• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Selulosa Asetat dari Ampas Tebu sebagai Bahan Baku Biodegradable Foam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Sintesis Selulosa Asetat dari Ampas Tebu sebagai Bahan Baku Biodegradable Foam"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Sintesis Selulosa Asetat dari Ampas Tebu sebagai Bahan Baku Biodegradable Foam

Meidini Suci Anjarwati1*, Anerasari Meidinariasty2, Muhammad Yerizam3

1,2,3 Jurusan Teknik Kimia Program Studi Teknologi Kimia Industri, Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang

*Koresponden email: [email protected]

Diterima: 1 Oktober 2023 Disetujui: 6 Oktober 2023

Abstract

The high cellulose content of bagasse allows it to be developed into a variety of valuable products, one of them is cellulose acetate which will be used to make biodegradable foam. The purpose of this research is to determine the best conditions for the synthesis of cellulose acetate from bagasse and test how cellulose acetate can be used to make biodegradable foam. This study used phosphoric acid as a solvent and glacial acetic acid as an acetylating agent to make cellulose acetate through the acetylation process. The variations in acetylation time in this study were 15, 30, and 45 minutes and the volume of glacial acetic acid as acetylating agent was 20, 40, 60, 80, and 100 ml. The results of this study indicated that the optimum conditions for the synthesis of cellulose acetate are 15 minutes of acetylation with a volume of 100 ml of glacial acetic acid, with a yield of 79.31% cellulose acetate, 36.19% acetyl content and a degree of substitution of 2.11. The test for the application of cellulose acetate to make biodegradable foam obtained a water absorption of 18.81%, the biodegradation test obtained was 24.53% in 14 days. In the biodegradable foam leak test for 10 minutes, no leakage occurred. This indicated that the biodegradable foam obtained was suitable to use because it complied with SNI.

Keywords: bagasse, acetylation, cellulose acetate, biodegradable foam

Abstrak

Tingginya kandungan selulosa yang dimiliki oleh ampas tebu memungkinkannya untuk dikembangkan menjadi berbagai produk yang bernilai, salah satunya adalah selulosa asetat yang akan diaplikasikan untuk pembuatan biodegradable foam. Tujuan dari penelitian ini idalah untuk menentukan kondisi terbaik untuk pembuatan selulosa asetat dari ampas tebu dan menguji bagaimana selulosa asetat dapat digunakan untuk membuat biodegradable foam. Penelitian ini menggunakan asam asetat glasial sebagai acetylating agent dan asam fosfat sebagai pelarut untuk membuat selulosa asetat melalui proses asetilasi. Variasi waktu asetilasi pada penelitian ini adalah selama 15, 30, dan 45 menit dan volume asam asetat glasial sebagai acetylating agent sebanyak 20, 40, 60, 80, dan 100 ml. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk sintesis selulosa asetat adalah pada waktu asetilasi selama 15 menit dengan volume asam asetat glasial sebanyak 100 ml, dengan yield selulosa asetat yang didapatkan sebesar 79,31%, kadar asetil 36,19% dan derajat substitusi sebesar 2,11. Uji pengaplikasian selulosa asetat untuk dibuat biodegradable foam didapatkan daya serap air sebesar 18,81%, uji biodegradasi yang didapat sebesar 24,53% selama 14 hari. Pada uji kebocoran biodegradable foam selama 10 menit, tidak terjadi kebocoran dimana hal ini menandakan bahwa biodegradable foam yang didapatkan layak untuk dipakai karena telah memenuhi SNI biodegradable foam.

Kata Kunci: ampas tebu, asetilasi, selulosa asetat, biodegradable foam.

1. Pendahuluan

Tebu adalah salah satu sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. Saat tebu diolah di berbagai bidang industri, akan dihasilkan ampas tebu sebagai limbah. Dalam jangka waktu tertentu, pabrik akan memiliki masalah untuk menyimpan ampas tebu. Limbah ampas tebu adalah bahan yang bersifat mudah terbakar, dapat merusak lingkungan dan membutuhkan area penyimpanan yang tidak sedikit [1]. Di dalam ampas tebu terdapat kandungan karbon yang besar, dimana karbon dari ampas tebu terdiri dari hemiselulosa sebesar 25% dan selulosa sebesar 50% [2]. Kandungan selulosa yang tinggi pada ampas tebu membuat ampas tebu sangat mungkin untuk diolah agar dihasilkan produk yang memiliki nilai komersial. Selulosa mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan pati, dimana pati memiliki kelemahan dalam hal sifat suka air atau hidrofilik dan kelemahan lainnya ialah memiliki kekuatan mekanik yang rendah [3].

