• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori keagenan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Teori keagenan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Teori Agensi (Agency Theory)

Teori agensi (Agency Theory) pertama kali dinyatakan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Teori keagenan merupakan teori yang membahas mengenai hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen. Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Novieyanti (2016) “hubungan keagenan muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (Agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut”. berdasarkan pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa teori keagenan didasarkan pada suatu hubungan kontraktual antara agen, yaitu manajemen dan prinsipal yang merupakan pemegang saham, kreditor, dan investor. Prinsipal adalah pihak yang menyetorkan modal kepada perusahaan dan mengharapkan peningkatan hasil keuangan yang selanjutnya akan dikelola oleh manajemen dan kemudian dipertanggungjawabkan melalui laporan keuangan.

Menurut Oktomegah (2012) juga berpendapat bahwa teori keagenan disebut juga sebagai teori kontraktual yang memandang suatu perusahaan sebagai suatu perikatan kontrak antara anggota-anggota perusahaan.

Teori agensi mengasumsikan bahwa semua hal serta kegiatan yang seseorang didasari atas kemauan dan kepentingan masing-masing individu itu sendiri. “Dalam melaksanakan tugas manajerialnya, manajemen memiliki tujuan pribadi yang berlawanan dengan tujuan prinsipal untuk memaksimalkan kekayaan para pemegang saham” Friestianti (2017). Berdasarkan pernyataan tersebut teori keagenan ini membahas mengenai adanya perbedaan kepentingan antara pemilik pihak prinsipal dan agen. Andreas et al (2017) berpendapat bahwa, pemilik perusahaan atau investor menginginkan laba seolah tampak tidak besar untuk menghindari pajak yang terlalu besar. Sedangkan manajer perusahaan menginginkan agar laba terlihat besar sehingga kinerja manajer sendiri terlihat baik.

Tentunya perbedaan/konflik kepentingan ini dapat menjadi suatu masalah karena

(2)

terdapat dua tujuan dalam satu organisasi. Untuk mencegah adanya perpecahan ini perusahaan perlu mengeluarkan biaya ekstra yang biasa disebut biaya keagenan (Agency cost). Biaya keagenan ini berguna untuk mengurangi kerugian akibat tingkah laku dari manajer tersebut (Andreas et al, 2017).

Teori keagenan dapat didefinisikan juga sebagai suatu hubungan antara pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Teori keagenan juga dapat kita anggap sebagai suatu kontrak kerja antara pemangku kepentingan dan manajemen perusahaan, Manajemen sendiri merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi tujuan dan kepentingan pemegang saham. Teori agensi menyatakan bahwa “Apabila terdapat pemisahan antara pemilik sebagai principal dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan maka akan muncul permasalahan agensi karena masing-masing pihak tersebut akan selalu berusaha untuk memaksimalisasikan fungsi utilitasnya” (Jensen dan Meckling, 1976). Manajemen yang berperan sebagai agen cenderung memiliki lebih banyak informasi tentang perusahaan dari pada pihak Stakeholder atau prinsipal. Akibatnya, dalam kondisi terjadi suatu fenomena yang biasa terjadi dalam sistem pertukaran informasi keuangan dimana terdapat ketidak seimbangan informasi yang biasa disebut sebagai Asimetri Informasi.

Asimetri informasi sendiri dapat didefinnisikan sebagai suatu ketidak seimbangan informasi yang dimiliki antara prinsipal dan agen, dimana ketika principal tidak mengetahui banyak mengenai informasi dalam perusahaan dan kinerja manajemen, sebaliknya manajer sebagai agen mengetahui lebih banyak mengenai lingkungan perusahaan, kapasita diri, dan kondisi perusahaan secara keseluruhan Rahmawati (2007). Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi asimetri informasi ialah dengan meningkatkan kualitas dan memperluas informasi yang tersaji dalam pengungkapan (Disclosure). Kualitas informasi yang harus menjadi perhatian perusahaan ialah informasi laba. Kualitas laba dapat dijadikan sebagai proksi risiko informasi yang terjadi antara manajer dan investor (Enayati, 2013).

Adanya perbedaan informasi yang diketahui oleh pihak manajemen (Agent), dimana pihak manajemen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak utama. Fenomena asimetri informasi ini dapat menjadi penyebab munculnya

(3)

konflik kepentingan antara kedua belah pihak, yaitu antara pihak agen yang pada kasus ini adalah pihak manajemen serta pihak Principal yaitu pemangku kepentingan (Stakeholder), konflik ini biasa disebut dengan konflik keagenan.

Menurut Prasetyawati dan Hariyati (2014) mengatakan bahwa “konflik keagenan dan kualitas laba merupakan dua hal yang mempunyai pengaruh satu sama lain, konflik keagenan digambarkan sebagai tindakan manajemen yang melaporkan laba secara oportunis untuk memenuhi kepentingan pribadi yang mengakibatkan rendahnya kualitas laba karena tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya”.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini teori keagenan sangat berperan dalam mendukung variabel-variabel yang diteliti untuk mengatasi konflik keagenan. Diantara variabel yang sesuai dengan teori keagenan adalah prinsip konservatisme akuntansi yang merupakan sikap kehati-hatian dalam melaporkan kondisi keuangan perusahaan yang berfungsi untuk membatasi agen dalam melakukan tindakan untuk meningkatkan laba sehingga laba yang dihasilkan akan berkualitas baik karena sesuai dengan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya. Dan teori keagenan ini juga sesuai dengan mekanisme Good Corporate Governance dimana mekanisme ini dapat menekan perbedaan kepentingan pada konflik keagenan dengan melakukan pengawasan pada pihak manajemen perusahaan.

