• Tidak ada hasil yang ditemukan

Israiliyyat dalam tafsir ath-thabari dan Ibnu Kastir (sikap ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap penyusupan Israiliyyat dalam tafsirnya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Israiliyyat dalam tafsir ath-thabari dan Ibnu Kastir (sikap ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap penyusupan Israiliyyat dalam tafsirnya)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI

DAN IBNU KASTIR

(Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap

Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta

Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Theologi Islam (S.TH.I)

Oleh:

Nur Alfiah

(106034003549)

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI DAN

IBNU KATSIR; Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Desember 2010. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam

(S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 20 Desember

2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si. Muslim, S. Th.I.

NIP: 19651129 199403 1 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. M. Suryadinata, MA. Dra. Hermawati, MA.

NIP: 19600908 198903 1 005 NIP: 19541226 198603 2 002

Pembimbing,

(3)

KATA PENGANTAR

.

Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terucap selain pujian dan rasa

syukur kehadirat Allah SWT. Atas izin, rahmat, hidayah serta karunian-Nya,

sehingga penulis diberikan jalan kemudahan dan kemampuan untuk

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurah

kepada Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi pembawa perubahan, Sang

revolusioner dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam dan seorang

teladan yang sempurna hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Ibnu

Katsîr (sikap Ath-Thabarî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Israiliyyat

Dalam Tafsirnya)”. Skripsi ini merupakan perjalanan akhir Penulis setelah sekian

tahun menuntut ilmu di bangku perkuliahan guna memenuhi persyaratan untuk

mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin pada Jurusan

Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kesulitan yang

dirasakan menghambat penyelesaian skripsi ini. Namun, berkat do’a, dorongan

(4)

Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati kepada

pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini, maka

penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Zainun

Kamal, M.A, beserta para Pembantu Dekan

2. Dr. Bustamin, M.Si Ketua Jurusan Tafsir–Hadis, Dr. Ummi Kaltsum,

M.A, Sekretaris jurusan Tafsir-Hadis.

3. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, sebagai pembimbing penulis, yang telah

banyak membantu penulis dalam penyelesain skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen Tafsir-Hadis

yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah

penulis mendapat setetes dari samudra Ilmu yang sangat bermanfaat.

5. Kepada keluarga besar H. Zaini dan H. Ahmad, terutama ayahandaku,

ibundaku, nenekku serta adik-adikku tersayang (Umar Zein dan Abdullah

Zein), yang telah banyak memberikan semangat dan mendo’akan penulis

dalam penyeselasian skripsi ini.

6. Kepada sahabat-sahabatku tercinta, Ahmad Fauzan, Monaya Fattiyyah,

Suryadi, Gilang, M.Yusuf, Mele dan khususnya Agung Satya, yang telah

memberikan semangat penuh dalam pembuatan skripsi ini.

7. Teman-teman penulis yang terkasih Riry, Kokom, Nur, Lia, Dayah, bang

Juri, mereka banyak memberika inspirasi untuk penulis. Untuk Rahmi,

Ziah, Zaenal, Tomi, Soimmuddin, Rahmat, Rizki, Syafiq, Mukhtar, Sule’,

(5)

satu dari ku untuk kalian semua ingat, kebersamaan kita begitu indah dan

tak akan bisa terlupakan.Thank you all for being such amazing friends of me and support me for this journey. You are everything in my live.

Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang

masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan

penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis telah berupaya

menyelesaikan skripsi ini semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis

sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, penulis meminta saran dan kritik yang

membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis

berharap semoga Allah Swt, memberikan balasan yang lebih baik dari semua

pihak pada umumnya.

Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin

menyampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat

segenap pembaca, semoga juga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis

mendapat imbalan dari Allah Swt, karena hanya pada Allah jugalah penulis

memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal shaleh dan

mendapat balasan yang lebih baik dari Allah Swt. Amin ya Rabb..

Jakarta, Desember 2010

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI... vi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Ruang Lingkup Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka... 11

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: SEKILAS TENTANG IBNU JARIR ATH-THABARI DAN IBNU KATSIR A. Ibnu Jarir Ath-Thabari... 15

1. Riwayat Hidup ath-Thabari... 15

2. Karya-Karya Ath-Thabari ... 19

3. Metode Penulisan Tafsir Jami Al-Bayan ... 24

B. Ibnu Katsir... 29

1. Riwayat Hidup Ibnu Katsir ... 29

2. Karya-Karya Ibnu Katsir... 30

3. Metode Penulisan Tafsir Al-Quran Al-Adzim... 33

BAB III: SEKILAS TENTANG ISRAILIYYAT A. Pengertian Israiliyyat ... 39

B. Masuknya Israiliyyat ke Dalam Tafsir ... 44

C. Klasifikasi Israiliyyat ... 47

D. Hukum Meriwayatkan Kisah-Kisah Israiliyyat ... 51

E. Perawi Riwayat Israiliyyat ... 54

1. Perawi Dari Kalangan Sahabat ... 55

(7)

3. Prawi Dari Kalangan Pengikut Tabi’in... 58

F. Pandangan Ulama Terhadap Riwayat Israiiliyyat... 59

BAB IV: PERBANDINGAN ANALISA SIKAP ATH-THABARI DAN IBNU KATSIR TERHADAP ISRAILIYYAT A. Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Israiliyyat Dalam Tafsirnya ... 62

1. Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun... 62

a. Q.S. Al-Maidah[5] : 20-26 ... 62

b. Ringkasan Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat puluh Tahun ... 64

c. Komentar Ibnu jarir dan Ibnu Katsir... 67

2. Kisah Harut dan Marut... 69

a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 101-103... 69

b. Ringkasan Kisah Harut dan Marut... 71

c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ... 73

3. Dzulqarnain ... 80

a. Q.S. Al-Kahfi[18] : 83 ... 80

b. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ... 80

4 . Kisah Sapi Betina Bani Israel. ... 85

a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 67-74... 85

b. Ringkasan Kisah Sapi Betina Bani Israel... 87

c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu katsir ... 88

B. Analisa Perbandingan Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat ... 91

C. Pandangan Ulama Dalam Menyikapi Israiliyyat ...101

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ...106

B. Saran-Saran ...107

(8)

PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan

B be

T te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

ـ ﻫ H Ha

‘ Apostrof

Y Ye

1

(9)

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih

aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

___َ

___ a fathah

___ِ___ i kasrah

___ُ

___ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي __َ__ ai a dan i

__َ __

و au a dan u

Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺎ َـ ـ â a dengan topi di atas

ﻲ ـ ـ î i dengan topi di atas

ﻮ ـ ـ ـ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh

huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukanad-dîwân.

Syaddah (Tasydid)

(10)

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika hurufta marbûtahterdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jikata marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat(na’t)(lihat contoh 2). Akan tetapi, jika hurufta marbûtahtersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Alih aksara

1 ﺔ ﻘ ﻳ ﺮ ﻃ tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan

lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan

kepada nabi Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasûl dengan perantara

malaikat Jibril alahis salam, dimulai dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat an-Nâs.2 Al-Quran merupakan suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan dengan terperinci.

Sebagaimana Allah berfirman dalam sûrah Hûd ayat 1 :

























“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.”

Al-Quran adalah satu-satunya pesan samawi yang mampu menjaga

orisinalitasnya sepanjang sejarah. Al-Quran telah mengarungi jalan panjang

sejarah dengan selamat, selalu sesuai dengan zaman. Kitab ini terjaga dari

segala bentuk manipulasi dan kerusakan zaman. Hal ini sebagaimana

firman-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9:

























“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”

2

(12)

Redaksi ayat di atas mengandung penekanan (ta’kid) bila dilihat dari

beberapa segi yang diketahui oleh para pengkaji sastra Arab, diantarannya:

penggunaan redaksi ilmiah (redaksi yang menggunakan kata kerja), serta

memperkuatnya dengan huruf “Inna’’ dan masuknya ”Lam Muakkidah” terhadap kabar ”La Hâfidzun”.3 Redaksi ayat-ayat al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat diijangkau maksudnya

secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian

menimbulkan keanekaragaman penafsiran.

Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang mengandung banyak

kemungkinan arti, dari khas dan ‘am, muthlak dan muqayyad, mantuq dan

mafhum.4 Semua itu ada yang dipahami dari isyarat dan ada yang dipahami dengan ibarat. Kemampuan manusia dalam memahami berbeda-beda. Ada

yang memahami makna secara zahir, ada yang mampu memahami makna-makna yang dalam, dan ada yang mampu memahami bukan makna-makna

sebenarnya. Kemudian al-Quran juga diturunkan berkenaan sesuatu sebab dan

kejadian, jika hal itu diketahui akan menambah pemahaman dan membantu

memahami al-Quran dengan benar.5

3

Yusuf Qardawi, Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet I, h. 39

4

Khas: Lafaz yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya.

‘Am: Lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya.

Muthlaq: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu pembatas. Muqayyadd: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan.

Manthuq: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.

Mafhum: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz tdak berdasarkan pada bunyi ucapan.

5

(13)

Penafsiran al-Quran tidak dapat dipisahkan dengan upaya

memahaminya dalam rangka mengambil hidayah-Nya, karena upaya ke arah

itu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, terlebih Allah

sendiri menyuruh hamba-hambanya terutama orang Islam untuk menerangkan

kandungan-kandungan al-Quran.

Terdapat berbagai macam sumber yang dijadikan sandaran oleh para

ulama dan ahli tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran. Mereka berusaha

untuk mengetahui pemahaman secara detail dan bisa diungkapkan dengan

kata-kata yang sesuai. Hal ini diupayakan agar pemahaman terhadap al-Quran

bisa dicapai oleh setiap manusia yang senang dengan al-Quran, agar manusia

bisa membaca, memahami dan mengamalkan isi kandungan ayat-ayat

al-Quran yang mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat.

Di antara sumber referensi yang dijadikan pegangan oleh para ahli

tafsir dalam menafsirkan al-Quran antara lain riwayat dari Rasulullah saw

tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran yang global secara

penjelasan-penjelasan beliau tentang makna-makna ungkapan al-Quran secara terperinci.

Sebagai contoh, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw

pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang maksud dari kataal Muqtasimîn

dalam surat al-Hijr ayat 90, Rasulullah menjawab bahwa yag dimaksud dalam

ayat tersebut adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu laki-laki itu bertanya lagi

(14)

Rasulullah menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah mereka

yang beriman dengan sebagian ayat dan kafir dengan sebagian yang lain.6

Pada periode abad ke 8– 12M, tepatnya ketika Islam berada di bawah

pemerintahan dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan

dan kemajuan luar biasa. Dalam bidang ilmu agama, perkembangan dan

kemajuannya ditandai oleh kemunculan ulama-ulama besar dengan

karya-karyanya dalam bidang ilmu tafsir, hadis, qiraat, ilmu kalam, dan sejarah. Hal

serupa terjadi juga pada bidang sains dan filsafat, serta ilmu-ilmu seperti

kedokteran, optik, kimia dan matematika7.

Khusus dalam bidang ilmu tafsir, pengkajian dan pengembangannya

telah mencapai bentuk sistematis, meskipun tentu saja tanpa menafikan

kegiatan penafsiran yang sudah dimulai semenjak zaman Nabi. Para ulama

tafsir telah sepakat bahwa kegiatan penafsiran al-Quran dimulai oleh Nabi

sendiri. Kegiatan penafsiran pasca zaman Nabi kemudian dilanjutkan oleh

para sahabat dan penggantinya dalam bentuk riwayat8.

Ibnu al-Nadhim mencatat bahwa al-Farra (W.207 H) telah berhasil

menyusun kitab tafsir yang berjudul Ma’ani al-Quran sebanyak empat jilid. Sejumlah ulama tafsir besar lainnya yang hampir semasa dengan al-Farra

adalah Syu’bah bin al-Hajjâj (w. 160 H), Waqi’Hamzah bin al-Jarrah (w. 197

H ), Syufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah (w. 205), dan Abd

ar-6

Prof.Dr. Mani ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006

7

Ahmad Amin, Dhuhha Al-Islam, Jilid II, Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, Kairo, 1939, hlm.13.

8

(15)

Razâq (w. 211 H), juga menghasilkan karya-karya besar, tetapi sangat

disesalkan karya-karya mereka tidak dapat ditemukan lagi9.

Pengaruh keterbukaan Islam pada masa dinasti Abbasiyah terhadap

berbagai kebudayaan luar, terutama kebudayaan Yunani yang memicu

kelahiran mazhab rasional dalam Islam, yakni dipercayanya perkembangan

tafsir dengan kemunculan orientasi penafsiran ittijah bi ar-ra’yi yang dipertantangkan dengan corak penafsiran bi al-matsur, yakni penafsiran al-Quran dengan menggunakan penjelasan-penjelasan al-al-Quran, sunnah Nabi,

dan riwayat-riwayat yang berasal dari para sahabat dan tabiin. Para ulama

umumnya melihat orientasi penafsiran kedua lebih baik dari pada yang

pertama. Al-Qahthan umpamanya, memutuskan untuk mengikuti dan

mengambil orientasi pertama karena merupakan cara penafsiran yang paling

shahih dan paling aman dari kesalahan dan penyimpangan10. Penilaian itu ada

benarnya jika yang dimaksud adalah tafsir bi al-matsur yang berisi riwayat-riwayat al-Quran sendiri. Akan tetapi, masalah lain ketika sesuai dengan

definisinya dalam jenis tafsir ini juga termasuk riwayat-riwayat yang

dinisbatkan dari Nabi, sahabat, dan tabi’in, yang kemungkinan besar terdapat

penyimpang-penyimpangan generasi sesudahnya karena ambisi tertentu.

Dalam pertumbuhannya, tafsir bi-masur menempuh dua periode. Periode pertama, terjadi pada masa Nabi dan para sahabatnya yang

berlangsung sekitar abad ke-1 dan ke-2 H. sedangkan periode kedua, adalah

masa pengkodifikasian tafsir. Pada periode ini dibukukan semua hadis yang

9

Ibnu An-Nazhim,Al-Fihrits,Kairo, 1348 H., hlm. 99.

10 Manna’ Al

(16)

diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya, baik yang terjadi pada permulaan

tahun 100 dan 200 H11. Penanggalan sanad-sanad periwayatan pada periode

kedua menyebabkan banyak tersebar riwayat-riwayat yang kualitasnya tidak

diseleksi ketat oleh sebagian ilmu tafsir. Kondisi ini akhirnya memberi

peluang bagi hadis-hadis dan riwayat-riwayat palsu masuk kedalam tafsir yang

telah terkondifikasikan itu12.

Dengan demikian orientasi pemikiran bi al-matsur bukan tanpa kelemahan. Yang dimaksud dengan kelemahan di sini adalah, telah disebutkan

oleh adz-Dzahabi, Pertama, masuknya unsur-unsur musuh Islam. Kedua,

bercampurnya antara riwayat yang shahih dan bathil13. Masuknya Israiliyyat

ke dalam Islam memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari

pembauran masyarakat muslim dengan komunitas Ahli Kitab disekitar jazirah

Arab. Tafsir dan hadis, keduanya dipengaruhi oleh kebudayaan Ahli Kitab

yang berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Israiliyyat juga dianggap

mempunyai pengaruh yang buruk. Israiliyyat dituliskan pula oleh sebagian

cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala sampai pada keadaan

diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal itu semua

merupakan hal yang merusak akidah sebagian besar kaum muslimin, serta

11

Ali Haan Al-Ridh,Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm.22-23.

