BAB II
DASAR TEORI
2.1 Umum
Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk menempatkan kapal, melakukan bongkar muat barang, dan untuk tempat keluar masuknya penumpang. Dermaga juga digunakan untuk kegiatan pengisian bahan bakar untuk kapal, pengisian air minum, pengisian air bersih, pembuangan air kotor, dan kegiatan lainnya yang akan diproses lebih lanjut di pelabuhan. Jenis dermaga disesuaikan dengan ukuran dan jenis kapal yang merapat pada dermaga tersebut. Di belakang dermaga terdapat halaman yang luas. Di halaman ini terdapat apron, gudang transit, tempat bongkar muat barang dan jalan. Apron adalah daerah yang terletak diantara sisi dermaga dan sisi depan gudang dimana terdapat pengalihan kegiatan angkutan laut (kapal) ke kegiatan angkutan darat. Gudang transit digunakan untuk menyimpan barang sebelum bisa diangkut oleh kapal atau setelah dibongkar dari kapal dan menunggu pengangkutan ke daerah yang dituju.
Dermaga dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu quay wall, dan dolphin atau jetty.
Dermaga tipe dolphin adalah dermaga dengan tempat sandar kapal berupa dolphin diatas tiang pancang. Dermaga ini biasa digunakan dilokasi dengan keadaan pantai yang landai, diperlukan jembatan yang biasa disebut
trestel sampai dengan kedalaman yang dibutuhkan. Jembatan untuk penghubung
dermaga dan daratan ini dapat menggunakan jembatan yang ditopang menggunakan sederet tiang pancang atau dapat menggunakan timbunan material seperti batuan dan tanah yang biasa disebut causeway.
Gambar 2.1 Tampak samping dan tampak atas contoh dermaga
2.1.1 Pemilihan Tipe Dermaga
Dermaga dibangun untuk melayani kebutuhan tertentu. Pemilihan tipe dermaga sangat dipengaruhi oleh kebutuhan yang akan dilayani, ukuran kapal, arah gelombang dan arah angin, kondisi topografi dan tanah dasar laut, dan paling penting adalah tinjauan ekonomi untuk mendapatkan bangunan yang lebih ekonomis. Pemilihan tipe di dasarkan pada tinjauan berikut:
1. Tinjauan topografi
Di perairan yang dangkal sehingga kedalaman yang cukup agak jauh dari darat, penggunaan jetty akan lebih ekonomis karena tidak diperlukan pengerukan yang besar. Sedangkan di lokasi dimana kemiringan dasar cukup curam, pembuatan pier dengan menggunakan pemancangan tiang di perairan yang dalam menjadi tidak praktis dan sangat mahal.
2. Jenis kapal yang dilayani
Dermaga yang melayani kapal minyak dan kapal barang curah mempunyai konstruksi yang ringan dibanding dengan dermaga barang potongan (general cargo), karena dermaga tersebut tidak membutuhkan peralatan bongkar muat barang yang besar (kran), jalan kereta api, gudang-gudang dan yang lainnya. Untuk melayani kapal tersebut penggunaan pier akan lebih ekonomis. Dermaga yang melayani barang potongan dan peti kemas menerima beban yang besar di atasnya, seperti kran, barang yang dibongkar-muat, dan peralatan transportasi (kereta api,truk) akan lebih baik dengan menggunakan dermaga tipe wharf.
2.1.2 Jetty
Jetty adalah dermaga apung yang dibangun dengan membentuk sudut
terhadap garis pantai. Jetty dapat digunakan untuk merapat kapal pada satu sisi atau kedua sisinya. Jetty berbentuk jari lebih efisien karena dapat digunakan untuk kapal merapat pada kedua sisinya untuk panjang dermaga yang sama.
Gambar 2.2 Jetty berbentuk T
Gambar 2.2 Jetty berbentuk L
Banyak macam penghubung jetty seperti trestle yang terbuat dari jajaran tiang pancang, ataupun trestle yang terbuat dari kayu. Namun pada bahasan tugas akhir ini, penghubung yang digunakan untuk mencapai jetty adalah timbunan konstruksi causeway.
Gambar 2.3 Jetty berbentuk T menggunakan penghubung causeway
2.1.3 Causeway
Causeway adalah timbunan material yang melintang sepanjang badan air
atau lahan yang digunakan sebagai jalan penghubung untuk menuju dermaga. Timbunan tersebut berguna untuk membuat permukaan berada pada elevasi yang cukup tinggi agar terhindar dari limpasan air.
2.1.4 Penggunaan Konstruksi Causeway untuk Akses Dermaga
Dermaga dengan tipe jetty memerlukan penghubung untuk menuju darat dikarenakan dermaga ini bisa berada di perairan dangkal sehingga lokasi dermaga tidak bisa ditempatkan beredekatan dengan garis pantai. Akses penghubung yang biasa digunakan ialah jembatan yang biasa dinamakan approach trestle.
Sumber : http://www.hsl.com.sg
Gambar 2.4 Dermaga tipe jetty dengan menggunakan akses penguhubung trestle. Konstruksi trestle ini tidak ekonomis karena pekerjaan ini memerlukan beberapa elemen yaitu terdiri dari tiang pancang, balok, plat dan elemen pelengkap lainnya. Terlebih lagi lokasi yang berada di pulau obi sehingga sulit dijangkau dan biaya mobilisasi bahan dan keperluan lainnya akan menambah biaya kerja, sehingga pekerjaan ini memerlukan dana yang tidak sedikit.