2.1.2. Teori Stakeholder (Stakeholder theory)

Teori Stakeholder pertama kali digagas oleh R. Edward Freeman pada tahun 1984 dan menyatakan bahwa teori Stakeholder adalah teori mengenai organisasional manajemen dan etika bisnis yang membahas moral dan nilai dalam mengatur organisasi. Menurut Ghozali dan Chariri (2007:409), “Teori Stakeholder merupakan teori yang menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus memberikan manfaat kepada seluruh Stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain)”. Kelompok pemangku kepentingan ini seringkali menjadi bahan pertimbangan bagi pihak manajemen perusahaan dalam mengungkap atau tidak suatu informasi di dalam laporan

(4)

perusahaan yang akan diterbitkan nantinya. Tujuan utama dari teori Stakeholder adalah untuk membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan penciptaan nilai sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan meminimalkan kerugian yang mungkin muncul bagi Stakeholder.

Stakeholder sendiri adalah semua pihak semua pihak yang saling terkait, baik internal maupun eksternal, yang memiliki hubungan baik yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Pembatasan Stakeholders mengandung pengertian bahwa perusahaan harus memperhatikan Stakeholders, “karena mereka adalah pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan dan kebijakan yang diambil dan dilakukan oleh perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan Stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat mengeliminasi legitimasi Stakeholder” (Adam C. H, 2002 dalam Nor Hadi, 2011: 94-95).

Semua Stakeholder juga memiliki hak untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang memengaruhi mereka. Pada awalnya, pemegang saham sebagai satu-satunya Stakeholder perusahaan. Pandangan ini didasarkan pada argumen yang disampaikan Friedman (1962) yang mengatakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimumkan kemakmuran pemiliknya. Namun demikian, Freeman (1983) tidak setuju dengan pandangan ini dan memperluas definisi Stakeholder dengan memasukkan konstituen yang lebih banyak, termasuk kelompok yang tidak menguntungkan (Adversarial Group) seperti pihak yang memiliki kepentingan tertentu dan regulator (Ghozali dan Chariri, 2007:409).

Dari perspektif Stakeholder, bisnis dapat dipahami sebagai seperangkat hubungan di antara kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dalam kegiatan yang membentuk bisnis (Freeman, 1984; Jones, 1995; Walsh, 2005). Ini tentang bagaimana pelanggan, pemasok, karyawan, pemodal (pemegang saham, pemegang obligasi, bank, dll.), komunitas dan manajer berinteraksi untuk bersama- sama menciptakan dan memperdagangkan nilai. Memahami bisnis berarti mengetahui bagaimana hubungan ini bekerja dan berubah seiring waktu. Hal

(5)

tersebut merupakan tugas eksekutif untuk mengelola dan membentuk hubungan ini untuk menciptakan nilai sebanyak mungkin bagi para pemangku kepentingan dan untuk mengelola distribusi nilai tersebut (Freeman, 1984).

Perbedaan kepentingan yang ada pada perusahan pastinya akan menyebabkan ketidakstabilan kinerja serta mengganggu proses berjalannya perusahaan. Oleh karena itu “Pihak eksekutif harus menemukan cara untuk memikirkan kembali masalah sehingga kebutuhan kelompok pemangku kepentingan yang lebih luas dapat ditangani, dan sejauh ini dilakukan, lebih banyak nilai dapat diciptakan untuk masing-masing” (Harrison, Bosse dan Phillips , 2010). Dari argumen ini mendukung variabel penelitian yang dimana perusahaan harus mencari cara untuk mengatasi perbedaan kepentingan para agen dengan cara menerapkan praktek Good Corporate Governance. Kareena variabel yang terkandung pada Good Corporate Governance yaitu kepemilikan manajerial berfungsi sebagai pemersatu kepentingan antara manajemen (Agen) dan pemegang saham, kreditor dan investor (Principal). selanjutnya variabel kepemilikan institusional yang menjadi mekanisme pengawasan yang efektif mengenai keputusan yang akan diambil oleh pihak manajemen, kemudian variabel dewan komisaris Independen yang termasuk ke dalam keanggotaan dewan komisaris lainnya dan merupakan pemegang saham pengendali yang bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi wewenangnya untuk bertindak secara Independen untuk kepentingan perusahaan, dan variabel terakhir yaitu komite audit yang berfungsi untuk mengawasi proses pelaporan keuangan perusahaan yang dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh perusahaan, dan juga berkaitan dengan prinsip yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan termasuk prinsip konservatisme. Berdasarkan uraian keterkaitan diatas, maka variabel yang diteliti dalam penelitian ini memiliki dasar teori yang jelas dan sesuai.

2.1.3. Kualitas laba

Salah satu informasi yang terkandung dalam laporan keuangan adalah informasi tentang keuntungan/laba perusahaan. Informasi keuntungan seperti yang dinyatakan dalam Pernyataan Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 2 adalah unsur dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi mereka yang menggunakannya

(6)

karena memiliki nilai prediksi. Menurut PSAK No. 1, “informasi pendapatan diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya yang mungkin dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk merumuskan penilaian tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya tambahan” (IAI, 2015).

Kualitas laba sendiri merupakan kualitas dari informasi laba yang diungkapkan oleh pihak manajemen perusahan yang tersedia untuk umum. Menurut FASB 1980, “informasi akuntansi dalam laporan keuangan (termasuk di dalamnya laba akuntansi), dikatakan berkualitas apabila para pemakai laporan keuangan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan mereka masing-masing dapat mengerti dan menggunakan informasi akuntansi yang disajikan tersebut sebagai dasar pengambilan keputusan”. Kualitas laba mampu menunjukkan sejauh mana laba dapat mempengaruhi investor untuk menilai perusahaan. Kualitas laba yang tinggi mampu mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya, kualitas laba sendiri mengacu pada relevansi pendapatan dalam mengukur kinerja perusahaan. Dalam menentukan kualitas laba mencakup, lingkungan bisnis perusahaan serta pemilihan dan penerapan prinsip akuntansi. Lampiran ini berfokus pada pengukuran kualitas laba, menguraikan analisis laporan laba rugi dan laporan posisi keuangan mengenai kualitas laba, dan menjelaskan bagaimana faktor eksternal mempengaruhi kualitas laba (Subramanyam, 2017:123)

