejala yang menyertai lebih dari 10 hari dan kurang dari 4 minggu. Sulit membedakan antara sinusitis bakteri dan virus, sebagian besar akan setuju jika rinosinusitis viral biasanya sembuh dalam 7 sampai 10 hari, sedangkan rinosinusitis bakteri tetap persisten, tidak ada tanda dan gejala rinosinusitis yang sangat sensitif dan spesifik, tidak ada tanda klinis yang khusus untuk mendiagnosenya dan manajemen penatalaksanaannya. Sangat penting membedakan gejalanya dengan rinitis alergi atau vasomotor dan komplikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). (Almutairi et al., 2017) (Leung dan Katial, 2008) (Jochen W. L. Cals, MD, 2010) (Sedaghat et al., 2014)
Apabila rhinosinusitis tidak diobati atau tidak sembuh sempurna, maka dapat menimbulkan beberapa komplikasi bagi si penderita seperti infeksi pada otak, infeksi / bengkak jaringan di sekitar bola mata, penurunan fungsi penglihatan, infeksi tulang sekitar sinus nanah keluar dari wajah, perubahan bentuk wajah / menonjol / bengkak, dan radang tenggorokan sering kambuh.
Model hewan eksperimental banyak digunakan untuk mempelajari patogenesis penyakit, untuk memeriksa hasil perawatan dan pengembangan penyembuhan dini. Hal tersebut demi pencegahan tidakan pembedahan pada pasien yang memerlukan biaya yang mahal dan resiko yang lebih besar.
1.1 TUJUAN PENELITIAN :
Untuk mengembangkan model tikus rinosinusitis bakteri akut.
1.2 LUARAN PENELITIAN
Publikasi ilmiah di jurnal Sains Medika.
1.4 URGENSI
Penelitian ini perlu dilakukan untuk pengembangan metode penyembuhan rinosinusitis akut dengan menggunakan model hewan coba.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut adalah penyakit umum dengan prevalensi di seluruh dunia. Ini adalah beban yang signifikan pada layanan kesehatan. Ini paling sering disebabkan oleh virus dan bersifat mandiri. Diagnosis rinosinusitis akut bersifat klinis dan radiografi sinus tidak diindikasikan secara rutin. Sebagian besar kasus rinosinusitis akut diobati secara simtomatik. Namun, gejala dapat bertahan lebih dari 10 hari ketika infeksi bakteri sekunder terjadi. Antibiotik dicadangkan untuk kasus sedang atau berat atau ketika ada perkembangan komplikasi rinosinusitis akut. Makalah ini memberikan pembaruan tentang manajemen rinosinusitis akut saat ini.
Rhinosinusitis adalah masalah kesehatan yang signifikan di seluruh dunia. Ini adalah infeksi pada saluran hidung dan sinus paranasal. Istilah "sinusitis" biasanya membawa arti berbeda bagi pasien dan dokter perawatan primer. Pasien umumnya menganggap gejala-gejala seperti sakit kepala, sakit wajah, hidung tersumbat, atau rinorea sebagai “masalah sinus” padahal sebenarnya itu mungkin disebabkan oleh berbagai alasan lain. Dokter perawatan primer sering cenderung menganggap sinusitis sebagai infeksi bakteri akut, karenanya antibiotik diresepkan pada 92% pasien di UK1 dan 85-98% pasien sinusitis di AS.2 Pada 2003, jumlah resep medis untuk akut sinusitis bakteri lebih dari 7,6 juta di Jerman. Di Prancis, sekitar 7% dari semua antibiotik diresepkan untuk mengobati dugaan sinusitis bakteri akut.4 Perkiraan biaya pengobatan tahunan di Inggris adalah £ 10 juta (€ 14,7 juta, US $ 20 juta ). Pada tahun 1996, total biaya obat resep dan non-resep yang digunakan untuk pengobatan sinusitis di AS diperkirakan $ 3,39 miliar (€ 2,5 miliar, £ 1,7 miliar). Rhinosinusitis telah menyumbang 12 hingga 17 juta per tahun kunjungan ke dokter dan untuk 12% antibiotik yang diresepkan untuk orang dewasa di AS, menjadikannya salah satu dari 10 kondisi paling umum untuk dirawat dalam praktik rawat jalan.
