08
Teori Belajar Jean Piaget Disusun Oleh:
Fadillah Luthfi Ramadhan; Mitha Ahya Dianty ; Nuraini Febrianti ; Zulfani Nurfarihah
PENDAHULUAN Konsep Teoretis Utama
Inteligensi
Menurut Piaget, bahwa intelegensi yaitu ciri bawaan yang dinamis karena tindakan yang cerdas akan berubah saat organisme itu semakin matang secara biologis dan mendapat pengalaman. Inteligensi memungkinkan organisme untuk menangani secara efektif lingkungannya, dan sebuah tindakan yang cerdas selalu cenderung menciptakan kondisi yang optimal untuk survival orgaisme di dalam situasi yang sedang dialaminya. Menurut Piaget, intelegensi adalah bagian integral dari setiap organisme karena semua organisme yang hidup selalu mencari kondisi yang kondusif untuk kelangsungan hidup mereka. Namun, bagaimana kecerdasan dapat memanifestasikan dirinya pada waktu tertentu, itu akan selalu bervariasi sesuai kondisi yang ada.
Teori Piaget sering disebut sebagai genetic epistemology (epistemologi genetik) karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual seseorang. Perlu dijelaskan bahwa di sini istilah genetic mengacu pada pertumbuhan developmental bukan warisan biologis. Menurut Piaget potensi intelektual seseorang itu dapat berkembang.
Skemata
Seorang anak yang baru saja dilahirkan memiliki sedikit refleks yang terorganisir, seperti menyedot, melihat, menggapai, dan memegang sesuatu.
Kemudian Piaget membahas mengenai potensi umum anak tersebut melakukan hal-hal seperti menghisap, menatap, menggapai , atau memegang. Potensi untuk bertindak dengan cara tertentu itu disebut sebagai schema (skema; jamak:
schemata). Misalnya, skema memegang yaitu kemampuan umum untuk memegang sesuatu. Skema lebih dari sekadar manifestasi refleksi memegang saja.
Skema memegang dapat dianggap struktur kognitif. Struktur kognitif seseorang
yang memungkinkan individu untuk mengingat dan memberi respon terhadap rangsang yang masuk dari lingkungan sekitarnya.
Aspek manifestasi partikular dari skema ini dinamakan content (isi). Jadi, skema adalah suatu pola yang sistematis individu dalam bertindak, berperilaku, berpikir dan strategi pemecahan masalah dalam segala tantangan dan situasi.
Skema merupakan istilah yang sangat penting dalam teori Piaget. Skemata yang ada dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespons lingkungan fisiknya. Istilah content merujuk kepada spesifikasi tertentu manifestasi khusus sebuah skema. Jelas, cara anak menghadapi lingkungannya akan berubah-ubah seiring dengan pertumbuhan si anak. Agar terjadi interaksi organisme-lingkungan, skemata yang tersedia untuk anak harus berubah.
Asimilasi dan Akomodasi
Jumlah skemata yang tersedia di suatu organisme pada waktu tertentu itu merupakan cognitive structure (struktur kognitif) organisme itu. Dilihat dari bagaimana suatu organisme berinteraksi dengan lingkungannya akan bergantung pada jenis struktur kognitif yang ada. Dalam kenyataannya, seberapa besar lingkungan dapat dipahami atau direspons, akan bergantung pada berbagai skemata yang tersedia bagi organisme. Dengan kata lain, struktur kognitif itu menentukan apa saja aspek dari lingkungan fisik yang dapat ditangkap “eksis”
untuk organisme.
Proses merespons lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yaitu jenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mengisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan diakumulasikan ke skemata itu. Saat struktur kognitif berubah, maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek- aspek yang berbeda dari lingkungan fisik.
Asimilasi yaitu proses seorang individu mengintegrasikan antara persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema kognitifnya. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual adalah
accommodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif. Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan akomodasi.
Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting:
pengenalan, atau mengetahui yang berhubungan dengan proses asimilasi, dan akomodasi yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. Modifikasi ini dapat disamakan dengan proses belajar. Dengan kata lain, kita merespons dunia berdasarkan pengalaman kita sebelumnya (asimilasi), tetapi setiap pengalaman memuat aspek-aspek yang berbeda dengan pengalaman yang kita alami sebelumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur kognitif kita (akomodasi). Akomodasi karenanya menyediakan sarana utama bagi perkembangan intelektual.
Asimilasi dan akomodasi disebut sebagai functional invariants (invarian fungsional) karena mereka terjadi di semua level perkembangan intelektual.
Dalam proses akomodasi dapat terjadi dua hal yaitu mengubah skema yang ada dalam struktur kognitif individu karena pengalaman yang ia temukan tidak ada salam struktur berpikir individu atau individu bisa memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan stimulus yang masuk ke dalam diri individu.
Gambar 1.1
Proses Belajar Menurut Jean Piaget
Ekuilibrasi
Kita mungkin bertanya-tanya apa kekuatan pendorong di balik pertumbuhan intelektual. Menurut Piaget, jawabannya ada pada konsep equilibration (ekuilibrasi). Piaget berasumsi bahwa semua organisme punya tendensi bawaan untuk menciptakan hubungan harmonis antara dirinya dengan lingkungannya. Dengan kata lain, semua aspek dari organisme diarahkan menuju adaptasi yang optimal. Ekuilibrasi (penyeimbangan) adalah tendensi bawaan untuk mengorganisasikan pengalaman agar mendapatkan adaptasi yang maksimal.