Secara umum, laba diartikan sebagai suatu selisih antara pendapatan perusahaan yang akan dikurangi biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan. Informasi laba yang diungkapkan oleh pihak manajemen merupakan informasi yang penting bagi pihak internal maupun pihak eksternal dalam mengambil keputusan. Tingkat laba yang diukur mampu menunjukkan seberapa besar kinerja perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya. Informasi laba sendiri merupakan salah satu unsur informasi yang digunakan para pemakai laporan keuangan untuk mengetahui perkembangan atau kinerja perusahaan selama ini, selain itu kualitas laba juga merupakan informasi pertama yang ingin diketahui para investor saat hendak melakukan investasi, informasi yang dimaksud adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan selama beberapa periode karena dengan

(7)

diungkapkannya informasi mengenai laba para investor dapat memprediksi kinerja perusahaan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pihak manajemen berkompetisi dalam menghasilkan laba yang tinggi untuk menarik perhatian para investor yang terkadang menyampingkan aspek etika dalam pelaporan, dimana pihak manajemen dalam memberikan informasi laba terkadang memodifikasi laporan keuangan agar dapat memberikan informasi laba yang besar dalam laporan keuangan. Pernyataan Donnelly (1990) dalam Ismail (2018), kualitas laba menentukan seberapa besar laba yang dipublikasikan oleh perusahaan menyimpang dari laba operasi yang sesungguhnya. Kualitas laba yang tinggi berarti kualitas laba yang menggambarkan prospek usaha dan sikap manajemen yang realistis dalam memandang keadaan usahanya. Sebuah perusahaan yang melaporkan penurunan kualitas laba dapat diartikan bahwa manajemen memiliki prospek yang lebih buruk daripada kinerja sebelumnya.

Kualitas laba yang dilaporkan dapat dipengaruhi oleh kepemilikan saham manajerial. Kepemilikan saham manajerial merupakan salah satu unsur yang terdapat pada Variabel Good Corporate Governance (GCG). Seperti yang dipaparkan oleh Boediono (2005) “tekanan dari pasar modal menyebabkan perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah akan memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan, yang sebenarnya tidak mencerminkan keadaan ekonomi dari perusahaan yang bersangkutan”. Atas dasar hal ini maka peneliti menyertakan variabel Good Corporate Governance (GCG) sebagai variabel yang turut mempengaruhi kualitas laba selain variabel konservatisme akuntansi.

2.1.4. Mekanisme Good Corporate Governance

Sejarah lahirnya Good Corporate Governance (GCG) muncul atas reaksi para pemegang saham di Amerika Serikat pada tahun 1980-an yang terancam kepentingannya (Budiati, 2012). Dimana saat itu di Amerika sedang terjadi gejolak ekonomi yang luar biasa yang mengakibatkan banyak perusahaan melakukan restrukturisasi dengan segala cara untuk merebut kendali atas perusahaan lain.

Tindakan ini menimbulkan protes keras dari publik atau masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa pengurus dalam mengelola perusahaan adalah untuk

(8)

kepentingan pemegang saham sebagai pemilik modal perusahaan. Merger dan akuisisi pada saat itu menimbulkan banyak kerugian bagi pemegang saham karena kesalahan manajemen dalam pengambilan keputusan. Untuk menjamin dan menjamin hak-hak pemegang saham, konsep pemberdayaan Komisaris muncul sebagai salah satu wacana penegakan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance/GCG).

Secara umum mekanisme Corporate Governance dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Pertama, adalah mekanisme internal spesifik perusahaan yang terdiri atas struktur kepemilikan dan struktur pengelolaan. Kedua, adalah mekanisme eksternal spesifik negara yang terdiri atas aturan hukum dan dasar pengendalian perusahaan (Lins dan Karl 2003). Dalam penelitian ini mekanisme Corporate Governance akan berkaitan dengan kepemilikan oleh manajemen dan komisaris yang Independen. Dari semua informasi tentang perusahaan yang tersedia sepanjang tahun, sebagian atau bahkan lebih diperoleh dari angka laba (Income Numbers) dalam tahun yang bersangkutan (Ball dan Brown, 1968).

Banyak lembaga yang mengeluarkan definisi dari Good Corporate Governance (GCG), diantaranya adalah menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia/FCGI (2001) mendefinisikan Corporate Governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, sehingga menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (Stakeholder). Nilai tambah yang dimaksud adalah Corporate Governance memberikan perlindungan efektif terhadap investor dalam memperoleh informasi keuangan yang wajar dan bernilai tinggi, sehingga upaya penerapan Good Corporate Governance ini bisa meningkatkan kepercayaan para investor dan kreditor dalam berinvestasi.

Tujuan penerapan Good Corporate Governance adalah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan perusahaan sehingga menghasilkan kualitas informasi keuangan yang berkualitas untuk pihak-pihak Stakeholder. Konsep ini memiliki fokus pada dua bagian, pertama pemegang saham memiliki hak dalam mendapatkan informasi yang diperlukan, benar serta sesuai waktunya. Kedua perusahaan

(9)

memiliki kewajiban dalam memperlihatkan secara aktual, tepat waktu dan tidak menutupi informasi dari kinerja keuangan, ownership dan pemegang saham (Santoso dan Tan, 2011). Sedangkan menurut Siswanto Sutojo dan Jhon E Aldribge (2008), Good Corporate Governance (GCG) memiliki lima tujuan, yakni : melindungi hak dan kepentingan pemegang saham, melindungi hak dan kepentingan para anggota Stakeholders non pemegang saham, meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham, meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus dan manajemen perusahaan, dan meningkatkan mutu hubungan dewan pengurus dan manajemen senior perusahaan. Manfaat Good Corporate Governance (GCG) menurut Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) yang tertuang pada Corporate Governance Perception Index (2008) yaitu meminimalkan agency cost, meminimalkan cost of capital, meningkatkan nilai saham perusahaan, dan meningkatkan citra perusahaan.

