TELAAH TERHADAP PENYUSUNAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DI KABUPATEN KULON PROGO
(Arie Budiyarto, Bidang Tata Lingkungan DLH Kulon Progo)
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah satu instrument pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Walaupun UU PPLH telah disahkan sejak tahun 2009, akan tetapi penyusunan KLHS baru mulai di-intensifkan secara nasional pada tahun 2016 yaitu sejak keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Terkait penyusunan KLHS, Kabupaten Kulon Progo baru aktif melakukan penyusunan KLHS sejak tahun 2017 yang dilakukan terhadap 3 (tiga) Kebijakan-Rencana-Progam (KRP) strategis yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2017-2022 dan Program Kawasan Strategis Bandara New Yogyakarta International Airport. Namun demikian, didalam praktek penyusunan KLHS untuk ketiga KRP tersebut terdapat beberapa kendala yang timbul terutama dalam hal kualitas hasil penyusunan KLHS.
Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk mengkaji permasalahan-permasalahan menyangkut penyusunan KLHS sebagai upaya perbaikan penyusunan KLHS pada masa mendatang di Kabupaten Kulon Progo.
Lebih lanjut, untuk memudahkan pemahaman terhadap alur berpikir , tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu landasan teori terkait KLHS; pembahasan; dan penutup. Landasan teori akan memuat informasi penting terkait KLHS secara teoritis yang didapat dari berbagai sumber terpercaya (Jurnal ilmiah,panduan kegiatan dari pemerintah dan peraturan-peraturan terkait KLHS). Bagian Pembahasan akan menekankan kepada aspek pembelajaran dari penyusunan KLHS di Kulon Progo yang berfokus kepada hasil evaluasi baik mandiri maupun masukan dari pihak evaluator KLHS. Sedangkan bagian penutup makalah berisi rekomendasi yang merupakan intisari saran dan masukan yang diperoleh dari keseluruhan isi tulisan.
Untuk memahami KLHS diperlukan pemahaman intrinsik mengenai KLHS itu sendiri dan tujuan akhir dari KLHS, yaitu terwujudnya pembangunan yangberkelanjutan. Sumber utama yang paling tepat untuk memahami kedua hal tersebut adalah UU 32 PPLH. UU 32 PPLH mendefinisikan KLHS sebagai berikut:
“Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program”
Sedangkan pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai:
“Upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.
KLHS muncul disebabkan karena adanya keterbatasan dari instrumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam mengkaji berbagai hal terkait KRP. Partidario (2000) menjelaskan 2 (dua) hal sifat esensial KRP yang tidak dapat dikaji menggunakan AMDAL. Kedua hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik alami proses pengambilan kebijakan KRP, yaitu resiko keputusan diambil dengan dasar yang samar (vague) merupakan hambatan terbesar dalam aplikasi AMDAL yang selalu bersifat pragmatis teknokratis
2. Karakteristik informasi KRP, yaitu besarnya unsur ketidakpastian (uncertainty) dalam suatu KRP membuat aplikasi AMDAL tidak dapat dilakukan dengan efektif karena AMDAL memerlukan keakuratan dan kejelasan informasi.
Lebih lanjut, disebabkan oleh perbedaan fundamental dari karakteristik KLHS dan AMDAL, maka KLHS dalam aplikasinya dibedakan dengan AMDAL. Terdapat berbagai sudut pandang perbedaan KLHS dan AMDAL dalam aplikasi keduanya, namun secara umum KLHS dan AMDAL dalam aplikasinya dibedakan menjadi 2 (dua) sudut pandang yaitu dari sudut pandang fungsi dan tingkatan kebijakan. Sudarwanto (2010) dan Pamekas (2011) mengidentifikasi KLHS sebagai alat untuk membantu dalam merumuskan suatu kebijakan (decision-aiding tool) dan AMDAL sebagai alat untuk mengambil keputusan suatu kebijakan (decision-making tool). Sedangkan dari tingkatan kebijakan, KLHS ideal untuk diterapkan pada level Kebijakan-Rencana-Program (KRP) sedangkan AMDAL hanya cocok diterapkan pada level Kegiatan (Partidario 2000).
