NAMA : Ragil Andhika
NIM : 220711628
KELAS : REGULER (A)
MATA KULIAH : HUKUM PERDATA
Materi Pertemuan 12 A. Hukum Perikatan
1) Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan akan selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia sehari-hari, perikatan bisa timbul dari peristiwa hukum yang bermacam-macam bentuknya dapat berupa hibah, wasiat, jualbeli, sewa-menyewa dan lainnya. Hukum perikatan, jika diterjemahkan secara hukum adalah merupakan suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Sedangkan Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan akibat hukum, akibat hukum tersebut lahir dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang dapat menimbulkan perikatan. Jika dilihat dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan, juga terdapat dalam bidang hukum keluarga, dalam bidang hukum waris serta dalam bidang hukum pribadi.
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian hukum perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Dalam hukum perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
2) Sumber Hukum Perikatan
Dalam system hukum Indonesia, hukum perikatan merupakan produk hukum baru, sedangkan sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah hukum perjanjian dan undang-undang. Dalam hukum perikatan, hubungan hukum tidak bisa timbul dengan sendirinya, melainkan harus didahului oleh adanya tindakan hukum yang dilakukan pihak- pihak, sehingga menimbulkan hak di satu sisi dan kewajiban pada pihak lain.
Suatu perikatan terjadi karena adanya perjanjian/persetujuan atau karena tindakan yang sesuai atau tidak sesuai dengan undang-undang. Dengan demikian, sumber perikatan itu ada dua, yakni perjanjian dan undang-undang. Undang-undang yang menjadi sumber hukum perikatan, dapat dibagi menjadi:
a. Undang-Undang.
b. Undang- Undang dan perbuatan manusia (Perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum).
3) Unsur-Unsur Hukum Perikatan
Dengan melihat pengertian hukum perikatan, maka unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan yaitu :
1. Hubungan Hukum Antar Pihak
Hubungan hukum antar pihak adalah hubungan yang di dalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lainnya. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan hukum antar pihak ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan. Pengingkaran terhadap hubungan- hubungan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum, namun melanggar norma dalam masyarakat.
2. Kekayaan
Hukum perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan dan bagian lain dari Hukum Harta Kekayaan adalah Hukum Benda. Dalam menentukan bahwa suatu hubungan itu merupakan perikatan, pada awalnya beberapa sarjana menggunakan ukuran dapat ”dinilai dengan uang”.
Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang, jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan pembatasan, karena dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terdapat hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat badaniah akibat perbuatan seseorang. Jadi kriteria ”dapat dinilai dengan uang” tidak lagi digunakan sebagi suatu kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan. Namun, walaupun ukuran tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi bukan berarti bahwa ”dapat dinilai dengan uang” adalah tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang dapat dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.
3. Pihak-Pihak
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu kreditur dan debitur. Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Kreditur biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif kreditur dapat melakuka tindakan-tindakan tertentu terhadap debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya. Tindakan-tindakan kreditur dapat berupa memberi peringatan-peringatan menggugat di muka pengadilan dan sebagainya. Debitur harus selalu dikenal atau diketahui, hal ini penting karena berkaitan dalam hal untuk menuntut pemenuhan prestasi. Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan sekurang-kurangnya satu orang debitur.
4. Objek Hukum (Prestasi)
Dalam pasal 1234 BW bahwa Objek dari perikatan adalah apa yang harus dipenuhi oleh si berutang dan merupakan hak si berpiutang. Biasanya disebut penunaian atau prestasi, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi. Wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesutau dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW).
Pada perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau berkewajiban memberikan kenikmatan atas sesuatu barang, misalnya penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.
4) Tujuan Perikatan
Pada pasal 1234 KUH Perdata, terdapat tujuan perikatan, yakni dengan memberikan penjelasan tentang tujuan dari pihak-pihak yang mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu, kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
5) Asas-Asas Hukum Perikatan
Kemudian, hukum perikatan memiliki asas-asas yang diatur dalam buku III KUHPerdata, yaitu:
1. Asas kebebasan berkontrak, yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Asas pacta sunt servanda, yaitu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang dan para pihak diwajibkan menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihak.