Ekuilibrasi secara sederhana didefinisikan sebagai dorongan terus-menerus ke arah keseimbangan atau ekuilibrium.
Konsep ekuilibrasi menurut Piaget sejajar dengan konsep hedonisme Freud atau konsep aktualisasi diri Maslow dan Jung. Ini adalah konsep motivasionalnya, yang bersama dengan asimilasi dan akomodasi dipakai untuk menerangkan pertumbuhan intelektual anak. Sekarang kami akan mendeskripsikan bagaimana ketiga proses itu berinteraksi.
Asimilasi memungkinkan organisme untuk merespons situasi sekarang sesuai dengan pengetahuan sebelumnya. Karena aspek unik dari situasi ini tidak dapat direspons berdasarkan pengetahuan sebelumnya, maka aspek unik atau baru dari pengalaman ini akan menyebabkan sedikit ketidakseimbangan kognitif.
Karena ada kebutuhan bawaan untuk mencapai harmoni (ekuilibrium), struktur mental organisme berubah agar dapat memasukkan aspek unik dari pengalaman ini dan menyebabkan upaya penyeimbangan kognitif kembali. Seperti penjelasan para psikolog Gestalt, kurangnya keseimbangan kognitif ini memiliki properti motivasional yang membuat organisme aktif sampai keseimbangan tercapai kembali. Selain usaha memulihkan keseimbangan, penyesuaian ini membuka jalan bagi interaksi baru dan berbeda dengan lingkungan. Akomodasi tersebut menyebabkan perubahan struktur mental, sehingga jika aspek lingkungan yang sebelumnya unik kemudian dijumpai lagi, aspek itu tidak akan menimbulkan ketidakseimbangan; yakni aspek itu akan mudah diasimilasikan ke dalam struktur kognitif organisme. Selain itu, tatanan kognitif ini membentuk basis untuk akomodasi yang baru, sebab akomodasi selalu muncul dari ketidakseimbangan, dan yang menyebabkan ketidakseimbangan itu selalu terkait dengan struktur kognitif organisme saat ini. Secara bertahap, melalui proses penyesuaian diri ini, informasi yang pada satu waktu tidak bisa diasimilasi, pada akhirnya bisa diasimilasi. Mekanisme asimilasi dan akomodasi, dan kekuatan penggerak ekuilibrasi, akan menghasilkan pertumbuhan intelektual yang pelan tetapi pasti.
Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.2
Mekanisme asimilasi, akomodasi, dan kekuatan penggerak ekuilibrasi
Interiorisasi
Interaksi awal dengan lingkungan adalah interaksi sensorimotor; yakni, mereka merespons stimulus lingkungan secara langsung dengan reaksi motor (gerak) refleks. Pengalaman awal anak melibatkan penggunaan dan elaborasi skemata bawaan mereka seperti memegang, menghisap, menatap, dan menggapai.
Hasil dari pengalaman terdahulu ini disimpan dalam struktur kognitif dan pelan- pelan mengubahnya. Dengan semakin banyaknya pengalaman, anak-anak mengembangkan struktur kognitif mereka. Oleh karena itu, hal tersebut memungkinkan bagi mereka untuk beradaptasi secara lebih mudah ke situasi yang semakin banyak dan beragam. Setelah struktur kognitif makin luas, anak-anak mampu merespons situasi yang lebih kompleks. Mereka juga tidak lagi terlalu bergantung pada situasi sekarang. Misalnya, mereka mampu “memikirkan” objek yang sebelumnya tidak mampu mereka pikirkan. Apa yang kini dialami anak adalah fungsi dari lingkungan fisik dan struktur kognitifnya, yang merefleksikan akumulasi pengalaman sebelumnya. Penurunan ketergantungan pada lingkungan fisik dan meningkatnya penggunaan struktur kognitif ini dinamakan interiorization (interiorisasi). Setelah struktur kognitif berkembang, struktur itu menjadi semakin penting dalam proses adaptasi. Misalnya, struktur kognitif yang sudah meluas akan bisa memecahkan problem yang lebih kompleks. Setelah makin banyak pengalaman yang diinteriorisasikan, pemikiran menjadi alat untuk beradaptasi dengan lingkungan. Pada awalnya reaksi adaptif anak bersifat langsung dan sederhana, tanpa pemikiran. Reaksi adaptif awal si anak biasanya jelas kelihatan. Saat proses interiorisasi terus berlanjut, respons adaptif anak menjadi makin tak tampak (covert); mereka melibatkan lebih banyak tindakan
internal ketimbang eksternal. Piaget menyebut proses tak tampak internal ini sebagai operation (operasi) aksi, dan istilah operasi ini secara umum dapat disamakan dengan “berpikir”. Kini, alih-alih memanipulasi lingkungan secara langsung, anak dapat melakukannya secara mental melalui penggunaan operasi.
Karakteristik terpenting dari setiap operasi adalah ia dapat dibalikkan.
