• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sehingga penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga (istri) berkepanjangan tanpa perlindungan

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Sehingga penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga (istri) berkepanjangan tanpa perlindungan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM YANG DILAKUKAN DALAM PEMENUHAN HAK-HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DI WILAYAH HUKUM POLRES KEPULAUAN ARU

A. Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Di Wilayah Hukum Polres Kepulauan Aru

Tindak kekerasan telah menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Kekerasan terjadi bukan saja dalam area publik, namun marak terjadi juga dalam area domestik yang melahirkan kekerasan dalam rumah tangga. Ironisnya dalam berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, perempuan khususnya istri merupakan korban. Relasi suami istri yang idealnya dibangun dalam suasana keharmonisan dan kebahagiaan, namun banyak istri yang mengalami tindak kekerasan dari suaminya, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi.

Dalam perkembangannnya para korban kekerasan dalam rumah tangga sulit mengajukan penderitaan yang dialaminya kepada penegak hukum, karena kuatnya pandangan bahwa perlakuan kasar suami kepada istri merupakan bagian dari peristiwa privat (urusan rumah tangga)1 sehingga tidak bisa dilaporkan kepada aparat kepolisian. Sehingga penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga (istri) berkepanjangan tanpa perlindungan.

1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Edisi 1, Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 135.

(2)

Dengan lahirnya undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang merupakan tonggak sejarah di Indonesia sebagai terobosan pemerintah Republik Indonesia untuk menghapus segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga sebagai realisasi dari ratifikasi terhadap konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di segala bidang. Komitmen Pemerintah Indonesia tersebut telah tertuang dalam diktum UU PKDRT sebagai berikut :

1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

3. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

Aturan hukum tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Hak-hak korban dalam tindak pidana KDRT diatur dalam Pasal 10 UU PKDRT, yang menyatakan bahwa korban berhak mendapatkan :

(3)

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan,

2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan,

5. Serta pelayanan bimbingan rohani.

Sistem hukum pembuktian dalam suatu penyidikan terhadap tindak pidana di Indonesia menggunakan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1981, di mana dalam tahap penyelidikan dan penyidikan serta tahap pemeriksaan di pengadilan harus berpedoman pada UU No 23 Tahun 2004 yang telah memberikan hak dan perlindungan terhadap saksi korban. Jika perlu saksi korban harus mendapatkan perlindungan dari Lembaga perlindungan Saksi dan Korban berdasarkan UU No 13 tahun 2006. Kelahiran dua undang-undang ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi perlindungan saksi dan korban dalam ia memberikan keterangan yang sesungguhnya terjadi untuk mendapatkan kebenaran yang sejati tanpa mengalami ancaman atau siksaan serta mungkin tuntutan hukum bagi saksi dan korban untuk melapor.

Menurut UU No 23 tahun 2004 dinamakan penanganan dengan sistem peradilan pidana terpadu. Disebut terpadu artinya bahwa penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya mengadili tersangka/ pelaku tindak kekerasan tetapi juga memikirkan hak-hak korban serta bagaimana pemulihannya. Oleh karena itu pasal 4 UU No 23 Tahun 2004 mengatur tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah :

(4)

1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga 2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga 3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga

4. Memelihara keutuhan dalam rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Dengan berdasarkan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini maka penanganan baik dalam tahap penyidikan maupun di persidangan maka harus ada keseimbangan antara pemberian sanksi hukuman kepada pelaku dan perlindungan korban serta pemulihan korban. Untuk itu maka pihak penyidik dalam melakukan penyidikan, tidak bekerja sendiri akan tetapi secara terpadu bekerja sama dengan tenaga kesehatan/ rumah sakit, pendamping korban, rohaniawan untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dalam mengungkap peristiwa tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan. Jika dalam penyelidikan selesai dan memasuki tahap penyidikan, maka kuasa hukum korban akan mendampingi korban disamping kuasa hukum pelaku mendampingi pelaku.

Tahapan pertama yang dilakukan adalah menyelesaikan Berita Acara sambil proses mediasi dilakukan oleh semua pihak. Mediasi disini adalah musyawarah mufakat dihadapan penyidik, jaksa dan atau hakim untuk mencari titik temu yang menguntungkan semua pihak dalam rangka memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera tadi.

