TAFSIR KELUARGA Tafsir ath-Thalaq Ayat 6 ( Tafsir al-Misbah)
ِتَٰل أأ ّنأك نِإَو ّنِهْيَلَع وأقّي َضضضأتِل ّنأهوّراَضأت َلَو ْمأكِدْجأو نّم مأتنَكَس أثْيَح ْنِم ّنأهوأنِكْس ۟و ۚ ۟ا َأ وأرِمَتْأَو ّنأهَروأجأأ ّنأهوأتأضَف ْمأكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف ّنأهَلْمَح َنْعَضَي ٰىّتَح ّنِهْيَلَع وأقِفن َأَف ٍلْمَح
۟ا ۖ ۚ ۟ا
ٰىَرْخ أأ أهَل أعِضْرأتَسَف ْمأتْرَساَعَت نِإَو ٍفوأرْعَمِب مأكَنْيَب ٓۥ ۖ
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Pada ayat pertama surah ini telah disebutkan larangan mengeluarkan wanita yang dicerai dan masih sedang menjalankan ‘iddahnya mengusir mereka dari rumah bekas suaminya, kecuali kalau dia melakukan faaisyah. Kediaman itu boleh jadi bukan milik suami, boleh jadi dipinjam atau disewa, atau rumah yang tidak layak dihuni oleh suami. Ayat di atas mempertegas hak wanita-wanita itu memperoleh tempat tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan ma‘ruf yang diperintahkan oleh ayat 5 sebelum ini, sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan perceraian itu. Ayat di atas menyatakan: Tempatkanlah mereka para istri yang dicerai itu di mana kamu wahai yang menceraikannya bertempat tinggal. Kalau dahulu kamu mampu tinggal di tempat yang mewah dan sekarang penghasilan kamu menurun - atau sebaliknya - maka tempatkanlah mereka di tempat menurut yakni yang sesuai dengan kemampuan kamu sekarang; dan janganlah sekali-kali kamu sangat menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk menyempitkan hati dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau mihta keluar. Dan jika mereka istri-istri yang sudah dicerai itu sedang hamil, baik perceraian yang masih memungkinkan rujuk maupun yang ba’in (perceraian abadi )maka berikanlah mereka nafkah mereka sepanjang masa kehamilan itu hingga mereka bersalin; jika mereka menyusukan untuk kamu yakni menyusukan anak kamu yang dilahirkannya itu dan yang membawa nama kamu sebagai bapaknya, maka berikanlah kepada mereka imbalan mereka dalam melaksanakan tugas menyusukan itu/
dan musyawarahkanlah di antara kamu dengan mereka segala sesuatu termasuk soal imbalan tersebut dengan musyawarah yang baik sehingga hendaknya masing-masing mengalah dan mentoleransi: dan jika
kamu saling menemui kesulitan dalam hal penyusuan itu, misalnya ayah enggan membayar dan ibu enggan menyusukan, maka perempuan lain pasti akan dan boleh menyusukan anak itu untuk ayah-nya baik melalui air susunya maupun susu buatan. Karena itu jangan memaksa ibunya untuk menyusukan sang anak, kecuali jika bayi itu enggan menyusu selain susu ibunya.
Pengganti nama ( نه ) hunna/ mereka perempuan pada kalimat ( نهونكسسسا ) askinuhunna/
tempatkanlah mereka dipahami oleh mayoritas ulama menunjuk kepada semua wanita yang dicerai yang menjadi pembicaraan surah ini sejak ayatnya yang pertama. Dengan demikian kata mereka mencakup semua yang dicerai baik yang masih boleh rujuk, yang hamil, maupun perceraian ba’in (abadi). Imam Ahmad Ibn Hanbal tidak memasukkan perceraian ba’in dalam cakupan kata mereka. Ini berdasar hadits yang menyatakan bahwa Fathimah bind Qais dicerai ba’in oleh suaminya. Lalu saudara suaminya melarangnya masuk rumah dan tidak membolehkannya menerima nafkah. Fathimah ra.mengadu kepada Rasul saw., lalu beliau bersabda: “Tempat tinggal dan nafkah hanya buat yang dicerai rajiy” (yang masih boleh rujuk).
Riwayat ini ditolak oleh banyak ulama, bahkan menurut riwayat, Sayyidina Umar ra. pun menolaknya. “Kita tidak meninggalkan kitabullah dan Sunnah Nabi kita, untuk menerima ucapan seorang wanita, yang boleh jadi lupa atau salah paham.” Demikian Sayyidina Umar. Riwayat lain menyatakan bahwa ‘Aisyah ra. juga menolak riwayat itu.
Kata (نهوراضت) tudharruhunna terambil dari kata (ةراض) dharrah yakni kesulitan/kesusahan yang berat. Ini bukan berarti kesulitan dan kesusahan yang sedikit atau ringan, dapat ditoleransi. Tidak!
Penggunan kata tersebut di sini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa wanita yang dicerai itu telah mengalami kesulitan dengan perceraian itu, sehingga bekas suami hendaknya tidak lagi menambah kesulitan dan kesusahannya karena itu berarti menyusahkannya dengan kesusahan yang berat. Bisa juga redaksi yang menggambarkan beratnya kesusahan itu tertuju kepada larangan bukan kepada apa yang dilarang, sehingga ia berarti: “Jangan sekali-kali menyusahkan wanita yang dicerai itu.
Firman-Nya: (نهيلع اوقيضتل ) litudhayyiqu ‘alaihinna/ untuk menyempitkcm mereka bukan berarti bahwa kalau bukan untuk itu, maka menyusahkannya dapat dibenarkan. Ini hanyalah isyarat menyangkut apa yang sering kali terjadi pada masa Jahiliah. Begitu tulis Ibn ‘Asyur. Tetapi al-Biqa‘i memahaminya sebagai isyarat bolehnya menjadikan mereka merasa sulit atau kesal jika tujuannya untuk mendidik mereka.
Kata( اورمتاو ) wa’tamiru adalah perintah bagi ayah dan ibu untuk memusyawarahkan persoalan anak mereka itu. Ini adalah salah satu dari dua ayat yang memerintahkan bermusyawarah dan dari empat ayat yang bericara tentang musyawarah. Kalau yang telah bercerai saja diperintahkan untuk melakukan musyawarah, maka tentu saja hal tersebut lebih dianjurkan lagi kepada suami istri yang sedang menjalin hubungan kemesraan, dan tentu saja buat mereka bukan hanya dalam hal penyusuan anak, tetapi menyangkut segala hal yang berkaitan dengan rumah tangga bahkan kehidupan bersama mereka .
Firam an-Nya: (ىرخا هل عضرتسف) fa saturdhi'u lahu ukhra maka perempuan lain akan menyusukan untuknya memberi kesan kecaman kepada ibu, karena dorongan keibuan mestinya mengalahkan segala kesulitan. Di sisi lain pengalihan gaya redaksi dari persona kedua (kamu) ke gaya persona ketiga mengesankan juga kecaman kepada bapak, yang boleh jadi keengganannya membayar itu karena tidak menyadari betapa banyak kebutuhan ibu yang menyusukan anak, misalnya makanan yang bergizi, serta betapa berat pula tugas itu dilaksanakan oleh ibu.
Surat ath-Thalaq : 7 Tafsir al-Misbah
أهضضٰىَتاَء اّمِم ْقضضِفنأيْلَف أهأقْزِر ِهضضْيَلَع َرِدأق نَمَو ِهِتَعَس نّم ٍةَعَس وأذ ْقِفنأيِل ۥ ۖ ۦ
اًرْسأي ٍرْسأع َدْعَب أهّلل ألَعْجَيَس اَهٰىَتاَء اَم ّلِإ اًسْفَن أهّلل أفّلَكأي َل أهّلل ٱ ۚ ٱ ۚ ٱ
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Ayat yang lalu menggambarkan kemungkinan terjadinya perbedaan antara istri dan suami.
Perbedaan dalam konteks ayat itu adalah menyangkut imbalan penyusuan. Ayat di atas menjelaskan prinsip umum yang mencakup penyusuan dan sebagainya sekaligus menengahi kedua pihak dengan menyatakan bahwa: Hendaklah yang lapang yakni mamptt. dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya dari yakni sebatas kadar kemampuannya dan dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Jangan sampai dia memaksaftan diri untuk nafkah itu dengan mencari rezeki dari sumber yang tidak direstui Allah. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai apa yang Allah berikan kepadanya. Karena itu janganlah wahai istri menuntut terlalu
banyak dan pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suami kamu. Di sisi lain hendaklah semua pihak selalu optimis dan mengharap kiranya Allah memberinya kelapangan karena Allah biasanya akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Tidak ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah bagi keluarga. Ini kembali kepada kondisi masing- masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat atau apa yang diistilahkan oleh al-Qur’an dan Sunnah dengan ‘urf yang tentu saja dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain serta waktu dan waktu yang lain.
