MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SISTEM PERKEMIHAN
Dosen Pengampu: Ns. Endang Supriyanti, M.Kep
Disusun oleh:
1. Azzahro Diniar Adhani (2207007) 2. Hestami Kerenika Riyanti (2207017) 3. Septa Dwi Ariyanti (2207029) 4. Siti Nafara Kamelia (2207045)
UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2024/2025
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “Makalah Keperawatan Gawat Darurat Pada Sistem Perkemihan”.
Makalah ini berisikan penjelasan mengenai Teori dan Asuhan Keperawatan pada kasus gawat darurat sistem perkemihan. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gawat Darurat Tahun Ajaran 2024-2025.
Semoga Makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat kepada kita semua. Adapun, penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Kami pun berharap pembaca makalah ini dapat memberikan kritik dan sarannya kepada kami agar di kemudian hari kami bisa menyusun makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... 2
DAFTAR ISI... 3
BAB I... 4
PENDAHULUAN... 4
1.1 Latar Belakang... 4
1.2 Rumusan Masalah...5
1.3 Tujuan... 5
A. Tujuan Umum... 5
B. Tujuan Khusus... 5
BAB II... 6
TINJAUAN TEORI... 6
2.1 Konsep Dasar Teori Trauma Sistem Perkemihan...6
2.2 Pathways... 20
2.3 Pemeriksaan Penunjang...21
2.4 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Trauma Sistem Perkemihan...21
2.5 Diagnosa Keperawatan... 27
2.6Intervensi Keperawatan...33
BAB III...45
EVIDENCE BASED NURSING...45
3.1 Hasil :... 45
3.2 Pembahasan :... 45
BAB IV... 48
PENUTUP... 48
4.1 Kesimpulan... 48
4.2 Saran...49
DAFTAR PUSTAKA... 50
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah pentingnya dalam tubuh manusia. Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesika urinaria, dan uretra yang menyelenggarakan serangkaian proses untuk tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme zat seperti urea, kreatinin, asam urat dan urin. Apaila terjadi gangguan pada sistem perkemihan maka dapat menyimpulkan gangguan kesehatan yang sangat serius dan komplek. Gangguan pada sistem perkemihan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satunye perkemihan dapat disebabkan oleh pembesaran pada prostat atau biasa disebut dengan benigna prostat hipertropi. Lebih setengahnya orang yang usianya di atas 50 tahun dan 75% pria yang usianya 70 tahun menderita gejala- gejala semacam pembesaran prostat (Gusrina Komara Putri, 2023).
Benigna prostat hipertropi berdampak pada kelancaran pengeluaran urin dari kandung kemih sehingga menyebabkan retensi urin, aliran yang tidak lancar ini mengakibatkan urin menjadi statis sehingga mempemudah terjadinya infeksi. Pada keadaan infeksi, bakteri yang memecah ureum dan membentuk ammonium yang akan mengendapkan garam-garam prostat sehingga akan mempercepat terbentuknya batu saluran kemih.
Dampak sering terjadi akibat retensi urin adalah pembntukan batu (Gusrina Komara Putri, 2023).
Perubahan pada sistem perkemihan lansia terjadi pada ginjal, di mana ginjal mengalami pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal menurun hingga 50%, fungsi tubulus berkurang mengakibatkan blood urea nitrogen (BUN) meningkat hingga 21 mg%, berat jenis urin menurun, serta nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
Pada kandung kemih, otot-otot melemah, sehingga kapasitanya menurun hingga 200 ml yang menyebabkan frekuensi berkemih meningkat. Pada laki-laki, pembesaran kelenjar prostat menyebabkan obstruksi aliran urin dari kandung kemih (Nova Relida SamosirYulia Tetra Ilona 2), 2021).
Inkotinensia urin adalah salah satu masalah yang banyak dialami oleh lansia dan perlu mendapatkan perhatian seiring dengan meningkatnya populasi lanjut usia. Inkontinensia
urin adalah pengeluaran urin tanpa disadari (involunter), dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial, hegienis, psikososial, dan ekonomi (Nova Relida Samosir Yulia Tetra Ilona 2), 2020).
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep dasar teori trauma sistem perkemihan?
b. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada gangguan sistem perkemihan?
1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan kegawatdaruratan sistem perkemihan dan mampu menerapkannya kepada masyarakat yang mengalami kegawatdaruratan sistem perkemihan.
B. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep dasar teori trauma system perkemihan meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinik, dan penatalaksanaan.
b. Mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada gangguan system perkemihan meliputi pengkajian primer dan pengkajian sekunder, diagnosa, intervensi dan implementasi keperawatan.
c. Menjelaskan EBN (Evidence Based Nursing)
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Teori Trauma Sistem Perkemihan A. Definisi Trauma Sistem Perkemihan
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada (Magfirah et al., 2023).
Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik Trauma urinaria atau trauma pada saluran perkemihan merupakan adanya benturan pada saluran perkemihan (ginjal, ureter, vesika urinaria, uretra). Pada laki-laki dapat pula mengenai scrotum, testis dan prostat (Magfirah et al., 2023).
Trauma pada system perkemihan adalah kejadian dimana saluran kemih mengalami gangguan bukan karena pengaruh dari dalam tubuh tetapi adanya gangguan dari luar.
Saluran kemih (termasuk ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra) dapat mengalami trauma karena luka tembus (tusuk), trauma tumpul, terapi penyinaran maupun pembedahan. Gejala yang paling banyak ditemukan adalah terdapatnya darah di urin (hematuria), berkurangnya proses berkemih dan nyeri. Beberapa trauma dapat menyebabkan nyeri tumpul, pembengkakan, memar, dan jika cukup berat, dapat menurunkan tekanan darah (syok) (Alizar & Chiqita, 2023).
a. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan
Sistem urologi atau sistem perkemihan merupakan suatu sistem terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah terbebas dari zat yang tidak digunakan oleh tubuh untuk kemudian menyerap zat-zat yang masih digunakan oleh tubuh. Zat yang sudah tidak digunakan dalam tubuh, nantinya akan larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (Parwati et al., 2022).
b. Anatomi Sistem Perkemihan
1. Ginjal
Ginjal berlokasi pada bagian belakang dari kavum abdominalis, pada area retroperotonial bagian atas di kedua sisi vertebrata lumbalis III yang melekat langsung pada dinding abdomen. Ginjal memiliki bentuk seperti kacang merah (ercis) yang berjumlah 2 buah dan terletak pada sisi kanan dan kiri. Normalnya, ginjal pada bagian kiri lebih besar daripada ginjal yang terletak pada bagian kanan dimana ginjal laki-laki lebih panjang daripada seorang wanita (Nuari & Widayati, 2021).
2. Ureter
Ureter terdiri dari dua saluran pipa dari ginjal menuju kandung kemih (vesika urinaria). Sebagian ureter berada dalam rongga abdomen dan sisanya berada dalam rongga pelvis (Nuari &
Widayati, 2021).
3. Kandung Kemih
Vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengembang dan mengempis yang terletak di belakang simfisis pubis dalam rongga panggul. Vesika urinaria berbentuk kerucut dimana dikelilingi oleh otot yang berhubungan dengan ligamentum. Vesika urinaria memiliki dinding yang terdiri dari beberapa lapisan, yaitu peritoneum, tunika muskularis, tunika submukosa, dan lapisan mukosa (Nuari & Widayati, 2021).
a. Fisiologi Sistem Perkemihan
Pada saat vesika urinaris tidak dapat lagi menampung urine tanpa meningkatkan tekanannya maka resptor pada dinding vesika urinaria akan memulai kontraksi musculus detrussor. Pada bayi, berkemih terjadi secara involunter dan dengan segera. Pada orang dewasa, keinginan berkemih dapat ditunda sampai ia menemukan tempat yang cocok. dengan demikian mulainya kontraksi musculus destrussor,maka terjadi relaksasi musculus pubcoccygeus dan terjadi pengurangan topangan kekuatan urethra yang menghasilkan beberapa kejadian dengan urutan sebagai berikut (Zulaika Harisya, 2023):
a. Membukanya meatus intemus.
b. Perubahan sudut ureterovesical.
c. Bagian atas urethra akan terisi urine.
d. Urine bertindak sebagai iritan pada dinding urine.
e. Musculus detrussor berkontraksi lebih kuat.
f. Urine didorong ke urethra pada saat tekanan abdominal meningkat.
g. Pembukaan spincter extemus.
h. Urine dikeluarkan sampai vesica urinaria kosong.