Walaupun proses pidananya tetap berjalan sesuai hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP. Di tahap inilah polri dalam hal ini penyidik polri harus memiliki pemahaman police women desk serta profesional dan empati terhadap korban, yang sekarang ini telah terbentuknya Ruang Pelayanan Khusus di Polda semua provinsi di Indonesia yang khusus menangani penyidikan kasus KDRT.

(5)

Bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No 8 Tahun 1891) menjadi pedoman pelaksanaan dalam penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

Undang-undang No 23 Tahun 2004 secara tegas mengatur bahwa : Pasal 26 :

(1) Pihak korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian setempat, baik ditempat berada maupun ditempat kejadian perkara.

(2) Korban dapat juga memberi kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian, baik ditempat korban maupun di tempat kejadian perkara

Pasal 27 :

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 28 :

Ketua Pengadilan Negeri, dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan, ia wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut . Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga berlaku paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang jika ada keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani bahwa korban masih memerlukan perlindungan.

Terdapat perbedaan yang jelas antara KUHAP dengan UU 23 tahun 2004 dalam hal proses penyidikan. Jika KUHAP lebih mementingkan pelaku untuk segera diproses penyidikannya maka UU 23 tahun 2004 lebih mementingkan pelayanan korban terlebih

(6)

dahulu untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Hak-hak korban tersebut diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 38 UU 23 Tahun 2004 yakni :

1. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.

2. Perlindungan ini diberikan untuk 7 hari.

3. Polri dalam memberikan perlindungan, bisa bekerja sama dengan tenaga kesehatan/ rumah sakit, pekerja sosial, relawan pendamping, pembimbing rohani atau shelter jika ada.

4. Penetapan Pengadilan terhadap perlindungan korban oleh polri ini dalam 1x24 jam harus segera diterbitkan.

5. Permohonan perlindungan dapat diajukan oleh korban sendiri atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, pendamping atau pembimbing rohani.

Disinilah jelas terlihat penegak hukum harus dibekali dengan kemampuan yang profesional sebagai penyidik, penuntut atau advokat juga hakim untuk memintakan pemeriksaan korban kekerasan dalam rumah tangga atau bisa melalui dokter ahli/ psikiater untuk dilakukan pemeriksaan secara mendalam terhadap korban untuk dapat diberikan perlindungan sebagaimana tersebut di atas.

Sebagai aturan pelaksanaan dari UU No 23 tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga. Korban berhak untuk mendapatkan pemulihan sebagaimana diatur dalam pasal 39 UU No 23 Tahun 2004 dan

(7)

lebih terperinci lagi dalam aturan pelaksanaannya yakni PP No 4 Tahun 2006 yang dengan jelas menyatakan bahwa:

1. Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun secara psikis.

2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

4. Kerjasama adalah cara yang sistimatis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.

5. Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani.

Selanjutnya dalam penyelenggara pemulihan korban KDRT dilaksanakan oleh instansi pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dan Pemerintah Daerah serta Lembaga Sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk penyediaan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Dalam hal proses penegakan hukumnya, maka pihak tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, pembimbing rohani dapat menjalin kerjasama dengan pihak penegak hukum dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu dalam rangka penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga.

(8)

Untuk itu dalam Peraturan Pemerintah ini dalam Pasal 18 telah diatur kerjasama dimaksud dengan:

a. Kepolisian, untuk melaporkan dan memproses pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

b. Advokat, untuk membantu korban dalam proses peradilan.

c. Penegak Hukum lainnya, untuk membantu korban dalam proses di sidang pengadilan.

d. Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan).

e. Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI).

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka perlindungan terhadap saksi korban dalam tindak kekerasan dalam rumah tangga, dilakukan secara menyeluruh mulai dari pencegahan, penanganan dan pemulihan korban secara komperhensif. Dengan bentuk- bentuk perlindungan hukum yang terurai dalam undang-undang No 23 tahun 2004 dengan aturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2006.

Perlindungan terhadap korban dimaksud sesungguhnya didasarkan pada asas hak asasi manusia dan berdampingan dengan teori utilitas yang menitik beratkan pada kemanfaatan yang terbesar yakni untuk kepentingan korban sekaligus bagi sistem penegakan hukum pada umumnya. Sangatlah diharapkan dengan sistem perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban seperti yang dikemukakan diatas, dapat terbentuk suatu sistem peradilan pidana terpadu dalam penanganan kasuskasus kekerasan dalam rumah tangga.

Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dan menggunakan UU PKDRT. Hal ini mengandung konsep beberapa

(9)

kelebihan yang dimiliki UU tersebut dalam wajah hukum pidana Indonesia adalah antara lain:

1. UU No 23 Tahun 2004 telah mendorong kasus KDRT dari wilayah hukum privat memasuki wilayah hukum publik.

2. UU No 23 tahun 2004 telah melakukan terobosan baru dalam hukum acara pidana yakni prinsip satu saksi bukan saksi, UU ini memberi hak saksi korban KDRT di tambah visum dokter telah memenuhi syarat pembuktian adanya tindak kekerasan.

3. Lingkup rumah tangga telah diperluas oleh UU ini, yakni suami, isteri, anak dan semua yang ada dalam lingkup rumah tangga itu.

4. Pengertian kekerasan dalam KUHP telah diperluas oleh UU ini termasuk fisik, psikis dan sexual juga penelantaran rumah tangga.

Kelebihan-kelebihan yang dimiliki UU 23 Thn 2004 ini membawa kontroversi bagi para ahli hukum pidana di Indonesia, juga termasuk para hakim, jaksa dan kepolisian yang sampai saat ini masih kuat dengan paradigma legalistiknya sehingga penerapan UU 23 Thn 2004 ini masih belum efektif.

Namun demikian sangat diharapkan dari tahun ke tahun akan membawa perubahan dalam sistem penegakan hukum yang sekarang ini dalam taraf reformasi. Penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui jalur hukum pidana

Kepolisian telah berupaya memenuhi hak-hak korban KDRT sebagaimana dinyatakan dalam UU PKDRT, khususnya dalam memberikan perlindungan kepada korban. Kepolisian segera memberikan perlindungan kepada korban setelah adanya pengaduan serta meminta penetapan perlindungan ke pengadilan, menyediakan ruang khusus untuk pelayanan korban, serta menjelaskan kepada korban tentang hak-hak yang

(10)

dapat diperoleh sebagai korban KDRT. Disamping itu, kepolisian juga akan segera dengan tegas akan menangkap orang yang melanggar perintah perlindungan bagi korban.

Pemerintahan perlu membuat peraturan hukum yang mewajibkan adanya pemulihan secara penuh terhadap kondisi yang dialami korban. Pemerintah perlu mengupayakan agar semua hak-hak korban dapat dipenuhi tanpa adanya diskriminasi berdasarkan status pendaftaran perkawinan. Kepolisian perlu memberikan pemahaman kepada korban KDRT bahwa pendampingan tidak dapat hanya dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, karena pendampingan mempunyai tugas-tugas khusus yang hanya diketahui oleh tenaga professional. Pemerintahan perlu menyediakan biaya untuk membayar tenaga profesional dalam pendampingan korban agar biaya tersebut tidak dibebankan kepada korban.2

B. Upaya Perlindungan Hukum Yang Dilakukan Oleh Polres Kepulauan Aru Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negara agar haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi yang melanggar akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang ada.

Menurut Pasal 1 angka (4) UU PKDRT, perlindungan adalah :

segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif.

Pemerintah juga memperhatikan adanya berbagai kekerasan yang selama ini terjadi baik di lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara dalam bentuk kekerasan

2 https://jurnal.darmaagung.ac.id/index.php/retentum/article/view/901, diakses pada tanggal 25 Juli 2021

(11)

fisik, psikis sosial, seksual dan ekonomi yang dilakukan oleh perorangan, kelompok- kelompok yang ada dalam masyarakat maupun institusi negara sehingga menimbulkan penderitaan bagi laki-laki, perempuan, anak, dewasa, maupun usia lanjut.

Namun dengan adanya pemerintah menetapkan UU PKDRT, hal ini berarti pemerintah memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan/laki- laki/anak maupun dewasa untuk mendapatkan keadilan, kenyamanan, kedamaian, kesetaraan dalam kehidupan bersosial, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bernegara.

Undang-undang tersebut sangat dibutuhkan untuk disosialisasikan baik pada kalangan birokrat, maupun masyarakat sehingga maksud, tujuan dan isi yang terkandung dan tersirat dalam Undang-undang ini dapat dipahami.