Suami yang tidak dapat menutupi biaya hidup keluarganya, mestinya memperoleh sumbangan dari Bait al-Mal atau kini dikenal dengan Departemen Sosial. Tetapi kalau seandainya ia tidak mendapatkannya, maka istri yang tidak rela hidup bersama suami yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar dapat menuntut cerai. Apakah permintaan itu harus diterima oleh Pengadilan atau tidak, hal ini menjadi bahan diskusi dan silang pendapat antara ulama.
Firman-Nya: (ارسي رسع دعب ا لعجيسي ) sayaj‘alu Allah ba‘da ‘usrin yusran/Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan ada ulama yang memahaminya sebagai janji yang pasti terlaksana. Al- Biqa‘i mengomentari penggalan ayat ini bahwa: “Karena itu tidak ada seseorang yang terusmenerus sepanjang usianya dalam seluruh keadaannya hidup dalam kesempitan.” Ada lagi yang menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin pada masa Nabi saw. di mana kelapangan rezeki telah mereka dapatkan dengan kemenangan-kemenangan yang mereka raih dalam peperangan dan yang menghasilkan harta rampasan serta lahan pertanian. Ada juga ulama yang menjadikan ayat di atas bukan saja ditujukan kepada masyarakat yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an, dan memang seharusnya demikian. Penganut pendapat ini mengamati bahwa bisa saja ada orang yang tidak pernah mendapatkan kelapangan. Karena ittl meraka tidak memahami penggalan ayat di atas sebagai janji, tetapi 'penjelasan tentang kebiasaan Allah swt. yang bertujuan mendorong setiap orang apalagi yang berada dalam kesempitan untuk selalu optimis. Ibn ‘Asyur yang menganut pendapat ini menulis bahwa itu sebabnya ayat di atas tidak menggunakan bentuk definite pada kata yusran agar tidak timbul kesan bahwa ia berlaku umum mencakup segala sesuatu. Menurut Thabathaba’i penggalan ayat itu berarti: “Allah akan mempermudah baginya kesulitan yang dihadapinya atau mempermudah baginya persoalan dunia dan akhirat, kalau bukan berupa kelapangan di dunia maka ganti yang baik di akhirat kelak.”
Surat ath- Thalaq ayat 6 ( Tafsir al-Azhar)
ِتَٰل أأ ّنأك نِإَو ّنِهْيَلَع وأقّي َضضضأتِل ّنأهوّراَضأت َلَو ْمأكِدْجأو نّم مأتنَكَس أثْيَح ْنِم ّنأهوأنِكْس ۟و ۚ ۟ا َأ وأرِمَتْأَو ّنأهَروأجأأ ّنأهوأتأضَف ْمأكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف ّنأهَلْمَح َنْعَضَي ٰىّتَح ّنِهْيَلَع وأقِفن َأَف ٍلْمَح
۟ا ۖ ۚ ۟ا
ٰىَرْخ أأ أهَل أعِضْرأتَسَف ْمأتْرَساَعَت نِإَو ٍفوأرْعَمِب مأكَنْيَب ٓۥ ۖ
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
"Tempatkanlah mereka kira-kira di mana kamu bertempat menurut kesanggupanmu." (pangkal ayat 6). Pangkalayat ini menjelaskan kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal bagi isterinya di mana si suami bertempat, menurut ukuran hidup si suami sendiri. Meskipun si isteri anak orang kaya-raya, sedang si suami tidak sekaya mertua atau isterinya, dia pun hanya berkewajiban menyediakan menurut ukuran hidupnya juga. Sebagai pepatah orang Melayu; "sepanjang tubuh sepanjang bayang-bayang."
Sejak semula kawin sudahlah menjadi kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal buat isterinya yang sesuai dengan kemampuan suami. Tentu saja sebelum meminang anak orang, seorang laki-laki telah mengukur yang sekufu, yaitu yang sepadan seukuran dengan dirinya, jangan terlalu tinggi sehingga tidak sanggup membelanjai atau memberikan tempat tinggal yang jelek yang tidak sepadan dengan kedudukan isteri itu.
Oleh karena hal perumahan ini diperkatakan ketika membincangkan soal talak maka dapatlah pangkal ayat 6 dipertalikan dengan larangan Tuhan di ayat 1; yaitu dilarang si suami mengeluarkan atau mengusir isterinya yang dalam 'iddah dari rumah-rumah mereka dan mereka sendiri pun tidak boleh keluar. Selama dalam 'iddah perempuan itu masih berhak tinggal di sana. Tetapi cerai dari talak tiga, meskipun masih memakai'iddah untuk mengawasi kalau-kalau dia hamil. Kalau dia hamil, 'iddahnya ialah selama dia mengandung, sebagai telah disebutkan di atas. Tentu saja anak yang dilahirkannya adalah anak dari suaminya yang menceraikannya talak tiga itu. Setelah anaknya lahir karena dia ditalak tiga, dia mesti sudah keluar dari rumah itu. Tetapi kalau dia tidak hamil, dia masih boleh tinggal dalam rumah itu selama dalam 'iddah; sehabis 'iddah segera keluar. Tetapi nafkahnya selama 'iddah BAA-IN itu, demikian juga pakaiannya tidaklah wajib lagi bagi suaminya yang telah jadi jandanya itu membayamya.
'IDDAH BAA-IN ialah 'iddah orang talak tiga. Maksudnya ialah 'iddah yang tidak boleh rujuk lagi. Dengan adanya 'iddah BAA-IN di antara keduanya tidak ada lagi hubungan warisan. Jika mati salah satu tidak ada lagi yang mewarisi dan diwarisi. Tetapi kalau dia hamil maka dia masih berhak mendapat tempat tinggal, mendapat nafkah dan pakaian, sampai anaknya lahir. Anak lahir dari si suami bebas membelanjai jandanya itu, kecuali untuk perbelanjaan anaknya. Dan itu pun ada perhitungan lain yang akan dijelaskan pula nanti. Adapun yang tidak hamil, kalau salah satu meninggal sementara dia dalam 'iddah, mereka berdua masih waris mewarisi sebagai aturan yang tersebut dalam al-Quran.
"Dan janganlah mereka itu kamu susahkan karena hendqk mengempitkan mereka." Jangan dibuat hatinya sakit selama dalam 'iddah itu dengan maksud agar dia kesal, lalu dengan tindakan sendiri dia minta keluar. Atau disakiti hatinya dengan berbagai sindiran, atau diusir dengan tidak semena-mena. Atau sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abidh Dhuhaa; "Dia talak dia dan dia menunggu 'iddah. Tetapi kira- kira dua hari 'iddah akan habis, si suami rujuk kembali, padahal bukan karena hendak berdamai, hanya karena hendak melepaskan dendam saja." Karena perempuan yang sedang dalam 'iddah itu sama dengan terkurung.
Terjadi juga perbincangan yang mendalam di antara Ulama tentang perempuan yang ditalak tiga.
Imam Malik dan Imam Syafi'i; "Wajib menyediakan tempat tinggalnya, tetapi tidak wajib nafkah."
Mazhab Imam Abu Hanifah; "Tempat tinggal dan nafkah keduanya dijamin."
Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rawaihi dan Abu Tsaur; "Nafkah tak wajib dibayar, rumah tak wajib disediakan."
Alasan mazhab yang ketiga ini, yang rumah tidak nafkah pun tidak ialah sebuah Hadis berkenaan dengan Fatimah bin Qais. Fatimah ini berkata; "Aku masuk menghadap Rasulullah s.a.w. bersama saudara dari suamiku, lalu aku berkata; "Ya Rasulullah! Aku telah diceraikan oleh suamiku, sedang saudaranya ini mengatakan bahwa saya tidak berhak lagi mendapat tempat tinggal dan tidak pula nafkah!"
Lalu Rasulullah menjawab; "Bahkan kau masih berhak mendapat rumah dan nafkah." Tetapi suadara suaminya itu berkata; "Tetapi dia diceraikan talak tiga!" Rasulullah menjelaskan lagi; "Jamin rumah dan nafkah hanyalah untuk talak yang bisa dirujuk lagi." Hadis ini dirawikan oleh ad-Daruquthni.
Di Kaufah terjadi pula pertikaian pendapat tentang ini al-Aswad bin Yazid dari Tabi'in berpegang kepada Hadis Fatimah ini; "Tidak berhak kediaman dan nafkah." Sebab itu ketika Fatimah datang ke Kaufah diminta cileh al-fuwad agar Fatimah mengulangi lagi Hadis itu kepadanya.
Hadis Fatimah binti Qais inilah pegangan Imam Ahmad. Tetapi ada lagi Hadis Fatimah binti Qais ini menurut riwayat Muslim, bahwa Fatimah binti Qais itu ditalak oleh suaminya di waktu Rasulullah masih hidup, sedang nafkahnya kurang dari yang patut. Setelah mengalami demikian dia berkata; "Demi Allah aku akan memberitahukan hal ini kepada Rasulullah s.a.w. Kalau memang saya berhak mendapat nafkah saya akan minta diberi yang sepantasnya, tetapi kalau aku tak berhak atasnya, tidaklah aku akan mengambilnya sepeser pun. Setelah hal itu aku sampaikan kepada Rasulullah, beliau berkata; "Kau tidak berhak mendapatkan nalkah dan tidak berhak mendapatkan tempat kediaman."
