• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab, Integritas, dan Moral

N/A
N/A
baksyabhakti yasa

Academic year: 2025

Membagikan " Tanggung Jawab, Integritas, dan Moral"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun oleh :

No Nama Nim

1. Setiyawati 21110020

([email protected]) 2. Zahrah Alenta Puti Santosa 21110126

([email protected])

3. Riski Yandar Muhamad 21110139

4. Adhi Nugroho 21110117

5. Heribertus Juan 21110148

([email protected])

6. Namora Pogu Siregar 21110170

(namorapogusiregar2gmail.com)

UNIVERSITAS JANABADRA

FAKULTAS HUKUM

(2)

A. PENDAHULUAN

Profesionalitas adalah kata yang selalu berasosiasi dengan sebuah tanggung jawab, integritas, bahkan juga berhubungan dengan moral. Profesionalitas selalu dikaitkan dengan bagaimana seharusnya bertindak atau tidak bertindak, dengan berpedoman pada aturan dan wewenang, serta diasuh oleh prinsip etik maupun moral sebagai sebuah nilai yang tidak boleh dilanggar.

Ukuran dari seperangkat nilai dan kepantasan yang terdapat dalam profesioanalisme dari seorang/individu/kelompok/institusi yang diberikan tugas dan wewenang dewasa ini telah banyak mengalami sebuah kekaburan dan syarat dengan kritikan terhadap apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Singkatnya, profesioanlisme telah mengalami kemerosotan yang dalam hal ini juga selalu dikaitkan dengan unsur melemahnya etika dan moral.

Masalah moralitas penegak hukum dari waktu ke waktu masih merupakan persoalan yang relevan untuk dibicarakan, karena apa yang disajikan oleh media massa juga seringkali bersifat paradoksal.

“….Pada satu sisi, penegak hukum di tuntut untuk menjalankan tugas sesuai dengan amanat undang-undang yang berujung pada pemberian putusan dengan substansi berupa keadilan bagi para pihak, akan tetapi di sisi lain dijumpai penegak hukum yang justru melakukan kejahatan dan ini menyebabkan citra lembaga penegak hukum dan penegakan hukum Indonesia terpuruk di tengah-tengah arus perubahan jaman.”1

Dunia hukum pidana Indonesia belakangan ini menjadi perbincangan yang tak kunjung habis ketika beberapa media massa memberitakan terkait

1 Agus Raharjo, “Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktik”, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 24 No. 1 Januari (2006): h. 3.

(3)

mundurnya tingkat integritas dalam profesioanalisme praktik sistem peradilan pidana yang berakhir pada tercederainya asas fundamental penerapan sistem peradilan pidana, namun juga jaminan prinsip Hak Asasi Manusia.

Salah satu contoh kasus penyidikan yang salah dalam menerapkan prosedur adalah pada kasus Hasya, korban kecelakaan lalu lintas yang ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya. Namun, Polda Metro Jaya mencabut penetapan tersangka tersebut pada 6 Februari 2023 karena adanya kesalahan prosedur dalam penyidikan. Polda Metro Jaya akhirnya pada 6 Februari 2023 mencabut penetapan tersangka terhadap Hasya, korban kecelakaan lalu lintas yang tertabrak oleh mobil mantan Perwira Polri pada Oktober 2022 di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan.2

Dari semua kasus viral yang bermunculan seringkali dikaitkan dengan bagaimana profesioanlisme para penegak hukum dan sistem penegakan hukum pidana di Indonesia diselenggarakan dalam upaya mewujudkan tercapainya sebuah keadilan dengan berpedoman pada ketentuan hukum serta penggalian untuk menemukan kebenaran materil sebagaimana prinsip penegakan hukum pidana.

