• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sriwijaya Journal of Internasional ... - Universitas Sriwijaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Sriwijaya Journal of Internasional ... - Universitas Sriwijaya"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

85

UPAYA UNITED NATIONS MISSION IN SOUTH SUDAN DALAM MELINDUNGI KORBAN CONFLICT-RELATED SEXUAL VIOLENCE PADA KONFLIK SUDAN SELATAN

Talitha Nabilah1, Retno Susilowati2, Indra Tamsyah3

1,2,3 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia

SUBMISION TRACK ABSTRACT Recieved: 2 November 2021

Final Revision: 10 Desember 2021 Available Online: 26 Desember 2021

This research aims to find out the effort of the international actors of the United Nations Mission in South Sudan in protecting victims of Conflict- Related Sexual Violence in the South Sudan conflict. The rise of reports of the CRSV case in South Sudan urges the international organization UN to mandate the UNMISS to conducts peacekeeping operation missions to protect civilians and keep sustainable peace. This research is studied using the concept of Gender Sensitive Conflict Analysis (GSCA).

The author used a qualitative descriptive research method with the aim of explaining the phenomenon in depth through data analysis steps by utilizing the concept as explanatory material. The research data is collected through literature study, online data search, and documentation. The results show that the UNMISS has succeeded in carrying out efforts to protect victims of CRSV through analysis contextual, intersectional, and participatory. This can be seen from the decreasing number of cases and the number of victims as well as lots of appreciations from civil society for UNMISS' hard work.

KEYWORD

UNMISS, CRSV, GSCA, South Sudan, WPS Agenda

KATA KUNCI ABSTRAK

UNMISS, CRSV, GSCA, Sudan Selatan, Agenda WPS

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya aktor internasional United Nations Mission in South Sudan dalam melindungi korban Conflict-Related Sexual Violence pada konflik Sudan Selatan.

Maraknya laporan kasus CRSV di Sudan Selatan mendesak organisasi internasional UN memberi mandat kepada UNMISS agar melakukan misi operasi perdamaian untuk melindungi warga sipil dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Penelitian ini dikaji menggunakan konsep Gender Sensitive Conflict Analysis (GSCA). Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode kualitatif deskriptif dengan tujuan menjelaskan fenomena secara dalam melalui langkah-langkah analisis data dengan memanfaatkan konsep sebagai bahan penjelasan. Data yang dikumpulkan penulis melalui studi literatur, penelusuran data daring, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UNMISS telah berhasil melakukan upaya perlindungan terhadap korban CRSV melalui upaya analisis kontekstual, interseksionalitas, dan partisipatif. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya jumlah kasus dan angka korban serta banyaknya apresiasi warga sipil atas kerja keras UNMISS.

CORRESPONDENCE

Email : [email protected]

(2)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 86 PENDAHULUAN

Republik Sudan Selatan tercatat sebagai negara yang paling baru merdeka.

Negara ini awalnya menjadi bagian dari Republik Sudan, namun gejolak perang antar etnis Arab dan Afrika terus terjadi sampai penandatanganan Addis Ababa Agreement tahun 1972 menghasilkan keputusan pembentukan daerah otonomi khusus di Sudan bagian selatan.

Pemisahan daerah otonomi tersebut belum memuaskan bagi beberapa orang. Pada bulan Januari 2011 pemerintah otonomi Sudan bagian selatan menyelenggarakan referendum, alhasil 98,83% pemilih setuju untuk memisahkan diri dari Republik Sudan dan mendirikan negara merdeka, Republik Sudan Selatan, tanggal 9 Juli 2011.

Paska kemerdekaan, pemerintah negara baru ini aktif mendaftarkan diri di berbagai organisasi regional maupun internasional. Republik Sudan Selatan resmi menjadi anggota UN pada 13 Juli 2011, diikuti organisasi lain seperti AU, EAC, LAS, IMF, dan WB. Beberapa instrumen hukum internasional juga diratifikasi, diantaranya The Convention Against Torture, The Convention on the Rights of the Child, Universal Declaration of Human Rights, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Partisipasi

Sudan Selatan di dunia internasional tidak lain adalah untuk membangun kembali negara yang terdampak perang saudara selama lebih dari 20 tahun. Pemerintah juga tidak berjalan sendiri, melalui rekomendasi Sekretaris Jenderal UN, Dewan Keamanan mendirikan United Nations Mission in South Sudan (UNMISS) melalui Resolusi 1996 (2011) pada 8 Juli 2011 untuk melindungi warga sipil dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Perjalanan negara baru dimulai, namun kedua negara ini masih diwarnai perselisihan pendapatan minyak dan konflik perbatasan. Tidak hanya konflik bilateral, pemerintah pusat Sudan Selatan turut terpecah belah akibat perselisihan Presiden Salva Kiir dan Wakil Presiden Riek Machar. Konflik di Sudan Selatan kian rumit, masyarakat non kombatan terdampak parah akibat konflik. Banyak warga sipil yang dibunuh, anak-anak diculik, wanita dewasa diperkosa, dan wilayah desa digempur bom oleh pasukan bersenjata tanpa membedakan mana kombatan atau non kombatan.

Pada 17 Agustus 2015, bantuan dari para mediator menghasilkan resolusi Compromise Agreement on the Resolution of the Conflict in the South Sudan yang mengatur struktur dan komposisi

(3)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 87 pemerintah serta menyetujui prinsip

kemanusiaan. Akan tetapi, perjanjian ini tidak bertahan lama akibat konfrontasi kekerasan di Juba antara kelompok pemberontak SPLM/A-IG dan SPLM/A- IO. Diperkirakan lebih dari 300 ribu jiwa tewas selama perang sipil di Sudan Selatan (Al Jazeera, 2017). Masyarakat non kombatan yang menjadi korban perang sipil mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh pasukan bersenjata.

Wanita dan anak-anak di wilayah tersebut sangat berisiko mengalami conflict-related sexual violence (CRSV) – baik itu pemerkosaan; perbudakan seksual;

pelacuran; kawin paksa/dini; ataupun pelecehan psikologis/emosional. UN menjabarkan hubungan antara konflik dengan kekerasan seksual, sebagai berikut

“CRSV is deliberate and brutal and intended to humiliate and/or punish individuals and their communities It may be used as a weapon of war and/or tactic of terrorism. Although the scale may vary, CRSV rarely occurs in isolation and is often perpetrated alongside other acts of violence such as killings, child recruitment into armed groups, looting, or destruction of property” (United Nations, 2020).

Berdasarkan observasi Human Rights Watch, kekerasan tersebut dialami wanita dari segala usia bahkan yang

sedang hamil sekalipun. Pasukan bersenjata mendatangi rumah-rumah korban untuk mencari anggota keluarga laki-laki mereka, apabila para istri dan anak tidak memberi informasi maka mereka akan mendapat kekerasan. Tentara menculik perempuan dan anak-anak, kemudian dipaksa bekerja dan melayani para tentara (Muscati, 2015).

Grafik 1. Jumlah Kasus CRSV di Sudan

(Data diolah oleh penulis melalui berbagai sumber)

Pada periode April – September 2015, The South Sudan Protection Cluster mencatat 1.300 kasus pemerkosaan dan 1.600 kasus penculikan dialami wanita dan anak-anak (South Sudan Law Society, 2016). Perjanjian damai ternyata tidak mampu menghentikan konflik. Setahun setelahnya, UNMISS melaporkan 577 kasus terkait kekerasan seksual masih terjadi (Soscol, 2018). Mengingat tingginya angka kasus dan korban CRSV, melalui mandat Resolusi 1325 (2000) tentang women, peace, and security,

1.40 0 1.20

0 1.00

0 800

1.300

577

196 230 224

2015 2016 2017 2018 2019

(4)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 88 UNMISS memfokuskan kerangka kerja

pengarusutamaan gender untuk

memastikan partisipasi penuh, setara dan efektif bagi perempuan dalam mencegah dan menyelesaikan konflik serta pembangunan perdamaian (UNMISS, 2021).