Tetapi Saiyidina Umar bin Khathab setelah jadi Khalifah, telah terjadi pula hal seperti ini. Lalu disampaikan orang kepada beliau Hadis Fatimah binti Qais ini. Tegas beliau berkata; "Aku tidak mau membuat suatu ketentuan untuk seluruh kaum Muslimin hanya berdasar kepada ucapan perempuan." Lalu beliau putuskan perempuan yang telah ditalak tiga itu masih berhak atas rumah dan nafkah.
Tetapi ekor masalah ini masih panjang. fuy-Sya'bi menceriterakan bahwa al-Aswad bin Yazid datang menemui dia lalu berkata; "Ya Sya'bi! Takwalah kepada Allah! Kembalilah engkau tinjau Hadis Fatimah bintl Qais itu! Umar bin Khathab telah memutuskan bahwa perempuan yang telah ditalak tiga berhak mendapat rumah tempat tinggal dan nafkah."
"Lalu aku jawab," kata asy-Sya'bi; "Saya tidak mau kembali dari sesuatu yang telah diriwayatkan kepadaku oleh Fatimah binti Qais dari Rasulullah s.a.w. sendiri."
"Dan jika mereka itu sedang hamil maka berilah naJkah atas mereka sehingga mereka lahirkan kandungan itu. " Ini adalah nash yang sharih, jelas bahwa isteri yang diceraikan sedang hamil itu, walaupun talak tiga, berhak tinggal dalam rumah yang disediakan suaminya atau bekas suaminya itu bersama-sama dengan nafkahnya. Sampai anak itu lahir. Moga-moga kalau 'iddahnya itu raj'i, (Talak baru sampai dua), timbullah sesal suaminya lalu dia rujuk sedang isteri dalam 'iddah. Dan kalau dia sempat rujuk sampai lahir, namun selahir anak, kalau ada persesuaian dia boleh nikah kembali dengan perempuan itu sesaat setelah anak lahir.
"Maka jika mereka menyusukan untuk kamu. " Karena yang empunya anak yang dia lahirkan itu ialah kamu sendiri, yaitu ayah dari anak itu. Tetapi perempuan itu akan menyusukan anak kamu sendiri, sedang dia sudah jadi jandamu! "Maka benkanlah upah mereka dan bermusyawaratlah di antara kamu dengan ma'ruf."
Meskipun isteri sendiri yang tid.,k bercerai dan meskipun menyusukan anak adalah keinginan dan kerinduan seorang ibu, namun ayat ini memberi ingat kepada tiap-tiap suami, bahwa anak yang
disusukannya itu adalah anakmu. Sebab itu apabila ibunya menyusukannya, maka itu adalah kepentinganmu jua! Ingatlah bahwa menurut kebiasaan dunia bahwa anak adalah dibangsakan kepada ayahnya. Misalnya seorang anak bemama Abdulmalik, hasil dari perkawinan seorang laki-laki bernama Abdulkarim dengan seorang perempuan bemama Shafiyah, maka anak itu disebut orang "Abdulmalik bin Abdulkarim" bukan Abdulmalik bin Shafiyah.
Dalam Surat 33 al-Ahzab ayat 5 sudah diberikan bimbingan yang jelas;
ىِف ْمأكأنَٰوْخِإضضَف ْمأهَءاضضَباَء ٓوضضأمَلْعَت ْمّل نِإضضَف ِهّلل َدضضنِع أطَسْق ۟ا ۚ ٱ َأ َوأه ْمِهِئاَباَءِل ْمأهوأعْد ٱ
ْمأكْيَلَع َسْيَلَو ْمأكيِلَٰوَمَو ِنيّدل ۚ ٱ
ٌحاسسَنُج اَميِف
َناضضَ كَو ْمأكأبوضضألأق ْتَدّمَعَت اّم نِكَٰلَو ِهِب مأت ۚ ۦ ْأضضَطْخَأ
اًميِحّر اًروأفَغ أهّلل ٱ
"Panggillah mereka dengan ayah mereka; itulah gang lebih adil di sisi Allah." Sedangkan isteri sendiri yang menyusukannya. Lagi patut tenaga isteri itu dihargai dengan nafkah istimewa, kononlah lagi bila perempuan itu telah kamu ceraikan, baik talak raj'i yang tidak rujuk lalu habis'iddah, ataupun talak Baa-in karena talak tiga yang tidak boleh rujuk lagi. Ayat ini menjelaskan bahwa perbelanjaan menyusukan anak itu, ditambah perbelanjaan mengasuh anak itu (hadhaanah), sampai dia besar adalah kewajiban si suami membayamya. Alangkah aibnya jika misalnya perempuan itu dapat bersuami lain, padahal si isteri menyusukan anak orang lain, yaitu suaminya yang bukan anak dari suaminya yang baru.
Kalau si isteri sudah bersuami lain, niscaya sudah sepatutnya bermusyawarat di antara kamu dengan ma'ruf, yaitu secara patut. Ataupun perempuan itu tidak dapat lagi berkesurutan dengan ayah anak itu, karena suatu halangan yang bisa saja terjadi. Musyawaratlah dengan baik mengambil keputusan berapa patutnya. Sehingga demikian jelas sekali bahwa seorang ummat Muhammad sadar akan tanggungiawabnya. "Dan jika kamu menemui kesulitan, maka bolehlah menyusukannya perempuan loin.
" (ujung ayat 6).
Kesulitan biasa saja terjadi; yaitu tentang menyusukan anak. Bisa saja terjadi si perempuan tidak mau menyusukan anaknya itu, karena dia telah diceraikan, maka si suami wajib mencari orang lain yang akan menyusukannya dengan upah juga. Si laki-laki tidak dapat memaksa jandanya dalam hal ini.
Atau suaminya yang baru keberatan menerima anak kecil itu. Maka wajiblah bagi yang empunya anak mencari perempuan lain untuk menyusukan. Dan jangan lupa ibu yang menyusukannya itu menjadi mahramnya, demikian juga saudara-saudara yang sepersusuan dengan dia.
Surat ath-ThalaQ : 7 ( Tafsir al-Azhar)
أهّلل أفّلَكأي َل أهّلل أهضضٰىَتاَء اّمِم ْقِفنأيْلَف أهأقْزِر ِهْيَلَع َرِدأق نَمَو ِهِتَعَس نّم ٍةَعَس وأذ ْقِفنأيِل ٱ ۚ ٱ ۥ ۖ ۦ اًرْسأي ٍرْسأع َدْعَب أهّلل ألَعْجَيَس اَهٰىَتاَء اَم ّلِإ اًسْفَن ٱ ۚ
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Dengan pangkal ayat 7 ini jelaslah bahwa seorang suami wajib memberi nafkah atau perbelanjaan untuk isterinya, menurut kemampuannya. Jika ia orang yang mampu berilah nafkah menurut kemampuan.
"Dan orang yang terbatas rezekinya," yaitu orang yang terhitung tidak mampu. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga ungkapan ini; "Kemampuan terbatas." Dalam bahasa Minangkabau orang yang miskin biasa mengungkapkan kemiskinannya dengan perkataan "Umurku panjang rezeki diagakkan." Mereka yang kemampuan terbatas itu pun wajib juga memberikan nalkah menurut keterbatasannya. "Tidaklah Allah memakso seseorqng melainkan sekedar apa yang diberikanNya." Nasib orang di dunia ini tidak sama, kaya atau miskin, mampu atau berkekurangan, namun makan disediakan Tuhan juga; "Allah akan menjadikan kelapangan sesudah kesempitan." (ujung ayat 7)
Dalam ayat ini Allah menunjukkan kasih-sayang dan pengharapan yang tidak putus-putusnya bagi orang yang beriman. Itulah sebabnya pada tiap ayat diperingatkan supaya kehidupan berumahtangga dipatrikan dengan takwa kepada Allah. Biarlah orang kaya berbelanja menurut kekayaannya, namun orang miskin berbelanja pula menurutrezeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Di ujung ayat diberikan Tuhan lagi pengharapan, bahwa kalau sekarang dalam keadaan susah, moga-moga lain hari berganti dengan kemudahan, karena kalau masih hidup di dunia ini, akan ada saja peredaran nasib yang akan dilalui, asal manusia jangan berputusasa.
Namun yang pokok ialah bahwa takwa jangan sekali-kali dilepaskan!
Di mana letaknya kemudahan atau kelapangan? Apakah pada hartabenda?
Pengalaman hidup manusia menunjukkan bahwa hartabenda bukanlah faktor pertama yang menentukan ketenteraman rumahtangga. Memang takwa itulah yang lebih utama. Banyak orang yang kelihatan miskin hidupnya, gajinya kecil, pangkatnya rendah tetapi rumahtangganya tenteram. Sebab dia
dan seisi rumahtangganya memakai sifat qano'ah mencukupkan dengan apa yang ada. Padahal pegawai- pegawai tinggi yang membawahinya selalu dalam keadaan kesulitan dan susah, padahal gajinya berpuluh kali lipat dari gaji pegawai rendahan tadi.
