BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah
Secara umum, “Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel padat tersebut.” (Das, 1995).
Tanah memiliki butiran yang variatif dan keanekaragangan butiran tersebut menjadi batasan-batasan ukuran golongan tanah menurut beberapa sistem. Tabel 2.1 merupakan batasan-batasan ukuran golongan tanah.
Tabel 2.1 Batasan-batasan ukuran golongan tanah
Sumber : Das, 1995
2.2 Tanah Lunak
Tanah lunak adalah tanah yang memiliki kuat geser rendah dan kompresibilitas tinggi, hal ini karena tanah lunak memiliki kadar air yang tinggi.
Tanah ini harus diselidiki atau dikenali secara hati-hati agar tidak menimbulkan masalah kestabilan tanah pada pekerjaan sipil seperti pada tanah dasar (subgrade).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi (2001) menyatakan bahwa tanah lunak dibagi menjadi dua tipe yaitu :
1. Lempung lunak
Tanah ini mengandung mineral-mineral lempung dan kadar air yang tinggi yang menyebabkan kuat geser menjadi lemah.
2. Gambut
Suatu tanah yang pembentuk utamanya adalah sisa-sisa organik. Tanah ini banyak ditemukan di daerah Kalimantan.
Dalam Puslitbang (2001) juga menyebutkan bahwa ada tipe tanah lempung organik yaitu material transisi antara gambut dan lempung, tergantung komposisi sisa organik yang berperilaku seperti lempung atau gambut. Secara fisik tanah lunak mudah untuk diidentifikasi. Identifikasi tanah untuk di lapangan dapat dikorelasikan dengan tabel 2.2.
Tabel 2.2Indikasi di lapangan dengan konsistensi tanah lunak Konsistensi Indikasi Lapangan Lunak Bisa dibentuk dengan mudah dengan
jari tangan
Sangat Lunak Keluar di antara jari tangan jika diremas dalam kepalan tangan Sumber : Puslitbang, 2001
2.3 Sistem Klasifikasi Tanah
Sistem klasifikasi menjadi penting dalam menentukan jenis kelompok tanah. Penglasifikasian ini berguna untuk menggolongkan tanah berdasarkan karakteristik dan sifat fisik tanah secara singkat tanpa penjelasan terperinci.
Sistem klasifikasi dibagi menjadi dua yaitu klasifikasi berdasarkan tekstur dan klasifikasi berdasarkan pemakaian. Klasifikasi berdasarkan tekstur adalah sistem klasifikasi USDA, sedangkan klasifikasi berdasarkan pemakaian yaitu sistem klasifikasi AASHTO dan sistem klasifikasi USCS. Klasifikasi USDA biasanya digunakan untuk keperluan bidang pertanian, sedangkan sistem klasifikasi AASHTO dan USCS biasanya digunakan untuk keperluan bidang geoteknik yang berkaitan dengan teknik sipil.
Dalam penelitian ini hanya digunakan sistem klasifikasi AASHTO dan sistem klasifikasi USCS. Hal ini karena berkaitan dengan tujuan penelitian yaitu untuk stabilisasi tanah yang merupakan bagian dari bidang teknik sipil.
2.3.1 Klasifikasi Tanah Menurut AASHTO
Sistem klasifikasi tanah AASHTO dikembangkan sejak tahun 1929 adalah sistem yang biasa digunakan untuk keperluan jalan raya. Sistem ini membagi tanah menjadi tujuh kelompok besar yaitu A-1 sampai dengan A-7. Tanah diklasifikasikan berdasarkan persentase jumlah butiran tanah yang lolos no 200 dan nilai batas atterberg-nya (PI dan LL). Untuk lebih jelas dalam penglasifikasian tanah berdasarkan AASHTO dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya (Sistem AASHTO) Klasifikasi
Umum Tanah Berbutir
(35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan no200) Klasifikasi
kelompok A-1 A-3 A-2
A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7
Analisis ayakan no.
200 (%lolos) No. 10 No. 40 No. 200
Maks 50 Maks 30
Maks 15 Maks 50
Maks 25 Min 51
Maks 10 Maks 35 Maks 35 Maks 35 Maks 35 Sifat fraksi
yang lolos ayakan no.