Selulosa ialah polimer glukosa yang memiliki rantai linier yang terhubung dengan ikatan β-1,4-

(2)

digunakan, dan membutuhkan pelarut khusus yang harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan pelarut umum. Selain itu, selulosa mempunyai ikatan hidrogen yang tinggi, sehingga selulosa tidak akan mudah terdegradasi atau terurai secara kimiawi atau fisik. Selulosa memiliki sifat kristalin dan tidak mudah larut karena strukturnya yang linier. Untuk mengatasi hal ini, selulosa dapat diubah menjadi selulosa asetat, yaitu produk turunan dari selulosa yang mudah larut [4].

Selulosa asetat adalah produk yang dihasilkan dengan mereaksikan selulosa dengan asam asetat anhidrat, yang dibentuk oleh gabungan gugus hidroksil serta asam dalam bentuk ester. Tahap sintesis merupakan tahap untuk memproduksi selulosa asetat yang menggunakan asam asetat glasial, asam asetat anhidrat, dan asam sulfat,. Selulosa asetat merupakan turunan selulosa dimana gugus hidroksilnya digantikan dengan gugus asetil, yang memiliki karakter berupa zat padat berwarna putih, tidak beracun, tidak berasa dan tidak berbau. Reaksi asetilasi merupakan reaksi yang digunakan dalam produksi selulosa asetat. Terdapat dua metode pembuatan selulosa asetat yaitu metode Emil Heuser dan metode Cellanase [5]. Metode Emil Heuser menggunakan asam asetat glasial sebagai zat asetilasi dan asam fosfat sebagai pelarut, sedangkan metode Cellanase menggunakan asam asetat anhidrat yang berperan sebagai zat asetilasi dan asam asetat glasial sebagai pelarut. Keunggulan proses Emil Heuser dibandingkan proses Cellanase adalah produk sampingan yang terbentuk lebih mudah direnormalisasi dalam bentuk asam fosfat encer dibandingkan dengan proses Celanaase yang menghasilkan asam asetat encer. Selulosa asetat cukup diminati karena bersifat biodegradable dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, selulosa asetat berpotensi menjadi bahan pengisi dalam pembuatan biodegradable foam sebagai alternatif pengganti styrofoam [6].

Styrofoam merupakan pembungkus makanan yang biasa digunakan untuk junk food dan makanan olahan lainnya. Pemakaian styrofoam semakin marak karena memiliki keunggulan diantaranya memiliki resistensi terhadap air, tidak berat, bisa dibawa kemana saja, tahan terhadap produk panas dan dingin, serta harganya yang terjangkau [7]. Namun, dibalik semua keunggulan itu, terdapat beberapa dampak negatif dari penggunaan styrofoam, diantaranya adalah styrofoam akan menumpuk menjadi limbah karena styrofoam adalah kemasan makanan yang sekali pakai, yang tidak mudah diuraikan oleh tanah dan mengakibatkan kerusakan lingkungan, bahkan ketika dibakar akan menghasilkan styrene yang memiliki bahan aktif styrene, yaitu turunan benzena yang beracun, dimana stirena akan terlepas dari styrofam jika kontak dengan panas sehingga makanan yang ada di dalam kemasan akan terkontaminasi oleh stirena yang dapat merusak saraf di otak [8].

Biodegradable foam adalah alternatif dari styrofoam, yang berbahan dasar pati yang dapat terdegradasi secara alami. Namun, biodegradable foam berbahan dasar pati memiliki kelemahan terhadap penyerapan air dan cenderung rapuh, sehingga diperlukan aplikasi khusus untuk meningkatkan kekuatan, elastisitas dan ketahanan air. Oleh karena itu ditambahkan filler berupa serat selulosa dari ampas tebu yang memiliki kandungan selulosa tinggi [9].

Kekurangan dari biodegradable foam yang terbuat dari pati adalah memiliki kelemahan fisik dan mekanik, serta masih kurang dalam hal kelarutan biofoam dalam air. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan inovasi dalam pembuatan biodegradable foam untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanik dari biofoam [10]. Salah satu upaya untuk meningkatkan sifat biodegradable foam adalah penambahan kitosan.

2. Metode Penelitian Bahan dan Metode

Bahan yang dipakai pada penelitian ini ialah ampas tebu, CH3COOH, HCl, NaOH, H3PO4, H2O2, pati tapioka, gliserol, kitosan, magnesium stearat, polivinil alkohol, dan akuades. Peralatan yang digunakan adalah gelas kimia, neraca analitik, hot plate, magnetic stirrer, kertas saring whatman, spatula, kaca arloji, pH meter, desikator, stopwatch, oven, grinder, ayakan, loyang, dan sarung tangan.