12

Ali Haan Al-Ridh,Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm.47.

13

(17)

menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang

penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.14

Pengutipan Israiliyyat oleh sebagian mufassir sebagai salah satu

sumber penafsiran al-Quran, selama empat abad ini, yaitu semenjak

pengkodifikasian tafsir sampai sekarang, memperkaya khazanah perpustakaan

umat Islam dengan kitab-kitab tafsir yang memuat riwayat-riwayat Israiliyyat

dengan intensitas yang cukup beragam, baik dari segi kualitas maupun

kuantitas. Persoalan Israiliyyat menjadi isu penting bagi mufassir modern.

Sebab Israiliyyat tidak hanya berkaitan dengan aspek teologis Islam yang

mengklaim sebagai agama yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi merujuk

pada ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani, juga pernyataan al-Quran yang

menyatakan kedua kelompok itu telah melakukan penyimpangan terhadap

kitab suci mereka, tetapi juga Israiliyyat pada umumnya berisi

khurafat-khurafat yang merusak akidah umat Islam. Sebagaimana dalam surat

al-Maidah[5] ayat 41,

“Wahai Rasul (Muhammad) ! Janganlah engkau disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang munafik yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mndengar berita-berita bohong dan sangat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka merubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah dirubah) terimalah, dan jika kamu diberi bukan ini, maka hati-hatilah.” Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun dari Allah untuk menolongnya. Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.”

14

(18)

Menyadari akan bahayanya, Muhammad Abduh sangat gencar

mengkritik ulama tafsir yang menggunakan Israiliyyat sebagai penafsiran

al-Quran. Dalam nada yang lebih keras, Syaltut menuduh bahwa Israiliyyat telah

menghalangi umat Islam menemukan petunjuk-petunjuk al-Quran15.

Orientasi tafsir al-Quran yang menjadi objek kritikan para mufassir

modern dalam pengutipan riwayat Israiliyyat, adalah tafsir yang menggunakan

orientasi penafsiranbi al-matsur. Dalam hal ini, tafsirJami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr al-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr) diduga sebagai kitab tafsir yang banyak memuat Israiliyyat.

Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka penulis mencoba untuk

mengangkat tentang permasalahan ini, dengan menganalisa perbandingan

keberadaan riwayat Israiliyyat dalam kedua tafsir tersebut dikomentari atau

tidak, yaitu dengan tema: Isrâiliyyât Dalam Tafsir Ath-Thabârî dan Ibnu

Kastîr (Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Isrâiliyyât Dalam Tafsirnya)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam sejarah penafsiran al-Quran, keberadaan Israiliyyat dalam kitab

tafsir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam16. Pertama,

15

Muhammad Syaltut, Fatwa-Fatwa, terj. Bustamin A. Gani, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Juz I, hlm.95.

16

Kategori ini diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dalam ‘’al-Tafsir wa al-Mufassirun”,

(19)

Israiliyyat dikomentari oleh penulisnya. Komentar yang dimaksud adalah

menyangkut analisis terhadap kualitas sanad dan matan. Kategori ini dipandang sebagai cara yang benar dalam mengemukakan Israiliyyat. Kedua,

riwayat Israiliyyat yang keberadaannya tanpa dikomentari apa-apa, yakni

tanpa penyebutan sanadnya, analisis terhadap kualitas sanadnya, analisis

terhadap isi Israiliyyat, dan penafsiran yang benar terhadap ayat yang

ditafsirkan dengan Israiliyyat. Poin-poin ini merujuk kepada studi kritis

terhadap riwayat hadis. Dalam studi kritik al-Hadis, hal yang ditinjau adalah aspek sanad dan matan. Kategori yang kedualah yang kerap kali menjadi

objek kritikan para ulama tafsir.

Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini membatasi dan memusatkan

perhatian kepada penyusupan riwayat Israiliyyat dalam tafsirJâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr al-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr) dengan penekanan pada analisis apakah keberadaannya dikomentari atau

tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr bersikap kritis

atau tidak, dan penulis juga merumuskan “Apa itu sebenarnya kisah-kisah

Israiliyyat dan Bagaimana kisah-kisah Israiliyyat tersebut dapat menyusup

kedalam kitab tafsir Jâmi’ Bayân karya ath-Thabârî dan tafsir Qurân

al-Azîm karya Ibnu Katsîr yang keduanya merupakan kitab yang banyak

dijadikan rujukan parapembaca”.

(20)

C. Ruang Lingkup Masalah

Para ulama pada umumnya mengklasifikasikan Israiliyyat dalam tiga

bagian, yaitu:

1. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam

2. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam

3. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua

Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu pada

keterangan-keterangan Nabi. Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut,

melainkan pemahaman para ulama terhadap keterangan-keterangan Nabi

tersebut yang memunculkan klasifikasi itu. Umpamanya, ada keterangan Nabi

yang membolehkan dan melarang meriwayatkan Israiliyyat, kemudian para

ulama mengklasifikasikan Israiliyyat pada yang sejalan dengan Islam dan

yang tidak sejalan dengannya. Namun, ada pula keterangan Nabi yang

menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan

Ahli Kitab, kemudian para ulama pun membuat klasifikasi Israiliyyat yang

tidak masuk bagian pertama dan kedua.

Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini memusatkan perhatian

kepada:

1. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam.

dalam tafsirJâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr al-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr . Diantaranya: Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh

(21)

2. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak termasuk keduanya

(tidak sejalan dan sejalan dengan Islam) dalam tafsir Jâmi’ al -Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Yaitu, Kisah Sapi Betina Bani Israel

Kesemuanya itu berdasarkan apakah keberadaan riwayat Israiliyyat

dikomentari atau tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr

bersikap kritis atau tidak terhadap riwayat Israiliyyat dalam kitabnya

masing-masing.

D. Kajian Pustaka

Diakui, bahwa kajian mengenai Israiliyyat bukanlah penelitian yang

baru. Sudah ada beberapa penelitian yang membahasnya. Diantaranya, dalam

bentuk buku, salah satunya adalah, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis karangan Muhammad Husaini Zahabi. Dalam bentuk skripsi, adalah, “Israiliyyat Dalam

Kitab Tafsir Jâmi’ al-Bayân fî al-Tafsîr Karya ath-Thabârî” oleh Ali Akbar

dan “Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridho Dalam Tafsir

al-Manar” oleh Ahmad Zaki Mubarok.

Disini, penulisa berusaha menggabungkan antara dua penafsir yang

mengemukakan tentang Israiliyyat dalam tafsirnya. Yang lebih membedakan

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah membandingkan antara

ath-Thabari dalam tafsir Jami Bayaan dengan Ibnu Katsir dalam tafsir

(22)

peneliti ini dapat memberi solusi yang baik terhadap beberapa pembahasan

serupa.

E. Metodologi Penelitian

Dalam proposal ini ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan:

1. Metode Pengumpulan Data

Kajian proposal ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan

(library Research), suatu metode dengan cara mengumpulkan data dan informasi, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian

diidentifikasi secara sistematis dan analisis, dengan bantuan berbagai

macam-macam material yang terdapat di ruang pustaka.

Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari itu dari

sumber-sumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu data yang berlangsung dan

diperoleh dari sumber data pertama, disebut dengan sumber utama. Dalam

hal ini yang menjadi sumber utamanya adalah kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Dan sekunder, yaitu data yang lebih dahulu diikumpulkan dan dilaporkan dari sumber-sumber yang lain. Disebut

dengan data pendukung.