Hal yang penting dari Corporate Governance yaitu agar pihak manajemen yang berperan dalam menjalankan praktik bisnis dalam perusahaan memahami dan menjalankan fungsi serta perannya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab mereka masing-masing. Menurut Thaharah dan Asyik (2016) menyatakan bahwa mekanisme Corporate Governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol dan pengawasan terhadap keputusan tersebut, mekanisme Corporate Governance dibagi menjadi dua kelompok. Pertama berupa internal mechanism (mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi dan komisaris, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Kedua adalah external mechanism (mekanisme eksternal) spesifik negara yang terdiri atas aturan hukum dan pasar pengendalian korporat.

Mashayekhi dan Bazaz (2010) menemukan bahwa ukuran dari kualitas mekanisme Good Corporate Governance adalah seberapa efektif mekanisme tersebut dalam mengurangi konflik keagenan antara pemilik dan direksi. Pada penelitian ini menggunakan proksi mekanisme good corporate governance sebagai variabel bebas yaitu kepemilikan manajerial, komisaris Independen, kepemilikan institusional, dan komite audit. Maka diharapkan terdapat keterkaitan yang erat antara Corporate

(10)

Governance dengan teori keagenan. Adanya variabel Good Corporate Governance dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency cost) dengan melakukan pengawasan terhadap pihak manajemen (agent) saat mengelola suatu perusahaan, sehingga kualitas laba perusahaan dapat terjamin dan dapat memenuhi tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan sehingga sesuai dengan teori Stakeholder.

2.1.4.1. Kepemilikan Manajerial

Salah satu cara mencegah terjadi manajemen laba adalah dengan pemberian kepemilikan saham perusahaan kepada manajemen. Kepemilikan manajerial diharapkan dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Menurut Jansen dan Meckling, (1976) dalam Muid, (2009) Secara teoritis ketika kepemilikan manajerial yang rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat.

Perbedaan kepentingan tersebut merupakan penyebab terjadinya konflik keagenan dalam teori agensi. Dimana antara prinsipal dan agen masing-masing berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya. Prinsipal sebagai pemilik atau pemegang saham menuntun return yang tinggi dari laba yang dihasilkan dan manajemen mengharapkan bonus dari tingginya laba perusahaan. Konflik keagenan merupakan penyebab terjadi perilaku manajemen laba yang dapat dilakukan manajemen untuk memenuhi utilitasnya. Penggunaan konsep konservatisme berkaitan pula dengan struktur kepemilikan manajerial pada sebuah perusahaan. Struktur kepemilikan manajerial merupakan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh perusahaan dibandingkan dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak eksternal.

2.1.4.2. Kepemilikan Institusional

“Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh institusi diluar perusahaan. Kepemilikan institusional diukur dengan membandingkan antara jumlah saham yang dimiliki oleh institusi dengan seluruh modal saham yang beredar” Prahasita (2016). Variabel kepemilikan institusional ini dipercaya dapat mengatasi konflik keagenan yang tengah dihadapi oleh suatu

(11)

perusahaan, variabel ini menerapkan mekanisme pengawasan yang dianggap cukup efektif dalam melakukan pengawasan pada setiap proses pengambilan keputusan yang akan diambil oleh pihak manajemen perusahaan.

Dalam pernyataan yang diungkapkan Febiani (2012) bahwa kepemilikan institusional juga memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses pemantauan secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan manajemen laba sehingga kualitas laba yang dihasilkan lebih baik. Dengan adanya investor institusional dapat memberikan dorongan kepada pihak manajemen perusahaan menerapkan prinsip konservatisme akuntansi dalam laporan keuangannya. Dengan begitu mekanisme pengawasan yang ada pada variabel kepemilikan institusional ini dianggap mampu menekan perbedaan kepentingan yang ada, jika semakin besar tingkat kepemilikan institusional pada suatu perusahaan maka semakin besar pula lingkup mekanisme pengawasan yang dapat diterapkan pada perusahaan itu. Sehingga dapat lebih efektif dalam menekan perbedaan kepentingan pada konflik keagenan yang terkait dengan teori keagenan.

2.1.4.3. Dewan Komisaris Independen

Perusahaan perlu memiliki komisaris Independen yang memiliki keahlian di bidangnya dan latar belakang akuntansi atau keuangan, agar fungsi pengawasan dapat berjalan dengan baik. Dewan komisaris merupakan bagian penting dalam pelaksanaan Good Corporate Governance dalam perusahaan khususnya dewan komisaris Independen. Komisaris Independen merupakan anggota komisaris yang tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemilik perusahaan, tidak memiliki saham perusahaan dan juga berasal dari pihak luar emiten sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam dan LK No.Kep-643/BL/2012. Dewan komisaris sebagai organ perusahaan, bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan Good Corporate Governance. Dewan komisaris terdiri dari pihak yang terafiliasi dan pihak yang tidak terafiliasi (komisaris

(12)

Independen), Sitompul (2019). Dengan adanya komisaris yang Independen, pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris akan lebih ketat sehingga akan cenderung mensyaratkan akuntansi yang konservatif untuk mencegah sikap oportunistik manajer.

Berdasarkan teori agensi klasik, semakin besar kepemilikan oleh komisaris yang terafiliasi akan mengarahkan pada kesesuaian tujuan antara pihak manajemen dengan pemegang saham. Namun, di lain pihak sebagai pemilik, komisaris yang terafiliasi dapat mempergunakan kekuatan votingnya untuk melakukan ekspropriasi terhadap perusahaan (Wardhani, 2008). Dewan komisaris dan komite audit, sebagai struktur Corporate Governance, mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya Good Corporate Governance. Berjalannya fungsi dewan komisaris dan komite audit secara efektif, maka kontrol terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga konflik keagenan yang terjadi antara pemegang saham mayoritas dan manajemen dengan pemegang saham minoritas dapat diminimalisasi.