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui UU 32 PPLH dan PP 46 KLHS menetapkan batasan aplikasi KLHS hanya dalam tingkatan KRP yang didalamnya termasuk RTRW dan RPJMD-RPJMP-RPJMN.
Untuk memperjelas perbedaan batasan wilayah kajian KLHS dan AMDAL, maka Partidarion (2000, p.
656) telah membuat ilustrasi yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pembagian ruang lingkup kajian KLHS (SEA) dan AMDAL (EIA)
Selanjutnya, di dalam aplikasi KLHS, Sudarwanto (2010) menekankan pentingnya pemahaman dan implementasi terhadap 4 (empat) filosofi KLHS, yaitu:
1. KLHS merupakan proses evaluasi mandiri
KLHS merupakan suatu instrumen yang harus memiliki fungsi evaluasi mandiri/intropeksi guna menghasilkan output KRP yang lebih baik khususnya dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan.
2. KLHS merupakan proses untuk meningkatkan kualitas perencanaan KRP
- KLHS dalam pelaksanaannya harus dianggap sebagai bagian untuk meningkatkan kualitas perencanaan KRP dalam hal penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
- KLHS merupakan salah satu alternatif peningkatan kualitas perencanaan KRP yang cenderung bersifat linier. Sutton (1999) menjelaskan model pengambilan kebijakan linier sebagai model pengambilan keputusan perencanaan yang bersifat logis dan rasional namun selalu
menyalahkan lemahnya komitmen politik, kelemahan menejerial dan kurangnya sumber daya apabila aplikasi KRP menunjukkan hasil yang tidak diharapkan, tanpa adanya evaluasi terhadap KRP itu sendiri.
- KLHS juga merupakan cara untuk mengatasi pola pikir narasi dalam perencanaan KRP melalui prinsip keterlibatan partisipatif pemangku kepentingan dalam penyusunan dan evaluasi KRP.
Pola pikir narasi yaitu cara pandang pengambil kebijakan untuk selalu berpedoman terhadap
“blueprint” pengalaman yang pernah dialami dalam menghadapi suatu permasalahan. Sebagai hasilnya maka pola pikir narasi akan membuat pengambil kebijakan cenderung mengabaikan saran dan masukan dari pemangku kepentingan lainnya terkait penyusunan dan evaluasi KRP (Sutton 1999)
3. KLHS merupakan proses untuk meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan
- KLHS dalam proses analisanya harus dapat meningkatkan kapasitas seluruh pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya melalui kegiatan analisa yang sistematis-menyeluruh- partisipatif. Rega dan Baldizzone (2015) menjelaskan prinsip partisipatif dalam KLHS sebagai partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan dalam penyusunan KLHS, tidak terbatas sebagai pemberi informasi pada tim ahli penyusun KLHS.
4. KLHS harus memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan pengambil keputusan
Hasil analisa KLHS harus dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi pengambil keputusan dalam memutuskan kebijakan tertentu. Hal ini terkait dengan karakteristik KLHS sebagai decision-aiding tool bagi para pembuat kebijakan.
Sebagai tambahan, terdapat satu hal penting terkait penerapan filosofi KLHS yaitu waktu yang tepat diterapkannya KLHS di dalam KRP. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui UU 32 PPLH menekankan bahwa waktu penerapan KLHS adalah pada saat penyusunan atau evaluasi KRP pembangunan. Satmaidi (2015) menegaskan bahwa semakin awal rekomendasi KLHS diintegrasikan ke dalam penyusunan KRP, maka akan semakin mudah rekomendasi dari KLHS tersebut untuk diintegrasikan ke dalam isi dari KRP itu. Sehingga akan lebih memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan ke dalam KRP.
