STUDI KASUS
SISTEM RESPIRASI DAN KARDIOVASKULER
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 2
Dosen Pembimbing : Suhartini S.Kp., MNS., Ph.D
Disusun oleh : Kelompok 6
A21.2
Ariefira Puji Three 22020121140171 Arlista Eka Setiani 22020121120019 Dwita Rema Nadias Putri 22020121120021 Erikka Dyah Wahyu Tarumaselly 22020121120026 Ismah Maulida Nuriyah 22020121140180 Khairunisa Zamrud S 22020121140191
Laila Khoirun Nisa 22020121130095
Nesya Silvia Pramesti 22020121130105 Kosmas Aldi Jemali 22020123187011
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO 2023
2 KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rahmatnya dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah studi kasus ini dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 2. Makalah ini dapat kami selesaikan dengan maksimal berkat kerja sama dan bantuan dari semua anggota kelompok.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Suhartini, S.Kp., MNS., Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah membantu dalam menyusun makalah ini. Di samping itu, kami menyadari dengan sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang dapat membangun berbagai pihak. Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan manfaat kepada para pembaca.
Hormat kami,
Penulis
3 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ... 2
DAFTAR ISI... 3
BAB I PENDAHULUAN ... 4
1.1 Gambaran Kasus ... 4
1.2 Latar Belakang ... 4
BAB II PEMBAHASAN ... 6
2.1 Istilah Dalam Kasus ... 6
2.2 Pathway ... 11
2.3 Pengkajian ... 12
2.4 Analisa Data ... 14
2.5 Diagnosa Keperawatan ... 15
2.6 Intervensi Keperawatan ... 17
BAB III PENUTUP ... 32
3.1 Kesimpulan ... 32
3.2 Saran ... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
4 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Gambaran Kasus
Tuan Darman usia 39 tahun dirawat di ICU hari pertama. Klien terpasang ventilator mode PSIMV, PEEP 8, FiO2 60%. Hasil pemeriksaan fisik: Kesadaran Sopor, lemah, RR 16 x/mnt, terlihat sekret kental warna putih di mulut dan ET, terdengar suara gurgling, ada reflek batuk, SpO2 97%, TD 102/75 mmHg, Nadi 146 x/mnt, Suhu 38
°
C, akral hangat, CRT > 2 detik. Hasil wawancara pada keluarga: Sebelum masuk ICU, klien dirawat 3 hari di ruang perawatan selama 3 hari karena keluhan sesak napas. Selanjutnya, klien tiba-tiba mengalami sesak berulang dan mengalami penurunan kesadaran serta gagal napas. Klien memiliki riwayat depresi dan minum obat psikiatri sejak 1 tahun yang lalu. Hasil foto thoraks menunjukkan Bronkopneumonia. Hasil pemeriksaan laboratorium: pH 7,287; pCO2 67,5; pO2 55; FiO2 60%;HCO3 32,9; TCO2 35; BE 4,4; AaDO2 301,4; Hb 13,1; Ht 41,2; Leukosit 9800;Trombosit 272000; GDS 109 mg/dl; Ureum 41; Kreatinin 1,73; Natrium 144; Kalium 3,6;
Chlorida 98; CD4 384.
1.2 Latar Belakang
Bronkopneumonia merupakan suatu kondisi infeksi paru-paru yang dapat memunculkan gejala berat, terutama pada pasien dengan faktor risiko tambahan.
Bronkopneumonia termasuk penyakit yang terjadi akibat infeksi saluran pernapasan.
Terjadinya bronkopneumonia bermula dari adanya peradangan paru yang terjadi pada jaringan paru atau alveolus. Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun benda asing yang ditandai dengan gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnie, nafas cepat dan dangkal, muntah, diare, serta batuk kering (Arufina &
Wiguna,2018 dalam Kurniati, et al,2022).
Bronkopneumonia termasuk gambaran pneumonia yang paling umum ditemukan terutama di ICU (Intensive Care Unit). Tuan Darman, seorang pria berusia 39 tahun, masuk ruang ICU pada hari pertama dengan kondisi kritis yang memerlukan penanganan intensif.
Pemasangan ventilator dengan mode PSIMV, PEEP 8, dan FiO2 60% menunjukkan adanya tingkat kesulitan bernapas yang signifikan. Faktor risiko tambahan, seperti riwayat depresi dan penggunaan obat psikiatri, menjadikan salah satu faktor mendapatkan penanganan kompleks pada manajemen pasien.
5 Sebelum masuk ICU, Tuan Darman mendapatkan perawatan selama tiga hari di ruang perawatan karena keluhan sesak napas. Setelah itu, tiba-tiba Tuan Darma mengalami penurunan kesadaran dan gagal napas, serta hasil foto thoraks yang menunjukkan bronkopneumonia mendorong keputusan untuk memindahkan pasien ke ICU. Setelah pasien masuk ICU, pasien dipasangkan ETT untuk mematenkan jalan napas pasien. Dikarenakan pasien mengalami bronkopneumonia mulai terlihat sekret berwarna putih kental pada ETT dan mulut pasien, selain itu terdengar juga suara gurgling. Bronkopneumonia dapat menyebabkan infeksi yang luas di sekitar bronkus yang tersumbat (Valenti, LM., dkk, 1998). Hasil laboratorium dari pasien menunjukan bahwa PCO2 meningkat, sedangkan PO2 dan pH nya menurun. Hal ini menunjukan bahwa pasien mengalami sumbatan parsial yang mengakibatkan sistem pernapasannya terganggu. Oleh karena itu, perlu adanya intervensi lanjutan pada pasien agar pernapasan pasien kembali normal.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien bronkopneumonia yaitu gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus-kapiler, bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas, hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi), dan resiko aspirasi ditandai dengan terpasang endotracheal tube, penurunan tingkat kesadaran. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai intervensi apa yang akan diterapkan pada diagnosa yang telah ditentukan berdasarkan dari kasus tersebut.