2.1.4.4. Komite Audit

Untuk mencapai Good Corporate Governance, perusahaan perlu membentuk komite audit untuk melakukan tugas pengawasan pada sektor penyusuan dan pengungkapan laporan keuangan sehingga dapat mendukung dalam menekan perbedaan kepentingan pada konflik keagenan suatu perusahaan.

Menurut Septiana dan Tarmizi (2015) “Komite audit merupakan salah satu elemen Good Corporate Governance yang diharapkan dapat mengatasi kecenderungan meningkatnya berbagai skandal penyelewengan dan kelalaian pihak manajemen”.

Komite audit memiliki peran dalam mengawasi pihak manajemen dan memberikan pendapat profesional yang Independen kepada dewan komisaris terhadap laporan keuangan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi.

Komite audit berupaya mengurangi kecurangan yang mungkin timbul sebagai akibat dari konflik-konflik antar pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan baik dari dalam maupun dari luar perusahaan” Prahasita (2016). Selain

(13)

melakukan pengawasan terhadap laporan keuangan, komite audit juga berfungsi dalam mengawasi pengendalian internal perusahaan. Selain mengawasi laporan keuangan, komite audit juga bekerja pada pengendalian internal perusahaan.

Dengan adanya komite audit dapat memberikan kontribusi terhadap tingkat pengawasan yang tinggi oleh anggota komite audit, sehingga dapat meningkatkan tingkat konservatisme yang digunakan dalam proses pelaporan keuangan.

2.1.5. Konservatisme Akuntansi

Konservatisme merupakan prinsip kehati-hatian dalam pelaporan keuangan dimana perusahaan tidak terburu-buru dalam mengakui dan mengukur aset dan laba serta segera mengakui kerugian dan hutang yang mempunyai kemungkinan akan terjadi. Penerapan prinsip ini mengakibatkan pilihan metode akuntansi yang melaporkan laba atau aset yang lebih rendah serta melaporkan hutang lebih tinggi (Watts 2003). Konsep konservatisme ini lebih mengutamakan pengungkapan kewajiban daripada aset perusahaan. konsep ini, mengakui beban lebih cepat dari pendapatan sehingga net income terlihat rendah. Akibat dari angka net income yang rendah menimbulkan keraguan para investor dalam memutuskan keputusan berinvestasi. Ismail (2018) berpendapat bahwa konsep dan prinsip konservatisme banyak diterapkan oleh perusahaan sehingga membuat investor cenderung meragukan atas kualitas informasi akuntansi yang dilaporkan oleh perusahaan.

Meskipun konsep konservatisme dapat menghasilkan angka net income yang rendah tetapi konsep ini dapat berdampak positif karena dari konsep kehati-hatian ini mampu menghasilkan kualitas laba yang tinggi sehingga memberikan jaminan sekaligus rasa aman kepada para investor dalam berinvestasi. Menurut pendapat yang dipaparkan oleh Basu (1997) dalam T Manik (2017) menyatakan bahwa dengan menggunakan prinsip yang konservatif dalam proses pelaporan keuangan maka laba yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang tinggi karena konservatisme mensyaratkan tingkat verifikasi yang lebih tinggi untuk mengakui laba dibandingkan dengan mengakui rugi.

Kualitas laba yang tinggi pada laporan keuangan tentunya dapat menarik minat para investor dalam berinvestasi pada perusahaan tersebut. Atas dasar ini

(14)

beberapa oknum perusahaan melakukan aktivitas manajemen laba sehingga mampu meningkatkan kualitas laba secara signifikan. Melalui penerapan pelaporan akuntansi yang konservatif, hal tersebut akan bermanfaat dalam meminimalisasi sifat berlebihan pihak manajemen perusahaan yang ingin melakukan kecurangan terhadap laba (Fala 2007). Dan konservatisme akan menyebabkan pelaporan keuangan yang pesimistik, hal tersebut akan mengurangi optimisme dari pengguna laporan (Ardina dan Januarti 2012, dalam Andreas et al 2017).

Tania (2018) memaparkan bahwa “Konservatisme merupakan prinsip akuntansi yang sangat berhati-hati, karena jika diterapkan akan menghasilkan angka pendapatan dan aset cenderung rendah, serta angka biaya yang cenderung tinggi. Prinsip konservatisme ini mengakibatkan laporan keuangan akan menghasilkan laba yang terlalu rendah (understatement). Kecenderungan seperti itu terjadi akibat konsep dari konservatisme itu sendiri, dimana konsep ini menganut prinsip memperlambat pengakuan pendapatan serta mempercepat pengakuan biaya”. Meskipun efek dari penerapan konsep konservatisme ini bisa menyebabkan penghasilan yang rendah, tetapi dampak positif dari keadaan tersebut dapat meminimalisir aspek ketidakpastian yang dapat merugikan banyak pihak terutama para Stakeholder perusahaan seperti pendapat yang dipaparkan oleh Hendriksen et al (2000) dalam Biki et al (2013), dimana mereka menjelaskan dua argumen yang dipakai untuk mendukung konservatisme dalam menghadapi ketidakpastian.

Pertama, sikap pesimistik dianggap perlu untuk menetralkan sikap optimistik berlebihan yang ada pada para manajer dan pemilik. Kedua, overstatement laba dan aset jauh lebih berbahaya dari pada understatement.

Konservatisme dapat diartikan sebagai prinsip yang digunakan untuk menghindari laba kumulatif dengan memaksimalkan kemungkinan terburuk dan meminimalkan kemungkinan terbaik (DKED Julianingsih et al. 2020). Melakukan pengungkapan informasi dengan memaksimalkan kemungkinan terburuk yang akan dialami perusahaan, mampu membantu perusahaan menghindari laba kumulatif sehingga dapat memberikan dampak positif serta jaminan keamanan untuk para investor serta Stakeholder mereka. LaFond dan Watts (2008) dalam DKED Julianingsih et al. (2020) berpendapat konservatisme lebih baik diterapkan

(15)

karena dapat meminimalisasi adanya manipulasi angka laporan keuangan sehingga mampu menghindari asimetri informasi.