Sumber : http://bywaysbyrailway.wordpress.com
Gambar 2.5 Reklamasi causeway
Oleh karena itu, penggunaan konstruksi causeway akan lebih ekonomis dan efisien, dikarenakan material untuk timbunan konstruksi causeway berada tidak jauh dari tempat pelaksanaan konstruksi dan material tersebut tidak membutuhkan banyak biaya selain biaya mobilisasi dari lokasi material tersebut sampai ke lokasi pekerjaan konstruksi.
2.2 Perencanaan Causeway
Beberapa teori yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan perencanaan causeway pada lapangan adalah sebagai berikut :
Parameter Tanah
Kekuatan geser tanah
Teori stabilitas lereng
Kriteria pembebanan dermaga
2.2.1 Parameter Tanah
Dari sudut pandang teknis, tanah dapat digolongkan kedalam beberapa macam jenis berikut ini :
Batu Kerikil (Gravel)
Pasir (Sand)
Lanau (Silt)
Lempung (Clay) : - anorganik - organik
Komposisi batu kerikil dan pasir sering kali dikenal sebagai kelas bahan-bahan yang berbutir kasar atau bahan-bahan-bahan-bahan tidak kohesif, sedang golongan lanau dan lempung dikenal sebagai kelas bahan yang berbutir halus atau bahan-bahan kohesif.
a. Batu Kerikil dan Pasir
Golongan batu ini terdiri dari pecahan-pecahan batu dengan berbagai ukuran dan bentuk. Butir-butir kerikil biasanya terdiri dari pecahan-pecahan batu, namun ada pula yang terdiri dari satu macam zat mineral, terutama kwarsa.
Dalam beberapa kasus, hanya terdapat satu ukuran atau seragam. Pada kasus lainnya, terdapat susunan yang mencakup dari butir terkecil hingga yang paling besar, butiran ini disebut komposisi bergradasi baik.
b. Lanau
Lanau adalah bahan peralihan antara lempung dan pasir halus, kurang plastis dan lebih mudah untuk teraliri air.
c. Lempung
Lempung terdiri dari butir-butir kasar yang sangat kecil dan menunjukkan sifat plastisitas dan kohesi. Adanya kohesi menunjukkan komposisi lempung melekat satu sama lainnya, sedangkan plastisitas adalah sifat yang memungkinkan bentuk komposisi tersebut tidak akan kembali kebentuk aslinya apabila telah dirubah namun tidak terjadi retak pada komposisi tanah tersebut.
2.2.1.2 Klasifikasi tanah berdasarkan data sondir
Data tekanan conus (qc) dan hambatan pelekat (fs) yang didapatkan dari
hasil pengujian sondir dapat digunakan untuk menentukan jenis tanah seperti yang ditunjukkan dalam tabel 2.1 :
Tabel 2.1 Klasifikasi tanah dari data sondir
Hasil Sondir Klasifikasi
qc fs
6.0 0.15-0.40 Humus, lempung sangat lunak 6.0-10.0 0.20 Pasir kelanauan lepas, sangat lepas
0.20-0.60 Lempung lembek, lempung kelanauan 10.0-30.0 0.10 Kerikil lepas
0.10-0.40 Pasir lepas
0.40-0.80 Lempung atau lempung kelanauan 0.80-2.00 Lempung
30-60 1.50 Pasir kelanauan, pasir agak padat 1.0-3.0 Lempung atau lempung kelanauan 60-150 1.0 Kerikil berpasir lepas
1.0-3.0 Pasir padat, pasir kelanauan atau lempung padat dan lempung kelanauan
3.0 Lempung kekerikilan
150-300 1.0-2.0 Pasir padat, pasir kekerikilan, pasir kasar, pasir kelanauan, padat
Sumber : Buku Mekanika Tanah, Braja M.das Jilid 1
Hubungan antara konsistensi terhadap tekanan conus dan undrained
cohesion adalah sebanding dimana semakin tinggi nilai c dan qc maka semakin
keras tanah tersebut. Seperti yang terlihat dalam tabel 2.2 :
Tabel 2.2 Hubungan antara konsistensi dengan tekanan conus
Konsistensi Tanah Tekanan Konus qc (kg/cm²) Undrained Cohesion c (T/m²) Very Soft <2.50 <1.25 Soft 2.50-5.0 1.25-2.50 Medium Stiff 5.0-10.0 2.50-5.0 Stiff 10.0-20.0 5.0-10.0 Very Stiff 20.0-40.0 10.0-20.0 Hard >40 >20.0 Sumber : Begeman 1965
Begitu pula hubungan antara kepadatan dengan relative density, nilai N-SPT,qc dan adalah seimbang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Hubungan antara kepadatan, , nilai N-SPT, qc, dan sudut geser tanah Kepadatan Relatif Density ( Nilai N-SPT Tekanan Konus qc (kg/cm²) Sudut Geser ( ) Very Loose (sangat lepas) <0.2 <4 <20 <30
Loose (lepas) 0.2-0.4 4-10 20-40 30-35
Medium Dense (sedang) 0.4-0.6 10-30 40-120 35-40
Dense (padat) 0.6-0.8 30-50 120-200 40-45
Very Dense (sangat padat) 0.8-1.0 >50 >200 >45
Hard >40 >20.0
Sumber : Mayerhof 1965
2.2.1.3 Sudut Geser Dalam
Kekuatan geser dalam mempunyai variabel kohesi dan sudut geser dalam. Sudut geser dalam bersamaan dengan kohesi menentukan ketahanan tanah akibat tegangan yang bekerja berupa tekanan lateral tanah. Nilai ini juga didapatkan dari pengukuran engineering properties tanah dengan direct shear test. Hubungan anatara sudut geser dalam dan jenis tanah ditunjukkan pada tabel 2.4 :
Tabel 2.4 Hubungan antara konsistensi dengan tekanan conus
Kepadatan Sudut Geser Dalam( )
Kerikil Kepasiran 35°-40° Kerikil Kerakal 35°-40° Pasir Padat 35°-40° Pasir Lepas 30° Lempung Kelanauan 25°-30° Lempung 20°-25°
Sumber : Buku Mekanika Tanah, Braja M.das Jilid 1
2.2.1.4 Kohesi
Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan sudut geser dalam, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah dalam hal ini berupa gerakan lateral tanah. Deformasi ini terjadi akibat kombinasi keadaan kritis pada tegangan normal dan tegangan geser yang tidak sesuai dengan faktor keaman dari yang direncanakan. Nilai ini didapat dari pengujian direct shear test.