Upaya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam Rumah Tangga dapat dilakukan dengan berbagai macam cara , diawali dengan melakukan Tindakan Hukum Pencegahan Terjadinya KDRT yaitu dengan tindakan antisipasi terhadap segala bentuk KDRT dengan berbagai upaya, antara lain: meningkatkan pemahaman dan sosialisasi tentang upaya mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Pemberdayaan ekonomi keluarga, meningkatkan pemahaman keagamaan dan pendalaman rohani.

Pemahaman terhadap hak dan kewajiban semua anggota keluarga. Membangun komunikasi keluarga yang baik dan lancar. Selanjutnya Tindakan Hukum Penanganan dan advokasi korban Kekerasan fisik yang terjadi dalam tindak pidana KDRT, terhadap pelakunya dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 351, Pasal 352 mengatur penganiayaan ringan, Pasal 353 mengatur penganiayaan yang direncanakan, Pasal 354 mengatur penganiayaan berat, Pasal 355 mengatur bila terjadi penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu dan Pasal 356 KUHP tentang Penganiayaan.

(12)

Upaya Perlindungan terhadap korban KDRT dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah : 3

a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian b. Penyediaan tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani

c. Pembuatan dan pengembangan system dan mekanisme kerjasama program pelayanan

d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi dan keluarga e. Melakukan pendekatan sosial budaya

f. Dengan memberikan pendidikan untuk menanamkan pemahaman akan hak-hak asasi manusia, penghormatan kepada sesama dengan pengembangan budaya anti kekerasan

g. Perubahan kebijakan dengan menetapkan perda perlindungan perempuan dan anak

h. Penyediaan fasilitas publik dengan mekanisme pelayanan yang holistic seperti Pusat Layanan Terpadu

i. Menetapkan anggaran bagi perempuan dalam APBD j. Memasukkan sensitifitas gender dalam setiap program

k. Pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.

l. Perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing

m. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harusmenggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.

n. Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah. Penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah

3http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1408138&val=3914&title=UPAYA%20P ERLINDUNGAN%20HUKUM%20TERHADAP%20KORBAN%20KEKERASAN%20DALAM%20RUMA H%20TANGGA

(13)

terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam

o. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antarapihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegakhukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan)

p. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1(satu) tahun dan dapat diperpanjang.

Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yangditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan Pengadilan jugadapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT

q. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum etrepertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

r. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberirasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, sertamengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.

s. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secarapsikologis dan fisik kepada korban

t. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban danmemberikan penguatan iman dan takwa kepada korban

Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.

(14)

Kasus KDRT yang ditangani Polres Kepulauan Aru dari Tahun 2017 sampai dengan 2020 penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kasus KDRT yang ditangani di Wilayah Polres Kepulauan Aru dapat dilihat dalam Tabel berikut ini :

Tabel 1

Kasus KDRT Di Wilayah Hukum Polres Kepulauan Aru Tahun 2017-2020

No Tahun Jenis Tindak Pidana P-21 RJ Jumlah Yang Ditangani 1 2017 Kekerasan fisik 1 17 18 kasus

2 2018 Kekerasan fisik 3 25 28 kasus 3 2019 Kekerasan fisik 7 23 30 kasus 4 2020 Kekerasan fisik 5 30 35 kasus

jumlah 112 kasus

Data Primer : Polres Kepulauan Aru

Gambaran tabel di atas menunjukan bahwa pada tahun 2017 sampai dengan 2020 jumlah kasus Kekerasan dalam lingkup rumah tangga setiap tahunnya meningkat. Kasus KDRT yang ditangani Polres Kepulauan Aru hampir 80% diselesaikan secara kekeluargaan, karena perbuatan yang dilakukan oleh terlapor baru pertama kali dilakukan dan akibat yang

(15)

ditimbulkan korban tidak mengalami luka berat sehingga pelapor ingin rujuk kembali sedangkan 20% kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga sampai ke kejaksaan dan pengadian karena perbuatan yang telah dilakukan sudah berulang kali dan akibat yang ditimbulkan korban mengalami luka berat hingga dirawat di rumah sakit.

Adapun kasus-kasus yang ditangani oleh Polres Kepulauan Aru ini, ada beberapa para pelapor ini ternyata pernikahan mereka tidak tercatat, pernikahan mereka dilakukan secara Adat yang berlaku.