2. Metode Pembahasan

Dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode

deskriftif analisis:

a. Metode deskriftif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk

(23)

hipotesa atau menjawab pertanyaan, yang menyangkut keadaan pada

waktu sedang berjalan dari pokok masalah.

b. Metode analisis, yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan

penafsiran-penafsiran terhadap data yang telah terkumpul dan tersusun.

Jadi metode deskriftif analisis adalah suatu pembahasan yang

bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah

tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan tafsiran terhadap data

tersebut.

3. Teknik Penulisan

Secara Teknik penulisan skripsi ini disandarkan pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta (2000)”.

F. Sistematika Penulisan

Penulis dalam menyusun skripsi ini, terdiri dari lima bab dengan

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan dengan mengetengahkan sekitar latar belakang

masalah, identifikasi, batasan dan perumusan masalah, ruang lingkup masalah,

tinjauan pustaka, metodologi penelitian juga sistematika penulisan.

Bab II, Sekilas tentang Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr dengan

mencari tahu seputar riwayat hidupnya, karya-karya ilmiah dan murid-murid

(24)

Bab III, Membahas sekilas tentang Israiliyyat, masuknya israiliyyat ke

dalam tafsir, klasifikasi Israiliyyat itu sendiri, para perawi Israiliyyat, serta

pandangan ulama terhadap Israiliyyat itu sendiri.

Bab IV, Menganalisa dan membandingkan sikap ath-Thabârî dan Ibnu

Katsîr terhadap Israiliyyat yang terdapat dalam kitab Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Dengan disertai contoh-contoh, pandangan mereka terhadap

Israiliyyat, serta pandangan ulama dalam menyikapi Israiliyyat.

Bab V, penutup berisikan tentang beberapa kesimpulan dari penulis

proposal ini disertai dengan saran-saran.

(25)

BAB II

SEKILAS TENTANG IBNU JARÎR ATH-THABÂRÎ DAN IBNU KATSÎR

A. Ibnu Jarîr Ath-Thabârî

1. Riwayat Hidup Ath-Thabârî

Pada penghujung abad ke-9 M/3H hingga pertengahan pertama

abad ke-10, dunia masih menyaksikan kemajuan-kemajuan keilmuan

dikalangan umat Islam. Hilangnya mazhab rasional Mu’tazilah17 setelah

al-Mutawakkil menghapusnya sebagai aliran resmi Negara, tidak membuat

Islam berhenti melakukan inovasi-inovasi keilmuan. Perubahan yang

terlihat setelah peristiwa ini barangkali hanya menyangkut intensitas

penggunaan nalar oleh umat Islam dalam rangka pengembangan keilmuan.

Bila dikalangan para penganut Mu’tazilah, peranan akal begitu dominan,

penekanan itu tidak begitu terlihat setelah aliran Mu’tazilah dihapus oleh

al-Mutawakkil.18

Studi atas naskah al-Quran mengalami banyak kemajuan pada awal

abad ke-10 H/632M karena adanya pengakuan resmi atas tujuh bacaan

sebagai satu-satunya yang sah, tindakan itu dilakukan oleh Ibnu Mujahid

17 Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari

I’tazala yang berarti berpisah atau

memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Mu’tazilah muncul di kota

Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al -Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di

dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang pemimpin Qadariyyah

kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari

taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin‘Ali Awaji, 2/821, Siyar

A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).

18

(26)

(w. 935 M / 313 H) untuk mengatasi ketidak mungkinan mengadakan

kesepakatan panuh atas perbedaan cara membaca al-Quran yang muncul

menjelang abad ke-9 M. Meskipun tujuh bacaan dari Ibnu Mujahid itu

tidak segera diterima oleh para ulama, sebelum Ibnu Mujahid wafat,

sebuah pengadilan mendukung pandangannya dengan mencela seorang

ulama yang membolehkan membaca teks konsonan sesukanya asal sesuai

dengan tata bahasa dan maknanya dapat diterima secara luas, sebagai

puncak generasi ulama tekstual pada fase perkembangannya.19

Pada saat itu, tafsir sudah merupakan suatu disiplin ilmu yang

berdiri sendiri setelah sebelumnya merupakan bagian dari kitab-kitab

hadis. Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, pada masa dinasti Bani Abbas,

tafsir dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan

tafsir ditandai oleh munculnya dua madrasah aliran tafsir bi al-matsur20

dan aliran tafsir bi al-rayî.21 Disamping itu, orientasi kajian tafsir sudah memasuki berbagai disiplin ilmu seperti fiqih, kalam, sejarah, dan filsafat.

19

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57.

20

Metode tafsir bil ma’tsur atau bir riwayah adalah metode menafsirkan Al-Qur’an

dengan merujuk pada pemahaman yang langsung diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabat, lalu turun menurun kepada tabi’in; tabi’it tabi’in, dan seterusnya hingga masa sekarang. Metode

ini mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang sahih sesuai urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu: Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, Menafsirkan al-Quran dengan sunnah atau

hadis, Menafsirkan pendapat para sahabat;para tabi’in.

21

Tafsir bil-ra’yî adalah metodologi penafsiran al-Quran berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-Dirayah). Tafsir ini mengandalkan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat. Disamping aspek itu, kemamppuan tata bahasa, retrorika, etimologi, pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wahyu, dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir.

Kata “ar-ra’yu” berarti “kebebasan pemikiran”, cenderung berkonotasi pada rasionalitas

ijtihad terhadap penafsiran al-Quran. Ini berarti al-Quran dianggap sebagai teks “fleksibel” yang sesuai dengan “kepentingannya”. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yang membatasi pengertian tafsir bi ar-rayî terutama dalam aplikasinya. Itihad yang dimaksud disini adalah berdasarkan dasar-dasar yangbenar dan kaidah-kaidah yang lurus. Jadi jelaslah bahwa tafsir bi rayȋ bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang

(27)

Di sisi lain tafsir bi al-matsur menghadapi persoalan yang sangat serius, yaitu, pembauran antara riwayat-riwayat yang sahih dan yang

palsu. Seiring dengan masuknya unsur luar ke dalam Islam, tafsir ini pun

sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur luar itu.

Pada waktu yang sama perkembngan ilmu agama juga tampak pada

bidang hadis, fiqih, dan tasawuf. Diantaranya adalah periode konsolidasi

hadis berupa kegiatan kritik terhadap ribuan hadis dari tahun 850 M

sampai dengan tahun 945 M dan berhasil membuat enam kitab hadis yang

dikenal Kutub al-Sittah, yaitu, Sahih Bukhârî, Sahih Muslîm, Sunan at-Tirmizî, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abû Dâud dan Sunan an-Nasâî. Dalam bidang hukum Islam, pada periode 850 M sampai dengan tahun 945 M

tidak ada lagi usaha untuk membentuk mazhab baru. Sementara itu,

tasawuf telah mencapai bantuknya yang sempurna. Itulah sebabnya Abû

al-A’la Afifi menjelaskan bahwa pada abad ke-3 H / 624 M dan ke-4 H /

625 M merupakan zaman keemasan taswuf.22

Ditengah kondisi demikianlah, ath-Thabârî yang memiliki nama

lengkap Abû Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr Ibnu Yazid Ibnu Khalid

ath-Thabarî, beliau dilahirkan di Amul, ibu kota dari propinsi Tabaristan pada

tahun 224 H.23

Menurut para ahli sejarah, daerah ini dinamakan dengan Tabaristan

karena daerah tersebut merupakan daerah pegunungan, dan juga

22

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57.

23 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath

-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Quran,

(28)

penduduknya merupakan ahli dalam peperangan, dan alat yang digunakan

dalam berperang adalah: Tabar (dalam bahasa Indonesia sejenis

kampak).24

Beliau mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu dan kota

pertama yang beliau tuju adalah Ray dan daerah sekitarnya. Di sana ia

mempelajari hadis dari Muhammad bin Humaid ar-Razî. Selanjutnya, ia

menuju Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal, tetapi ketika ia

sampai di sana, Ahmad bin Hanbal sudah wafat (pada tahun 241 H).25 Di

Kuffah, ia mengambil Qiraah dari Sulaiman al-Tulhi dan hadis dari

sekelompok jamaah yang diperoleh dari Ibrâhîm Abî Kuraib Muhammad

bin al-Ala al-Hamdani, salah seorang ulama besar hadis26. Pada tahun

253, ia sampai di Mesir dan pada tahun tersebut untuk beberapa saat ia

tinggal di Fustat kemudian mengunjungi Syam dan kembali ke Mesir pada

tahun 256 H. Pada saat di Mesir beliau belajar pada pemuka-pemuka

mazhab Syafi’I, diantaranya: ar-Rabi bin Sulaiman al-Muradi dan Ismail

bin Ibrâhîm al-Muzani dan lain-lainnya. Dari sana kemudian ia kembali ke

Baghdad, dan kembali ke Tabaristan, dan kembali ke Baghdad untuk

belajar dalam sisa umurnya, sampai ia meninggal dunia pada tahun

310H27. Demikianlah di setiap tempat yang dikunjungi ia berjumpa dengan

24

Musthafa as-Shawi al-Juwainy, Manahij fî at-Tafsîr, (Mesir: Nas’atu al-Ma’arif,

Iskandariyah), h. 301.

25 Abu Ja’far Muha

mmad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,

(Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I, h. 3.

26

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 59

27

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,

(29)

ulama-ulama besar. Ia mengambil ilmu dari mereka tidak saja terbatas

pada bidang tertentu, tetapi semua disiplin ilmu yang memungkinkannya

digelari seorang ilmuan ensiklopedik.

2. Karya-Karya Ath-Thabârî

Seperti penulis telah sampaikan di atas, bahwa ath-Thabârî semasa

hidupnya merupakan seorang penuntut ilmu yang sangat giat sehingga

setiap perjalanannya selalu menuntut ilmu, beraneka ragam ilmu yang

digelutinya sehingga keahliannya tidak hanya terbatas pada bidng tafsir,

sejarah, fiqih, dan hadis, tetapi juga dalam bidang-bidang sastra,

leksikrografi, tata bahasa, logika, matematika, dan kedokteran.

Keluasan ilmu yang dimiliki ath-Thabârî diakui oleh para ulama.

Berikut komentar sebagian ulama terhadap ath-Thabârî :

1. Al-Khâtib al-Baghdadi, “ath-Thabârî adalah seorang pemuka ulama

yang ucapannya ditanggapi, pendapatnya dirujuk karena keluasan

ilmunya. Ia mendalami berbagai disiplin ilmu yang tidak dapat

dilakukan oleh siapapun pada masanya. Ia hafal al-Quran, mengetahui

berbagai ragam bacaan al-Quran, mengetahui makna-makna al-Quran,

dan faham hukum-hukumnya. Mengetahui hadis dan seluk beluknya,

mengetahui berbagai pendapat sahabat, tabi’in, dan orang-orang

sesudahnya. Mengetahui persoalan-persoalan halal dan haram, dan

mengetahui perjalanan sejarah umat. Ia menulis kitab monumental,

(30)

ditulis oleh siapapun. Ia pun menulis kitabTahzib al-Atsar yang isinya tidak ada bandingnya. Disamping itu, ia banyak menulis dibidang ilmu

ushul fiqh dan cabang-cabangnya. Ia memilih pendapat-pendapat ahli

fiqh”.28

2. Adz-Zahabi, “ath-Thabârî adalah seorang terpercaya, sadiq, hafiz,

bapak tafsir, imam dalam bidang fiqih, banyak mengetahui sejarah dan

peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat manusia, mengetahui

qira’at, bahasa, dan sebagainya”.29

Mengenai karya-karya ath-Thabârî, tidak diperoleh informasi yang

pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya. Namun ada beberapa

riwayat yang menunjukkan bahwa ia aktif menulis. Khâtib al-Baghdadi

mendengar dari Ali bin Ubaidillah al-Lughawi as-Samsi bahwa ia aktif

menulis selama 40 tahun dengan perkiraan setiap harinya menulis 40

lembar. Dengan demikian, selama 40 tahun diperkirakan ia menulis

sebanyak 1.768.000 lembar. Suatu kesaksian lainnya pernah diturunkan

oleh Abdullah al-Farqhani, ia menyebutkan bahwa sebagian murid

ath-Thabârî memperhitungkan bila jumlah kertas yang pernah ditulisnya

dibagi oleh usianya semenjak baligh sampai wafatnya, maka setiap hari, ia

menulis 14 lembar.30

Karya-karya ath-Thabârî tidak semuanya sampai ke tangan kita

sekarang. Diperkirakan banyak karyanya tentang hukum lenyap bersamaan

28

Al-Khatib Al-Baghdadi,Tarikh Baghdad, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t., Juz II, h. 163.

29

Abi al-Falah Abd al-Havy bin al-Imad al-Hanbali, Syadzarat Adz-Dzahabi fî Akbar Man zahab, Juz III, Dar al-Fikr, Bairut, h. 332.

30

(31)

dengan lenyapnyamazhab jarîriyah. Di bawah ini adalah karya-karyanya yang sampai ke tangan kita31:

a. Tafsir

Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân,32 Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting

bagi para mufassir bi al-matsur. Ibnu Jarîr memaparkan tafsir dengan

menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Ia juga

mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas

yang lain. Para ulama berkompeten sependapat bahwa belum pernah

disusun kitab tafsirpun yang dapat menyamainya.33

b. Qira’at

Kitab al-Qiraat wa at-Tanzîl al-Qurân. Di dalam kitab ini disebutkan perbedaan pendapat para qari tentang huruf-huruf al-Quran.

Di dalamnya pun diklasifikasikan nama-nama ahli qiraat Madinah,

Mekah, Kuffah, Syam, dan Basrah dengan disertai penjelas qira’atnya

masing-masing.

c. Hadis

Tahzîb Atsar wa Tafsil ats-Tsabit an Rasûlillah min al-Akhbar. Kitab ini belum selesai ditulis ath-Thabârî dan tidak ada seorang pun yang mampu menyempurnakannya. Kitab ini mula-mula

berbicara tentang hadis-hadis shahih yang datang dari Abû Bakar,

31

Rasihan Anwar,Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 62-64.

32

Nama ini berdasarkan percetakan yang berlaku saat ini. Ath-Thabari sendiri menamainya denganJami al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Quran. Lihat ath-Thabari,Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Juz I, Matba’ah al-Husainiyah, Mesir, t.t., h. 45

33

(32)

kemudian, ia berbicara tentang setiap hadis beserta kecacatannya dan

jalan periwayatannya.

d. Fiqih

- Ikhtilaf ‘Ulûm al-Amsar fî Ahkâm Syara’I al-Islâm, di dalam kitab ini disebutkan berbagai pendapat ulama yang berkaitan dengan

hukum-hukum syari’at.

- Latif al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islam, kitab ini memaparkan mazhab fiqih ath-Thabârȋ sendiri.

- Al-Khafi fî Ahkâm Syar’I al-Islâm, kitab ini merupakan ringkasan kitab di atas.

