• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sociological Paradigm Functionalism Burr

N/A
N/A
SUKARDI Sudiono

Academic year: 2024

Membagikan "Sociological Paradigm Functionalism Burr"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIOLOGI AKUNTANSI

SOCIOLOGICAL PARADIGM – FUNCTIONALISM (Burrell and Morgan, 1979)

Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Akuntansi

OLEH:

RIZKI KURNIASARI 1360200310011003

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2015

(2)

SOCIOLOGICAL PARADIGM – FUNCTIONALISM Burrell and Morgan

1979

Pendahuluan

Paradigma fungsionalis merupakan paradigma yang paling dikenal dididalam metode penelitian ilmu social. Paradigma ini pertama kali dikenalkan oleh Aguste Comte (1798-1857). Comte yang juga dikenal bapak sosiologi ini, memiliki pandangan bahwa pengetahuan dan social berada dalam proses transisi evolusioner, dan bahwa fungsi sosiologi adalah untuk memahami bagian sejarah yang perlu, yang tidak terputus dan yang tidak dapat dihindari dalam sedemikian rupa cara sehingga membentuk realisasi tatanan social yang baru. Menurut pandangan Comte, evolusi ini mempunyai tiga tahap perkembangan yaitu Teologi, atau fiksi, metafisik atau abstrak, dan ilmiah atau positif. Comte mendefinisikan mode positif dari suatu pikiran sebagai berikut: “pada kondisi akhir, yang positif, setelah pemahaman yang absolut, pikiran diwujudkan dalam suatu pencarian, kemurnian, dan tujuan universal dan menghasilkan fenomena, dan digunakan dengan sendirinya dalam studi terhadap hukumnya, seperti hubungan keseragaman antara suksesi dan persamaan.Peralasan dan observasi adalah dua sarana dari pengetahuan ini (Comte, 1853 vol I, hal 1-2). Maksud Comte adalah dunia dimana rasionalittas ilmiah berada didalam suatu kekuasaan yang mendasari tatanan social.

Comte menyakini bahwa semua ilmu melewati tiga fase perkembangan ini, tapi dalam waktu yang berbeda berdasarkan kompleksitas masing-masing ilmu.Dia menyakini bahwa metode positif yang telah ditanamkan dalam matematika, astronomi, fisika, dan biologi, sebenarnya telah digunakan dalam politik dan mencapai puncaknya ketika ditemukan ilmu positif dari ilmu social yang dimaksud disini adalah sosiologi. Maksudnya disini adalah bahwa sosiologi didasarkan model dan metode yang digunakan dalam ilmu alam, dengan kata lain mendasarkan pada penemuan hokum alam yang menjelaskan berbagai bagian dari social-statika social – dan cara perubahan social dari waktu – dinamika social.

(3)

Sedangkan Hebert Spencer (1820-1903) mempunyai pengaruh signifikan bagi perkembangan sosiologi pada tahun 1870-1880.Hebert Spencer ini seperti pendahulunya Comte yaitu memiliki pandangan bahwa ilmu alam khususnya biologi sangat berkaitan erat dengan sosiologi.Akan tetapi berbeda dengan Comte, Spencer ini sedikit terpengaruh dengan prinsip Darwin tentang evolusi dalam bentuk kompleks.Selain melihat masyrakat sebagai bagian dari organisme, dia menggunakan fleksibilitas analogis sebagai suatu elemen penjelas yang menghasilkan, menurutnya adalah bentuk wawasan dan hipotesa.Pemahamannya tentang hubungan antara social dan organisme, dan pandangannya tentang bagian fungsi social yang menjaga keutuhan social telah menjadi acuan pemikiran kita tentang sosialitas sampai sekarang ini. Pandangan Spencer tentang social sendiri adalah hal tersebut merupakan system pengaturan diri yang dapat dipahami lewat studi berbagai elemen atau organ dan cara elemen itu berhubungan. Dia melihat social sebagai serangkaian bentuk evolusioner dari perkembangan, dimana perubahan strukturnya dapat dilihat dari proses peningkatan diferensiasi dan meningkatnya integrasi. Spencer juga menekankan pada perbedaan antara evolusi masyarakat dan evolusi species menitikberatkan pada konflik, termasuk peperangan, sebagai tekanan perubahan social- tapi prinsipnya masih berada dalam konteks perspektif teoritis yang diarahkan kepada pembentukan social yang integral dan lebih kompleks.

Emile Durkheim (1858-1917) menjelaskan bahwa sosiologi dapat berkembang lebih jauh.Dia tidak yakin bahwa analisis sebagai bagian dari organisme social dan peran dari analisis tersebut adalah cukup untuk dikatakan sebagai akhir dari analisis sosiologi. Dia memberikan kritisme terhadap sosiologi yang berpikir bahwa mereka telah memahami sebuah fenomena dengan mengatakna bagaimana kegunaannya, peran apa yang dimainkan, dan berbagai peralasan seperti jika fakta hanya didapat dari pandangan tentang peran dan tanpa adanya penyebab lain, dan mengacuhkan jelas atau tidaknya pemahaman tersebut (Durkheim, 1938 hal 89). Durkheim menjelaskan bahwa analisis penyebab dibutuhkan untuk mengetahui apa yang kita sebut sebagai analisis fungsional.

Tepatnya untuk memperlihatkan bagaimana sebuah fakta bisa dikatakan berguna, yaitu tidak digunakan untuk menjelaskan bagaimana fakta itu terjadi atau mengapa

(4)

fakta menjadi seperti itu.Penggunaan dari itu lebih menekankan pada elemen spesifik yang menjadi karakter dari fakta itu sendiri, tapi bukan menciptakan bentuk fakta. Kemudian, penjelasan fenomena social dimunculkan, dan kita harus mendasari penyebab yang efisien menghasilkan fakta dan fungsi fakta tersebut ( Durkheim, 1938, hal 89).