Reversibility berarti bahwa setelah sesuatu dipikirkan, ia lalu dapat “tidak dipikirkan”; yakni, suatu operasi, setelah dilakukan, dapat ditinggalkan secara mental. Misalnya, seseorang secara mental dapat menjumlah 3 dan 5 dan mendapat 8, dan kemudian secara mental mengurangi 3 dari 8 dan mendapat 5.
Seperti telah kita lihat, penyesuaian pertama anak ke lingkungan adalah langsung dan tak melibatkan pemikiran (operasi). Kemudian, setelah anak mengembangkan struktur kognitif yang lebih kompleks, pemikiran menjadi semakin penting. Penggunaan operasi awal akan tergantung pada kejadian- kejadian yang dialami anak secara langsung; yakni, anak bisa memikirkan hal-hal yang dapat dilihatnya. Piaget menyebutnya sebagai concrete operations sebab mereka diaplikasikan ke kejadian lingkungan konkret. Tetapi operasi selanjutnya tidak tergantung pada kejadian lingkungan, dan karenanya anak bisa memecahkan persoalan yang murni hipotesis. Piaget menyebutnya sebagai formal operations (operasi formal). Berbeda dengan operasi konkret (concrete operations), operasi formal ini tak terikat dengan lingkungan.
Tahap-tahap Perkembangan
1. Sensorimotor Stage (dari lahir sampai dua tahun). Tahap sensorimotor dicirikan oleh tidak adanya bahasa. Karena anak-anak tidak menguasai kata untuk suatu benda, objek akan tak eksis bagi anak jika anak tidak menghadapinya secara langsung. Interaksi dengan lingkungan adalah interaksi sensorimotor dan hanya berkaitan dengan keadaan saat ini. Anak-anak pada tahap ini bersikap egosentris.
Segala sesuatu dilihat berdasarkan kerangka referensi dirinya sendiri, dan dunia psikologis mereka adalah satu-satunya dunia yang ada. Pada akhir tahap ini, anak mengembangkan konsep kepermanenan objek (object permanence). Dengan kata lain, mereka mulai menyadari bahwa objek tetap ada meski mereka tidak melihatnya.
2. Preoperational Thinking (sekitar dua sampai tujuh tahun). Tahap pemikiran praoperasional terbagi menjadi dua:
A. Pemikiran prakonseptual (sekitar dua sampai empat tahun). Selama di salah satu tahap pre operational thinking (pemikiran pra-operasional) ini, anak-anak mulai membentuk konsep sederhana. Mereka mulai mengklasifikasi benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, tetapi mereka melakukan banyak kesalahan lantaran konsep mereka itu; jadi, semua lelaki adalah “Ayah” dan semua perempuan adalah “Ibu,” dan semua mainan adalah “milikku.” Logika mereka tidak induktif atau deduktif, tetapi transduktif. Contoh dari penalaran transduktif adalah “Sapi adalah hewan besar dengan empat kaki. Hewan itu besar dan punya empat kaki; karenanya, hewan itu adalah sapi.”
B. Periode pemikiran intuitif (sekitar empat sampai tujuh tahun). Pada tahap kedua dari pemikiran praoperasional ini, anak-anak memecahkan problem secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah-kaidah logika. Ciri paling menonjol dari pemikiran anak pada tahap ini adalah kegagalannya untuk mengembangkan conservation (konservasi). Konservasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyadari bahwa jumlah, panjang, substansi, atau luas akan tetap sama meski mungkin hal- hal seperti itu direpresentasikan kepada anak dalam bentuk yang berbeda-beda.
Misalnya, seorang anak ditunjukkan pada wadah berisi air dalam volume tertentu.
Gambar 1.3
Wadah dengan volume dan bentuk yang sama
Kemudian, isi dari salah satu wadah itu dituang ke wadah lain yang lebih tinggi bentuknya.
Gambar 1.4
Wadah dengan volume sama tetapi bentuk yang berbeda
Pada tahap perkembangan ini, anak, yang melihat bahwa wadah pertama berisi sejumlah cairan, kini akan cenderung mengatakan bahwa wadah yang lebih tinggi bentuknya berisi lebih banyak air karena isinya lebih tinggi daripada wadah pertama. Anak pada tahap ini secara mental tidak bisa membalikkan operasi kognitif, yang berarti dia tidak dapat secara mental menuangkan air dari wadah yang tinggi ke wadah yang lebih pendek dan tidak dapat melihat bahwa jumlah cairan itu sebenarnya adalah tetap sama. Menurut Piaget, konservasi adalah kemampuan yang muncul sebagai hasil dari akumulasi pengalaman anak dengan lingkungan, dan bukan kemampuan yang dapat diajarkan sampai anak memiliki pengalaman awal ini. Sebagaimana halnya dengan teori tahapan lainnya, pengajaran adalah isu penting. Apakah berbagai kemampuan muncul sebagai hasil dari pengalaman tertentu (yakni, belajar) ataukah muncul sebagai fungsi dari pendewasaan yang ditentukan secara genetik? Menurut Piaget jawabannya adalah kedua-duanya. Pendewasaan menghasilkan struktur otak dan sensoris yang dibutuhkan, tetapi dibutuhkan pengalaman untuk mengembangkannya. Pertanyaan apakah konservasi dapat diajarkan sebelum “tiba waktunya” masih belum terjawab; beberapa pihak mengatakan bisa (misalnya LeFrancois, 1968) dan pihak lainnya mengatakan tidak bisa, dan karenanya menentang pendapat Piaget (misalnya Smedslund, 1961).