40 Batas cair (LL) Indeks
Plastis (PI) Maks 6 NP
Maks 40 Maks 10
Min 41 Maks 10
Maks 40 Min 11
Min 41 Min 11 Tipe
material yang paling dominan
Batu pecah, kerikil
dan pasir Pasir
halus Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung
Penilaian sebagai
tanah dasar Baik sekali sampai baik
Sumber : Das, 1995
Tabel 2.3 Klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya (Sistem AASHTO) (lanjutan) Klasifikasi
umum Tanah Lanau-Lempung
(lebih dari 35% dari seluruh tanah lolos ayakan no. 200) Klasifikasi
kelompok A-4 A-5 A-6 A-7
A-7-5*
A-7-6’
Analisis ayakan no. 200 (%lolos) No. 10
No. 40
No. 200 Min 36 Min 36 Min 36 Min 36
Sifat fraksi yang lolos ayakan no.
40 Batas cair (LL) Indeks Plastis (PI)
Maks 40
Maks 10 Min 41
Maks 10 Maks 40
Min 11 Min 41
Min 11 Tipe material
yang paling
dominan Tanah berlanau Tanah berlempung
Penilaian sebagai
tanah dasar Biasa sampai jelek
Sumber : Das, 1995 Keterangan :
* untuk A-7-5, PI ≤ LL-30 ’ untuk A-7-6, PI > LL-30
2.3.2 Klasifikasi Tanah Menurut USCS
Sistem klasifikasi tanah USCS, membagi tanah menjadi dua kelompok tanah, yaitu :
1. Tanah bebutir kasar, yaitu persentase tanah yang tertahan pada ayakan no 200 lebih dari 50 %. Simbol yang digunakan adalah G (gravel atau tanah berkerikil) dan S (sand atau tanah berpasir).
2. Tanah berbutir halus , yaitu persentase tanah yang lolos pada ayakan no 200 50% atau lebih. Simbol yang digunakan adalah M (silt atau lanau), C (clay atau lempung), O (organik bisa berupa lempung organik atau lanau organik), dan PT digunakan untuk tanah gambut atau tanah yang memiliki nilai kadar organik tinggi.
Dalam klasifikasi USCS dikenal simbo-simbol berikut : W (well graded atau tanah bergradasi baik), P (poorly graded atau tanah bergradasi buruk), L (low plastiscity atau tanah berplastisitas rendah) dan H (high plasticity atau tanah
berplastisitas tinggi). Untuk lebih jelas dalam penglasifikasian tanah berdasarkan USCS dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sistem klasifikasi tanah menurut USCS
Pembagian Jenis Nama Jenis Simbol
Tanah Berbutir Kasar Lebih dari setengah materialnya lebih kasar dari ayakan no 200 Kerikil Lebih dari setengah fraksi kasaih kasar dari ayakan no 4 Kerikil bersih, (tanpa atau
sedikit mengandung bahan halus)
Kerikil, kerikil campur pasir bergradasi baik tanpa atau dengan
sedikit pasir halus. Gw
Kerikil, kerikil campur pasir bergradasi buruk tanpa atau dengan
sedikit pasir halus. GP
Kerikil dengan bahan halus
(banyak mengandung bahan halus)
Kerikil lanauan, kerikil campur pasir
atau lanau. GM
Kerikil lempungan, kerikil campur
pasir atau lempung. GC
Pasir Lebih dari setengah fraksi kasaih halus dari ayakan no 4
Pasir bersih (tanpa atau
sedikit mengandung bahan halus)
Pasir, pasir kerikilan bergradasi baik
tanpa atau dengan sedikit bahan halus SW Pasir, pasir kerikilan bergradasi buruk
tanpa atau dengan sedikit bahan halus SP Pasir dengan
bahan halus (banyak mengandung bahan halus)
Pasir kelanauan, pasir campur lanau. SM Pasir kelempungan, pasir campur
lempung. SC
Tanah Berbutir Halus Lebih dari setengah materialnya lebih halus dari ayakan no 200 Lanau dan Lempung Batas cair kurang dari 50 %
lanau organik dan pasir sangat halus, tepung batu, pasir halus kelanauan atau kelempungan atau lanau kelempungan sedikit plastis.