Tabel 2

Kasus Pernikahan Secara Adat Dalam KDRT Di wilyah Hukum Polres Kepulauan Aru

Tahun 2020-2021 No Tahun Jenis Tindak

Pidana

P-21 RJ Jumlah Kasus

1 2020 Kekerasan Fisik 1 2 3 kasus

2 2021 Kekerasan fisik Nihil 2 2 kasus

5 kasus Data Primer : Polres Kepulauan Aru

Tabel tersebut di atas terlihat bahwa, walaupun pernikahan mereka secara adat dan tidak tercatat, tetapi pelaporan mereka dalam kasus kekerasan dalam Rumah Tangga oleh pihak Polres Kepulauan Aru tetaplah diproses sesuai undang-undang yang berlaku.

Penjatuhan hukuman pidana hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

(16)

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan.4

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (Pasal 28). Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Selain pasal-pasal di atas, Pasal 29 UU ini juga mengatur :

Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh : a. korban atau keluarga korban ;

b. teman korban ; c. kepolisian ;

d. relawan pendamping ; atau e. pembimbing rohani.”

4 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta, Komnas Perempuan, 7 Maret 2007.

(17)

Upaya perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh Polres Kepulauan Aru selama ini adalah :

1. Setiap pelaporan, penyidik menerima pelaporan polisi dan menindaklanjuti sampai ke tingkat pengadilan.

2. Kerjasama dengan Dinas Kesehatan untuk melakukan penanganan melakukan Visum lewat Rumah sakit

3. Kerjasama dengan Dinas Sosial dalam pendampingan Korban KDRT

4. Penyidikpun berusaha melakukan pemahaman kepada korban terkait tindakan kekerasan untuk masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan demi tumbuh kembang anak yang masih memerlukan perhatian dan pengasuhan kedua orang tua mereka, namun Korban tetap bertekat untuk memproses pelaku karena perbuatan yang di lakukan oleh pelaku suda berulang kali kepada korban. Sihingga korban suda tidak inggin untuk masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan sihingga di proses secara hukum yang berlaku di Indonesia agar pelaku tersebut tidak mengulangi berbuatan yang sama kepada korban.dengan kejadian tersebut korban mengalami luka sobek pada bagian samping kepala kiri dan jahit sebanyak 35 (tiga lima) jahitan, korban pun merasa sakit pada bagian kepala, dengan kejadian tersebut koban saat ini masi merasa trauma atas perbuatan yang di lakukan pelaku kepada diri korban.

Dengan kejadian tersebut penyidik melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut : 1. Menerima laporan dari korban.

2. Mendampingi korban untuk melakukan visum.

3. Melakukan pemeriksaan kepada saksi-saksi yang berada di tempat kejadian.

(18)

4. Melakukan pemeriksaan kepada korban.

5. Melakukan pemeriksaan kepada pelaku dan di tetapkan sebagai tersangka.

6. Penyidik mengalikan status yang awalnya Penyelidikan menjadi Penyidikan.

7. Penyidik mengelurkan berita acara penagkapan kepada tersangka yang berlaku 1x24 jam.

8. Penyidik memberikan surat penahan yang di tandatangani oleh Kapolres yang berlaku 20 (dua puluh) hari.

9. Penyidik mengeluarkan surat permintaan perpanjangan penahanan tersangka yang berlaku 40 (empat puluh) hari, kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kepulauan Aru.

10. Penyidik melakukan proses sampai ke tingakat persidangan

Upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan haruslah memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.

C. Hambatan Dalam Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Polres Kepulauan Aru

(19)

Masyarakat belum memahami betul bahwa tindakan kekerasan dalam keluarga merupakan suatu perbuatan pidana yang membahayakan jiwa manusia serta hak azasi manusia, sehingga banyak korban yang tidak melapor atau enggan untuk melaporkan.

Perlindungan hukum terhadap korban tindak kekerasan dalam rumah tangga yang telah diatur dalam UU PKDRT ternyata belum dipahami oleh masyarakat pada umumnya, bahkan aparat penegak hukum sendiri masih banyak yang belum memahami apalagi memberlakukannya. Perlindungan hukum terhadap korban dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana diatur dalam undang-undang baik dalam KUHAP maupun dalam UU PKDRT ternyata dalam tataran empiris sangatlah jauh dari harapan karena penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sangat kompleks yang melibatkan masalah-masalah sosial dan keragamannya.