UNMISS memfasilitasi kelompok- kelompok yang terlibat perang untuk mengusahakan lagi perdamaian melalui Agreement on Cessation of Hostilities (CoH) pada bulan Desember 2017, Pada periode ini, UNMISS mendokumentasikan angka kasus CRSV mengalami penurunan menjadi 196 kasus dengan jumlah korban 128 wanita dewasa dan 68 gadis. Pada 12 September 2018, pemerintah memperkuat komitmen penyelesaian konflik melalui Revitalised Agreement on The Resolution of The Conflict in The Republic South Sudan (R-ARCSS), tetapi angka korban malah kembali naik menjadi 230 dengan rincian kasus: 55 insiden kekerasan fisik;

134 insiden pemerkosaan; 41 insiden kekerasan lainnya (UNMISS, 2019).

Berdasarkan Resolusi 2467, pada 23 April 2019 UNMISS memutuskan untuk menambah tentara penjaga perdamaian wanita menjadi 3.905 personel.

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, periode ini menunjukkan penurunan angka kasus menjadi 224 kasus CRSV

mempengaruhi 133 wanita dewasa, 66 remaja, 19 pria dewasa, dan 6 anak laki- laki (United Nations Security Council, 2020). Tidak berhenti disitu, komitmen UN dalam pengarusutamaan gender diperkuat melalui Resolusi 2538 (2020).

Permasalahan ini menjadi penting untuk dikaji mengingat konflik domestik Sudan Selatan banyak memberi dampak pada dunia internasional, khususnya pelanggaran hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana upaya aktor internasional UNMISS dalam melindungi korban CRSV pada konflik Sudan Selatan. Sementara ini, belum ditemukan penelitian khusus yang membahas perlindungan korban conflict- related sexual violence dengan upaya- upaya pengarusutamaan gender.

KERANGKA KONSEP 1. Konsep Gender

Istilah gender pertama kali dicetuskan oleh seksolog John Money pada tahun 1955 untuk membedakan antara jenis kelamin biologis dan gender sebagai peran. Money menawarkan penafsiran baru yang berbeda dari istilah seksualitas.

Kata gender diserap dari bahasa latin genus yang berarti ‘jenis’ atau ‘tipe’, dalam ilmu sosial hal ini merujuk pada jenis perilaku atau tindakan yang dapat

(5)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 89 menunjukkan status seseorang sebagai

laki-laki, pria, perempuan, atau wanita (Money, 1955). Seiring perkembangannya, Webster’s Studies Encyclopedia menegaskan bahwa gender merupakan suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat (Umar, 2010).

Dalam memahami konsep gender, UNESCO membagi definisi antara gender dan seks sebagai berikut: (1) Gender mengacu pada peran dan tanggung jawab pria dan wanita yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat, dan budaya. Peran gender dapat berubah seiring waktu sesuai sistem diferensiasi sosial seperti status politik, kelas, etnis, cacat fisik dan mental, usia, dan lainnya; (2) Seks atau jenis kelamin menggambarkan perbedaan biologis antara pria dan wanita, yang bersifat universal dan ditentukan sejak lahir (UNESCO, 2003). Jadi, gender dipandang sebagai sebuah kajian ilmu sosial, sedangkan seks dikategorikan sebagai objek kajian ilmu biologi.

Pada umumnya, masyarakat menggolongkan gender ke dalam dua jenis yaitu maskulin dan feminin. Karakteristik maskulin digambarkan seperti bertenaga

kuat, mandiri, berani, agresif, dan kompetitif; feminin bersifat lemah lembut, sensitif, penyayang, berhati-hati, dan suka menyenangkan orang lain. Twenge (1997) menyebutkan bahwa pria umumnya memiliki sifat yang lebih maskulin daripada wanita, sementara wanita umumnya lebih bersifat feminin daripada pria (Twenge, 1997). Tetapi, tidak ada standar universal mutlak yang menentukan sistem norma mengenai gender, peran sosial pria dan wanita berasal dari norma kebudayaan masing-masing.

Berbagai perbedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki, secara tidak langsung berdampak pada perlakuan terhadap keduanya. Sikap bias gender berakibat merekonstruksi cara pandang masyarakat umum untuk memihak satu gender dan mendiskriminasi yang lainnya. Budaya patriarki yang dilanggengkan dalam sistem dan struktur masyarakat, melahirkan kondisi gender yang tidak setara dan tidak adil.

Ketimpangan gender termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi politik, pembentukan stereotipe, beban ganda, bahkan normalisasi bentuk kekerasan. Maka, penting untuk menciptakan kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki- laki setara, seimbang dan harmonis.

(6)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 90 1.1 Gender-Sensitive Conflict Analysis

Pengukuran sosio-ekonomis menunjukkan diskriminasi lebih banyak dirasakan oleh perempuan daripada laki- laki dan terjadi di negara-negara dunia ketiga (Djelantik, 2008). Negara-negara dunia ketiga yang dicap sebagai negara dengan tingkat ekonomi rendah, rentan dilanda konflik. Konflik bisa lahir dari kombinasi sebab-sebab, seperti: ideologi politik; sengketa wilayah; kontrol terhadap sumber daya; ekonomi; kudeta pemerintahan; pergesekan etnis; dll.

Seiring bertambahnya waktu, pemahaman konseptual dan praktis

mengenai konflik mulai

mempermasalahkan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidaksetaraan gender.

Keamanan individu kerap dinomorduakan dari sudut pandang konflik, UN mengklaim sekitar 75% kematian terjadi karena mereka telah menjadi sasaran aktivitas perang (UN-INSTRAW, 1999).

The UN Platform for Action menerangkan, perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling terdampak konflik bersenjata karena kesenjangan status sosial dan seksualitas (UN Women, 1995).

Wanita dewasa dan anak-anak menghadapi banyak hal merugikan selama konflik. Mereka dimanipulasi untuk berperan dalam kegiatan militer atau

kekerasan melalui propaganda, penculikan, intimidasi, dan perekrutan paksa (United Nations, 2002). UN menerangkan penyebab perempuan sulit membela diri yaitu “The fact, that generally, women do not go off to fight and largely remain unarmed and unprotected at a time when traditional forms of moral, community and institutional safeguard have disintegrated, and weapons have proliferated, leads to women being particularly vulnerable during wartime” (United Nations, 2002).

Mirisnya, kekerasan berbasis gender tersebut semakin sering dimanfaatkan sebagai taktik perang (HRW, 2015). Angkatan bersenjata secara khusus menargetkan wanita dengan tujuan melenyapkan satu kultur karena wanita mempunyai peran penting dalam keluarga (Seifert, 1994). Ada beberapa kategori yang menjadikan tindakan kekerasan berbasis gender sebagai taktik perang, diantaranya: (1) pemerkosaan dilakukan sebagai ‘hukuman’ kepada anggota keluarga perempuan yang diduga melakukan kegiatan politik yang tidak sesuai dengan negara atau kelompok oposisi; (2) penganiayaan dilakukan oleh angkatan bersenjata bersamaan dengan tindakan penjarahan desa (ICRC, 2001).

Konflik bersenjata memperburuk ketidaksetaraan di tengah perempuan dan

(7)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 91 laki-laki dan menempatkan perempuan

pada risiko tinggi pelecehan fisik dan emosional. Menanggapi kasus tersebut, UN menandatangani UNSCR 1325 bertema Women, Peace, and Security menghubungkan wanita dengan agenda perdamaian dan keamanan. (United Nations, 2019). Kebijakan perdamaian harus mengandung unsur gender-sensitive karena perempuan dan laki-laki dapat memainkan sejumlah peran selama masa konflik (Quain, 2014). GSCA membantu kita berpikir tentang bagaimana ketidaksetaraan gender membentuk sistem, institusi, struktur sosial, ekonomi dan politik sehingga elit laki-laki bisa memiliki hak istimewa. GSCA adalah titik awal untuk memahami, menanggapi, dan mengubah cara-cara di mana ketidaksetaraan gender menyebabkan konflik dan diskriminasi, politik eksklusif dan kekerasan terhadap beberapa kelompok dalam masyarakat.