2.2.2 Kekuatan Geser Tanah
Kekuatan geser suatu massa tanah merupakan perlawanan internal tanah tersebut persatuan luas terhadap keruntuhan atau pergeseran sepanjang bidang geser dalam tanah yang dimaksud. Untuk menganalisis masalah stabilitas tanah seperti daya dukung, stabilitas lereng, harus diketahui terlebih dahulu sifat-sifat ketahanan geser tanah tersebut. Kekuatan geser tanah diperlukan untuk menghitung daya dukung tanah (bearing capacity), tegangan tanah terhadap dinding penahan (earth pressure) dan kestabilan lereng.
2.2.2.1 Kriteria Keruntuhan Menurut Mohr-Coulomb
Menurut Mohr (1980) keruntuhan terjadi pada suatu material akibat kombinasi kritis antara tegangan normal dan geser, bukan hanya karena salah satu tegangan normal maksimum atau tegangan geser maksimum saja. Hubungan antara tegangan normal dan geser pada sebuah bidang keruntuhan dapat dinyatakan dengan persamaan (2-1) seperti yang terlihat pada Gambar 2.6.
= f (2-1) dimana :
= kekuatan geser = tegangan
Namun garis keruntuhan yang dinyatakan oleh persamaan (2.1) di atas sebenarnya berbentuk garis lengkung seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.7. Garis lengkung tersebut cukup didekati dengan sebuah garis lurus yang akan menunjukkan hubungan linear antara tegangan normal dan geser, dan hubungan ini disebut sebagai kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb. Menurut Coulomb (1776) persamaannya adalah :
= c + σ tan (2-2)
dimana :
c = kohesi
= sudut geser internal = tegangan
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.6 Bidang keruntuhan menurut Mohr
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.7 Garis Keruntuhan Mohr dan hokum keruntuhan dari Mohr-Coulumb
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.7 apabila garis keruntuhan berada dititik A, maka keruntuhan geser tidak akan terjadi pada bidang tersebut. Tetapi apabila tegangan normal dan geser yang bekerja pada suatu bidang yang lain berada di titik B yang tepat berada di garis keruntuhan, maka keruntuhan geser akan terjadi. Namun apabila garis keruntuhan berada di titik C, sudah pasti keruntuhan geser sudah terjadi sebelumnya.
2.2.2.2 Kemiringan Bidang Keruntuhan Akibat Geser
Untuk menentukan kemiringan bidang keruntuhan dengan bidang utama besar (major principal plane), dengan bidang keruntuhan membentuk sudut , maka harga tegangan normal dan geser pada bidang tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan (2-3) dan (2-4).
(2-3) dan
(2-4)
Dengan mensubstitusikan persamaan tersebut maka akan menghasilkan persamaan :
(2-5)
dimana :
= tegangan utama besar = tegangan utama kecil
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.8 Kemiringan bidang keruntuhan dengan bidang utama besar didalam tanah
Garis keruntuhan yang dinyatakan oleh persamaan = c + σ tan menyinggung lingkaran Mohr pada titik X yang bisa dilihat pada gambar 2.5. Jadi keruntuhan geser pada bidang tersebut dapat dinyatakan dengan jari-jari OX, dan bidang tersebut akan membentuk kemiringan sudut dengan harga :
(
2-6)Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.9 Lingkaran Mohr dan garis keruntuhan
Apabila harga dimasukkan kedalam persamaan (2-5) dan kemudian disederhanakan maka akan menghasilkan :
(
) (
)
(
2-7) dimana := tegangan utama besar = tegangan utama kecil
= sudut geser internal (kondisi drained)
2.2.2.3 Hukum Keruntuhan Geser Pada Tanah Jenuh Air
Pada tanah jenuh air, tegangan normal total adalah :
σ =
+ u
(
2-8)jadi :
= c +
tan
(
2-9)Tanah yang memiliki nilai c nol hanya pasir dan lanau anorganik, Untuk tanah lempung yang terkonsolidasi-normal, harga c juga dapat dianggap nol. Namun untuk tanah lempung terkonsolidasi lebih, harga c yang dimiliki pasti > 0. Lalu harga yang umum dijumpai pada tanah dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Harga-harga yang umum dari sudut geser internal dengan kondisi drained untuk pasir dan lanau.
Tipe Tanah (deg)
Pasir : butiran bulat
Renggang / Lepas 27-30
Menengah 30-35
Padat 35-38
Pasir : butiran bersudut
Renggang / Lepas 30-35
Menengah 35-40
Padat 40-45
Kerikil Bercampur Pasir 34-48
Lanau 26-35
Sumber : Braja M.Das 1985
2.2.3 Stabilitas Lereng
Suatu permukaan tanah yang miring dengan sudut tertentu terhadap bidang horizontal dan tidak dilindungi disebut sebagai lereng tak tertahan. Lereng ini bisa terbentuk alamiah atau dibuat untuk tujuan pembangunan tertentu. Bila permukaan tanah tidak datar, maka komponen berat tanah yang sejajar dengan kemiringan lereng akan menyebabkan tanah bergerak ke arah bawah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.10 Kelongsoran pada lereng bertanah kohesif
Zona Kelongsoran
Sumber : Braja M.Das 1985
Gambar 2.11 Kelongsoran pada lereng bertanah non-kohesif
Dalam menghitung stabilitas lereng khususnya yang dibahas disini adalah stabilitas dari lereng timbunan, perlu memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan kelongsoran lereng tersebut. Faktor yang perlu dilakukan tersebut adalah menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang permukaan retak yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang bersangkutan, dan proses ini dinamakan analisis stabilitas lereng.