Preparasi Serat Ampas Tebu

Limbah ampas tebu yang didapatkan direndam selama 1 hari lalu dicuci sampai ampas tebunya bersih. Setelah itu, serat ampas tebu dikeringkan di bawah sinar matahari selama tujuh hari. Setelah kering, serat ampas tebu kemudian disisir untuk menghilangkan sisa zat pengotor dan gabus pada serat.

Selanjutnya, serat ampas tebu yang sudah kering diperkecil ukurannya sampai halus dengan menggunakan grinder [11].

Delignifikasi

Melakukan delignifikasi pada serbuk serat ampas tebu dengan menggunakan natrium hidroksida 2%

(1:10) pada suhu 70°C- 80°C selama 3 jam. Setelah delignifikasi, serat ampas tebu disaring menggunakan

(3)

Bleaching

Serat ampas tebu hasil delignifikasi di-bleaching dengan mencampurkan larutan natrium hidroksida 4% dan hidrogen peroksida 7,2% serta serbuk serat ampas tebu pada suhu 55°C selama 2 jam sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Serbuk serat ampas tebu hasil bleaching kemudian disaring menggunakan kertas saring lalu dicuci menggunakan akuades sampai pH netral [12].

Sintesis Selulosa Asetat

Sebanyak 5 gr selulosa dilarutkan ke dalam 100 ml larutan asam fosfat 85%, kemudian diaduk selama 15 menit. Setelah itu, menambahkan asam asetat glasial dengan variasi 20 ml, 40 ml, 60 ml, 80 ml, dan 100 ml ke dalam larutan, dengan kecepatan pengadukan 300 rpm serta variasi pada waktu asetilasi adalah selama 15, 30, dan 45 menit. Kemudian, tambahkan 10 ml etil eter setelah waktu asetilasi selesai. Setelah itu, saring cuci residu dengan air hangat, kemudian keringkan ke dalam oven pada suhu 50℃ [13]. Selulosa asetat yang dihasilkan kemudian dihitung persen yield-nya.

%𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 (𝑔𝑟)

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑡𝑎𝑛 (𝑔𝑟)× 100%

Selulosa asetat yang memiliki nilai yield, kadar asetil, dan derajat substitusi yang paling tinggi kemudian dianalisa gugus fungsinya dengan alat Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) yang kemudian diaplikasikan untuk membuat biodegradable foam.

Pembuatan Biodegradable Foam

Pati tapioka dimasukkan ke dalam oven selama 5 jam pada suhu 100°C agar kadar airnya hilang, kemudian dimasukkan ke dalam desikator. Sebanyak 10 gr kitosan dilarutkan ke dalam 100 ml larutan asam asetat pekat 1% sebanyak di wadah yang berbeda, kemudian mengaduk campuran kitosan, asam asetat pekat, dan akuades dengan pemanasan selama 5 menit dengan waktu pengadukan selama 60 menit, kemudian menambahkan 1,44 gr magnesium stearat, 11 gr gliserol, 14,4 gr polivinil alkohol, dan 2,5 gr serat selulosa asetat ke dalam campuran kitosan, asam asetat pekat, dan aquadest. Adonan diaduk dengan menggunakan mixer dengan pengadukan cepat hingga mengembang dan terbentuk foam. Sebanyak 36 gram pati tapioka dimasukkan ke dalam adonan secara perlahan dan melakukan pengadukan lambat selama 20 menit. Setelah homogen, adonan dimasukkan ke dalam loyang, lalu dikeringkan menggunakan oven selama 1 jam dengan suhu 120°C. Biodegradable foam yang telah jadi kemudian didinginkan selama 2 hari pada suhu ruang [9]. Selanjutnya, dilakukan uji kebocoran, uji daya serap dan uji biodegradasi terhadap biodegradable foam yang dihasilkan.

