• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of STATUS DARURAT KESEHATAN AKIBAT PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of STATUS DARURAT KESEHATAN AKIBAT PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT DI INDONESIA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

582 DOI: https://doi .org/10 .21776/ub .arenahukum .2022 .01503 .7

DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT DI INDONESIA

Fikri Hadi, Farina Gandryani

Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya Jalan Raya Benowo 1-3, Surabaya

Email: fikrihadi13@gmail.com; farinayani@uwp.ac.id

Disubmit: 02-04-2020 | Diterima: 04-06-2022

Abstract

The COVID-19 pandemic which hit Indonesia has caused problems about the national emergency status that was announced on March, 31st 2020. Several local governments has requested to grant permission for doing own lockdown. The President also opened the option to declare the civil emergency for the worst-case scenario. This research analyzes the health emergency in the Indonesian legal system and the concept of lockdown and civil emergency that caused by such outbreak. This research is a doctrinal research using conceptual, legal and statutes approach.

The result shows that the health emergency has been regulated on Law number 6 of 2018 on Health Quarantine. However, due to the vacuum of norm of its technical regulations in early pandemic, policies in order to handle COVID-19 was based on BNPB degree. The lockdown concept in Indonesian Law also had two means according to Health Quarantine Law namely Regional Quarantine and Large-scale Social Restrictions. Both are the authority of central government. Besides, it is concluded that The Civil Emergency is not appropriate if it is based on a disease outbreak such as COVID-19.

Keywords : Health Emergency, Disaster, Quarantine, COVID-19

Abstrak

Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia menimbulkan permasalahan status kedaruratan yang ditetapkan tanggal 31 Maret 2020. Sejumlah Pemerintah Daerah meminta agar diperkenankan melakukan lockdown tersendiri. Presiden juga membuka opsi darurat sipil terhadap kemungkinan terburuk. Penelitian ini mengkaji kedaruratan kesehatan pada sistem hukum Indonesia serta konsep lockdown dan darurat sipil yang dikarenakan wabah penyakit.

Penelitian normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan serta konseptual.

Hasilnya bahwa kedaruratan kesehatan telah diatur secara khusus dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun dikarenakan ketiadaan aturan turunan ketika awal pandemi, maka penanganan pandemi didasarkan pada SK BNPB. Konsep lockdown dalam hukum Indonesia mempunyai 2 arti berdasarkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, yakni Karantina Wilayah serta Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan keduanya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Adapun dengan Darurat sipil tidak tepat bila dilakukan atas dasar terjadinya wabah penyakit seperti COVID-19.

Kata Kunci : Kedaruratan Kesehatan, Bencana, Karantina, COVID-19

(2)

PENDAHULUAN

Wabah Corona Virus Disease 2019 atau disebut sebagai COVID-19 yang melanda dunia padad 2020 menimbulkan berbagai permasalahan di berbagai belahan dunia.

Diawali dengan kasus pertama di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 hingga akhirnya tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Tercatat dalam statistik dunia secara real time (per 1 April 2020) terdapat 860.696 kasus COVID-19 di seluruh penjuru dunia dengan angka kematian mencapai 42.352 kasus.1 Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization menyatakan COVID-19 sebagai pandemic.2

Wabah COVID-19 juga melanda di Indonesia. Hal ini menimbulkan sejumlah permasalahan kesehatan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Tercatat pada awal pandemi COVID-19 di Indonesia, yakni per 1 April 2020 terdapat 1677 kasus dengan angka kematian mencapai 157 kasus.3 Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 9.A. tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia yang berlaku selama 32 hari terhitung sejak tanggal 28

1 Dikutip dari situs resmi World Meter Info, https://www.worldometers.info/coronavirus/, diakses pada 1 April 2020.

2 Dikutip dari laman resmi World Health Organization, https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director- general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020, diakses pada 1 April 2020).

WHO menyatakan pandemic ini sebagai a worldwide spread of a new disease.

3 Dikutip dari laman resmi penanganan COVID-19 di Indonesia, https://www.covid19.go.id/, diakses pada 1 April 2020.

4 Joko Widodo, “Cegah Covid-19 Semakin Meluas dengan Kurangi Mobilitas dan Pembatasan Sosial”, https://

www.setneg.go.id/baca/index/presiden_cegah_covid_19_semakin_meluas_dengan_kurangi_mobilitas_dan_

pembatasan_sosial, diakses pada 29 Maret 2020.

Januari - 28 Februari 2020 yang kemudian diperpanjang dengan Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 13.A tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia yang berlaku selama 91 hari terhitung sejak tanggal 29 Februari – 29 Mei 2020.

Bahkan Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 7 Tahun 2020 yang membentuk suatu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang selanjutnya diubah melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang diketuai oleh Kepala BNPB. Bahkan Presiden melalui pernyataannya melalui telekonferensi meminta agar masyarakat melakukan pembatasan sosial (social distancing) termasuk diantaranya belajar, bekerja dan beribadah dari rumah.4

Pada perkembanganya, World Health Organization (WHO) mengirimkan surat tertanggal 10 Maret 2020 kepada Presiden Joko Widodo yang pada intinya merekomendasikan agar Indonesia menetapkan declaration

(3)

of national emergency atau status darurat nasional.5 Diketahui bahwa hingga akhir Maret 2020, Indonesia masih belum menetapkan status darurat secara nasional walaupun BNPB telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala BNPB.

Pada sisi yang lain, sejumlah daerah di Indonesia telah menetapkan status siaga darurat maupun tanggap darurat di daerahnya masing- masing. Bahkan sejumlah daerah dan beberapa elemen masyarakat meminta agar ditetapkan sebuah status yang disebut sebagai lockdown.

Akan tetapi, Presiden melalui pernyataan pada tanggal 16 Maret 2020 melarang Pemerintah Daerah untuk melakukan kebijakan lockdown dikarenakan hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.6 Presiden dalam anjurannya mengajak masyarakat untuk melakukan physical distancing daripada melakukan konsep lockdown sebagaimana yang dikemukakan oleh elemen masyarakat maupun sejumlah Pemerintah Daerah.

Selanjutnya, Presiden dalam pernyataan pada tanggal 30 Maret 2020 akan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan kemungkinan terburuk adalah pemberlakuan darurat sipil. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat serta akademisi terkait dengan pemberlakuan darurat sipil tersebut.

Pada akhirnya, Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 mengeluarkan 3 (tiga)

5 Bunyi lengkap pada surat itu ialah: “WHO Strongly recommends the following urgent actions to reduce transmission and prevent further spread: - scale up emergency response mechanisms including declaration of national emergency ; ... (dst.)

6 Joko Widodo, “Arahan Presiden Terkait Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah Tangani COVID-19”, https://

www.setneg.go.id/baca/index/arahan_presiden_terkait_kebijakan_pemerintah_pusat_dan_daerah_tangani_

covid_19, diakses pada 29 Maret 2020.

bentuk hukum yang berbeda terkait dengan kedaruratan dalam hal penanganan COVID- 19. Pertama adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID- 19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/

atau Stabilitas Sistem Keuangan, Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19 serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Walaupun dasar hukum telah diterbitkan, sejumlah permasalahan tetap mengemuka seperti isu lockdown serta darurat sipil sebagai kemungkinan terburuk.