Penghentian aliran urine dimungkinkan karena musculus pubocooygeus yang bekerja dibawah pengendalian secara volunter:
i. Muskulus pobococcygeus mengadakan kontraksi pada saat urine mengalir.
j. Vesika urinaria tertarik keatas.
k. Urethra memanjang.
l. Musculus spincter externus dipertahankan tetap dalam keadaan kontraksi.
Adapun tahap-tahap pembentukan urine sebagai berikut (Parwati et al., 2022):
a. Proses filtrasi
Terjadi di glumerolus, proses ini terjadi karena permukaan efferent lebih besar dari permukaan aferent maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat, dll, diteruskan keseluruh ginjal (Parwati et al., 2022).
b. Proses Reabsorpsi
Terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapaion karbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas (Parwati et al., 2022).
c. Augmentasi
Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus pengumpul. Pada tubulus pengumpul masih terjadi penyerapan ion Na+CI- dan urea sehingga terbentuklah urine sesungguhnya. Dari tubulus pengumpul, urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu dibawa ke ureter. Dari ureter, urin dialirkan menuju vesika urinaria yang merupakan tempat penyimpanan urine sementara. Ketika kandung kemih sudah penuh, urine dikeluarkan dari tubuh malalui uretra (Parwati et al., 2022).
B. Klasifikasi Trauma Sistem Perkemihan a. Trauma Ginjal
1. Definisi
Trauma merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia.
Trauma ginjal tumpul terjadi karena adanya tekanan atau pukulan langsung ataupun deselerasi pada dinding abdomen tetapi tidak menimbulkan luka terbuka. Trauma ginjal dapat mengakibatkan cedera pada parenkim (pembuluh darah ginjal) yang dapat menyebabkan perdarahan atau cedera pada sistem pengumpulan dengan kemungkinan kebocoran urin (Husada et al., 2020a).
Trauma ginjal adalah kecederaan yang sering terjadi dalam sistem urinari.
Ginjal mendapat proteksi dari otot lumbar, atau ras, badan vertebra, dan viscera.
Ginjal mempunyai mobilitas yang besar yang bisa mengakibatkan kerusakan parenchymal dan kecederaan vaskuler dengan mudah. Trauma pada ginjal sering kali disebabkan karena jatuh, kecelakaan lalu lintas, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma ginjal yang mengenai ginjal dapat memberikan manifestasi memar, laserasi, atau kerusakan pada struktur (Ikatan Ahli Urologi Indonesia (Iaui), 2022).
Trauma ginjal diklasifikasikan menurut tingkat keparahannya menjadi 5 tingkatan (Husada et al., 2020b) :
a. Derajat 1: Hematoma subkapsular dan/atau kontusio ginjal b. Derajat 2 : Laserasi ≤ 1 cm tanpa ekstravasasi urin
c. Derajat 3 : Laserasi > 1 cm tanpa ekstravasasi urin
d. Derajat 4 : Laserasi yang melibatkan sistem pengumpul dengan ekstravasasi urin cedera vaskular ginjal segmental; infark ginjal; laserasi pelvis ginjal dan/atau gangguan ureteropelvik
e. Derajat 5 : Ginjal pecah atau mengalami devaskularisasi dengan perdarahan aktif laserasi atau avulsi pembuluh darah ginjal utama
2. Etiologi
Berdasarkan (Almeida et al., 2021) mekanisme trauma ginjal dapat terjadi secara langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang dan tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba - tiba di dalam rongga retroperitoneum. Berdasarkan jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang cabangnya.
Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal. Berdasarkan karakteristik trauma terdapat 3 penyebab utama dari trauma ginjal (Gultom & Sudaryo, 2023) :
1) Trauma Tumpul
Trauma Tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan kendaraan bermotor, dan jatuh. Trauma tumpul dari tabrakan kendaraan bermotor, jatuh dan tabrakan pribadi adalah penyebab utama trauma ginjal.
2) Trauma Iatrogenik
Trauma Iatrogenik dapat hasil dari operasi, retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal
3) Trauma Tajam
Trauma Tajam adalah seperti tikaman atau luka tembak pada daerah abdomen bagian atas ataupun pinggang.
3. Patofisiologi
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Trauma ginjal tumpul bersifat langsung atau tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olahraga, pekerjaan atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya melibatkan trauma berat yang juga mempengaruhi organ organ lain. Trauma tidak langsung, seperti jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Peristiwa ini menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau pecahnya tunika intima arteri renalis sehingga memicu terjadinya trombosis. Ginjal yang terletak dibagian atas rongga retroperitoneal, hanya difiksasi oleh pedikel vaskuler dan ureter, sedangkan masa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota (Gultom & Sudaryo, 2023).
Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom, yg berkembang sempurna. Kantong fascia ini memanjang ke bawah sepanjang ureter, dan menempel pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun dapat dengan mudah untuk pecah jika terjadi perdarahan hebat, sehingga perdarahan melewati garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal. Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat terperangkap di dalam rongga retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat
perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat (Almeida et al., 2021).
4. Manifestasi Klinik
Menurut (Almeida et al., 2020) tanda-tanda dan gejala pada trauma ginjal, yaitu:
1) Hematuria
Hematuria merupakan manifestasi yang umum terjadi. Oleh karena itu, adanya darah dalam urin setelah suatu cedera menunjukkan kemungkinan cedera ginjal.
Namun demikian, hematuria mungkin tidak akan muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
2) Nyeri
Nyeri pada daerah pinggang atau perut dapat terjadi akibat trauma ginjal. Nyeri tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap dan dapat memburuk saat ginjal bergerak.
a. Syok atau tanda-tanda kehilangan darah
Perdarahan internal dapat terjadi akibat trauma ginjal yang parah. Hal ini dapat menyebabkan darah terlihat dalam urine atau adanya tanda-tanda perdarahan seperti mual dan muntah.
b. Ekimosis pada daerah panggul atau kuadran atas perut.
c. Sebuah massa teraba mungkin merupakan retroperitoneal besar hematoma atau kemungkinan ekstravasasi kemih.
d. Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul 5. Penatalaksanaan
Menurut (Almeida et al., 2021) penatalaksanaan pada ruptur trauma ginjal 1) Penatalaksanaan Emergensi
Penanganan segera dari syok, perdarahan, resusitasi lengkap dan evaluasi cedera lainnya. Jika kondisi pasien tidak stabil oleh karena trauma /cedera intra abdomen maka diperlukan tindakan bedah laparotomi eksplorasi untuk resusitasi bedah. Jika didapatkan hematoma retroperitoneal yang meluas dan pulsatil diindikasikan untuk melakukan eksplorasi renal
2) Penatalaksanaan Konservatif
Manajemen konservatif terdiri dari :
a. Pemantauan rutin terhadap tanda vital, pemeriksaan fisik, analisis laboratorium (hemoglobin, hematokrit).
b. Istirahat di tempat tidur diusulkan sampai tanda-tanda klinis menjadi stabil dan hematuria makroskopik telah hilang.
c. Peran antibiotik tidak jelas, tetapi antibiotik spektrum luas IV harus digunakan jika ada saran kerusakan pada koleksi sistem dan kebocoran urin, untuk mencegah infeksi sekunder pada hematoma retroperitoneum.
d. Pencitraan ulang mungkin hanya diperlukan dalam semua trauma ginjal grade III, berdasarkan tingkat komplikasi yang tinggi dalam kelompok ini.
e. Evaluasi ulang untuk mempertimbangkan pencitraan ulang atau lainnya
a. Trauma Ureter 1. Definisi
Sebagian besar trauma ureter (saluran dari ginjal yang menuju ke kandung kemih) terjadi selama pembedahan organ panggul panggul atau perut, seperti seperti histerektomi, histerektomi, reseksi reseksi kolon atau uteroskopi. Seringkali terjadi kali terjadi kebocoran air coran air kemih dari luka dari luka yang terbentuk atau berkurangnya produksi air kemih (Almeida et al., 2021).