3. Concrete Operations (sekitar tujuh sampai sebelas atau dua belas tahun). Anak kini mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan (konservasi), kemampuan mengelompokkan secara memadai, melakukan pengurutan (mengurutkan dari yang terkecil sampai paling besar dan sebaliknya), dan menangani konsep angka. Tetapi, selama tahap ini proses pemikiran diarahkan pada kejadian riil yang diamati oleh anak. Anak dapat melakukan operasi problem yang agak kompleks selama problem itu konkret dan tidak abstrak. Diagram berikut ini menunjukkan problem khas yang diberikan kepada anak yang berusia sekitar 11 tahun untuk mengetahui proses pemikiran mereka. Tugas mereka adalah menentukan huruf apa yang mesti dimasukkan ke dalam bagian yang masih kosong di dalam lingkaran. Mungkin Anda bisa mencobanya.
Gambar 1.5
Problem khas yang diberikan kepada anak yang berusia sekitar 11 tahun untuk mengetahui proses pemikiran mereka
Untuk memecahkan problem ini, seseorang mesti menyadari bahwa huruf dari alfabet yang berseberangan dengan angka Romawi I adalah A, huruf pertama dari abjad. Huruf yang berseberangan dengan X adalah J, huruf ke-10 dalam abjad.
Jadi, huruf yang berseberangan angka Romawi V pastilah E. Setidaknya ada dua konsep yang harus dipakai dalam memecahkan problem semacam itu:
“korespondensi satu-satu” dan “berseberangan”. Yakni, harus disadari bahwa angka Romawi dan huruf abjad dapat diletakkan sedemikian rupa sehingga saling berkorespondensi, dan juga harus disadari bahwa penempatan korespondensi itu harus berseberangan. Jika anak tidak memiliki konsep ini, mereka tidak dapat memecahkan problem itu. Demikian pula, jika mereka dapat memecahkan problem, maka mereka pasti punya konsepnya.
4. Formal Operations (sekitar 11 atau 12 tahun sampai 14 atau 15 tahun). Anak- anak kini bisa menangani situasi hipotesis, dan proses berpikir mereka tidak lagi bergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil. Pemikiran pada tahap ini semakin logis. Jadi, aparatus mental yang dimilikinya semakin canggih namun aparatus ini dapat diarahkan ke solusi berbagai problem kehidupan yang tiada berkesudahan.
Kondisi Optimal untuk Belajar
jika sesuatu tak bisa diasimilasikan ke dalam struktur kognitif organisme, maka tidak dapat bertindak sebagai stimulus biologis. Dalam pengertian inilah struktur kognitif menciptakan lingkungan fisik (jasmani). Saat struktur kognitif semakin meluas, lingkungan fisik menjadi ter-artikulasikan dengan lebih baik.
Demikian pula, jika sesuatu sangat jauh dari struktur kognitif organisme sehingga tidak bisa diakomodasi, tidak akan terjadi belajar. Agar belajar optimal terjadi,
informasi harus dapat diasimilasikan ke dalam struktur kognitif, tetapi pada saat yang sama ia harus berbeda agar menimbulkan perubahan dalam struktur kognitif tersebut. Jika informasi tidak dapat diasimilasikan, maka ia tak bisa dipahami.
Namun, jika sesuatu sudah dipahami dengan sempurna, tidak diperlukan proses belajar. Pada kenyataannya, dalam teori Piaget, asimilasi dan pemahaman mempunyai arti yang serupa. Inilah yang diistilahkan oleh Dollard dan Miller sebagai learning dilemma (dilema belajar), menunjukkan bahwa semua proses belajar bergantung pada kegagalan. Menurut Piaget, kegagalan pengetahuan sebelumnya untuk mengasimilasikan suatu pengalaman akan menyebabkan akomodasi atau proses belajar baru. Pengalaman harus cukup menantang agar memicu pertumbuhan kognitif. Pertumbuhan akan terjadi hanya jika asimilasi terjadi. Seseorang harus menentukan jenis struktur kognitif apa yang tersedia bagi individu dan pelan-pelan mengubah struktur ini sedikit demi sedikit karena alasan inilah Piaget mendukung hubungan tatap-muka antara guru dan murid. Namun, Piaget akan mendukung hubungan semacam itu karena alasan yang berbeda dengan alasan dari Skinner, yang juga mendukung hubungan tersebut. Piaget percaya bahwa pendewasaan (maturation) hanya menyediakan kerangka untuk perkembangan intelektual.