Penelitian menunjukkan bahwa intervensi peacebuilding yang baik dibangun atas analisis konflik yang relevan dan inklusif (Henri Myrttinen, 2014). UN menerangkan nilai-nilai penting yang menjadi komposisi GSCA, antara lain:

(a) Analisis kontekstual; memahami seperti apa norma gender dan relasi kekuasaan gender dalam konteks

tertentu (Groenewald, 2019). Pada analisis kontekstual, praktisi mengidentifikasi masalah dengan cara memetakan keterkaitan antara norma gender dengan kekuasaan dan bagaimana pengaruhnya terhadap konflik dan perdamaian.

Analisis ini perlu dilakukan untuk mengetahui aktor, pola perilaku, struktur, interaksi, keputusan, dan peristiwa dalam berbagai skenario konflik yang memicu atau melanggengkan kekerasan.

(b) Interseksionalitas; melakukan eksplorasi interseksionalitas guna mendalami bentuk-bentuk kekerasan maskulinitas maupun diskriminasi feminitas dengan cara mengulik sistem patriarki dan praktik yang mengakar sebagai bagian dari sistem budaya, politik, ekonomi, dan sosial. Praktisi dapat meminta peserta untuk merefleksikan tekanan apa yang didapatkan oleh masing- masing kelompok gender dan bagaimana hal tersebut berdampak pada konflik dan perdamaian.

(c) Partisipatif; mengembangkan strategi dan merancang program partisipatif. Praktisi harus mampu berinteraksi dengan konflik dan dinamika perdamaian dalam

(8)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 92 konteks apapun agar dapat

menciptakan tanggapan yang berkelanjutan sesuai pandangan, pengalaman, dan kebutuhan peserta. Proses desain partisipatif sangat penting untuk membantu praktisi menemukan peluang besar untuk mempengaruhi sistem.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dirancang dengan metode deskriptif kualitatif menggunakan data yang diperoleh secara tidak langsung (sekunder). Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka berupa literatur, buku, jurnal, tesis, dan berita di media massa. Kemudian, dianalisis melalui tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data; penyajian data; penarikan kesimpulan dan verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Kontekstual

1.1 Keterkaitan antara Norma Gender dengan Kekuasaan

CRSV tergolong dalam masalah lintas sektor yang membutuhkan keterlibatan banyak pihak dari dalam maupun luar United Nations Field Missions. Pada tahun 2019, UN melakukan kajian mengenai seluk beluk CRSV secara komprehensif bersama DPPA, OHCHR, OSRSG-SVC dengan melibatkan perwakilan dari anggota UN Field Missions (MINUSCA, MINUSMA,

MONUSCO, UNAMI, UNAMID, UNMISS dan UNSOM), dan mitra kerja sama United Nations Headquarters.

Sumber: Handbook for UN Field Mission Gambar 1. UN Menggelar Debat Terbuka

Tentang CRSV.

Melalui diskusi ini, praktisi dapat melihat benang merah dari gender dan kekuasaan yang sering bersinggungan.

Penelitian menunjukkan bahwa negara yang memiliki tingkat kesetaraan gender di bidang politik, sosial, dan ekonomi yang lebih tinggi cenderung tidak menggunakan kekerasan dalam menjalankan sistemnya.

Ketidaksetaraan bagi perempuan juga dapat mencerminkan negara yang cenderung memiliki kebijakan luar negeri intoleran (Birchall, 2019).

Perbedaan gender dapat mengundang klasifikasi dalam sistem sosial, seperti adanya kelompok superior dan inferior. Di beberapa negara dengan kondisi ketidaksetaraan gender, gender maskulin paling umum dilanggengkan dalam bentuk budaya patriarki. Stigma

(9)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 93 yang melekat pada gender maskulin adalah

seseorang berjenis kelamin laki-laki yang memiliki sifat gagah, kuat, berani, dan bijaksana yang pantas dijadikan sebagai pemimpin. Norma budaya ini mendiskriminasi partisipasi perempuan di segala aktivitas politik atau pengambilan keputusan (UN, 2020). Seorang perempuan yang menyandang gender feminis memiliki sifat dan peran yang berlawanan, sehingga budaya patriarki memposisikan perempuan dibelakang bahkan dibawah laki-laki.

Ketimpangan ini kemudian merambat ke dalam dunia militer yang didominasi laki-laki, di mana penggunaan kekerasan menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan perselisihan dengan siapapun (UN, 2020). Mode kekerasan tersebut berkaitan dengan penggunaan senjata. Ketersediaan senjata bisa berdampak positif dan negatif bagi keamanan masyarakat. Disatu sisi, senjata sengaja dikembangkan negara sebagai upaya balance of power, disisi lain personel yang memiliki akses kepimilikan senjata berisiko menyalahgunakannya untuk tindakan kriminal.

Serangan CRSV merupakan bagian dari rangkaian kekerasan yang dialami perempuan dan anak-anak selama konflik.

Pasukan yang secara legal memiliki

senjata dapat dengan mudah meneror dan memojokkan masyarakat sipil untuk memenuhi keinginan mereka (UN, 2020).

Kondisi ketidaksetaraan bagi perempuan berdampak khusus pada saat krisis. Status perempuan di masyarakat membiasakan mereka untuk bungkam dan patuh terhadap tindakan atau keputusan laki-laki (UN, 2020). Dengan begitu, perempuan akan lebih mudah menjadi target kekerasan berbasis gender dengan tujuan tertentu.

Pelaku CRSV yang berafiliasi dengan pasukan militer atau kelompok bersenjata lain sulit diidentifikasi dan didakwa karena diselimuti oleh iklim impunitas dan norma budaya (UN, 2020).

Setelah menganalisa, urgensi dari perlindungan korban CRSV adalah menghapus ketidaksetaraan gender dan kelemahan hukum serta menyusun strategi pendampingan.

1.2 Pola Perilaku Aktor Kejahatan CRSV

UNMISS memiliki divisi the Human Rights Division (HRD) yang bertugas memantau, menyelidiki, memverifikasi, dan melaporkan pelanggaran hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional di Sudan Selatan. Staf di divisi ini mewakili the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights

(10)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 94 (OHCHR) untuk memberikan dukungan

teknis kepada mekanisme internasional, regional dan nasional.

Pada tanggal 4 sampai 24 Desember 2018, HRD melakukan investigasi khusus di Negara Bagian Northern Unity. Investigasi ini dilakukan dengan mengidentifikasi pola perilaku aktor kejahatan CRSV dalam berbagai peristiwa. Negara Bagian Unity merupakan salah satu hotspot peristiwa CRSV.

Meskipun negara sudah menandatangani Revitalized Agreement on the Resolution of the Conflict in South Sudan (R-ARCSS) pada 12 September 2018, CRSV masih saja terus terjadi.

Sumber: CRSV in Northern Unity September- December 2018

Gambar 2. Peta Insiden CRSV di Northern Unity.

HRD menemukan fakta bahwa para korban diserang di jalanan setapak dekat

Guit dan Nhialdiu saat mereka sedang dalam perjalanan ke/dari Bentiu. Korban mengungkapkan kekerasan seksual dilakukan oleh pasukan bersenjata ketika mereka meninggalkan kamp PoC untuk mencari kayu bakar dan barang-barang penting lainnya di lokasi yang terletak sejauh 4-6 km dari lokasi PoC (UNMISS, 2019). Berdasarkan wilayah patroli pasukan bersenjata, berbagai lokasi pos pemeriksaan, serta barak dan perkemahan, HRD meyakini bahwa setidaknya ada empat kategori pelaku yang kemungkinan besar terlibat dalam serangan CRSV ini, diantaranya:

1. The pro-Taban Deng Sudan People’s Liberation Army in Opposition (SPLA-IO (TD))

Menurut informasi yang dikumpulkan, pada September 2018 semua pasukan SPLA-IO (TD) dilaporkan pergi ke markas mereka di Guit untuk mendapat pengarahan tentang rencana integrasi dengan SSPDF. SPLA-IO (TD) mengontrol sebagian besar wilayah Guit, diperkirakan lebih dari 1.000 tentara ditempatkan di markas besar di Kuerguini.

Mereka juga mengoperasikan barak militer di Matjang dan pos pemeriksaan di dekat Tharkoat–lokasi di mana 40 perempuan dewasa dan anak-anak diperkosa, juga 20

(11)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 95 orang lainnya mengalami bentuk

kekerasan lain.