- Mukhtasar Manasik al-Hajj. - Mukhtasar al-Faraidh.

- Kitâb fî ar-Radd ala ibn Abd al-hukm ala Malik.

- Kitâb Basit al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islâm

- Kitâb Adab al-Qaudah.

e. Usûluddin

- al-Basariah fî ma’alim Ad-din.

- Risalah al-Musammah bi Sarih as-Sunnah.

- Kitâb al-Mujaz fî al-Usul.

- Kitâb adab An-nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq An-nafisah.

f. Sejarah

(33)

Riwayat-riwayat yang terkandung di dalamnya tidak dipandang oleh para

sejarawan sebagaiasatir (dongeng-dongeng) dan kisah-kisah sebab penulisannya didasarkan atas fakta riwayat dan musyafahah (oral) yang merujuk pada sumber-sumber Arab. Bagian pertama kitab ini

berisi sejarah sebelum Islam yang menyangkut awal penciptaan,

kisah-kisah para Nabi, umat Persia, Romawi, Arab, dan Yahudi.

Adapun bagian kedua berisi sejarah Islam yang menyangkut

sejarah Rasulullah, sejarah Khulafa ar-Rasyidin,

penakluk-penakluk mereka, dan sejarah muslim pada masa dinasti

Amawiyah dan dinasti Abbasiah. Kitab ini tuntas ditulis pada tahun

302 H.

- Kitâb Zail al-Munzil, kitab ini terdiri dari seratus halaman, selesai ditulis oleh ath-Thabari pada tahun 300 H. kitab ini berisikan

sejarah sahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka sampai

ath-Thabari. Di dalamnya pun disebutkan sejrah sahabat yang terbunuh

dan semasa Rasulullah.

- Kitâb Fadha’il Ali bin Abî Tâlib, bagian awal kitab ini mengemukakan berita-berita yang shahih di sekitar peristiwaGadir Khum. Setelah itu diikuti dengan uraian keutamaan-keutamaan Ali. - Kitâb Fadha’il Abi Bakr wa Umar.

(34)

3. Metode Penulisan Tafsir Jami’ al-Bayân

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kitab Jami’ al-Bayân

karya Ibnu Jarîr merupakan salah satu kitab tafsirbi al-matsur.

Adapun metode yang dipakai oleh Ibnu Jarîr dalam penulisan kitab

tafsirnya adalah sebagai berikut:

1. Cara penyajiannya yang teliti dalam merangkai riwayat, dan beliau

sangat teliti dalam menyebutkan sanad, dan dalam pencantuman

riwayat, maka tafsir tersebut menjadi sangat istimewa dalam

pemikirannya.

Contoh: Dalam menjelaskan tentang diturunkannya Adam dan Hawa

ke bumi, beliau mencantumkan para periwayatnya, seperti dari Mûsa

bin Harun, berkata: dari Amru bin Humad, dari Asbath, dari Suddiyi,

dari Abi Malik, dari Abi Shalih, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari

Ibnu Mas’ud, dan setelah itu dilanjutkan kepada periwayatan. Dan

beliau lebih sering memakai kata “Haddatsana”, sebagai bentuk bahwa sang perawi langsung mendengar dari yang meriwayatkan.34

2. Beliau menjauhkan dari penafsiran yang menggunakan orientasi bi

al-ra’yî. Dalam beberapa riwayat beliau melarang tafsir dengan orientasi

bi al-ra’yî, karena menurut baliau bahwa dalam penafsiran kitab Allah tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dengan keterangan Rasulullah

Saw.

34 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath

-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,

(35)

3. Dibantu dengan ilmu tata bahasa, ia mendefinisikan arti kalimat

terhadap kalimat yang lain.

Contohnya dalam menafsirkan kata “al-Basmaallah” beliau mengatakan bahwa makna basmallah adalah memulai dengan menyebut nama Allah, dan menyebut-Nya sebelum mengerjakan

sesuatu, atau dengan kata lain, beliau menyatakan makna lain dari

basmallah adalah saya membaca dengan nama Allah, saya berdiri dan duduk karena Allah.35

4. Menyajikan dengan syair, dan dalam menjelaskan maksud kalimat

beliau benyak berlandaskan syair, terkadang disebutkan nama

pengarangnya dan terkadang cukup hanya dengan syairnya.

Contoh: Dalam menjelaskan kata”Faridhah” beliau menggunakan

syair sebagai berikut :

ﺖ ﻧ ﺎ ﻛ

ﺔ ﻀ ﻳ ﺮ ﻗ

ﺎ ﻤ ﻛ

ﺔ ﻀ ﻳ ﺮ ﻗ

Sesungguhnya kewajiban harus kamu kerjakan sebagaimana zina wajib dikenakan Rajam36

5. Beliau pun menampilkanqira’at, karena beliau seorang ahli dalam hal

tersebut.

Contoh: Dalam menjelaskan ayat ”

ﻚ ﻟ ﺎ ﻣ

“Abi ja’far berkata:

para ahli qira’at berbeda-beda dalam membacanya. Diantaranya ada

yang membaca ( ) dengan memendekkan pada ”mim”, dan

diantaranya ada yang membaca (

ِﻚ ِﻟ

) dengan memanjangkan

35

Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir: Dâr al-Manar, 1991), h. 73.

36

(36)

pada “mim”, dan ada pula yang membaca ( ) dengan

menasabkan pada huruf “kaf”’.37

Kitab tafsir ini terdiri atas tiga puluh jilid dan menjadi referensi

utama serta pokok bahasan bagi tafsir-tafsir berikutnya. Kitab ini telah

dicetak dua kali di Mesir.38 Ibnu as-Subukhi menyatakan bahwa

bentuknya yang sekarang adalah ringkasan dari kitabnya yang asli.

Pada mulanya kitab ini dianggap hilang tetapi secara tiba-tiba dan

dalam waktu yang tidak lama, ditemukan sebagai milik pribadi Amir

Hamad Ibnu Amir Abd al-Rasyd, salah soerang Amir Najeed. Dalam

versi yang disampaikan Goldziher, manuskrip kitab ini ditemukan

pada masa kebangkitan percetakan pada awal abad ke-20-an. Namun

dalam versi Mahmud Syakir (yang mentashih Tafsir ath-Thabârî

sekarang) naskah kitabnya yang asli belum ditemukan.39

Tafsir ath-Thabârî mempunyai gaya bahasa tersendiri yang

memerlukan kesungguhan dan ketelitian ekstra untuk memahami

kandungannya.

Dalam hal ini Mahmud Syakir berkomentar:

“Banyaknya pasal-pasal dalam tafsir ath-Thabârî menyulitkan saya untuk memahami kitab ini. Untuk memahami maknanya, saya harus membaca dua sampai ttiga kali. Hal ini terjadi sebab metode penulisan saya berbeda dengan metode yang digunakan ath-Thabari. Akan tetapi, tanda baca dalam kitab itu sedikit menolong memperjelas setiap ungkapan-ungkapannya.”

37

Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir: Dâr al-Manar, 1991), h. 102.

38

Thameem Ushama,Metodologi Tafsir al-Quran Kajian Kritis Objektif dan Komprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000), Cet. I, h. 68.

39

(37)

Disamping menggunakan gaya bahasa tertentu, ath-Thabârî pun

menggunakan metode dan orientasi tertentu. Tafsir ini menggunakan

metodetahlili40 karena menafsirkan ayat berdasarkan susunan mushafi, sedangkan orientasi yang dignakannya adalah orientasi gabungan

karena tafsir ini menggabungkan orientasi penafsiranbi al-matsur dan orientasi penafsiranbi al-ra’yî.41 Karena banyaknya jumlah hadis yang dimasukkan didalamnya, tafsir ini hampir dinilai secara particular

menjadi contoh penting tafsir bi al-matsur. Namun Jami’ al-Bayân

lebih dari sekedar koleksi dan kompilasi materi tafsir yang luas.