2.2.3.1 Jenis-jenis Kelongsoran
Akibat ketidakstabilan lereng menurut Giani (1992) dapat berupa longsoran , runtuhan, guguran, aliran dan kombinasi dari berbagai gerak tersebut. Jenis-jenis gerakan kelongsoran tanah yang biasanya terjadi selama ini adalah :
Kelongsoran translasi
Kelongsoran translasi merupakan peristiwa yang terjadi pada bidang lemah. Umumnya terjadi pada tanah berbutir kasar.
Zona Kelongsoran
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.12 Kelongsoran translasi
Kelongsoran rotasi
Kelongsoran rotasi merupakan peristiwa kelongsoran yang terjadi pada tanah berbutir halus dan mempunyai titik putaran pada sumbu bidang yang paralel dengan lereng. Potongannya dapat berupa busur lingkaran dan kurva bukan lingkaran. Pada umumnya, kelongsoran berupa busur lingkaran berhubungan dengan kondisi tanah yang homogen, dan kelongsoran bukan lingkaran berhubungan dengan kondisi tanah yang tidak homogen.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.13 Kelongsoran rotasi
Jenis-jenis kelongsoran rotasi yang sering terjadi :
Kelongsoran dasar (base slide), kelongsoran yang bidang kelongsorannya membentuk bidang busur lingkaran pada seluruh bidang lereng. Pada umumnya disebabkan karena terdapatnya suatu lapisan lunak pada lapisan atas tanah yang keras.
Kelongsoran lereng (slope slide), kelongsoran yang permukaan kelongsorannya sampai bidang lereng dan belum melewati ujung kaki lereng.
Kelongsoran ujung kaki lereng (toe slide), kelongsoran yang permukaan bidang kelongsorannya melalui ujung kaki lereng.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.14 Jenis-jenis kelongsoran rotasi
Kelongsoran kombinasi
Kelongsoran kombinasi merupakan kelongsoran yang terjadi akibat kombinasi kelongsoran translasi dan kelongsoran rotasi, biasa terjadi pada batuan yang sudah lapuk.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.15 Kelongsoran kombinasi
Jatuhan bebas
Jatuhan bebas atau rolling merupakan peristiwa jatuhnya massa tanah atau batu yang disebabkan oleh hilangnya kontak dengan permukaan tanah.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.16 Kelongsoran jatuhan bebas
Jungkiran
Jungkiran atau topless merupakan peristiwa yang terjadi akibat adanya momen guling yang bekerja pada suatu titik putar di bawah suatu titik massa. Peristiwa jungkiran ini biasa terjadi pada batuan yang mempunyai banyak kekar atau garis putus-putus.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.17 Kelongsoran jungkiran
Aliran
Aliran merupakan peristiwa dimana pola kelongsorannya terjadi seperti perilaku air mengalir, dimana tanah yang jenuh air mengalir ketempat yang lebih rendah bersama air.
Sumber : Broms 1975
Gambar 2.18 Kelongsoran aliran
2.2.3.2 Definisi Faktor Keamanan Terhadap Longsor
Faktor keamanan didefinisikan sebagai perbandingan antara kekuatan geser tanah terhadap kekuatan geser yang diterima sepanjang bidang tanah. Hal ini bisa dituliskan :
(2-10)
Dimana Fs = angka keamanan τf = kekuatan geser tanah
τd = kekuatan geser yang diterima sepanjang bidang
Sedangkan untuk kekuatan geser tanah sendiri terdiri dari kohesi dan geseran, hal ini bisa dituliskan seperti pada persamaan (2-2) :
τf = c + σ tan ϕ
dimana : c = kohesi
σ = tegangan normal
ϕ =sudut geser tanah
Persamaan diatas juga berlaku untuk kekuatan geser yang diterima sepanjang bidang,
τd = cd + σ tan ϕ
d (2-11)cd = kohesi
ϕd =sudut geser tanah yang bekerja sepanjang bidang
Dari perbandingan kedua persamaan diatas, bila ϕd bervariasi dan ϕ konstan. Bisa diamati :
Sudut Geser Faktor Keamanan Kondisi Lereng
ϕd < ϕ FS > 1 Stabil ϕd = ϕ FS = 1 Labil / kritis ϕd > ϕ FS < 1 Runtuh
2.2.3.3 Analisis Stabilitas Lereng Dengan Tinggi Terbatas dengan (Metode Culman)
Analisis ini didasarkan pada anggapan bahwa kelongsoran suatu lereng terjadi sepanjang bidang, bila tegangan geser rata-rata yang dapat menyebabkan kelongsoran lebih besar dari kekutan geser tanah. Bidang yang paling kritis adalah bidang yang dimana rasio antara tegangan geser rata-rata dengan kekuatan geser rata-rata yang menyebabkan kelongsoran adalah minimum.
Gambar 2.19 menunjukan suatu lereng dengan tinggi H. Kemiringan lereng
terhadap bidang horisontal adalah . Bidang longsor yang ditinjau adalah bidang AC. Lalu berat bagian longsoran adalah ABC = W.