Dasar hukum penyusunan KLHS adalah UU 32 PPLH dan PP 46 KLHS, sedangkan teknis penyusunan KLHS mengacu kepada PP 46 KLHS. Di dalam PP 46 KLHS penyusunan KLHS sebuah KRP dilakukan berbasis pada dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh KRP (Environmnetal Impact Assessment Based), dengan 11 (sebelas) tahapan penyusunan KLHS yang dapat dilihat secara ringkas pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme penyusunan KLHS (Nurhadi 2017, p. 18)
Ket: DDDT (Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan) Resiko (Analisis Resiko Lingkungan)
JE (Jasa Ekosistem)
SDA (Status mutu dan ketersediaan Sumber Daya Alam) PI (Perubahan Iklim)
Kehati (Keanekaragaman Hayati)
Tulisan ini mengkaji kualitas proses dan hasil penyusunan KLHS di Kabupaten Kulon Progo untuk 3 (tiga) KLHS yaitu KLHS Review Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032 (KLHS review RTRW); Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2017- 2022 (KLHS RPJMD) dan Program Kawasan Strategis Bandara New Yogyakarta International Airport (KLHS Bandara). Metode yang digunakan adalah discourse analysis menggunakan indikator 4 (empat) filosofi KLHS, proses evaluasi mandiri-peningkatan kualitas perencanaan KRP-peningkatan kapasitas pemangku kepentingan-kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan pengambil keputusan, dengan menggunakan landasan teori yang telah dijabarkan pada uraian sebelumnya. Hasil analisa permasalahan adalah sebagai berikut:
1. KLHS sebagai proses evaluasi mandiri KRP
Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan telaah dokumen KLHS yang ada, terdapat beberapa perbedaan hasil kajian. KLHS review RTRW merupakan KLHS yang paling baik menerapkan filosofi evaluasi mandiri dibanding KLHS RPJMD dan KLHS Bandara. Hal ini disebabkan karena penyusunan KLHS review RPJMD dilakukan memang dengan tujuan untuk mereview penerapan RTRW yang sedang berjalan (2012-2032), sehingga integrasi rekomendasi KLHS review RTRW sangat mudah dilakukan dan Review RTRW belum disahkan oleh DPRD (menunggu hasil KLHS Review RTRW).
Hal yang berbeda terlihat di KLHS lainnya. Hasil KLHS Bandara sangat susah digunakan untuk evaluasi mandiri KRP mengingat ijin lingkungan pembangunan bandara keluar sebelum KLHS Bandara selesai. Hal serupa terjadi dengan KLHS RPJMD, RPJM Kulon Progo 2017-2022 telah disahkan pada bulan Desember 2017 akan tetapi KLHS RPJMD baru diproses validasi pada Tahun 2018.
Proses evaluasi mandiri tidak akan pernah bisa dilakukan apabila KRP yang akan dievaluasi telah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi KLHS sebagai decision-aiding tools seperti yang disebutkan oleh Sudarwanto (2010) dan Pamekas (2011). Faktor lain yang menyebabkan evaluasi mandiri tidak berjalan adalah tingkat urgency KRP yang dievaluasi. RPJMD dan bandara memiliki urgency yang lebih tinggi untuk disegerakan aplikasinya apabila dibandingkan dengan review RTRW. Dalam kasus yang melibatkan KRP dengan tingkat aplikasi terbatasi oleh sempitnya waktu, seperti RPJMD dan bandara, maka Pemkab Kulon Progo cenderung untuk memilih pola pikir linier, Sutton (1999), yang lebih condong kepada pola pikir logis dan rasional dikarenakan adanya target aplikasi KRP yang sangat sempit dibandingkan dengan menunggu hasil evaluasi KLHS. Lambatnya penyusunan KLHS juga menjadi catatan penting yang menunjukkan komitmen Pemkab Kulon Progo terhadap evaluasi KRP.
Namun demikian, terlepas dari permasalahan di atas, lambatnya penyusunan KLHS yang dilakukan oleh Pemkab Kulon Progo dipengaruhi juga oleh keterlambatan keluarnya regulasi teknis sebagai pedoman penyusunan KLHS. Dalam hal ini PP 46 KLHS mengalami keterlambatan keluar hingga mencapai 7 tahun setelah disahkannya UU 32 PPLH yang mewajibkan dilakukannya KLHS KRP. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang harus segera diatasi oleh Pemkab Kulon Progo.