ML
Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai sedang, lempung kerikilan, lempung pasiran, lempung lanauan, lempung humus.
CL
Lempung organik dan lempung lanauan organik dengan plastisitas
rendah. OL
Batas cair lebih dari 50 %
Lempung anorganik, tanah pasiran halus atau tanah lanauan mengandung
mika atau diatome lanau elastis. MH Lempung anorganik dengan
plastisitas tinggi, lempung expansif CH Lempung organik dengan plastisitas
sedang sampai tinggi, lanau organik. OH
Tanah Organik Gambut dan tanah organik lainnya. Pt Sumber : Hendarsin, 2000
Tabel 2.4 Sistem klasifikasi tanah menurut USCS (lanjutan)
KRITERIA KLASIFIKASI LABORATORIUM
Tentukan persentase kerikil dan pasir dari kurva pembagian butir, berdasarkan pada persentase bahan halus (fraksi lebih halus dari ayakan No. 200). Tanah berbutir kasar diklasifikasikan sebagai berikut :
Kurang dari 5% GW, GP, SW, SP Lebih dari 12% GM, GC, SM, SC 5% sampai 12% pada garis batas menggunakan simbol ganda
𝐶𝑢=𝐷𝐷60
10 lebih besar dari 4 𝐶𝑢=𝐷(𝐷30)2
10𝑥𝐷60 antara 1 dan 3
Tidak ditemukan semua persyaratan gradasi untuk GW Batas atterberg di bawah garis
“A” atau IP kurang dari 4 Di atas garis “A” dengan IP antara 4 dan 7 terdapat pada garis batas dan menggunakan simbol ganda GM-GC Batas atterberg di atas garis
“A” atau IP lebih besar dari 7 𝐶𝑢=𝐷𝐷60
10 lebih besar dari 6 𝐶𝑢=𝐷(𝐷30)2
10𝑥𝐷60 antara 1 dan 3
Tidak ditemukan semua persyaratan gradasi untuk SW Batas atterberg di bawah garis
“A” atau IP kurang dari 4 Di atas garis “A” dengan IP antara 4 dan 7 terdapat pada garis batas dan menggunakan simbol ganda SM-SC Batas atterberg di atas garis
“A” atau IP lebih besar dari 7
Mudah teroksidasi, LL dan IP berkurang setelah pengeringan Sumber : Hendarsin, 2000
2.4 Pengujian Tanah
Pengujian tanah bertujuan untuk menentukan parameter-parameter yang dimiliki suatu tanah baik itu secara fisik maupun teknis. Parameter-parameter hasil pengujian tanah diperlukan untuk berbagai keperluan seperti CBR untuk menentukan seberapa besar daya dukung suatu tanah terhadap beban. PI dan LL hasil pengujian dari atterberg limit serta hasil pengujian analisa ukuran butir berguna untuk menentukan klasifikasi tanah baik itu menggunakan sistem AASHTO maupun USCS. Dalam penelitian ini, pengujian yang dilakukan adalah dynamic cone penetration (DCP), berat jenis (GS), analisa ukuran butir, atterberg limit, pemadatan, unconfined compressive strength (UCS), dan CBR laboratorium.
Pengujian-pengujian tersebut menggunakan acuan seperti yang dijelaskan pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Standar prosedur pengujian laboratorium
Jenis Pengujian Standar yang digunakan a. Pengujian Lapangan
DCP (Dynamic Cone Penetration) b. Pengujian Laboratorium
Sifat Fisik 1. Kadar Air 2. Berat Jenis (GS) 3. Analisis Ukuran butir 4. Batas Cair (LL)
5. Batas Plastis (PL) dan indeks plastisitas (PI)
Sifat Mekanis 1. Pemadatan 2. UCS
3. CBR laboratorium
ASTM D 6951
SNI 1965 : 1990 SNI 1964 : 2008 SNI 3423 : 2008 SNI 1967 : 1990 SNI 1966 : 2008
ASTM D 698 SNI 3638 : 1994 SNI 1744 : 1989 2.4.1 Pengujian Lapangan
Dalam penelitian mengenai stabilisasi tanah ini, hanya menggunakan pengujian DCP (dynamic cone penetration) sebagai pengujian di lapangan.