2. The Government’s South Sudan People’s Defence Forces (SSPDF) SSPDF memiliki markas di Divisi IV Rubkona, sejumlah personel ditempatkan di beberapa lokasi di wilayah Guit, Koch dan Rubkona. Dari laporan korban, kekerasan seksual pernah menimpa mereka di daerah-daerah seperti Darasalam, Madarasa dan Thorgow berjarak 1-6 km dari markas besar SSPDF.

Korban mengatakan pelaku memakai seragam SSPDF atau pakaian serupa, beserta atribut simbolik yang menunjukkan pangkat militer. Bukti kuat lainnya, mereka menyebut korban dengan

“istri pemberontak” yang mana dimaksudkan untuk kelompok oposisi pemerintah.

3. The pro-Riek Machar SPLA-IO (SPLA-IO (RM))

Beberapa insiden CRSV di Nhialdiu juga melibatkan pasukan SPLA- IO (RM) yang menguasai daerah Chuor, bagian wilayah Rubkona. Pasukan ini tampak mengunjungi Nhialdiu secara teratur. Beberapa informan mengkonfirmasi kepada HRD bahwa setelah penandatanganan R-ARCSS, pergerakan elemen SSPDF dan SPLA-IO

(RM) meningkat di bawah kendali masing- masing. Dalam laporan tersebut, sebanyak 13 orang yang diduga sebagai pasukan SPLA-IO (RM) telah diserahkan oleh pasukan lainnya kepada komandan mereka di Tockloca sehubungan dengan pemerkosaan empat wanita di dekat Thowmangor.

4. Milisi pemuda bersenjata

Menurut politisi lokal yang diwawancarai oleh HRD, pemuda dapat dengan mudah direkrut dan dimanfaatkan oleh kelompok bersenjata untuk melakukan kegiatan kriminal dan memicu ketidakamanan dan destabilisasi. Mereka diberikan senjata, tetapi umumnya tidak berseragam atau melewati pelatihan militer yang signifikan. Mereka tidak menerima gaji sama sekali dan dibiarkan mencari upah dari penjarahan. Milisi pemuda bersenjata ini paling sering berbasis lokal dan tinggal di antara penduduk sipil.

Melalui penelitian ini, UNMISS menyimpulkan bahwa pelaku CRSV di Sudan Selatan merupakan pasukan milisi yang memiliki power untuk bertindak, aksi mereka didorong oleh faktor-faktor berikut: (1) perkembangan senjata; (2) kurangnya kesempatan kerja; (3) lemahnya supremasi hukum; (4) iklim impunitas; (5) sikap tidak menghormati hukum, prinsip dan adat istiadat (UNMISS, 2019).

(12)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 96 2. Interseksionalitas

2.1 Bentuk-Bentuk Kekerasan Maskulinitas dan Diskriminasi Feminitas Pada Bidang Sosial, Politik, dan Ekonomi

Pada tahun 2017, UNMISS mengambil langkah kolaborasi dengan mitra peneliti eksternal Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai bagian dari pelaku perdamaian.

Penelitian kali ini membahas situasi sosio- ekonomi dan gender di Sudan Selatan beserta status gender di berbagai sektor.

Berbekal penelitian ini, kesenjangan gender banyak tersorot di berbagai bidang kehidupan masyarakat Sudan Selatan, mulai dari aspek sosial; politik; maupun ekonomi.

Akar penyebab situasi ini adalah budaya patriarki yang membentuk norma gender dan hukum adat yang ketat (JICA, 2017). Sebelum melirik lebih jauh ke arah CRSV, norma sosial di tengah masyarakat sudah lebih dulu menormalisasikan tindakan kekerasan berbasis gender dalam perilaku pria maupun wanita. Beberapa praktik budaya yang mendiskriminasi wanita adalah mutilasi genital (FGM), pernikahan dini, pembayaran mahar fantastis, kekerasan dalam rumah tangga, militerisasi dan brutalisasi masyarakat, maupun pemerkosaan (UN, 2009).

Salah satu contoh yang menonjol dari interaksi antara norma-norma budaya dan kekerasan adalah masalah pernikahan anak. Praktik pernikahan dini menunjukkan bahwa 52% anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Hubungan keluarga dan hubungan perkawinan memainkan peran penting dalam sifat dan kemajuan konflik di Sudan Selatan.

Misalnya, komandan SPLA terbukti berhasil membangun jaringan sosial dengan menikahi banyak istri dan memiliki keluarga besar agar mempunyai backup di dunia militer (Pinaud, 2016).

Umumnya, masyarakat

berpendapat bahwa perkawinan dengan tentara dapat memberikan perlindungan bagi perempuan dari target viktimisasi oleh kombatan lain (de Waal, 2016). Banyak keluarga yang menikahi anak perempuan mereka di usia muda sebagai sarana kelangsungan ekonomi karena pemberian mas kawin dengan nilai tinggi, seperti hewan ternak (Frontier Economics, 2015).

Sayangnya, mahar pernikahan dianggap sebagai kompensasi utama kepada orang tua mempelai wanita atas kehilangan tenaga kerja (JICA, 2017). Di dalam rumah tangga, laki-laki dipandang sebagai pihak yang dominan dengan otoritas untuk mendisiplinkan dan mengontrol kehidupan perempuan. Ada kesepakatan yang cukup besar bahwa seorang wanita harus

(13)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 97 menoleransi kekerasan untuk menjaga

keutuhan keluarganya. Perempuan seringkali tidak memiliki kendali atas uang dan tidak dapat dengan bebas memilih untuk bekerja di luar rumah.

Di sisi lain, mulai tahun 2017 partisipasi perempuan dalam majelis nasional dan negara bagian telah mengalami kemajuan sebesar 29% dari total (332 anggota) setelah kemerdekaan (JICA, 2017). Meski begitu, formasi menteri dan gubernur masih didominasi oleh laki-laki. Hanya ada satu gubernur perempuan di antara 10 negara bagian dan hanya satu Komisaris Kabupaten dari 82 lainnya (JICA, 2017). Tingkat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di ranah politik belum terlalu tinggi, anggota parlemen perempuan merasakan betul bahwa keputusan besar dibuat oleh laki-laki. Beberapa norma gender tradisional menghambat partisipasi politik perempuan, termasuk faktor budaya, pernikahan dini, rendahnya tingkat pendidikan, jam kerja yang panjang di rumah, dan kurangnya sumber daya keuangan untuk mencalonkan diri dalam pemilu.

Dominasi laki-laki di dunia politik sedikit banyak mempengaruhi keputusan- keputusan pemerintah yang tidak peka gender. Anggota parlemen perempuan

menghadapi hambatan kuasa untuk membuat aturan atau hukum mengenai sistem perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender di masa konflik.

Pemerkosaan diancam dengan hukuman penjara hingga 14 tahun; pelecehan seksual juga melanggar hukum dengan hukuman penjara hingga tiga tahun (Ballantine, 2017). Namun, kekerasan dari pasangan suami-istri tidak dilarang bahkan perbuatan seksual paksa dalam pernikahan tidak diakui sebagai kejahatan (Ballantine, 2017). Penuntutan dan hukuman atas kekerasan terhadap perempuan sulit diproses di peradilan formal. Salah satu cara menyelesaikan kasus tersebut adalah melalui pengadilan adat yang dipimpin kepala daerah, tetapi keputusan yang dihasilkan cenderung berusaha mempertahankan korban tetap berada di situasi kekerasan, misalnya dengan menikahi atau memaafkan pelaku.

Dari segi ekonomi, Sudan Selatan merdeka sebagai negara minyak tetapi beberapa tahun sejak kemerdekaan ia mengalami kehancuran ekonomi total.

Menurut Ellsberg (2017), pasca krisis tahun 2013 kesempatan kerja formal turun karena menipisnya investasi asing, terutama pada produksi minyak. Di luar sektor minyak, hanya 12% penduduk yang terlibat dalam kegiatan ekonomi formal sedangkan 80% lainnya bekerja di bidang

(14)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 98 pertanian. Pada tahun 2016, inflasi

mencapai 300% sementara mata uang merosot hingga 90% (Africa Research Bulletin, 2016). Dengan latar belakang ini, harga pangan melonjak pada Februari 2017 dan bencana kelaparan harus diakui sebagai akibat dari kegagalan politik.