Durkheim melihat “masyarakat tradisional” adalah masyrakat yang disatukan oleh solidaritas mekanis yang dihasilkan dari kesamaan, dengan kesadaran individu yang membentuk suatu kolektivitas, yang mengikuti semua pergerakannya.

(kesadaran kolektif) ( Durkheim, 1938, hal 148). Kesadaran kolektif didasarkan atas sebuah system pembagian nilai, norma, dan keyakinan. Dalam masyarakat industry, dengan system “divisi kerja dan diferensiasi fungsional”, dia melihat bahwa solidaritas organic berasal dari interdepensi antar bagian.Tepatnya solidaritas ini diperoleh dari system normative dari nilai, keyakinan, dan sentimen.

Struktur Paradigma

Paradigma fungsionalis telah menghasilkan kerangka dominan untuk sosiologi akademis dalam abad 20 dan telah menjadi bagian terbesar dari teori penelitian dalam bidang studi organisasi. Struktur paradigm ini mencerminkan pengaruh dominan dari positivis sosiologis, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang menekankan hubungan antara paradigma interpretative dan elemen idealisme jerman. Struktur ini berisi beberapa pemikiran akademis, yang mana masing-masing menggunakan hubungan yang berbeda. Dalam ilmu sosiologi ada empat tipe kategori pemikiran paradigma fungsionalis yaitu teori system social, teori aktivitas social dan interaksionisme, teori integrative dan objektivisme.

Fungsionalisme Struktural

Dari pemahaman fungsionalisme structural, bisa dilihat bahwa penggunaan analogi biologis dari tradisi Comte, Spencer, dan Durkheim mempunyai pengaruh utama terhadap pikiran sosiologi. Pembentukan konsep nolisme, hubungan antar bagian, struktur, fungsi, dan kebutuhan, analogi biologis telah dikembangkan dalam berbagai cara untuk menghasilkan perspektif ilmu social yang tetap berakar pada sosiologi dari peraturan. Dengan menyatakan sosialitas eksternal sebagai realitas

(5)

yang kongkret, diatur oleh peraturan fungsional yang terukur yang didasarkan atas penelitian ilmiah lewat metode nomothetic, fungsionalisme structural terbentuk sebagai objek paradigm dominan dari analisis sosiologi setengah abad pertama abad 20.( Davis, 1959).

Dengan kata lain, fungsionalisme structural menerima penggambaran koheren sebagai teori dan metode analisis bahkan bukan dari sosiologi sendiri.

Pengambaran ini berasal dari antropologi social, sebuah area yang memfokuskan pada pembahasan masyarakat skala kecil dan memberikan bentuk pemecahan masalah aplikasi pandangan holistic dari masyarakat dalam konteks empiris. Ada dua nama pengagas prinsip ini yaitu Malinowski dan Radcliffe Brown.

Kontribusi Malinowski adalah untuk menetapkan kepentingan dari bidang kerja.Prinsip Malinowski menyatakan tentang pengaruh dari kebangkitan diri dan melibatkan diri didalam bidang kerja dan observasi langsung.Meskipun berlawanan dengan penjelasan tentang evolusionis dan difusionis masyarakat primitive pada tahun 1920-an, Malinowski mengembangkan penjelasan fungsionalis yang menyatakan bahwa karakteristik luar biasa atau spasial dari system social primitive dapat diketahui dari fungsi yang dijalankan. Menurut pendapat Malinowski analisis fungsional dari budaya adalah “dimaksudkan sebagai penjelasan fakta antropologi dari semua level perkembangan, yaitu lewat fungsinya, lewat bagian peran yang dijalankan dalam system integral budaya, lewat cara hubungan bagian tersebut satu sama lain dengan system, dan lewat cara dimana system ini berhubungan dengan lingkungan fisik sekitarnya. Selain itu, penjelasan juga ditekankan pada pemahaman sifat budaya, tepatnya pada konstruksi evolusinya atau kejadian sejarahnya.

(Malinowski, 1936, hal 132).

Radcliffe Brown memperbaiki model yang dikembangkan oleh Malinowski .Radcliffe Brown menyatakan bahwa konsep fungsi, yang diaplikasikan dalam masyrakat manusia, adalah didasarkan atas sebuah analogi antara kehidupan social dan kehidupan organis, dan bahwa hal tersebut juga melibatkan sejumlah pertimbangan filosofi dan sosiologi.Selain itu, Radcliffe Brown menyatakan bahwa konsep fungsi dalam ilmu social melibatkan asumsi bahwa ada semacam kondisi yang diperlukan oleh masyrakat dunia.Dengan menggunakan analogi organisme binatang, dia menyatakan bahwa masyrakat dapat dikonseptualkan sebagai jaringan

(6)

hubungan antar bagian terkait – struktur social – yang mempunyai keterlanjutan. Hal yang sama juga berlaku dalam masyarakat.

Radcliffe Brown menyatakan bahwa tipe analisis ini terfokus pada tiga permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat manusia dan kehidupan social.

Adapun ketiga permasalahannya yaitu

 Permasalahan tentang morphologi social- suruktur social?, persamaan dan perbedaanya?, Bagaimana klasifikasi masing-masing struktur?

 Masalah fisiolologi social-bagaimana fungsi struktur social ?

 Masalah perkembangan-bagaimana tipe baru struktur social bisa menjadi ada?

Dalam upaya spesifikasi area permasalahan, dia menyatakan bahwa analogi organismic memiliki beberapa keterbatasan, khususnya dalam studi masyarakat.Pertama, dalam masalah organisme, sangat memungkinkan untuk mempelajati struktur organis secara terpisah dari fungsinya, sedangkan dalam masyrakat hal ini tidak mungkin terjadi.Dia mengutarakan bahwa dalam masyrakat manusia, struktur social keseluruhan hanya dapat diketahui dari fungsionalnya.