*
+
(2-12) Komponen-komponen W yang tegak lurus dan sejajar terhadap bidang AC adalah sebagai berikut := komponen yang tegak lurus bidang = W cos
*
+
(2-13)
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.19 Analisis lereng dengan tinggi terbatas metoda Culman
= komponen yang sejajar bidang = W cos
*
+
(2-14)
Tegangan normal (tegangan yang tegak lurus bidang) rata-rata dan tegangan geser pada bidang AC diberikan sebagai berikut :
= tegangan normal rata-rata = =
( )
*
+
(2-15) dan
= tegangan normal rata-rata = =
( )
*
+
(2-16) Tegangan geser perlawanan rata-rata yang terbentuk sepanjang bidang AC dapat dinyatakan dengan persamaan (2-11).
τd = cd + σ tan ϕ
dNamun harga
σ
memakai persamaan (2-15) sehingga :τd = cd +
*
+
. tan ϕ
d (2-17) Dari persamaan (2-16) dan persamaan (2-17) didapatkan :cd =
*
+
(2-18)
dimana :
= Berat bagian ABC = Tinggi
= Komponen yang tegak lurus bidang = Komponen yang sejajar bidang
= Kemiringan lereng terhadap bidang horisontal = Sudut
Persamaan (2-18) ini diturunkan dari bidang longsor percobaan AC. Selanjutnya dalam menentukan bidang longsor yang kritis bisa diterapkan prinsip maksimal dan minimal (untuk harga Ød tertentu) untuk mendapatkan sudut di mana kohesi yang bekerja (
cd
) akan maksimum. Jadi, penurunan pertama daricd
terhadap dibuat sama dengan nol atau :
= 0
(2-19)
Mengingat dalam persamaan (2-18) adalah tetap, maka :
=
[ ] (2-20)Penyelesaian persamaan (2-20) memberikan harga kritis dari atau
(2-21)
Dengan memasukkan harga ke dalam persamaan (2-18) maka
didapatkan :
cd =
*
+
(2-22) Tinggi maksimum dari lereng di mana keseimbangan kritis terjadi dapat ditentukan dengan memasukkan
cd
= c, dan = ke dalam persamaan (2-22). Sehingga :cr =
*
+
(2-23)
dimana :
cr = Tinggi kritis lereng
2.2.3.4 Analisis Stabilitas Lereng Dengan Cara Prosedur Massa
Dengan tanah dianggap homogen pada Gambar 2.20. Kekuatan geser tanah dianggap dalam keadaan undrained (air pori dijaga agar tidak keluar) dari tanah dianggap tetap dengan kedalaman dan diberikan sebagai
τf
= Cu. Analisis stabilitas lereng dapat dilakukan dengan memilih suatu potensi bidang longsor yaitu AED yang merupakan busur lingkaran berjari-jari = r, dan pusat lingkaran terletak pada O. Dengan memperhatikan satuan tebal yang tegak lurus pada bagian yang akan ditinjau, maka berat tanah yang berada diatas lengkung (kurva) AED dapat diketahui melalui W = W1 + W2, dengan :W1 = (luasan FCDEF) x (
W2 = (luasan ABFEA) x (
Keruntuhan lereng mungkin terjadi karena massa tanah yang menggelincir. Momen gaya yang mendatang terhadap titik O yang menyebabkan ketidak setabilan lereng adalah :
M1 = W1 l1 + W2 l2 (2-24)
Dimana :
l1 dan l2 adalah lengan momen
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.20 Analisis stabilitas lereng denga cara prosedur massa dalam tanah lempung yang
homogen ( )
Perlawanan terhadap kelongsoran berasal dari kohesi yang bekerja sepanjang bidang gelincir. Bila Cd adalah kohesi yang dibutuhkan untuk terbentuk, maka momen gaya perlawanan terhadap titik O adalah :
(2-25)
dimana :
= Momen perlawanan = Momen dorong
= Jari-jari lingkaran kelongsoran Untuk keseimbangan, ; jadi,
= W
1 l1 + W2 l2 atau
(2-26)
Angka keamanan terhadap kelongsoran didapatkan sebagai :
(2-27) dimana :
= Angka keamanan terhadap kekuatan
= Tegangan geser
= Kohesi untuk kondisi undrained = Kohesi yang dibutuhkan
Untuk kasus lingkaran kritis, besar kohesi yang dibutuhkan dapat dinyatakan dengan hubungan menurut Fellenius (1927) dan Taylor (1937) berikut.
atau (2-28) dimana : m = Angka stabilitas
Besaran m di sebelah kanan persamaan (2-28) adalah bilangan tak berdimensi, dan mengacu sebagai angka stabilitas (stability number). Selanjutnya tinggi kritis (yaitu, =1) lereng ini dapat dievaluasi dengan menggantikan H= cr
dan
pada persamaan (2-28) maka harga angka stabilitas m, untuk lereng dengan bermacam-macam sudut kemiringan diberikan dalam Gambar
2.21. Terzaghi merupakan istilah , kebalikan dari m, dan disebut juga sebgai
faktor stabilitas (stability factor). Tetapi Gambar 2.21 hanya berlaku untuk lereng dari tanah lempung yang jenuh dan hanya berlaku untuk keadaan undrained (air pori dijaga agar tidak keluar), pada saat
(a)
(b)
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.21 Definisi dari parameter-parameter untuk tipe keruntuhan lereng lingkaran titik tengah (midpoint circle)(a), dan grafik hubungan antara angka stabilitas dengan sudut kemiringan
Lingkaran ujung dasar lereng Lingkaran titik tengah
Lingkaran lereng
Fellenius (1927) menyelidiki juga masalah lingkaran ujung dasar lereng yang kritis dari lereng dengan . Letak titik pusat lingkaran dengan ujung dasar talud dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.22 dan tabel 2.6.