Pengujian ini sering digunakan untuk menentukan nilai CBR titik dalam suatu perencanaan subgrade. Sehingga untuk dapat menentukan suatu tanah perlu distabilisasi atau tidak, salah satunya tergantung pada hasil pengujian DCP.
Prinsip dari pengujian ini (gambar 2.1) adalah menjatuhkan beban seberat 8 kg melalui batang setinggi 575 m m yang ujungnya dipasang konus dengan memasukan konus ke dalam tanah di mana pengujian dilakukan (penetrasi). DCP digunakan pada tanah yang tidak terganggu artinya untuk menentukan harga CBR pada setiap kedalaman tanah tersebut tidak perlu digali.
Gambar 2.1 Prinsip kerja alat DCP
Penentuan nilai CBR pada pengujian DCP dapat dihitung menggunakan rumus :
Log CBR = 2,6354 – 1,293 Log P untuk sudut cone 60o ...(2.1) Log CBR = 1,352 – 1,25 Log P untuk sudut cone 30o ...(2.2)
Dimana : P = penetrasi
Untuk mementukan CBR titik suatu pengujian DCP dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :
𝐶𝐵𝑅 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 = ℎ1 √𝐶𝐵𝑅13 +⋯+ ℎ𝑛 √𝐶𝐵𝑅𝑛3
∑𝑛𝑖=1ℎ𝑖 ...(2.3)
2.4.2 Pengujian Laboratorium
Pengujian laboratorium sangat perlu dilakukan dalam merencanakan suatu konstruksi. Hal ini karena berkaitan dengan stabilitas tanah terhadap suatu konstruksi yang akan dibebankan pada tanah tersebut. Oleh karena itu, pengujian di laboratorium menjadi penting dalam penelitian ini.
2.4.2.1 Pengujian Kadar Air
Uji kadar air bertujuan untuk mengetahui nilai kadar air suatu contoh tanah pada saat pengambilan sampel di lapangan. Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan rumus :
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟= 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑖𝑟 𝑥 100% ...(rumus 2.4) 2.4.2.2 Pengujian Atterberg limit
Pengujian atterberg limit ini bertujuan untuk mengetahui sifat konsistensi tanah. Sifat konsistensi tanah sangat dipengaruhi oleh nilai kadar air yang terkandung di dalamnya. Apabila kadar air semakin tinggi, maka kondisi tanah semakin cair, begitupun sebaliknya. Pada proses penambahan kadar air terdapat fase-fase yang dialami tanah yaitu padat, semi padat, plastis, dan cair. Fase-fase tersebut digambarkan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Fase yang terjadi pada tanah
Pada gambar 2.2 terdapat tiga batas antar fase. Fase pertama adalah batas susut (SL) yaitu harga kadar air pada suatu tanah pada batas antara keadaan semi pada dan keadaan padat. Fase kedua adalah batas plastis (PL) yaitu harga kadar air pada batas antara keadaan plastis dan semi padat. Nilai PL sama dengan harga kadar airnya. Fase yang ketiga adalah batas cair (LL) yaitu harga kadar air pada
suatu tanah pada batas antara cair dengan plastis. Nilai LL sama dengan harga kadar air pada ketukan ke-25.
Tingkat keplastisan suatu tanah ditunjukan oleh nilai PI (plasticity index).
Nilai PI dapat hitung dengan rumus :
PI = LL – PL ... (2.5) 2.4.2.3 Pengujian Berat Jenis
Berat jenis adalah perbandingan antara berat butir tanah dengan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu.