(Radcliffe Brown, 1952, hal 181).Kedua, dia menggambarkan tentang permasalahan morphogenesis.Masyrakat mampu untuk berubah dan menggunakan tipe strukturalnya tanpa adanya keterlanjutn, sedangkan organisme tidak demikian.

Ketiga, dia memberikan perhatian pada fakta bahwa analisis fungsional dari masyrakat, dengan focus terhadap kontribusi bagian masyrakat terhadap keterlanjutan dan fungsi keseluruhan, adalah didasarkan pada hipotesis tentang

“kesatuan fungsional” dimana semua bagian dari system social bekerja sama dengan kondisis harmonis yang cukup atau konsistensi internal, yaitu tidak menghasilkan konflik permanen yang tidak dapat dipecahkan atau dikendalikan.

Radclifee Brown berpendapat bahwa fungsionalis perlu menguji hipotesis ini.

Perkembangan dalam tradisi fungsionalis dapat digambarkan pada kerja Malinowski dan Radcliffe Brown, dan pemahaman ini telah digunakan dibeberapa direksi. Masih diperdebatkan, apakah fungsionalisme atau fungsionalisme structural dapat digunakan sebagai cara yang terpadu, dan jumlah ragam fungsionalisme yang telah ditentukan (Demerath, 1966). Perbedaan dari dua hal tersebut menjadi permasalahan dalam level analisis, yaitu apakah focus dalam analisis fungsional,

(7)

adalah sebagian atau keseluruhan daripada institusi individu atau system social.

Selain adanya perbedaan ini, ada juga perhatian pada uda perkembangan lain.

Perkembangan pertama berkaitan dengan focus pemahaman Radcliffe Brown tentang tradisi morphologi social. Dan perkembangan kedua yaitu didasarkan kepada pendapat Radcliffe Brown yang dinamakan masalah “fisiologi social”.

Tepatnya menjelaskan cara pelaksanaan fungsi social. Talcot Parson (1951) memfokuskan diri pada system keseluruhan yang diperlukan dalam bertahan, menjalankan fungsi, evolusi, dan perubahan. Menurut Parsons, analisis fungsional meliputi upaya pembentukan klasifikasi masalah yang perlu dipecahkan oleh system supaya system tetap ada dan berkelanjutan (Rocher, 1974, hal 155). Parsons menamakan prinsipnya kriteria fungsional.Parson (1959, hal 16) menjelaskan ada empat masalah yang dapat dikaitkan dengan system social yaitu 1) adaptasi, 2) pencapaian tujuan, 3) integrasi, dan 4 latensi dan stabilitas pola.

Seperti pendapat dari Radcliffee Brown , pemahaman kebutuhan atau kondisi dari keberadaan system bersifat implisit dalam upaya penggunaan analogi organisme dan biologis dalam analisis social. Dalam menempatkan unsur tersebut dalam analisis, Parsons mengacuhkan batasan dari analogi ini terhadap studi masyarakat dimana Radcliffe Brown begitu bersikap hati-hati dalam menspesifikasi dan menjelaskan keyakinanya terhadap kebutuhan fungsionalis. Dari awal pelaksanaan fungsi, masalah dalam ilmu social empiris adalah upaya identifikasi struktur atau elemen system social yang menjalankan fungsi imperative. Menurut David Lockwood (1956), cara Parsons dalam analisis system social ditekankan pada asumsi dan kategori yang berhubungan dengan peran elemen normatif dalam aktivitas social, dan khususnya terhadap proses dimana motif ditata secara normative untuk menghasilkan stabilitas social. Menurut Lockwood, salah satu tema dari kerja Parsons, The Structure of Social Actions, adalah bahwa tatanan yang muncul dari keberadaan normal umum yang mengatur “pertentangan dari pihak melawan pihak lain” (lockwood, 1956, hal 137). Parsons berupaya kuat untuk menggambarkan prinsip dasar ini, meskipun dia berada dalam kondisi dimana dia berupaya membuat modelnya menjadi salah satu yang dinamis dan mampu menggambarkan dan menjelaskan perubahan.

(8)

Teori Sistem

Sejak awal tahun 1950-an, cara system telah mengalami peningkatan kepentingan di berbagai analisis social. Dalam sosiologi, psikologi, antropologi, archaeology, lingiustik, teori organisasi, hubungan industry, dan banyak subjek ilmu social lainnya, teori system telah berkembang menjadi metode yang penting dalam upaya analisis.Beberapa studi yang menggunakan prinsip ini adalah upaya penelitian Parsons (the social system, 1951), Homans (the Human Group, 1950), Katz dan Kahn (The Social Psychology of Organizations, 1966), Easton (The Political System, 1953), Dunlop (Industrial Relation System, 1958), dan Buckley (Sociology and morden system theory, 1967).

Menurut pendapat Von Bertalanffy, penemu dari teori system, “ada semacam koresprodensi dalam prinsip yang mengatur perilaku yang berbeda”.Koresprodensi ini didasarkan pada fakta bahwa semua perilaku tersebut bisa dikatakan sebagai system yaitu, kompleks elemen yang berada dalam suatu interaksi (Vin Bertalanffy, 1956, hal 1-2).Von Bertalanffy berharap untuk menggunakan pemahaman system sebagai sarana untuk mengurangi perbedaan subtansif yang muncul antar disiplin akademis yang berbeda.Subjek permasalahan dari kimia, fisika, biologi, sosiologi, dsb, berhubungan dengan pandangannya tentang fakta bahwa semua disiplin ilmu tersebut mempelajari kompleks elemen yang berada dalam suatu interaksi yaitu yang dinamakan system.Tugas dari teori system adalah untuk menemukan prinsip organisasi yang mendasari system tersebut.salah satu maksud dari kerjanya adalah untuk mencapai kesatuan ilmiah yang didasarkan atas hokum isomorphitas hukum di berbagai bagian ( Von Bertalanffy, 1956 hal 8).