2. Etiologi
Penyebab trauma ureter diantaranya luka tembak atau tusuk, ruda paksa ureter disebabkan oleh ruda paksa tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenik terutama pada pembedaha rektum, uterus, pembuluh darah panggul atau tindakan endoskopik. Penyebab lain trauma ureter adalah luka tembus, biasanya karena luka tembak.
tembak. Jarang terjadi terjadi trauma ureter akibat pukulan maupun pukulan maupun luka tumpul (Fikriyanto et al., 2024).
3. Patofisiologi
Patofisiologi dari trauma ureter dapat bervariasi tergantung pada penyebab dan jenis trauma yang dialami. Berikut beberapa poin penting terkait patofisiologi trauma ureter (Archie, 2022) :
1) Trauma Iatrogenik: Penyebab paling umum dari trauma ureter (sekitar 80%) adalah tindakan medis atau operasi, seperti pada prosedur ginekologi, urologi, atau kolorektal. Misalnya selama
operasi, ureter dapat mengalami cedera akibat manipulasi instrument atau pembedahan di sekitarnya (Archie, 2022).
2) Trauma Tembus: Selain trauma iatrogenik, sebagian besar trauma ureter disebabkan oleh trauma tembus. Trauma tembus dapat terjadi akibat luka tembus, benturan, atau kecelakaan. Ureter yang mengalami trauma tembus seringkali tidak segera terdeteksi dan kondisi ini dapat menyebabkan morbiditas yang berat (Archie, 2022).
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis ini dapat berupa (Damayanti et al., 2024) : 1) Perdarahan dalam urine (Jamil et al., 2021).
2) Nausea adalah perasaan mual yang disebabkan oleh nyeri kolik yang sangat hebat sehingga impuls aferen nyeri diteruskan hingga ke sistem saraf pusat (Jamil et al., 2021).
3) Disuria dapat berupa rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien pada saat berkemih. Nyeri ini dapat dirasakan oleh pasien apabila batu terletak pada bagian distal ureter (Jamil et al., 2021).
4) Hematuria adalah adanya darah atau sel eritrosit dalam urin baik yang tampak secara makroskopik maupun mikroskopik. Hematuria ini terjadi akibat adanya trauma pada jaringan mukosa yang disebabkan oleh batu (Damayanti et al., 2024).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trauma ureter antara lain tindakan operative dengan repair ureter, pemasangan Double J stent, re-anastomose ureter, menyambung ureter secara end to end anastomose, sampai dengan neoimplantasi ureter. Pada fasilitas kesehatan tingkat 1 hampir sama dengan trauma kandung kemih dan ginjal penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang dapat dilakukan hanyalah seputar anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis riwayat trauma area flank yang biasanya karena tindakan medis (iatrogenic) ataupun trauma tajam. Pada trauma ureter pasien biasanya relative stabil terkait primary surveynya (Latifa, 2021).
b. Trauma Kandung Kemih 1. Definisi
Kandung kemih adalah organ berotot yang, ketika kosong, terlindung oleh tulang panggul anterior. Letaknya di ekstraperitoneal pada orang dewasa dengan peritoneum menutupi permukaan superior. Kubah merupakan bagian kandung kemih yang paling mudah bergerak dan terlemah, sehingga rentan pecah saat kandung kemih penuh (Kong et al., 2022).
Cedera kandung kemih disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi. Kemungkinan cedera kandung kemih bervariasi menurut isi kandung kemih sehingga bila kandung kemih penuh akan lebih mungkin untuk emnjadi terluka daripada satu kosong (Husada et al., 2020a).
2. Etiologi
Penyebab utama cedera kandung kemih adalah trauma penetrasi (tajam) dan trauma tumpul. Penyebab iatrogenic termasuk pascaintervensi bedah dari ginekologi, urologi, dan operasi ortopedi di dekat kandung kemih. Penyebab lain melibatkan trauma obstetric (Latifa, 2015).
Ruptur kandung kemih intraperitoneal umumnya terjadi jika kandung kemih terisi penuh dan dinding abdomen bawah tertekan.
Ruptur kandung kemih ekstraperitoneal umumnya berhubungan dengan fraktur pelvis akibat gaya tekanan pada pelvis (Singgih, 2022).
3. Patofisiologi
Cedera kandung kemih tidak lengkap atau Sebagian akan menyebabkan robekan mukosa kanudng kemih. Segmen dari dinding kandung kemih mengalami memar, mengalami cedera local dan hematoma. Memar atau kontusi memberikan manifestasi klinis hematuria setelah trauma tumpul atau setelah melkaukan aktivitas fisik yang ekstrem (contohnya: lari jarak jauh) (Singgih, 2022).
Rupture ekstraperitoneal kandung kemih. Rupture ekstraperitoneal biasanya berhubungan dengan fraktur panggul (89- 100%). Sebelumnya, mekanisme cedera diyakini dari perforasi langsung oleh fragmen tulang panggul. Tingkat kandung kemih secara
langsung berkaitan dengan tingkat keparahan fraktur. Beberapa kasus mungkin terjadi dengan mekanisme yang mirip dengan pecahnya kandung kemih intraperitoneal, yang merupakan kombinasi dari trauma dan overdistention kandung kemih. Dengan cedera yang lebih kompleks, bahan kontras meluas ke paha, penis, perineum, atau kedalam dinding anterior abdomen. Ekstravasasi akan mencapai skrotum Ketika fasia superior diafragma urogenital atau diafragma urogenital sendiri mrnjadi teganggu (Singgih, 2022).
Rupture kandung kemih intraperitoneal. Digambaran sebagai masuknya urin secara horizontal ke dalam kompartemen kandung kemih. Mekanisme cedera adalah peningkatan tekanan intravesical secara tiba-tiba ke kandung kemih yang penuh. Kekuatan daya trauma tidak mampu ditahan oleh kemampuan sehingga sehingga terjadi perforasi dan urin masuk ke dalam peritoneum (Singgih, 2022).
Kombinasi rupture intraperitoneal dan ekstraperitoneal.
Mekanisme cedera penetrasi memungkinkan cedera menembus kandung kemih seperti peluru kecepatan tinggi melintasi kandung kemih atau luka tusuk abdominal bawah. Hal tersebut akan menyebabkan intraperitoneal, ektraperitoneal, cedera, atau gabungan kandng kemih (Singgih, 2022).
4. Manifestasi Klinik
Menurut (Husada et al., 2020a) tanda-tanda dan gejala pada cedera kandung kemih, yaitu:
1) Fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat.
2) Abdomen bagian tempat jejas/hemato
3) Tidak bisa BAK, kadang keluar darah dari uretra 4) Nyeri suprapubic
5) Ketegangan otot dinding perut bawah 6) Trauma tulang panggul
5. Penatalaksanaan
Pada kontusio, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada kandung kemih. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari. Pada rupture traumatic intraperitoneal dilakukan bedah eksplorasi segera dan
perbaikan laserasi, disertai drainase suprapubic dari kandung kemih dan ruang perivesikal (di sekitar kandung kemih) kemudian di pasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparatomi. Atasi syok dan perdarahan. Istirahat baring sampai hematuri hilang. Bila ditemukan fraktur tulang punggung disertai cedara kandung kemih intraperitoneal dilakukan section alta yang dilanjutkan dengan laparatomi (Singgih, 2022).
c. Trauma Uretra 1. Definisi
Cedera uretra adalah cedera yang mengenai uretra sehingga menyebabkan rupture pada uretra. Cedera uretra dibedakan menjadi cedera uretra anterior dan posterior. Berdasarkan etiologic trauma, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya berbeda (Almeida et al., 2020).