2.2. Model Hewan Coba
Model hewan eksperimental diperlukan untuk menilai kemanjuran prosedur medis dan bedah. Peneliti yang ingin mengkonfirmasi dan mempublikasikan hasilnya harus mengatasi kontroversi mengenai validitas modelnya dan, oleh karena itu, memerlukan pedoman untuk standardisasi.
BAB III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan posttest group design.
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di IBL FK Universitas Islam Sultan Agung Semarang dengan tikus putih jantan (Rattus Norwegians) dengan galur Sprague Dawley sebagai hewan coba.
3.2 Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : rinosinusitis skala pengukuran :
2. Variabel Terikat : hewan model skala pengukuran:
3.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah tikus putih jantan umur 8 – 12 minggu, berat badan 200 – 300 gram, diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada
3.4 Tahapan Penelitian
• Hewan dibagi secara acak pada kelompok:
• Kelompok K 5 ekor tanpa Infeksi.
• Kelompok P14 5 ekor dengan perlakuan.
• Kelompok P21 5 ekor dengan perlakuan.
• Nares kanan tikus diblokir secara sesisi dengan menggunakan tamponade merocel.
• Pada hari berikutnya, hewan dibius dengan injeksi ketamin HCI intramuskuler (50 mg / kg).
• Kemudian dibuat sayatan pada kulit, bagian superior dari sinus maksilaris.
• 0,1 ml larutan Streptococcus aureus tipe 1, yang terdiri dari 107-109 S. aureus / ml, diinokulasi ke dalam sinus maksilaris kanan. Jumlah yang sama dari garam fisiologis juga disuntikkan ke sinus maksilaris kiri sebagai agen kontrol.
• 0,1 ml larutan Streptococcus aureus tipe 1, yang terdiri dari 107-109 S. aureus / ml, disuntikkan secara intraperitonial
• Setelah 14 dan 21 hari, semua hewan dikorbankan dengan menggunakan dosis mematikan dari intracardiac sodium pentothal dan sinus maksilaris segera dibuka.
• Semua mukosa sinus maksilaris diangkat. Mukosa yang dihilangkan dibagi menjadi pasangan untuk evaluasi histopatologis.
• Spesimen diwarnai dengan hemotoxylineosin dan diperiksa menggunakan mikroskop cahaya. Analisis histopatologis dari sisi eksperimental dibandingkan dengan sinus kontrol normal.
Alur Penelitian
15 ekor tikus putih Jantan Umur 8-12 minggu Berat badan ± 200-300 gr
K
5 ekor tanpa Infeksi
P 10 ekor Infeksi Staphylococcus Aureus dan
Tikus putih dikorbankan dengan dislokasi servical
Jaringan sinus paranasal diambil dan dibuat preparat untuk pemeriksaan histopatologi.
Analisis data
5 ekor 14 hari
5 ekor 21 hari
3.5 Lembar Persetujuan etik
Seluruh prosedur penelitian akan diajukan kepada komisi bioetik Fakultas Kedokteran Unissula sebelum dimulai.