Menurut Tuwentina dan Wirama (2014), menduga terdapat pengaruh positif konservatisme akuntansi pada kualitas laba. Dugaan ini dilatar belakangi dari konsep prinsip konservatisme akuntansi sendiri, dimana konsep tersebut lebih berpihak kepada para investor dan Stakeholder dengan cenderung bersifat melindungi investor dari kesalahan berinvestasi akibat kekeliruan dalam menganalisis informasi laba perusahaan.

Jadi prinsip konservatisme akuntansi merupakan prinsip kehati-hatian perusahaan dalam melaporkan posisi keuangan. Dengan tidak terlalu cepat mengakui laba ataupun kerugian yang dialami perusahaan, dan prinsip ini juga menekankan agar mengukur aktiva dan laba lebih rendah dan melaporkan kewajiban lebih besar. Dengan menerapkan sistem pelaporan yang konservatif dapat menghasilkan kualitas laba yang tinggi sehingga mengurangi kesalahan dan ketakutan para investor dalam berinvestasi sehingga dapat memenuhi tanggung jawab kepada para Stakeholder perusahaan tersebut.

2.2. Tinjauan Empiris

Penelitian serupa mengenai pengaruh Good Corporate Governance dan konservatisme akuntansi terhadap kualitas laba pada perusahaan bidang Teknologi yang terdaftar di bursa efek indonesia belum banyak dilakukan. Adapun penelitian- penelitian sebelumnya yang terkait menggunakan penelitian ini adalah :

Tabel 2.1

Ringkasan Tinjauan Teoritis

No Judul Penulis Metode Variabel Hasil

1. Praktik

Konservatisme Akuntansi Melalui Mekanisme

Tumpal Manik (2017)

Metode statistik melalui asumsi klasik dan

X1= KSV X2= KAU X3=

KUAP

Hasil pengujian hipotesis

masing-masing (parsial) variabel penelitian

(16)

Corporate Governance Terhadap Kualitas Laba

uji hipotesis dengan Uji T, Uji F dan uji Determina si

terbukti bahwa konservatisme akuntansi berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba

2. Pengaruh Prinsip Konservatisme Akuntansi Terhadap Mekanisme Good Corporate Governance Dan Kualitas Laba Perusahaan

Ismail (2018)

Structural Equation Modeling (SEM).

X1= KSV X2= GCG

konservatisme akuntansi mempunyai pengaruh terhadap kepemilikan manajerial sebagai mekanisme Good Corporate Governance dan konservatisme akuntansi berpengaruh terhadap kualitas laba perusahaan,

hal ini

memberikan pemahaman bahwa manajer akan

mengurangi tindakan konservatisme

(17)

akuntansi untuk meningkatkan kualitas laba perusahaan.

3. Pengaruh Corporate Governance (Gcg) Terhadap Kualitas Laba Dengan

Manajemen Laba Sebagai Variabel Intervening Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bei Periode 2015-2017

Alvin Pranata Nanang

&

Hendang Tanusdja ja (2019)

Analisis jalur dengan SEM dengan mengguna kan SMART PLS 3

X1=

Kepemil ikan Institusi onal X2=

Kepemil ikan Manajeri al X3=

Komite Audit X4=

Dewan Komisar is Indepen den

Mekanisme corporate governance dalam hal ini yaitu:

kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit, dan dewan komisaris

independen tidak memiliki pengaruh

signifikan baik terhadap

manajemen laba maupun kualitas laba.

4. Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Kualitas Laba Pada Perusahaan Manufaktur

Natasha Soly dan Novia Wijaya (2017)

Metode regresi berganda

X1=KUA X2=BOT X3=BZIS E

X4=MO

Pembayaran dividen (DIV) berpengaruh secara positif (koefisien

sebesar -0,111) terhadap kualitas

(18)

X5=FZIS E

X6=GEA R

X7=CR X8=DIV X9=ROA

laba, Dan profitabilitas (ROA) berpengaruh secara negatif (koefisien sebesar 0,234) terhadap kualitas laba.

5. Pengaruh Good Corporate

Governance Terhadap

Kualitas Laba Perusahaan (Studi pada Perusahaan Sektor Consumer Goods dalam Bursa Efek Indonesia

Periode 2016- 2018).

Lisa J. C.

Polimpu ng (2020)

Purposive Sampling

X1=KMA N

X2=KIND X3=KINS X4=UKA P

X5=KAU

Variabel yang memiliki

pengaruh adalah kepemilikan manajerial dan komite audit sedangkan variabel lainnya tidak memiliki pengaruh.

6 Pengaruh Ukuran Perusahaan, Leverage, Dan Good Corporate Governance Pada Kualitas Laba

Gahani Purnama Wati & I Wayan Putra (2017)

Regresi linier berganda.

Perusahaa n (X1), Leverage (X2), Good Corporate

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Good Corporate Governance berpengaruh positif pada kualitas laba

(19)

Governan ce (X3).

karena tata kelola

perusahaan yang

baik akan

meningkatkan kinerja

perusahaan sehingga berpengaruh pada

peningkatan laba yang berkualitas.

Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi Good Corporate Governance maka semakin tinggi kualitas laba sedangkan ukuran

perusahaan dan leverage tidak berpengaruh pada kualitas laba.