Salah satu penegak hukum yang seringkali mendapat sorotan adalah polisi, sebagaimana menurut pandangan sosiologi hukum Satjipto Raharadjo yang mnyatakan, “karena polisi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum pidana, sehingga tidaklah berlebihan jika polisi dikatakan sebagai

2 https://icjr.or.id/polisi-akui-salah-prosedur-penetapan-tersangka-hasya-icjr-bukti-segudang- masalah-dalam-proses-penyidikan-mulai-dari-kompetensi-penyidik-hingga-urgensi-memperkuat- pengawasan-dari-jaksa-dan-pengadilan/, diakses pada tanggal 8 Desember 2024 pukul 15.00 WIB

(4)

hukum pidana yang hidup, yang menterjemahkan dan menafsirkan law in the book menjadi law in action.”3

Dari beberapa kasus yang diberitakan media, institusi Polri dalam hal ini, sebagai salah satu bagian dari sistem peradilan pidana yang menangani tahap penyelidikan dan penyidikan, menjadi fokus kritisisme para ahli hukum pidana dan masyarakat atas kinerjanya yang dianggap telah menyalahi prosedur penyidikan sebagaimana diatur oleh KUHAP, sehingga menimbulkan turunya kepercayaan publik terhadap institusi polri dalam buruknya menangani tugas penyidikan.

Institusi Polri menjadi sorotan para pakar hukum dan masyarakat sipil khususnya, yang menjadi konsekuensi atas beberapa kasus kasalahan prosedur penyidikan yang sekaligus memiliki dua dampak ganda yang sangat merugikan, yaitu yang pertama adalah menurunya kepercayaan terhadap institusi Polri yang dianggap kurang professional dan menyalahi aturan hukum serta prinsip hak asasi manusia; dan yang kedua berdampak pada ketidakpuasan masyarakat dalam mencari keadilan sehingga menimbulkan kegoncangan yang besar terhadap kondisi sistem peradilan pidana di Indonesia.

Kompolnas melakukan survei berkala terkait persepsi publik terhadap kinerja Polri, termasuk dalam hal penyidikan. Hasil survei Kompolnas (2020) menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan dalam beberapa aspek, seperti

3 Satjipto Raharadjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, (Penerbit Buku Kompas,

Jakarta, 2002) h. Xxv.

(5)

kemampuan teknis penyidik dan penggunaan teknologi dalam penyidikan, masih banyak laporan tentang penyimpangan prosedur.

Berbagai media juga menyoroti kurangnya transparansi dalam proses penyidikan, di mana publik sering kali tidak mendapatkan kejelasan mengenai langkah-langkah yang diambil Polri terhadap personel yang terlibat dalam pelanggaran. Sejumlah organisasi masyarakat mendesak Polri untuk lebih profesional dan akuntabel dalam menangani kasus-kasus ini, serta memperbaiki mekanisme penyidikan agar tidak melanggar prinsip-prinsip HAM dan hukum.

“Terlepas dari kasus ”Sambotgate”, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai profesionalisme Polri masih jauh dari harapan. Catatan pada integritas sumber daya manusia (SDM) Polri, bila diukur secara kompetensi dan kapabilitas kualitas SDM semakin meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan integritas.”4

Dari uraian permasalahan di atas dapat dirumuskan terkait beberapa pokok permasalahan yang terjadi akibat dianggap kurang profesionalisme aparat penegak hukum, kususnya Polri dalam tugasnya sebagai penyidik dalam penanganan perkara pidana, untuk memenuhi asas keadilan, kepastian hukum, serta memenuhi prinsip hak asasi manusia maupun keadilan restoratif yang sekarang ini menjadi semangat jiwa hukum keadilan hukum pidana di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

4 https://www.antaranews.com/berita/3125553/tantangan-profesionalisme-polri-itu-bernama integritas, diakses pada tanggal 13 Oktober 2024, pukul 12.44 WIB.