Imam asy-Syafi'i berkata; "Berapa nafkah rumahtangga mesti dikeluarkan? Yang bersangkutan sendirilah yang menentukan. Dia tidak dapat dimasuki oleh ijtihad hakim atau fatwa mufti. Ketentuan dan fbatas hinggaannya hanyalah keadaan si suami baik kelapangan atau kesusahannya. Ketentuan belanja si isteri suamilah yang menentukan. Bagi seorang suami tidaklafi berbeda perbelanjaan isterinya, baik atau anak pengawal peribadi Khalifah." anak Khalifah
Demikianlah ada tersebut, bahwa ketika perempuan-perempuan berkumpul di hadapan Rasulullah akan mengadakan bai'ot kesetiaan beragama. Banyaklah nasihat yang diberikan Rasulullah s.a.w. kepada mereka; jangan mempersekutukan Allah dengan yang lain, jangan mencuri, jangan berzina dan jangan membunuh anak, jangan mengarang-ngarang dusta dan jangan mendurhaka pada yang ma'ruf, maka bertanyalah Hindun isteri Abu Sufyan yang dengan takluknya Makkah telah masuk Islam. Pertanyaannya ialah, bahwa dia kerapkali mengeruk-ngeruk saku Abu Sufyan, karena Abu Sufyan itu kadangkadang terlalu kikir. Hindun bertanya; "Apakah perbuatanku itu termasuk mencuri juga?"
Sebelum Rasulullah menjawab Abu Sufyan yang turut hadir telah menjawab lebih dahulu; "Telah aku ridhakannya, ya Rasulullah!"
ِفوُرْعَمْلاِب ِكِدَلَوِلَو ِكْيِفْكَي اَم يِذُخ
"Ambillah sekedar cukup untuk engkau dan anak engkau dengan ma'ruf."
Dalam jawab Nabi ini pun tidak juga ditentukan berapa patutnya nafkah rumahtangga itu.
Nampaknya selain ukuran kemampuan suami ialah hati lapang kedua belah pihak karena takwa kepada Tuhan.
Surat ath -Thalaq ayat 6 (Tasir al-Munir)
ِتَٰل أأ ّنأك نِإَو ّنِهْيَلَع وأقّي َضضضأتِل ّنأهوّراَضأت َلَو ْمأكِدْجأو نّم مأتنَكَس أثْيَح ْنِم ّنأهوأنِكْس ۟و ۚ ۟ا َأ وأرِمَتْأَو ّنأهَروأجأأ ّنأهوأتأضَف ْمأكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف ّنأهَلْمَح َنْعَضَي ٰىّتَح ّنِهْيَلَع وأقِفن َأَف ٍلْمَح
۟ا ۖ ۚ ۟ا
ٰىَرْخ أأ أهَل أعِضْرأتَسَف ْمأتْرَساَعَت نِإَو ٍفوأرْعَمِب مأكَنْيَب ٓۥ ۖ
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Qiraa’aat
(
۟ا وأرِمَتْأَو
) Warsy, as-Susi, dan Hamzah secara waqaf membaca (۟ا وأرِمَتْأَو
)l'raab
kalimat (
ّنأهوأنِك ْضضس َأ
)ini merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan, yakni kaifa nattaqillaaha fiihinna? (bagaimana cara kami bertakwa kepada Allah SWT menyangkut para istri yang ditalak itu?).(
أكِدْجأو نّم
) Kalimat ini berkedudukan sebagai 'athaf bayaan untuk kalimat (مأتنَكَس أثْيَح
) atau sebagai badal darinya dengan mengulang kembali penyebutan huruf jarr dan mengasumsikan mudhaaf, yakni amkinati so'atikum, laa maa duunahaa (di tempat tinggal yang setara dengan level kemampuan ekonomi kalian, bukan di bawahnya).
Mufradaat Al-Lughawiyah
(
ّنأهوأنِكْس َأ
)tempatkanlah para istri yang ditalak yang sedang menjalani masa iddah. (أثْيَح ْنِم
مأتنَكَس)
di sebagian rumah tempattinggal kalian dan setara dengan level tempat tinggal kalian.(نّم
مأكِدضضْجأو )
dari kemampuan yang kalian miliki dan berada dalam jangkauan kemampuan dan kesanggupan kalian. (ّنأهوّراَضأت )
dan janganlah kalian mempersempit mereka dalam nafkah dantempat tinggal yang kalian berikan untuk mereka.(
ّنِهْيَلَع وأقّيَضأتِل ۟ا
) supaya kalian membuat mereka susah dan tidak nyaman dalam bertempat tinggal serta kekurangan nafkah sehingga membuat mereka tidak betah dan ingin keluar serta membuat mereka ingin menebus diri mereka dari kalian. (ٰىّتَح
ّنأهَلْمَح َنْعَضَي ۚ
) hingga mereka melahirkan kandungannya fbersalin) sehingga ketika itu mereka sudah keluar dari iddah mereka.(مأكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف ْ
) maka jika mereka menyusui anak-anak kalian hasil dari pernikahan kalian dengan mereka sebelumnya setelah berakhirnya ikatan dan jalinan perkawinan antara kalian dengan mereka. (ّنأهَروأج أأ ّنأهوأتأضَف
) maka berilah mereka upah atas penyusuan tersebut. (ٍفوأرْعَمِب مأكَنْيَب وأرِمَت ۟ا ْأو
) dan hendaklah kalian saling menyuruh dan meminta dengan baih lembut, dan dilanda oleh spirit positif dalam hal penyusuan dan upah, demi menjaga kemaslahatan ibu, anak dan kondisi ayah. Ayah tidakboleh kikir dan terlalu perhitungan, dan pada waktu yang sama ia tidak boleh dipersulit, dipersempit dan diperberat.(( ْمأتْرَساَعَت نِإَو
dan jika terjadi ketidaksepahaman di antara kalian dalam penyusuan, sebagian kalian mempersempit sebagian yang lain dalam hal upah, kalian mendapati kesulitan dan perselisihan, sehingga ayah tidak mau memberikan upah dan ibu tidak mau menyusui. (ٰىَرْخ أأ أهَل أعِضْرأتَسَف ٓۥ )
boleh jika ada perempuan lain yang akan menyusui anak dan ibu tidak boleh dipaksa untuk menyusui. Di sini tersirat makna teguran kepada ibu atas sikap mempersulit dan memperberat.Tafsir dan Penjelasaan surat ath-Thalaq :
Tempatkanlah dan sediakanlah tempat tinggal bagi para istri yang ditalak dengan tempat tinggal yang serupa dengan tempat tinggal kalian sesuai dengan kondisi kalian dan sesuai dengan tingkat kemampuan dan kesanggupan kalian, meskipun itu di sebuah bilik dari bilik-bilik rumah yang kalian tempati. fanganlah kalian menimpakan kemudharatan terhadap mereka dalam hal nafkah dan tempat tinggal, sehingga kalian membuat mereka tidak nyaman dan terpaksa keluar meninggalkan tempat tinggalnya atau melepas hak nafkahnya.
Kata al-Wujdu maknanya adalah alGhinaa wal maqdurah [kekayaan dan tingkat kemampuan ekonomi). Ini adalah penjelasan tentang apa yang harus diperoleh oleh para perempuan yang ditalak berupa hak tempat tinggal yang layak sesuai dengan kondisi ekonomi suami karena tempat tinggal adalah salah satu bentuk nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami. Apabila ada seorang suami menalak istrinya, suami wajib menyediakan tempat tinggal baginya hingga masa iddahnya berakhir tanpa melakukan
tindakan-tindakan yang menyusahkannya menyangkut tempat tinggal dan nafkah. Dalam arti harus menyediakan tempat tinggal dan nafkah yang layak sesuai dengan tingkat kemampuan ekonomi suami.
"Jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandunganny a." (ath-Thalaaq: 6)
Apabila istri yang ditalak sedang hamil, suami wajib memberinya nafkah sampai ia melahirkan kandungannya. Tidak ada perselisihan di antara ulama tentang kewajiban nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang ditalak yang sedang hamil. Ulama Hanafiyyah mengeneralisasi hukum ini dengan mengatakan bahwa nafkah dan tempat tinggal wajib dipenuhi bagi setiap istri yang ditalak meskipun ia adalah mabtuutah (talak yang sudah tidak ada rujuk lagi di dalamnya, talak baa'in), sekalipun ia tidak sedang dalam kondisi hamil. Hal ini berdasarkan ayat di atas, (
ّنِهْيَلَع وأقّيَضأتِل ّنأهوّراَضأت َلَو ۟ا )
dan tidakmemberi nafkah adalah termasuk kemudharatan yang paling besar. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a., bahwasanya ia berkata," Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda menyangkut perempuan mabtuutah, "la berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal." Karena hal itu adalah sebagai imbalan istri harus tetap tinggal di rumahnya selama masa iddah (a/- Ihtibaas). Dalam hal ini perempuan yang hamil maupun tidak adalah sama. Akan tetapi imam Ahmad mengatakan bahwa hadits tersebut tidak shahih dari Umar r.a..