2. KLHS merupakan proses peningkatan kapasitas perencanaan KRP
Merujuk kepada hasil pembahasan filosofi pertama (KLHS sebagai alat evaluasi mandiri KRP) yaitu KLHS yang ada saat ini belum mencerminkan keseriusan Pemkab Kulon Progo untuk melakukan evaluasi mandiri KRP, maka dapat disimpulkan bahwa belum terdapat perubahan signifikan terhadap proses
peningkatan kapasitas perencanaan KRP. KLHS hanya dipandang sebagai formalitas atau salah satu syarat yang diwajibkan oleh peraturan negara yang harus dipatuhi oleh Pemkab Kulon Progo. Sehingga fungsi KLHS sebagai decision-aiding tool, Sudarwanto (2010) dan Pamekas (2011), belum berjalan dengan baik. Hal ini tidak terlepas juga oleh keterlambatan kelaurnya petunjuk teknis penyusunan KLHS seperti yang telah dijelaskan pada filosofi pertama.
Dengan belum berjalannya peningkatan kapasitas perencanaan KRP maka perencanaan KRP di Kulon Progo saat ini masih bersifat Business as Usual. Prinsip-prinsip pengambilan kebijakan konvensional seperti prinsip linieritas dan narasi deskriptif Sutton masih terus diterapkan hingga saat ini.
3. KLHS sebagai proses peningkatan kapasitas pemangku kepentingan
Proses penyusunan KLHS di Kabupaten Kulon Progo saat ini masih memiliki kekurangan dalam hal pemilihan pemangku kepentingan yang akan dilibatkan dalam penyusunan KLHS. Pemangku kepentingan yang dilibatkan sangat terbatas, di dominasi dari kalangan internal pemerintah kabupaten.
Sebagai hasilnya, analisis KLHS tidak dapat memenuhi asas menyeluruh dan partisipatif sesuai amanat UU 32 PPLH sehingga validitas hasil rekomendasi KLHS masih harus ditingkatkan. Tidak dapat
“menyeluruh” karena data yang didapat tidak mewakili semua sektor yang terlibat dan tidak dapat
“partisipatif” karena representasi pemangku kepentingan sangat terbatas.
Terdapat 2 (dua) hal yang menyebabkan permasalahan keterlibatan pemangku kepentingan di Kabupaten Kulon Progo, yaitu:
- Kultur birokrat yang memandang partisipasi pemangku kepentingan hanya sebatas kepada pemberi informasi kepada tim ahli, sehingga tingkat ketergantungan kepada tim ahli sangat besar, sinkron dengan penjelasan dari Rega dan Baldizzone (2015). Kondisi ketergantungan ini diperparah dengan kualitas tim ahli yang terkadang belum memiliki kompetensi yang memadai dalam menyusun KLHS. Tim ahli dengan kualitas terbatas ini terpaksa dipilih dikarenakan keterbatasan pendanaan dalam APBD Kabupaten.
- KRP, khususnya RPJMD, memiliki cakupan yang sangat luas, melibatkan pemangku kepentingan dalam jumlah yang besar dan proses partisipatif ditakutkan akan memakan waktu lama. Di lain pihak, Pemkab dibatasi oleh waktu untuk segera mengesahkan KRP agar roda birokrasi dapat berputar normal.
4. KLHS sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi kebijakan pengambil keputusan
Berdasarkan hasil kajian filosofi ke-1 (satu) hingga ke-3 (tiga) yang memperlihatkan kelemahan KLHS Kulon Progo, yaitu belum dijadikan sebagai alat evaluasi diri KRP-belum dapat berfungsi sebagai trigger peningkatan kualitas perencanaan KRP-belum memiliki tingkat partisipatif yang baik, menyebabkan kualitas hasil KLHS Kulon Progo yang ada saat ini masih memiliki isu terkait kualitas rekomendasi.
Sehingga, sangat wajar secara logika sederhana apabila pengambil keputusan di Kulon Progo saat ini belum mempertimbangkan KLHS sebagai decision-aiding tool.