3.6 Analisis data
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
Roadmap Penelitian
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian
Penelitian pembuatan hewan model Rhinosinusitis Infeksi Staphylococcus Aureus dilakukann di IBL FK Unissula. Menggunakan 15 ekor tikus tikus putih jantan (Rattus Norwegians) dengan galur Sprague Dawley.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil gambaran histopatologi sebagai berikut :
Tabel 4.1 Hasil pembacaan histopatologi preparat sinus
No kelp Tanda inflamasi akut
Edema Hiperemia Sebukan
Neutrofil Nekrosis
1 K Negatif Negatif Negatif Negatif
2 K Negatif Negatif Negatif Negatif
3 K Negatif Negatif Negatif Negatif
4 K Negatif Negatif Negatif Negatif
5 K Negatif Negatif Negatif Negatif
6 P14 Positf Positf Moderat Positf
7 P14 Positf Positf Ringan Positf
8 P14 Positf Positf Moderat Positf
9 P14 Positf Positf Ringan Positf
10 P14 Positf Positf Ringan Positf
11 P21 Positf Positf Moderat Positf
12 P21 Positf Positf Moderat Positf
13 P21 Positf Positf Moderat Positf
14 P21 Positf Positf Keras Positf
15 P21 Positf Positf Keras Positf
Gambar 4.1 Preparat histopatologi sinus
a. Gambaran kelompok
kontrol b. Gambaran kelompok
perlakuan 14 hari, Stroma sub epitel edema, dan hiperemis, disertai sebukan leukosit (tanda panah kuning) dan nekrosis epitel (panah merah)
c. Gambaran kelompok perlakuan 21 hari, Stroma sub epitel edema, dan hiperemis, disertai sebukan leukosit (tanda panah kuning) dan nekrosis epitel (panah merah)
Pengamatan kotor dan temuan histologis Pada 14 hingga 21 hari pasca-infeksi, tikus yang terinfeksi S. aureus memiliki peningkatan frekuensi bersin, menggosok hidung dan keluarnya hidung dibandingkan dengan mengendalikan tikus. Setelah perawatan S.
aureus, tikus dalam kelompok A dan B masing-masing dimatikan pada hari 14 dan 21.
Tikus kontrol (kelompok k) eutanasia pada hari ke-21. Sinus maxillary dari tikus kontrol memiliki mukosa yang sehat, sementara tikus di kelompok P14 (perlakuan 14 hari) dan P21 (perlakuan 21 hari) memiliki mukosa dengan bengkak dan edema ringan hingga keras. Pada kelompok P14, keluarnya hidung berdenyuh melapisi permukaan mukosa juga dapat diamati. Pewarnaan sinus mukosa dari kelompok P14 dan P21 menunjukkan perubahan histologis yang dramatis. Sel-sel epitel dari jaringan sinus tikus di kelompok P14 tampak rusak atau hancur. Selain itu, mukosa sinus bengkak dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang ditandai, termasuk neutrofil, limfosit, dan sel plasma, serta adanya nekrosis di bidang-bidang ini (Gambar b). Dalam jaringan mukosa tikus dari kelompok P21, kami mengamati pembengkakan mukosa, infiltrasi sel-sel inflamasi di lapisan epitel dan subepithelial jaringan, serta sedikit hipertrofi sel epitel (Gambar c). Berbeda dengan kelompok eksperimental, sampel jaringan dari kelompok kontrol diamati sebagai mukosa pernapasan normal dengan epitel ciliated kolomar dan tidak ada infiltrasi sel-sel inflamasi yang signifikan yang disusupi ke lapisan subepithelial jaringan. Dalam kedua kelompok, kami mengamati silia yang berantakan dan dengan tidak adanya silia banyak tonjolan besar atau polong muncul sebagai menara tubuh bulat.
4.2 Pembahasan
Rhinosinusitis merupakan istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat.
Rhinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan kronik. Secara anatomi, sinus maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut dan merupakan lokasi yang rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut.
Sinus maksila disebut juga antrum high more, merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh karena 1) Merupakan sinus paranasal yang terbesar; 2) Letak ostiumnya
lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia; 3) Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan rhinosinusitis maksila; 4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Berdasarkan teknik kultur, telah lama menemukan peranan penting dari bakteri Staphylococcus aureus pada rhinosinusitis kronis. Selain kolonisasi permukaan, Staphylococcus juga mampu berada di dalam sel epitel dan makrofag pasien rhinosinusitis. Dalam keadaan normal, bakteri termasuk Staphylococcus menerima respons pertahanan inang inflamasi Th17. Salah satu kesulitan untuk mendukung hipotesis bakteri sebagai salah etiologi terjadinya rhinosinusitis kronis adalah kesulitan dalam menjelaskan respons Th2 yang terlihat pada jaringan pasien yang refrakter.