Kedaruratan kesehatan akibat pandemi COVID-19 secara nasional bahkan global tersebut merupakan suatu hal yang baru dialami baik oleh Indonesia maupun dunia.

Indonesia sendiri belum pernah mengalami kasus penyakit yang diderita oleh jutaan penduduk dalam waktu yang sangat singkat.

Hal ini dapat dibandingkan antara COVID-19 dengan Wabah avian influenza atau lebih dikenal sebagai flu burung yang melanda Indonesia pada pertengahan dasawarsa 2000’an mencatatkan kasus sebanyak 200

(4)

kasus dengan 168 kematian, terhitung sejak tahun 2003 hingga 2017 7 atau dengan kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang acap kali melanda beberapa wilayah Indonesia setiap tahunnya sehingga beberapa daerah sering menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB), dengan pernah terjadi puncaknya pada 2005 dengan 28.330 kasus dan 390 kematian.8 Sedangkan COVID-19 hingga 26 November 2021 telah mencatatkan sebanyak 4.255.268 angka positif COVID-19 dengan 143.796 kematian di Indonesia9.

Kedaruratan kesehatan tersebut tentu harus diatasi agar tidak berdampak lebih besar.

Namun tindakan tersebut harus tetap dalam koridor hukum. Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI) secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Hal ini berarti bahwa setiap penyelenggaraan proses bernegara di Indonesia, termasuk halnya penanganan situasi kedaruratan di Indonesia harus tetap berada dalam koridor hukum.

Namun, bila melihat dinamika kedaruratan yang terjadi sejak awal pandemi di Indonesia, yakni akhir Februari 2020 hingga April 2020, tampak terjadi ketidaksiapan berbagai pihak untuk menghadapi pandemi COVID-19, termasuk pada bidang hukum.

Terjadi perdebatan antara lockdown atau

7 Noviani Darmawati, Iman Rozani, “Pengaruh Alokasi Bantuan Pengendalian Penyakit Avian Influenza (Flu Burung) Selama Kurun Waktu 2013-2016”, Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, Vol. 5, No. 1, (2021):

157. Diakses pada 26 November 2021. doi: https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2021.005.01.15 .

8 Antonius Wiwan Koban, “Kebijakan Pemberantasan Wabah Penyakit Menular: Kasus Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue (KLB DBD)”, Jurnal Policy Assessment, Juni 2005: 20. Diakses pada 26 November 2021.

9 Satuan Tugas Penanganan COVID-19, https://covid19.go.id/ , diakses pada 26 November 2021.

jenis pembatasan lain. Bahkan sampai memunculkan isu diberlakukannya darurat sipil di Indonesia, yang mana isu tersebut memantik perdebatan di kalangan akademisi, mengingat pemberlakuan darurat sipil di Indonesia identik dengan daerah konflik sebagaimana yang terjadi pada pemberlakuan darurat sipil di Aceh pada tahun 2002 dan 2004. Bahkan hingga akhirnya pada Maret 2020, diberlakukan sejumlah pembatasan mobilitas masyarakat sebelum adanya dasar hukum yang jelas terkait status kedaruratan di Indonesia ataupun dasar hukum terkait penanganan pandemi COVID-19 kala itu.

Berkaca dari hal tersebut di atas, maka penelitian ini akan mengkaji penanganan kedaruratan COVID-19 di Indonesia dalam perspektif hukum, mengacu pada penanganan masa awal pandemi COVID-19 melanda Indonesia, yakni dalam rentang waktu Februari, Maret dan April 2020. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi hukum ketika kedepannya Indonesia kembali menghadapi situasi darurat akibat hal-hal yang mungkin tidak terbayangkan sebagaimana pandemi COVID-19, sehingga penanganan pada situasi darurat tidak melanggar hukum yang berakibat dirugikannya segenap masyarakat Indonesia itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka isu yang akan dibahas pada artikel ini

(5)

adalah:

1. Bagaimana kajian penanganan kedaruratan kesehatan dalam perspektif hukum di Indonesia?

2. Bagaimana konsep lockdown dan penerapan darurat sipil pada kasus COVID-19 dalam perspektif hukum kesehatan maupun kedaruratan di Indonesia?

Penelitian ini adalah penelitian hukum.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertipe doctrinal research, yakni “Research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category, research which analyses the relationship between rules, research which explains areas of difficulty and, perhaps, predicts future developments” atau bila diterjemahkan adalah riset yang menghasilkan sebuah penjelasan sistematis mengenai aturan-aturan hukum yang mengatur peraturan hukum tertentu, analisis hubungan antara aturan-aturan dan mungkin memprediksi perkembangan kedepan.10 Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang- undangan dan pendekatan konseptual11.

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder12. Bahan hukum primer yang dipergunakan terdiri dari:

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-

10 Terry C. Hutchinson, Developing legal research skills : expanding the paradigm, (Melbourne: University Law Review, 32, 2008), hlm. 1065-1095.

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenadanamedia Group, 2017), hlm.133.

12 Ibid,

13 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konpress, 2006), hlm.3.

undangan yang berkaitan dengan kedaruratan baik karena bencana maupun wabah. Adapun bahan hukum sekunder adalah dengan menggunakan buku-buku, jurnal hukum, kamus hukum dan karya tulis yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun pengumpulan bahan hukum menggunakan studi kepustakaan (library research).

Fokus Penelitian ini akan membahas penanganan kedaruratan COVID-19 di Indonesia pada awal pandemi COVID-19 melanda Indonesia dalam rentang waktu Februari, Maret dan April 2020.

PEMBAHASAN

A. Teori Hukum Tata Negara Darurat Mengkaji Hukum Tata Negara (HTN) tidak hanya terbatas pada suatu undang- undang dasar belaka, melainkan juga mengkaji faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi penyelenggaraan kekuasaan negara.13 Salah satu kajian dalam Hukum Tata Negara adalah kajian mengenai Hukum Tata Negara dalam keadaan darurat. Konsep darurat sejatinya tidak hanya berlaku pada kajian hukum perdata / hukum bisnis saja, melainkan juga dalam kajian Hukum Tata Negara. Pada keadaan tertentu, sebuah pemerintahan atau bahkan negara tidak dapat dijalankan sebagaimana dalam keadaan normal dikarenakan suatu keadaan yang tidak dapat diprediksi dan

(6)

bersifat mendadak sehingga menimbulkan keadaan darurat. Sehingga agar hal tersebut dapat tetap berjalan, dibutuhkan aturan khusus mengenai pengaturan dalam keadaan darurat.

Pada sejumlah literatur, Hukum Tata Negara Darurat disebut juga sebagai Staatsnoodrecht atau Hukum Darurat Negara.