Prosedur Analisa

Kadar Asetil (AG) dan Derajat Substitusi (DS)

Sebanyak 0,1 gr selulosa asetat (Mca) dicampurkan oleh 5 ml etanol dan 5 ml NaOH 0,25 M, volume NaOH dicatat sebagai Vbi sedangkan konsentrasi NaOH dicatat sebagai Mb. Kemudian didiamkan selama 1 hari. Selanjutnya, 10 ml HCl 0,25 M, volume HCl dicatat sebagai Va dan konsentrasi HCl dicatat sebagai Ma. ditambahkan ke dalam campuran, lalu diamkan selama 30 menit. Setelah itu, tambahkan 3 tetes indikator pp ke dalam campuran lalu titrasi dengan larutan NaOH 0,25 M, volume NAOH untuk titrasi dicatat sebagai Vbt [14]. Rumus kadar asetil:

𝐴𝐺 =[(𝑉𝑏𝑖 + 𝑉𝑏𝑡)𝑀𝑏 − (𝑉𝑎 − 𝑀𝑎)[

𝑀𝑐𝑎

Rumus derajat substitusi:

𝐷𝑆 = 162 × 1 × 𝐴𝐺 (43 − 100) − (43 − 1)𝐴𝐺 Keterangan:

AG: kadar asetil (%)

162: BM unit anhidroglukosa 43: BM asetil

1: Ar hidrogen

(4)

Uji Daya Serap Air

Untuk mengetahui seberapa baik biodegradable foam yang dibuat dalam menyerap air, dilakukan pengujian daya serap air. Untuk itu, diperlukan Biodegradable foam dengan ukuran 2,5cm x 5cm, kemudian ditimbang, ditulis sebagai berat awal (W0) biodegradable foam. Setelah itu, biodegradable foam direndam dalam air selama 1 menit, kemudian sisa air yang terdapat pada permukaan biodegradable foam dikeringkan dengan menggunakan tisu, kemudian ditimbang sehingga didapatkan berat akhir (W1).

Perbedaan berat biodegradable foam pada awal dan akhir penimbangan dicatat sebagai jumlah air yang diserap oleh biodegradable foam [15]. Persamaan berikut digunakan untuk menghitung daya serap air.

Daya Serap Air (%) =𝑊1−𝑊0

𝑊0 × 100%

Uji Kebocoran

Untuk melakukan uji ini, beberapa mililiter air ditambahkan ke dalam biofoam yang telah dilapisi kertas dan diamkan selama sepuluh menit, cek apakah terjadi kebocoran atau tidak [16].

Uji Biodegradasi

Uji biodegradabilitas, atau kemampuan biodegradable foam terurai dengan tanah, dilakukan pada biodegradable foam dalam jangka waktu 14 hari pengamatan untuk mengetahui seberapa cepat bahan rusak karena aktivitas mikroorganisme yang ada di dalamnya. Uji ini dilakukan untuk mengetahui persentase kerusakan dengan metode penanaman di dalam tanah. Biodegradable foam ke dalam tanah dan diamati bentuk dan strukturnya sampai biofoam benar-benar hancur karena telah menjadi satu dengan tanah [17].

3. Hasil dan Pembahasan Sifat Fisik Selulosa Asetat

Pengamatan fisik selulosa asetat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas produk selulosa asetat.

Berdasarkan SNI 06-2115-1991, selulosa asetat memiliki sifat fisik berupa zat padat dan serpihan atau serbuk, berwarna putih dan tidak berbau. Seperti terlihat pada Tabel 1, sifat fisik selulosa asetat yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan fisik berupa serpihan padat (flakes), berwarna putih gading dan tidak berbau. Warna selulosa putih gading yang dihasilkan disebabkan karena adanya kandungan lignin pada bahan baku selulosa ampas tebu, sehingga warna selulosa asetat tidak sepenuhnya putih. Penampakan, bentuk, dan bau selulosa asetat hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 1 yang semuanya sesuai dengan sifat yang diinginkan berdasarkan SNI selulosa asetat.

Tabel 1. Sifat Fisik Selulosa Asetat Parameter Hasil Pengamatan

Bentuk Serbuk

Warna Putih Kekuningan

Bau Tidak Berbau

Pengaruh Volume Asam Asetat Glasial dan Waktu Asetilasi terhadap Yield Selulosa Asetat

Gambar 1 menunjukkan bahwa semakin banyak volume asam asetat glasial dalam hal ini selulosa asetat sebagai acetylating agent, maka semakin tinggi pula persentase yield selulosa asetat yang dibuat, dimana persentase yield selulosa asetat dengan angka yang paling tinggi didapatkan pada variasi volume asam asetat glasial 100 ml dan waktu asetilasi selama 15 menit. Hal ini disebabkan karena volume asam asetat glasial mempengaruhi homogenitas dari larutan.

Selain volume asam asetat glasial, yield selulosa asetat juga dipengaruhi oleh waktu asetilasi. Dari Gambar 1, diketahui semakin lama waktu asetilasi, semakin kecil yield selulosa asetat yang dihasilkan.