Nilai berat jenis dapat dihitungan dengan rumus, sebagai berikut : 𝐺𝑆=(𝑊4−𝑊1)−(𝑊3−𝑊2)𝑊2−𝑊1 𝑥 𝑘... (2.6) Keterangan:
W1 = berat piktometer [gr]
W2 = berat piktometer + tanah kering [gr]
W3 = berat piktometer + tanah kering + air suling [gr]
W4 = berat piktometer + air suling [gr]
k = faktor koreksi suhu (tabel 2.6)
Tabel 2.6 Koreksi suhu berat jenis tanah
Suhu (oC) Koreksi
18 1,0004
19 1,0002
20 1,0000
21 0,9998
22 0,9996
23 0,9993
24 0,9991
25 0,9989
26 0,9986
27 0,9983
28 0,9980
29 0,9977
30 0,9974
Sumber : SNI 1964 : 2008
2.4.2.4 Pengujian Analisa Ukuran Butir
Sifat-sifat suatu tanah banyak tergantung pada ukuran butirannya. Oleh karena itu, sangat perlu untuk melakukan pengujian analisis ukuran butir untuk
mengidentifikasi gradasi tanah tertentu. Analisa ukuran butir dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu analisa saringan, analisa hidrometer dan analisa gabungan.
Dalam penelitian ini digunakan analisa gabungan untuk menentukan
gradasi butiran tanah. Karena dengan menggunakan analisa gabungan ini akan didapat kurva gradasi yang utuh dan padu sehingga dapat dilihat kondisi gradasi
suatu contoh tanah.
Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Analisa saringan
Berat tertahan =𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 …... (2.7)
% berat tertahan = (Berat tertahan/Berat contoh tanah) x 100% ………… (2.8) 2. Analisa hidrometer
a Untuk persentase lebih halus (N) )
1
( −
=
s d
s
G W
G
N R x100 % ………...….…… (2.9)
Dimana : R = Rh ± C
R = Bacaan hydrometer yang sudah dikoreksi Rh = Bacaan hydrometer yang belum dikoreksi
C = Nilai-nilai koreksi : temperetur, meniscus dan kekentalan cairan (zat terdispersi).
Gs = Berat jenis tanah
Wd = Berat butir tanah dalam larutan [gr]
b Untuk kedalaman efektif ( Zr ) )
2( 1
A h V H
Zr = + − h ………...….……… (2.10) Dimana: H = Tinggi pembacaan [cm]
h = Panjang hydrometer [cm]
Vh = Volume hydrometer [ml]
A = Luas penampang gelas ukur [cm2] c. Untuk diameter efektif ( D )
t M Z
D= r ………..………...………. (2.11)
xg Gsair M G
s )
( 30
= − η
………...….…… ...(2.12) Dimana :
Zr = Kedalaman efektif untuk setiap kedalaman [cm]
T = Waktu pengendapan [menit]
g = Percepatan gravitasi Gs = Berat jenis
Gsair = Berat jenis air (tabel 2.7) 𝜇 = Viskositas air (tabel 2.7) 3. Analisa gabungan
W N W
N'= × ' ………...………...…… (2.13) Dimana : N = Persentase lebih halus (analisa hydrometer) [%]
W’= Berat butir tanah yang lolos saringan No.200 [gram]
W = Berat butir tanah total [gram]
Tabel 2.7 Berat jenis air dan nilai viskositas Suhu (oC) Berat jenis
air Viskositas air 4 1,00000 0,01567 (𝜇)
16 0,99897 0,01111
17 0,99889 0,01083
18 0,99862 0,01056
19 0,99844 0,01030
20 0,99823 1,01005
21 0,99802 0,00981
22 0,99780 0,00958
23 0,99757 0,00936
24 0,99733 0,00914
25 0,99708 0,00894
26 0,99682 0,00874
27 0,99655 0,00855
28 0,99627 0,00836
29 0,99598 0,00818
30 0,99568 0,00801
Sumber : Dermawan, no date
2.4.2.5 Pengujian Pemadatan
Pemadatan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kerapatan tanah dengan cara mengeluarkan udara dari pori-pori tanah. Di lapangan, proses pemadatan dilakukan dengan cara penggilasan, sedangkan di laboratorium pemadatan dilakukan dengan cara ditumbuk sesuai yang distandarkan. Proses pemadatan sangat bergantung pada kadar air. Hasil pemadatan maksimal akan dapat dicapai apabila kadar air berada pada kondisi optimum.