Sementara itu, imam Malik dan imam asySyafi'i berpendapat bahwa istri yang ditalak tiga hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, namun ia tidak memiliki hak mendapatkan nafkah kecuali jika ia dalam keadaan hamil. Karena ayat ini,
( لْمَح ِتَٰل أأ ّنأك نِإَو ٍ ۟و
) adalah untuk perempuan yang ditalak baa'in yang sedang hamil, buktinya perempuan yang ditalak raj'i berhak mendapatkan nafkah, baik apakah ia sedang hamil maupun tidak. Dari itu, mereka mengatakan, ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa hak memperoleh nafkah hanya bagi perempuan yang menjalani iddah talak baa'in yang dalam keadaan hamil. Hadits-hadits yang ada menguatkan pendapat ini.Pendapat imam Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur adalah bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak memiliki hak nafkah dan tempat tinggal. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan imam Ahmad dari hadits Fathimah binti Qais yang ditalak tiga oleh suaminya. Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi kamu." Daruquthni menjelaskan dari al-Aswad bin Yazid, ia berkata, "Ketika sampai kepada Umar r.a. perkataan Fathimah binti Qais, Umar r.a. berkata, "Kami tidak meluluskan perkataan seorang perempuan menyangkut kaum Muslimin." Umar
r.a. pun menetapkan hak nafkah dan tempat tinggal bagi perempuan yang ditalak tiga. Akan tetapi, Daruquthni mengatakan,'As-Sunnah sudah pasti berada di tangan Fathimah.
" Selanjutnya, Allah SWT memerintahkan untuk membayarkan upah atas penyusuan, "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik." (ath-Thalaq:6)
Apabila setelah itu para istri yang kalian talak menyusui anak-anak kalian yang mereka lahirkan, berilah mereka upah menyusui jika mereka setuju dengan ujrah mitsl [upah standar). Saling memerintah, menyuruh, meminta, dan bermusyawarahlah kalian wahai para suami dan istri yang terjadi perceraian dan talak di antara kalian, dengan baik, patut, dan benar menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan anak dengan dilatarbelakangi oleh semangat menjaga kemaslahatan anak kondisi kesehatan, dan penghidupannya, tanpa menimpakan mudharat, tanpa saling memberatkan dan mempersulit, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat,
"Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya." (al-Baqarah: 233) "
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." (al- Baqarah: 233)
Ayat ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa biaya upah menyusui bagi anak-anak adalah menjadi kewajiban dan tanggung jawab para suami, sedangkan hak perawatan adalah menjadi tanggung jawab para istri.
"Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya." (ath-Thalaaq: 6) .
Jika kalian bersikap saling tidak sepaham, berselisih, tidak memiliki titik temu, tidak mau saling memaklumi, dan tidak bisa mencapai kata sepakat menyangkut penyusuan, saling mempersulit, bapak tidak setuju dengan jumlah upah yang diminta dan diinginkan oleh ibu, sementara ibu tidak mau menyusui kecuali dengan upah yang diinginkannya, bapak mengupah perempuan lain untuk menyusui anak. Di sini tersirat teguran terhadap ibu yang bersikap terlalu keras dalam menuntut dan tidak mau bersikap toleran dengan ayah. Hal itu adalah jika memang anak mau disusui oleh perempuan lain. Jika tidak, wajib bagi ibu untuk menyusui.
Surat ath- Thalaq ayat 7 ( Tafsir al-Munir)
أهّلل أفّلَكأي َل أهّلل أهضضٰىَتاَء اّمِم ْقِفنأيْلَف أهأقْزِر ِهْيَلَع َرِدأق نَمَو ِهِتَعَس نّم ٍةَعَس وأذ ْقِفنأيِل ٱ ۚ ٱ ۥ ۖ ۦ اًرْسأي ٍرْسأع َدْعَب أهّلل ألَعْجَيَس اَهٰىَتاَء اَم ّلِإ اًسْفَن ٱ ۚ
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Mufradaat al-lughawiyah
ِهِتَعَس نّم ٍةَعَس وأذ ْقِفنأيِل
ۦ
hendaklah orang yang meliliki kondisi ekonomi lapang memberi nafkah secaralayak kepada istri yang ditalak dan perempuan yang menyusui sesuai dengan taraf kemampuan ekonomi yang dimilikinya.ْقِفنأيْلَف ۥ أهأقْزِر ِهْيَلَع َرِدأق نَمَو
dan barang siapa yang disempeitkan rezekinya, yaitu orang yang memiliki kesulitan ekonomi, hendaklah ia memberi nafkah sesuai dengan kadar kesanggupannya.أهّلل أهٰىَتاَء اّمِم ْقِفنأيْلَف ٱ
Hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah SWT kepada dirinya sesuai dengan kadarnya.اَهٰىَتاَء اضضَم ّلِإ ا ًضضسْفَن أهّلل أفّلَكأي َل ٱ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar ukuran banyak sedikitnya rezeki yang dia berikan kepadanya. Disi tersirat pengertian yang menghibur dan menentramkan hati orang yang baru yang mengalami kesulitan ekonomi, Allah SWT pun menjanjikan kelapangan kepadanya seperti yang disebutkan dalam lanjutan ayat berikut ini. اًر ْسسسُيٍرْسُعَدْعَبُ للٱ ُلَع ْجَيَس Allah akan mengganti kesulitan dan kesmpitan dengan kemudahan dan kelapangan, cepat atau lambat, sekarang, atau nanti.Tafsir dan penjelasan
Hendaklah bapak atau wali anak memberi nafkah kepada anak menurut kemampuan, kekuatan dan kesanggupannya. Barang siapa yang miskin atau disempitkan rezekinya, hendaklah ia memberi nafkah dari rezeki yang berikan Allah SWT kepadanya sesuai dengan ukuran kemampuannya, tidak lebih dari itu. Hal ini sebagai mana firman Allah SWT dalam ayat,
“ allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ( Al-Baqarah : 286)
Sedangkan Allah berfirman,
“ allah tidak membebani seseorang melaikan ( sesuai) dengan apa yang diberikan kepadanya.
Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan rezeki yang Dia berikan kepadanya, Allah SWT tidak membebani orang miskin untuk menafkahi istri dan keluatganya seperti orang kaya melebihi batas kemampuan dan kesanggupan kondisi ekonominya.
Selanjutnya, Allah SWT menjanjikan anugerah dan karunia.
Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan ( Ath-Thalaaq :7)
Allah SWT akan menjanjikan keluasan, kelapangan, dan kecukupan setelah kesempitan dan kekurangan.
Ini adalah janji dari Allah SWT, dan janji-Nya pasti haq, benar, dan pasti ditepati. Ini merupakan beritan gembira tentang kelonggaran, kelapangan dan kemudahan setelah kesempitan sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat:
اًرْسأي ِرْسأعْلا َعَم ّنِإ , اًرْسأي ِرْسأعْلا َعَم ّنِإَف
maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” ( al-Insyiraah: 5-6).
Surat at Tahrim ayat 6 (Tafsir Al-Misbah)
ٌةَكِئَٰٓلَم اَهْيَلَع أةَراَجِحْل َو أساّنل اَهأدوأقَو اًراَن ْمأكيِلْهَأَو ْمأكَسأفنَأ ٓوأق وأنَماَء َنيِذّل اَهّي ٱ ٱ ۟ا ۟ا ٱ َأَٰٓي
َنوأرَمْؤأي اَم َنوألَعْفَيَو ْمأهَرَم َأ اَم َهّلل َنوأصْعَي ّل ٌداَدِش ٌظَلِغ ٱ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Dalam suasana peristiwa yang terjadi di rumah tangga Nabi sw seperti diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu, ayat di atas memberi tuntunan kepada kaum beriman bahwa: Hai orang-orangyang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Di atasnya yakni yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apayang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan — kendati mereka kasar — tidak kurang dan tidak juga berlebih dari apa yang diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.
Dalam penyiksaan itu, pata malaikat tersebut senantiasa juga berkata: Hai orang-orang kafir yang eggan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu mengemukakan uzur yakni mengajukan dalih untuk memperingan kesalahan dan siksa kamu pada hari ini. Karena kirn bukan lagi masanya untuk memohon ampun atau berdalih, ini adalah masa jatuhnya sanksi, sesungguhnya kamu saat ini hanya diberi balasan sesuai apa yang kamu dahulu ketika hidup di dunia selalu kerjakan.
Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah.
Ayat di atas walau secara redsksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (Ibu dan ayah) sebagaimana ayat- ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masingmasing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.
Bahwa manusia menjadi bahan bakar neraka, dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti manusia terbakar dengan sendirinya. Menurutnya ini sefalan dengan QS. al-Mu’min [40]: 72.