Yield produk akan menurun jika waktu asetilasi yang terlalu lama atau lebih dari waktu optimal dalam proses asetilasi, yang akan mengakibatkan selulosa dan selulosa asetat terurai kembali [18]. Pembuatan selulosa asetat menggunakan metode Emil Heuser memiliki waktu optimal sekitar 15 menit [13]. Studi lain menemukan bahwa waktu asetilasi ideal untuk pembuatan selulosa asetat dengan bahan baku ampas sagu adalah lima belas menit dengan cara Emil Heuser [5]. Selain metode Emil Heuser, selulosa asetat juga dapat dibuat menggunakan metode Cellanase dengan fiber cake kelapa sawit sebagai bahan baku, dimana kondisi optimum yang didapatkan adalah pada waktu asetilasi selama 1,5 jam yang menghasilkan persentase yield

(5)

Gambar 1. Pengaruh Volume Asam Asetat Glasial dan Waktu Asetilasi terhadap Yield Selulosa Asetat Hasil dari beberapa penelitian di atas membuktikan bahwa metode Cellanase membutuhkan waktu asetilasi yang lebih lama daripada metode Emil Heuser. Maka dari itu, metode Emil Heuser untuk proses asetilasi dipilih dalam penelitian ini. Waktu asetilasi yang optimal dipilih berdasarkan persentase yield selulosa asetat yang paling tinggi, yaitu pada variasi waktu yang paling sedikit, 15 menit, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pada waktu asetilasi 15 menit dengan volume asam asetat glasial 100 mililiter, persentase yield selulosa asetat yang paling tinggi adalah 79,31%.

Pengaruh Volume Asam Asetat Glasial dan Waktu Asetilasi terhadap Kadar Asetil Selulosa Asetat Gambar 2 menunjukkan waktu asetilasi yang semakin lama akan menurunkan kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan. Namun, semakin banyak volume asam asetat glasial yang digunakan, kadar asetil yang dihasilkan akan semakin besar. Kadar asetil yang paling besar adalah sebesar 39,16% dengan waktu asetilasi selama 15 menit dan volume asam asetat glasial 100 ml. Hal ini menunjukkan bahwa waktu asetilasi yang paling optimal adalah selama 15 menit, karena pada variasi waktu asetilasi selama 30 menit dan 45 menit, kadar asetil mengalami penurunan.

Gambar 2. Pengaruh Volume Asam Asetat Glasial dan Waktu Asetilasi terhadap Kadar Asetil Selulosa Asetat Kadar asetil pada selulosa asetat akan semakin berkurang jika waktu asetilasi yang digunakan terlalu lama melebihi kondisi optimum karena semakin banyak selulosa asetat yang terurai [20], seperti studi sebelumnya yang mencapai kondisi ideal dengan kadar asetil tertinggi dalam 15 menit.

Pengaruh Volume Asam Asetat Glasial dan Waktu Asetilasi terhadap Derajat Substitusi Selulosa Asetat Berdasarkan Gambar 3, diketahui bahwa semakin banyak volume asam asetat glasial, maka semakin besar nilai derajat substitusi pada selulosa asetat. Namun, semakin lama waktu asetilasi, derajat substitusi menjadi semakin kecil. Kadar asetil berkorelasi positif atau berbanding lurus dengan derajat subsitusi selulosa asetat [21].

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

20 40 60 80 100

Yield (%)

Volume Asam Asetat Glasial (ml)

15 menit 30 menit 45 menit

0 5 10 15 20 25 30 35 40

20 40 60 80 100

Kadar Asetil (%)

Volume Asam Asetat Glasial (ml)

15 menit 30 menit 45 menit

(6)

Gambar 3. Pengaruh Volume Asam Asetat Glasial dan Waktu Asetilasi terhadap Derajat Substitusi Selulosa Asetat Derajat substitusi selulosa asetat biasanya berkisar antara 0 dan 3,5. Dari gambar di atas, nilai derajat substitusi yang paling besar adalah sebesar 2,11 yang merupakan kategori selulosa diasetat. Selulosa diasetat merupakan selulosa asetat komersial dimana dua gugus hidroksilnya disubstitusi oleh dua gugus asetil [22].

Dengan volume asam asetat glasial yang tinggi, maka larutan akan menjadi lebih homogen.

Akibatnya, pergerakan partikel meningkat, sehingga menghasilkan reaksi yang lebih sempurna. Semakin lama waktu asetilasi, maka akan lebih banyak selulosa asetat yang terhidrolisis. Kadar asetil selulosa asetat akan mempengaruhi derajat substitusi selulosa asetat. Derajat substitusi akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar asetil. Derajat substitusi digunakan untuk mengetahui berapa banyak gugus hidroksil (- OH) yang digantikan oleh gugus asetil (-OCH3CO) yang merupakan sumber untuk pembentukan selulosa asetat [19].