Kerb dan walker dalam Seta (2006) menyatakan bahwa “ukuran kepadatan tanah adalah berat isi kering (𝛾𝑑), yaitu perbandingan antara berat butiran tanah dibandingkan dengan volumenya.”
Gambar 2.3 menunjukan grafik hubungan antara kadar air dan kepadatan kering (𝛾𝑑) dari berbagai jenis tanah dengan nilai plasticity index (PI) nol sampai dengan 40.
Gambar 2.3 Grafik hubungan kadar air dan kepadatan kering Sumber : Seta, 2006
Prinsip dari uji pemadatan adalah menyiapkan benda uji dengan berat yang sama dengan asumsi kadar air awal adalah sama. Kemudian lakukan pemadatan dengan cara menambahkan variasi kadar air dan lakukan berulang-ulang, sehingga ketika dibuatkan grafik terjadi lengkung yang menandakan kadar air optimum tanah yang diuji dapat ditentukan.
Rumus yang digunakan dalam perhitungan data hasil dari pengujian pemadatan adalah :
𝛾𝑑 =1+𝜔𝛾 ... (2.14) Keterangan :
𝛾𝑑 = berat isi kering tanah [gr]
𝛾 = berat isi tanah [gr/cm3] 𝜔 = kadar air [%]
𝛾𝑧𝑎𝑣 = 1+𝜔.𝐺𝑠𝐺𝑠.𝛾𝑤... (2.15) Keterangan :
𝛾𝑧𝑎𝑣 = berat isi pada kondisi zero air void [gr/cm3] Gs = berat jenis
𝛾𝑤 = berat isi air [gr/cm3]
2.4.2.6 Pengujian UCS (Unconfined Compressive Strength)
Uji unconfined compression strength (UCS) dilakukan untuk mengukur kemampuan tanah menerima beban yang diberikan sampai tanah tersebut terpisah dari butiran-butirannya serta mengukur regangan akibat tekanan tersebut.
Pengujian ini dilakukan pada contoh tanah asli (undisturbed sample) dan contoh tanah tidak asli/remoulded. Nilai yang didapat pada pengujian ini kemudian diplotkan pada grafik. Gambar 2.4 adalah gambar skema pembebanan pada pengujian UCS.
Gambar 2.4 Skema pembebanan UCS
Untuk menentukan regangan aksial maka digunakan persamaan : 𝜀= ∆𝐿𝐿𝑜... (2.16) Dimana :
𝜀 = regangan axial [%]
∆𝐿 = perubahan panjang [mm]
Lo = panjang mula-mula [mm]
Menghitung luas penampang rata-rata menggunakan persamaan sebagai berikut :
𝐴= 1−𝜀𝐴𝑜 ... (2.17) Dimana :
A = Luas penampang rata-rata [cm2] Ao = Luas penampang awal [cm2]
Menghitung besarnya tegangan normal menggunakan persamaan sebagai berikut :
𝜎=𝑃𝐴,𝑃 =𝑘 𝑥 𝑁 ... (2.18) Dimana :
P = pembebanan [kg]
k = faktor kalibrasi proving ring [0,179 kg/div]
N = pembacaan proving ring 𝜎 = tegangan [kg/cm2]
Nilai UCS ditentukan dengan nilai q ultimate (qu). Nilai qu a dalah setengah dari nilai tegangan maksimum.
2.4.2.7 Pengujian CBR (California Bearing Ratio) Laboratorium
Pengujian CBR merupakan pengujian yang paling sering dilakukan dalam merencanakan sebuah perkerasaan, baik itu CBR lapangan ataupun laboratorium.
Hal ini karena nilai CBR merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam mendesain suatu perkerasan.
Pengujian CBR laboratorium berguna untuk menentukan nilai daya dukung suatu tanah dengan melakukan pengujian di laboratorium. Prinsip dari
pengujian ini adalah membandingkan antara beban penetrasi suatu bahan terhadap bahan standar dengan kedalaman dan kecepatan yang sama.
CBR laboratorium diuji dalam dua kondisi yaitu kondisi tidak terendam (unsoaked) dan kondisi terendam (soaked). Kondisi ini dapat dilakukan sebagian tergantung dari permintaan.