Tujuan Von Bertalanffy tersebut dapat dikatakan sebagai archetipikal daripada perspektif positif.Tepatnya tujuan tersebut didasarkan pada asumsi epistermologi yang didominasi oleh pertimbangan untuk mencari dan menjelakan keseragaman structural dan peraturan yang menjadi karakter suatu kondisi secara keseluruhan.Persepektif disini berbeda dengan yang dimiliki oleh yang positivis, yaitu tidak melibatkan aspek tradisi ilmu tradisional.Von Bertalanffy menentang penggunaan prinsip reduksionisme sebagai karakter dari keilmuannya digantikan dengan menerapkan model yang didasarkan atas metode dan fisik konvensional.

(9)

Von Bertalanffy selalu menggunakan “batasan fisik konvesional” sebagai acuan dari cara pemahaman sistemnya. Disini, perbedaan antara system tertutup dan terbuka menjadi elemen pemahaman yang penting.Von Bertalanffy menyatakan bahwa fisik konvensional selalu dijalankan dalam system tertutup yaitu system berada dalam posisi yang terisolasi dari lingkungannya. Menurut Von Bertanlaffy, system tertutup harus berdasarkan hukum kedua aerodinamis, menghasilkan suatu keseimbangan yang tidak terpengaruh oleh waktu, dengan entropi maksimum dan energy minimum, dimana rasio antara tahap pembentukannya berlaku konstan” (von Bertanlaffy, 1950).

Sedangkan konsep system terbuka berbeda dengan system tertutp.System terbuka terlibat transaksi dengan lingkungannya, semacam impor dan ekspor dan sering berubah dalam prosesnya. Organisme yang hidup adalah contoh signifikan dari system terbuka, karena menjaga keutuhan hidupnya lewat proses pertukaran lingkungan.

Selain itu, pada perkembangannya juga muncul model keseimbangan mekanis yang paling maju dan sistematis antara lain adalah model yang dikembangkan oleh ilmuwan sosiologi Harvard School, yang mendasarkan pada prinsip Paretto dan LJ Henderson. Model-model yang digunakan Parsons(1951), Homans (1950), Banard (1938), Mayo (1933), dan Roethlisberger dan Dickson (1939). Pada dasarnya Paretto melihat masyarakat sebagai sebuah system yang berkaitan, meski dalam kondisi yang berkelanjutan dan fluktuatif, system ini juga mengarah pada kondisi keseimbangan.Selanjutnya dasar pemikiran ini digunakan sebagai dasar penelitian yang dilakukan oleh Mayo, Homan, Banard, dan Parson yang menyatakan bahwa pada akhirnya system akan kembali kepada keseimbangan.

Interaksionasisme

George Simmel (1858-1918) mengembangkan pemikiran tentang interaksionasisme didasarkan adanya dua pemikiran yaitu tradisi idealisme jerman dan tradisi anglo perancis.Tradisi idealis jerman menyatakan bahwa adanya perbedaan dasar antara sifat dan budaya dan bahwa hokum alam adalah bukan sarana yang tepat untuk menjelaskan permasalahan manusia.Sedangkan menurut

(10)

pendekatan Anglo perancis dinyatakan bahwa masyarakat mempunyai keberadaan objektif dan dalam kondisi tertentu terkesan sebagai organisme biologis.Simmels menolak adanya dua kondisi ekstrim tersebut dan menekankan pada analitis pengelompokan dan hubungan manusia. Simmels menyatakan studi masyrakat sebagai jaringan dari hubungan yang beragam dari individu dalam interaksi satu sama lain yang konstan. Studi disini dimaksudkan untuk sosialitas terpelajar atau bisa dikatakan sebagai asosiasi, bukan masyarakat (Coser, 1965 hal 5).

Simmels dalam pandagan sosiologinya lebih focus kepada bagaimana peran interaksi yang ada di dalam masyarakat. Menurutnya masyarakat menghasilkan kepadatan dan elastisitas, warna, dan konsistensi kehidupan social, dalam cara yang terkesan dipaksakan dan begitu misterius. Sosiologi mencari kondisi yang terjadi pada orang dan aturan apa yang mengaturnya, bukan ditekankan kepada orang yang bisa memahami individunya dalam totalitas, tapi pada orang yang membentuk kelompok dan ditentukan oleh keberadan kelompok tersebut karena suatu interaksi (Simmels, 1950, hal 10-11)

Pada perkembangannya Simmels focus pada perhatiannya berkaitan dengan interaksi yang ada didalam masyrakat yang tentunya tidak akan terlepas dari adanya konflik. Bagi Simmels konflik adalah bagian dalam kehidupan social. Bagi Simmels, masyrakat selalu membentuk harmoni dan konflik, ketertarikan dan penolakan, cinta dan benci. Dia memandang hunungan manusia sebagai kondisi yang dikarakterkan ambivelensi, karena pihak yang berhubungan dalam suatu keterkaitan yang erat cenderung untuk menghasilkan penilaian yang bukan hanya positif tapi juga sentimen negative kepada masing-masing pihak (Coser, 1965, hal 12).

Interaksionisme Simbolik

Istilah interaksionisme simbolik berkaitan dengan pikiran interaksionis.

Seperti Herbert Blumer, salah satu murid dari Mead dan interpreter yang paling jelas, menyatakan:

Dalam interaksi non simbolik manusia merespon secara langsung terhadap satu isyarat atau aktivitas pihak lain. Dalam interaksi simbolik, mereka menginterpretasikan tiap isyarat pihak lain dan melakukan aktivitas didasarkan atas makna dan hasil interpretasi

(11)

dari isyarat tersebut. Respon terhadap nada suara pihak lain adalah penggambaran dari interaksi non simbolik. Interpretasi dengan menggenggam tangan sebagai tanda bahwa orang akan bersiap menyerang merupakan penggambaran interaksi simbolik.