Berkaitan dengan Hukum Darurat Negara Duulemen mengemukakan teorinya dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie menyebutkan bahwa Staatsnoodrecht harus memenuhi tiga syarat yaitu:

a. Tindakan yang diambil tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan negara;

b. Pernyataan negara dalam keadaan darurat diucapkan dihadapan parlemen;

c. Tindakan itu bersifat sementara.14 Andrey Heywood berpendapat bahwa states of emergency adalah “a declaration by government through which it assumes special powers, supposedly to allow it to deal with an unusual threat.15

Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa suatu keadaan darurat negara atau state of emergency harus didasarkan pada prinsip proporsionalitas atau the principle of proporsionality yang dikenal pada kaidah

14 Duulemen dalam I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945,(Malang: Setara Press, 2010), hlm.121

15 Andrew Heywood, Politic, (London: Fourth Edition, Palgrave Macmillan, 2013), hlm. 341.

16 Jimly Asshiddiqie dalam Muhammad Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State Of Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 18, No. 2, (April 2018): 236. Diakses pada 28 Maret 2020. doi: https://doi.org/10.20885/iustum.

vol18.iss2.art5.

17 Vernon Bognador dalam Janpatar Simamora, “Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan Yang Memaksa”

Dalam Penerbitan PERPPU”. Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 1, (Februari 2010): 59. Diakses pada 28 Maret 2020 doi: https://doi.org/10.22146/jmh.16208.

hukum internasional. Prinsip tersebut dinilai sebagai inti dari doktrin self defence atau ‘the crus of the self defence doctrine’.

Secara inheren, prinsip proporsionalitas tersebut dinilai memberikan standar terkait kewajaran atau standard of reasonabeleness, sehingga kriteria dalam rangka menentukan adanya necessity menjadi lebih jelas dan konkret, kebutuhan yang dirumuskan sebagai dasar atau alasan pembenar dalam rangka melakukan tindakan kedaruratan menjadi bersifat proporsional, setimpal ataupun wajar.

Oleh karenanya tindakan kedaruratan tersebut tidak boleh melebihi batas kewajaran atau kesetimpalan yang menjadi dasar ataupun alasan pembenar bagi dilakukannya tindakan tersebut.16

Sementara Vernon Bogdanor berpendapat bahwa setidaknya terdapat tiga kondisi darurat yang dapat mengakibatkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu darurat perang; darurat sipil; dan darurat internal (innere not stand).

Darurat yang sifatnya darurat internal dapat timbul berdasar pada penilaian subjektif Presiden, yang selanjutnya bisa menjadi alasan bagi Presiden untuk mengeluarkan PERPPU.17

Pemberlakuan Hukum Tata Negara Darurat disuatu negara tentu berdampak pada aspek- aspek perkehidupan kebangsaan lainnya. Salah

(7)

satunya adalah berkaitan dengan pembatasan Hak Asasi Manusia. Indonesia merupakan negara yang mencantumkan Hak Asasi Manusia pada Konstitusinya, yakni Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bagir Manan berpendapat bahwa Konstitusi adalah ‘the supreme law of the land’ Memasukkan hak-hak asasi dalam konstitusi tidak saja menegaskan hak asasi sebagai fundamental rights, melainkan sekaligus sebagai ‘the supreme constitutional rights’. Hal ini juga membawa konsekuensi bagi negara terhadap 3 (tiga) kewajiban dasar yaitu kewajiban melakukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak tersebut.18

Pada dasarnya, terdapat kewajiban negara untuk melindungi (protect), memenuhi (fulfill) dan menegakkan (enforced) setiap Hak Asasi Manusia. Namun pada perkembangannya, tidak seluruh hak harus dipenuhi secara mutlak. Terdapat pula hak-hak yang mana dapat dibatasi pemenuhannya pada kondisi tertentu seperti keadaan darurat, dan terdapat pula hak-hak yang tidak dapat dibatasi pemenuhannya meskipun dalam keadaan darurat (atau bersifat mutlak). Hak-hak yang dapat dibatasi pemenuhannya pada situasi atau keadaan darurat yakni hak yang disebut sebagai derogable rights. Hak tersebut diantaranya terdiri dari hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak (melakukan mobilitas), hak untuk berkumpul, serta hak

18 Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, “Konstitusi dan Hak Asasi Manusia”, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum (PJIH) Vol. 3, No. 3, (2016): 465. diakses pada 29 Maret 2020 doi: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a1.

19 Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Keadaan Darurat”, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1 (Juni 2014): 60.

untuk berbicara.19 Adapun hak yang tidak boleh dibatasi pemenuhannya walau dalam keadaan darurat (bersifat mutlak) disebut sebagai non derogable rights. Contoh diantaranya ialah hak untuk hidup.

Pada kaidah hukum internasional, salah satu yang menjadi rujukan hak sipil dalam keadaan darurat adalah International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR), yang mana Indonesia juga termasuk negara yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). ICCPR memberikan kewenangan kepada para pihak / negara peserta perjanjian ini untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat. Pasal 4 ICCPR menyebutkan sebagai berikut:

1. “In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on

(8)

the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.

2. “No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision.

3. “Any State Party to the present Covenant availing itself of the right of derogation shall immediately inform the other States Parties to the present Covenant, through the intermediary of the Secretary- General of the United Nations, of the provisions from which it has derogated and of the reasons by which it was actuated. A further communication shall be made, through the same intermediary, on the date on which it terminates such derogation.

Maka berdasarkan pasal tersebut diatas, negara boleh mengurangi kewajiban mereka dalam pemenuhan hak sipil dan hak politik pada saat keadaan darurat sepanjang langkah- langkah yang dilakukan atau diambil tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban- kewajiban lainnya yang berdasarkan pada hukum internasional serta tidak mengandung diskriminasi yang didasarkan pada ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, bahasa maupun asal-usul sosial (atau pada istilah di Indonesia disebut sebagai SARA). Pada pasal ini, juga disebutkan pula hak-hak yang tidak dapat dikurangi sedikitpun meskipun pada situasi atau keadaan darurat sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 (paragraf 1 serta 2), Pasal 11, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 18.

Pasal-Pasal tersebut diatas mengatur tentang

diantaranya hak untuk hidup, hak untuk tidak dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama serta hak lainnya yang tergolong non-derogable rights.

Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ada sejumlah asas dalam pemberlakuan Hukum Tata Negara darurat, yakni sebagai berikut:

a. Asas Deklarasi, yakni adanya kewajiban untuk memgumumkan atau memproklamasikan (mendeklarasikan) setiap pemberlakuan situasi keadaan darurat atau keadaan luar biasa yang dilakukan secara resmi dan terbuka kepada publik. Sehingga semua orang mengetahui adanya pemberlakuan keadaan darurat tersebut.

b. Asas Legalitas, yakni Adanya kesesuaian antara deklarasi keadaan darurat dengan tindakan-tindakan darurat yang diambil atau diputuskan oleh kepala negara yang berdasarkan pada peraturan perundang- undangan negara tersebut. Asas legalitas ini ditujukan agar memastikan bahwa hukum pada suatu negara berkesesuaian dengan kaidah hukum internasional.