Ruptue uretra anterior merupakan mekanisme cedera yang paling sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah cedera selangkangan (straddle injury) terutama pada saat bersepeda yaitu uretra terjepit di antara tulang pelvis dan benda tumpul. Pada pengkajian, klien mengeluh nyeri, adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu pada keadaan ini pasien tidak dapat miksi (Husada et al., 2020a).
2. Etiologi
Etiologi dari trauma uretra antara lain (Damayanti et al., 2024) :
1) Trauma uretra terjadi cedera yang berasal dari luar dan cedera iotrogenik akibat intrumentasi pada uretra.
2) Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan rupture uretra pars membranasea, sednagkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture pada bulbosa.
3) Pemasangan kateter pada uretra yang kurang hati-hati dapat meninmbulkan robekan uretra karena salah jalan (false route).
4) Intervensi operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra iotrogenik.
3. Patofisiologi
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari trauma uretra antara lain (Damayanti et al., 2024):
1) Perdarahan dari uretra
2) Hematom perineal, mungkin banyak di sebabkan trauma bulbus kavernosus.
Trauma pada
Rupture uretra posterior
Rupture uretra anterior
Spasme otor peritoneum:
Hematom perivesika Perdarahan per-uretram
Retensi urin Perdarahan dalam saraf
Spasme otot peritoneum:
Ekstravasasi saluran urin Hematom penis dan
inguinal Anuria
Iritasi kulit penis/ ingiunal
Actual/risiko syok hipovolemik
Nyeri Gangguan pemenuhan eliminasi
urin
Actual/resiko tinggi infeksi Kerusakan integritas
jaringan
Tindakan pembedahan Respon psikologis: koping
maladaptip kecemasan Asuhan keperawatan
perioperatif
Kecemasan Pemenuhan informasi
3) Retensi urin, jika hanya terjadi memar mukosa uretra, penderita masih dapat kencing meskipun nyeri. Jika rupture, terjadi spasme m. spinchter urethrae externum sehingga timbul retensi urin. Bila kandung kemih terlalu penuh, terjadi ekstravasasi sehingga timbul nyeri hebat dan dalam umum penderita memburuk.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trauma uretra antara lain (Singgih, 2022) :
1) Jika penderita dapat kencing dengan mudah, cukup observasi saja.
2) Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogem usahakan memasukkan kateter foley samapi kandung kemih, hati- hati akna terjadinya kekeliruan yaitu kateter tergulung saja diantara kandung kmeih dan diagfragma urogenital setelah kateter berhasil masuk kendung ekmih, tingalkan selama 14-20 hari.
3) Jika kateter gagal di pasang, lakukan pembedahan. Dalam keadaan darurat cukup dibuat sitostomi untuk mrnjamin aliran urin.
4) Pasca bedah :
a. Kandung kemih dibilas dengan larutan antiseptic setiap hari.
Berikan antibiotic dosis tinggi.
b. Setelah keadaan umum membaik, dapat dipikirkan operasi untuk menyambung Kembali uretra.
c. Setiap penderita dengan trauma uretra harus diperiksa atau diawasi secara teratur selama kurang leibh 3-4 tahun untuk diagnose dini striktur uretra. Hla ini dapat dilakukan ulang pemeriksaan untuk tahun pertama tiap bulan ke 1,3,6,9 dan 12 sedangkan untuk tahun berikutnya setiap 6 bulan.
2.2 Pathways
SISTEM PERKRMIHAN
Trauma Ginjal Trauma Ureter Trauma Kandung kamih Trauma Uretra Cedera Tumpul Trauma Iatrogenik Trauma Tembus Trauma Tumpul Trauma Tumpul Terjatuh, Kecelakaan Cedera Pembedahan Luka Tusuk & Tembak Ekstraperitoneal Intraperitoneal Uretra terjepit diantara lalu lintas tulang pelvis dan Resiko Infeksi Rangsangan trhdp Resiko Perdarahan Terjatuh Tekanan Intra vesical benda tumpul Pergerakan ginjal mediator reseptor
di dlm rongga peritonium nyeri Fraktur tulang pelvis Kandung kemih penuh Nyeri Avulsi Pedikel Ginjal Resiko Jatuh Kekuatan daya trauma Perdarahan Nyeri
per-uretra/Hematoria
Perforasi
Trombosis Nyeri Urine masuk kedalam peritoneum Retensi urin
Perdarahan dlm
Gangguan Eliminasi Urin syaraf Syok/ penurunan aliran darah
Gangguan Eliminasi Urin Hipovolemia Perfusi Perifer Tidak Efektif
Gangguan Mobilitas Fisik
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Ikatan Ahli Urologi Indonesia (LAUI), 2022) dijelaskan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien trauma system perkemihan adalah sebagai berikut :
1. CT scan
Modalitas pencitraan pilihan pada pasien stabil, dapat secara akurat mengidentifikasi tingkat trauma ginjal, melihat fungsi ginjal kontralateral, menunjukkan adanya cedera bersamaan pada organ lain.
2. USG
Sebagai bagian dari evaluasi FAST pada primary survey (hemoperitoneum) dan evaluasi khusus struktur ginjal, dapat digunakan untuk follow-u
3. Pielografi Intravena
Dilakukan intra-operatif untuk mengkonfirmasi keberadaan ginjal kontralateral yang berfungsi dengan baik pada pasien
4. MRI
Akurasi diagnostik MRI pada trauma ginjal serupa dengan CT; tidak praktis untuk dikerjakan pada pasien trauma akut
5. Pemindaian Radionukleida
Untuk mengidentifikasi area jaringan parut, kehilangan fungsi atau obstruksi.
2.4 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Trauma Sistem Perkemihan 1. Pengkajian
Menurut (Restiani et al., 2023) dijelaskan bahwa pengkajian primer dan sekunder yang dilakukan pada pasien trauma system perkemihan adalah sebagai berikut :
A. Pengkajian Primer 1) Airways
jalan napas pasien paten, akan tetapi jika pasien akan mengalami penurunan kesadaran akan menyebabkan airways (jalan napas) bermasalah.
Dx : -
2) Breathing
Pernapasan pada pasien paten, akan tetapi Breathing bisa bermasalah adanya nyeri dan perdarahan. Respon nyeri akan menjadi frekuensi dan nadi meningkat.
Dx : -
Pemeriksaan (IPPA) a. Inspeksi
Tingkat pernapasan adanya penggunaan otot bantu pernapasan.
b. Palpasi
Untuk mengetahui adanya pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema.
c. Perkusi
Bertujuan untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
d. Auskultasi
Bertujuan untuk mengetahui adanya suara abnormal pada dada apakah wheezing atau ronki.
3) Circulation a. Hematuria
Hematuria merupakan manifestasi yang umum terjadi. Oleh karena itu, adanya darah dalam urin setelah suatu cedera menunjukkan kemungkinan cedera ginjal. Namun demikian, hematuria mungkin tidak akan muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
b. perdarahan hebat.
c. Tidak bisa BAK,
d. Turgor kulit menurun, akral dingin, CRT > 2 detik e. Perdarahan dari uretra
f. Syok atau tanda-tanda kehilangan darah
g. Perdarahan internal dapat terjadi akibat trauma ginjal yang parah. Hal ini dapat menyebabkan darah terlihat dalam urine atau adanya tanda-tanda perdarahan seperti mual dan muntah.
Dx : Hipovolemia (D.0023)
Perfusi Perifer tidak efektif (D.0009) Risiko Perdarahan ((D.0012)
4) Disability
- Fraktur tulang pelvis
Pada kondisi ini dapat terjadi penurunan kesadaran, kelemahan fisik dan diperlukan pemantauan tanda-tanda vital dan memperhatikan respon terhadap stimulus. Pada kasus pasien cedera sistem perkemihan dapat terjadi pendarahan sehingga dalam pergerakan dibatasi.