Situasi tersebut berdampak besar pada masyarakat karena dapat memperparah konflik, memperburuk kesehatan, dan menyebabkan kematian.

Para wanita Sudan Selatan sendiri menganggap pengangguran dan kemiskinan sebagai masalah terbesar mereka. Biasanya, perempuan tidak berada di sektor swasta, aktivitas mereka terlibat dalam pekerjaan rumah tangga seperti mengurus keluarga, merawat anak-anak, orang tua dan orang sakit. Namun, dalam masa konflik kepala rumah tangga yang sudah kehilangan harta benda dan beralih ke bidang militer, menyebabkan mayoritas perempuan mengambil beban ganda menjadi buruh tani atau pedagang sayur mayur (JICA, 2017). Perbandingan tenaga kerja perempuan di sektor swasta dengan negara lain di Afrika dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Partisipasi Wanita dalam Manajemen Perusahaan

Sumber: Laporan Country Gender Profile Republic of South Sudan

Meningkatnya kebutuhan sumber makanan, memperbesar pula kesempatan perempuan terlibat dalam sektor usaha agro. Tetapi, masalah lain muncul menghambat partisipasi perempuan di sektor ekonomi mikro. Perempuan tidak memiliki akses yang cukup terhadap dana, informasi, dan waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha. Sudan Selatan memiliki indikator pembangunan manusia yang sangat rendah. Peringkat di antara sepuluh negara terendah dalam Indeks Pembangunan Manusia 2016. Hanya 16%

dari populasi perempuan berusia di atas 15 tahun yang melek huruf, dibandingkan dengan 40% nya laki-laki (Ballantine, 2017).

Prosedur yang rumit dan mahal serta tingkat literasi dan pendidikan yang rendah membuat manajemen keuangan menjadi pekerjaan yang berat. Mereka mengharapkan dukungan teknis dan finansial, seperti penyuluhan pertanian, akses terhadap lahan, benih berkualitas, pengenalan teknologi, dan input lainnya.

Sementara itu, UNMISS juga menerima laporan kekerasan rumah tangga dialami

(15)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 99 para wanita karena suami mereka merasa

dikecualikan dari perolehan akses pinjaman (JICA, 2017). Tingkat epidemi kekerasan yang tidak dilaporkan berdampak pada produktivitas pekerja, baik perempuan maupun laki-laki (Ballantine, 2017).

2.2 Tekanan yang Didapatkan oleh Masing-Masing Kelompok Gender

Momok kekerasan seksual sudah menjadi ciri khas konflik yang meluas di Sudan Selatan. Menanggapi hal ini, HRD UNMISS melakukan investigasi bersama OHCHR untuk memperhatikan dampak CRSV terhadap kesehatan individu.

Kesehatan menjadi kebutuhan utama korban untuk mencegah kerusakan fisik, perawatan kesehatan reproduksi, dan rehabilitasi psikologis.

Bersama OHCHR, UNMISS melangsungkan investigasi mulai dari Januari 2018 hingga Januari 2020 untuk memperhatikan akses kesehatan korban.

Investigasi ini melibatkan berbagai pihak seperti penyintas CRSV, petugas rumah sakit, dan pemerintah untuk mendapatkan informasi yang akurat. Hasil investigasi memberikan gambaran tentang kerugian yang dipikul korban perempuan maupun laki-laki, sebagaiberikut (UNMISS, 2020):

1. Kerusakan Fisik, meliputi:

a. Kematian

Dua informan yang diwawancarai UNMISS—Agnes dan Sarah, Agnes (47) menceritakan kepada petugas betapa ia merasa beruntung masih hidup karena segera mencari perawatan setelah diperkosa oleh beberapa pria bersenjata di dekat Bentiu. Sedangkan korban wanita lainnya kembali ke desa karena malu mengunjungi rumah sakit. Kerabatnya memberi kabar bahwa wanita-wanita itu sudah meninggal karena penyakit akibat pemerkosaan. Informan Sarah, seorang petugas kesehatan menceritakan di mana ia pernah menemukan seorang gadis yang sedang terkapar dihinggapi segerombolan lalat dan belatung. Setelah dibawa ke rumah sakit petugas menemukan dua alat kontrasepsi yang tertinggal di dalam vaginanya, dua minggu kemudian gadis itu meninggal dunia.

b. Cedera serius dan keguguran

Korban perempuan umumnya mengalami luka robek, patah tulang, robekan pada vagina, dan cedera pada serviks, fistula traumatis yang mengakibatkan kebocoran urin dan/atau feses, dan kerusakan permanen pada organ reproduksi. Wanita hamil juga menjadi korban kekerasan seksual selama konflik Sudan Selatan, mereka berisiko mengalami

(16)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 100 hipertensi kehamilan, persalinan prematur,

keguguran, dan komplikasi.

c. Penyakit kronis

Beberapa korban selamat yang tidak segera pergi ke rumah sakit, melaporkan sakit kronis di bagian perut dan alat reproduksi, bahkan beberapa diantaranya menderita cacat jangka panjang

d. Infeksi Menular Seksual (IMS) Menurut spesialis medis, penyintas CRSV berisiko tinggi menderita infeksi menular seksual seperti HIV, Hepatitis B36, Sifilis, dan penyakit seksual lainnya karena kemungkinan cedera genital dan tingginya prevalensi HIV di antara para pelaku bersenjata. Penyintas diharuskan menggunakan pengobatan antiretroviral.

2. Trauma

Konsekuensi pemerkosaan terhadap kesehatan mental bisa parah dan bertahan lama. Penyedia layanan kesehatan mental melaporkan bahwa korban selamat kemungkinan akan menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, dan gangguan kecemasan. Gejala kondisi ini dapat dilihat dari timbulnya perasaan malu dan putus asa, kesulitan berkonsentrasi, mimpi buruk, kilas balik, kecemasan dan serangan panik, penarikan diri dari lingkungan sosial, tindakan menyakiti diri sendiri, ataupun percobaan bunuh diri.

Tidak hanya wanita, beban berat traumatis diderita oleh para pria yang menjadi korban ataupun saksi mata bahwa keluarganya menjadi korban. Thomas (27) menjadi korban pemerkosaan massal bersama istrinya oleh tentara SPLA di Unity pada tahun 2014, ia tidak mau menemui dokter karena takut meskipun merasakan sakit yang parah. James (28) pernah diperkosa beramai-ramai oleh lima tentara SPLA di Juba pada Juli 2016, ia mengatakan pikirannya selalu mengilas balik insiden itu.

Di tengah masyarakat, tidak ada ruang publik yang memberi kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan pengalaman pribadi, terutama tentang insiden kekerasan seksual (UNMISS, 2020). Dari segi budaya, pembicaraan tentang kekerasan seksual adalah hal yang tabu dan memalukan bagi seorang wanita.

Banyak wanita di Sudan Selatan takut menjadi bahan pembicaraan dan dituduh telah melanggar norma masyarakat. Para wanita menghadapi tekanan tersendiri, di satu sisi mereka butuh bercerita, tapi di sisi lain mereka harus menerima konsekuensi sosial.

Dalam hal ini, tidak ada batasan upaya responsif baik kepada laki-laki maupun perempuan. Layanan kesehatan adalah salah satu diantara banyaknya

(17)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 101 urgensi insiden CRSV. Selain

memperhatikan konsekuensi personal serangan CRSV, UNMISS juga memeriksa ketersediaan tenaga kesehatan; distribusi fasilitas kesehatan; jarak dan resiko ke pusat kesehatan; serta layanan kesehatan mental.

3. Partisipatif

3.1 Relief, Reintegration, and Protection Sejak meletusnya pertempuran saudara pada Desember 2013, kekerasan bermotif etnis melonjak di daerah Juba, Bor, Bentiu, dan Malakal. Dalam kurun dua minggu, korban tewas diperkirakan mencapai 10.000 orang (NRC, 2017).