6 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Istilah Dalam Kasus 1. Ventilator Mode PSIMV
Ventilator diperlukan pada pasien yang mengalami gagal napas akut dan tidak mampu mempertahankan pertukaran gas normal. Tujuan utama pemberian ventilator mekanik adalah untuk mengembalikan fungsi normal pertukaran idara dan memperbaiki fungsi pernapasan kembali ke keadaan normal (Suwardianto, H. 2020).
Ventilator mode SIMV adalah ventilator yang memberikan bantuan napas secara bergiliran antara alat dengan napas pasien sendiri. Ventilator mode ini diberikan kepada pasien yang sudah bisa bernapas spontan tetapi, belum normal. Sehingga, masih memerlukan bantuan. Indikasi pemberian ventilator mode ini adalah pernapasan spontan tetapi, tidal volume dan frekuensi napas kurang. Kemudian, pressure pada mode ventilator berarti siklus ventilator ditentukan menggunakan tekanan, dimana mesin akan berhenti bekerja apabila tekanan telah mencapai tekanan yang ditentukan (Suwardianto, H. 2020).
Pada kasus pasien diberikan Pressure Based Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (PSIMV) dalam hal ini pasien bernapas minimal dengan respiratory rate yang dapat diatur sendiri dan secara parsial dibantu oleh ventilator, kemudian pressure diberikan dengan tujuan meningkatkan volume pernapasan karena dalam kasus volume dan/atau frekuensi pernapasan pasien kurang adekuat.
2. PEEP 8
Positive end-expiratory pressure (PEEP) adalah tekanan positif diakhir pernapasan. Pada pasien dengan ketergantungan ventilator umumnya diakhir pernapasan akan terjadi kolaps ruang udara yang dapat menimbulkan atelactasis. Hal tersebut dapat mengganggu pertukaran gas dan memperburuk kondisi gagal napas pada pasien. Untuk mengantisipasi timbulnya kolaps alveoli pada akhir pernapasan maka dibuat suatu tekanan positif pada akhir ekspirasi (PEEP). Tekanan ini akan bertindak untuk menjaga jalan napas yang kecil agar tetap terbuka pada akhir ekspirasi (Widiyono, 2021).
3. Kesadaran sopor
7 Keadaan sopor merupakan salah satu kategori keadaan umum pasien yang harus diketahui sebelum melakukan tindakan. Keadaan sopor didapatkan dengan pengukuran Glasgow Coma Scale (GCS) (Mutaqin, A. 2012). Dalam kasus keadaan pasien adalah sopor yang berarti pasien tidak responsif atau seperti tertidur lelap, pasien mungkin dapat terbangun sebentar karena rangsangan nyeri.
4. Suara gurgling
Gurgling adalah suara yang terdengar seperti berkumur. Suara ini merupakan tanda bahwa ada sumbatan berupa caira atau darah (Rini, IS., dkk. 2019). Suara gurgling terdengar pada pasien dalam kasus menandakan adanya sumbatan cairan pada jalan napas pasien.
5. Endotracheal (ETT)
Endotracheal intubation adalah prosedur memasukkan alat serupa pipa secara langsung ke dalam trachea. Pemasangan ETT melalui mulut biasanya dilakukan pada pasien dengan indikasi tidak sadar, apnea, menggunakan sedasi atau obat-obatan yang menyebabkan paralisis otot pernapasan (Rini, IS., dkk. 2019). Pemasangan ETT pada pasien pada kasus dilakukan untuk menjaga jalan napas tetap paten dan untuk memfasilitasi pemasangan ventilasi.
6. Tekanan darah
Tekanan darah merupakan jumlah darah yang dipompa jantung dan besarnya resistensi terhadap aliran darah di arteri. Tekanan darah dengan sistolik kurang dari 90mmHg tergolong tekanan darah rendah atau hipotensi (Rini, IS., dkk. 2019).
7. Nadi
Denyut nadi atau heart rate dapat dirasakan ketika jantung berkontraksi dan gelombangnya dikirimkan melalui arteri (Rini, IS., dkk. 2019). Pada kasus, diketahui nadi pasien adalah 146 x/menit yang menunjukkan nadi lebih tinggi dari detak normal per menit.
8. CRT > 2 detik
Capillary Refill Time (CRT) merupakan teknik pemeriksaan fisik dengan cara sederhana dan cepat untuk menentukan kecukupan perfusi perifer pada orang dewasa.
CRT didefinisikan sebagai didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan kapiler kosong untuk terisi darah. CRT normalnya kurang dari 2 detik. Pada kasus ditemukan CRT yang tertunda (> 2 detik) hal ini menunjukkan perfusi perifer yang buruk. Pasien juga mengalami takikardia dan hipotensi, kemungkin pasien mengalami syok.