Pertimbangan Mead adalah pada interaksi simbolik. Interaksi simbolik melibatkan upaya interpretasi, atau penilaian makna dari aktivitas atau isyarat dari orang lain, upaya definisi, atau membuat indikasi kepadda orang lain tentang bagaimana seharusnya dia berperilaku. Hubungan manusia terdiri dari proses interpretasi dan definisi semacam itu. Lewat proses ini, partisipan bisa melakukan aktivitasnya berdasarkan aktivitas yang berkembang dalam hubungannya satu sama lain dan mendorong mereka untuk melakukan itu. (Blumer, 1966, hal. 537-8)

Ide dasar dan konsep Mead mengacu pada teori peran, teori kelompok referensi, teori pribadi, teori dramaturgi, dan sebagainya. Semua ragam pemikiran interaksionis simbolik ini dapat menjelaskan bentuk dan aspek dari kerja Mead. Ada kemungkinan untuk membedakan dua konsep pendukung interaksionis, yaitu antara interaksionisme perilaku dan interaksionisme phenomenology. Perbedaan antara dua mode teorisasi begitu mendasar, sehingga muncul interpretasi yang sama dari interaksionisme simbolik sebagai pikiran akademis.

Perbedaan antara dua konsep interaksionisme simbolik tersebut bisa digambarkan dengan jelas, dengan cara memahami prinsip Rose dan Bulmer yang dituliskan pada literature interaksionis (Rose,1962). Dalam bab pendahuluan, Rose menyatakan bahwa tidak ada argumen menyeluruh dari konsep, prinsip, dan proposisi oleh pihak yang menyebut dirinya sebagai interaksionis simbolik, yang mengemukakan teori Mead dalam Mind, Self, and Society dalam bentuk yang sederhana, sistematik dan bisa diteliti. Secara spesifik dia lebih menekankan pada kerangka referensi perilaku atau gestaltist sehingga prinsip Mead bisa dipahami secara umum. Untuk menjalankan ini, Rose menggunakan asumsi dan proposisi sebagai berikut:

(12)

ASUMSI 1 : Orang hidup dalam lingkungan simbolik dan lingkungan fisik dan dapat terdorong untuk beraktivitas akibat pengaruh symbol dan fisik tersebut.

ASUMSI 2 : Dengan symbol tersebut , orang mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi pihak lain, dan bukan hanya dia saja yang dipengaruhi.

ASUMSI 3 : Lewat komunikasi symbol tersebut, orang dapat mempelajari sejumlah makna dan nilai – dan menjadi acuan aktivitas – dari perilaku orang lain.

ASUMSI 4 : Simbol – makna dan nilainya – tidak terjadi hanya dalam kondisi terbatas, tapi juga dalam kelompok, yang kadang besar dan kompleks.

ASUMSI 5 : Pemikiran adalah proses dimana solusi simbolik dan aktivitas mendatang dipahami, dinilai keuntungan dan kerugiannya terhadap nilai individu, dan salah satunya akan dipilih (Rose, 1962, hal. 5-12).

Interpretasi Mead jelas berkaitan dengan perilaku social. Konsep yang berkaitan dengan interaksionisme simbolik diinterpretasikan dalam konteks kerangka pemahaman bahwa manusia hidup dalam dunia yang realistis baik dengan obyek simbolik dan fisik. Ini adalah dunia dimana orang saling bereaksi dan mempengaruhi, meskipun kerja Rose lebih menitik beratkan pada reaktivitas manusia. Pertimbangan kepada proposisi deduksi mencerminkan adanya keterlibatan epistemologis positivis, dimana hipotesis spesifik diperoleh dari kerja Rose dan metodologi yang digunakan biasanya mempunyai karakter nomothetik.

Pandangan Rose memberikan dukungan dan gambaran yang jelas tentang penelitian Strauss bahwa sosiologis yang cenderung sebagai determinis social akan menganggap tulisan Mead sebagai determinis social juga. (Strauss, 1964).

Sebaliknya, Blumer, dalam artikelnya pada buku yang sama, menjalankan posisi yang lebih subyektivis. Menurut Blumer, ketika individu dikelilingi oleh lingkungan obyek yang mempengaruhinya dan mendorong untuk beraktivitas terhadap itu, gambaran yang tepat dari ini adalah bahwa orang membentuk obyeknya sendiri ketika menjalankan aktivitasnya (Blumer, 1962, hal.182).

Pandangannya tentang sifat manusia juga jauh lebih voluntaris. Tepatnya, implikasi kedua dari fakta bahwa manusia membuat indikasi kepada dirinya sendiri adalah bahwa aktivitasnya dibentuk atau diciptakan dengan sendirinya (Blumer, 1962, hal 182). Dalam analisis ini, Blumer mengembangkan pandangan tentang masyarakat

(13)

yang mencerminkan sebuah proes interaksi simbolik, dimana individu secara pribadi menginterpretasikan kondisinya sebagai acuan aktivitasnya. Kelompok atau aktivitas kolektif dikatakan sebagai bagian dari aktifitas individu “yang didasarkan atas interpretasi individu atau peniruan aktivitas orang lain” (Blumer, 1962, hal. 184).

Dalam artikelnya tahun 1966, yang menjelaskan kerja dari G.H. Mead, dia menyatakan bahwa prinsip Mead adalah cenderung mengarah pada ontology nominalis dan selanjutnya menjelaskan implikasinya dalam aktivitas individu dan kelompok. Obyek Mead adalah konstruksi manusia dan tidak pada sifat pribadi manusia itu sendiri. Sifat manusia sangat tergantung pada orientasi dan aktivitas orang terhadap mereka.