Dalam seminggu krisis sebanyak 35.000 orang membanjiri gerbang markas UNMISS untuk mencari perlindungan (NRC, 2017).

Pada bulan April 2015, DPKO pertama kali melegalkan keberadaan situs PoC untuk misi Sudan Selatan, dibawah divisi Relief, Reintegration, and Protection UNMISS. Terdapat lima situs PoC yang

tersebar di Sudan Selatan, tertanggal 18 Juni 2020 jumlah total warga sipil yang mencari perlindungan sebanyak 181.231 orang, dengan rincian 29.658 di Juba UN House, 111.766 di Bentiu, 27.930 di Malakal, 1.921 di Bor, dan 9.956 di Wau (UNMISS, 2020).

Sumber: The Protection of Civilians in United Nations Peacekeeping Handbook

Gambar 3. Situs PoC di Bentiu (2016).

Sumber: The Protection of Civilians in United Nations Peacekeeping Handbook Gambar 4. Warga Sipil Mengungsi ke

Markas UNMISS (2013).

Situs PoC didirikan untuk melindungi warga sipil dari kejahatan perang atau ancaman kekerasan lainnya.

Mandat PoC mengisyaratkan bahwa setiap misi harus dapat mengambil tindakan proaktif dan preventif untuk melindungi warga sipil dengan cara yang diperlukan.

(18)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 102 Kebijakan PoC ini didasarkan pada hukum-

hukum internasional, sehingga program- program perlindungan disana berkaitan juga dengan mandat hak asasi manusia, termasuk conflict-related sexual violence (CRSV). Operasional situs PoC mendukung dan memperkuat agenda Women, Peace and Security (WPS).

Sumber: The Protection of Civilians in United Nations Peacekeeping Handbook Gambar 5. Operasi Pencarian Senjata di

Situs PoC.

Berdasarkan pedoman operasional PoC, perlindungan warga sipil dilaksanakan melalui tiga tingkatan, diantaranya: (1) perlindungan melalui dialog aktif dan mediasi dengan pelaku kekerasan, pihak-pihak yang berkonflik, dan pemerintah tuan rumah; (2) penyediaan perlindungan fisik oleh komponen berseragam; (3) pembentukan lingkungan yang protektif dengan mendukung penyusunan aturan hukum (UNMISS, 2020). Upaya ini dilakukan

dengan prinsip pengarusutamaan gender untuk membangun keamanan dan perdamaian berkelanjutan di semua sektor.

Kondisi masyarakat yang aman berbanding lurus dengan kesetaraan gender dan penurunan angka kasus CRSV (UN Women, 2015).

Protection of Civilian (PoC) mempunyai andil besar dalam melindungi warga sipil, khususnya perempuan dan anak-anak dari ancaman kekerasan seksual terkait konflik. Tempat perlindungan yang terpusat akan memudahkan petugas dalam proses pemantauan dan pelaporan tindak kekerasan seksual yang dilakukan para kombatan. Tidak hanya menyediakan kamp, kompleks situs PoC dijaga ketat oleh personel bersenjata—polisi. Melalui situs PoC, banyak mitra peneliti yang terbantu dalam proses pengumpulan data dan informasi rinci dari penyintas CRSV.

3.2 Gender Unit

Seksi Gender di seluruh misi UN didirikan untuk mendukung pelaksanaan Resolusi UNSCR Women, Peace, and Security. Pada kegiatan operasionalnya, Unit Gender telah melakukan empat agenda besar yang melibatkan berbagai pihak menggunakan pendekatan dan metode bottom-up, inklusif, partisipatif, dan interaktif untuk meningkatkan

(19)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 103 keterlibatan perempuan dalam proses

perdamaian (UNMISS, 2021).

Pertama, National Women’s Global Open Days, pertemuan ini memfasilitasi proses dialog antara Special Representative of the Secretary-General dan para pemimpin perempuan dari organisasi masyarakat sipil untuk membahas pengalaman perempuan dalam konflik dan perdamaian, mengutarakan keprihatinan mereka pada ketidaksetaraan 19 April 2016, partisipasi 20 delegasi wanita menghasilkan laporan akhir Peace and Justice for Women in South Sudan (UNMISS, 2021). Forum ini dilaksanakan berturut dari tahun 2016 hingga 2019.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 6. Mr Eugene Owusu, Pembicara

Global Open Days 2017.

Kedua, Capacity Development, Pada 10 Juni 2016, divisi gender bekerjasama dengan divisi UNMISS lainnya untuk memberdayakan pengungsi terkait isu dan konsep gender di situs PoC Malakal. Pelatihan ini diikuti oleh 50

peserta dari sektor tiga dan empat, partisipan mempelajari tentang pengarusutamaan gender, kesetaraan gender dan kekerasan berbasis gender (UNMISS, 2021). Head of Field Office Malakal meminta masyarakat untuk memprioritaskan agenda perempuan dan menyekolahkan anak perempuan mereka.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 7. Pengungsi Mengikuti Pelatihan

Isu Gender.

Selanjutnya, pada tahun 2018 UNMISS membuat lokakarya yang melibatkan wanita dari kalangan pemuda dan dewasa di daerah Warrap. Forum tersebut bertujuan untuk memperkuat kapasitas perempuan dalam mencegah dan mengelola konflik antarkomunal, mendukung perlindungan diri sendiri dan komunitas mereka. Lokakarya dihadiri oleh 75 peserta, kegiatan ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan partisipasi perempuan dan mengintegrasikan perspektif gender dalam upaya perdamaian dan keamanan (UNMISS, 2021).

(20)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 104 Sumber: https://unmiss.unmission.org

Gambar 8. Remaja Wanita Partisipan Lokakarya Gender.

Ketiga, Research & Analysis, melakukan pengumpulan data dan informasi terkait peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan proses perdamaian, serta langkah pencegahan dan perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis seksual dan gender (UNMISS, 2021). Hasil penelitian dan analisis dilaporkan langsung kepada SRSG untuk kemudian disusun dalam laporan tahunan CRSV.

Sumber: https://peacekeeping.un.org Gambar 9. Sampul Laporan CRSV 2018.

Unit Gender merupakan komponen penting dalam memastikan implementasi mandat UNSCR Women, Peace, and Security di semua bidang kegiatan UNMISS. Upaya yang dilakukan Unit Gender di masyarakat memberi pengaruh positif dalam mencegah insiden kekerasan seksual. Melalui langkah-langkah yang konstruktif berupa pembangunan kapasitas kepada pria maupun wanita, perlahan menciptakan kesetaraan gender di tatanan sosial masyarakat.

3.3 Civil Affairs

Divisi Civil Affairs bekerja untuk memfasilitasi jejaring antara misi, otoritas lokal, dan masyarakat. Sesuai mandat,

(21)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 105 CAD memprioritaskan upaya manajemen

konflik, mengatasi masalah kohesi sosial, dan rekonsiliasi antar pihak. Divisi ini bekerjasama dengan pemangku

kepentingan untuk mencegah, mengurangi, dan menyelesaikan konflik komunal;

merangkul masyarakat lokal untuk memperbaiki hubungan sosial; dan melibatkan pihak yang berkonflik untuk membantu mempertahankan resolusi kesepakatan damai.

Pada 19 September 2016, CAD membuat lokakarya pelatihan manajemen konflik kepada lebih dari 30 pemuda dari Bentiu, Rubkhona, dan situs PoC di Bentiu (UNMISS, 2021). Forum ini dilaksanakan untuk mendorong bagaimana dialog antar- komunal, menciptakan persatuan, dan rekonsiliasi pasca-konflik. Partisipan yang hadir diberi penghargaan menjadi duta perdamaian di komunitas mereka.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 10. Remaja Wanita Partisipan

Lokakarya di Bentiu.

Pada 17 Mei 2017, CAD mengadakan program olahraga untuk

perdamaian di sekolah-sekolah daerah Katire (UNMISS, 2021). Para siswa belajar cara bermain bola voli dan mendemonstrasikan keterampilan sepak bola mereka. Sebelum dimulai, Head of Field Office menjelaskan kepada siswa, orang tua, dan guru tentang komitmen UNMISS untuk mempromosikan perdamaian dan persatuan. Kegiatan serupa dilakukan di Hiyala dan Magwi, Lotimor dan Nanyangachor, di daerah Kapoeta.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 11. Program Olahraga Untuk

Perdamaian.