3. Asas konsensualisme, yaitu perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
6) Objek dan Subjek Hukum Perikatan
1. Objek Hukum Perikatan
Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan objek perikatan.
Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual/ perjanjian (perikatan).
Hak dan kewajiban dapat timbul apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).
Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban di sini merupakan keharusan untuk menaati hukum yang disebut wajib hukum (recht splicht) misalnya pemilik sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll.
2. Subjek Hukum Perikatan
Subjek perikatan adalah mereka yang memperoleh hak (kreditur) dan mereka yang dibebani kewajiban (debitur) atas suatu prestasi sebagaimana yang disebutkan pada objek hukum perikatan di atas.
Pada prinsipnya, baik orang maupun badan hukum, dapat menjadi subjek perikatan.
Subjek hukum perikatan yaitu para pihak pada suatu perikatan yang di mana kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Pada debitur terdapat 2 (dua) unsur, antara lain yaitu utang debitur kepada kreditur dan harta kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang. Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan undang-undang. Pelaku perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan
B. Prestasi dan Wanprestasi
1. Prestasi
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur, atau dengan kata lain prestasi merupakan obyek dari suatu perikatan atau perjanjian. Debitur adalah orang yang melakukan suatu prestasi dalam suatu perikatan. Didalam perjanjian prestasi merupakan suatu kewajiban kontraktual.
Kewajiban kontraktual tersebut dapat berasal dari :
1. Kewajiban yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
2. Kewajiban yang diperjanjikan para pihak dalam perjanjian atau kontrak.
3. Kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan.
Prestasi adalah pemenuhan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan perjanjian.
Kewajiban tersebut adalah merupakan kewajiban kontraktual. Kewajiban-kewajiban tersebut berasal dari peraturan perundang-undangan, perjanjian yang dibuat oleh para pihak, kepatutan dan kebiasaan. Para pihak dalam perjanjian adalah debitur dan kreditur. Debitur adalah pihak yang memiliki kewajiban. Debitur inilah yang harus melaksanakan prestasi. Kreditur, merupakan pihak yang memiliki hak atau menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.
 Bentuk-bentuk Prestasi
Bentuk-bentuk prestasi dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu : 1. Memberikan Sesuatu
Wujud prestasi dalam memberikan sesuatu berupa kewajiban bagi kreditur untuk memberikan sesuatu kepada kreditur. Wujud memberikan sesuatu, misalnya dalam perjanjian jual beli adalah kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dimaksud untuk perjanjian jual beli sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1474 KUHPerdata. Dalam Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata, prestasi untuk memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan yang riil atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian hibah, perjanjian gadai, dan perjanjian pinjam meminjam.
2. Melaksanakan Sesuatu
Pada dasarnya memberikan sesuatu sama dengan melaksanakan sesuatu. Penentuan batas antara memberikan sesuatu dan melaksanakan sesuatu tidak jelas. Walaupun menurut tata Bahasa memberi adalah berbuat, tetapi pada umumnya yang diartikan dengan memberi adalah menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas suatu benda. Misalnya, penyerahan hak milik atas rumah atau memberi kenikmatan atas barang yang disewa kepada penyewa.
3. Tidak Berbuat dan Melaksankan Sesuatu
Prestasi untuk tidak berbuat atau melaksanakan sesuatu, misalnya tidak akan mendirikan bangunan atau tidak menghalangi orang untuk mendirikan bangunan.
 Syarat-syarat Prestasi
Prestasi sebagai obyek dari suatu prestasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1) Harus tertentu dan setidaknya dapat ditentukan
Prestasi dalam perikatan harus tertentu. Prestasi yang harus tertentu dapat diberikan contoh dalam prestasi untuk membayar, tertentu itu dapat berupa mata uang, misalnya rupiah.