Dx : Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)
5) Explosure a. Nyeri
Nyeri pada daerah pinggang atau perut dapat terjadi akibat trauma ginjal. Nyeri tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap dan dapat memburuk saat ginjal bergerak.
a) Ekimosis pada daerah panggul atau kuadran atas perut.
b) Sebuah massa teraba mungkin merupakan retroperitoneal besar hematoma atau kemungkinan ekstravasasi kemih.
c) Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul b. Nyeri suprapubic
c. Abdomen bagian jejas/hemato
d. Ketegangan otot dinding perut bawah e. Trauma tulang panggul
f. Disuria dapat berupa rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien pada saat berkemih. Nyeri ini dapat dirasakan oleh pasien apabila batu terletak pada bagian distal ureter
Dx : Nyeri Akut (D.0077) Resiko Jatuh (D.0143) Risiko Infeksi (D.0142)
Gangguan Eliminasi Urine (D.0040)
A. Pengkajian Sekunder 1. Pengkajian Head to toe
Hal yang dinilai Identifikasi Penilaian Tingkat
kesadaran
Beratnya trauma ginjal
Skor GCS
Pupil - Jenis rauma
kapitis - Luka pada
mata
- Ukuran - Bentuk - Reaksi
Kepala - Luka pada
kulit kepala - Fraktur pada
tulang tengkorak
- Inspeksi adanya luka pada fraktur
- Palpasi adanya fraktur
Leher - Cedera pada
tulang - Fraktur
servikal - Kerusakan
vascular - Gangguan
neurologis
- Inspeksi - Palpasi - Auskultasi
Thoraks - Perlukaan
dinding thoraks - Emfisema
subkutan - Pneumo/
hematotorak s
- Cedera
- Inspeksi - Palpasi
Auskultasi
bronkus - Kontusio
paru - Kerusakan
aorta torakalis Abdomen/
pinggang
- Perlukaan di daerah Abdomen - Cedera intra-
peritoneal Cedera reroper
- Inspeksi - Palpasi - Auskultasi - Temukan arah
penetrasi
Pelvis - Cedera
Genito - Urinarius - Fraktur
Pelvis
- Palpasi simfisi pubis untuk pelebaran - Nyeri tekan
tulang pelvis - Tentukan
instabilitas pelvis - Inspeksi
perineum - Pem. Rektum/
Vagina Ekstremitas - Cedera
jaringan lunak - Fraktur - Kerusakan
sendi - Defisit
neuovaskular
- Inspeksi - Palpaso
2. Pemeriksaan Penunjang : a. CT scan
b. Ulangi tanpa relaksasi otot c. Foto toraks
d. Angiografi
e. DPL/USG Abdomen f. Laparotomi
g. Foto dengan kontras h. Foto pelvis
i. Urogram (Uretrografi, Sistografi, IVP) 3. Pengkajian Nyeri
a. P (Provocative/Palliative)
Untuk mengetahui faktor-faktor yang memicu atau memperburuk nyeri (provocative), serta faktor-faktor yang meredakan atau memperbaiki nyeri (palliative). Misalnya, apakah nyeri meningkat saat melakukan aktivitas tertentu ataukah mereda setelah mengonsumsi obat penghilang nyeri.
b. Q (Quality)
Meliputi deskripsi karakteristik nyeri yang dirasakan oleh pasien. Dokter akan bertanya apakah nyeri itu tajam, tumpul, menusuk, atau mungkin seperti sensasi lainnya, yang dapat memberikan petunjuk tentang penyebabnya.
c. R (Region/Radiation)
Bertujuan untuk menentukan lokasi pasti nyeri (region) dan apakah nyeri tersebut menyebar ke daerah lain (radiation). Informasi ini dapat membantu dokter untuk menentukan kemungkinan sumber nyeri.
d. S (Severity)
Berkaitan dengan seberapa parah atau intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Sebagai bagian dari skala nyeri, pasien biasanya diminta untuk memberikan nilai numerik atau visual untuk menyatakan tingkat keparahan nyeri.
e. T (Temporal)
Pertanyaan diajukan untuk mengetahui durasi nyeri (berapa lama nyeri tersebut terjadi), apakah nyeri itu bersifat konstan atau timbul secara intermiten, serta
faktor-faktor waktu lainnya yang terkait dengan nyeri, seperti kapan nyeri tersebut mulai dan berakhir.
Dalam pengkajian nyeri akan didapatkan rentang skala nyeri mulai dari ringan, sedang dan berat.
a. Skala Nyeri Ringan
Didefinisikan sebagai nyeri dengan skor antara 1 hingga 3. Nyeri ringan sering dianggap sebagai nyeri yang dapat ditangani dengan obat-obatan ringan atau dengan metode non-farmakologis seperti kompres hangat atau dingin, istirahat, atau teknik relaksasi.
b. Skala Nyeri Sedang
Nyeri dengan skor antara 4 hingga 6 sering kali dianggap sebagai nyeri sedang. Nyeri sedang mungkin memerlukan intervensi lebih lanjut, seperti obat penghilang rasa sakit yang lebih kuat atau kombinasi strategi manajemen nyeri.
c. Skala Nyeri Berat
Nyeri dengan skor antara 7 hingga 10 dianggap sebagai nyeri berat. Nyeri berat biasanya mengganggu aktivitas sehari-hari dan memerlukan perawatan yang cermat dan intensif, seringkali melibatkan penggunaan obat penghilang rasa sakit yang kuat, terapi fisik, intervensi bedah, atau perawatan lainnya.
4. Kaji riwayat sample a. Sign and symptoms
Pengumpulan informasi mengenai gejala yang dialami oleh pasien, meliputi informasi tentang apa yang dirasakan pasien. Biasanya pada pasien gawat darurat yang mengalami trauma pada system perkemihan akan mengalami tanda dan gejala sebagai berikut :
1) Hematuria 2) Nyeri
3) Syok atau tanda-tanda kehilangan darah 4) Retensi urine
5) Perdarahan dari uretra b. Allergi
Informasi mengenai alergi yang dimiliki pasien terhadap makanan, obat- obatan, atau bahan lainnya. Informasi ini penting untuk menghindari pemberian obat atau perlakuan yang dapat menyebabkan reaksi alergi yang berbahaya.
c. Medication
Meliputi informasi mengenai obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien, dosis dan frekuensinya. Informasi ini penting untuk menghindari interaksi obat yang berpotensi berbahaya atau efek samping yang tidak diinginkan.
d. Past medical history
Meliputi pengumpulan informasi tentang riwayat medis pasien, termasuk penyakit kronis, riwayat operasi, cedera atau trauma sebelumnya, serta kondisi medis lainnya yang mungkin berpengaruh pada penanganan saat ini.
e. Last meal
Merupakan informasi mengenai waktu terakhir pasien makan atau minum.
Informasi ini penting dalam kasus tertentu, seperti ketika pasien akan menjalani prosedur medis tertentu yang memerlukan pencernaan kosong.
f. Event
Merupakan informasi tentang peristiwa atau kejadian yang mungkin memicu atau berhubungan dengan kondisi saat ini pasien, seperti kecelakaan, jatuh, atau adanya stres fisik atau emosional baru-baru ini.