Pada bulan Juli 2019, CAD UNMISS mempertemukan warga sipil dan kelompok militer dalam sebuah dialog setelah bertahun-tahun konflik (UNMISS, 2021). Pertemuan ini diadakan untuk mengurangi ketegangan di Magwi, Eastern Equatoria. Dua bulan kemudian, UNMISS melakukan kunjungan lanjutan ke daerah tersebut, warga menyampaikan bahwa hubungan antara penduduk desa dan dua kekuatan militer utama telah meningkat

(22)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 106 secara signifikan. Banyak penduduk

Magwi sudah berani meninggalkan kamp pengungsi untuk kembali ke rumah. CAD juga melakukan langkah seperti pelatihan perwira militer untuk aksi perlindungan warga sipil.

Sumber: https://peacekeeping.un.org Gambar 12. Dialog Perdamaian Militer dan

Warga Sipil.

Dua bulan setelahnya, pada 27 November 2019, CAD kembali memfasilitasi dialog perdamaian yang diadakan antara komunitas Mayiendit di Liech Selatan dan Panyinjiar yang dikuasai oposisi untuk meredakan permusuhan selama bertahun-tahun dan menggerakkan proses rekonsiliasi (UNMISS, 2021).

Forum ini diselenggarakan di Bentiu mempertemukan sekitar 80 peserta, termasuk kepala adat, perempuan, pemuda, pejabat pemerintah, dan perwakilan militer dari pemerintah dan oposisi SPLA-IO.

Acara tersebut diselesaikan dengan serangkaian rekomendasi untuk proses keamanan.

Sumber: https://peacekeeping.un.org Gambar 13. Pemimpin Komunitas Wanita

Menyampaikan Pendapat.

Upaya CAD dalam meredakan ketegangan konflik dan memperbaiki hubungan sosial merupakan salah satu langkah penting yang dibutuhkan untuk melindungi warga sipil dari kekerasan terkait konflik. Kondisi masyarakat yang damai akan meminimalisir kemungkinan pelaku menyerang wanita dengan motif mengintimidasi atau menghukum kelompok mereka. Di setiap upaya, CAD selalu menghadirkan wanita dan pria dengan kesempatan berpendapat yang sama. Langkah ini sangat baik untuk membangkitkan kepercayaan diri perempuan dan membiasakan masyarakat bertukar perspektif agar tidak ada diskriminasi.

3.4 HIV/AIDS Unit

Unit HIV/AIDS UNMISS bekerja untuk memerangi HIV/AIDS baik secara internal maupun eksternal. Melalui unit ini, UNMISS berusaha mempromosikan

(23)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 107 perubahan perilaku positif yang

berkelanjutan melalui berbagai strategi pencegahan di seluruh Sudan Selatan.

Pada tanggal 13 Agustus 2012, UNMISS mengadakan forum sosialisasi untuk 52 siswa Sekolah Menengah Arop Yor di Malakal untuk meningkatkan kesadaran tentang penyakit mematikan HIV/AIDS (UNMISS, 2021). Forum ini bertujuan untuk mengedukasi siswa tentang bagaimana virus human immunodeficiency ditularkan dan langkah- langkah apa yang dapat diambil untuk mencegah penyebarannya. Didampingi oleh pelatih HIV/AIDS UNMISS Joseph Legge Pio, kegiatan ini dilangsungkan secara berkala dengan target 4.441 siswa di Malakal.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 14. Sosialisasi Penyakit HIV/AIDS

Kepada Siswa.

Pada tahun berikutnya, 17 April 2013, Unit HIV/AIDS melaksanakan pelatihan selama tiga minggu untuk para konselor di Bentiu mengenai pencegahan

infeksi, perawatan dan dukungan bagi pasien yang menderita penyakit, serta strategi manajemennya. Pelatihan ini dihadiri oleh perwakilan dari kementerian kesehatan dan pendidikan pemerintah negara bagian, angkatan bersenjata negara bagian, kelompok agama, Palang Merah Sudan Selatan dan Komisi DDR Sudan Selatan.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 15. Pelatihan Penanganan HIV/AIDS Kepada Tokoh Masyarakat.

Pada 26 Maret 2015, UNMISS bekerjasama dengan organisasi

internasional IOM dan USAID mengadakan pelatihan pencegahan HIV/AIDS untuk promotor kebersihan dan petugas kesehatan di Malakal, Negara Bagian Upper Nile selama dua hari (UNMISS, 2021). Kegiatan ini berupa edukasi mengenai pengetahuan dasar HIV/AIDS menggunakan bahan ajar alat audiovisual. Selanjutnya, para promotor diharapkan dapat menjadi pelopor utama keselamatan dan kesehatan masyarakat

(24)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 108 yang tinggal di lokasi Protection of

Civilians (PoC).

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 16. Pelatihan Pencegahan HIV/AIDS Kepada Petugas Kesehatan.

Sudan Selatan merupakan salah satu dari 38 negara yang menyumbang 89% infeksi HIV baru. Penyakit HIV di Sudan Selatan sudah menjadi epidemi umum dengan prevalensi rata-rata 2,7%, diperkirakan 200.000 orang merupakan penyintas HIV (UNAIDS, 2015).

Mengingat HIV/AIDS adalah dampak buruk akibat hubungan seksual yang tidak sehat dan berpotensi menurun, upaya unit HIV/AIDS UNMISS dinilai sangat membantu banyak pihak dalam hal pencegahan dan penanganan dengan tujuan mencegah pelaku melakukan kejahatan CRSV dan melindungi korban yang berpotensi mengidap penyakit HIV/AIDS.

3.5 Security Components

Terdapat dua komponen keamanan UNMISS, yaitu UN Military dan UN

Police (UNPOL). Komponen keamanan UNMISS berperan untuk mendukung dan membantu menciptakan lingkungan yang aman dan stabil. UNMISS berhasil meningkatkan kepercayaan dengan pemerintah pusat, dapat dilihat dari keaktifan UNMISS membantu mengembangkan kapasitas institusi militer Sudan Selatan serta reintegrasi berbagai kelompok bersenjata.

Sejak 2016, Militer UNMISS aktif berpatroli di wilayah-wilayah rawan kejahatan (UNMISS, 2021). situs PoC Bentiu, tentara UNMISS melakukan patroli jalan kaki mengikuti rombongan wanita yang pergi mencari kayu bakar di hutan. Dalam seminggu, tentara UNMISS dapat melakukan patroli hingga 10 kali dalam radius tujuh kilometer dari situs PoC. Kerja keras pasukan telah mengurangi jumlah kejahatan dan memberi rasa aman kepada para wanita sipil.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 17. Kegiatan Patroli Jalan Kaki

Militer UNMISS.

(25)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 109 Dalam upaya meningkatkan

partisipasi perempuan dalam pembangunan keamanan dan perdamaian, UN menambah proporsi pasukan tentara wanita. Tentara wanita dari berbagai negara seperti Australia, Cina, Ethiopia, Jepang, dan Nepal ditempatkan di Juba. Kemajuan ini diapresiasi oleh warga sipil karena mereka dapat terhubung dengan baik kepada tentara wanita dibandingkan tentara pria.

Pertemuan ini membicarakan isu-isu menyangkut perempuan, khususnya insiden CRSV.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 18. Pertemuan Personel Militer

Wanita UNMISS di Juba.

Pada 19 Juni 2019, Militer UNMISS mengadakan dialog dengan pasukan militer Sudan Selatan dan masyarakat sipil untuk menghentikan kekerasan seksual terkait konflik (UNMISS, 2021). Pertemuan ini merupakan salah satu upaya Militer UNMISS menjembatani perwakilan masyarakat sipil dan pejabat militer senior untuk membangun kepercayaan.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org Gambar 19. Pejabat Senior SSPDF

Memberi Sambutan.