Selain itu, ada pula pengalaman fisik (jasmani) maupun sosial yang sangat penting bagi perkembangan mental. Inhelder dan Piaget (1958) mengemukakan soal ini “Pendewasaan sistem saraf tak bisa melakukan lebih dari penentuan totalitas kemungkinan dan kemustahilan pada tahap tertentu. Lingkungan sosial tertentu jelas tidak bisa diabaikan agar kemungkinan-kemungkinan itu dapat direalisasikan. Realisasi ini dapat dipercepat atau diperlambat oleh fungsi kultural dan kondisi pendidikan”. Di tempat lain Piaget (1966) mengatakan, “Manusia sejak lahir sudah berada dalam lingkungan fisik dan sosial yang mempengaruhinya. Masyarakat lebih dari sekadar lingkungan fisik, dan lingkungan sosial bisa mengubah struktur dasar individu, sebab ia bukan hanya memaksa individu untuk mengenali fakta, tetapi juga memberinya sistem tanda yang sudah siap, yang akan memodifikasi pemikirannya, lingkungan sosial memberinya nilai-nilai baru dan menetapkan serangkaian kewajiban kepadanya.
Ginsburg dan Opper (1979) meringkaskan cara Piaget memandang perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh warisan bawaan:
(a) Struktur fisik bawaan yakni sistem saraf membatasi fungsi intelektual, (b) Reaksi behavioral bawaan yakni refleks mempengaruhi tahap awal kehidupan manusia tetapi setelah itu dimodifikasi besar-besaran setelah bayi berinteraksi dengan lingkungannya.
(c) Pendewasaan struktur fisik mungkin memiliki korelasi psikologis yakni ketika otak menjadi matang sampai titik di mana perkembangan bahasa dimungkinkan.
Termasuk Kubu Mana Teori Piaget?
Piaget jelas bukan teoritis S-R. Teoritis S-R berusaha menentukan hubungan antara kejadian lingkungan (S) dengan respons terhadap kejadian itu (R). Kebanyakan teori mengasumsikan organisme pasif yang membangun kemampuan respons dengan mengakumulasi kebiasaan. Kebiasaan yang kompleks hanyalah kombinasi dari kebiasaan-kebiasaan sederhana. Hubungan S- R tertentu “dicetak” melalui penguatan atau kontiguitas. Pengetahuan, menurut pendapat ini, merepresentasikan “salinan” dari kondisi yang eksis di dalam dunia fisik. Dengan kata lain, melalui belajar hubungan yang ada dalam dunia fisik menjadi direpresentasikan dalam otak organisme. Piaget menyebut posisi epistemologis ini sebagai teori pengetahuan salinan. Teori Piaget berbeda secara diametris dengan konsep pengetahuan S-R.
Piaget menyamakan pengetahuan dengan struktur kognitif yang memberikan potensi untuk menghadapi lingkungan dengan cara-cara tertentu.
Struktur kognitif menyediakan kerangka bagi pengalaman yakni, mereka menentukan apa yang dapat direspons dan bagaimana ia dapat direspons. Dalam pengertian ini, struktur kognitif diproyeksikan ke lingkungan fisik dan karenanya ia menciptakannya. Dengan cara ini lingkungan dikonstruksi oleh struktur kognitif. Namun, bisa dikatakan bahwa lingkungan memainkan peran besar dalam menciptakan struktur kognitif. Interaksi antara lingkungan dan struktur kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi adalah sangat penting dalam teori Piaget.
Piaget (1970) membedakan pendapatnya tentang inteligensi dan pengetahuan dengan pendapat teoritis empiris. Menurut pendapat umum, dunia eksternal sepenuhnya terpisah dari subjek, meskipun dunia itu meliputi tubuh subjek. Setiap
pengetahuan objektif, karenanya, tampak hanya hasil dari pencatatan perseptif, asosiasi motor (gerak), deskripsi verbal, dan sejenisnya, di mana semua berpartisipasi dalam menghasilkan salinan figuratif atau “salinan fungsional”
(meminjam istilah Hull) dari objek dan koneksi antar-objek dalam proses ini, semakin tepat salinan kritisnya, maka semakin konsisten sistem finalnya.
Sebenarnya, untuk mengetahui objek, subjek harus bertindak aktif, dan karenanya mengubah objek dia harus mengganti, menghubungkan, mengkombinasikan, mengambil, dan menyatukannya kembali. Dari tindakan sensorimotor paling dasar (seperti mendorong atau menarik) sampai operasi intelektual yang paling canggih, yang merupakan tindakan yang telah dinteriorisasikan, yang dilakukan secara mental (misalnya menggabungkan, mengurutkan, menghubungkan), pengetahuan senantiasa dikaitkan dengan tindakan atau operasi, yakni dengan transformasi. Ada kesepakatan dan ketidaksepakatan antara teori Piaget dengan Gestalt. Keduanya menyepakati bahwa ketidakseimbangan mengandung properti motivasional. Keduanya percaya bahwa pengetahuan yang lalu akan mempengaruhi pengalaman sekarang.
Sumber perbedaan utama antara teoritis Gestalt dengan Piaget adalah soal sifat perkembangan kemampuan organisasional seseorang. Piaget percaya bahwa kemampuan organisasional otak berkembang seiring dengan berkembangnya struktur kognitif. Menurutnya, pengalaman selalu diorganisasikan dalam term struktur kognitif, namun struktur kognitif selalu berubah baik saat terjadi pendewasaan biologis maupun berkat pengalaman indrawi. Jadi, Piaget menggunakan istilah progressive equilibrium (ekuilibrium progresif) untuk mendeskripsikan fakta bahwa keseimbangan atau organisasi akan optimal dalam situasi yang ada dan situasi itu akan selalu berubah-ubah.