2.5 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan yang dialaminya baik berlangsung actual maupun potensial (SDKI, 2018) Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (SDKI, 2018)
1. Perfusi Perifer Tidak Efektif b.d Penurunan Aliran Arteri dan/ atau Vena (D.0009)
a. Pengertian
Penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat mengganggu metabolisme tubuh
b. Tanda dan Gejala Gejala dan Tanda Mayor Subyektif : -
Objektif :
1) Pengisian kapiler > 3 detik
2) Nadi perifer menurun atau tidak teraba
3) Akral teraba dingin 4) Warna kulit pucat 5) Turgor kulit menurun Gejala dan Tanda Minor : Subjektif :
1) Parastesi
2) Nyeri ektermitas (kladukasi interminten) Objektif :
1) Edema
2) Penyembuhan luka lambat 3) Indeksi ankle-brachial <0,90 4) Bruit femoralis
2. Risiko perdarahan b.d trauma (D.0012) a. Definisi
Beresiko mengalami kehilangan darah baik internal (terjadi di dalam tubuh) maupun eksternal (terjadi hingga keluar tubuh)
b. Faktor Risiko 1) Aneurisma
2) Gangguan gastrointestinal (mis. Ulkus lambung, polip, varises) 3) Gangguan fungsi hati (mis. Sirosis hepatitis)
4) Komplikasi kehamilan (mis. ketuban pecah sebelum waktunya, plasenta previa/abrupsio kehamilan kembar)
5) Komplikasi pasca partum (mis. Atoni uterus, retensi plasenta) 6) Gangguan koagulasi (mis. Trombositopenia)
7) Efek agen farmakologis 8) Tindakan pembedahan 9) Trauma
10) Kurang terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan 11) Proses keganasan
3. Hipovolemia b.d Kehilangan Cairan Aktif (D.0003) a. Pengertian
Penurunan volume cairan intravaskuler, interstisiel, dan/atau intraseluler b. Tanda dan Gejala
Gejala dan Tanda Mayor
Subyektif : - Objektif :
1) Frekuensi nadi meningkat 2) Nadi teraba lemah
3) Tekanan darah menurun 4) Tekanan nadi menyempit 5) Turgor kulit menurun Gejala dan Tanda Minor : Subjektif :
1) Merasa lemah 2) Mengeluh haus Objektif :
1) Pengisian vena menurun 2) Status mental berubah 3) Suhu tubuh meningkat 4) Konsentrasi urin meningkat 5) Berat badan turun tiba tiba
4. Gangguan eliminasi urin b.d Penurunan Kapasitas Kandung Kemih (D.0040)
a. Pengertian
Disfungsi eliminasi urine b. Tanda dan Gejala
Subjektif
1) Desakan berkemih 2) Urin menetes (dribbling) 3) Sering buang air kecil 4) Nokturia
5) Mengompol 6) Enuresis Objektif
1) Distensi kandung kemih
2) Berkemih tidak tuntas (hestitancy) 3) Volume residu urin meningkat Tanda Mayor
Subjektif: - Objektif : -
5. Nyeri akut berhubungan dengan Agen pencedera fisik (D.0077) a. Pengertian
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
b. Tanda dan Gejala Gejala dan Tanda Mayor Subyektif :
1) Mengeluh nyeri Objektif :
1) Tampak meringis
2) Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri) 3) Gelisah
4) Frekuensi nadi meningkat 5) Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor : Subjektif : -
Objektif :
1) Tekanan darah meningkat 2) Pola nafas berubah 3) Nafsu makan berubah 4) Proses berpikir terganggu 5) Menarik diri
6) Berfokus pada diri sendiri 7) Diaforesis
6. Gangguan Mobilitas Fisik b.d Penurunan Kekuatan Otot (D.0054) 1. Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri 2. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
1. Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas Objektif :
1. Kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (ROM) menurun 3. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan 3. Merasa cemas saat bergerak Objektif :
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak terkoordinasi 3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
7. Risiko Jatuh b.d Kekuatan Otot Menurun (D.0143) a. Pengertian
Beresiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan kesehatan akibat terjatuh b. Tanda dan Gejala
Gejala dan Tanda Mayor Subyektif : -
Obyektif : -
8. Risiko Infeksi b.d Ketidakadekuatan Pertahanan Tubuh Primer (D.0142) a. Definisi
Beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
b. Faktor Risiko
1) Penyakit kronis (mis. Diabetes melitus) 2) Efek prosedur invasif
3) Malnutrisi
4) Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan.
5) Ketidakadikuatan pertahanan tubuh primer:
a. Gangguan peristaltik b. Kerusakan integritas kulit c. Perubahan sekresi PH
d. Penurunan kerja siliaris e. Ketuban pecah lama
f. Ketuban pecah sebelum waktunya g. Merokok
h. Statis cairan tubuh 6) Gangguan peristaltik
a. penurunan hemoglobin b. Imununosupresi c. Leukopenia
d. Supresi respon inflamasi e. Vaksinasi tidak adekuat
2.6 Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA LUARAN INTERVENSI TTD
1. Perfusi Perifer Tidak Efektif b.d Penurunan Aliran Arteri dan/ atau Vena (D.0009)
Setelah dilakukan 1x8 jam,diharapkan perkusi perifer meningkat dengan kreteria hasil Perkusi Perifer(L.02011) 1)kekuatan nadi perifer meningkat
2.sensasi meningkat
3.Warna kulit pucat menurun 4.edema perifer menurun 5.kelemahan otot menurun 6. kram otot menurun
Perawatan sirkulasi (I.02079) Observasi
1. Periksa sirkulasi perifer (mis nadi perifer edema)
2. Identifikasi factor resiko gangguan sirkulasi (mis,perokok,hipertenis)
3. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ektremitas
Terapeutik
1 Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan perfusi
2 Hindari pengukuran tekanan darah pada ektermitas dengan keterbatasan perfusi 3 Hindari penekanan dan pemasangan
tourniquet pada area yang cidra Lakukan pencegahan infeksi
4 Lkaukan perawatan kaki dan kuku Edukasi
1. Anjurkan berehenti merokok 2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
4. Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurunan kolesterol jika perlu
5. Anjurkan Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darahsecara teratur 6. Anjurkan hindari obat penyekat beta Kolaborasi
- 2. Risiko
perdarahan b.d Tindakan
pembedahan (D.0012)
Setelah dilakukan 1x8 jam,diharapkan tingkat pendarahan menurun dengan kreteria hasil
Tingkat perdarahan (L.02017) 1. Pendarahan anus
menurun
Pencegahan pendarahan (I.02067) Observasi
1. Monitor tanda dan gejala pendarahan 2. Monitor tanda tanda vital ortostatik
Terapeutik
1. Pertahankan bed rest selama perdaharan
2. Distensi abdomen menurun
3. Pendarahan vagina menurun
2. Batasi tindakan invasive, jika perlu 3. Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan 2. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
untuk menghindari konstipasi
3. Anjurkan menghindari aspirin atau antikogulan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat pengontrol pendarahan, jika perlu
3. Hipovolemia b.d Kehilangan Cairan Aktif (D.0003)
Setelah dilakukan 1x8 jam, setatus cairan membaik dengan kriteria hasil:
Manajemen
Hipovolemia(L.08066) 1) output urine meningkat 2) membrane mukosa lembap meningkat
Manajemen Hipovolemia (I.03116) Observasi
1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis,frekuensi nadi meningkat,nadi teraba lemah,tekanan darah menurun ,tekanan nadi menyempit) 2. Monitor intake dan output cairan Terapeutik
3) berat badan meningkat 4) konsentrasi urin meningkat 5) intake cairan meningkat
1 Hitung kebutuhan cairan
2 Berikan posisi modifiled Trendelenbung 3 Berikan asupan cairan oral
Edukasi
1. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
2. Anjurkan hindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis, Nacl, RL)
2. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotenis (mis,gulkosa
2,5&,Nacl0,4%))
3. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis, albumin, plasmanate)
4. Kolaborasi pemberian produk darah
4. Gangguan eliminasi urin b.d Penurunan Kapasitas Kandung Kemih
Setelah dilakukan 1x8 jam diharapkan
Eliminasi urin dapat membaik dengan kriteria hasil :
(L.04034)
Manajemen eliminasi urin (I.04152) Observasi
1 Identifikasi tanda dan gejala resntesni atau inkontinesia urine
2 Identifikasi fakator yang menyebabkan
(D.0040) 1) Desakan berkemih (uregensi) menurun 2) Distensi kandung kemih
menurun
3) Berkemih tidak tuntas (hestitancy) menurun 4) Volume residu urin menetes
(dribbling) menurun
retensi atau inkontinesia urine 3 Monitor eliminasi urin
(mis,frekuensi,konsitensi,aroma,volume )
Terapeutik
1. Catatan waktu waktu dan haluan berkemih 2. Batasi asupan cairan, jika perlu
3. Ambil sempel urine tengah (mindstrem) atau kultur
Edukasi
1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2. Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
3. Ajarkan mengambil specimen urine midstream
4. Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih
5. Ajarkan terapi modalitas penggunaan otot otot panggul/berkemih
6. Anjurkan minum yang cukup,jika tidak ada kontraindikasi
7. Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat supostoria uretra, jika perlu
5. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
(inflamasi
saluran kemih) (D.0077)
Setelah dilakukan 1x8 jam, diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil : Tingkat nyeri (L.08066) 1)Keluhan nyeri menurun 2)Meringis menurun 3)Gelisah menurun
4)Kesulitan tidur menurun 5) Perineum terasa tertekan menurun
Manajemen nyeri (I.08238) Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2. Identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal 4. Identifikasi skala nyeri
5. Identifikasi pengetahuan tentang nyeri 6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup Terapeutik
1. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (terapi music,aromaterapi,kompres hangat/dingin) 2. kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis.suhuruangan, kebisingan) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetic secara tepat
5. Ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu
6. Gangguan Mobilitas Fisik b.d Kerusakan intregitas struktur tulang (D.0054)
Setelah dilakukan 1x8 jam, diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil :
Mobilitas Fisik (L.05042) 1. Pergerakan ekstremitas
Dukungan Ambulasi (I.06171) Observasi
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
meningkat
2. Kekuatan otot
meningkat
3. Rentang gerak (ROM) meningkat
4. Nyeri menurun 5. Cemas menurun 6. Kaku sendi menurun
7. Gerakan tidak
terkoordinasi menurun 8. Gerakan terbatas
menurun 9. Kelemahan
fisik menurun
ambulasi
3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
4. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis.tongkat, kruk)
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi 2. Anjurkan melakukan ambulasi dini 3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan dari tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi)
7. Resiko jatuh b.d Penurunan
Setelah dilakukan 1x8 jam, diharapkan tingkat jatuh
Pencegahan jatuh (I.14540)