Hasil Uji FTIR Selulosa Asetat

Analisa menggunakan instrumen FTIR dilakukan untuk melihat daerah serapan khas dan perubahan gugus fungsi setelah proses asetilasi yang merupakan analisa kualitatif untuk mengetahui keberhasilan proses asetilasi yang dilakukan. Gugus fungsi pembentuk struktur kimia selulosa asetat adalah C-O, O-H, C-H, dan C=O [23].

Gambar 4. Hasil Uji FTIR Selulosa Asetat Sumber: LTIST Unila, 2023 [13]

Dari Gambar 4, terlihat seluruh gugus fungsi secara teori pada panjang gelombang 3382,1 cm-1 untuk gugus hidroksil (O-H), panjang gelombang 2892,4 cm-1 untuk gugus C-H, panjang gelombang 1647,5 cm-1 untuk gugus karbonil (C=O), dan panjang gelombang 1028,7 untuk gugus asetil (C-O).

Berdasarkan data yang didapat, sampel yang diuji mengandung gugus asetil dengan karakteristik serapan- serapan yang umum, yaitu serapan gugus karbonil (C=O) dan gugus asetil (C-O). Artinya, proses asetilasi pada penelitian ini berhasil karena adanya gugus fungsi pembentuk selulosa asetat pada sampel yang diuji.

Uji Daya Serap Air Biodegradable Foam

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50

20 40 60 80 100

Derajat Substitusi

Volume Asam Asetat Glasial (ml)

15 menit 30 menit 45 menit

(7)

foam berbasis pati masih rentan terhadap penyerapan air yang disebabkan karena sifat hidrofilisnya, maka diperlukan perubahan dengan menambahkan bahan lain, salah satunya adalah serat. Serat dapat memengaruhi penyerapan biodegradable foam [25]. Penelitian terdahulu lainnya adalah pembuatan biodegradable foam dari serat batang pisang, dimana daya serap air dari biodegradable foam akan berkurang jika semakin banyak serat batang pisang yang digunakan. Hal ini dikarenakan serat tidak suka terhadap air (hidrofobik) [26].

Sebagian besar produk biodegradable foam masih memiliki sifat mekanik yang buruk dan tidak tahan air. Dengan menggunakan pati dengan rasio amilopektin atau senyawa non polar yang tidak larut dalam air terhadap amilosa yang lebih tinggi, sifat mekanik dapat ditingkatkan. Pati sagu memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi dari jagung dan ubi kayu, hal inilah yang menyebabkan daya serap air yang lebih rendah dibandingkan dengan pati jagung dan pati singkong [27].

Uji Kebocoran Biodegradable Foam

Dalam penelitian ini, biodegradable foam tidak bocor setelah dilakukan uji kebocoran selama 10 menit. Kemampuan biodegradable foam untuk mengikat air berkaitan dengan bahan tambahan dalam pembuatan biodegradable foam, salah satunya adalah magnesium stearat yang membuat lapisan film tidak suka air di sekitar foam [16]. Penambahan serat sintesis (PVA) juga berpengaruh terhadap ketahanan air dari biodegradable foam. Penambahan serat sintetis bertujuan untuk melindungi busa biodegradable dari kebocoran dan meningkatkan elastisitasnya [16].

Uji Biodegradasi

Biodegradabilitas adalah faktor penting dalam produk biofoam meskipun tidak mempengaruhi kualitas foam yang dapat digunakan [28]. Jika tidak, biofoam dapat memperparah kondisi lingkungan dan pada akhirnya akan sama dengan styrofoam yang umumnya digunakan. Biodegradasi dapat terjadi melalui degradasi kimiawi secara hidrolisis, degradasi enzimatik melalui bakteri atau jamur, degradasi mekanis melalui angin dan abrasi, dan fotodegradasi melalui cahaya [29]. Pada penelitian ini, biodegradable foam terdegradasi sebanyak 24,53% dalam waktu 14 hari. Tingkat biodegradasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk bahan yang digunakan untuk membuat biodegradable foam. Persentase kehilangan massa menurun ketika lebih banyak bahan hidrofobik yang digunakan karena asam asetat yang bersifat hidrofobik menyebabkan penyusutan lebih lama [30].

4. Kesimpulan

Kondisi optimum dalam sintesis selulosa asetat adalah saat waktu asetilasi 15 menit dengan volume asam asetat glasial sebanyak 100 ml, pada suhu 50°C, dengan yield selulosa asetat yang didapatkan sebesar 79,31%, kadar asetil 36,19% dan derajat substitusi sebesar 2,11. Sampel inilah yang formulanya digunakan untuk pembuatan biodegradable foam dengan penambahan kitosan sebanyak 10 gr.