Tabel 2.6 Kohesi dari pusat lingkaran unjung dasar lereng (
(derajat) (derajat) (derajat)
1,0 45 28 37
1,5 33,68 26 35
2,0 26,57 25 35
3,0 18,43 25 35
5,0 11,32 25 37
Sumber : Braja M.das1985
Untuk notasi , , bisa didapatkan dari Gambar 2.22.
Sumber : Braja M.das1985
Gambar 2.22 Kohesi dari pusat lingkaran kritis untuk
(2-32)
2.2.3.5 Analisis Stabilitas Lereng Dengan Cara Metoda Irisan Bishop yang Disederhanakan
Dalam metode ini, pengaruh gaya-gaya pada sisi tepi tiap irisan diperhitungkan. Cara ini dapat dikerjakan dengan memperhatikan analisis lereng yang diberikan dalam Gambar 2.23. Gaya-gaya yang bekerja pada irisan nomor
n, yang ditunjukkan dalam Gambar 2.23 b, digambarkan dalam Gambar 2.25 a.
Apabila :
(
)
(2-29)Didalam Gambar 2.25 b menunjukkan polygon gaya untuk keseimbangan dari irisan nomor n, Jumlahkan gaya dalam arah vertikal.
*
+
sin
(2-30) atau :
(2-31)
Untuk kesetimbangan blok ABC Gambar 2.23 a, ambil momen terhadap O
∑
∑
dengan :
(2-33)
Dengan memasukkan persamaan (2-31) dan (2-33) ke dalam persamaan (2-32), didapatkan :
∑
∑ dengan :
Untuk penyederhanaan, maka maka persamaan (2-34) berubah menjadi : ∑
∑
dimana :
= Angka keamanan terhadap kekuatan = Berat
= Kohesi
b = lebar potongan
n = Perbandingan antara jarak perpotongan lingkaran titik tengah
kritis terhadap ujung dasar lereng dan tinggi lereng
= Sudut
= Gaya horisontal pada sisi irisan
Dikarenakan nilai berada di kedua sisi persamaan (2-36), maka perlu dilakukannya trial and error untuk mendapatkan nilai tersebut.
𝐹
𝑠 (2-34) (2-35)𝐹
𝑠 (2-36)(a)
(b)
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.23 Analisa stabilitas dengan metoda irisan yang biasa : Permukaan bidang yang dicoba
(a) ; gaya yang bekerja pada irisan nomor n (b).
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.24 Analisa stabilitas dengan metoda irisan yang biasa untuk lereng pada tanah berlapis
(a) (b)
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.25 Metoda irisan menurut Bishop yang sudah disederhanakan: Gaya-gaya yang bekerja
pada irisan nomor n (a), polygon gaya untuk keseimbangan (b).
Sumber : Braja M.das 1985
Gambar 2.26 Variasi dengan (tan )/ dan
2.2.4 Kriteria Pembebanan Dermaga
Dalam mendesain suatu dermaga atau pelabuhan, diperlukannya desain konstruksi causeway yang baik. Dalam proses mendesain konstruksi penghubung dermaga tersebtu, diperlukannya menentukan beban yang terjadi pada konstruksi tersebut. Pembebanan konstruksi causeway ini terbagi atas beban vertikal, beban horizontal, dan beban gempa. Berikut ini penjelasan pembebanan tersebut.
2.2.4.1 Beban Vertikal
Beban vertikal pada konstruksi causeway terdiri dari :
Beban mati (berat sendiri) (DL)
Beban mati merupakan beban-beban mati yang secara permanen membebani konstruksi yaitu beban timbunan causeway itu sendiri dan termasuk segala unsur tambahan yang merupakan satu kesatuan dengannya.
Beban hidup merata akibat muatan (LL)
Adalah beban merata yang diakibatkan oleh beban semua muatan tidak tetap yang berada di atas konstruksi causeway kecuali beban gempa, beban angin dan pengaruh-pengaruh khusus seperti selisih suhu, susut, dan lain-lain. Beban hidup ini merupakan beban pejalan kaki serta beban kendaraan bermuatan barang yaitu truk. Truk yang melewati konstruksi ini adalah truk pengangkut barang tambang yang akan keluar atau masuk ke area causeway. Untuk beban pejalan kaki bisa diabaikan karena beban terlalu kecil. Beban yang perlu diperhatikan adalah beban truk. Besar dan letak konfigurasi roda truk tersebut dapat dilihat pada gambar 2.27
Sumber : RSNI T 02-2005
Gambar 2.27 Posisi beban pada roda truk
Beban khusus ( & )
Beban khusus ini adalah beban tambahan yang diperlukan dalam kombinasi pembeban pada konstruksi causeway. Beban ini adalah beban perawatan lereng timbunan causeway yang dikerjakan oleh hydraulic
excavator seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.28.
Gambar 2.28 Lereng yang perlu dilakukan perawatan pada potongan melintang D timbunan
causeway
Timbunan konstruksi causeway telah direncakan untuk memiliki dua trap pada keseleruhan lerengnya yang bertujuan untuk stabilisasi lereng dikarenakan lereng yang tinggi maksimumnya mencapai 16.5 m sehingga perawatan jangka panjang akan diperlukan.
Dikarenakan lereng memiliki dua trap, maka beban khusus ini terbagi dua yaitu beban hydraulic excavator pada trap 1 atau trap atas seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.29, dan beban hydraulic excavator pada trap 2 atau trap bawah seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.30. karena tidak mungkin perawatan trap atas dan bawah dilakukan bersaman pada garis lokasi yang sama.