Perbedaan antara Piaget dan teoritis Gestalt pada soal kemampuan organisasional bawaan akan menghasilkan perbedaan dalam praktik pendidikan.
Di satu sisi, guru yang menggunakan prinsip Gestalt dalam pengajarannya akan cenderung menekankan pada “Gestalt” di semua level pendidikan; melihat gambaran keseluruhan adalah hal yang penting. Guru semacam ini akan menerima diskusi kelompok atau sistem ceramah. Sedangkan Guru Piagetian akan memperhatikan siswa individual. Guru pertama-tama berusaha menentukan apa
tahap perkembangan siswa tertentu sebelum menentukan informasi apa yang akan diberikan. Mereka akan menyadari bahwa mengetahui sesuatu tentang struktur kognitif siswa akan membuat mereka mampu memberi siswa informasi yang mudah untuk diasimilasi olehnya.
Teori Piaget sulit untuk dikelompokkan dalam kategori tradisional.
Teorinya adalah empiris dalam pengertian bahwa pengetahuan bergantung pada pengalaman, tetapi ciri empiris teorinya berbeda dengan ciri empiris teori S-R.
Kategori pikiran menurut Piaget adalah hasil dari pendewasaan dan pengalaman kumulatif. Teori Piaget tidak sepenuhnya empiris. Konsep ekuilibrasi merupakan komponen nativistik dalam teorinya. Dorongan bawaan ke arah harmoni antara lingkungan internal dan eksternal merupakan basis dari semua pertumbuhan intelektual. Sehingga dalam teori Piaget campuran kreatif berbagai sudut pandang yang sama dengan teori Tolman.
Pendapat Piaget tentang Pendidikan
Menurut Piaget, pengalaman pendidikan harus dibangun di seputar struktur kognitif pembelajar. Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung memiliki struktur kognitif yang sama, tetapi mungkin bagi mereka untuk memiliki struktur kognitif yang berbeda dan karenanya membutuhkan jenis materi belajar yang berbeda pula. Di satu sisi, materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke struktur kognitif anak tidak akan bermakna bagi si anak. Jika materi bisa diasimilasi secara komplit, tidak akan ada proses belajar yang terjadi.
Agar belajar terjadi, materi perlu sebagian sudah diketahui dan sebagian belum.
Bagian yang sudah diketahui akan diasimilasi dan bagian yang belum diketahui akan menimbulkan modifikasi dalam struktur kognitif anak. Modifikasi ini disebut akomodasi, yang dapat disamakan dengan belajar.
Menurut Piaget, pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi peserta didik sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan jenis pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Maka pendidikan harus diindividualisasikan. Piaget mendapatkan kesimpulan ini dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan bervariasi dari satu anak ke anak
yang lain dan bahwa materi pendidikan harus disesuaikan dengan struktur kognitif anak. Ringkasan Teori Piaget
Menurut Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor, yang memberi kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya.
Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat direspons oleh si anak, dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi.
Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah, dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus-menerus. Tetapi ini adalah proses yang lambat, karena skemata baru itu selalu berkembang dari skemata yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini, pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respons refleksif anak terhadap lingkungan akan terus berkembang sampai ke titik di mana anak mampu memikirkan kejadian potensial dan mampu secara mental mengeksplorasi kemungkinan akibatnya.
Interiorisasi menghasilkan perkembangan operasi yang membebaskan anak dari kebutuhan untuk berhadapan langsung dengan lingkungan karena dalam hal ini anak sudah mampu melakukan manipulasi simbolis. Perkembangan operasi (tindakan yang diinteriorisasikan) memberi anak cara yang kompleks untuk menangani lingkungan, dan mereka karenanya mampu melakukan tindakan intelektual yang lebih kompleks. Karena struktur kognitif mereka lebih terartikulasikan, demikian pula lingkungan fisik mereka; jadi dapat dikatakan bahwa struktur kognitif mereka mengkonstruksi lingkungan fisik. Perlu diingat bahwa istilah intelligent (cerdas) dipakai oleh Piaget untuk mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Menurut Piaget, tindakan yang cerdas selalu cenderung menciptakan keseimbangan antara organisme dengan lingkungannya dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah keseimbangan ini dinamakan ekuilibrasi
Meskipun perkembangan intelektual adalah berkelanjutan selama masa kanak-kanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual.
Dia mendeskripsikan empat tahap utama: (1) sensorimotor, di mana anak berhadapan langsung dengan lingkungan dengan menggunakan refleks bawaan
mereka; (2) pra-operasional, di mana anak mulai menyusun konsep sederhana; (3) operasi konkret, di mana anak menggunakan tindakan yang telah diinteriorisasikan atau pemikiran untuk memecahkan masalah dalam pengalaman mereka; dan (4) operasi formal, di mana anak dapat memikirkan situasi hipotesis secara penuh.
Evaluasi teori Piaget Kontribusi
Berbeda dengan teoretisi belajar lain yang telah kita pelajari, Piaget tidak mudah dikategorikan sebagai teoretisi penguatan, atau teoretisi kontiguitas.