Perhitungan nilai CBR dilakukan menggunakan rumus (2.19 dan 2.20) yang kemudian dikorelasikan dengan grafik pemadatan. Nilai CBR design yang biasa digunakan adalah 95% dari berat isi kering maksimum (𝛾𝑑 𝑚𝑎𝑘𝑠). Lima persen sisanya merupakan safety factor.
𝐶𝐵𝑅 0,1" = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐶𝐵𝑅 0,1"
3000 𝑥100... (2.19) 𝐶𝐵𝑅 0,2" = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐶𝐵𝑅 0,2"
4500 𝑥100 ... (2.20) Keterangan : satuan dalam lb
2.5 Abu Kelapa Sawit Sebagai Limbah Dari Pengolahan Kelapa Sawit PT Perkebunan Nusantara VIII merupakan perusahaan perkebunan milik negara. Perusahaan ini bergerak di sektor perkebunan seperti pengelolaan perkebunan kelapa sawit. “PTPN VIII mengembangkan budidaya kelapa sawit dengan luas 19.005,50 Ha. Kelapa sawit yang dikelola di perusahaan ini dalam bentuk CPO (crude palm oil) dan kernel.” (PT Perkebunan Nusantara VIII, 2009).
Dengan luasan perkebunan tersebut dapat diartikan bahwa limbah yang dihasilkan pun sangat potensial untuk dapat dimanfaatkan. Namun sangat disayangkan pemanfaatan mengenai limbah masih sangat sedikit. Salah satu limbah yang dihasilkan dari pengelolaan kelapa sawit adalah abu kelapa sawit hasil dari pembakaran cangkang kelapa sawit.
Abu kelapa sawit merupakan bahan sisa dari pembakaran cangkang kelapa sawit. Sangat sedikit sekali pemanfaatan dari abu ini. Abu kelapa sawit biasa dimanfaatkan untuk bahan tambahan pengeras semen dalam desain beton mutu tinggi. Hal ini karena, kandungan silika dalam abu kelapa sawit ini sangat tinggi seperti yang tercantum pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Unsur kimia pada abu kelapa sawit
Unsur Kimia Persentase (%)
SiO2 58,02
CaO 12,65
MgO 4,23
Fe2O3 2,6
Al2O3 8,7
Sumber: Hutahaean dalam Fitriyani, 2010
Abu kelapa sawit (gambar 2.5), secara visual memiliki warna hitam pekat dan memiliki bentuk butiran yang beragam.
Gambar 2.5 Abu kelapa sawit Sumber : Dokumentasi penulis
2.6 Stabilisasi Menggunakan Abu Kelapa Sawit
Upaya-upaya stabilisasi tanah telah lama dikembangkan, baik secara tradisional yang hanya menggunakan cerucuk maupun menggunakan teknologi dengan penambahan bahan tambah seperti semen. Stabilisasi tanah bertujuan untuk meningkatkan kualitas suatu tanah. Prinsip usaha stabilisasi tanah adalah untuk memperkecil bahaya keruntuhan. Dalam kaitannya dengan tanah dasar (subgrade), stabilisasi sangat perlu dilakukan apabila dalam pelaksanaan suatu konstruksi jalan menjumpai tanah lunak atau bahkan menjumpai tanah expansive yang akan menyebabkan masalah pada suatu konstruksi.
Suhardjo (2012) menjelaskan mengenai definisi subgrade yaitu “... fondasi yang menopang beban perkerasan yang berasal dari kendaraan yang melewati suatu jalan.” (Suhardjo,2012). Kekuatan dan ketahanan lapisan tanah dasar (subgrade) ditentukan oleh daya dukung tanah yang dijadikan lapisan tanah dasar tersebut. Hal ini berarti ketika nilai daya dukung tanah itu baik maka hanya perlu dipadatkan dengan nilai kadar air optimum, sedangkan ketika nilai daya dukung
tanah rendah maka perlu perlakuan khusus baik dengan mendatangkan tanah dari tempat lain sebagai lapisan tanah dasar atau menambah zat tambahan (menstabilisasi tanah) untuk meningkatkan daya dukung tanah tersebut. Menurut Sulistiono, Djoko; Sulchan Arifin & Chomaedi; 2006 m engungkapkan bahwa nilai CBR > 6% dan nilai PI <10% memenuhi persyaratan untuk tanah dasar jalan.