Malaikat yang disifati dengan (
ظلغ)
gilah/kasar bukanlah dalam arti kasar jasmaninya sebagaimana dalam beberapa kitab tafsir, karena malaikat adalah makhluk-makhluk halus yang tercipta dari cahaya.Atas
dasar ini, kata tersebut harus dipahami dalam arti kasar perlakuannya atau ucapannya. Mereka telah diciptakan Allah khusus untuk menangani neraka. “Hati” mereka tidak iba atau tersentuh oleh rintisan, tangis atau permohonan belas kasih, mereka diciptakan Allah dengan sifat sadis, dan karena itulah maka mereka (
دادش
) syidad/keras-keras yakni makhluk-makhluk yang keras hatinya dan keras pula perlakuannya.At-Tahrim ayat 6 Tafsir al-Azhar
ٌةضضَ كِئَٰٓلَم اضضَهْيَلَع أةَراضضَجِحْل َو أساّنل اضضَهأدوأقَو اًراضَن ْمأكيِلْهَأَو ْمأك َضضسأفنَأ ٓوضضأق وأنَماَء َنيِذّل اَهّي ٱ ٱ ۟ا ۟ا ٱ َأَٰٓي
َنوأرَمْؤأي اَم َنوألَعْفَيَو ْمأهَرَم َأ اَم َهّلل َنوأصْعَي ّل ٌداَدِش ٌظَلِغ ٱ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Peliharalah Dirimu Dan Keluargamu Dari Api Neraka
Sesudah Tuhan memberikan beberapa bimbingan tentang rumahtangga Rasulullah s.a.w., maka Tuhanpun menghadapkan seruanNya kepada orangorang yang beriman bagaimana pula sikap mereka dalam menegakkan rumahtangga.
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah difi-diri kamu dan keluarga keluarga kamu dari api neraka." (pangkal ayat 6). Di pangkal ayat ini jelas bahwa semata-mata mengakui beriman saja belumlah
cukup. Iman mestilah dipelihara dan dipupuk, terutama sekali dengan dasar Iman hendaklah orang menjaga keselamatan diri dan seisi rumahtangga dari api neraka. "Yang alat penyalanya ialah manusia dan batu." Batu-batu adalah barang yang tidak berharga yang tercampak dan tersebar di mana-mana. Pada bukit-bukit dan munggu-munggu yang bertebaran di padang pasir terdapatlah beronggok-onggok batu.Batu itulah yang akan dipergunakan untuk jadi kayu api penyalakan api neraka.
Manusia yang durhaka kepada Tuhan, yang hidup di dunia ini tiada bemilai karena telah dipenuhi oleh dosa, sudah samalah keadaannya dengan batu-batu yang berserak-serak di tengah pasir, di munggu munggu dan di bukit-bukit atau di sungai-sungai yang mengalir itu. Gunanya hanyalah untuk menyalakan api; Yang di atasnya ialah malaikat-malaikat yang kasar lagi keras sikap." Disebut di atasnya karena Allah memberikan kekuasaan kepada malaikat-malaikat itu menjaga dan mengawal neraka itu, agar apinya selalu benyala, agar alat penyalanya selalu sedia, baik batu ataupun manusia. Sikap malaikat- malaikat pengawal dan penjaga neraka mesti kasar, tidak ada lemah lembutnya, keras sikapnya, tidak ada tenggang-menenggang. Karena itulah sikap yang sesuatu dengan suasana api neraka sebagai tempat yang disediakan Allah buat menghukum orang yang bersalah. “ tidaklah mendurhakai Allah pada apa yang di perintahkan, kepada mereka dan mereka kerjakan apa di suruhkan ( ujung ayat).
Ujung ayat menunjukkan bagaimana keras disiplin dan peraturan yang dijalankan dan dijaga oleh malaikat-malaikat itu. Nampaklah bahwa mereka hanya semata-mata menjalankan perintah Allah dengan patuh dan setia, tidak membantah dan tidak merubah sedikit pun.
Itulah yang diperingatkan kepada orang yang beriman. Bahwa mengakui beriman saja tidaklah cukup kalau tidak memelihara diri janganlah sampai esok masuk ke dalam neraka yang sangat panas dan siksa yang sangat besar itu, disertai jadi penyala dari api neraka.
Dari rumahtangga itulah dimulai menanamkan Iman dan memupuk Islam. Karena dari rumahtangga itulah akan terbentuk ummat. Dan dalam ummat itulah akan tegak masyarakat Islam.
Masyarakat Islam ialah suatu masyarakat yang bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap alam.
Oleh sebab itu maka seseorang yang beriman tidak bolehlah pasip, artinya berdiam diri menunggu-nunggu saja. Nabi sudah menjelaskan tanggungjawab dalam menegakkan Iman menurut Hadis shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim.
Yang mula-mula sekali diperingatkan ialah supaya memelihara diri sendiri lebih dahulu supaya jangan masuk neraka. Setelah itu memelihara seluruh isi rumahtangga, isteri dan anak-anak.
Dengan ayat ini dijelaskan bahwa Iman itu mula ditumbuhkan ialah pada diri pribadi. Kemudian diri pribadi tadi dianjurkan mendirikan rumahtangga. Diperintahkan nikah kawin menurut peraturan yang telah tertentu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan dipertalikan, diikatkan oleh 'aqad nikah, atau ijab dan Kabul.Didalam Surat ar-Rum ayat 21ditrangkan bahwa salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah ialah bahwa diciptakan Tuhan untuk kamu isteri-isteri kamu, supaya kamu merasa tenteram dengan isteri itu, dan dijadikan oleh Tuhan di antara kamu berdua mawaddah yang berarti cinta dan rahmah yang berarti kasih-sayang, yaitu dipadukan hati dimesrakan hidup suami isteri.Dan dalam pergaulan itulah Allah mengumiakan anak-anak, laki-laki dan perempuan, sebagaimana tersebut pada Surat 4, an-Nisa', ayat 1.sampai bertebarlah manusia, kali-laki dan perempuan dimuka bumi ini.
Di dalam Surat 30, ar-Rum ayat2l diterangkanlah bahwa salah satu dari tanda-tanda (ayat)
ٌلوأؤ ْضضسَم َوضضأهَو ٍعار ِساّنلا ىَلَع يِذّلا أماضضَمِ ْلاَف ِهضضِتّيِعَر ْنَع ٌلوأؤ ْضضسَم ْمأكّلأكَو ٍعاَر ْمأكّلأك ألوأؤْسَم َوأهَو ِهِتْيَب ِلْهَأ ىَلَع ٍعاَر ألأجّرلاَو ْمأهْنَع يراضضخبلا هاور) اضضَهِتّيِعَر ْنَع ٌلوأؤ ْضضسَم َوضضأهَو اضضَهِجْوَز ِتْيَب يِف ٌةضضَيِعاَر أةَأْرضضَمْلاَو ْمأهْنَع (ملسمو
"Tiap-tiap kamu itu ialah penggembala dan tiap-tiap kamu akan ditanyai tentang apa yang digembalakannya. lmam yang mengimami orang banyak adalah penggembala, dan dia akan ditanyai tentang orang-orang yang digembalokannya itu. Dan seorang laki-loki adalah penggembala terhadap keluarganya, dan dia pun akon ditanyai tentang penggembalaannya. Dan seorang perempuan adalah penggembala dalam rumah suaminya, dan dia pun akan ditanyai tentang yang digembalakannya.”
Dalam Hadis yang shahih ini nyatalah tanggungjawab yang terletak di atas pundak tiap-tiap orang menurut ukuran apa yang ditanggungjawabinya' akan ditanya tentang penggembalaannya terhadap ahlinya, yaitu isteri dan anak-anaknya. Karena yang disebut ahli itu ialah seisi rumah yang terletak dalam tanggungjawab. Kadang-kadang seseorang memikul tanggungiawab sampai dua tiga. Jika ia Imam dalam satu masyarakat dan dia pun suami dalam satu rumah, maka keduanya pun di bawah tanggungjawabnya.
Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, disegani, hendaklah perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anak dan isterinya. Dapatlah hendaknya dia jadi kebanggaan dan kemegahan bagi keluarga. Dan itu belum cukup, maka hendaklah dia membimbing isterinya, menuntunnya;
ِءاَسّنل ىَلَع َنوأمّٰوَق ألاَجّرل ٱ ٱ
“Laki-laki adalah memimpin bagi perempuan-perempuan.”
Lantaran itu maka sejak dari masa mencari jodoh, hal ini sudah patut diperhatikan. sebab itu maka salah seorang Imam ikutan ummat, yaitu Imam Malik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan peraturan kat'a'ah atau kulu' tentang mencari pasangan suami isteri, bagi beliau ialah agama. Kalau seorang laki-laki hendak mencari calon isteri utamakanlah dari keluarga yang menghormati nilai-nilai agama. Dengan sebab sekufu', yaitu sama pandangan keagamaan, mudahlah bagi si suami memimpin isterinya, terutama dalam pegangan hidup beragama. Nabi bersabda;
ْمِهْيَلِإ اوأحِكن َأَو َءاَفْكَْلا اوأحِكْناَو ْمأكِقْطأنِل اوأرّيَخَت
"Pilih-pilihlah tempat mencurahkan nuthfah kamu dan nikahilah perempuan yqng sekufu' dan nikahkanlah kepada laki- laki yang sekuJu' pula." (Riwayat Bukhari, Ibnu Majah dan Irnam Ahmad bin Hanbal)
Setelah ayat perintah agar seorang Mu'min memelihara diri dan ahlinya dari nyala api neraka ini turun, bertanyalah Saiyidina Umar bin Khathab ke-pada Rasulullah s.a.w.; "Kita telah memelihara diri sendiri dari api neraka ?