Tindakan darurat yang dilakukan pada suatu negara harus tetap berlandaskan pada koridor atau kerangka hukum.

c. Asas Komunikasi, yakni adanya kewajiban dari negara yang memberlakukan situasi darurat untuk memberitahukan keputusan ataupun tindakan pemberlakuan keadaan darurat tersebut kepada setiap negara, warga negara, negara-negara sahabat

(9)

serta negara lainnya yang menjadi peserta perjanjian yang relevan.

d. Asas Kesementaraan, yakni suatu pemberlakuan keadaan darurat harus mempunyai batasan waktu pemberlakuannya.

e. Asas Keistimewaan Ancaman. Maksud asas keistimewaan ancaman ini ialah mengacu pada keyakinan bahwa krisis yang mengakibatkan diputuskannya keadaan darurat tersebut merupakan bahaya yang sungguh nyata dan sedang terjadi (actual threats). Atau setidaknya, bahaya yang berpotensi sungguh-sungguh mengancam kehidupan bernegara atau komunitas kehidupan bersama.

f. Asas Proporsionalitas. Maksud asas proporsionalitas ini perlu diambil tindakan seger dan tepat karena adanya kegentingan yang memaksa (compelting need) dan yang secara proporsional (berimbang atau wajar) benar-benar memerlukan tindakan yang diperlukan untuk menghadapi atau mengatasi keadaan darurat tersebut.

g. Asas Intangibility. Asas ini menyangkut hak asasi manusia yang bersifat khusus yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right).

h. Asas Pengawasan, yakni adanya kontrol terhadap pemberlakuan keadaan darurat.

Setiap tindakan pada situasi keadaan darurat harus tetap berada dalam kerangka prinsip-prinsip demokrasi dan

20 Ibid, h. 66-67.

negara hukum. Salah satunya melalui mekanisme check and balances.20

B. Hukum Keadaan Darurat di Indonesia (Darurat Sipil, bencana dan karantina)

Pada kajian sejarah ketatanegaraan Indonesia, tercatat Indonesia pernah mengalami situasi darurat sehingga Hukum Tata Negara yang berlaku adalah Hukum Tata Negara dalam keadaan darurat. Peristiwa itu terjadi kala Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada intinya adalah mengembalikan undang-undang dasar dari yang sebelumnya adalah Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945.

Konstitusi yang saat ini berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengakomodir mengenai keadaan darurat (pada Konstitusi disebut sebagai keadaan bahaya). Pada Pasal 12 disebutkan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”

Konstitusi memang tidak menyebutkan secara rinci mengenai syarat dan akibatnya.

Pengaturan terkait hal tersebut diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No.

160 Tahun 1957) dan Menetapkan Keadaan Bahaya. Pada pasal 1 menyatakan sebagai

(10)

berikut:

(1) “Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan- kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.”

(2) “Penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang.”

Dari pasal diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam PERPPU Nomor 23 Tahun 1959 membagi keadaan bahaya dalam tiga tingkatan yaitu keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan perang. Sedangkan yang mempunyai wewenang dalam menyatakan keadaan bahaya baik seluruh wilayah Indonesia atau sebagian wilayah Indonesia adalah Presiden.

21 Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11, No. 1, (November 2019): 45. diakses pada 28 Maret 2020, doi: https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1960.

Selanjutnya, pada Penjelasan Pasal 1 PERPPU Nomor 23 Tahun 1959 dapat disimpulkan lima kondisi yang nantinya menjadi bagian dari tingkatan keadaan bahaya.

Lima kondisi tersebut adalah: pemberontakan (kerusuhan bersenjata), kerusuhan, perang saudara, bencana alam dan perang. Pembagian kelima kondisi keadaan bahaya tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: perang saudara, kerusuhan dan bencana alam termasuk kategori keadaan darurat sipil, keadaan pemberontakan (bersenjata) masuk dalam kategori keadaan darurat militer sedangkan perang masuk dalam kategori keadaan perang.21

Berkaitan dengan bencana yang kemudian dapat dikategorikan sebagai darurat sipil, terdapat beberapa konsekuensi dari darurat tersebut. Salah satunya adalah pembatasan aktivitas orang untuk berada di luar rumah.

Hal ini tertuang pada Pasal 19, yang berbunyi

“Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.” Pada penjelasan Pasal tersebut juga disebutkan bahwa Pasal 19 memberi kemungkinan untuk mengadakan jam malam dan pembatasan-pembatasan lain yang sedemikian.

Pada praktik historis ketatanegaraan Indonesia, tercatat Indonesia pernah mengumumkan status keadaan bahaya.

Undang-Undang tentang keadaan bahaya pertama adalah Undang-undang Nomor 6 tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya, yang selanjunya dicabut dengan pemberlakuan

(11)

Undang-undang No.74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya. Dari dasar hukum tersebut, pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno menetapkan keadaan perang pada dekade 50’an melalui pemberlakuan Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 225 Tahun 1957.22 Selanjutnya, KEPPRES tersebut menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 79 Tahun 1957 Tentang “Pengesahan Pernyataan Keadaan Perang Sebagai Yang Telah Dilakukan Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957”. Inti dari kesemua peraturan tersebut diatas adalah penetapan status keadaan perang untuk seluruh wilayah Indonesia.

Pada 17 Desember 1958, status keadaan perang tersebut kemudian diperpanjang hingga 1 (satu) tahun kedepan melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 85 Tahun 1958 tentang “Perpanjangan Jangka- Waktu Satu Tahun dan Pada Keadaan Perang Yang Telah Dinyatakan Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957 Dan Yang Disahkan Dengan Undang-Undang No. 79 Tahun 1957 (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 170) Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia.”

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 turut mengubah dasar hukum mengenai keadaan bahaya.

22 Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya tersebut, dasar hukum keadaan bahaya di Indonesia selain UU Nomor 6 Tahun 1946 juga adalah Regeling op de Staat Van Oorlog en van Beleeg ( S 193 No. 582). Presiden Soekarno menetapkan Keputusan Presiden tersebut adalah dalam rangka menyesuaikan dengan dasar hukum undang-undang yang terbaru. Baca konsideran Keputusan Presiden Nomor 225 Tahun 1957.

23 Baca Konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959.

24 Agus Adhari, Op.Cit. h. 45-46.

25 Hal ini dilakukan setelah pemerintah menaikan status dari darurat sipil menjadi darurat militer. Keputusan ini diambil setelah menemui jalan buntu pada pertemun antara GAM dan TNI di Tokyo. Karena tidak ada

Dengan kembali berlakunya Undang-Undang 1945, maka peraturan mengenai keadaan bahaya disesuaikan dengan Konstitusi yang baru.23 Maka pada 16 Desember 1959, Undang-undang No.74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang sampai saat ini masih berlaku.