Selain UN Military, sektor keamanan UN Police juga turut berpartisipasi dalam upaya melindungi korban CRSV. Pada 7 Mei 2016 UNPOL mengadakan program peningkatan kesadaran CRSV berkoordinasi dengan Divisi HAM dan Unit Perlindungan Anak (UNMISS, 2021). Sebanyak 51 partisipan dari kalangan pengungsi diberikan serangkaian modul tentang kekerasan seksual meliputi tema perlindungan anak, kesadaran HIV/AIDS, kekerasan seksual terkait konflik, hukum pidana, akses pengaduan, dan teknik memecahkan masalah.

Sumber: https://unmiss.unmissions.org

(26)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 110 Gambar 20. Pelatihan Peningkatan

Kesadaran CRSV

Pasukan keamanan UNMISS bekerja keras melindungi warga sipil dari serangan CRSV. Aktivitas patroli rutin dengan jumlah pasukan yang banyak menurunkan intensitas serangan senjata mendadak dari para kombatan. Selain

melakukan upaya perlindungan fisik, pelatihan yang diinisiasi komponen keamanan juga meningkatkan kesadaran berbagai pihak untuk saling melindungi sesama manusia.

KESIMPULAN

Conflict-related Sexual Violence (CRSV) mengacu pada kejahatan kekerasan seksual seperti pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan paksa, aborsi paksa, sterilisasi paksa, perkawinan paksa, atau segala bentuk kekerasan seksual lainnya yang dilakukan terhadap individu atau kelompok dalam situasi konflik atau pasca konflik.

Berdasarkan konsep Gender Senstive Conflict Analysis, terdapat tiga langkah menggunakan lensa gender ke dalam analisis konflik, yaitu: (1) Analisis kontekstual; (2) Interseksionalitas; (3) dan Partisipatif. Tiga dimensi ini dapat membantu mengidentifikasi bagaimana norma gender dapat mendorong kekerasan;

memahami bentuk relasi kekuasaan gender; memahami persamaan dan perbedaan pengalaman perempuan dan laki-laki di daerah konflik; dan memetakan

peran yang dibutuhkan. Utamanya, GSCA mengandung dimensi partisipatif yang sangat dibutuhkan sebagai strategi perlindungan korban CRSV melalui upaya keterlibatan langsung ke tengah peserta.

Upaya analisis menunjukkan identifikasi insiden CRSV dapat dilihat dari: (1) profil & motivasi pelaku yang sering berafiliasi dengan suatu negara atau kelompok bersenjata non-negara; (2) profil korban seringkali berasal dari minoritas yang lemah; (3) iklim impunitas/kapasitas negara yang melemah; (4) konsekuensi lintas batas seperti perpindahan atau perdagangan orang; dan/atau (5) pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian gencatan senjata. Penelitian HRD UNMISS menemukan bahwa pelaku adalah bagian dari pasukan SPLA-IO (TD), SSPDF, SPLA-IO (RM). Korban menderita cedera fisik yang menyakitkan dan gangguan kesehatan mental jangka panjang. Setelah melakukan analisis,

(27)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 111 masing-masing divisi mengembangkan

program-program responsif sesuai peran dan tanggung jawabnya untuk memberikan tanggapan yang berkelanjutan. Upaya partisipatif dilakukan dengan memperbaiki struktur sosial sehingga meminimalisir ketegangan konflik dan menghapus insiden CRSV.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Adolf, H. (1991). Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional.

Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Goor, L. V. (1996). Between Development and Destruction: An Inquiery into the Causeof Conflict in Post Colonial States. The Hague: Clengendael: The Nederlands Institute of International Relations.

Hamidi. (2005). Metode Penelitian Kualitatif . Malang: UMM Press.

Lyi, J. M. (2016). Humanitarian Intervention and the AU- ECOWAS Intervention Treaties Under International Law:

Towards a Theory of Regional Responsibility to Protect.

Switzerland: Springer International Publishing AG Switzerland.

Miles, B. M. (1992). Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru . Jakarta:

UIP.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Ponthoz, S. F. (2017). International Protocol on the Documentation and Investigation of Sexual Violence in Conflict. London: UK Foreign & Commonwealth Office.

Seifert, R. (1994). War and rape: a preliminary analysis, in A.

Stiglmayer (ed.). Mass rape: the war against women in Bosnia- Herzegovina. London: University of Nebraska Press.

Singarimbun, M. E. (1995). Metode Penelitian Survey . Jakarta: PT Pustaka LP3ES.

Situmorang, S. (2010). Analisis Data untuk Riset Menejemen dan Bisnis. Medan: USU Press.

South Sudan Law Society. (2016).

Accountability for Sexual Violence Committed by Armed Men in South Sudan. South Sudan: South Sudan Law Society.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV Alfabeta.

Sylvester, C. (1996). The Contribution of Feminist Theory to International Relations dalam Smith, Steve, Ken Booth, dan Marysia Zalewski (ed.), International Theory:

Positivism and Beyond.

Cambridge: Cambridge University Press.

Umar, N. (2010). Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Dian Rakyat.

Jurnal

Djelantik, S. (2008). Gender dan Pembangunan di Dunia Ketiga.

(28)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 1 No 2 Desember 2021 112 Jurnal Administrasi Publik, Vol

5, No.2, 232-251.

Gaggioli, G. (2014). Sexual violence in armed conflicts: A violation of international

humanitar ian. International Review of the Red Cross 96(894), 504.

Gareth Evans, M. S. (2002). The Responsibility to Protect.

Journal of Foreign Affairs, Vol.

81, No. 6, pp. 99-110.

Gareth Evans, R. T. (2013).

Humanitarian Intervention and the Responsibility to Protect.

International Security, Vol. 37, No. 4 (Spring 2013), pp.

199–214

Groenewald, S. C. (2019). Gender- Sensitive Conflict Analysis:A New Training Method for Practitioners. Journal of Peacebuilding & Development Vol. 14(3) , h. 304-317.

ICISS. (2001). The Responsibility to Protect. International Commission on Intervention and State Souvereignty.

MacKay, J. (2006). State Failure: “Actor Network Theory, and the Theorisation of Sovereignty".

BSIS Journal of International Studies, Vol. 3, p.59-96.

Money, J. (1955). Hermaphroditism, gender and precocity in hyperadrenocorticism:

Psychologic findings . Bulletin of the Johns Hopkins Hospital 96 (6), 253-64.

Nonitehe, C. V. (2013). Latar Belakang Merdekanya Sudan Selatan Dalam Referendum 2011 Serta

Tinjauan Mengenai Sudan dan Sudan Selatan Pasca Referendum.

FISIP UI, h.8

Nugraha, L. G. (2020). Penerapan Prinsip Responsibility To Protect (RtoP) Sebagai Bentuk Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata. Jatiswara Vol. 35 No.

1

Maret 2020, p.78-87.

Quain, C. D. (2014). Gender in Conflict . European Union Institute for Security Studies, 1-4.

Rahayu. (2012). Eksistensi Prinsip Responsibilty to Protect Dalam Hukum Internasional. Jurnal MMH 3 Jilid 41 No. 1 Januari 2012.

Riyanto, S. (2012). Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional

Kontempore r. Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012, h. 10.

Sudira, I. N. (2017). Resolusi Konflik Dalam Perubahan Dunia. Global:

Jurnal Politik Internasional Vol.

19 No. 2, H.156-171.

Twenge, J. M. (1997). Changes in masculine and feminine traits over time: A meta-analysis. Sex Roles, 305-325.

Laporan

Birchall, J. (2019). Gender as a Causal Factor in Conflict. United Kingdom: K4D.

Care. (2014). The Girl Has No Rights:

Gender-Based Violence in South Sudan. Switzerland: Care Cone, D. (2019). Report Still in

Danger: Women and Girls Face Sexual Violence in South Sudan Despite Peace Deal.

Gambar

Grafik 1. Jumlah Kasus CRSV di Sudan
Gambar  2.  Peta  Insiden  CRSV  di  Northern Unity.
Tabel  1.  Partisipasi  Wanita  dalam  Manajemen Perusahaan
Gambar 3. Situs PoC di Bentiu (2016).
+2

Referensi

Dokumen terkait