Blumer menggunakan prinsip interaksionis simbolik dalam menjelaskan makna yang mendasari proses interaksi dan sebagai upaya untuk memahami masyarakat lewat interaksi tersebut. Prinsip ini juga digunakan sebagai salah satu bentuk analisis yang menekankan pada upaya pemahaman cara dimana orang selalu berada dalam kondisi yang berbeda.

Kedua pandangan ini (interaksionisme simbolik perilaku dan phenomenologis), pada level konseptual, sama-sama menekankan sifat proses dari interaksi simbolik, dan signifikansi arti dan interpretasi pelakunya sendiri.

Teori Aktivitas Sosial

Perkembangan teori aktifitas social, kadang kala dikatakan juga sebagai

“kerangka aktivitas dari sebuah referensi”, sebagian besar dan secara signifikan didasarkan atas kerja Max Weber (1964-1920) dan dari prinsipnya, yaitu verstehen.

Dalam sosiologi paradigm interpretif, metode verstehen atau pemahaman interpretif memainkan peran penting dalam pemikiran sosial neo-idealis. Prinsip ini dikenalkan oleh Wilheim Dilthey, dan dikembangkan oleh Max Weber, dan digunakan sebagai analisis yang dimaksudkan untuk menyelidiki permasalahan sosial, dengan menggunakan makna yang subyektif. Berlawanan dengan ilmu alam, ilmu budaya atau sosial dipandang oleh neo idealis sebagai ilmu yang menekankan pada perihal subyektif. Bila ilmu alam adalah studi tentang proses eksternal dalam dunia materi, ilmu budaya mempelajari proses internal dan tidak terbatas daripada pikiran manusia. Metode verstehen – menempatkan orang dalam peran sebagai pelaku –

(14)

dikatakan sebagai sarana untuk menghubungkan pengalaman internal dengan aktivitas yang dikeluarkan.

Weber, dengan metode analisisnya yang didasarkan atas tipe ideal prinsipnya, membentuk tipologi aktivitas sosial yang dibedakan menjadi: (a) aktivitas yang didorong oleh tradisi, atau aktivitas yang didominasi oleh respon kebiasaan: (b) aktivitas yang dipengaruhi oleh faktor emosional - yaitu, ekspresi spontan dari perasaan: (c) aktivitas yang diarahkan untuk menapai rasionalitas absolut – aktivitas wertasional: dan (d) aktivitas yang diarahkan untuk mencapai akhir yang spesifik, dan berhubungan dengan keuntungan dan kerugian sarana yang digunakan - zweckrasional. Pandangan Weber tentang tipe aktivitas ini bisa memberikan semacam sarana sosiologi yang berguna untuk menganalisa mode direksi dari aktivitas sosial (Weber, 1947, hal. 115 – 24).

Dalam konteks peradigma fungsionalis, teori aktivitas Weber menetapkan posisinya yang berseberangan dengan paham determinisme yang dikarakterkan dengan adanya teori yang sangat obyektivis, seperti prinsip perilaku Skinner. Teori aktivitas sosial yang paling signifikan adalah Talcott Parsons, yang dalam kerja terdahulunya, The Strucuture of Social Action (1949), yang menyatakan bahwa ada kecenderungan dari kerja Durkheim, Marshal, Pareto dan Weber untuk menggunakan istilah teori voluntaristik dari aktivitas. Parson menganggap teori voluntaristik sama saja dengan perspektif sosiologi, tapi pandangan ini tidak bertahan lama. Dalam kerja Parsons, teori aktivitas sosial menjadi lebih deterministic dan dapat digunakan dalam teorinya tentang sistem sosial, dan berada dalam posisi obyektivis dari paradigma. Dalam skema analisis Burrell & Morgan, Parson memahami paradigm fungsionalis dari posisi batasan subyektifis, yang juga berarti sama dengan teori Weber tentang aktivitas sosial, dimana posisi tersebut berada dalam elemen teori sistem sosial.

Sebagai kesimpulannya dapat dikemukakan bahwa teori aktivitas sosial, seperti halnya pemikiran interaksionis dari Mead dan Simmel, dapat dipahami lewat upaya penggunaan bersama prinsip idealis dan positivis dalam studi masyarakat.

Kedua ilmuwan tersebut menggunakan posisi menengah untuk dimensi batasan subyektif - obyektif dalam skema analisis Burrell & Morgan, yang merupakan karakteristik dari batasan subyektivis daripada paradigma fungsionalis. Prinsip

(15)

tersebut sering digunakan dalam upaya pemahaman yang konsisten baik dalam asumsi ontologism, epistemologis dan metodologis.

Teori Intergratif

Burrell dan Morgan menggunakan istilah teori integratif untuk menggambarkan cabang dari teorisasi yang merupakan bagian dari paradigm fungsionalis. Teori ini dimaksudkan untuk menghasilkan integrasi antar berbagai elemen interaksionisme dan teori sistem sosial, dan dalam kondisi tertentu, untuk menghadapi pertentangan dari perspektif fungsionalis yang dibentuk dari karakteristik teoris paradigm struktualis radikal, khususnya seperti Marx. Ini bisa disebut sebagai kerangka koheren dari sebuah teori. Adapun empat bentuk dari variasi ini, yaitu: (a) model power dan pertukaran Blau: (b) teori Merton tentang struktur sosial dan budaya: (c) fungsionalisme konflik: (d) teori sistem morphogenik.

Tiap empat hal tersebut adalah sebuah pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa pembentukan tatanan sosial dalam masyarakat dalam kondisi tertentu menghasilkan masalah dan membutuhkan penjelasan signifikan yang tidak biasanya ada dalam teori sistem sosial.