Dengan mengacu pada pandangan ahli sosiologi hukum maka dalam rangka kita menjalankan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga maka sebaiknya perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses jalannya penegakan hukumnya yakni :

1. Kaidah Hukumnya 2. Fasilitas Penegak Hukum 3. Aparat Hukum

4. Kesadaran Masyarakat 5. Budaya Hukum

Kelima unsur ini sangatlah mempengaruhi efektifitas jalannya proses serta penegakan hukum dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan lima unsur ini berjalan secara simultan.

Kaidah hukum yang mengatur tindak kekerasan dalam rumah tangga sudah jelas diatur dalam UU PKDRT tetapi dalam kenyataan, undang-undang ini belum tersosialisasi

(20)

dengan baik dan benar di lapisan masyarakat Kepulauan Aru, sehingga keberlakuannya sangat sulit sehingga mengakibatkan proses penyidikannya masih banyak yang gagal ditahap penyelidikan dan penyidikan. Masih banyak keluarga atau rumah tangga yang belum tahu tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi urusan keluarga tetapi sudah menjadi urusan publik, bahkan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan mengancam jiwa manusia.

Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan yaitu, untuk saat ini masih tetap dengan melakukan penanganan sesuai dengan tupoksi dan ditambah dengan pelayanan khusus dengan catatan korban sendiri yang harus memintanya. Kemudian untuk mengatasi hambatan tentang kurangnya koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan pihak Rumah Sakit sebagai tempat rujukan, Dinas Kesehatan berupaya memperbaiki kembali koordinasi dengan cara mengadakan pertemuan sesering mungkin dengan pihak Rumah Sakit untuk dapat berbagi bersama mengenai pelayanan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana KDRT ini.

Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan sebagai Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

1. Faktor Hukumnya Sendiri

Ada sedikit permasalahan dalam hal ini, karena ternyata dalam UU PKDRT tidak ditemukan pengertian yuridis dari rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, padahal pengertian ini paling penting untuk menentukan dan membuktikan jenis perbuatan yang dilakukan oleh pelaku/ tersangka/ terdakwa, karenanya pengertian-pengertian tersebut harus dicari dalam KUHP dan Yurisprudensi.

Tindak pidana kekerasan fisik ini merupakan delik aduan. Jadi kasus kekerasan

(21)

fisik bisa diadili di pengadilan bila ada aduan terlebih dahulu. Selain itu, Pasal 44 ayat (4) UU PKDRT memungkinkan suatu delik aduan bisa dicabut.

2. Faktor Petugas Penegak Hukum

Petugas penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih banyak yang bersikap bias gender, bahkan acapkali menggunakan pendekatan victim blaming dan victim participating dalam merespon kasus kekerasan. Korban kekerasan memiliki keraguan, kekhawatiran, dan ketakutan untuk melaporkan kejadian yang dialami.

Korban merasa takut pada proses hukum yang akan dijalani. Kesadaran dan kepekaan gender para penegak hukum masih kurang, sehingga kadang-kadang korban justru menjadi objek. Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender alam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPTPKKTP) merupakan sistem terpadu yang menunjukkan proses keterkaitan antar instansi/

pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. (SPPT-PKKTP) menuntut adanya penegak hukum yang memiliki visi berkeadilan gender dan tidak bias gender. Kasus KDRT terkadang sulit untuk diproses. Biasanya mengalami kesulitan dalam hal pembuktian (saksi biasanya tidak ada), perkara dicabut oleh korban sendiri (karena cinta/ karena perkara nafkah). Lembaga Kepolisian di wilayah polres kepulauan Aru, ditemukan adanya kekurangsiapan dalam menangani kasus KDRT dengan Ruang Pelayanan Khususnya (RPK). Idealnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga ditangani oleh polisi wanita. Namun demikian saat ini jumlah Polwan masih sangat terbatas.

(22)

3. Faktor Sarana Dan Fasilitas.

Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Dalam hal sarana dan fasilitas, di wilayah hukum Polres Kepulauan Aru telah ada LSM yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Akan tetapi belum bisa maksimal dalam melakukan pendampingan.