Contoh lainnya: dalam perjanjian jual beli mobil, penjual wajib untuk melakukan penyerahan mobil, jenis mobil dan identifikasi mobil harus jelas beserta surat-surat kelengkapan mobil tersebut.
Namun demikian, dapat juga prestasi tidak tertentu, tetapi hanya ditentukan. Sehubungan dengan hal tersebut Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki obyek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu, berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
2) Objek diperkenankan oleh hukum
Prestasi dalam perikatan harus diperkenankan atau diperbolehkan oleh hukum. Dengan kata lain, prestasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum. Dalam Bahasa Indonesia umumnya disebut tidak bertentangan dengan kausa (causa) hukum yang halal. Mengenai kriteria kausa yang halal terdapat di dalam ketentuan Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
3) Prestasi tersebut harus mungkin dilaksanakan
Prestasi dalam perikatan harus mungkin untuk dilaksanakan oleh debitur. Contoh : tidak mungkin menyuruh orang bisu untuk menyanyi, tidak mungkin meminta debitur untuk mengangkut beras dari jember ke Jakarta dengan angkutan umum jalan raya (truk) dalam jangka waktu 2 (dua) jam.
2. Wanprestasi
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
 Bentuk dan Syarat Wanprestasi
Menurut Satrio (1999), terdapat tiga bentuk wanprestasi, yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk dan syarat tertentu hingga terpenuhinya wanprestasi adalah sebagai berikut (Ibrahim, 2004):
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang Debitur sehingga dikatakan dalam keadaan wanprestasi, yaitu:
1. Syarat materill, yaitu adanya kesengajaan berupa: a) kesengajaan adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. b) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib berprestasi seharusnnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditor menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.
 Penyebab terjadinya Wanprestasi
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah sebagai berikut:
a. Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah)
Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan pada diri debitur yang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian.
b. Adanya Keaadan yang Memaksa
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.
 Akibat Hukum Wanprestasi
Akibat hukum atau sangsi yang diberikan kepada debitur karena melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban membayar ganti rugi
Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang- barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk menuntut ganti rugi harus ada penagihan atau (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran.
Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri dari tiga macam, yaitu: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atas pengongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan bunga adalah segala kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.
b. Pembatalan perjanjian
Sebagai sangsi yang kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu berupa pembatalan perjanjian. Sangsi atau hukuman ini apabila seseorang tidak dapat melihat sifat pembatalannya tersebut sebagai suatu hukuman dianggap debitur malahan merasa puas atas segala pembatalan tersebut karena ia merasa dibebaskan dari segala kewajiban untuk melakukan prestasi.
Menurut KUHPerdata pasal 1266: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
c. Peralihan Resiko
Akibat wanprestasi yang berupa peralihan risiko ini berlaku pada perjanjian yang objeknya suatu barang, seperti pada perjanjian pembiayaan leasing. Dalam hal ini seperti yang terdapat pada pasal 1237 KUHPerdata ayat 2 yang menyatakan‚ Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya kebendaan adalah atas tanggungannya.
NAMA : AJI AQIRA SYABINA RAHMADANI
NIM : 220711637
KELAS : REGULER (A)
MATA KULIAH : HUKUM PERDATA
Materi Pertemuan 13
Menurut KUH Perdata, dasar hukum perikatan berasal dari dua sumber sebagai berikut : a. Perikatan yang timbul karena persetujuan (Perjanjian)
Kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi. Ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Jadi suatu perjanjian akan menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Sedangkan dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian kata yang mengandung janji- janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
b. Perikatan yang timbul karena undang-undang
Hak dan kewajiban debitur dan kreditur ditetapkan oleh Undang-Undang. Pihak debitur dan kreditur wajib memenuhi ketentuan Undang-Undang. Undang-Undang mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban Undang- Undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran Undang-Undang.