Namun demikian, adanya tekanan eksternal, seperti kontrol dari Kementrian Lingkungan Hidup, dan sifat urgency KRP tertentu yang memiliki batas waktu pengesahan yang ketat menyebabkan KLHS memiliki posisi tawar yang meningkat sebagai decision-aiding tool bagi pengambil kebijakan. Untuk jenis KRP dengan tingkat urgency aplikasi yang rendah, seperti Review RTRW maka kualitas dari KLHS harus dikelola sebaik mungkin.
Pada bagian akhir tulisan ini terdapat beberapa rekomendasi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan terkait penyusunan dan kualitas KLHS yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Rekomendasi-rekomendasi tersebut yaitu:
1. Perlu dilakukan sosialisasi fungsi dan urgency KLHS kepada para pengambil keputusan kunci yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Tujuan sosialisasi KLHS adalah untuk “memperkenalkan” KLHS sebagai decision-aiding tool yang memastikan bahwa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan mewarnai KRP yang diputuskan oleh pengambil kebijakan kunci sekaligus meningkatkan kapasitas perencanaan KRP. Pengambil kebijakan kunci meliputi: anggota DPRD Kulon Progo, Bupati Kulon Progo, Wakil Bupati Kulon Progo, Kepala seluruh OPD di Kabupaten Kulon Progo;
2. Perlu dilakukan Up-Grade intensif pengetahuan terkait penyusunan KLHS terhadap Pokja Penyusunan KLHS Kabupaten Kulon Progo. Up-Grade tersebut bertujuan untuk mengejar ketertinggalan informasi yang disebabkan oleh adanya keterlambatan Petunjuk Teknis penyusunan KLHS yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat;
3. Untuk meningkatkan fungsi KLHS sebagai alat evaluasi diri KRP maka KLHS harus sudah disahkan sebelum pengesahan KRP;
4. Untuk meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan maka perlu dilakukan perencanaan yang matang baik dari aspek pendanaan maupun teknis pemilihan dan pelibatan pemangku kepentingan.
Khusus untuk KRP yang memiliki ruang lingkup yang sangat luas seperti RPJMD maka pemilihan dan pelibatan pemangku kepentingan dapat dibagi berdasarkan sektor-sektor urusan yang ada di RPJMD
5. Selain semua hal di atas, perlu dilakukan dipersiapkan perencanaan dan pendanaan kajian-kajian ilmiah penunjang KLHS terutama kajian kewilayahan terkait Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan; Analisis Resiko Lingkungan; Jasa Ekosistem; Status mutu dan ketersediaan Sumber Daya Alam; Perubahan Iklim; Keanekaragaman Hayati
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous 2009, 'Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup', Jakarta, Indonesia.
Anonymous 2016, 'Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis', Jakarta Indonesia.
Nurhadi, A 2017, 'Tata Cara Penyelenggaraan KLHS', Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.
Pamekas, R 2011, 'Kajian Lingkungan Hidup Strategis Berbasis Konsultasi Publik Dan Rekonstruksi Permukiman Pasca Bencana', Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, vol. 3, no. 2.
Partidario, MR 2000, 'Elements of an SEA framework—improving the added-value of SEA', Environmental impact assessment review, vol. 20, no. 6, pp. 647-663.
Rega, C & Baldizzone, G 2015, 'Public participation in Strategic Environmental Assessment: A practitioners' perspective', Environmental impact assessment review, vol. 50, no. Supplement C, 2015/01/01/, pp. 105-115.
Satmaidi, E 2015, 'Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Dalam Menjamin Terpeliharanya Daya Dukung Dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (DDDTLH) Bagi Pembangunan Berkelanjutan', Indonesian Journal of DIALECTICS (IJAD), vol. 5, no. 3, pp. 127-132.
Sudarwanto, AS 2010, 'Metode Cepat Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Dalam RTRW Dan RPJMD Propinsi Kabupaten/Kota', Ekosains, vol. 2, no. 3.
Sutton, R 1999, The policy process: an overview, Overseas Development Institute London.