Pada rezim Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 23 Tahun 1959 ini, tercatat sejumlah keadaan bahaya pernah ditetapkan oleh Presiden, baik keadaan bahaya berupa darurat sipil maupun darurat militer. Diantaranya adalah darurat militer di Timor Timur tahun 1999 (yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 107 Tahun 1999 tentang penetapan darurat militer di Timor-Timur), darurat sipil di Maluku tahun 2000-2002 (yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2002), darurat sipil di Aceh tahun 2002 serta darurat militer di Aceh tahun 2003 (yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003).2425

Sementara untuk jenis bencana alam, Indonesia tidak pernah menetapkan status bencana atau konflik sosial. Kendati peraturan

(12)

tersebut sudah berlaku. Pada bencana Tsunami Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tidak pernah ditetapkan sebagai dasar penerapan darurat sipil. Hal ini dapat dilihat dalam Keppres Nomor 43 tahun 2004 tentang Perubahan status darurat militer menjadi darurat sipil di Provinsi Aceh tertanggal 18 Mei 2004 yang berlaku selama 6 bulan hingga November 2004. Bencana tsunami di Aceh justru ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keppres Nomor 112 Tahun 2004.26

Pada tahun 2007, lahirlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang ini secara spesifik membahas mengenai keadaan darurat yang diakibatkan oleh bencana. Pada kaitannya dengan lahirnya Undang-Undang ini, Agus Adhari berpendapat sebagai berikut:

“Pada tahun 2007, lahir UU 24/2007 tentang Bencana Nasional yang ditafsirkan memiliki dua tujuan;

Pertama, sebagai aturan khusus untuk melepaskan status bencana alam dari bagian keadaan bahaya;

Kedua, sebagai aturan spesialis untuk mengatasi bencana nasional.

Lahirnya UU tersebut tidak terlepas dari peristiwa Tsunami di Aceh yang terjadi tahun 2004.”27

Berkaitan dengan penetapan keadaan status darurat, ada perbedaan antara PERPPU No. 24 Tahun 1959 dengan UU No. 24 Tahun 2007. PERPPU menyatakan bahwa hukum

yang mengalah pada pertemuan itu di mana GAM bersikeras tidak mau melucuti senjata dan TNI tidak mau keluar dari aceh, maka pada tanggal 19 Mei 2003 Presiden Megawati Soekarno Putri menetapkan darurat militer di Aceh. Baca Agus Adhari, ibid.

26 Agus Adhari, Loc.Cit.

27 Agus Adhari, Loc.Cit.

28 Qurrata Ayuni dalam Seminar Hukum Tata Negara Darurat dalam Kondisi Kebencanaan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cb7dd8f09254/3-aturan-ini-jadi-rujukan- utama-dalam-hukum-tata-negara-darurat/, diakses pada 27 Maret 2020.

pengaktifan hanya dapat dilakukan oleh Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang; sedangkan UU Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa deklarasi dapat dilakukan oleh Presiden dan kepala daerah sesuai dengan skala bencana.28 Pada Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa penetapan status darurat bencana yang berskala nasional ditetapkan oleh Presiden. Sedangkan status darurat bencana yang berskala provinsi ditetapkan oleh gubernur. Adapun status darurat bencana yang berskala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.

Berkaitan dengan wabah penyakit, hal ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Wabah penyakit dikategorikan sebagai bencana non alam berdasarkan pasal 1 angka 3.

Adapun dasar hukum tersendiri mengenai wabah penyakit diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Undang-Undang ini mencabut peraturan sebelumnya mengenai wabah yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah, yang kemudian diubah/

disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 UU Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah.

Pada Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor

(13)

4 Tahun 1984, wabah didefinisikan sebagai kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

Pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa salah satu upaya dalam rangka penanggulangan wabah adalah tindakan karantina.

Pada Penjelasan Pasal ini dijelaskan bahwa tujuan upaya penanggulan wabah ialah pertama, dalam rangka memperkecil angka kematian yang diakibatkan oleh wabah melalui pengobatan. Kedua bertujuan agar membatasi penularan dan penyebaran wabah agar tidak meluas ke daerah lain dan agar penderita wabah tersebut tidak bertambah banyak. Selanjutnya disebutkan juga bahwa terkait upaya penanggulangan wabah di suatu wilayah harus didasarkan dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat di wilayah tersebut. Indikatornya diantara lain terkait dengan adat istiadat dan kebiasaan di daerah tersebut, kondisi sosial dan ekonomi, perkembangan masyarakat, tingkat perekonomian masyarakat, serta agama di daerah tersebut.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 juga ada kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Undang-Undang ini secara spesifik mengatur mengenai karantina yang disebutkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984.

Pada penjelasan Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa UU Kekarantinaan

Kesehatan mengatur pembagian tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah, hak dan kewajiban, konsep Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (baik terkait dokumen administrasi, penjagaan di pintu masuk, informasi kekarantinaan kesehatan), serta mengatur terkait pembinaan, pengawasan, penyidikan dan ketentuan pidana pada kekarantinaan kesehatan.

Berkaitan dengan pembatasan aktivitas masyarakat diluar, UU Nomor 6 Tahun 2018 memberikan perbedaan antara karantina wilayah dengan pembatasan sosial berskala besar. Pada Pasal 1 angka 10 dan 11 menyebutkan bahwa Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk pada suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk serta isinya yang diduga terkontaminasi dan/

atau terinfeksi penyakit sedemikian rupa.

Sedangkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk pada suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa. Keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni agar mencegah adanya kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Perbedaan mendasarnya adalah Karantina Wilayah adalah penjagaan aktivitas di pintu masuk suatu wilayah sehingga penduduk yang sedang dikarantina wilayah tidak dapat keluar dari wilayahnya dan penduduk luar tidak bisa masuk ke wilayah yang sedang dikarantina. Sedangkan PSBB ialah pembatasan aktivitas sosial penduduk

(14)

setempat diantaranya peliburan tempat kerja dan sekolah, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum dan pembatasan kegiatan keagamaan.29

Berkaitan dengan kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara atau disebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat berdasarkan Pasal 10 ayat (1). Wabah COVID-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 melanda Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Hal ini didasarkan pada penyebaran virus COVID-19

29 Vide Pasal 53-55 dan Pasal 59.

30 Situs resmi penanganan COVID-19 di Indonesia, https://covid19.go.id/tanya-jawab?search=Apa_yang_

dimaksud_dengan_pandemi, diakses pada 14 Maret 2022.

yang bersifat luar biasa dengan bukti jumlah kasus serta angka kematian yang meningkat serta wabah tersebut dinilai sudah mewabah secara lintas wilayah dan lintas negara dan WHO sendiri telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi sejak 9 Maret 2020 yang didasarkan pada penyebarannya yang sudah secara global.30 Yang menjadi permasalahan adalah pada ayat (4) menyebutkan bahwa tata cara penetapan dan pencabutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan PP yang mengatur hal tersebut belum ada hingga saat ini.

Berdasarkan pemaparan diatas, berkaitan dengan status darurat dikarenakan bencana seperti wabah penyakit dapat disimpulkan dalam tabel berikut:

No Kriteria PERPPU No. 23/1959 UU No. 24/2007 UU No. 6/2018 1. S t a t u s

Kedaruratan Kesehatan

Tidak Ada. Terkait dengan bencana, hanya menyebutkan bencana alam sebagai bagian dari darurat sipil (disebutkan dalam penjelasan UU).

Ada, serta

membedakan antara bencana alam dengan bencana non alam seperti wabah penyakit.