8 9. Gagal napas
Gagal napas adalah suatu kondisi ketika tubuh tidak mampu mempertahankan pernapasan yang adekuat dengan parameter hasil pengukuran pH, pCO2 dan PaO2 darah arteri (Morton dkk, 2011). Gagal nafas juga merupakan suatu kondisi ketika tidak ada cukup oksigen di jaringan tubuh (hipoksia) atau ketika memiliki terlalu banyak karbon dioksida dalam darah (hiperkapnia). Pada kasus, gagal napas dibuktikan dengan terjadinya hipoksemia karena asidosis respiratorik (pH =7,287, pCO2 = 67.5, HCO3 = 32,9).
10. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah pneumonia yang berdampak pada alveoli dan juga bronkus. Bronkopneumonia atau pneumonia lobular termasuk infeksi paru-paru yang terjadi ketika organisme yang menghasilkan respons patologis berada didalam epitel saluran napas perifer (Fyfe, B. & Miller, DV. 2016).
11. pH
Potential hydrogen (pH) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen dalam darah dan memberikan informasi tentang tingkat asam-basa darah, dimana pH normal pada tubuh yaitu 7,35 sampai 7,45 (Morton dkk, 2011). Berdasarkan kasus didapatkan data pH yaitu 7,287 sehingga dapat disimpulkan bahwa kurang dari normal yang mengarah kepada asidosis.
12. pCO2
Partial pressure of carbon dioxide (pCO2) merupakan tekanan atau tegangan yang ditimbulkan oleh gas karbon dioksida dalam darah arteri (Morton dkk, 2011).
Terdapat dua faktor yang memiliki dampak signifikan terhadap pCO2, yaitu seberapa cepat dan dalam seseorang bernapas dan kapasitas paru-paru secara bebas dalam proses pertukaran CO2 melintasi membran alveolar. Adapun kadar normal pCO2 di dalam darah arteri (35-45 mmHg) dan di dalam vena (41-51 mmHg). Berdasarkan dari hasil laboratorium pada kasus jumlah pCO2 pasien melebihi batas normal yaitu 67,5 yang menandakan pasien mengalami hipoventilasi dan mengakibatkan asidosis respiratorik..
13. pO2
Partial pressure of oxygen (pO2) merupakan jumlah gas oksigen yang terlarut dalam darah. Hal ini terutama mengukur efektivitas paru-paru dalam menarik oksigen ke aliran darah dari atmosfer. Adapun kadar normal pO2 didalam arteri 80-100 mmHg.
Kadar yang rendah menandakan pasien terindikasi hipoksemia, tetapi jika kadarnya
9 berada dibawah angka 60 maka ini sangat rendah dan membutuhkan bantuan oksigen tambahan. Nilai normal pO2 cenderung semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada pasien yang memiliki usia 60-80 tahun, nilai pO2 normalnya adalah 60-80 mmHg (Morton dkk, 2011). Pada kasus hasil laboratorium menunjukkan angka 55 dan pasien berusia 39 tahun yang artinya sangat rendah sehingga, pasien membutuhkan oksigen tambahan segera.
14. HCO3
HCO3 atau bicarbonate merupakan bahan kimia yang membantu mencegah pH darah menjadi terlalu asam atau terlalu basa. Bikarbonat menjadi jenis basa utama yang ditemukan dalam serum dan membantu tubuh untuk mengatur pH dengan kemampuannya menerima ion hidrogen (Morton dkk, 2011). Bikarbonat dapat digunakan untuk membantu menafsirkan asidosis atau alkalosis metabolic. Apabila kadar ion bikarbonat menurun dari normal menandakan terjadinya asidosis sedangkan apabila kadar ion bikarbonat meningkat menandakan terjadinya alkalosis. Kadar bikarbonat normal adalah 22-26 mEq/L. Ketika kadar bikarbonat lebih dari 26 mEq/L maka akan terjadi alkalosis metabolik dan apabila kadar bikarbonat kurang dari 22 mEq/L maka akan terjadi asidosis metabolik. Berdasarkan kasus, HCO3 pasien adalah 32,9 yang artinya nilai tersebut melebihi batas normal atau alkalosis metabolik.
15. TCO2
TCO2 atau total karbon dioksida merupakan pengukuran kandungan karbon dioksida secara total yang meliputi jumlah bikarbonat, asam karbonat, dan karbon dioksida terlarut (CO2) dalam plasma, serum atau darah utuh. Dalam darah perifer hal ini digunakan untuk membantu mengevaluasi status pH pasien dan juga untuk mengevaluasi elektrolit. Nilai normal TCO2 dalam darah perifer adalah 23 - 29 mEq/L (Kraut, J & Madias, N, 2018). Pada kasus tertera bahwa hasil pemeriksaan laboratorium pada TCO2 adalah 35, artinya hasil pemeriksaan TCO2 klien melebihi batas normal.
16. BE
BE atau base excess merupakan cara untuk mengukur keberadaan asam kuat (asidosis metabolic) atau basa kuat (alkalosis metabolic) (Langer, T dkk, 2022).
Kelebihan BE yang tinggi sama dengan HCO3 yang tinggi (Burns, 2014). Nilai normal BE yang diharapkan adalah 0, namun nilai disekitar BE mulai dari -3 hingga +3 juga dianggap normal. Pada kasus tertera bahwa nilai BE pasien adalah 4,4 artinya nilai BE pasien melebihi batas normal.