(6)

1. Bagaimana upaya Polri dalam meningkatkan kompetensi anggota untuk mendukung ketugasan sebagai penyidik ?

2. Apa saja faktor hambatan dan kendala yang dihadapi Polri dalam upaya menuju terwujudnya peningkatan kompetensi profesioanlitas penyidikan ? C. TINJAUAN PUSTAKA

a. Konsep Profesionalisme dalam Kepolisian

Profesionalisme Polri merujuk pada kemampuan dan keterampilan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam menjalankan tugasnya secara profesional, beretika, dan sesuai dengan standar operasional yang berlaku. Profesionalisme ini menjadi landasan penting dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian, termasuk dalam penyidikan perkara pidana, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat.

Menurut Syahrial, “profesionalisme di dalam kepolisian mencakup beberapa dimensi, yaitu kemampuan teknis, sikap moral, dan komitmen terhadap etika profesi. Ketiga dimensi ini harus berjalan seiring untuk memastikan bahwa tugas kepolisian, khususnya dalam penyidikan perkara pidana, dapat dilakukan secara efektif dan sesuai dengan prinsip keadilan.”5 Polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, bukan hanya harus tunduk pada hukum yang berlaku sebagai aspek luar, mereka dibekali pula dengan etika kepolisian sebagai aspek dalam kepolisian.

“Etika kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan

5 Syahrial. Profesionalisme Kepolisian: Teori dan Implementasi. (Bandung: Mandar Maju, 2014),

h,21.

(7)

pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegakan hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.”6

b. Profesionalisme dalam Penyidikan Perkara Pidana

Penyidikan perkara pidana merupakan salah satu fungsi utama Polri.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik, berdasarkan cara-cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti guna menemukan tersangka tindak pidana. Oleh karena itu, tingkat profesionalisme dalam penyidikan perkara pidana sangat penting untuk menentukan keberhasilan proses hukum selanjutnya.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa

“….penyidikan adalah proses yang paling penting dalam sistem peradilan pidana karena keberhasilan atau kegagalan dalam penyidikan sangat mempengaruhi tahapan-tahapan selanjutnya, seperti penuntutan dan persidangan. Oleh karena itu, kemampuan penyidik dalam memahami substansi hukum, mengumpulkan bukti secara sah, serta menjaga obyektivitas dan netralitas sangat krusial.”7

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Penyidikan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi tingkat profesionalisme penyidik dalam Polri. Susilo menemukan bahwa salah satu faktor utama adalah ”pelatihan yang berkelanjutan dan pendidikan formal bagi para penyidik. Penyidik yang terus menerus dilatih dalam hal teknik penyidikan modern, serta

6 Kunarto, Etika Kepolisian, (Jakarta,Cipta Manunggal, 1997), h. 97.

7 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Rajawali Press, (2007), h. 32.

(8)

pemahaman terhadap hukum yang dinamis, cenderung mampu meningkatkan kualitas penyidikan.”8

Penelitian lain oleh Nurhadi mengungkap bahwa

“….dukungan dari institusi, seperti peralatan dan teknologi canggih, serta lingkungan kerja yang kondusif, juga sangat mempengaruhi kinerja penyidik. Penyidik yang memiliki akses ke teknologi forensik modern, misalnya, lebih mampu mengumpulkan dan menganalisis bukti secara akurat, sehingga meningkatkan kemungkinan penyelesaian perkara yang adil dan benar.”9

d. Pengaruh Profesionalisme terhadap Kualitas Penyidikan.

Tingkat profesionalisme penyidik secara langsung mempengaruhi kualitas hasil penyidikan. Iskandar menyatakan bahwa “penyidik yang profesional akan lebih mampu menyelesaikan kasus-kasus pidana dengan tepat waktu dan dengan tingkat kesalahan minimal. Selain itu, mereka juga lebih mampu menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat dan meminimalkan terjadinya konflik antara pihak yang bersengketa.”10

Sementara itu, penelitian oleh Firmansyah menunjukkan bahwa

“….profesionalisme yang tinggi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri, khususnya dalam menangani kasus- kasus yang kompleks dan sensitif, seperti korupsi dan kejahatan terorganisir. Profesionalisme tidak hanya dilihat dari kemampuan teknis, tetapi juga dari sikap penyidik dalam menjalankan tugasnya secara transparan, akuntabel, dan tanpa diskriminasi.”11

8 Susilo. "Faktor Penentu Profesionalisme Penyidik di Polri". Jurnal Ilmu Kepolisian, (2015); h.

45-57.