Rasulullah s.a.w menjawab:
أهّللا َرَم َأ اَمِب ْمأهَنوأرأمْأَتَو أهّللا أمأكاَهَن اّمَع ْمأهَنْوَهْنَت
"Kamu laranglah mereka dari segalo perbuatan yang dilarang Allah dan kamu suruhkanlah mereka mengeriakan apa yang diperintahkan Allah." (Riwayat al-Qusyairi, dalam tafsir al-Qurthubi)
Berdasarkan kepada yang demikian maka hendaklah dianjurkan, dipimpin diaiak dan diajar isteri- isteri itu sembahyang, puasa, dan adab sopan-santun agama yang lain.
Dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Muslim ada disebutkan bahwa kalau Nabi akan mengerjakan shalat witir (tahajjud yang diakhiri dengan witir), beliau bangunkan pula isterinya. Dicatat oleh Muslim ucapan beliau yang dirawikan oleh Aisyah;
أة َشِئاَع اَي يِرِتْو َأَف يِنوأق
"Bangunlah dan beruitirlah hai Aisyah."
Seakan-akan terlihat oleh kita bagaimana Nabi s.a.w. yang bersikap halus dan lemah lembut, dengan isterinya itu membangunkan Aisyah yang usianya masih muda, untuk sama-sama mengerjakan
tahajjud, rasa-rasa terlihat oleh kita Aisyah menguap melawan matanya yang mengantuk, namun dia terus juga mengambil wudhu' untuk sembahyang atau mandi janabat lebih dahulu, lalu berwitir pula.
Malahan ada sabda Nabi pula yang dirawikan oleh an-Nasa'i:
اضضههجو َشَر ْمأقَت ْمَل ْنِإضضَف أهضضألْه َأ َظضضَقْيَأَف ىّل َضضصَف ِلضضْيّللا َنِم َماضضَق َأَرضضْما أهللا محر
ْت ّضضضَر ْمأقَي ْمَل اَذِإضضَف اضضَهَجور ْتَظَقْي َأَو يّل َضضصأت ِلْيّللا َنِم ْتَماَق ًةَأَرْما أهللا َمحَر ، ِءاَمْلاِب ( يئاسنلا هاور) َءاَمْلا ِهِهْجَو ىَلَع
"Rahmat Allah atas seseorang yang bangun pada sebahagian malam lalu sembahyang. Lalu dibangunkannya pula ahlinya (keluarganya). Kalau dia tidak mau bangun lalu dipercikkan air di mukanya! Dan rahmat Allah pula bagi seorang perempuan yang bangun di sebahagian malam sembahyang, lalu dibangunkannya pula suaminya, dan kalau tidak mau banguit dipercikkannya pula air di mukanya."
Meskipun siram menyimm atau percik memercikkan air, bukanlah karena memaksa. Karena kita pun maklum bahwa sembahyang tahajjud dan sembahyang witir tidaklah sembahyang wajib. Kalau mereka percik memercikkan air suami isteri bukanlah karena memaksa, melainkan karena mendalamnya kasih sayang. Kalau bukanlah karena mendalamnya kasih-sayang, tidaklah Rasulullah s.a.w. akan mengatakan dalam permulaan ucapannya "Rahimallahu," rahmat Allah atas laki-laki dan seterusnya itu.
selanjutnya bilamana kedua suami isteri dianugerahi oleh Allah anak, maka menjadi kewajiban pulalah bagi si ayah memilihkan nama yang baik buat dia, mengajamya menulis dan membaca, dan jika telah datang waktunya, lekas peristerikan jika laki-laki dan lekas persuamikan jika perempuan.
Dan dianjurkan pulalah menyembelihkan 'ogiqah buat anak itu jika usianya sampai tujuh hari.
Tetapi kalau telah lepas tujuh hari perbelanjaan buat 'aqiqah belum ada, 'aqiqahkanlah di mana ada waktu kelapangan. Dan bersabda Rasululah s.a.w.;
عجاضملا يف مهنيباوأقَرَفَو ِر ْشَعِل اَهْيَلَع ْمأهوأبِرْضاَو ِعْبَسِل ِة َلّصلاِب ْمأكَءاَنْب َأ اوأرأم
( دواد وبأ هاور)
Suruhlah anak-anakmu sembahnyang jika usianya tujuh tahun dan pukullah jika sembahyang itu di tinggal pukullah jika sembohyang itu ditinggalkannya kalau usianya sudah 10 tahun dan pisahkanlah tempat-tempat tidur di antara mereka." (Riwayat Abu Daud)
Sebagaimana telah kita katakan sejak semula tadi, dari rumahtangga, atau dari gabungan hidup suami isteri itulah ummat akan dibentuk. Suami isteri mendirikan rumahtangga, menurunkan anak-anak dan cucu, diiringkan oleh para pembantu dan pelayan. Dari sini akan bergabung menjadi kampung, teratak dan dusun, kota dan negeri, akhimya sampai pada suatu negara dan umumnya ialah masyarakat.
Anak laki-laki dari suatu keluarga akan dikawinkan dengan anak perempuan dari keluarga yang lain.
Maka dapatlah kita maklumi betapa hebat dan besamya gelombang perusak masyarakat Islam itu yang kita hadapi di zaman kita ini. Pemuda dan pemudi bebas bergaul, sedang orang tuanya, ibu dan bapaknya sudah sangat
lemah bahkan ada yang telah padam semangat beragama itu pada dirinya. Dalam zaman sebagai sekarang kian banyak laki-laki yang tidak memperdulikan lagi sembahyang lima waktu dan isterinya pun tidak lagi mengetahui perbedaan mandi biasa dengan mandi janabat, kehidupan kebendaan, yang hanya terpukau kepada kemegahan yang dangkal menyebabkan rumahtangga tidak bercorak Islam lagi, dan anak-anak dari hasil pergaulan seperti itu menjadi kosong. Mudah saja mereka berpindah agama karena ingin kawin.
perkawinan dilangsungkan sari cinta dan belas kasihan yang mumi sudah irabis. Keislaman sudah hanya tingal dalam catatan kartu penduduk saja. Inilah yang diancam dengan api neraka, yang akan dinyalakan dengan
manusia dan batu-batu, dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang kasar dan keras sikapnya, tidak pemah merubah apa yang diperintahkan Allah dan patut melaksanakan apa yang diperintahkan.
Surat at- Tahrim ayat 6 ( Tafsir al- Munir)
ٌةَكِئَٰٓلَم اَهْيَلَع أةَراَجِحْل َو أساّنل اَهأدوأقَو اًراَن ْمأكيِلْهَأَو ْمأكَسأفنَأ ٓوأق وأنَماَء َنيِذّل اَهّي ٱ ٱ ۟ا ۟ا ٱ َأَٰٓي
َنوأرَمْؤأي اَم َنوألَعْفَيَو ْمأهَرَم َأ اَم َهّلل َنوأصْعَي ّل ٌداَدِش ٌظَلِغ ٱ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
I’raab
۟۟ آوأق ْمأكَسأفن َأ
kata (آوأق
) adalah fiil amr ( kata kerja perintah) dan waqaa yaqii. Asalnya adalah luqiyuu mengikuti wazan if’iluu lalu huruf wawu dibuang sebagaimana huruf wawu tersebut dibuang dalam bentuk muhaarinya karena terletas antar huruf ya dan dab harakat kasrah.َهّلل ْمأهَرَمَأ اَم ٱ
َنوأصْعَي
َ للٱ
)
Menjadi badal dari lafzul jalaalah
ْمأهَرَم َأ اَم)
kalimat
Balaghah
ْمأكَسأفن َأ ٓوأق ْمأكيِلْهَأَو ًراَن ۟ا
disini terdapat majaz mursal delangan ‘alaaqah musabbabiyah, yaitu menyebutkan akibat, namun yang dimaksudkan adalah sebab. Yakni, konsistenlah kamu dalam meneguhi ketaatan supaya kalian bias memelihara diri kalian dari adzab Allah SWT.Mufradaat Lughawiyyah
ْمأكَسأفن َأ ٓوأق ْمأكيِلْهَأَو ًراَن ۟ا
buatlah perlindungan proteksi, dan perisai untuk diri kalian dari api neraka dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan dan mengeriakan amal-amal ketaatan, dan doronglah keluarga kalian untuk melakukan hal yang sama dengan menasihati dan mendidik mereka. (اَهأدوأقَو )
bahan bakar yang digunakan untuk menyalakan api neraka). (
أةَراَجِحْل َو أساّنل ٱ ٱ
|) manusia dan batu dengan menjadikan keduanya bahan yang bisa membuat api neraka menyala sebagaimana api bisa menyala dengan kayu bakar.Yang dimaksudkan manusia di sini adalah manusia-manusia kafir. Sedangkan yangdimaksudkan dengan batu adalah berhala dan arca yang disembah dan dipuja-puja. Hal ini berdasarkan ayat.