Ada, dan UU ini secara khusus mengatur mengenai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

2. Kewenangan P e n e t a p a n Status Darurat

Ditetapkan oleh Presiden/

Panglima Tertinggi Angkatan Perang baik seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia

Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana. Skala nasional ditetapkan oleh Presiden, skala provinsi ditetapkan gubernur, dan skala k a b u p a t e n / k o t a ditetapkan bupati/

walikota.

Pemerintah Pusat

menetapkan&mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Pasal 10 ayat (1)), Selanjutnya menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menetapkan Karantina Wilayah

& Pembatasan Sosial Berskala Besar pada lokasi yang ditetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

(15)

3. Pembatasan A k t i v i t a s Sosial / di luar rumah

Khusus pada keadaan darurat sipil Diatur dalam Pasal 19 yang berbunyi

“Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.”

Tidak diatur Diatur dengan cara: Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit dan, Karantina Wilayah, dan PSBB

31 Walaupun demikian, penanganan bencana di Indonesia juga wajib melibatkan partisipasi masyarakat.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 tentang Kewajiban Masyarakat terkait dengan penanggulangan bencana.

D. Analisis Penanganan Kedaruratan COVID-19 serta Wacana Lockdown dan Darurat Sipil

Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan permasalahan yang dipaparkan pada pendahuluan adalah adalah bagaimana kedudukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penanganan kasus virus COVID-19 serta legalitas Keputusan Kepala BNPB Nomor 13.A Tahun 2020.

Tentang. Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona Di Indonesia?. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa wabah penyakit merupakan salah satu bentuk bencana non alam dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Maka, BNPB disini merupakan pelaksana dalam rangka penangan wabah COVID-19. Sebagai contoh pada pasal 13 menyebutkan bahwa salah satu tugas dari BNPB adalah menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/

bantuan nasional dan internasional. Sehingga berkaitan dengan logistik pada penanganan COVID-19 dilaksanakan oleh BNPB.31

Berkaitan dengan legalitas Keputusan Kepala BNPB Nomor 13.A Tahun 2020, hal ini tetap dinyatakan sah walaupun Presiden

baru mengeluarkan KEPPRES Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada tanggal 31 Maret 2020. Hal ini disebut sebagai Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu. Pada Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 bahwa Keadaan Tertentu adalah suatu keadaan dimana status Keadaan Darurat Bencana belum ditetapkan atau status Keadaan Darurat Bencana telah berakhir dan/atau tidak diperpanjang, namun diperlukan atau masih diperlukan tindakan guna mengurangi Risiko Bencana dan dampak yang lebih luas.

Pada konteks kondisi Indonesia pada awal munculnya COVID-19, Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden belum menetapkan status Keadaan Darurat Bencana, sedangkan pada penanganan COVID-19 tersebut membutuhkan penanganan preventif guna mencegah dampak yang lebih luas. Pada pasal 3 ayat (1) menyatakan sebagai berikut:

“Dalam Keadaan Tertentu, Kepala BNPB dapat melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan Bencana termasuk kemudahan akses

(16)

dalam penanganan darurat bencana sampai batas waktu tertentu, setelah mendapatkan keputusan dalam rapat koordinasi antarkementerian/

lembaga yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator (Menko) yang membidangi koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana.”

Implementasi dari Pasal tersebut dapat dilihat dari kutipan berita resmi dari Lembaga BNPB terkait Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia yakni sebagai berikut:

“Menurut Perpres No. 17 Tahun 2018 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam keadaan tertentu adalah dimana status Keadaan Darurat Bencana belum ditetapkan atau status Keadaan Darurat Bencana telah berakhir dan/atau tidak diperpanjang, namun diperlukan atau masih diperlukan tindakan guna mengurangi Risiko Bencana dan dampak yang lebih luas.

Kondisi saat itu wabah penyakit virus corona sudah merebak di Wuhan China, sehingga Pemerintah Indonesia mengevakuasi 238 WNI pulang ke Indonesia dan diobservasi di Pulau Natuna. Untuk mendukung penanganan tersebut memerlukan dukungan penanggulangan bencana secara darurat dan cepat serta dukungan Dana Siap Pakai (DSP) BNPB.

Pada saat itu belum ada status keadaan darurat bencana yang ditetapkan oleh Kepala Daerah maupun Kepala Negara. Maka Kepala BNPB menetapkan status keadaan tertentu berdasarkan Rapat Koordinasi yang

32 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, “Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia”. Dikutip dari laman resmi BNPB https://bnpb.go.id/berita/status-keadaan-tertentu- darurat-bencana-wabah-penyakit-akibat-virus-corona-di-indonesia-, diakses pada 28 Maret 2020.

dipimpin oleh Menteri Kordinator PMK pada tanggal 28 Januari 2020. Rakor dihadiri oleh Menkes, Menlu, Mensos, BNPB, dan sebagainya (sesuai pasal 3 Perpres No 17 Tahun 2018). Status keadaan tertentu diperlukan agar BNPB dapat melaksanakan operasi darurat baik di tingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dengan status keadaan tertentu ini BNPB dapat melakukan operasi darurat untuk mendukung penanganan darurat tersebut. Selanjutnya untuk mendukung pemulangan ABK World Dream, ABK Diamond Princess, dan lainnya menggunakan cara yang sama.

Hal tersebut sudah dilakukan BNPB dengan mengeluarkan Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 9.A. tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia yang berlaku selama 32 hari terhitung sejak tanggal 28 Januari - 28 Februari 2020. Diperpanjang dengan Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 13.A tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia yang berlaku selama 91 hari terhitung sejak tanggal 29 Februari – 29 Mei 2020.”32

Oleh sebab itu, maka status keadaan darurat dalam keadaan tertentu tetap mempunyai legalitas walaupun ditetapkan sebelum adanya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tersebut.

Pertanyaan selanjutnya yang berkaitan

(17)

dengan status keadaan darurat tertentu adalah apakah daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dapat menetapkan lockdown?. Berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan tersebut, maka harus dikaji terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan lockdown. Lockdown menurut Cambridge Dictionary adalah ‘a situation in which people are not allowed to enter or leave a building or area freely because of an emergency’.33 Konsep lockdown ini menjadi suatu isu yang ramai dibahas sebagai salah satu penanganan COVID-19 di berbagai dunia. Konsep lockdown baik secara total ataupun sebagian direkomendasikan dalam beberapa pemaparan mengenai penanganan COVID-19. Sebagai contoh dikutip dari sebuah artikel sebagai berikut:

As a reference framework (to be adjusted, if applicable), we suggest the following measures. Regional Establish categories according to the number of cases per 100.000 population and implement a package of multiple interventions that fit each category (appendix). For example, type A areas (≥100 cases / 10 inhabitants in the past 7 days) implement a citizen lockdown and complete shutdown of the region, except for essential services (eg, health care, hospital, and research centers) for a minimum period of 15–21 days.34

Pada sistem hukum di Indonesia,

33 Dikutip dari laman resmi Cambridge Dictionary, https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/lockdown, diakses pada 30 Maret 2020.