9 Nurhadi, Pengaruh Teknologi Terhadap Kinerja Penyidikan. {Surabaya: Genta Press, 2018), h.

21.

10 Iskandar. Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kualitas Penyidikan. (Bandung: Pustaka Bangsa, 2017). h. 17.

11 Firmansyah. "Profesionalisme Polri dalam Menangani Kejahatan Korupsi". Jurnal Pidana &

Kriminal, (2020):h. 65-79.

(9)

Kepolisian merupakan lembaga sub sistem dalam sistem peradilan pidana yang mempunyai kedudukan pertama dan utama. Kedudukan yang demikian oleh Harkristuti Harkrisnowo dikatakan sebagai the gate keeper of the criminal justice system.12 Tugas polisi dalam rangkaian sistem peradilan pidana adalah melakukan penyidikan yang berujung pada dihasilkannya Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

D. PEMBAHASAN

1. Upaya dan Langkah Strategis Polri dalam Meningkatkan Kompetensi Penyidikan

a. Contoh Kasus Kesalahan Penerapann Prosedur Penyidikan

Penerapan prosedur penyidikan merupakan langkah penting dalam proses penegakan hukum yang bertujuan untuk memastikan pengungkapan fakta-fakta hukum secara objektif, transparan, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prosedur penyidikan meliputi serangkaian tahapan mulai dari penerimaan laporan, pengumpulan alat bukti, pemeriksaan saksi dan tersangka, hingga penyusunan berkas perkara untuk diserahkan ke tahap penuntutan. Dalam pelaksanaannya, penyidik diwajibkan mematuhi prinsip-prinsip hukum seperti presumption of innocence, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan asas legalitas guna menjamin keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Penerapan prosedur penyidikan yang tepat tidak hanya berfungsi untuk mengungkap kebenaran hukum, tetapi

12 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemi- danaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum di FH UI Depok, 8 Maret 2003, h. 2.

(10)

juga menjadi wujud tanggung jawab negara dalam menjaga integritas sistem peradilan, memulihkan kepercayaan masyarakat, dan mencegah terjadinya penyimpangan yang dapat merugikan proses hukum.

Polda Metro Jaya akhirnya pada 6 Februari 2023 mencabut penetapan tersangka terhadap Hasya, korban kecelakaan lalu lintas yang tertabrak oleh mobil mantan Perwira Polri pada Oktober 2022 di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sebelumnya, polisi menilai Hasya telah lalai dalam berkendara hingga menyebabkan kematian dirinya sendiri, dan oleh karenanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada peristiwa kecelakaan tersebut. Dalam beberapa perdebatan yang muncul, disuarakan bahwa Hasya ditetapkan sebagai tersangka guna penyidik dapat menghentikan perkara, karena pemahaman bahwa penyidikan harus dengan adanya tersangka. Permasalahan kasus ini menandakan segudang masalah yang terjadi dalam proses penyidikan oleh kepolisian, dan juga secara umum permasalahan proses peradilan pidana. 

Alasan yang disampaikan oleh Polda Metro Jaya ketika mencabut status tersangka Hasya yakni karena adanya kesalahan prosedur dalam proses penyidikan kasus tersebut yang merujuk pada ketentuan Perkap 1/2019 tentang Sistem, Manajemen, dan Standar Keberhasilan Operasional Polri dan Perkap 6/2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

13

13 https://icjr.or.id/polisi-akui-salah-prosedur-penetapan-tersangka-hasya-icjr-bukti-segudang- masalah-dalam-proses-penyidikan-mulai-dari-kompetensi-penyidik-hingga-urgensi-memperkuat- pengawasan-dari-jaksa-dan-pengadilan/ diakses pada tanggal 8 Desember 20204 pukul 15. 12 WIB