Teori Blau menekankan pada peran pertukaran dan power sebagai sumber untama dari integrasi dalam kehidupan sosial. Teori Merton tentang struktur sosial dan budaya cenderung menekankan pada fungsi yang dijalankan oleh elemen struktur sosial dalam proses intergratif. Fungsionalisme konflik cenderung terfokus ada fungsi positif yang dibentuk oleh konflik. Teori sistem morphogenik mendasarkan pada kepentingan transimisi informasi sebagai variabel sentral dari analisis.

Obyektivisme

Burrell dan Morgan menggunakan istilah obyektivisme untuk menggambarkan jumlah kerja sosiologi yang ditekankan pada batasan obyektivis dari paradigm fungsionalis. Hal ini dikarakterkan dengan adanya derajat komitmen yang tinggi terhadap model dan metode yang dihasilkan dari ilmu alam. Teori sistem sosial menggunakan pandangan fisik dan biologi sebagai sarana analogi untuk mempelajari dunia sosial, sebagai sumber hipotesa dan wawasan. Obyektivis, di lain

(16)

pihak, menyatakan dunia sosial sebagai dunia yang alami, dan struktur sosial adalah struktur fisiknya. Burrell dan Morgan mengemukakan adanya dua tipe obyektivisme - perilaku dan empirisme abstrak yang akan dibahas secara umum dibawah ini.

Perilaku

Prinsip perilaku adalah prinsip yang paling sering digunakan dalam kerja B.F.

Skinner, yang mencoba untuk mengembangkan teori akibat dari perilaku didasarkan atas analisis stimulus dan responnya. Orang dikatakan tidak lebih dari mesin, yaitu merespon secara deterministic terhadap kondisi eksternal yang ditemuinya. Dalam pandangan Skinner, semua referensi kepada kondisi subyektif dikatakan tidak relevan - dan kontra produktif, bila aspek penelitian adalah untuk ilmiah. Skinner menyatakan:

Upaya melihat organism untuk memahami penjelasan perilakunya malah menghambat pamahaman variabel yang bisa digunakan dalam analisis ilmiah. Variabel ini berada diluar organism, dalam lingkungannya sendiri dan dalam sejarah lingkungannya sendiri.

Organism tersebut mempunyai status fisik dimana bisa ditentukan dengan teknik ilmiah umumnya, dan memungkinkan untuk menjelaskan perilaku subyek lain, ketika subyek lain tersebut juga bisa dijelaskan dalam teknik ilmiah. (Skinner, 1953, hal.3).

Cara Skinner terhadap studi perilaku manusia adalah dengan menggunakan metode eksperimen yang umumnya digunakan dalam ilmu alam. Dia mendasarkan ini pada pandangan bahwa pemahaman tentang phenomena dangan memanipulasi sejumlah stimuli dalam kondisi terkontrol dan terpengaruh oleh lingkungan lainnya.

Studi perilaku manusia dengan persfektif seperti ini adalah sebuah aktivitas yang dimaksudkan untuk menemukan hukum universal dan peraturan yang mendasari pengetahuan manusia.

Secara ontologism, pandangan Skinner bersifat realis. Secara epistemologis, kerjanya merupakan tipe kerja positivisme. Pada dimensi perubahan radikal-teratur, skinner berada dalam posisi yang ekstrim. Pandangannya tentang dunia sosial

(17)

adalah salah satu pandangan yang mendasarkan pemahamannya untuk mengambangkan teknologi perubahan perilaku dan menjelaskan hubungan perilaku dalam konteks sosial yang lebih luas (Skinner, 1972).

Kami berpendapat bahwa prinsip perilaku Skinner berada dalam posisi ekstrim dari dimensi paradigma fungsionalis. Teorisasi Skinner menjelaskan prinsip perilaku dalam bentuk yang ekstrim, bertentangan dengan prinsip psikologi eksperimental, dan tidak bisa digunakan sebagai model teori dan penelitian ilmu sosial. Ada sejumlah teori perilaku yang berhubungan langsung dengan model Skinner, seperti teori pertukaran yang dikembangkan oleh Homans (1958 dan 1961).

Ada sejumlah teori menggunakan asumsi Skinner dikaitkan dengan dimensi subyektif-obyektif. Pihak-pihak yang berupaya untuk menjelaskan perilkau didasarkan atas hukum fisiologi universal masuk dalam kategori ini.

Empirisme Abstrak

Inti dari penjelasan prinsip interaksionisme, teori integrative, dan teori sistem sosial, adalah berdasar pada fakta bahwa kerja dari sejumlah teoris dan peneliti selalu berakhir pada empirisme abstrak. Istilah empirisme abstrak menjadi sangat popular pada kerja C. Wright Mills (1959) yang mana, dalam kritismenya menggambarkan output dari peneliti yang menggunakan metodologi yang terbentuk dari ilmu alam sebagai dominan dari kerjanya. Empirisme abstrak menjelaskan kondisi dimana metodologi yang sangat nomothetik digunakan untuk menguji teori yang didasarkan atas aspek ontology, epistemology dan teori sifat manusia yang lebih subyektivis.

Sangat disayangkan, banyak sekali fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar kerja penelitian dalam ilmu sosial sekarang ini berakhir dengan empirisme abstrak. Burrell dan Morgan menyatakan bahwa empirisme abstrak adalah karakteristik dari batasan obyektivis dari paradigm fungsionalis. Ini berdasarkan fakta bahwa sejumlah kerja ilmiah merupakan hasil komitmen berlebihan terhadap metodologi nomothetik dimana ukuran kuantitatif dari konstruksi sosial menjadi bagian dominan dalam kepentingan penelitian. Kondisi semacam ini bisa ditemukan pada penelitian dunia sosial, dimana secara metodologis menganggap sosial seperti

(18)

dunia yang keras, konkret, realitas terukur, dimana secara teoritis menganggap sosial adalah material yang bersifat subyektivis.