Dalam pencapaian nilai tersbut maka tanah harus dipadatkan dengan kadar air optimum.
Pada penelitian ini, abu kelapa sawit merupakan bahan tambah yang akan diuji perilakunya jika ditambahkan pada tanah.
Secara kimia proses stabilisasi tanah terjadi karena adanya reaksi antara unsur yang terkandung dalam tanah dengan unsur yang terkandung dalam abu kelapa sawit. Misal kandungan kapur tohor (CaO) dalam abu kelapa sawit akan bereaksi dengan air menjadi Ca(OH)2 yang mengakibatkan kondisi suhu tanah yang dicampur abu kelapa sawit menjadi naik dan dapat menurunkan kadar air.
Selain itu panas dari reaksi tersebut membantu dalam proses pengerasan.
Pada prinsipnya stabilisasi tanah menggunakan abu kelapa sawit adalah mencampurkan abu kelapa sawit dengan tanah yang akan distabilisasi menggunakan kadar air optimum dan pemadatan.
Dalam pelaksanaan di lapangan, salah satu cara mencampurkan tanah dengan abu kelapa sawit adalah dengan menggunakan metode pelaksanaan CTB (cement trated base). Prinsipnya adalah membuat bidang segi empat untuk dapat menghitung kebutuhan abu yang akan digunakan kemudian alat CTB mencampur dengan menambahkan air sesuai dengan kadar air optimum dan setelah tercampur kemudian dipadatkan oleh sheep foot yang kemudian diratakan oleh tandem roller.
2.7 Penelitian yang Pernah Dilakukan Mengenai Penambahan Abu Untuk Bahan Stabilisasi Tanah
Penelitian mengenai stabilisasi sudah sering dilakukan. Banyak cara yang dilakukan untuk menstabilisasi tanah, terutama pada tanah-tanah yang tidak memenuhi persyaratan.
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai stabilisasi tanah dasar (subgrade) yang dicampur dengan bahan stabilisasi :
1. Pengaruh Kapur Dan Abu Sekam Padi Pada Nilai CBR Laboratorium Tanah Tras Dari Dusun Seropan Untuk Stabilitas Subgrade Timbunan.
Ariyani dan Nugroho, 2007 m enjelaskan kesimpulan dari penelitian mengenai pengaruh kapur dan abu sekam padi sebagai bahan stabilisasi tanah dasar sebagai berikut :
a. Penambahan kapur sebanyak 3% dan abu sekam adi sebanyak 2% PI yang diperoleh naik dari 1,41% menjadi 5,02%, sedangkan dengan penambahan kapur sebanyak 15% dan abu sekam padi sebanyak 10%
PI turun menjadi 0,44%.
b. Campuran tanah dengan kapur dan abu sekam pada tidak selamanya mampu menaikan nilai CBR (baik CBR yang direndam maupun tanpa rendaman). Pada penelitian ini CBR tanah asli sebesar 16,29% dan pada komposisi campuran tanah dengan kapur 6% dan dan abu sekam padi 4% mencapai nilai CBR tertinggi yaitu 23,66%.
2. Kajian Perilaku Subgrade Dari Tanah Lunak Dengan Menggunakan Campuran Abu Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Stabilisasi.
Ansori dan Chrisanti, 2012 menjelaskan penelitian mengenai perilaku sugbrade dari tanah lunak yang dicampur dengan abu tempurung kelapa sebagai bahan stabilisasi.
a. PI turun paling besar pada saat diperam selama 14 hari dan ditambah 20% kadar abu tempurung kelapa yaitu dari 22,45% menjadi 11,81%.
b. Pada pemeraman 3 hari dan penambahan abu tempurung kelapa 5%
nilai kekuatan tanah meningkat dari 1,541 kg /cm2 menjadi 5,35 kg/cm2.
c. Nilai CBR cenderung meningkat pada kondisi unsoaked campuran 15% abu tempurung kelapa dengan tanah, namun cenderung menurun jika diuji CBR dalam kondisi soaked.