Eksotoksin superantigen yang dihasilkan oleh bakteri Staphilococus memperkuat respon eosinofil lokal melalui serangkaian mekanisme, sehingga mendorong terbentuknya polip. Teori ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh CRSwNP dengan mendapatkan tingginya persentase S. Aureus pada pasien polip. Superantigen staphylococcal juga telah terdeteksi pada homogenat polip, namun tidak berada pada jaringan kontrol atau CRSsNP. Toksin ini bertindak dengan memicu respons imunologis yang besar dan tidak terkontrol yang mengaktifkan sebanyak 30% populasi sel T pada individu yang terkena, dibandingkan dengan 0,001% yang diaktifkan pada respons kekebalan spesifik antigen normal.
Toksin mengikat reseptor sel T di luar alur pengikat antigen, begitu juga kompleks histokompatibilitas human leukocyte antigen (HLA) kelas II dari sel penyajian antigen.
Dengan mekanisme ini, superantigen melewati langkah normal pengenalan antigen dan mempromosikan proliferasi limfosit T poliklonal dan pelepasan sitokin besar, yang dalam kasus polip hidung khas, memiliki komponen Th2 yang kuat. Banyak jenis sel lainnya yang terpengaruh, termasuk sel B, menghasilkan respon IgE poliklonal lokal pada polip hidung.
Akibatnya, tidak jelas apakah superantigen (SAG) bersifat kausatif, tapi mungkin hanya menonjolkan respons inflamasi yang sudah ada di jaringan. Pada polip eosinofilik, efek SAG akan meningkatkan intensitas respons Th2 yang telah terbentuk, menciptakan fenotipe yang lebih berat secara klinis. Sebagai konsekuensinya, Staphylococcus
superantigen umumnya dipandang sebagai modifikator penyakit untuk pengembangan polipos hidung, bukan agen etiologi.
Untuk mengembangkan model rhinosinusitis yang paling tepat ada beberapa faktor perlu ditangani. Pertama, penting untuk memilih hewan praktis serta bakteri yang sesuai untuk model ini. Kedua, perlu untuk menentukan dosis dan durasi infeksi. Terakhir, penting untuk mengidentifikasi analisis kualitatif dan kuantitatif dengan benar untuk menyelidiki keberadaan biofilm. Untuk mengidentifikasi hewan yang sesuai, kami mempertimbangkan ketersediaan, biaya rendah, dan kemudahan penggunaan. Domba bermasalah karena biayanya yang tinggi dan kesulitan digunakan. Atau, tikus menguntungkan untuk digunakan dalam penelitian medis karena ukurannya yang kecil, biaya rendah, ketersediaan, tingkat reproduksi cepat, dan kemudahan penggunaan. Tikus berbagi homologi genetik yang tinggi dengan manusia dan dapat dimanipulasi secara genetik. Meskipun tikus memiliki keuntungan yang sama dengan tikus, rongga sinus kecil mereka menghadirkan tantangan untuk studi rhinosinusitis. Menurut literatur, biofilm S.
aureus telah dikaitkan erat dengan hasil yang tidak menguntungkan pada pasien CRS. S.
aureus dikenal berdampak negatif pada hasil operasi sinus endoskopi dengan menyebabkan peradangan mukosa dan menyebabkan infeksi pasca operasi. Setelah analisis yang cermat, kami memilih S. aureus untuk model ini karena kemampuannya untuk mudah membentuk biofilm dan perannya dalam mempengaruhi hasil infeksi terkait sinus. Untuk menyelidiki keberhasilan usulan kami model itu perlu untuk pertama menemukan sinus maxillary dalam tikus. Kami mengamati bahwa antrostomi terletak sekitar 3 mm di samping garis tengah dan 4 mm di bawah mata adalah lokasi sinus maxillary. Dalam studi sebelumnya menggunakan rhinosinusitis model domba, 1 ml biakan bakteri dalam suspensi 0,5 McFarland disuntikkan ke sinus frontal. Studi lain yang mengevaluasi model kelinci rhinosinusitis ditunjukkan bahwa kerusakan sinus terbentuk dalam 5 hari pasca-infeksi dan dapat berlangsung selama beberapa minggu.