Dari uji karaktersitik biodegradable foam, daya serap yang didapatkan adalah sebesar 18,81%, dimana SNI untuk daya serap air biodegradable foam adalah sebesar 26,61%, artinya, daya serap air pada biodegradable foam yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi SNI, begitu juga dengan uji biodegradasi pada biodegradable foam. Uji biodegradasi yang didapat sebesar 24,53% selama 14 hari, dimana SNI biodegradasi pada biodegradable foam adalah 100% dalam 60 hari. Pada uji kebocoran biodegradable foam selama 10 menit, tidak terjadi kebocoran. Hal ini menandakan bahwa biodegradable foam yang didapatkan layak untuk dipakai karena telah memenuhi SNI biodegradable foam.

5. Daftar Pustaka

[1] Satioko T.R., S. Wahyuni, N.B. Santoso. 2013. Pemanfaatan Bagas Limbah Pabrik Gula Jatibarang Brebes menjadi Bioetanol. Indonesian Journal of Chemical Science, 2(3): 207-211.

[2] Hermiati, E., D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno & B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian, 29(4): 121- 130.

[3] Sulityo, H. W., & Ismiyati, I. 2012. Pengaruh Formulasi Pati Singkong–selulosa Terhadap Sifat Mekanik Dan Hidrofobisitas Pada Pembuatan Bioplastik. Jurnal Konversi, 1(2)

[4] Rojtica, M. A. 2021. Sintesis dan Karakterisasi Bioplastik Berbasis Selulosa Asetat Limbah Tebu – Kitosan – Gliserol. Skripsi. Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

[5] Siswati, N. D., Wachidah, A. N., & Ariyani, A. E. P. 2021. Selulosa asetat dari Ampas Sagu. Jurnal Teknik Kimia, Vol.15, No.2

[6] Bahri. S, Fitriani, Jalaluddin. 2021. Pembuatan Biodegradable foam dari Ampas Tebu dan Tepung

(8)

[7] Al Mukminah, I. 2019. Bahaya Wadah Styrofoam dan Alternatif Penggantinya. Farmasetika.com.

[8] Nurfitasari, I. 2018. Pengaruh Penambahan Kitosan dan Gelatin terhadap Kualitas Biodegradable Foam Berbahan Baku Pati Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus). Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

[9] Isabella, H., Hendrawati, N. 2022. Perbandingan Karakteristik Biodegradable Foam dari Pati Ubi Jalar dan Pati Kentang dengan Penambahan Serat Selulosa. Jurnal Ilmiah Teknik Kimia. Vol. 6 No. 2.

[10] Ulfah, F., & Nugraha, I. 2014. Pengaruh Penambahan Montmorillonit Terhadap Sifat Mekanik komposit Film Karagenan-Montmorilonit. Molekul, 9(2), 155-165.

[11] Rambe, M. A. A., Fauzi, F. and Khanifa, S. 2016. Pemanfaatan Limbah Serat Ampas Tebu (Saccharum officinarum) Sebagai Bahn Baku Genteng Elastis. Jurnal Teknologi Kimia Unimal.

[12] Nafisah A.R, Rahmawati D, Thirmidzi F.M. 2022. Synthesis of Cellulose Nanofiber from Palm Oil Empty Fruit Bunches Using Acid Hydrolysis Method. Indonesian Journal of Chemical Science [13] Wahyusi, K. N., Siswanto, & Utami, L. I. 2017. Kajian Proses Asetilasi terhadap Kadar Asetil Selulosa

asetat dari Ampas Tebu. Jurnal Teknik Kimia Vol 12, No 1

[14] Annisa , S., Ni Ketut, S. & Hardi, J. 2017. Sifat Fisiko Kimia Edible Film Agaragar Rumput Laut (Gracilaria sp.) Tersubstitusi Glyserol. Journal of Science and Teknology, 6(2). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversitas Tadulako.

[15] ASTM D570. Standard Test Method for Water Absorption Plastics. ASTM International, United States.

[16] Hevira L, Ariza D, Rahmi A. 2021. Pembuatan Biofoam berbahan Dasar Ampas Tebu dan Whey.

Jurnal Kimia dan Kemasan, 43(2), 75-81.

[17] ASTM D5338-12. 2021. Standard Test Method for Determining Aerobic Biodegradation of Plastic Material Under Controlled Composting Conditions, Incorporating Thermophilic Temperatures.

ASTM International, United States.