Seperti banyak periset lain yang secara longgar disebut aliran “kognitif”, dia mengasumsikan bahwa belajar terjadi kurang lebih secara kontinu dan belajar melibatkan akuisisi informasi dan representasi kognitif dari informasi itu.
Kontribusi unik Piaget dalam perspektif umum ini adalah dia telah mengidentifikasi aspek kualitatif dari belajar. Secara spesifik, konsep asimilasi dan akomodasinya mengidentifikasi dua tipe pengalaman belajar. Keduanya adalah proses belajar; keduanya melibatkan akuisisi dan penyimpanan informasi.
Namun, asimilasi adalah jenis belajar yang statis, dibatasi oleh struktur kognitif yang ada; akomodasi adalah pertumbuhan progresif dari struktur kognitif yang mengubah karakter dari semua proses belajar selanjutnya.
Kritik
Banyak psikolog kontemporer menunjukkan ada problem dalam metodologi riset Piaget. Metode klinisnya dapat menyediakan informasi yang tidak dapat dicatat dengan mudah dalam eksperimen laboratorium yang ketat.
Metodenya bisa jadi metode ideal untuk menemukan arah bagi riset di masa depan di dalam kondisi yang didefinisikan secara ketat, tetapi kita harus hati-hati saat mengambil kesimpulan dari observasi yang dibuat dengan metode klinis karena metode ini kekurangan kontrol eksperimental yang ketat. Kritik terkait ditujukan pada sejauh mana observasi Piaget dapat digeneralisasikan, sebab dia tidak mengamati anak atau orang dewasa dari kultur selain kulturnya sendiri.
Meskipun gagasan tahap-tahap perkembangan Piaget tampaknya secara umum benar, ada indikasi bahwa kemampuan anak yang sangat muda tidak terbatas seperti yang diyakini semula. Bayi mungkin sudah punya pemahaman
tentang kepermanenan objek (Baillargeon, 1987, 1992; Bowers, 1989) dan hukum fisika tertentu seperti kemustahilan memindahkan suatu benda padat menembus halangan fisik (Baillargeon et al., 1990; Keen, 2003). Selain itu, mungkin ada perkembangan pemahaman yang diskontinu, bukan hierarki akumulasi seperti yang dikemukakan oleh Piaget (Berthier et al., 2000). Bahkan orang dewasa barangkali tidak akan mencapai tahap operasi formal walau ia dihadapkan pada jenis pengalaman yang menurut Piaget akan membawa orang itu ke struktur operasi formal. Misalnya, Piaget dan Inhelder (1956) menyusun tugas level air.
Dalam tugas ini, subjek diminta untuk menunjukkan permukaan cairan dalam wadah yang miring. Anak cenderung tidak menyadari bahwa cairan itu sebenarnya tetap horizontal. Berbeda dengan perkiraan Piaget, hampir 40 persen orang dewasa tidak memahami hal ini (Kalichman, 1988). Yang lebih buruk, 20 orang pelayan wanita profesional (yang bekerja di kafe di Oktoberfest di Munich) dan 20 bartender profesional (yang bekerja di bar Munich), yang semuanya diperkirakan punya pengalaman substansial dalam memandang air dalam wadah yang dimiringkan, ternyata lebih tidak paham dalam tes ini ketimbang kelompok siswa dan profesional lainnya (Hecht & Proffitt, 1995).
PEMBAHASAN Penegasan Teori
Cognitive berasal dari kata cognition yang mempunyai persamaan dengan knowing yang berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolahan , penataan, penggunaan pengetahuan (Muhibbin, 2005: 65). Teori belajar kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri (Bahruddin, dkk. 2012: 87). Baharudin menerangkan teori ini lebih menaruh perhatian dari pada peristiwa-peristiwa internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons sebagaimana dalam teori behaviorisme, lebih dari itu belajar dengan teori kognitivisme melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks (Nugroho, 2015: 290).
Piaget adalah seorang psikolog developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog suatu teori komprehensif tentang perkembangan intelegensi atau proses berpikir.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan dan hal itu terjadi terus- menerus sepanjang hayatnya. Selain itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar adalah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dalam pembelajaran pada teori ini dianjurkan untuk menggunakan media yang konkret karena anak-anak belum dapat berfikir secara abstrak (Nurhadi, 2018: 9).
Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi (Suparno, 2016: 11). Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu (Jauhar, 2011: 13-14; Suyudi, dkk, 2013: 108). Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik (Ibda, 2015). Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan (Dalyono, 2012: 37).
Puspo Nugroho (2015) menyebutkan lima ciri aliran kognitivisme, yaitu:
1). Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia; 2). Mementingkan keseluruhan daripada bagian-bagian; 3). Mementingkan peranan kognitif; 4).
Mementingkan kondisi waktu sekarang; 5). Mementingkan pembentukan struktur
kognitif. Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk representatif yang mewakili objek-objek itu direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental.
Menurut Piaget yang dikutip dalam buku Wasty Soemanto mengatakan, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan, maka Piaget menekankan penyelidikan lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi penyesuaian/adaptasi manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk di dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan.