Menurut untuk penelitian sebelumnya menggunakan rhinosinusitis tikus model, kami menyuntikkan 0,1 ml dari 0,5 ml McFarland S. aureus suspensi ke sinus maxillary. Kami mengamati keberadaan kerusakan sinus pada hari dan 21. Dalam penelitian ini, kami tidak melakukan analisis kuantitatif karena ukuran sampel kecil. Namun, teknik ini telah dilaporkan memungkinkan kuantifikasi biofilm pada mukosa sinonasal. Kuantitatif
penilaian dapat memberikan informasi mengenai tingkat keterlibatan bakteri dalam rhinosinusitis dan berpotensi memfasilitasi pengembangan perawatan yang lebih efektif.
BAB 5. KESIMPULAN
Suntikan intraperitoneal S. aureus dan pemberian S. aureus pada rongga sinus dengan oprasi antrastomi dapat menginduksi rhinosinusitis akut yang ditandai dengan adanya sitokin pro-peradangan dan sel-sel kekebalan tubuh, diikuti dengan kerusakan sinus epithelia dan stroma. Pada kelompok perlakuan 21 hari dijumpai gejala yang mendekati rhinosinusitis akut.
BAB 6. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 4.1 Anggaran Biaya
No Jenis Pengeluaran Biaya yang diusulkan (Global)
1 Honorarium pelaksana (sesuai ketentuan
maksimum 30% 3.000.000
2 Bahan habis pakai dan peralatan
(maksimum 40%) 4.000.000
3 Perjalanan maksimum 15% 1.500.000
4 Lain-lain: publikasi, seminar, lainnya (maksimum 15%)
1.500.000
Jumlah 10.000.000
1. Honorarium
Item honor Volume Satuan Honor Jumlah
Pembantu Peneliti 10 Jam 50.000 500.000
Administrasi 10 Jam 50.000 500.000
Laboran 10 Jam 50.000 500.000
Narasumber 10 Jam 100.000 1.000.000
Pembantu lapangan 10 Jam 50.000 500.000
Sub Jumlah 1 3.000.000 2. Bahan Habis Pakai dan
Peralatan
Item bahan dan Peralatan Volume Satuan Harga Jumlah
ATK 1 pack 500.000 400.000
Konsumsi (snack dan makan siang)
35 pack 50.000 1.750.000
Sewa Lab 1 - 250.000 250.000
Hewan Coba (tikus) 10 ekor 40.000 400.000
Pembuatan Slide dan Pembacaan
10 slide 100.000 1.000.000
Bakteri S. Aureus 2 ml 100.000 200.000
Sub Jumlah 2 4.000.000 3. Perjalanan
Item Perjalanan Volume Satuan Harga Jumlah
Sewa kendaraan 2 - 250.000 500.000
BBM 50 Liter 9.000 450.000
Driver 2 - 250.000 500.000
Parkir - 50.000
Sub Jumlah 3 1.500.000 4. Lain-lain
Biaya Publikasi ORLI 1.500.000
Sub Jumlah 4 1.500.000
Total 10.000.000
4.2 Jadwal Penelitian Jadwal Kegiatan
No
. Jenis Kegiatan
Tahun I
1 2 3 4 5 6 1. Persiapan dan perijinan
2. Pengambilan sampel 3. Kultur mikroba 6. Analisis data 7. Pembuatan laporan
7. Publikasi hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Al-sayed, A. A., Agu, R. U. dan Massoud, E. (2017) “Models for the Study of Nasal and Sinus Physiology in Health and Disease : A Review of the Literature,”
Laryngoscope Investigative Otolaryngology, 2(December), hal. 398–409. doi:
10.1002/lio2.117.
Berger, G. et al. (2000) “Acute Sinusitis : A Histopathological and Immunohistochemical Study,” Laryngoscopy, 110(December), hal. 2089–2094.
Chauhan, N. et al. (2016) “Regulation of Sphingolipid Biosynthesis by the Morphogenesis Checkpoint Kinase Swe1 *,” The Journal Of Biological Chemistry, 291(5), hal. 2524–2534. doi: 10.1074/jbc.M115.693200.
Doner, F. et al. (1999) “Malondialdehyde levels and superoxide dismutase activity in experimental maxillary sinusitis,” Auris Nasus Larynx, 26(13), hal. 287–291.