(11)

Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya salah prosedur penyidikan adalah pengaturan dalam Perkap tersebut dan pemahaman yang ditimbulkan, dalam Perkap tersebut dijelaskan bahwa rangkaian penyidikan antara lain: penyelidikan; dimulainya penyidikan; upaya paksa; pemeriksaan; penetapan tersangka. Dipahami bahwa dilakukannya penyidikan harus dengan diawali dengan ditetapkannya tersangka. Hal ini adalah sebuah kesalahan. Rujukan utama penyidik dalam hal ini seharusnya pada KUHAP yang sebenarnya tidak mensyaratkan adanya penetapan tersangka terlebih dahulu untuk menjalankan proses penyidikan tindak pidana.

KUHAP bahkan memberikan definisi mengenai proses penyidikan itu sendiri yang bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang tentang tindak pidana, guna menemukan tersangkanya. Dengan logika KUHAP tersebut, maka proses penyidikan seharusnya dapat terus berjalan untuk pengumpulan alat bukti meskipun belum ada tersangka yang ditetapkan. Penyidikan pun dapat dihentikan jika tidak cukup bukti ataupun bukan merupakan tindak pidana.

Kesalahan prosedur ini merupakan hal yang seharusnya tidak terjadi jika terdapat fungsi pengawasan yang melekat sejak awal proses pidana yakni pada tahapan penyelidikan dan penyidikan yang seharusnya dijalankan oleh jaksa penuntut umum sebagai dominus litis (pengendali/penguasa perkara pidana). Sebagai pihak yang nantinya

(12)

akan membawa kasus pidana ini ke persidangan, maka jaksa penuntut umum berkepentingan untuk memastikan dan menentukan kapan alat bukti dikatakan cukup dan hingga bagaimana proses menetapkan tersangka/pelaku tindak pidana berjalan. Semua kerja-kerja penyidik untuk itu sudah semestinya berada di bawah pengawasan jaksa penuntut umum yang menjalankan fungsi penuntutan, hal ini sebenarnya bisa dilakukan saat ini dengan pengaturan yang dimuat dalam KUHAP. 

Namun pada kasus ini, tahapan yang dilakukan oleh penyidik setelah menetapkan tersangka Hasya kemudian diikuti dengan menghentikan proses penyidikan dengan alasan pelaku meninggal dunia melalui penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3).

Proses tersebut juga dilakukan lagi-lagi tidak berada di bawah pengawasan dan koordinasi dengan jaksa penuntut umum. Hal ini kemudian juga menimbulkan pertanyaan oleh publik terkait itikad polisi untuk mengusut peristiwa kecelakaan tersebut dengan sungguh- sungguh. Sedangkan di sisi lain, hingga saat ini belum juga ada proses tindak lanjut terhadap pengendara mobil yang menabraknya, yang waktu itu bahkan sempat menolak untuk membawa Hasya ke rumah sakit hingga berujung pada korban meninggal dunia. Konstruksi kasus tersebut seharusnya membuat penyidik melakukan penyidikan dengan tepat termasuk pada kemungkinan yang ditetapkan tersangka adalah justru yang menabrak Hasya.

b. Upaya Peningkatan Profesionalitas Kompetensi Penyidikan

(13)

Polri telah melakukan berbagai langkah strategis dalam meningkatkan kompetensi anggotanya, khususnya untuk mendukung tugas sebagai penyidik. Salah satu upaya utama yang dilakukan adalah melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Polri menyadari bahwa penyidik yang kompeten harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang aspek teknis dan yuridis dalam penyidikan, serta harus mampu mengikuti perkembangan teknologi dan dinamika hukum yang terus berubah.