7 Pengaruh Intellectual Capital Dan Konservatisme

Desak Kadek Ega Dewi

Uji regresi linear berganda

X1=VAH U

X2=STVA

Setelah uji dilaksanakan, hasilnya mengindikasika

(20)

Akuntansi Terhadap Kualitas Laba

Julianing sih, Gede Adi Yuniarta

&

Nyoman Trisna Herawati (2020)

X3=

VACA

n tidak ada pengaruh antara human capital, structural

capital, serta capital

employed

terhadap kualitas laba sedangkan konservatisme akuntansi mempengaruhi kualitas laba dengan arah positif

8 Analisis Faktor- Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Konservatisme Akuntansi

(Studi Empiris Pada Perusahaan Real Estate And Property Di Indonesia)

Eko Hariyant o (2020)

Analisis data mengguna kan regresi berganda yang diolah dengan program SPSS

X1=

Profitabilit as,

X2=

Ukuran Perusahaa n,

X3=

Kepemilik an Institusion al,

X4=

Kepemilik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

profitabilitas dan kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi.

Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap konservatisme akuntansi,

(21)

an

Manajerial

sedangkan kepemilikan institusional tidak

berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi.

9 Pengaruh Konservatisme Akuntansi, Alokasi Pajak Antar Periode, dan Investment Opportunity Set terhadap Kualitas Laba

Sri Ayem

&

Elisabeth Elen Lori (2020)

Pengolaha n data dalam penelitian ini

mengguna kan SPSS versi 22 dengan regresi linear berganda

X1:

Konservati sme akuntansi

X2 :

Alokasi pajak antar periode

X3 :

Investmen t

opportunit y set

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

konservatisme akuntansi dan investment opportunity set berpengaruh positif terhadap kualitas laba, sedangkan alokasi pajak antar periode tidak

berpengaruh terhadap kualitas laba.

10 The Influence of Accounting Conservatism, Ios,and Good Corporate

Governance on

Gerianta Wirawan Yasa, Ida Bagus Putra Astika,

Analisis regresi linier berganda

X1= KA X2= IOS X3= GCG

Hasil penelitian menunjukkan konservatisme akuntansi berpengaruh positif pada

(22)

The Earnings Quality

dan Ni Made Ayu Widiaria ni (2019)

kualitas laba.

Hasil penelitian juga

menunjukkan adanya pengaruh positif

investment opportunity set pada kualitas laba, sedangkan Good Corporate Governance menunjukkan tidak

berpengaruh pada kualitas laba.

11 The

Implementation

Of Good

Corporate Governance Model And Auditor

Independence In Earnings’

Quality Improvement

Tutik Arniati, Dyah Aruning Puspita, Aminul Amin dan, Kashan Pirzada (2019)

Teknik analisis korelasi dan regresi

& analisis regresi dengan berbagai variabel kontrol dan sampel kontrol.

X1=

Corporate Governan ce

Structure X2=

Internal Audit Function X3=

Internal

Hasil uji hipotesis

menunjukkan bahwa model pemantauan kualitas laba dibangun dari interaksi banyak variabel.

Mekanisme Corporate Governance terdiri dari

(23)

Control Activity X4=

Auditor Independe nce

variabel-variabel seperti struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional), struktur dewan komisaris, struktur komite audit, fungsi audit internal, dan aktivitas pengendalian internal. Nilai Adjusted R- mencapai

Square 3,3%

dengan nilai signifikansi 0,001. Secara parsial, struktur dewan

komisaris, fungsi audit internal, dan aktivitas

pengendalian internal berpengaruh signifikan terhadap kualitas

(24)

laba.

Independensi auditor tidak memoderasi pengaruh komponen Corporate Governance terhadap kualitas laba.

2.3. Hipotesis

2.3.1. Pengaruh mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Kualitas Laba

Teori yang cukup relevan yang mampu mendukung dalam perumusan keempat hipotesis variabel Mekanisme Good Corporate Governance ini adalah teori keagenan dan teori stakeholder. Dimana teori agensi atau keagenan ini merupakan teori yang membahas mengenai hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen. Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Novieyanti (2016)

“hubungan keagenan muncul ketika satu orang atau lebih (Prinsipal) mempekerjakan orang lain (Agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut”.

hubungan tersebut seringkali menimbulkan perbedaan kepentingan yang biasa disebut konflik keagenan, konflik ini dapat berdampak negatif untuk kelangsungan perusahaan. Karena perbedaan kepentingan dalam konflik keagenan mampu mempengaruhi kinerja suatu perusahaan yang nantinya bisa merugikan banyak pihak termasuk pihak stakeholder. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

“perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus memberikan manfaat kepada seluruh Stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak

(25)

lain)” Ghazali dan Chariri (2007:409). Berikut rumusan keempat hipotesis dari komponen Good Corporate Governance :

2.3.1.1. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Kualitas Laba

Menurut Jensen dan Meckling dalam Irawati dan Sudirman, (2016) yang mengatakan bahwa “semakin tinggi kepemilikan saham oleh manajemen, maka akan semakin meningkat kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya”. Seringkali karena didorong oleh sikap oportunisme untuk menghasilkan tingkat laba yang terlihat tinggi pihak manajemen melakukan aktivitas manajemen laba yang mampu meningkatkan laba perusahaan secara drastis, alasan mengapa manajemen ingin meningkatkan laba agar pihak investor tertarik berinvestasi pada perusahaan mereka. Pernyataan tersebut berdasarkan pendapat yang dikemukakan jensen dan meckling (1976) dimana mereka menjelaskan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial semakin tinggi pula kepentingan manajer sehingga menyebabkan kebutuhan terhadap pemantauan oleh dewan rendah.