Struktur karya yang sangat hati-hati menunjukkan dengan jelas

pandangan dan penilaian yang sungguh-sungguh. Ath-Thabârî sangat

jelas memahami isu-isu metodologi dari halaman-halaman pertamanya.

Ia mengawali karyanya dengan bab pengantar yang hampir mendekti

sejumlah pemikiran hermeneutik. Selain perhatiannya terhadap bahasa

dan leksikal, ath-Thabârî mendiskusikan status problematika tafsir bi

al-rayî (interpretasi dengan opini pribadi), keberatan orang-orang yang

menentang semua kegiatan penafsiran tersebut, dan reputasi

penafsir-penafsir sebelumnya, apakah mereka yang dihormati atau ditolak

dimasa yang lalu. Persoalan yang menjadi perhatian disini adalah bab

40

Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud tafsir al-tahliliialah metode penafsiran ayat-ayat al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran dengan mengikuti tertib susunan atau urutan-urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Quran itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya. Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2001, h. 110.

41

(38)

dimana ath-Thabârî berusaha mendiskusikan berbagai macam cara

agar seorang individu sampai pada pengetahuan interpretasi (di sini ia

menggunakan istilahta’wil42) al-Quran.43

Penggunaan katata’wilpada saat mengungkapkan pendapatnya

sendiri tentang penafsiran ayat-ayat tertentu merupakan kekhususan

kitab tafsir ini yang tidak dimiliki oleh kitab tafsir lainnya.

Nampaknya, ath-Thabari menggunakan kata itu dalam pengertian

“tafsir” sebagaimana umumnya digunakan para mufassir lainnya.

Dalam hal ini, as-Suyuti berkomentar bahwa motivasi ath-Thabârî

menamai kitabnya dengan Jami’ at-Ta’wil an al-Qurân adalah untuk memperlihatkan bahwa kitab ini tidak hanya menyingkapkan makna

lafaz-lafaz al-Quran, tetapi juga disertai analisis struktur kalimatnya,

makna yang tersurat di dalamnya,, analisis bahasa, dan lain-lain.44

Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki tafsir

ath-Thabârî di atas, maka kitab ini kemudian mempunyai nilai tinggi. Di

dalam Lisan al-Mizan, disebutkan bahwa Ibnu Huzaimah pernah meminjam kitab tersebut dan baru selesai dibacanya setelah dua tahun dan

42

Secara bahasa,ta’wilberasal dari kataal-awl berarti ‘kembali’; atau dari kataal-ma’al berarti tempat kembali. Muhammad Husain Zahabi mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf,ta’wil memiliki dua macam pengertian, Pertama, menafsirkan teks dan menerangkan maknanya tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak. Kedua, ta’wil adalah substasi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri. Lihat Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2001, h. 19-20.

43

Research for Quranic studies (RQIS),Hermeneutik al-Quran: Pandangan ath-Thabari dan Ibnu Katsir, (Bandung: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Jati, 2002), Vol. I, h.6

44

(39)

menilai bahwa tidak ada mufassir yang lebih pandai dari pada

ath-Thabârî.45

B. Ibnu Katsîr

1. Riwayat Hidup Ibnu Katsîr

Dalam khazanah disiplin ilmu-ilmu al-Quran, dikenal dua tokoh

dengan nama Ibnu Katsîr.Pertama,Ibnu Katsîr dengan nama lengkap Abû Muhammad Abdullah bin Katsîr ad-Dary al-Makky yang lahir di Mekkah

pada tahun 45 H/665M. Ia adalah seorang ulama dari generasi tabi’in yang

dikenal sebagai salah seorang imam tujuh dalam qira’ah sab’ah (bacaan yang tujuh.46). Kedua, Ibnu Katsîr yang kitab tafsirnya menjadi objek penulisan buku ini, yakni Ibnu Katsîr yang muncul lebih kurang enam

abad setelah kelahiran Ibnu Katsîr yang pertama. Nama lengkapnya adalah

Imâd ad-Din Abû al-Fidâ’ Ismâil bin al-Khatib Syihab ad-Din Abî Hafsah

Umar bin Katsîr al-Quraisy asy-Syafi’i.47 Ia lahir di Mijdal dalam wilayah

Basrah pada tahun 700 H/1300 M. Predikat al-Busrawy sering

dicantumkan di belakang namanya karena ia lahir di Basrah. Demikian

pula predikat ad-Dimasyqi sering menyertai namanya. Hal ini berkaitan

dengan kedudukan kota Basrah yang menjadi bagian kawasan Damaskus,

atau mungkin disebabkan kepindahannya semenjak kanak-kanak ke sana.

Pendapat lain mengatakan bahwa predikat al-Busry berkaitan dengan

45

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 68.

46

Subhi Shahih, Mabahits fî ‘Ulûm, Beirut: Dâr al-Qalâm, 1998) h. 248; Kamaluddin

Marzuki, ‘Ulûm al-Quran (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 104.

47

Muhammmad Basuni Faudah, Tafsir al-Quran: Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir,

(40)

pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Asy-Syafi’I berkaitan

dengan mazhabnya.48 Ia meninggal pada tahun 774 H/1374 M. Pada usia

sekitar tujuh tahun, pendapat lain mengatakan tiga tahun, Ibnu Katsîr telah

ditinggal wafat oleh ayahnya sehingga ia tidak sempat menerima didikan

langsung dari ayahnya. Ditangan kakaknyalah, Kamâl ad-Dîn Abd.

Wahhab, Ibnu Katsîr pertma kalinya meniti tangga keilmuan menyusul

kepindahannya ke Damaskus pada tahun 707 H. Kegiatan mencari ilmu

kemudian dijalaninya dengan lebih serius di bawah bimbingan para ulama

semasanya. Diantaranya adalah Baha ad-Dîn al-Qasimy bin Asakir (w.

723H), Ishaq bin Yahya al-Amidî (w. 728 H), Taqy ad-Dîn Ahmad bin

Taimiyyah (w. 728 H). Bahkan Ibnu Katsîr menjadi murid Ibnu Taimiyyah

yang terbesar.

2. Karya-Karya Ibnu Katsir

Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajari secara mendalam oleh

Ibnu Katsîr, terutama hadis, fiqih, sejarah, dan tafsir. Dalam keempat

bidang ini dapat dijumpai karya-karya tulisnya sehingga wajar apabila

gelara-Hadist, al-Muhaddits, al-Faqih dan al-Mu’arrikh melekat di depan namanya49. Namun, popularitas karya-karyanya di bidang sejarah dan

tafsirlah yang memberi andil terbesar dan mengangkat namanya menjadi

tokoh ilmuwan yang dikenal di dunia Islam.

48

Muhammad Nusaib ar-Rifa’I,Tafsir al-Ali al-Qadir li Ikhtishar Tafasir Ibnu Katsir(t.t., Juz I), h. xi

49

(41)

Karya tulis sejarah yang dimaksud adalah kitabal-Bidayah wa an-Nihayah terdiri atas 14 jilid besar yang memaparkan berbagai peristiwa yang terjadi semenjak awal penciptaan alam sampai dengan

peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H atau enam tahun sebelum

wafatnya. Sedang karya tafsirnya yang dimaksud adalah Tafsîr al-Qurân al-Adzîm atau sering disebut dengan namaTafsir Ibnu Katsîr.50

Di bawah ini akan disebutkan beberapa karya Ibnu Katsir:

A. Dalam bidang Tafsir51:

- Tafsir al-Quran al-Adzîm, atau lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsîr, diterbitkan pertama kali di kairo pada tahun 1342

H/1923 M.