‘….program ini berfokus pada pengembangan keterampilan penyidik dalam berbagai bidang, seperti tindak pidana umum, ekonomi, dan khususnya dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan kejahatan berbasis teknologi. Program spesialisasi ini penting karena penyidikan perkara yang kompleks memerlukan kemampuan teknis dan pengetahuan hukum yang mendalam.”14

“Polri telah mengadopsi program pelatihan yang berbasis kompetensi, yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis dalam investigasi, termasuk kemampuan analisis bukti, penyusunan laporan yang sistematis, dan pengelolaan kasus dengan cara yang profesional.”15

Membangun SDM yang berkualitas dan memiliki integritas adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Pembangunan SDM tentunya bukan untuk menciptakan “manusia setengah dewa” yang tidak bisa salah. Perlu diciptakan sistem yang bisa mengontrol sumber daya

14 Hernawan. Pendidikan Spesialisasi Penyidik Polri dan Tantangan Era Digital. (Bandung: Fokus Pustaka, 2021)

15 Widyatama(2019). “Peran Teknologi dalam Mendukung Penyidikan Polri.” Jurnal Forensik Digital, (2019): h. 45-58.

(14)

dan sistem pengawasan yang bisa memastikan bahwa sistem kontrol tersebut bisa berjalan sesuai harapan.

Selain itu, upaya Polri dalam meningkatkan kompetensi juga dilakukan dengan berkolaborasi dengan berbagai institusi internasional untuk menyelenggarakan pelatihan khusus, terutama yang berkaitan dengan kejahatan siber, kejahatan transnasional, dan teknologi forensik.

Kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional seperti Interpol dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) telah membantu Polri mengadopsi praktik-praktik terbaik dalam penyidikan yang diterapkan secara global.

Implementasi teknologi canggih dalam penyidikan juga menjadi prioritas Polri dalam meningkatkan kompetensi penyidik. Dengan perkembangan teknologi informasi, Polri telah memperkenalkan berbagai perangkat dan metode berbasis teknologi untuk membantu penyidik dalam mengumpulkan dan menganalisis bukti secara lebih cepat dan efisien. “Penggunaan perangkat cyber forensic, sistem biometrik, dan analisis DNA menjadi beberapa contoh upaya Polri dalam memanfaatkan teknologi guna meningkatkan kualitas dan akurasi hasil penyidikan.”16

16 Widyatama. “Peran Teknologi dalam Mendukung Penyidikan Polri.” Jurnal Forensik Digital, (2019): h. 45-58.

(15)

Dalam upaya meningkatkan kompetensi, Polri juga berfokus pada penanaman nilai-nilai etika dan integritas bagi para penyidiknya.17 Melalui berbagai program pendidikan moral dan pelatihan etika, Polri berusaha untuk membentuk penyidik yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki karakter yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, transparansi, dan anti-korupsi. Di samping itu bahwa pendidikan karakter dan integritas menjadi fondasi penting dalam membentuk profesionalisme seorang penyidik, karena kepercayaan masyarakat terhadap hasil penyidikan sangat bergantung pada integritas penyidik itu sendiri.

2. Faktor Hambatan dalam Meningkatkan Kompetensi Profesionalitas Penyidikan

Meskipun Polri telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kompetensi anggotanya, terdapat beberapa hambatan dan kendala yang dihadapi dalam mewujudkan peningkatan profesionalisme penyidik. Salah satu kendala utama adalah terbatasnya anggaran untuk pelatihan dan pengadaan teknologi penyidikan. “Meskipun pemerintah terus mendukung peningkatan anggaran Polri, alokasi dana yang ada sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pelatihan dan teknologi yang semakin berkembang pesat, terutama di bidang kejahatan digital.”18

17 Santoso, Penguatan Integritas Penyidik Polri dalam Meningkatkan Profesionalitas. (Jakarta:

Pustaka Kepolisian, 2020), h. 31.

18 T, Saputra. “Hambatan Anggaran dalam Peningkatan Kompetensi Penyidik”. Jurnal Manajemen

Kepolisian, (2019): h, 76-88.