Terlebih wilayahnya sangat luas. Selain itu, belum adanya pendampingan korban oleh LSM untuk dengan memberikan pendampingan terhadap korban secara litigasi maupun non litigasi. Pendampingan ini penting, karena untuk dapat mengembalikan kepercayaan diri korban, dan juga untuk mengembalikan trauma.

4. Faktor kendala pemenuhan hak-hak korban yang dihadapi kepolisian adalah undang-undang tidak memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga yang tidak tercatat secara resmi sehingga banyak istri yang dinikahi secara tidak resmi tidak dapat memperoleh hak-haknya jika mengalami kekerasan dari suami, kurangnya anggaran kepolisian sehingga tidak dapat memberikan pelayanan gratis berupa pelayanan kesehatan dan pendampingan tenaga professional, serta adanya kesulitan dalam penanganan kerahasiaan korban karena peredaran informasi yang cepat di tengah masyarakat yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi. Disamping itu, korban juga sering menolak hak pendampingan dengan alasan akan lebih merepotkan dan merasa lebih nyaman dengan pendampingan dari orang terdekatnya walaupun orang tersebut tidak memahami tugas-tugas pendampingan korban KDRT.

(23)

5. Di samping itu masih banyak aparat hukum yang belum mengenal UU KDRT.

Sehingga terjadi kendala bagi proses penyidikan kasus KDRT ketika korban melapor di RPK (Ruang Pelayanan Khusus) yang berada di Serse Polda ditiap- tiap propinsi di Indonesia. Banyak penegak hukum yang belum melakukan proses pelayanan hukum terhadap korban dengan menjalankan prosedur perlindungan yang ditetapkan secara khusus oleh UU 23 Tahun 2004. Hal ini yang menyebabkan korban menarik kembali atau mencabut laporan dan pengaduan mereka.

6. Fasilitas hukum yang disediakan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di setiap kantor kepolisian setempat sampai saat ini masih banyak yang belum memadai, seperti misalnya Pusat Pelayanan Terpadu yang memberikan pelayanan gratis kepada pelapor/korban belum dijalankan sebagai mana mestinya.

Kesadaran hukum warga masyarakat untuk tunduk pada UU KDRT masih sangat minim. Sebagian masyarakat belum mau menyadari bahwa ada hukum yang melarang untuk melakukan kekerasan terhadap sesama anggota keluarga. Walaupun ada anggota masyarakat sudah mengetahui bahwa ancaman hukuman penjara bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga akan tetapi masih dipengaruhi budaya patriakhi atau memiliki kekuasaan yang melampaui batas dalam keluarga.

Tingkat kesadaran hukum dari masyarakat masih jauh dari harapan untuk menghapus tindak kekerasan dalam rumah tangga . sehingga banyak korban kekerasan dalam rumah tangga lebih memilih perceraian untuk mengakhiri persoalan KDRT dari pada mengharapkan proses penyidikan yang berlarut-larut dengan biaya yang cukup tinggi.

Terlebih lagi jika kita melihat praktek dilapangan, bagaimana korban tindak kekerasan

(24)

dalam rumah tangga belum mendapatkan perlindungan yang memadai sebagaimana telah diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tentang kekerasan dalam rumah tangga.

Masih terdapat korban kekerasan dalam rumah tangga yang belum tertangani dengan baik dimana korban masih dalam kondisi trauma psikologis, kemudian kabur dan melarikan diri karena takut untuk dihadapkan ke pengadilan untuk diadili. Selain itu ada juga korban yang melarikan diri karena takut mendapat ancaman dari si pelaku. Para korban sering teriak-teriak histeris, ketakutan dan hendak melakukan bunuh diri karena mendapat tekanan psikologis yang melampaui batas-batas kemanusiaan.

Sementara pihak pemerintah dan penegak hukum belum bisa melakukan apa yang diamanatkan undang-undang. Jika pemerintah dan masyarakat bersama-sama melaksanakan dengan baik tanpa diskriminasi terhadap satu komponen, maka tentunya sebuah keadilan akan lahir dengan sempurna sehingga masyarakat boleh merasakan dan menikmati hak- haknya terutama korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga akan berkurang dengan sendirinya..

Referensi

Dokumen terkait

Menengah Terhadap Pendapatan Nasional Pada Sektor UMKM di Indonesia", Jurnal Ekonomi Pembangunan,

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan istri/anak dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah