BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Karena syariat islam lengkap, orisional, valid, dan benar maka terjadi satu kewajiban bagi para juru didik ilmu-ilmu syariat dan para peneliti dalam setiap aspek agar mempelajari dan mengetahui dan mengetahui sejarah perkembangan syariat yang agung ini, menelusuri fase-fase dimana mengenal sumber serta dasar yang menjadi landasanya, mempelajari mazhab-mazhab ijtihad yang ada serta kaidah dan teori yang dihasilkan.
Untuk merealisasikan tujuan mulia ini membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, kami sungguhkan kajian ini sebagai pengantar untuk memahami masa kemunduran Islam dalam bentuk makalah.
Dengan pertolongan Allah SWT, kami memulai dengan membahas tentang:
Masa Kemunduran
Pasca dan kondisi mazhab
Pemikiran dan Kitab
Tokoh-Tokoh pada masa ini
Kondisi Sosial Politik
BAB II PEMBAHASAN A. Masa Kemunduran
Disebut masa kemunduran karena masa-masa ini dunia Islam dalam proses penghancuran oleh bangsa Mongol dibawah pimpinan Jengiskan dan keturunannya serta Timur Lenk yang juga masih keturunan bangsa Mongol.
Periode ini dimulai dari abad berakhirnya kekuasaan bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini , ditandai dengan menyebarkan pusat pusat islam di beberapa wilayah , sehingga umat islam sendiri dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah persaudaraan dan persatuan dikalangan umat islam dan sebaliknya menjadi permusuhan.Pada masa ini, hukum islam mulai mengalami stagnasi (jumud).
Hukum islam tidak digali dari sumber utamanya (alqur’an dan sunnah), para ulama masa kini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai ada kecenderungan mazhab lain, seolah olah kebenaran merupakan hak prerogative mazhab yang dianutnya, sehingga tak salah jika masa ini merupakan fase pergeseran orientasi dari Alquran dan sunnah menjadi orientasi kepada pendapat ulama.1
B. Pasca dan kondisi mazhab
Sebagaimana diketahui, pada masa ini telah terbentuk mazhab-mazhab fikih.
Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar dalam perkembangan fikih yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam. Para ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fikihnya dengan mengembangkan pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatan ringkasan ringkasan (mukhtasyar) terhadap kitab kitab fikih yang terlalu tebal. Selain itu ulama ulama pada fase ini melakukan ulasan
1 Abd Al-Rahman Tajuddin, Dirasat fi al-Tarikh al-Islami, (Kairo: Maktabah AL- Sunnah AL-Muhammadiyah, 1953), hlm. 148.
ulasan dan penjelasan penjelasan (syarah) serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat penjelasannya (khassiyyah) terhadap kitab kitab fikihyang ringkas atau kurang luas, sehingga dalam proses belajar fikih menjadi berat, yakni harus menguasai , menghafal, dan menjaga seluruh isi kitab fikih dan menjaga cara – cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu aktifitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat pendapat yang berbeda – beda dalam suatu mazhab, baik itu dari segi riwayah maupun dirayah.
Madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab penguasa.
Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status, demi “ketertiban dan keamanan”.
Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.Awal kebekuan ijtihad yang disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat komplek, telah menyebabkan kejumudan pemikiran fiqh. Berbagai faktor, baik faktor politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu dalam lapangan hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi
tidak sanggup mempunyai orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan mereka harus selalu bertaqlid
Kodifikasi pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Pada fase-fase sebelumnya, para fuqaha terpaksa harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal- hal yang tidak ada hukumnya dalam syara’. Setelah hasil ijtihad mereka kumpulkan dan mereka bukukan, baik untuk hal-hal yang telah terjadi maupun yang kemungkinan akan terjadi, maka orang-orang sesudah mereka hanya mencukupkan dan merasa puas dengan pendapat yang telah ada. Dengan demikian menjadi bekulah pemikiran fiqh.2
Pada era ini kondisi perjalanan fiqh Islam sangat buruk sekali. Padahal periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud. Jika di zaman generasi pertama kita bisa melihat para fuqaha yang sibuk mengggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya.
Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu di hafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat.
Akibatnya, apa yang mereka hasilkan berbeda sekali dengan hasil karya pendahulu. Jika para pendahulu membuat uraian, ta’lil hukum, dan men-tarajih pendapat yang kuatdan memilih pendapat yang ditopang oleh dalil, namun pada masa ini semuanya serba ringkas dan terbatas. Tujuan para fuqaha pada masa ini adalah mewujudkan dua hal; pertama, agar masyarakat mudah memahami masalah fiqh. Kedua, memudahkan para pelajar mengahafal kandungan fiqh
2 A. Syalabi, sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), hlm. 154.
mazhab dan menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi sedikit.
C. Pemikiran dan Kitab
Periode kedua dari fase taqlid dan kejumudan ini juga memiliki sumbangsih dan warisan katya ilmiah yang bisa membantu para generasi setelahnya untuk menyelami kedalaman kedalaman lautan fiqh Islam. Sumbangsih mereka antara lain sebagai berikut.
1. Kitab-kitab himpunan fatwa
Kitab-kitab ini menghimpun fatwa di zamannya, tepatnya para ulama yang sudah mencapai derajat ijtihad lalu di berikan kedudukan sebagai mufti secara resmi, kemudian pendapatnya ditulis dalam buku yang disusun berdasarkan bab- bab fiqh
Sebagai contoh adalah kitab Al-Fatawa AL-Hindiyah yang dikenal dengan nama Fatwa Malikiyah yang ditulis oleh beberapa ulama asal Hindia atas perintah Sultan Bahadir, seorang ulama besar.3
2. Kitab-kitab himpunan kaidah fiqh
Di antaranya kitab-kitab yang ditulis pada zaman ini adalah qawaid fiqhiyah yang membahas tentang kaidah-kaidah umum dalam fiqh Islam, mengumpulkan dan membahasnya, menyatukan yang serupa dan kemiripan dari cabang-cabang fiqh yang berada di bawah setiap kaidah-kaidah yang ada.
D. Tokoh-Tokoh pada masa ini
Allah SWT tidak berkehndak membiarkan umat ini larut dalam kemelut hidupnya yang berkepanjangan, lalu muncullah bintang bersinar di malam yang gelap gulita memberikan cahaya kepada umat manusia, menghapus taqlid dan mengajak untuk berijtihad dan ber-istinbat dari sumber-sumber fiqh Islam.
Di antara para mujaddid yang lahir pada periode ini adalah:
3 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasrikh (Jakarta: AMZAH, 2016), hlm. 126.
1. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah yang bergelar Taqiyuddin (wafat 728 H)
2. Muridnya imam Abu Muhammad bin Abi Bakar Syamsuddin bin Al- Qayim Al-Jauziyah (wafat 751 H)
Keduanya adalah ulama yang paling terkemuka dalam mazhab Hanabilah, sangat berjasa dalam membangun mazhab Hanabilah dan menyeru pada ijtihad, mencela taqlid, dan mengajak kembali keada Al-Qur’an dan Sunnah nabawiyah.
E. Kondisi Sosial Politik
Faktor-faktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi umara.Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab penguasa.
Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab yang sudah dibukukan. Dalam sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status quo, demi
“ketertiban dan keamanan”.
Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu
Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan al-Qur’an.4
Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.Awal kebekuan ijtihad yang disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat komplek, telah menyebabkan kejumudan pemikiran fiqh. Berbagai faktor, baik faktor politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu dalam lapangan hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi tidak sanggup mempunyai orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan mereka harus selalu bertaqlid. Beberapa faktor tersebut antara lain:
1. Pergolakan politik. Chaos politik telah mengakibatkan terpecahnya Negeri Islam menjadi beberapa negara kecil, sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah kurangnya perhatian kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Pada fase ketiga (pembangunan, perkembangan dan kodifikasi hukum Islam) telah timbul madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan cara berfikir sendiri di bawah seseorang imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut madzhab tersebut berusaha membela madzhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar madzhab maupun pendapat-pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan-alasan kebenaran pendirian madzhabnya dan menyalahkan pendirian madzhab lain. Situasi ini menyibukkan para ulama madzhab dan membelokkan mereka dari asas pembentukan hukum yang pertama, yakni al-Qur’an dan as-sunnah, dan sedikit di antara mereka
4 Abdul Wahab Khallaf, Mashdar al-Tasyri’ al-Islamy fi Ma La Nash fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972)
yang berhasrat kembali pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kecuali hanya untuk memperkokoh madzhab yang dianutnya, walaupun harus menempuh penyimpangan dalam memahami dan menta’wilkannya. Dengan demikian tenggelamlah kepribadian seorang alim dalam golongannya dan matilah semangat kemerdekaan berfikir, sehingga jadilah mereka itu sebagai pengikut atau muqallidun.
3. Kodifikasi pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Pada fase-fase sebelumnya, para fuqaha terpaksa harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam syara’. Setelah hasil ijtihad mereka kumpulkan dan mereka bukukan, baik untuk hal-hal yang telah terjadi maupun yang kemungkinan akan terjadi, maka orang-orang sesudah mereka hanya mencukupkan dan merasa puas dengan pendapat yang telah ada.
Dengan demikian menjadi bekulah pemikiran fiqh. Akan tetapi, pada masa sesudahnya, hakim-hakim diangkat dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai madzhab tertentu (sesuai madzhab penguasa) dan terputus hubungannya dari madzhab yang tidak dipakai penguasa dipengadilan.
Apalagi pada saat itu diperparah oleh situasi di mana beberapa hakim yang Pada masa-masa sebelumnya, para hakim terdiri dari orang-orang yang mampu melakukan ijtihad sendiri, bukan dari pengikut-pengikut mereka, yang ditunjuk oleh penguasa mampu berijtihad, keputusannya acapkali menjadi sasaran kritik dan objek penentangan dari penganut madzhab- madzhab tertentu.
4. Penutupan pintu ijtihad. Karena para ulama pada saat itu tidak mengadakan tindakan-tindakan tertentu dalam bidang penetapan pendapat atau mengadakan jaminan agar ijtihad tidak dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhak. Dari sini timbulah kekacauan dalam persoalan ijtihad. Pada akhir abad keempat hijriyah, para ulama menetapkan tertutupnya pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para hakim dan mufti dengan pendapat- pendapat atau hasil ijtihad ulama sebelumnya. Solusi yang ditetapkan para
ulama pada saat itu pada dasarnya menjawab kekacauan dengan kebekuan stagnasi dalam hukum.5
5 K. Ali, Sejarah Islam Dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 288.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Disebut masa kemunduran karena masa-masa ini dunia Islam dalam proses penghancuran oleh bangsa Mongol dibawah pimpinan Jengiskan dan keturunannya serta Timur Lenk yang juga masih keturunan bangsa Mongol.
para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha juga sangat minim.
Di antara para mujaddid yang lahir pada periode ini adalah:
o Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah yang bergelar Taqiyuddin.
o Muridnya imam Abu Muhammad bin Abi Bakar Syamsuddin bin Al-Qayim Al-Jauziyah.
Faktor-faktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi umara.
Madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Mashdar al-Tasyri’ al-Islamy fi Ma La Nash fih, (Kuwait:
Dar al-Qalam, 1972)
Abd Al-Rahman Tajuddin, Dirasat fi al-Tarikh al-Islami, (Kairo: Maktabah AL- Sunnah AL-Muhammadiyah, 1953)
A.Syalabi, sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983)
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasrikh (Jakarta: AMZAH, 2016)
K. Ali, Sejarah Islam Dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000)