10 17. Hb
Hb atau hemoglobin adalah protein yang terkandung di dalam sel darah merah yang bertanggung jawab untuk mengantarkan oksigen ke jaringan. Fungsi utama hemoglobin dalam tubuh adalah untuk bergabung bersama oksigen di dalam paru kemudian melepaskan oksigen di dalam kapiler jaringan perifer yang memiliki tekanan gas oksigennya lebih rendah dibandingkan dengan paru (Guyton, 2014). Untuk memastikan oksigenasi dalam jaringan terpenuhi maka tingkat hemoglobin yang cukup harus dipertahankan. Hb normal pada laki-laki adalah 13,5-17,5 g/dl. Pada kasus Tuan Darman, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa nilai Hb nya adalah 13,1 dan termasuk rendah.
18. Ureum
Ureum merupakan satu molekul kecil yang mudah berdifusi ke dalam cairan ekstrasel, namun pada akhirnya ureum dipekatkan dalam urin dan diekskresi (Widmann, 1995). Kadar ureum meningkat menjadi salah satu indikasi adanya gangguan pada ginjal. Kadar ureum darah yang normal adalah sekitar 20mg-40mg.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium pada kasus tertera hasil ureum pasien yaitu 41mg/dl yang artinya melebihi batas normal.
19. Kreatinin
Kreatin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin (Wildmann, 1995).
Jumlah kreatinin yang diproduksi dan disekresikan berbanding sejajar dengan massa otot. Kreatinin merupakan produk sampingan metabolisme otot dan hampir seluruhnya dibersihkan dari tubuh oleh filtrasi glomerulus (Guyton et al, 2014) Peningkatan kadar kreatinin dapat menandakan adanya kerusakan ginjal. Nilai normal kreatinin serum pada wanita adalah 06-1,1 mg/dL sedangkan pada pria adalah 0,6-1,3 mg/dL. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada kasus ditemukan hasil kreatinin pasien adalah 1,73 yang artinya melebihi batas normal.
20. CD4
CD4 atau cluster of differentiation merupakan tes laboratorium yang mengukur limfosit TCD-4 (sel T) melalui flow cytometry (Raymund, 2023). Tes ini menjadi parameter penting dalam penatalaksanaan penyakit HIV dan digunakan untuk memandu ke berjalanannya pengobatan klinis. Jumlah CD4 menjadi indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui status imunologi pasien. Nilai CD4 normal adalah 500-1400 sel/mL darah, Apabila pasien memiliki nilai dibawah 200 sel/mL darah maka
11 kondisi tersebut sudah disebut dengan Aids. Berdasarkan hasil pemeriksaan CD4 pasien adalah 384 yang artinya kurang dari batas normal.
2.2 Pathway
Virus, bakteri, microplasma (seperti bakteri), jamur
Langsung : melalui percikan dahak pada saat batuk
Tidak langsung : kontak dengan benda yang sudah terkontaminasi
Infeksi saluran napas dan proses peradangan
(inflamasi) Hipertermi
b.d proses penyakit (infeksi)
Hipersekresi jalan napas
Akumulasi sekret berlebih
Sekret mengental di jalan napas
Risiko aspirasi d.d terpasang
endotracheal tube
Obstruksi jalan napas
- Sputum dalam jumlah yang berlebih - Dispnea
- Batuk tidak efektif - Suara nafas
tambahan (gurgling)
Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi
jalan napas Gangguan penerimaan O2
dan pengeluaran CO2
Perubahan membran alveolus-kapiler.
- Dispnea
- PCO2 meningkat (67,5 mmHg).
- PO2 menurun (55 mmHg).
- Takikardia.
- pH menurun (7,287).
- Bunyi napas tambahan gurgling.
- Kesadaran menurun.
Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-
kapiler
12 2.3 Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. Darman
Umur : 39 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki b. Pengkajian Primer
1. Airway
a) Terlihat sekret kental warna putih di mulut dan ET b) Terdengar suara gurgling
c) Terdapat reflek batuk 2. Breathing
a) Terpasang ventilator mode PSIMV b) PEEP 8
c) FiO2 60%
d) RR 16x/ menit e) SpO2 97%
f) Pola nafas (Tidak tersedia pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) g) Irama nafas (Tidak tersedia pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) h) Penggunaan otot bantu nafas (Tidak tersedia pada kasus, perlu dikaji
lebih lanjut) 3. Circulation
a) Tekanan darah 102/75 mmHg b) Nadi 146x/menit
c) CRT > 2 detik
d) MAP (Tidak tersedia pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut)
e) Saturasi oksigen (Tidak tersedia pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) f) Sianosis (Tidak tersedia pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut)
4. Disability
a) Pasien mengalami penurunan kesadaran (sopor) b) GCS 5-6 (keadaan pasien sopor)
5. Exposure
a) Suhu tubuh 38 C b) Akral hangat
c) Adanya luka atau jejas ((Tidak tersedia pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut)
d) Sebelum masuk ICU klien mengeluh sesak nafas, mengalami sesak berulang, penurunan kesadaran dan gagal nafas
c. Pengkajian Sekunder 1. Keluhan utama
Pasien sesak nafas 2. Penampilan umum
13 - Klien terpasang ventilator mode PSIMV
- Klien mengalami penurunan kesadaran 3. Riwayat kesehatan
Keluarga mengatakan klien memiliki riwayat depresi 4. Riwayat penyakit (AMPLE)
- Allergies
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) - Medication
Klien minum obat psikiatri sejak 1 tahun yang lalu - Past Illness
Klien memiliki riwayat depresi - Last Meals
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) - Event Leading to Injury or Illness
Klien mengeluh sesak nafas kemudian tiba-tiba mengalami sesak berulang dan mengalami penurunan kesadaran serta gagal napas 5. Pengkajian nyeri
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) 6. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran
Klien lemah dan mengalami penurunan kesadaran, dari pengkajian yang telah dilakukan didapatkan hasil tingkat kesadaran pasien yaitu sopor b. Tanda-Tanda Vital
- RR : 16 x/menit
- Tekanan Darah : 102/75 mmHg - Nadi : 146 x/menit
- Suhu : 38 C
- Saturasi Oksigen : 97%
- Suara Nafas : Terdengar suara gurgling c. Kepala dan wajah
- Mata : perlu dikaji lebih lanjut - Hidung : perlu dikaji lebih lanjut - Mulut : terdapat sekret
- Telinga : perlu dikaji lebih lanjut d. Leher
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) e. Thorax
RR 16x/menit f. Abdomen
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) g. Integumen
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) h. Ekstremitas
14 Akral klien teraba hangat
7. Pemeriksaan penunjang lain
a. Hasil foto toraks menunjukkan Bronkopneumonia.
b. Hasil pemeriksaan laboratorium:
- pH : 7,287
- pCO2 : 67,5 - pO2 : 55 - FiO2 : 60%
- HCO3 : 32,9 - TCO2 : 35
- BE : 4,4
- AaDO2 : 301,4 - Hb : 13,1
- Ht : 41,2
- Leukosit : 9800 - Trombosit : 272000 - GDS : 109 mg/dl - Ureum : 41
- Kreatinin : 1,73 - Natrium : 144 - Kalium : 3,6 - Chlorida : 98 - CD4 : 384
c. Pengambilan sekret secara bronchoscopy
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) d. Pemeriksaan fungsi paru
(Tidak tertera pada kasus, perlu dikaji lebih lanjut) 2.4 Analisa Data
Data Subjektif Data Objektif
1. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami sesak nafas.
2. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran.
1. Tingkat kesadaran sopor, lemah.
2. RR 16x/mnt.
3. Terlihat sekret kental warna putih di mulut dan ET.
4. Terdengar suara gurgling.
5. Ada reflek batuk.
6. Hasil pemeriksaan TTV: SpO2 97%, TD 102/75 mmHg, Nadi 146 x/mnt, Suhu 38
°
C.
15 7. Akral teraba hangat, CRT > 2 detik.
8. Hasil foto thoraks menunjukkan Bronkopneumonia.
9. Hasil pemeriksaan laboratorium: pH 7,287; pCO2 67,5; pO2 55; FiO2 60%;HCO3 32,9; TCO2 35; BE 4,4;
AaDO2 301,4; Hb 13,1; Ht 41,2; Leukosit 9800; Trombosit 272000; GDS 109 mg/dl;
Ureum 41; Kreatinin 1,73; Natrium 144;
Kalium 3,6; Chlorida 98; CD4 384.
2.5 Diagnosa Keperawatan
No Data Etiologi Diagnosa Keperawatan
1. DS:
- Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami sesak nafas (dispnea).
DO:
- PCO2 meningkat (67,5 mmHg).
- PO2 menurun (55 mmHg).
- Takikardia.
- pH menurun (7,287).
- Bunyi napas tambahan gurgling.
- Kesadaran menurun.
Perubahan membran alveolus-kapiler.
Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-kapiler d.d dispnea, PCO2 meningkat, PO2 menurun, takikardia, pH menurun, gurgling, kesadaran menurun.
2. DS:
- Keluarga pasien mengatakan bahwa
Hipersekresi jalan napas.
Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas d.d dispnea,
16 pasien mengalami
sesak nafas (dispnea).
DO:
- Sputum berlebih.
sputum berlebih.
3. DS:
- (tidak tersedia) DO:
- Suhu tubuh diatas normal (38
°
C).- Takikardi.
- Kulit terasa hangat.
Proses penyakit (infeksi).
Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi) d.d suhu tubuh diatas normal (38
°
C), takikardi, kulit terasa hangat.
4. Faktor Risiko : - Terpasang
endotracheal tube.
- Penurunan tingkat kesadaran.
- Risiko aspirasi d.d
terpasang endotracheal tube, penurunan tingkat kesadaran.
Diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas:
No Diagnosa Keperawatan berdasarkan Prioritas
1. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-kapiler d.d dispnea, PCO2 meningkat, PO2 menurun, takikardia, pH menurun, gurgling, kesadaran menurun. (D.0003)
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas d.d dispnea, sputum berlebih. (D.0001)
3. Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi) d.d suhu tubuh diatas normal (38
°
C), takikardi, kulit terasa hangat. (D.0130)4. Risiko aspirasi d.d terpasang endotracheal tube, penurunan tingkat kesadaran.
(D.0006)
17 2.6 Intervensi Keperawatan dan Rasionalisasi Tindakan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil
Intervensi Rasionalisasi
1. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus- kapiler d.d dispnea, PCO2 meningkat, PO2 menurun, takikardia, pH menurun, gurgling, kesadaran menurun.
(D.0003)
Pertukaran gas meningkat (L.01003)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam, maka pertukaran gas meningkat, dengan kriteria hasil :
- Dispnea menurun - Gurgling menurun - Takikardia
menurun - PCO2
membaik - PO2 membaik - pH membaik
1. Pemantauan respirasi (I.01014)
Definisi :
Mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan kepatenan jalan napas dan
keefektifan pertukaran gas
Observasi :
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
- Monitor pola napas - Monitor kemampuan
batuk efektif - Monitor adanya
produksi sputum - Monitor adanya
sumbatan jalan napas - Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru - Auskultasi bunyi
napas
- Monitor saturasi
Rasional intervensi : - untuk
mendeteksi tanda-tanda bahaya - pasien dapat
bernapas dengan mudah tanpa adanya sumbatan - untuk
mendeteksi krepitasi dan laporkan ketidaknormala n napas
- untuk membantu menurunkan distres
pernafasan yang disebabkan oleh hipoksemia - untuk
memudahkan dalam
18 oksigen
- Monitor nilai AGD - Monitor hasil x-ray
toraks.
Terapeutik : - Atur interval
pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien - Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan - Informasikan hasil
pemantauan (jika perlu)
2. Terapi Oksigen (I.01026)
Definisi :
Memberikan tambahan oksigen untuk
mencegah dan mengatasi kondisi kekurangan oksigen jaringan.
Observasi :
- Monitor kecepatan aliran oksigen
menggunakan oksigen
19 - Monitor posisi alat
terapi oksigen - Monitor aliran
oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang diberikan cukup
- Monitor efektivitas terapi oksigen - Monitor tanda-tanda
hipoventilasi - Monitor tanda dan
gejala toksikasi oksigen dan atelektasis - Monitor tingkat
kecemasan akibat terapi oksigen - Monitor integritas
mukosa hidung akibat pemasangan oksigen.
Terapeutik :
- Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea (jika perlu) - Pertahankan
kepatenan jalan napas - Siapkan dan atur
peralatan pemberian oksigen
- Berikan oksigen
20 tambahan (jika perlu)
- Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas pasien.
Edukasi :
- Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen di rumah
Kolaborasi :
- Kolaborasi penentuan dosis oksigen
- Kolaborasi
penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas d.d dispnea, sputum berlebih.
(D.0001)
Bersihan jalan napas (L.01001) Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama
3x 24 jam, maka status
kenyamanan meningkat dengan kriteria hasil : - Produksi sputum
menurun
● Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Definisi :
Mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan napas.
Observasi :
- Monitor pola napas - Monitor bunyi napas
tambahan - Monitor sputum
Rasional Intervensi : - Mengetahui
frekuensi pernapasan pasien sebagai indikasi dasar gangguan pernapasan - Adanya bunyi
napas tambahan yang
menandakan
21 - Gurgling
menurun - Dispnea
menurun - Batuk efektif
meningkat - Sulit bicara
menurun - Gelisah
menurun
- Frekuensi napas membaik - Pola napas
membaik
Terapeutik : - Pertahankan
kepatenan jalan napas - Posisikan drmi fowler
atau fowler
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
- Berikan oksigen (jika perlu)
Edukasi :
- Anjurkan asupan cairan 2L/hari (jika tidak kontraindikasi) - Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik (jika perlu)
● Pemantauan respirasi (I.01014)
gangguan pernapasan - Untuk
mengetahui adanya produksi
sputum berlebih - Posisi semi
fowler
memingkinkan ekspansi paru lebih maksimal - Minum air
hangat dapat membantu mengencerkan dahak
- Batuk efektif dapat
membantu pasien
mengeluarkan secret secara maksimal - Untuk
membantu proses pernapasan
22 Definisi :
Mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan kepatenan jalan napas dan
keefektifan pertukaran gas
Observasi :
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
- Monitor pola napas - Monitor kemampuan
batuk efektif - Monitor adanya
produksi sputum - Monitor adanya
sumbatan jalan napas - Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru - Auskultasi bunyi
napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD - Monitor hasil x-ray
toraks.
Terapeutik : - Atur interval
pemantauan respirasi
23 sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan - Informasikan hasil
pemantauan (jika perlu)
● Latihan batuk efektif (I.01006)
Definisi :
Melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif untuk membersihkan laring, trakea, dan bronkiolus dari sekret atau benda asing dijalan napas.
Observasi : - Identifikasi
kemampuan batuk - Monitor adanya
retensi sputum - Monitor tanda dan
gejala infeksi saluran napas
24 - Monitor input dan
output cairan
Terapeutik : - Atur posisi semi
fowler atau fowler - Pasang perlak dan
bengkok di pangkuan pasien
- Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif - Anjurkan tarik napas
dalam dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
- Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali - Anjurkan batuk
dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam yang ke 3.
25 Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspetoran (jika perlu) 3. Hipertermia
b.d proses penyakit (infeksi) d.d suhu tubuh diatas normal (38° C), takikardi, kulit terasa hangat.
(D.0130)
Termoregulasi (L.14134)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam, maka
termoregulasi membaik, dengan kriteria hasil:
- Suhu tubuh membaik.
1. Manajemen Hipertermia (I.15506) Definisi :
Mengidentifikasi dan mengelola peningkatan suhu tubuh akibat disfungsi termoregulasi.
Observasi : - Identifikasi
penyebab hipertermia.
- Pantau suhu tubuh.
- Pantau kadar elektrolit.
- Pantau haluaran urin.
- Pantau komplikasi akibat hipertermia.
Terapeutik :
- Sediakan lingkungan yang dingin.
- Berikan cairan oral.
- Lakukan pendinginan
eksternal (mis:
selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher,
Rasional intervensi : - Mengetahui
penyebab terjadinya hipertermia.
- Mengetahui kenaikan suhu yang terjadi secara tiba- tiba.
- Memantau keseimbangan kadar
elektrolit cairan dalam tubuh.
- Hipertermia harus dikenali dan diatasi dengan tepat untuk
menghindari terjadinya komplikasi yang serius.
- Suhu lingkungan
26 dada, perut, aksila).
- Berikan antipiretik atau aspirin.
- Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :
- Anjurkan tirah baring.
Kolaborasi : - Kolaborasi
memberikan cairan dan elektrolit intravena, jika perlu.
2. Regulasi Suhu (I.14578)
Definisi :
Mempertahankan suhu tubuh dalam jarak normal.
Observasi :
- Pantau suhu tubuh tiap 2 jam, jika perlu.
- Pantau tekanan darah, frekuensi pernapasan dan nadi.
- Pantau warna dan suhu kulit.
- Pantau dan catat tanda dan gejala hipertermia
yang dingin membantu dalam
mempertahank
an atau
menstabilkan suhu pasien.
- Pemberian cairan oral dapat
menurunkan suhu tubuh.
- Pendinginan eksternal dapat mendorong kehilangan panas melalui konduksi dan konveksi.
- Antipiretik berperan dalam menurunkan titik
pengaturan suhu tubuh.
- Meningkatnya kadar oksigen dalam tubuh dapat
menurunkan suhu tubuh.
27 Terapeutik :
- Pasang alat pemantau suhu kontinu, jika perlu.
- Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang memadai.
- Gunakan kasur pendingin, selimut sirkulasi air, ice pack, atau gel pad dan kateterisasi pendingin
intravaskular untuk menurunkan suhu tubuh.
- Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien.
Edukasi :
- Menjelaskan cara pencegahan
kelelahan panas dan serangan panas.
Kolaborasi : - Kolaborasi
pemberian antipiretik jika perlu.
- Tirah baring mengurangi aktivitas yang bisa
meningkatkan suhu tubuh.
- Peningkatan asupan cairan dan nutrisi diperlukan untuk mengganti cairan yang hilang.
- Kelelahan akibat
aktivitas dan stres
meningkatkan laju
metabolisme, sehingga meningkatkan produksi panas.
4. Risiko aspirasi d.d terpasang endotracheal tube,
Tingkat Aspirasi menurun
L.01006
Setelah dilakukan
1. Manajemen Jalan Napas (I.01011) Definisi :
Mengidentifikasi dan
Rasional intervensi : - Untuk
mengetahui
28 penurunan
tingkat kesadaran.
(D.0006)
tindakan kriminal.
selama 3 x 24 jam, maka tingkat aspirasi menurun, dengan kriteria hasil:
- Tingkat kesadaran meningkat.
- Kemampuan menelan meningkat.
- Dispnea menurun.
- Kelemahan otot menurun.
- Akumulasi rahasia menurun.
mengelola kepatenan jalan napas.
Observasi :
- Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas).
- Monitor bunyi napas tambahan (misalnya:
gurgling, mengi, wheezing, ronchi kering).
- Pantau dahak (jumlah, warna, aroma).
Terapeutik - Pertahankan
kepatenan jalan napas dengan head- tilt dan chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal).
- Posisikan semi fowler atau fowler.
- Berikan minum hangat.
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
- Lakukan
penghisapan lender kurang dari 15 detik.
pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas).
- Bunyi napas tambahan menandakan terdapat sumbatan jalan napas yang dapat
meningkatkan risiko aspirasi.
- Untuk mengetahui dahak (jumlah, warna, aroma) yang
menyumbat jalan napas.
- Head-tilt dan chin-lift berfungsi untuk membuka jalan napas yang
tersumbat.
- Posisi semi fowler atau fowler
memudahkan
29 - Lakukan
hiperoksigenasi sebelum pengisapan endotrakeal.
- Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi.
- Ajarkan teknik batuk efektif.
Kolaborasi : - Kolaborasi
pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
2. Pencegahan Aspirasi (I.01018) Definisi :
Mengidentifikasi dan mengurangi risiko masuknya partikel makanan/cairan ke dalam paru-paru.
Observasi :
- Pantau tingkat kesadaran, batuk,
muntah, dan
pasien untuk bernapas.
- Air hangat membantu dalam
mengencerkan dahak
sehingga pasien lebih mudah dalam mengeluarkan dahak melalui tindakan fisioterapi dada (apabila diperlukan) dan batuk efektif.
- Fisioterapi dada membantu pasien untuk mengeluarkan dahak.
- Penghisapan lendir dapat mencegah sumbatan jalan napas dan risiko aspirasi.
- Pemantauan status
30 kemampuan
menelan.
- Pantau status pernafasan.
- Pantau bunyi napas, terutama setelah makan/minum.
Terapeutik :
- Posisikan semi fowler (30 – 45 derajat) 30 menit sebelum memberi asupan oral.
- Pertahankan posisi semi fowler (30 – 45 derajat) pada pasien tidak sadar.
- Pertahankan
kepatenan jalan napas (mis. teknik head-tilt chin-lift, jaw thrust, in line).
- Lakukan
penghisapan jalan napas, jika produksi sekret meningkat.
- Sediakan hisap di ruangan.
- Berikan makanan dengan ukuran kecil dan lembut.
- Berikan obat oral
pernapasan, bunyi pernapasan dilakukan untuk mengetahui adanya risiko aspirasi.
- Posisi semi fowler
mencegah cairan atau sputum masuk ke jalan napas.
- Sekret
berlebih dapat menghambat jalan napas dan
meningkatkan risiko aspirasi sehingga perlu dilakukan penghisapan.
- Pemberian makan dengan ukuran kecil dan lembut memudahkan untuk masuk ke dalam jalan pencernaan.
31 dalam bentuk cair.
Edukasi :
- Ajarkan makan secara perlahan.
- Ajarkan strategi mencegah aspirasi.
- Ajarkan teknik menelan atau menelan, jika perlu.
Kolaborasi - Kolaborasi
pemberian
bronkodilator, jika perlu.
- Meminum obat oral cair dapat
mencegah tersedak sehingga menurunkan risiko aspirasi.
- Makan tergesa-gesa dapat
meningkatkan risiko
terjadinya tersedak sehingga makanan masuk menuju ke jalan pernapasan.
- Bronkodilator dapat
meredakan gejala penyempitan jalan napas.
32 BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemenuhan kebutuhan dalam pemberian layanan keperawatan kritis memerlukan keterampilan perawat dan tenaga medis yang kompeten terutama pada pasien dengan kondisi penyakit kompleks. Salah satu permasalahan kesehatan yang membutuhkan pelayanan keperawatan kritis adalah Bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan infeksi yang mempengaruhi saluran udara masuk ke paru-paru, atau dikenal sebagai bronkus. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri akut, tetapi juga dapat disebabkan oleh infeksi virus dan jamur. Penyakit ini sangat mengancam kehidupan pasien dengan kekebalan kronis lainnya karena menurunkan kondisi kesehatan. Masalah keperawatan yang kerap muncul pada pasien bronkopneumonia yaitu gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus-kapiler, bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas, hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi), dan resiko aspirasi ditandai dengan terpasang endotracheal tube, penurunan tingkat kesadaran. Perawatan intensif seperti dukungan pernapasan melalui ventilator serta pemantauan terhadap parameter-parameter vital dan fungsi organ sangat diperlukan. Selain itu riwayat depresi pasien dan serta penggunaan obat psikiatri juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan dalam pemberian manajemen pasien. Sehingga kolaborasi dengan tim medis lain juga diperlukan untuk pemberian perawatan yang holistik.
3.2 Saran
Dengan ditulisnya makalah diatas, penulis berharap semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta referensi tambahan bagi pembaca terkait keperawatan gawat darurat dan kritis. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
33 DAFTAR PUSTAKA
Burns, G. (2014). Arterial blood gases made easy. Clinical Medicine, 14(1): 66–68.
doi: 10.7861/clinmedicine.14-1-66
Eppel, D. 2021. Understanding Noisy Breathing, and Breathing Patterns. HPC Waterloo Wellington. Available from: https://hpcconnection.ca/understanding- noisy-breathing-and-breathing-patterns-at-end-of-life/
Fyfe, B. & Miller, DV. 2016. Diagnostic Pathology: Hospital Autopsy - Bronchopneumonia. Elsevier.
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC, 1022
Kraut, J., & Madias, N. (2018). Re-Evaluation of the Normal Range of Serum Total CO2 Concentration. Critical Journal of the American Society of Nephrology, 13(2): 343–347. doi: 10.2215/CJN.11941017.
Kurniati, I., Graharti, R., Tjiptaningrum, A., & Kurniawati, E. (2022). Obstruksi Saluran Nafas Atas grade III ec Kassabach Merrit Syndrome+
Bronchopneumonia+ DIC. Medical Profession Journal of Lampung, 12(3), 478-485.
Langer, T., Brusatori, S., & Gattinoni. (2022). Understanding base excess (BE): merits and pitfalls. Intensive Care Medicine, 48(8): 1080–1083. doi: 10.1007/s00134- 022-06748-4
Mutaqin, A. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Morton, P., dkk. (2011). Critical Care Nursing : a holistic approach. Edisi 8. Jakarta : EGC.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia . Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Raymund, L.,Duffe, D., Maryam, F., Akindele, G. (2023). CD4 Count. StatPearls Publishing
34 Rini, IS., dkk. 2019. Buku Ajar Keperawatan: Pertolongan Pertama Gawat Darurat.
Malang: UB Press.
Suwardianto, H. & Astuti, VW. 2020. Buku Ajar Keperawatan Kritis: Pendekatan Evidence Base Practice Nursing. Kediri: Chakra Brahmanda Lentera.
Widiyono. 2021. Keperawatan Kritis: Asuhan Keperawatan yang etis, legal, dan peka budaya pada klien yang mengalami kritis dan mengancam kehidupan. Kediri:
Lembaga Chakra Brahmanda Lentera.
Widmann, F. (1995). Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan laboratorium.
pennsylvania: the F. A. Davis Company.