- Fudhail al-Quran, kitab ini berisikan ringkasan sejarah al-Quran, diterbitkan pada halaman akhir Tafsir Ibnu Katsîr sebagai

penyempurna.52

Di dalamnya banyak dipengaruhi kitab al-Siyasah al-Syar’iah karya Ibnu Taimiyyah.

B. Dalam bidang Hadis53:

- Kitab Jami’ al-Masanid wa as-Sunah (Kitab penghimpun musnad dan as-Sunah), yaitu kumpulan hadis-hadis yang terdapat di dalam

musnad Ibnu Hambal,kutûb al-sittah, dan sumber-sumber lainnya,

50

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.

51

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.

52

Abd al-Hayy al-Farawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h, 87-88

53

(42)

berdasarkan nama para sahabat yang meriwayatkannya secara

alfabetis.

- Takhrij al-Hadis Adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadîs, dikenal dengan al-Bait al-Hadîs, merupakan takhrij terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syiraji dalam kitabnyaal-Tanbih.

- Al-Takmilah fî Ma’rifat as-Sighat wa al-Dhu’afa wa al Mujahil, merupakan perpaduan dari kitab Tahzib al-Kamâl karya al-Mizzi dan Mizan al-I’tidal karya Zahabi, kitab ini berisi riwayat perawi-perawi hadis.

- Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibnu Shalah (w. 642 H/1246 M), karya ini keudian

disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakir dengan judulBaits al-Hadis fî Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs.

- Syarah Sahih al-Bukhâri, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-hadis Bukhâri tetapi tidak selesai dan kemudian dilanjutkan

oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (952 H/1449 M).

C. Dalam bidang Sejarah:

- Al-Bidayah wa al-Nihayah, kitab ini merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal

penciptan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768

H. sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar:

Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat

penciptaan sampai kenabian Muhammad Saw., dan kedua, yaitu

(43)

pertengahan abad 8 H. kejadian-kejadian setelah hijrah disusun

berdasarkan tahun kejadian.

- Al-Kawaktib al-Darari,cuplikan darial-Bidayah wa al-Nihayah.

- Al-Manaqib al-Imam as-Syafi’i. - Thabaqah as-Syafi’iyah.

- Al-Fushul fi Shirat al-Rasulataual-Sirah al-Nabawiyyah.

D. Dalam bidang Fiqih:

- Al-Jihad fî Talab al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M, untuk menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai

Lebanon (Syiria) dari serbuan raja Franks dari Cyprus, karya ini

banyyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibnu Timiyyah: al-Siyasah al-Syariyyah.

- KitabAhkam, kitab fiqih yang didasarkan pada al-Quran dan hadis. - Al-Ahkam ‘ala Abwab al-Tanbih, kitab ini merupakan komentar

dari kitabal-Tanbihkarya asy-Syiraji.

3. Metode Penulisan Tafsir al-Quran al-Adzim

Metode penafsiran tafsir Ibnu Katsîr bila diteliti termasuk dalam

kategori tafsir tahlili yang bercorak bil-matsur54. Pada awal mukaddimah tafsirnya beliau memberi keterangan:

54

Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta meneragkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sedangkan corak bil-ma’tsur yaitu menfsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan as-Sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, al-Quran dengan perkataan para sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau apa yang dikatakan, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in, karena pada umumnya mereka

menerimanya dari para sahabat. Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran,

(44)

“Cara penafsiran yang paling baik adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Sebab sesuatu yang dikemukakan secara global pada suatu ayat akan dijumpai penjelasannya pada ayat lain. Jika ternyata pada ayat lain tidak dijumpai pula penjelasannya akan dijumpai dengan sunnah. Nabi Saw sebagai penjelas al-Quran. ….Jika di sana pun tidak dijumpainya, kembalilah kepada perkataan sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui seluk beluk dan sebab-sebab turunnya al-Quran disamping pemahamannya yang sempurna serta ilmu shahih yang dimilikinya. ….Jika di sana pun tidak juga dijumpainya, kembalilah kepada perkataan-perkataan tabi’in55

Namun, perlu diperhatikan bahwa dimasukkannya kitab tafsir

dalam kategori yang bercorak bi al-ma’tsur tidak berarti menutup kemungkinan bagi penulisnya untuk memasukkan juga unsur-unsur

non-riwayat, seperti kupasan ijtihad. Corakbi al-Ma’tsur yang digunakan kitab tafsir di atas terbukti ketika terlihat bahwa Ibnu Katsîr tidak hanya

pengumpuul riwayat saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu

mentarjih sebagian riwayat bahkan pada saat-saat tertentu menolaknya,

baik dengan alasan karena riwayat-riwayatnya itu fantastic, tidak dapat

dicerna oleh akal sehat maupun alasan-alasan lainnya.56

Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci dan sistematika tentang

penafsiran Ibnu Katsîr:

1. Penjelasan sekitar sûrah dan ayat al-Quran

Dalam mengemukakan tentang penjelasan sekitar surat al-Quran,

Ibnu Katsîr mengawalinya dengan menyebutkan nama-nama surat itu

sendiri disertai dengan hadis-hadis yang menerangkan kepada hal

tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, sebelumnya beliau

55

Ibnu Katsir,Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), cet, ke-2, h. 133.

56

(45)

menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan

redaksi yang mudah disertai dengan hadis-hadi yang menerangkan

kepada hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran,

sebelumnya beliau menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat

tersebut dengan redaksi yang mudah serta ringan serta menyertainya

dengan dalil dari ayat yang lain, lalu membandingkan ayat-ayat

tersebut sehingga maksud dan artinya jelas57.

2. Menyebutkan hadis sampai kepada perawinya

Para ahli tafsir mengatakan Ibnu Katsîr merupakan tafsir bi al-Matsur yang terbaik dan berada setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarîr ath-Thabârî, bahkan ada juga yang mengatakan lebih tinggi dengan

tafsir ath-Thabârî dalam beberapa masalah58. Kelebihan-kelebihan

tertentu yang dimiliki tafsir Ibnu Katsîr tersebut terlihat dari cara yang

dilakukan Ibnu Katsîr menafsirkan al-Qu

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti dengan nama Khoiro Ummah jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir, dengan judul Membelanjakan Harta Di Jalan Allah Perspektif Ibnu Katsir Dan Ahmad Musthafa Al

Tafsir Ibnu Katsir Q.S Luqman ayat 12-19 , Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Q.S Luqman ayat 12-19 dan

Menurut Rasyid Ridha tafsir Ibnu Katsir adalah tafsir yang paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf

Dari hasil komparasi riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsîr al-Tabari dan tafsîr Ibn Katsîr serta 11 tafsir lain, maka kajian seputar urgensi adanya riwayat isrâîliyyât

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan menelaah tafsir Ibnu Katsir dan buku-buku lain terkait pendidikan anak sebagai literatur atau sumber data,

Membandingkan suatu tafsir dengan tafsir lainnya mengenai sejumlah ayat al- Qur’an yang memuat kata israf, serta menafsirkannya dengan penafsiran Ibnu Katsir dan

Nini Galuh Paramuditha Rahayu Firstian, 2022: PARENTING DALAM TAFSÎR AL-MISBÂH (Studi Tafsir Tematik). Kata Kunci: Parenting, Maudhû’î, dan Tafsîr Al-Misbâh. Dalam

Sedangkan fokus penelitian penulis pada penafsiran makna ayat-ayat isyarat tentang warna menurut Thanthawi Jauhari dan Quraish Shihab dalam Tafsir Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur‟ân Al-Karîm,