(16)

Kendala selanjutnya adalah terkait SDM Polri. Meskipun rekrutmen Polri saat ini sudah mengalami perbaikan, tapi juga masih harus terus ditingkatkan. Pendidikan dan pelatihan juga sudah sangat memadai.

Persoalan SDM saat ini justru terjadi setelah pendidikan dan pelatihan.

“Paparan lingkungan kerja yang buruk, tidak adanya merit system dan minimnya pengawasan, sementara kewenangan Polri sangat besar membuat budaya militeristik yang masih terbawa sampai saat ini mengakibatkan arogansi dan penyelewengan-penyelewengan yang keluar dari tugas pokok dan fungsi Polri.”19

Kendala lainnya adalah perbedaan kualitas dan akses pelatihan antara penyidik di pusat dan daerah. Penyidik di daerah sering kali tidak mendapatkan akses yang setara terhadap fasilitas pelatihan yang modern dibandingkan dengan penyidik yang berada di pusat. Fauzan dalam penelitianya menjelaskan bahwa “di beberapa wilayah terpencil, fasilitas teknologi dan infrastruktur pelatihan masih terbatas, sehingga kemampuan penyidik di daerah tersebut tertinggal dibandingkan dengan rekan-rekannya di perkotaan yang lebih mudah mendapatkan akses pelatihan.”20

Faktor lain yang turut menjadi kendala adalah kurangnya insentif dan penghargaan bagi penyidik yang berprestasi. Menurut Ismail dalam jurnal penelitianya, “penyidik yang berhasil menyelesaikan kasus-kasus sulit sering kali tidak mendapatkan apresiasi yang memadai, baik dalam bentuk

19 https://www.antaranews.com/berita/3125553/tantangan-profesionalisme-polri-itu-bernama

integritas, diakses pada tanggal 13 Oktober 2024, pukul 12.44 WI

20 H, Fauzan. “Kesenjangan Pelatihan antara Penyidik di Pusat dan Daerah”. Jurnal Ilmu Hukum dan Kepolisian, (2020): h, 33-47.

(17)

kenaikan pangkat maupun insentif finansial. Hal ini membuat motivasi penyidik untuk terus meningkatkan kompetensinya menurun, terutama jika dibandingkan dengan beban kerja yang semakin berat.”21

3. PENUTUP a. Kesimpulan.

1. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Polri telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kompetensi penyidik dalam mendukung tugas penyidikan, di antaranya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, pemanfaatan teknologi modern, dan kerjasama internasional. Polri juga mengembangkan sistem pembelajaran jarak jauh seperti e-learning untuk memastikan akses yang lebih luas bagi penyidik di daerah terpencil. Penguatan integritas dan etika kerja juga menjadi bagian penting dalam peningkatan profesionalitas penyidik.

2. Faktor hambatan dalam meningkatkan kompetensi profesionalitas penyidikan adalah yang palimg utama yaitu pada terbatasnya anggaran, kualitas SDM dan perbedaan kualitas dan akses pelatihan antara penyidik di pusat dan daerah.

b. Saran

1. Pengembangan Kurikulum Pelatihan yang Lebih Terstruktur dan Dinamis. Polri perlu terus memperbarui kurikulum pendidikan dan pelatihan penyidiknya agar sesuai dengan perkembangan kejahatan

21 M, Ismail. “Insentif dan Penghargaan sebagai Motivator Bagi Penyidik Polri.” Jurnal Manajemen dan Kepemimpinan, .(2020): h, 89-102.

(18)

dan teknologi terkini. Pelatihan yang lebih fokus pada kemampuan penyidikan modern, seperti investigasi kejahatan siber, penggunaan teknologi forensik, serta analisis bukti digital, perlu diperbanyak.

2. Perbaikan Sistem Penghargaan dan Kesejahteraan Penyidik Penyidik yang menunjukkan prestasi dan profesionalisme yang tinggi perlu diberikan penghargaan yang memadai, baik dalam bentuk insentif, promosi jabatan, maupun apresiasi publik. Hal ini penting untuk memotivasi penyidik agar terus meningkatkan kompetensi dan menjaga integritasnya.