Beban perawatan lereng ini diambil berdasarkan beban dari hydraulic
excavator yang memiliki dimensi serta beban terberat dikelasnya namun
tetap tidak melebihi lebar trap yang telah direncanankan, yaitu large
hydraulic excavator 345 C L. Beban kerja dari alat berat ini adalah 44970
kg. Namun kami membulatkannya menjadi 45000 kg dalam proses perhitungan lereng timbunan konstruksi causeway ini.
Gambar 2.29 Beban hydraulic excavator pada trap 1 atau atas
Gambar 2.30 Beban hydraulic excavator pada trap 2 atau bawah
2.2.4.2 Beban Horizontal
Beban horizontal dermaga terdiri dari :
Tekanan Arus
Beban gelombang ombak atau tekanan arus merupakan beban horizontal/lateral yang terjadi pada timbunan konstruksi causeway tersebut. Besarnya tekanan ini tergantung dari kecepatan arus pada saat mengenai timbunan konstruksi causeway dan luasan timbunan yang terkena ombak. Namun tekanan arus ini diabaikan dalam perhitungan ditugas akhir ini, dikarenakan tekanan arus berada diluar batasan masalah.
Tekanan angin
Pada umumnya tekanan tiup angin diambil minimum 25 kg/m², dan tekanan tiup yang berada di laut dan tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil minimum 40 kg/m². Namun untuk daerah-daerah lain tertentu, dimana terdapat kecepatan-kecepatan angin yang memungkinkan hasil tekanan tiup yang lebih besar daripada ketentuan yang ada, maka tekanan tiup angin (p) harus dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(2-37)
dimana : V = kecepatan angin, (m/detik)
Namun tekanan angin ini diabaikan dalam perhitungan ditugas akhir ini, dikarenakan tekanan angin yang kecil sehingga tidak mempengaruhi timbunan konstruksi causeway.
2.2.4.3 Beban Gempa
Perhitungan beban gempa tidak dapat didasarkan pada SNI 03-1726-2002 dan SNI 2833-2008 dikarenakan standar tersebut hanya untuk perhitungan beban gempa gedung dan jembatan . untuk beban gempa, perhitungan akan ditambahkan pada program bantu analisa stabilitas lereng geo-slope dengan koefisian gempa yang telah ditentukan.
Koefisien gempa bisa didapatkan dari peta gempa. Peta gempa adalah hasil analisis pengamatan terakhir yang telah disusun peta zonasi gempa yang didalamnya tercakup frekuensi kejadian dan skala besaran gempa. Koefisien gempa didasarkan pada perhitungan seismic hazard analysis, yaitu perhitungan intensitas gempa yang mengacu pada perhitungan teori probabilitas. Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah gempa, seperti yang terlihat pada gambar 3.31
Sumber : SNI 03-1726-2002
Gambar 2.31 Wilayah gempa dengan percepatan puncak batuan dasar perioda ulang 500 tahun
2.2.4.4Kombinasi beban
Standar design criteria for port in Indonesia 1994 mengatur tentang
besarnya beban-beban yang bekerja, tetapi tidak mencantumkan adanya kombinasi pembebanan. Serta dalam standar teknis untuk sarana-sarana pelabuhan di Jepang 1995, disebutkan bahwa beban gempa, angin dan gaya tarik boulder dianggap sebagai beban pada kondisi khusus, yaitu beban sementara.
Pada dasarnya pembebanan konstruksi causeway tidak ada di pedoman manapun, namun pembebanan perlu dikombinasikan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya beberapa beban. Kombinasi beban ini dilakukan untuk memperoleh kondisi pembebanan maksimun pada konstruksi causeway. Dalam perencanaan ini, dipergunakan kombinasi beban sebagai berikut :
DL+LL DL+LL+ DL+LL+ DL+50%LL+SL DL+50%LL+ +SL DL+50%LL+ +SL
Dimana : DL = Beban mati LL = Beban hidup
= Beban khusus pada trap 1 = Beban khusus pada trap 2 SL = Beban gempa
2.2.5 Unsur Pelengkap Timbunan Causeway
Bagian pada konstruksi causeway ini tidak hanya timbunan tanah granular non-kohesif. Konstruksi ini memerlukan unsur pelengkap lainnya sehingga dapat menopang kebutuhan serta dapat bertahan sesuai dengan tujuan dibangunnya konstruksi ini. Unsur pelengkap konstruksi causeway ini mencangkup perkerasan,
geotextile, armour layer, dan plat injak.
2.2.5.1 Lapisan Tanah Laterit
Konstruksi causeway ini adalah akses penghubung antara dermaga jetty dan tepi pantai sehingga timbunan ini akan dilewati oleh truk pengangkut barang dan hasil tambang keluar masuk dermaga. Oleh karena itu diperlukannya perkerasan di atas timbunan ini sehingga mobilisasi di dermaga tersebut bisa dilakukan.
Sumber :http://arisudev.wordpress.com
Contoh tanah laterit yang berada dilapangan
Perkerasan di atas timbunan ini digantikan oleh tanah laterit. Tanah laterit adalah sejenis lempung yang mengandung sejumlah kwarsa, kaya akan besi dan alumunium. Dikarenakan kandungannya, tanah laterit ini mudah mengeras karena kelembaban diantara partikel-partikel lempungnya menguap dan membentuk struktur yang kaku.