1. Identifikasi faktor resiko jatuh (mis.
tingkat kesadaran (D.0143)
menurun dengan kriteria hasil : Tingkat jatuh (L.14138) 1) atuh dari tempat tidur menurun
2) jatuh saat berdiri menurun 3) jatuh saat duduk menurun 4) jatuh saat berjalan menurun
penurunan tingkat kesadaran, gangguan keseimbangan)
2. identifikasi resiko jatuh setidaknya sekali setiap shift
3. Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan resiko jatuh (mis.
lantai licin, ppenerangan kurang) 4. Hitung resiko jatuh dengan
menggunakan skala (mis. Falll morse Scale)
5. Monitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya
Terapeutik
1. Orientasi ruangan pada pasien dan keluarga
2. Atur tempat tidue mekanis pada posisi terendah
3. Tempatkan pasien beresiko tinggi jatuh dekat dengan pemantauan perawat dari nurse station
4. Gunakan alat bantu berjalan (mis.kursi
roda)
5. Dekatkan bel pemanggil dalam jangkauan pasien
Edukasi
1. Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk berpindah
2. Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin
3. Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh
4. Anjurkan melebarkan jarak kedua kaki untuk meningkatkan keseimbangan saat berdiri
5. Anjurkan cara menggunakan bel pemanggil untuk memanggil perawat
Kolaborasi : -
8. Risiko Infeksi (D.0142)
Setelah dilakukan 1x8 jam, Tingkat infeksi menurun
Pencegahan infeksi (I.14539)
dengan kriteria hasil: Tingkat infeksi (L.14137)
1. Kemerahan menurun 2. Nyeri menurun 3. Bengkak menurun 4. Cairan berbau busuk
menurun
5. gangguan kognitif menurun
Observasi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Terapeutik
1. Batasi jumlah penunjang
2. Berikan perawatan kulit pada area edema
3. Cuci tangan sebelum dan sesudaah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
4. Pertahankan Teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
BAB III
EVIDENCE BASED NURSING
Judul : Literatur Review Seri Kasus Pseudoaneurysm Setelah Trauma Ginjal Tumpul
Penulis : Arifah Zanuar Kumalasari, Agus Sudaryanto Nama Jurnal : Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
3.1 Hasil :
Dari 5 artikel yang mengalami pseudoaneurysm setelah trauma tumpul ginjal diderita terbanyak pada laki-laki. Empat kasus disebabkan karena jatuh. Tanda dan gejala dari lima kasus yaitu penurunan kadar hemoglobin darah dan gross hematuria. Empat kasus mengalami trauma ginjal tumpul dibagian kanan dan hasil CT Scan menunjukkan 3 kasus pada derajat III. Diskusi: Pada kalangan dewasa yang sering ditemukan yaitu laki-laki saat usia produktif.
Umur seseorang menjadi faktor resiko terjadinya pseudoaneurysm setelah trauma tumpul ginjal. Pemeriksaan hematokrit disertai dengan pemeriksaan hemoglobin darah berperan untuk mengetahui tanda perdarahan aktif yang dicurigai adanya penurunan kadar hemoglobin.
Kesimpulan :
Analisis dari ke lima artikel didapatkan adanya tanda gross hematuria dan penurunan kadar hemoglobin darah serta tindakan medis yang sering digunakan yaitu embolisasi.
3.2 Pembahasan :
Pada hasil analisis dari kelima artikel tersebut, pasien yang mengalami pseudoaneurysm karena trauma tumpul ginjal paling banyak adalah berjenis kelamin lakilaki sebanyak 5 pasien (71,4%). Menurut Erlich & Kitrey (2018), pada kalangan dewasa yang sering ditemukan yaitu laki-laki saat usia produktif. Umur seseorang menjadi faktor resiko terjadinya pseudoaneurysm karena trauma tumpul ginjal. Menurut Erlich & Kitrey (2018), trauma tumpul ginjal disebabkan karena kecelakaan lalu lintas sedangkan pada anak-anak yang sering terjadi disebabkan jatuh dan kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan analisis dari ke lima artikel ini didapatkan bahwa pseudoaneurysm karena trauma tumpul ginjal disebabkan pasien jatuh sebanyak 4 pasien (57,1%). Ke tujuh pasien dari lima artikel, 5 pasien (71,4 %) ditandai adanya gross hematuria dan mengalami penurunan kadar hemoglobin. Menurut Froehner (2017) pseudoaneurysm dapat menyebabkan hematuria secara berulang setelah trauma ginjal tumpul. Hematuria baik mikroskopik atau gross/makroskopik sering dijumpai
pada kondisi trauma ginjal, akan tetapi tidak spesifik untuk membedakan trauma minor maupun mayor. Pemeriksaan hematokrit disertai dengan pemeriksaan hemoglobin darah berperan untuk mengetahui tanda perdarahan aktif yang dicurigai adanya penurunan kadar hemoglobin (Indradiputra dan Hartono, 2016).
Pada hasil analisis, grade trauma tumpul ginjal paling banyak pada grade III yaitu 3 pasien (42,9%) dan kebanyakan mengalami trauma tumpul ginjal di bagian sebelah kanan yaitu 4 pasien (57,1%). Penentuan derajat trauma ginjal ditentukan berdasarkan hasi CT Scan mengikuti tatalaksan pasien trauma berdasarkan klasifikasi American Association for the Surgery of Trauma (AAST) (Indradiputra dan Hartono, 2016). Pada penderita pseudoaneurysm karena trauma ginjal tumpul perlu dilakukan tindakan nonoperatif (konservatif) atau operatif. Tindakan ini tergantung pada jenis trauma yang dialami dan status hemodinamik pasien. Penggunaan embolisasi ginjal pada ke lima artikel terdapat 5 pasien (71,4%). Berdasarkan hasil penelitian dari Guyot, et al (2017), mengatakan bahwa tindakan embolisasi memungkinkan pelestarian ginjal yang baik dengan tingkat keberhasilan 84,6%
dan tidak ada komplikasi yang terjadi. Stabilitas hemodinamik dan strategi konservatif yang terdiri dari tirah baring, pemberian cairan intravena, pemantauan kilinis dan pengecekan tes laboratorium diperlukan dalam tatalaksana pasien pseudoaneurysm setelah trauma tumpul ginjal (Sforza, Simone, et al, 2020). Penatalaksanaan pada pasien trauma tumpul pada saat di IGD yaitu berfokus yaitu memerlukan penilaian dan sistem perawatan yang cepat dan terorganisir. Manajemen awal pasien dilakukan survei primer, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengobati cedera yang membahayakan nyawa pasien dan survei sekunder, yang berupaya untuk mendeteksi semua cedera serta memulai perawatan definitif (Amend, B., Stenzl, A., & Bedke, J., 2016). Bagian pertama dari survei primer yaitu menilai jalan napas, memeriksa kemungkinan cedera pada tulang belakang. Jika tidak ditemukan lanjutkan tindakan selanjutnya yaitu membuka jalan nafas pasien dengan chin lift maneuver.