Eranki, D. A. C. A. P. (2019) “Procalcitonin,” StatPearls [Internet]., (September).
Fitriana, W. D. et al. (2016) “Antioxidant Activity of Moringa oleifera Extracts,” Indones.
J. Chem., 16(3), hal. 297–301.
Kasolo, J. N. et al. (2010) “Phytochemicals and uses of Moringa oleifera leaves in Ugandan rural communities,” Journal of medicinal plant research, (May). doi:
Leung, R. S. dan Katial, R. (2008) “The Diagnosis and Management of Acute and Chronic Sinusitis,” Prim Care Clin Office Pract, 35, hal. 11–24. doi:
10.1016/j.pop.2007.09.002.
Oluduro, A. O. (2012) “Evaluation of Antimicrobial properties and nutritional potentials of Moringa oleifera Lam. leaf in South-Western Nigeria,” Malaysian Journal of Microbiology, 8(2), hal. 59–67.
Pandrangi, V. dan Reiter, E. R. (2019) “Impact of Sinus Surgery on Hospital Utilization for Complications of Sinusitis.” doi: 10.1177/0145561319853786.
Rahmat Hardiazah (2009) Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada Sayuran Indegenous Jawa Barat (Skripsi). IPB Bogor.
Rai Prashant 2015 (tanpa tanggal) Sreptococcus Pneumonia - Induced Host Responses &
Disease, https://scholarbank.nus.edu.sg/handle/10635/121846. July 30,2015.
National University of Singapore, 2015.
Rizkayanti et al. (2017) “Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak air dan Ekstrak Etanol Daun Saito, K. et al. (2006) “Specific association of Piwi with rasiRNAs derived from
retrotransposon and heterochromatic regions in the Drosophila genome,” Genes
& Development, 20, hal. 2214–2222. doi: 10.1101/gad.1454806.In.
T.K. Lim (2012) Moringa oleifera. doi: 10.1007/978-94-007-2534-8.
Toripah, S. S., Abidjulu, J. dan Wehantouw, F. (2014) “Aktivitas Antioksidan Dan Kandungan Total Fenolik,” Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT, 3(4), hal. 2302–2493.
Vongsak, B., Sithisarn, P. dan Mangmool, S. (2013) “Maximizing total phenolics , total flavonoids contents and antioxidant activity of Moringa oleifera Leaf extract by the appropriate extraction method Maximizing total phenolics , total flavonoids contents and antioxidant activity of Moringa oleifera leaf extract by the appropriate extraction method,” Industrial Crops & Products. Elsevier B.V., 44(January), hal. 566–571. doi: 10.1016/j.indcrop.2012.09.021.
Wang, Q. et al. (2016) “A rat model of Staphylococcus aureus biofilm in rhinosinusitis,”
Int J Clin Exp Med, 9(2), hal. 2472–2478.
Wood, K. C. dan Granger, D. N. (2007) “Sickle Cell Disease : Role Of Reactive Oxygen And Nitrogen Metabolites,” Clinical and Experimental Pharmacology and Physiology (2007), 34, hal. 926–932. doi: 10.1111/j.1440-1681.2007.04639.x.