Lokasi pelaksanaan konstruksi berada dipulau terpencil dan bagian dari wilayah Indonesia Timur yang tertinggal, sehingga tidak mungkin timbunan tersebut memakai perkerasan lentur ataupun perkerasan kaku. Hal inilah yang menyebabkan pemakaian tanah laterit sebagai perkerasan untuk kendaraan yang berkebutuhan memobilisasi barang tambang yang ada dipulau obi tersebut, ditambah lagi dengan karakteristik tanah laterit yang mendukung untuk menggantikan fungsi perkerasan. Tanah laterit ini memiliki tebal rencana 1.5 m seperti yang terlihat pada gambar 3.33, dan seluruh permukaan teratas dari konstruksi causeway akan ditutupi oleh lapisan tanah laterit ini.
Gambar 2.33 Lapisan tanah laterit dengan tebal 1.5m
2.2.5.2 Geotextile Non Woven
Geotextile adalah sejenis geosintetik yang terbuat dari anyaman ataupun
rajutan yang menyerupai bahan textile yang memiliki banyak fungsi dan salah satunya adalah sebagai separator. Geosintetik adalah bahan sintetis yang pada umumnya terbuat dari bahan plastic yang digunakan untuk aplikasi teknik sipil dalam lingkungan tanah. Bahan geosintetis mulai dikenal dan digunakan di dunia pada awal tahun 1970-an, lalu mulai dipergunakan di Indonesia tahun 1990-an. Bahan geosintetis sekarang ini telah banyak digunakan di Indonesia.
Tanah laterit yang digunakan untuk perkerasan berada langsung di atas tanah timbunan granular non-kohesif yang seluruh gradasinya memiliki ukuran butir > 2 mm, sedangkan tanah laterit sendiri adalah jenis tanah lempung yang memiliki ukuran butir < 0.002 mm. Kondisi tersebut sudah dapat dipastikan akan menyebabkan tanah laterit akan terbawa aliran air ketika air ada di atasnya dan masuk kedalam pori-pori dari tanah timbunan yang ada di bawahnya. Ditambah lagi dengan kemungkinan terjadinya kerusakan oleh beban kendaraan di atas tanah laterit yang akan menyebabkan tanah laterit tertekan dan mengisi celah yang terdapat pada tanah timbunan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu diperlukannya perlindungan atau pembatas tanah laterit tersebut, dan pembatas yang akan digunakan adalah geotextile non woven.
Sumber :http://geotextile.web.id
Gambar 2.34 Geotextile non woven
Geotextile non woven adalah geotextile yang biasa dipergunakan untuk separator atau pembatas antara lapisan tanah. Geotextile non woven diletakkan
diantara lapisan tanah laterit yang berada diatasnya dan lapisan tanah timbunan yang berada dibawahnya seperti yang terlihat pada gambar 2.35. Peletakkan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya pengikisan tanah laterit oleh air sehingga masuk ke dalam lapisan tanah timbunan, dan itu akan menyebabkan perkerasan tidak dapat digunakan. Geotextil non woven ini akan diletakkan diseluruh permukaan timbunan causeway sebagai pembatas tanah laterit.
Gambar 2.35 Penempatan geotextil non woven pada causeway 2.2.5.3 Armour Layer (Rivertment)
Armour layer adalah lapisan batuan yang berfungsi sebagai pelindung
lereng timbunan yang bersentuhan langsung dengan tekanan dari gelombang air laut. Batuan ini digunakan untuk melindungi timbunan konstruksi causeway sehingga tidak lepas kelaut bebas akibat serangan gelombang dan arus. Lapisan ini adalah lapisan yang dibentuk oleh batu armor, maupun material lain yang dapat melindungi lereng seperti beton.
Sumber :http://www.panoramio.com
Gambar 2.36 Contoh lapisan pelindung yang dibuat dari beton precast
Lapisan pelindung lereng yang digunakan untuk timbunan konstruksi
causeway dalam tugas akhir ini adalah lapisan dari batu armor. Lapisan ini di
desain dengan tebal 50 cm serta tinggi +6 mLWS yang didasarkan pada muka air pasang yang berada di elevasi +1.6 mLWS sehingga permukaan lereng akan aman. Lapisan pelindung ini berada diseluruh keliling dari timbunan causeway seperti yang terlihat pada gambar 2.37 dan gambar 2.38.
Gambar 2.37 Batu armor melindungi keseluruhan lereng timbunan
Gambar 2.38 Batu armor yang berada pada potongan melintang dari timbunan causeway
Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung dari berat armour yang akan digunakan adalah persamaan Hudson Formula :
W =
(
2-38)W = berat Armour (ton)
r = berat jenis Armour (1,50 ton/m3) Hs = tinggi gelombang significant (m)
Kd = koefisien kerusakan, kerusakan yang dapat diterima berkisar 0 - 5 %. D = berat jenis relatif batu = (r-w)/w
w = berat jenis air laut (1.025 ton/ m3) = sudut kemiringan tanggul
2.2.5.4 Plat Injak
Plat injak adalah plat yang digunakan sebagai penghubung anatara dermaga apung dan timbunan konstruksi causeway. Plat injak ini diaplikasikan dengan maksud untuk mengantisipasi apabila terjadi penurunan konstruksi yaitu konstruksi timbunan causeway ataupun konstruksi jetty. Sehingga ketika terjadinya penurunan pada salah satu elemen dermaga tersebut dan menyebabkan terjadinya beda elevasi antara timbunan dan jetty, plat injak tetap dapat menghubungkan konstruksi keduanya. Desain plat injak dalam tugas akhir ini adalah memiliki lebar B= 6 m dan panjang 12.4 m seperti dapat dilihat pada
gambar 2.39 dan 2.40. desain ini didasarkan dari dimensi kendaraan yang akan
melewati plat injak tersebut.
Gambar 2.39 Tampak samping plat injak
Tampak atas plat injak