"sungguh,kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya." (al-Anbiyaa': 98)
( ٌةَكِئَٰٓلَم اَهْيَلَع )
ada malaikat khazanah, jumlah mereka ada Sembilan belas sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-muddatsitsir ayat tiga puluh (لغ ظ).( رشع ةعست
اهيلع),
yang kasar perangainya(ٌداَدِش)
kuat fisiknya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang beratkasar dan keras.َنوأصْعَي َهّلل ْمأهَرَمَأ اَم ٱ
mereka tidak pernah mendurhakai perintah Allah SWT. () dan mereka sengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Kalimat ini diperkuat ayat-ayat sebelumnya.Persesuaian Ayat
Setelah Allah SWT memerintahkan para istri Nabi Muhammad saw. untuk bertobat atas kesalahan, kealpaan, dan kekeliruan, memperingatkan dan mewanti-wanti mereka untuk jangan menyalahi beliau, menasihati, mendidih dan mengancam mereka dengan talah Allah SWT memerintahkan sejumlah hal kepada kaum Mukminin, utamanya adalah memelihara diri mereka dan kelarga mereka dari api neraka dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan dan mengerjakan ketaatan-ketaatan. Kemudian, Allah SWT menginformasikan kepada kaum kafir
tentang apa yang dikatakan kepada mereka pada hari mereka masuk ke neraka, "Tidak ada uzux, alasan, dalih, dan apologi bagi kalian Kemudian, Allah SWT memerintahkan kaum Mukminin untuk bertobat dari kesalahan dan dosa dengan tobat yang sungguh-sungguh, setulus-tulusnya, semurni-murninya, dan sejujur-jujurnya. Allah SWT menutup semua itu dengan perintah berjihad melawan kaum kafir yang melancarkan permusuhan dan penyerangan serta kaum munafik yang merupakan musuh dalam selimut.
fihad terkadang dengan peperangan dan terkadang dengan hujjah, dalil, dan argumentasi. Kemudian, balasan kedua golongan itu, yaitu golongan kafir dan munafik adalah neraka.
Tafslr dan Penjelasan
"
Wahai orang-orang yong beriman! neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (at-Tahriim:6)
Wahai orang-orang yang percaya dan beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya saw., didiklah diri kalian, buatlah perisai untuk memproteksi diri kalian dari api neraka, pelihara, jaga, dan lindungilah diri kalian dengan mengeriakan apa yang diperintahkan Allah SWT kepada kalian dan meninggalkan apa yang Dia larang bagi kalian. Didik gembleng, dan ajarilah keluarga kalian, perintahlah mereka untuk taat kepada Allah SWT dan laranglah mereka dari melakukan kemaksiatan terhadap-Nya, nasihati dan didiklah mereka sehingga kalian tidak berujung bersama mereka ke api neraka yang begitu besar
berkobar-kobar dan mengerikan yang apinya menyala dengan bahan bakar manusia dan batu sebagaimana api yang lain menyala dengan kayu bakar.
Qatadah mengatakan maksudnya adalah kamu memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah SWT, mencegah mereka dari bermaksiat kepada-Nya, menjalankan perintah Allah SWT terhadap mereka dan memerintahkan mereka untuk melaksanakan perintahNya, serta mendukung dan membantu mereka untuk menjalankan perintah Allah SWT. Apabila kamu melihat kemaksiatan, kamu hardik dan cegahlah mereka.
Di antara ayat yang memiliki makna serupa adalah, firman Allah SWT "Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam me'ngerjakannya." (Thaaha a;L32)
"Dan berilah peringatan kepada kerabat' kerabatmu (Muhammad) yang terdekat." (asySyu'araa':214) Sejumlah pakar hadits [imam Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim) meriwayatkan dari Abdullah bin Amr r.a.
dari Rasulullah saw.,
يِف ْمأهَنْيَب اوضضأقّرَفَو ،َنيِن ِضضس ِر ْضضشَعِل اضضم مأهوأبِر ْضضضاو ،نينضضس عبضضسل ةلضضصلاب مأكءاضضَنْبَأ ا .ِعِجاَضَمْلا
"Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat pada usia tujuh tahun, pukullah mereka supaya mau mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara tempat tidur mereka.
Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim dari Amr bin Sa'id Ibnul Ashi,
ٍنَسَح ٍبَدَأ ْنِم َلَضْفَأ ٍلْحَن ْنِم اًدَلَو ٌدِلاَو َلْحَن 'Tidak ada suatu pemberian orangtua kepada anaknya yang lebih baik dari adab yang baik."
Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abdul Malik Ibnur Rabi'bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya (Samurah bin |undub r.a.), ia berkata, Rasulullah saw bersabda,:
اَهْيَلَع أهوأبِرْضاَف ،َنيِنِس َر ْشَع َغَلَب اَذِإَف ،َنيِنِس َعْبَس َغَلَب اَذِإ ِة َلّصلاب يبصلا اور
"Perintahkanlah anak kecil untuk mengerjakan shalat apabila telah mencapai usia tujuh tahun. Jika sudah mencapai usia sepuluh tahun, maka pukullah ia supaya mau mengerjakan shalat."
Adh-Dhahhak dan Muqatil menuturkan merupakan sebuah hak dan kewajiban yang harus ditunaikan seorang Muslim untuk mengajari dan mendidik keluarganya, kerabatnya dan budak-budak miliknya tentang apa yang diwajibkan Allah SWT atas mereka dan apa yang Dia larang bagi mereka.
Ibnu jarir mengatakan, menjadi kewajiban kita untuk mengajarkan agama dan kebaikan adab, etika, dan tata krama yang mutlak diperlukan kepada anak-anak kita.
Yang dimaksudkan dengan manusia dalam ayat ini adalah orang-orang kafi4, sedangkan batu adalah berhala dan arca yang dijadikan sesembahan selain Allah SWT.
Hal ini berdasarkan ayat,
Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam."
(al-Anbiyaa': 98)
Sedangkan yang dimaksud dengan al-Ahl (keluarga) adalah istri, anak-anah dan pembantu. Ayat ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa seorang pendidik dan pengajar harus mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. "Penjaganya malaikat-malaikat yang kasan dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang dip erintahkan." (at-Tahriim: 6)
Di atas neraka terdapat malaikatkhazanah [malaikat penjaga dan petugas neraka) yang
bertugas menjalankan urusan neraka dan mengadzab para penghuninya. Para malaikat itu berperangai sangat kasan bengis, hati mereka telah disterilkan dari perasaan iba dan belas kasihan kepada orang-orang yang kafir terhadap Allah SWT. Para malaikat itu sangat keras dan bengis terhadap orangorang kafir, bentuk fisiknya sangat kekar, kuat dan sangat menakutkan. Mereka tidak kenal kata belas kasihan kepada orang-orang kafir ketika orang-orang kafir meminta belas kasihan kepada mereka. Mereka memang diciptakan untuk tugas mengadzab. fumlah mereka ada sembilan belas malaikat yang mereka itu adalah malaikat Zabaniyah neraka, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
"Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjag a)." (al-Muddatstsir: 30)
Mereka memiliki keistimewaan melakukan ketaatan secara total kepada Allah SWT. Mereka tidak akan menentang dan melanggar perintah-perintah Allah SWT. Mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka dengan penuh semangat tepat pada waktu yang telah ditentukan, tidak memperlambat dan tidak pula mempercepatnya, sedang mereka mampu menjalankan dan melaksanakannya. Maksud dari )
َنوأرَمْؤأي اَم َنوألَعْفَيَو ْمأهَرَم َأ اَم َهّلل َنوأصْعَي ٱ
penyebutan dua kalimat ini adalah kalimat yangpertama adalah dalam konteks waktu yang lalu, sekaligus untuk menegaskan makna ath-Thawaa’iyyah (kepatuhan, ketaatan, sikap menurut) karena makna tidak mendurhakai berarti identik dengan makna melaksanakan perintah, serta untuk menegaskan bahwa mereka steril dari sikap sombong, angkuh, dan ketidaksudian, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat sembilan belas surah al-Anbiyaa' , "tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya."
Sedangkan kalimat yang kedua adalah dalam konteks waktu yang akan datang, sekaligus untuk menegaskan pengertian segera melaksanakan dan menjalankan perintah serta menegaskan bahwa mereka steril dari sikap lamban dan malas, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat sembilan belas surah alAnbiyaa', "Dan tiada pula mereka merasa letih."
Selanjutnya, Allah SWT menginformasikan apa yang dikatakan kepada orang-orang kafir ketika mereka masuk neraka, dengan tujuan supaya bisa dijadikan Mukminin,
.