Menurut hasil penelitian dari polimpung (2020), dimana pada penelitian tersebut menunjukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh yang negatif terhadap kualitas laba hal ini menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan manajerial sebuah perusahaan maka akan semakin menurun pula kualitas laba perusahaan sehingga mampu dirumuskan hipotesis sebagai berikut H1 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh signifikan negatif terhadap

kualitas laba

2.3.1.2. Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Kualitas Laba

Mekanisme pengawasan dari peran kepemilikan institusional yang dianggap mampu menekan sifat oportunisme pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga konflik keagenan pada perusahaan dapat diminimalisir, pernyataan tersebut berdasarkan pendapat rona et al (2015) yang menyatakan bahwa “kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan manajemen untuk

(26)

memanfaatkan discretionary dalam laporan keuangan sehingga memberikan kualitas laba yang dilaporkan rendah”. Berdasarkan pernyataan diatas dan hasil penelitian Nanang & Tanusdjaja, (2019) yang menunjukan hasil bahwa Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Peneliti mampu merumuskan hipotesis yang kedua sebagai berikut:

H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba

2.3.1.3. Pengaruh Dewan Komisaris Independen Terhadap Kualitas Laba Peran/tugas dewan komisaris Independen adalah melakukan pengawasan pada aktivitas penyusunan laporan keuangan agar dapat meminimalisir terjadinya kecurangan yang dilakukan pihak manajemen pada saat proses penyusunan laporan keuangan dan berdasarkan pandangan teori keagenan pengawasan yang dilakukan oleh pihak komisaris Independen ini dianggap dapat menyelaraskan perbedaan kepentingan pada konflik keagenan, sehingga kualitas laporan keuangan yang dihasilkan berkualitas dan menunjukan hasil yang sebenarnya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nanang & Tanusdjaja, (2019) menunjukan hasil bahwa bahwa komisaris Independen berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba sehingga dirumuskan hipotesis ketiga dalam penelitian ini sebagai berikut :

H3 : Dewan Komisaris Independen berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba

2.3.1.4. Pengaruh Komite Audit Terhadap Kualitas Laba

Seperti yang kita tahu bahwa komite audit dibentuk dengan tujuan agar melakukan pengawasan terhadap pelaporan keuangan manajemen terhadap aktivitas pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan manajerial yang terjadi di dalam perusahaan, pengawasan ini diharapkan mampu meminimalisir tingkat manajemen laba yang sering sering timbul akibat sifat oportunisme manajemen yang menimbulkan perbedaan kepentingan dalam teori keagenan. Pernyataan ini berdasarkan dari hasil penelitian polimpung (2020) ditemukan hasil bahwa Komite

(27)

Audit memiliki pengaruh terhadap Kualitas Laba, hal ini dikarenakan Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tingkat atau susunan komite audit dalam suatu perusahaan dapat memberikan pengaruh yang baik pada tingkat kualitas laba pada laporan keuangan. Sehingga hipotesis keempat dapat dirumuskan sebagai berikut :

H4 : Komite audit berpengaruh terhadap kualitas laba

2.3.2. Pengaruh Konservatisme Akuntansi Terhadap Kualitas Laba

Konservatisme akuntansi adalah sebuah prinsip dalam sistem pelaporan keuangan yang menerapkan prinsip konservatif yaitu kehati-hatian dalam pelaporan keuangan dimana perusahaan tidak terburu-buru dalam mengakui dan mengukur aset dan laba serta segera mengakui kerugian dan hutang yang mempunyai kemungkinan akan terjadi. Penerapan prinsip ini menimbulkan perdebatan dalam masyarakat karena mengakibatkan hutang lebih tinggi dari pendapatan. Namun sebenarnya konsep ini dapat berdampak positif untuk para investor karena menjamin kualitas laba yang dihasilkan, serta mampu memenuhi konsep dari good corporate governance yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility sehingga tanggung jawab kepada para stakeholder perusahaan terpenuhi, dimana Stakeholder didefinisikan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus memberikan manfaat kepada seluruh Stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain) pendapat tersebut menurut Ghozali dan Chariri (2007:409).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Julianingsih et al (2020) menunjukan hasil bahwa konservatisme akuntansi mempengaruhi kualitas laba dengan arah yang positif. Berbeda dengan hasil yang ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi & Pralita (2021) yang menyatakan bahwa

“Konservatisme Akuntansi secara parsial berpengaruh negatif signifikan terhadap Kualitas Laba”. Berdasarkan latar belakang ini dapat dirumuskan hipotesis kelima yaitu :

(28)

H5 : Konservatisme Akuntansi berpengaruh signifikan negatif terhadap Kualitas Laba

2.4. Kerangka Pemikiran

Perbedaan kepentingan dari pihak prinsipal dan agen mampu menimbulkan konflik keagenan, konflik ini mampu mempengaruhi kinerja serta produk (laporan keuangan) yang dihasilkan tidak maksimal dan seringkali tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Laporan keuangan sendiri merupakan hal yang cukup krusial yang sering digunakan ketika ingin mengembil/menentukan suatu keputusan, terlebih informasi laba yang mengandung aspek keuntungan perusahaan. merujuk dari latar belakang ini dibutuhkan mekanisme yang mampu menyelaraskan perbedaan kepentingan antara pihak agen dan prinsipal sehingga perusahaan mampu menciptakan nilai dan perlindungan terhadap para stakeholder mereka.

Sehingga peneliti menggunakan mekanisme pengawasan dari good corporate governance yang terdiri dari kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, dan komite audit, peneliti juga menggunakan mekanisme penentuan keputusan yaitu kepemilikan manajerial dalam mengukur apakah mekanisme good corporate governance mampu meningkatkan laba. Selain mekanisme good corporate governance peniliti juga memasukan prinsip pelaporan keuangan yaitu konservatisme akuntansi dalam mengukur pengaruhnya terhadap kualitas laba yang dilaporkan. Sehingga kerangka pemikiran pada penelitian ini rumuskan pada gambar 2.1 di bawah ini:

(29)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Kepemilikan Manajerial (X1)

Kepemilikan Institusioanl X2)

Konservatisme Akuntasni (X5)

Kualitas Laba (Y) Komite Audit (X4)

Dewan Komisaris

Independen (X3) H3

H2

H4 H5 H1

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara komisaris independen dengan teori keagenan yaitu teori keagenan menyatakan jumlah anggota dewan komisaris independen yang besar, akan memudahkan