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku

Hernawan. Pendidikan Spesialisasi Penyidik Polri dan Tantangan Era Digital.

Bandung: Fokus Pustaka, 2021.

Iskandar. Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kualitas Penyidikan. Bandung:

Pustaka Bangsa, 2017.

Kunarto. Etika Kepolisian. Jakarta, Cipta Manunggal, 1997.

(19)

Nurhadi. Pengaruh Teknologi Terhadap Kinerja Penyidikan. {Surabaya: Genta Press, 2018.

Santoso, Penguatan Integritas Penyidik Polri dalam Meningkatkan Profesionalitas. Jakarta: Pustaka Kepolisian, 2020.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 2007.

Syahrial. Profesionalisme Kepolisian: Teori dan Implementasi. Bandung: Mandar Maju, 2014.

Raharadjo, Satjipto. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia. .Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002.

Jurnal

Fauzan, H. “Kesenjangan Pelatihan antara Penyidik di Pusat dan Daerah.” Jurnal Ilmu Hukum dan Kepolisian, (2020): 33-47.

Firmansyah. "Profesionalisme Polri dalam Menangani Kejahatan Korupsi".

Jurnal Pidana & Kriminal, (2020): 65-79.

Ismail, M. “Insentif dan Penghargaan sebagai Motivator Bagi Penyidik Polri”.

Jurnal Manajemen dan Kepemimpinan, (2020): 89-102.

Raharjo, Agus. “Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktik”, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 24 No.

1 Januari (2006): 3.

Saputra, T. “Hambatan Anggaran dalam Peningkatan Kompetensi Penyidik.”

Jurnal Manajemen Kepolisian, (2019): 76-88.

Susilo. "Faktor Penentu Profesionalisme Penyidik di Polri". Jurnal Ilmu Kepolisian, (2015); 45-57.

Widyatama. “Peran Teknologi dalam Mendukung Penyidikan Polri.” Jurnal Forensik Digital, (2019): h. 45-58.

Makalah-Pidato

Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum di FH UI Depok, 8 Maret 2003, h. 2.

Sumber Elektronik

(20)

https://www.antaranews.com/berita/3125553/tantangan-profesionalisme-polri-itu- bernama integritas, diakses pada tanggal 13 Oktober 2024, pukul 12.44 WIB.

https://icjr.or.id/polisi-akui-salah-prosedur-penetapan-tersangka-hasya-icjr-bukti- segudang-masalah-dalam-proses-penyidikan-mulai-dari-kompetensi- penyidik-hingga-urgensi-memperkuat-pengawasan-dari-jaksa-dan- pengadilan/, diakses pada tanggal 8 Desember 2024 pukul 15.00 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel tanggung jawab moral, kesadaran wajib pajak, sanksi perpajakan, dan kualitas pelayanan secara bersama-sama mempunyai pengaruh

Viera Handayani: Etika bisnis dan tanggung jawab sosial pada PT... Viera Handayani: Etika bisnis dan tanggung jawab sosial

Keadaan ini menunjukkan bahwa dunia bisnis menuntut tanggung jawab setiap pelaku bisnis supaya konsumen tidak merasa dirugikan oleh mereka yang tidak bertanggung

Etika adalah aturan mengenai prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral yang mengatur perilaku seseorang atau kelompok mengenai apa yang benar dan yang salah. Etika menyusun standar

Dengan demikian, dengan konsep tanggung jawab sosial dan moral perusahaan mau dikatakan bahwa suatu perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang

Tanggung jawab merupakan salah satu isi dari 9 sikap anti korupsi, sebagai upaya pencegahan korupsi sikap tanggungjawab merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh

Tanggung jawab dan wewenang direksi, dewan komisaris, dan SDM dalam penyelenggaraan

Makalah ini membahas masa depan profesi Teknologi Informasi dengan fokus pada etika, tanggung jawab, dan kebutuhan