Apabila ada makanan, darah, muntah, bebaskan jalan napas dengan cepat untuk mencegah aspirasi. Jika pasien tidak dapat mempertahankan jalan napas paten, perlu intubasi endotrakeal. Penilaian ke dua yaitu menilai pernapasan, meliputi kecepatan dan kedalaman pernapasan, ekspansi dada, penggunaan otot tambahan dan napas auskultasi bunyi bilateral.
Meraba adanya krepitus di leher dan dada yang dapat mengindikasi adanya pneumotoraks.
Penilaian ke tiga yaitu sirkulasi, nilai kualitas dan terabanya nadi perifer harus diperhatikan, warna kulit dan tingkat kesadaran pasien (LOC). Kulit pucat dan dingin, lembab mengindikasikan syok. Memantau tekanan darah dan tanda-tanda vital setiap 5 hingga 15 menit sampai kondisi pasien membaik. Penilaian disabilitas, meliputi mengevaluasi LOC
dengan menilai GCS pasien, respon pupil dan fungsi sensorimotorik. Selanjutnya survei sekunder, dimulai dari kepala dan nilai secara metodis. Memeriksa kontusio, abrasi, laserasi, deformitas, perubahan warna, edema, benda asing dan kelainan lainnya. Mengkaji semua area tubuh untuk menemukan area nyeri, krepitus, deformitas, kehilangan fungsi dan lokasi serta kualitas denyut nadi (Amend, B., Stenzl, A., & Bedke, J., 2016).
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesika urinaria, dan uretra yang menyelenggarakan serangkaian proses untuk tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme zat seperti urea, kreatinin, asam urat dan urin. Zat yang diolah oleh sistem ini selalu berupa sesuatu yang larut dalam air. Sistem initerdiri dari sepasang ginjal (ren, kidney) dengan saluran keluar urine berupa ureter dari setiap ginjal. Ureter itu bermuara pada sebuah kandung kemih (urinary bladder, vesica urinaria) di perutbagian bawah di belakang tulang kemaluan (pubic bone). Urine selanjutnya dialihkan keluar melalui sebuah ureter.
Dari hasil asuhan keperawatan gawatdarurat sisitem perkemihan didapatkan hasil diagnosa keperawatan, yaitu Hipovolemia, Perfusi perifer tidak efektif, Nyeri akut, Risiko Jatuh, Risiko Infeksi, Risiko Perdarahan, Gangguan mobilitas fisik, Gangguan eliminasi Urine. Dari diagnosa keperawatan didapatkan hasil Intervensi keperawatan, meliputi Manajemen Hipovolemi, Perawatan Sirkulasi, Manajemen Nyeri, Pencegahan Jatuh, Tingkat infeksi, Mobilitas fisik, Eliminasi urin.
Pseudoaneurysm merupakan salah satu komplikasi tertunda yang jarang terjadi setelah trauma tumpul pada ginjal dan biasanya dikaitkan dengan perkembangan nontraumatis. Berdasarkan analisis dari ke lima artikel didapatkan adanya tanda gross hematuria dan penurunan kadar hemoglobin darah serta tindakan medis yang sering digunakan yaitu embolisasi. Pseudoaneurysm setelah trauma ginjal tumpul dapat dijumpai walaupun jarang terjadi. Setiap kasus memiliki tanda dan gejala berbeda-beda, biasanya ditemukan adanya hematuria dan penurunan hemoglobin.
Setelah mempelajari konsep dasar teori trauma sistem perkemihan dan konsep dasar asuhan keperawatan pada gangguan sistem perkemihan, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa dapat mengidentifikasi dan memahami secara menyeluruh dampak cedera pada organ-organ sistem perkemihan. Selain itu, dengan memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada gangguan sistem perkemihan, mahasiswa telah dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memberikan asuhan keperawatan yang efektif kepada individu yang mengalami gangguan pada sistem perkemihan.
4.2 Saran
Mengingat banyaknya gangguan perkemihan, diharapkan kepada masyarakat dan tenaga kesehatan khususnya perawat untuk :
1. Memperhatikan penuh pola perkemihannya 2. Mempraktekkan gaya hidup/kebiasaan yang sehat
3. Bagi perawat untuk memberikan asuhan keperawatan yang benar kepada pasien yang mengalami gangguan sistem perkemihan
DAFTAR PUSTAKA
Alizar, G., & Chiqita, N. Q. (2023). Ruptur Ureter Sinistra Pasca Histerektomi atas indikasi Adenomiosis Uteri dan Kista Endometrium. Medical Profession Journal of Lampung, 13(2), 182–187.
Almeida, C. S. de, Miccoli, L. S., Andhini, N. F., Aranha, S., Oliveira, L. C. de, Artigo, C. E., Em, A. A. R., Em, A. A. R., Bachman, L., Chick, K., Curtis, D., Peirce, B. N., Askey, D., Rubin, J., Egnatoff, D. W. J., Uhl Chamot, A., El‐Dinary, P. B., Scott, J.; Marshall, G., Prensky, M., … Santa, U. F. De. (2021). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Sisitem Perkemihan Berbasis Sdki, Slki, Siki. In Revista Brasileira de Linguística Aplicada (Vol. 5, Issue 1).
Archie, A. M. (2022). Striktur Uretra Berulang dengan Kejadian Penggunaan Kateter. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10, 168–174. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.731 Damayanti, L. E., Prihatiyanto, Y. A., Yulianti, M., Sabrina, A., Sanyoto, A., Putra, N.,
Pamungkas, A., & Setyawan, H. (2024). Seorang Perempuan 38 Tahun Dengan Ureterolitiasis Dan Pielonefritis Dextra. Proceeding of The 17th Continuing Medical Education, 756–766.
Fikriyanto, R., Maulidya, I., Ade, I., & Liscyaningsih, N. (2024). Studi kasus teknik radiografi uretrografi pada kasus trauma uretra di RSD KRMT Wongsonegoro Semarang A case study of urethrographiy radiographc technique in cases of urethral trauma at RSD KRMT Wongsonegoro Semarang Abstract. 2(September), 1050–1055.
Gultom, M. D., & Sudaryo, M. K. (2023). Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Gagal Ginjal Kronik di RSUD DR. Djasamen Saragih Kota Pematang Siantar Tahun 2020.
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 8(1), 40–47.
https://doi.org/10.14710/jekk.v8i1.11722
Gusrina Komara Putri. (2023). Manajemen Nyeri Asuhan Keperawatan Pasien Pasca Operasi Pada Tn. D Dan Ny. N Dengan Urolithiasis Post Op Percutaneous Nephrolithotomy (Pncl) Di Rumah Sakit Wilayah Jakarta.
Husada, S., Kumalasari, A. Z., & Sudaryanto, A. (2020a). Pseudoaneurysm in Renal Blunt Trauma Case Series Analysis Analisis Seri Kasus Pseudoaneurysm Setelah Trauma Ginjal Tumpul Pseudoaneurysm in Renal Blunt Trauma Case Series Analysis. Jurnal