[18] Gaol, M. R. L. L., R. Sitorus, S. Yanti, I. Surya, dan R. Manurung. 2013. Pembuatan Selulosa Asetat dari α-Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Kimia. 2(3): 33-39.

[19] Utami, I., Hasan, A., Junaidi, R. 2021. Sintesis dan Karakterisasi Selulosa Asetat dari -Selulosa Fiber Cake Kelapa Sawit. Jurnal Pendidikan dan Teknologi Indonesia. Vol.1: 357-364.

[20] Savitri, E., Achmad, R., Susana RH. 2003. Penentuan Kondisi Optimum Proses Asetilasi Selulosa dalam Asam Fosfat. Prosiding Simposium Nasional Polimer IV. ISSN 1410 8720

[21] Seto, A.S dan Sari, A.M. 2013. Pembuatan Selulosa Asetat Berbahan Dasar Nata De Soya. Konversi, 2(2).

[22] Asparingga, H., I. Syahbanu dan A. H. Alimuddin. 2018. Pengaruh Volume Anhidrida Asetat pada Sintesis Selulosa Asetat dari Sabut Kelapa (Cocos nucifera L.). Jurnal Kimia Khatulistiwa. 7(3): 10- 17.

[23] Souhoka, A.F., dan Latupeirissa, J. 2018. Sintesis dan Karakterisasi Selulosa Asetat (CA). Indo J.

Chem. Res, 5(2):58-62.

[24] Badan Standardisasi Nasional. 1991. SNI 06-2115-199. Selulosa Asetat. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

[25] Etikaningrum, Hermanianto J, Iriani ES, Syarief R, dan Permana AW. 2016. Pengaruh Penambahan Berbagai Modifikasi Serat Tandan Kosong Sawit pada Sifat Fungsional Biodegradable foam. J.

Penelitian Pascapanen Pertanian, 13(3): 146-155.

[26] Berutu F.L, Dewi R, Muhammad, Ginting Z, Nasrul ZA. 2022. Biofoam Berbahan Pati Sagu (Metroxylon rumphii m) dengan Bahan Pengisi (filler) serat batang pisang dan Kulit Pisang menggunakan Metode Thermopressing. Chemical Engineering Journal Stage 2:1.

[27] Hendrawati N, Lestari YI, dan Wulansari PA. 2017. Pengaruh Penambahan Kitosan terhadap Sifat Biodegradable foam Berbahan Baku Pati. J. Rekayasa Kimia dan Lingkungan 12(1): 1-7.

[28] Muharram FI. 2020. Penambahan Kitosan pada Biodegradable foam Berbahan Dasar Pati. J.

Edufortech, 5 (2): 118-127.

[29] Saputro, A. N. C dan A. L. Ovita. 2017. Sintesis karakterisasi bioplastik dari kitosan-pati ganyong (Canna edulis). Jurnal Kimia dan Pendidikan Kimia. 2(1):13-21.

[30] Tripathi, S., G. K. Mehrotra., dan P. K. Dutta., 2009. Physicochemicals of cross-linked chitosan PVA film for food packaging applications. Intl. J. Biol. Macromol. 45:372-376.

Referensi

Dokumen terkait

PRARANCANGAN PABRIK SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA DAN ASETAT ANHIDRID DENGAN PROSES ASETILASI KAPASITAS 31.500.. TON

Hasil studi ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan selulosa dari limbah organik masih belum layak untuk digunakan dalam sintesis selulosa asetat, hal ini disebabkan karena

Pada penelitian ini akan dilakukan sintesis selulosa asetat berbahan dasar sabut pinang dengan cara mengamati pengaruh waktu sonikasi dari selulosa asetat hasil

Hasil studi ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan selulosa dari limbah organik masih belum layak untuk digunakan dalam sintesis selulosa asetat, hal ini disebabkan karena

Salah satu bentuk esterifikasi adalah asetilasi selulosa dengan menggunakan asam asetat yang menghasilkan selulosa asetat (dapat dilihat pada Gambar 2.. Selulosa asetat

Larutan untuk asetilasi ini diperoleh dari pemanasan dan pengadukan selulosa dalam reaktor, dengan menambahkan campuran asetat anhidrid yang berlebih 5-10% (Mc.Ketta, 1982),

pemisahan kulit pisang, analisa persentase yield selulosa asetat hasil reaksi asetilasi dan yang terakhir adalah analisa struktur permukaan partikel dari hasil

Asam asetat glasial fase cair yang digunakan sebagai solven untuk tahap aktivasi selulosa asetat disimpan di dalam storage tank ST-02 dengan suhu 30 0C dan tekanan 1 atm.. Asam asetat