Lampiran 1
ORGANISASI TIM PENELITI DAN PEMBAGIAN TUGAS NO NAMA, NIK,
FAKULTAS BIDANG
ILMU ALOKASI
WAKTU JAM/MINGGU
URAIAN TUGAS 1 dr. Andriana Tjitria Widi
Wardani Sardjana, Sp.THT,, M.si.Med / 210106110 / Kedokteran
Kedokteran Umum
5 Pengawasan,
pemantauan, pelaksanaan 2 dr. Agung Sulistyanto,
Sp.THT-KL / 210105095 / Kedokteran
Kedokteran Umum
5 Pengawasan,
pemantauan, pelaksanaan
Lampiran 1
Biodata Pengusul
A. BIODATA KETUA PENGUSUL
Nama dr. Andriana Tjitria Widi Wardani Sardjana, Sp.THT., M.Si.Med NIDN/NIDK 0618046502 / 210106110
Pangkat/Jabatan Asisten Ahli / Dosen
E-mail [email protected] ID Sinta
h-Index
Publikasi di Jurnal Internasional terindeks
No Judul Artikel Peran (First author,
Corresponding author, atau co- author)
Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor, PISSN/EISSN
URL artikel (jika ada)
Publikasi di Jurnal Nasional Terakreditasi Peringkat 1 dan 2 No Judul Artikel Peran (First
author,
Corresponding author, atau co- author)
Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor, PISSN/EISSN
URL artikel (jika ada)
1 Perbedaan Imunoterapi Alergen Spesifik (ITS) dengan Vaksinasi BCG dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi
First author Vol 1 No 1 2009 Sains Medika
2 Gejala dan Penanganan Komplikasi Intrakranial Sinusitis
First author Vol XLVI No 120 Feb 2010
Majalah Ilmiah Sultan Agung
3 Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi setelah Pemberian Kombinasi Probiotik
First author Vol 4 No 2 Juli – Desember 2012 Sains Medika
Prosiding seminar/konverensi internasional terindeks No Judul Artikel Peran (First
author,
Corresponding author, atau co- author)
Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor, PISSN/EISSN
URL artikel (jika ada)
1 Effect of probiotic combination on the blood serum in patient with moderate to severe allergic rhinitis
First author The 25th Congress of the European Rhinologic Society in conjunction with 32nd International Symposium of
Infection & Allergy of the Nose.
2 Potensi pemberian probiotik yang mengandung lactobacillus case dan lacobacillus
acidophilus sebagai
imunomodulator dalam
meningkatkan rasio IFN γ /IL-4 pada penderita rinitis alergi
sedang berat
First author PIN IX Perhati
Buku
No Judul Buku Tahun Penerbitan ISBN Penerbit URL artikel (jika ada)
Perolehan KI
No Judul Tahun Dana Disetujui
1 Perubahan kadar interferon gamma pada penderita rinitis alergi setelah pemberian susu terfermentasi oleh Lactobacillus casei Shirota
2012 10 jt
2 Kualitas hidup penderita rinitis alergi setelah pemberian susu terfermentasi oleh Lactobacillus casei Shirota
2012 10 jt
3 Kadar Ifn-gamma Pada Penderita Rhinitis Alergi Setelah Pemberian Probiotik Lactobacillus Casei Shirota Strain
2012 10 jt
4 Potensi pemberian probiotik yang mengandung Lactobacillus casei DAN Lactobacillus acidophilus sebagai imunomodulator dalam meningkatkan rasio Ifn- γ: Il-4 pada penderita rhinitis alergi
2012 10 jt
B. BIODATA ANGGOTA PENGUSUL
Nama dr. Agung Sulistyanto, Sp.THT-KL.
NIDN/NIDK 0628046802 / 210105095
Pangkat/Jabatan Asisten Ahli
E-mail [email protected] ID Sinta
h-Index
Publikasi di Jurnal Internasional terindeks
No Judul Artikel Peran (First author,
Corresponding author, atau co- author)
Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor, PISSN/EISSN
URL artikel (jika ada)
Publikasi di Jurnal Nasional Terakreditasi Peringkat 1 dan 2
No Judul Artikel Peran (First author,
Corresponding author, atau co- author)
Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor, PISSN/EISSN
URL artikel (jika ada)
1 Perbedaan Imunoterapi Alergen Spesifik (ITS) dengan Vaksinasi BCG dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi
co-author Vol 1 No 1 2009 Sains Medika
2 Gejala dan Penanganan
Komplikasi Intrakranial Sinusitis co-author Vol XLVI No 120 Feb 2010
Majalah Ilmiah Sultan Agung
3 Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi setelah Pemberian Kombinasi Probiotik
co-author Vol 4 No 2 Juli – Desember 2012 Sains Medika
Prosiding seminar/konverensi internasional terindeks No Judul Artikel Peran (First
author,
Corresponding author, atau co- author)
Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor, PISSN/EISSN
URL artikel (jika ada)
Buku
No Judul Buku Tahun Penerbitan ISBN Penerbit URL artikel (jika ada)
Perolehan KI
No Judul Tahun Dana Disetujui