Kesimpulan

Paradigma fungsionalis memiliki pendekatan yang berusaha untuk menjelaskan hubungan sosial dengan jalan yang rasional, dengan orientasi yang pragmatik berkaitan dengan pengetahuan yang tepat guna serta dapat langsung memecahkan masalah. Dengan demikian paradigma ini mengedepankan regulasi yang efektif serta pengendalian hubungan sosial.

Dari pemaparan sebelumnya maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa paradigma fungsionalis terdapat beberapa teorisasi. Perbedaan antara teori sistem sosial dan interaksionisme adalah topic signifikan dari penelitian. Perbedaan antara pemikiran ilmuwan juga jelas. Teoris yang ada dalam paradigm fungsionalis saling berkaitan dengan upaya saling bertukar pandangan sifat dasar dari realitas ilmu sosial dari kerjanya. Mereka cenderung menggunakan pandangan bahwa dunia sosial adalah masyarakat yang secara ontologis terdiri dari orang dan menempatkan orang dan aktivitasnya dalam konteks sosial yang lebih besar. Merton menyatakan bahwa konsep fungsi melibatkan beberapa pendapat dari yang mengetahui fungsi tersebut, bukan harus selalu pelakunya (Merton, 1968, hal. 78). Teoris yang berada dalam konteks paradigma fungsionalis cenderung untuk memakai prinsip ini dan berupaya untuk menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan apa yang mereka katakan sebagai elemen penting dalam konteks sosial yang lebih luas.

Dengan menggunakan berbagai ukuran , tapi tetap terbatas, dari tatanan dan perpecahan, consensus dan dissensus, integrasi sosial dan disintegrasi, solidaritas dan konflik, kebutuhan kepuasan dan frustasi, maksud utamanya adalah memberikan penjelasan mengapa bagian sosial dari masyarakat cenderung untuk bersatu dan bersama-sama. Keragaman pikiran yang ada dalam konteks paradigma fungsionalis adalah keragaman dalam pandangan terhadap ilmu dan masyarakat.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Blau, P.M. 1964. Exchange and Power in Social Life. New York: John Wiley.

Blumer, H. 1962. Society as Symbolic Interaction, in A. Rose, Human Behaviour and Social Processes, op.cit.

Blumer, H. 1966. Sociological Implications of The Thought of George Herbert Mead.

American Journal of Sociology.

Burrell and Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis.

Ashgate Publishing Limited.

http://cha2n-arithmatic.blogspot.com/2013/03/paradigma-fungsionalisme- struktuktural.html (diakses 10 April 2014)

http://manyul83.blogspot.com/2011/09/fungsionalisme-dan-fungsionalisme.html (diakses 10 April 2014)

Skinner, B.F. 1953. Science and Human Behaviour. New York and London:

Macmillan.

Referensi

Dokumen terkait

Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang memiliki pendekatan yang mencakup aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/trend, (4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lain, dan (5) sejarah teori sastra. Obyek (1), (2), (3) dan (5) sebenarnya merupakan wilayah sastra. Teori-teori sastra dapat dimanfaatkan, terutama teori struktural, formalisme, semiotik, untuk membandingkan beberapa karya sastra. Yang diharapkan, kelak dapat menyusun pula sejarah sastra, kritik sastra, dan teori baru tentang sastra. Adapun obyek (4) merupakan analisis yang terkait dengan interdisipliner sastra. Bangunan teoritik yang dikehendaki merupakan studi sastra dalam multidisiplin. Sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya (dalam Endraswara, 2011: 192). Pendapat ini lebih menekankan bahwa penelitian sastra bandingan harus berasal dari negara yang berbeda sehingga mempunyai bahasa yang berbeda pula. 3. Sapardi Djoko Damono Menurut Damono (2009:1) sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Boleh dikatakan teori apapun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan juga disebut sebagai studi dan kajian. Dalam langkah-langkah yang dilakukannya, metode perbandinganlah yang utama. Lanjut Damono (2009:1) perbandingan yang sebenarnya merupakan salah satu metode juga selalu dilaksanakan dalam penelitian seperti halnya memberikan dan menguraikan, tetapi dalam sastra bandingan metode itu merupakan langkah utama. Jadi menurut Damono, sastra bandingan bukan hanya sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa. Sastra bandingan juga tidak terpatok pada karya-karya besar walaupun kajian sastra bandingan sering kali berkenaan dengan penulis-penulis ternama yang mewakili suatu zaman. Kajian penulis baru yang belum mendapat pengakuan dunia pun dapat digolongkan dalam sastra bandingan. Batasan sastra bandingan tersebut menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada sastra antarbangsa, tetapi juga sesama bangsa sendiri, misalnya antarpengarang, antargenetik, antarzaman, antarbentuk, dan

Sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya (dalam Endraswara, 2011: 192). Pendapat ini lebih menekankan bahwa penelitian sastra bandingan harus berasal dari negara yang berbeda sehingga mempunyai bahasa yang berbeda pula. 3. Sapardi Djoko Damono Menurut Damono (2009:1) sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Boleh dikatakan teori apapun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan juga disebut sebagai studi dan kajian. Dalam langkah-langkah yang dilakukannya, metode perbandinganlah yang utama. Lanjut Damono (2009:1) perbandingan yang sebenarnya merupakan salah satu metode juga selalu dilaksanakan dalam penelitian seperti halnya memberikan dan menguraikan, tetapi dalam sastra bandingan metode itu merupakan langkah utama. Jadi menurut Damono, sastra bandingan bukan hanya sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa. Sastra bandingan juga tidak terpatok pada karya-karya besar walaupun kajian sastra bandingan sering kali berkenaan dengan penulis-penulis ternama yang mewakili suatu zaman. Kajian penulis baru yang belum mendapat pengakuan dunia pun dapat digolongkan dalam sastra bandingan. Batasan sastra bandingan tersebut menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada sastra antarbangsa, tetapi juga sesama bangsa sendiri, misalnya antarpengarang, antargenetik, antarzaman, antarbentuk, dan