34 Oriol Mitja, et.al., “Experts’ request to the Spanish Government: move Spain towards complete lockdown”, Journal The Lancet Vol. 395, No. 10231, (March 2020). Diakses pada 30 Maret 2020. doi: https://doi.

org/10.1016/S0140-6736(20)30753-4. Artikel ini juga dapat dilihat pada https://www.observatoriobioetica.

org/wp-content/uploads/2020/03/Covid-19.pdf

khususnya dalam hukum kekarantinaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, istilah yang sepadan dengan lockdown yang dimaksud oleh sejumlah elemen masyarakat maupun beberapa Pemerintah Daerah adalah Karantina Wilayah atau Pembatasan Sosial Skala Besar berdasarkan Pasal 1 angka 10 dan 11. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa bahwa Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk pada suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk serta isinya yang diduga terkontaminasi dan/

atau terinfeksi penyakit sedemikian rupa.

Sedangkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk pada suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa. Keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni agar mencegah adanya kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Perbedaan mendasarnya adalah Karantina Wilayah adalah penjagaan aktivitas di pintu masuk suatu wilayah sehingga penduduk yang sedang dikarantina wilayah tidak dapat keluar dari wilayahnya dan penduduk luar tidak bisa masuk ke wilayah yang sedang dikarantina. Sedangkan PSBB ialah pembatasan aktivitas sosial penduduk setempat diantaranya peliburan tempat kerja dan sekolah, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum dan pembatasan kegiatan

(18)

keagamaan.

Berkaitan dengan penerapan hal tersebut diatas, sebagaimana yang dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, keadaan darurat tersebut harus didahului dengan penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pada Pasal 10 ayat (1) ditegaskan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Permasalahannya pada COVID-19 melanda Indonesia pada Maret 2020 ialah Pemerintah belum menetapkan status darurat. Pemerintah baru menetapkan status darurat pada tanggal 31 Maret 2020 melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Salah satu kendalanya pada saat itu adalah belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana yang diamanatkan pada Undang-Undang tersebut sebagai aturan teknis pelaksanaan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Ada beberapa argumen terkait pelaksanaan karantina wilayah atau pembatasan sosial skala besar oleh Pemerintah Daerah. Argumen- argumen tersebut berupa argumen yang pro maupun yang kontra, yakni sebagai berikut:

Argumen Pendukung / Pro.

1. Asas salus populi suprema lex, asas ini berarti keselamatan rakyat dan negara adalah hukum yang tertinggi.

Mahfud MD dalam bukunya Konstitusi

35 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.127.

36 Menurut sejarah, di Konstituante muncul dua kelompok aliran yang paling dominan tentang dasar negara, yakni kelompok yang menghendaki dasar negara kebangsaan dan kelompok yang menghendaki dasar negara Islam. Untuk menghindari perpecahan yang semakin besar dan dikhawatirkan mengancam eksistensi Negara Indonesia, maka Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Baca buku Mahfud MD, ibid.

h.122-133.

37 Farina Gandryani dan Fikri Hadi, “Vaksinasi COVID-19 di Indonesia : Hak atau Kewajiban Warga Negara”.

Jurnal Rechts Vinding Vol. 10, No.1, (2021):30, diakses pada 27 November 2021. doi: http://dx.doi.org/10.33331/

rechtsvinding.v10i1.622

dan Hukum dalam Kontroversi Isu menambahkan ’bahkan (keselamatan) lebih tinggi daripada UUD.35 Pada praktik ketatanegaraan Indonesia, hal ini pernah dilakukan pada pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang salah satu poinnya adalah mengembalikan undang- undang dasar dari yang sebelumnya adalah Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sejatinya melanggar konstitusi pada saat itu. Karena menurut Bab V UUDS 1950, pembentuk rancangan Undang- Undang Dasar adalah Konstituante untuk selanjutnya hasil rancangan tersebut diserahkan kepada Presiden untuk disahkan. Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden harus mengesahkan rancangan yang diberikan oleh Konstituante. Akan tetapi, dikarenakan tidak tercapainya mufakat, Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk menyelamatkan negara termasuk dengan melanggar konstitusi.

36 Pada perkembangan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, asas ini yang akhirnya melatarbelakangi lahirnya sejumlah pembatasan hingga pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Indonesia.37 2. Salah satu diantara belum diberlakukan

karantina wilayah pada saat itu

(19)

sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 adalah dikarenakan belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai aturan teknis. Pada beberapa kajian dari perspektif hukum administrasi, hal ini memungkinkan kepada Pemerintah Daerah pada saat itu untuk mengambil diskresi. Diskresi menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah “Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.” Pasal 23 huruf d menyebutkan bahwa salah satu Diskresi Pejabat Pemerintahan adalah meliputi pengambilan Keputusan dan/

atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Penjelasan Pasal 23 huruf d menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan yang lebih luas”

adalah kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan keutuhan negara, antara

38 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 171-172.

39 Ibid, h. 172-173.

40 Walaupun tindakan diskresi diperkenankan, ada hal-hal yang membatasi Pemerintah Daerah dalam melakukan diskresi terkait dengan penanganan COVID-19. Salah satunya kaitannya dengan pertimbangan dampak ekonomi akibat pembatasan yang akan dilakukan pada saat itu. Lebih lengkapnya dapat dibaca pada argumen kontra pada pembahasan selanjutnya pada artikel ini.

lain: bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut, Ridwan HR berpendapat sebagai berikut:

“Di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, freies Ermessen (diskresi) dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut: 1.) Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelesaian in konkrito atas suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut agar segera diselesaikan. Sebagai contoh ketika menghadapi suatu bencana alam, atau wabah penyakit menular. Maka aparat pemerintah harus segera mengambil tindakan atau keputusan yang menguntungkan bagi negara maupun menguntungkan bagi rakyat...”38

Hal ini juga sejalan dengan prinsip pada negara dengan konsepsi welfare state yakni, “Pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau belum/tidak ada peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum”.3940

Pada sisi lain, terdapat sejumlah argumen yang kontra terhadap karantina wilayah ataupun pembatasan sosial skala besar oleh

(20)

daerah, yakni sebagai berikut:

1. Diskresi tidak serta merta dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan Pasal 24 huruf B Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan bahwa salah satu syarat diskresi adalah tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 disebutkan bahwa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Setelah hal tersebut ditetapkan, barulah status Karantina Wilayah ataupun Pembatasan Sosial Skala Besar dapat ditetapkan melalui menteri yang bertugas dibidang kesehatan. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana pun juga tidak bisa menetapkan status karantina wilayah, dikarenakan kewenangan BNPB hanya sebatas dalam hal penanganan bencana secara umum, yakni UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sedangkan ketika menganalisis dalam hal kaitannya dengan karantina, maka dasar hukum yang dipergunakan adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pada hal ini, asas yang berlaku adalah lex specialis derogat legi generali.4142

2. Dampak ekonomi, yang mana hal

41 Baca penerapan asas tersebut dalam Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. h.139-141.

42 Pendapat berbeda disampaikan oleh Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman yang berpendapat bahwa dalam kaitannya pemenuhan kebutuhan masyarakat yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Alasan dari argumen ini adalah dikarenakan hingga 31 Maret 2020, penanganan Virus COVID-19 ditangani oleh BNPB serta Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang diketuai oleh Kepala BNPB. Pendapat tersebut disampaikan pada forum “Indonesia Lawyers Club” pada salah satu TV Swasta di Indonesia pada Selasa, 31 Maret 2020.

ini menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu pembatasan seperti karantina wilayah. Pelaksanaan karantina wilayah atau pembatasan sosial skala besar tidak hanya sekedar menutup jalan perbatasan atau meliburkan sekolah sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 53-55 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Konsekuensi lainnya adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang wilayahnya dikarantina atau mengalami pembatasan.

Sebagai contoh, pada Pasal 55 ayat (1) menyebutkan bahwa “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”

Pelaksanaan tanggung jawab tersebut tentu menggunakan uang negara yang bersumber pada rencana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Akan menjadi permasalahan bila ego sektoral antara Pusat dan Daerah terjadi dengan contoh suatu daerah menetapkan karantina, tetapi meminta anggaran dari Pusat. Padahal Pusat tidak menginginkan adanya karantina. Sedangkan masyarakat yang dikarantina membutuhkan perhatian khusus salah satunya berkaitan dengan

(21)

kebutuhan sehari-harinya. Adanya permasalahan tersebut diatas justru akan semakin menambah kerugian bagi masyarakat setelah sebelumnya terkena dampak wabah penyakit. Contoh lain adalah berkaitan dengan penutupan wilayah pada masing-masing kota, sedangkan pada kota tersebut terdapat jalan yang menjadi kewenangan Provinsi atau Pemerintah Pusat dan menjadi akses lalu lintas utama. Tentu pengaturannya tetap membutuhkan koordinasi dengan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi.

Berdasarkan argumen tersebut diatas, penulis menyarankan terkait dengan penyelenggaraan status darurat yang disebabkan oleh wabah penyakit yakni sebagai berikut:

1. Terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan secara umum.

Peraturan Pemerintah merupakan salah satu bentuk delegated legislation.

Lazimnya aturan hukum memang dibuat oleh lembaga legislatif. Akan tetapi ada sejumlah bentuk peraturan yang dibuat oleh selain lembaga legislasi. Aturan hukum yang dibuat oleh selain lembaga legislasi ini juga diakui keberadaannya sebagai bagian dari produk perundang- undangan. Dasar dibentuknya aturan selain oleh lembaga legislasi ini berasal dari peraturan yang dibuat oleh badan

43 Sukardi dan Ekawestri Prajawalita Widiati, “Pendelegasian Pengaturan Oleh Undang-Undang Kepada Peraturan Yang Lebih Rendah Dan Akibat Hukumnya”, Jurnal Yuridika, Vol. 27, No.2 (Mei-Agustus 2012):

146.

legislasi itu sendiri. Siapakah badan selain badan legislasi yang dapat membuat produk perundang-undangan itu? Ialah badan eksekutif yang dengan kekuasaan pemerintahannya kemudian menjadi badan paling legitimate untuk mendapat pendelegasian pembentukan peraturan. Peraturan yang dibuat itu tidak lain dan tidak bukan ditujukan untuk kepentingan menerjemahkan lebih rinci produk legislasi agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan bernegara.43 Hendaknya Pemerintah tidak lagi menunda pembentukan suatu aturan teknis sebagaimana yang diamanatkan pada suatu Undang-Undang. Hal ini agar Undang-Undang dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan terbentuknya Undang-Undang tersebut.

2. PP Nomor 21 Tahun 2020 dalam Pasal 6 telah tegas menetapkan bahwa Gubernur / Walikota / Bupati harus terlebih dahulu mengajukan usulan kepada Menteri di bidang kesehatan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Sehingga telah jelas bahwa hal ini tetap merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Terkait dengan pemberlakuan PP Nomor 21 Tahun 2020, Pemerintah seyogyanya menjabarkan secara rinci mengenai aturan teknis Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sejumlah kalangan menilai bahwa 7 Pasal dalam PP tersebut

(22)

masih belum menjelaskan secara detail mengenai mekanisme Pembatasan Sosial Berskala Besar.44 Dikaitkan dengan teori kegagalan pembentukan hukum dari Fuller bahwa salah satunya adalah ‘a failure to make rules understandable45, dan bila PP ini tidak menjelaskan secara rinci, maka penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar akan tidak efektif dan justru kembali menimbulkan perdebatan dikalangan akademisi maupun praktisi di Pemerintahan.46

3. Terkait dengan pelaksanaan darurat sipil, seyogyanya hal tersebut tidak tepat dilakukan dalam konteks penanganan Wabah COVID-19. Hal ini didasarkan sebagai berikut:

a. Pada PERPPU 23 Tahun 1959 memang menyebutkan bahwa bencana alam dapat mengakibatkan munculnya status darurat sipil. Akan tetapi pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, konsep bencana dibedakan menjadi 3 (tiga), yakni bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Sedangkan wabah penyakit dan epidemi

44 Hal senada juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar pada forum “Indonesia Lawyers Club” pada salah satu TV Swasta di Indonesia pada Selasa, 31 Maret 2020.

45 Lon. L. Fuller, The Morality of Law, (London and New Haven: Revised edition, Yale University Press, 1964), hlm.39.

46 Kegagalan dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan dapat dibaca juga pada artikel Philipus M. Hadjon,

“Kegagalan Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Hukum Administrasi”, Prosiding Seminar Nasional Potret Sistem Hukum Indonesia Era Reformasi, Fak. Hukum Universitas Surabaya bekerja sama dengan Badan Pengkajian MPR-RI, (2019): 39-43.

47 Baca pada Sub Bab sebelumnya

48 Sebagai contoh dalam PERPPU 23 No. 1959 yang tidak sesuai dengan perkembangan HAM di Indonesia, Baca Pasal 17 dan Pasal 46 beserta penjelasannya serta bandingkan dengan konsep hukum HAM di Indonesia baik dalam Konstitusi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun ratifikasi perjanjian internasional

digolongkan sebagai bencana non alam. Sehingga dapat dikatakan bahwa wabah penyakit tidak tepat bila penanganannya dilakukan dengan darurat sipil.47

b. PERPPU 23 Tahun 1959 lahir pada saat masa Orde Lama, pada masa Demokrasi Terpimpin. Konteks historis lahirnya PERPPU tersebut dikarenakan Indonesia sedang dalam kondisi baru beberapa tahun merdeka serta tengah dalam kondisi perang terkait perebutan wilayah Irian Barat. PERPPU tersebut lahir sebelum adanya amandemen UUD 1945 yang secara rinci menyebutkan tentang HAM dan Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan perjanjian internasional terkait HAM seperti UU Nomor 12 Tahun 2005 yang meratifikasi ICCPR.

Sehingga PERPPU tersebut masih bernuansakan ‘militeristik’.48

Pandemi COVID-19 sudah berlangsung hampir 2 (dua) tahun di Indonesia sejak akhir Februari 2020 hingga saat ini (akhir 2022).

Berbagai peraturan maupun kebijakan telah

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kompilasi hukum islam perkawinan tersebut sah bila dilakukan menurut hukum islam, selain itu perkawinan tersebut harus memenuhi semua rukun nikah yang diatur pada pasal 14