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably, dengan istilah struktur. Scheme merupakan pola tingkah laku yang dapat diulang-ulang. Scheme berhubungan dengan:
a) Refleks-refleks pembawaan, misalnya bernafas, makan, minum.
b) Scheme mental, misalnya scheme of classification, scheme of operation (pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap), scheme of operation (pola tingkah laku yang dapat diamati).
c) Organisasi, berupa kecakapan seseorang/organisme dalam menyusun proses- proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheren.
d) Adaptasi, yaitu adaptasi individu terhadap lingkungannya. Adaptasi ini terdiri dari dua macam proses komplementer yaitu asimilasi dan akomodasi.
Aspek-aspek pertumbuhan intelektual individu atau dalam hal ini anak dikategorikan menjadi tiga bagian: a)structure, b) content, dan c) function. Anak yang intelektual nya berkembang biasanya disebabkan oleh perkembangan stuktur dan kontennya.
Hasil-Hasil Penelitian
Implementasi Teori Genetik Epistemologi dalam Pembelajaran Guna Memantapkan Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah (Agust Ufie, 2017).
Bahwa Teori genetik epistemologi yang dikembangkan oleh Jean Piaget telah membawa dampak besar terhadap teori dan praktik pendidikan di seluruh dunia seperti yang dikatakan oleh Case dalam Robert E.Slavin,(2008:57) bahwa teori kognitif atau teori pengetahuan (genetic epistemology) yang dikembangkan oleh Jean Piaget memusatkan perhatian pada gagasan pendidikan yang tepat untuk pendidikan, suatu pendidikan dengan lingkungan, kurikulum, bahan ajar dan pengajaran yang sesuai dengan siswa dari sudut kemampuan fisik dan kognitif serta kebutuhan sosial,ekonomi siswa. Pada penelitian ini digunakan teknik literatur review. Literature review yaitu uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian dalam menyusun kerangka pemikiran dari perumusan masalah yang ingin diteliti. Hasil penelitian, beberapa hal penting yang patut diperhatikan guru guna menerapkan teori Piaget pada pendidikan anak: 1) Gunakan Pendekatan Konstruktivis. Piaget menekankan bahwa anak akan belajar dengan lebih baik jika mereka aktif dan mencari solusi sendiri.2) Fasilitas Belajar. Guru efektif merancang situasi yang membuat belajar dengan bertindak. 3) Pertimbangkan pengetahuan dan tingkat pemikiran anak.
Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Arab (Rosyid, M.F., & Baroroh, R.U., 2019). Penelitian ini menggunakan teknik library Research. Pembelajaran bahasa Arab yang bercorak kognitivistik hendaknya ditujukan untuk penguasaan komunikatif atas empat kemahiran dasar berbahasa Arab. Hal ini disebabkan oleh penguasaan atas simbol (bahasa) yang telah diperoleh melalui proses atensi, persepsi dan memori perlu dikontekstualisasikan supaya terjadi proses asimilasi, akomodasi, ekuilibrasi, maupun interiorisasi. Strategi belajar bahasa menurut Umi Baroroh (2018) berkaitan dengan pemproresan (processing), penyimpanan (storage), mendapatkan kembali (retrieval), dan mengambil pengetahuan dan pesan yang lain. Menurut Oxford dalam Umi Baroroh terdapat dua jenis strategi belajar bahasa, yaitu strategi langsung dan strategi tidak langsung. Strategi langsung terdiri dari tiga kelompok yaitu: strategi memori, strategi kognitif, dan strategi kompensasi. Sementara strategi tidak langsung terdiri dari strategi metakognitif, strategi afektif dan strategi sosial. Menurut penulis ragam strategi tersebut tidak
terlepas dari pandangan teori kognitif. Sebab, sebagaimana menurut Dian Maulidiah (2016) bidang pengembangan kognitif meliputi perkembangan auditori, visual, taktil, dan kinestetik. Berdasarkan penelitian ini dapat dikatakan bahwa pembelajaran bahasa Arab merupakan pembelajaran yang bersifat kognitivistik sebab berkaitan erat dengan proses pengembangan kognitif pemelajaran. Hal ini dapat dilihat dari hasil artikel bahwa teori kognitif mengandung implikasi secara langsung terhadap pembelajaran bahasa Arab dilihat dari sudut pandang Piaget dan Vygotsky dengan masing-masing karakteristiknya. Teori kognitif dari keduanya berimplikasi pada beberapa aspek pembelajaran bahasa Arab yaitu:
aspek tujuan pembelajaran, aspek lingkungan bahasa, aspek penggunaan media, aspek kultural, aspek tingkatan pembelajaran dan aspek model pembelajaran.
Analisis Teori Perkembangan Kognitif Piaget Pada Tahap Anak Usia Operasional Konkret 7-12 Tahun Dalam Pembelajaran Matematika (Ridho Agung, 2019). Peneliti menggunakan teknik penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2016). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perkembangan kognitif akan mempengaruhi fungsi otak untuk berpikir, seperti mengetahui, memahami, menganalisis, mensintesis, bernalar, berkreativitas dan bertindak. Perkembangan otak terbagi menjadi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Pada fase anak usia dasar, perkembangan kognitif anak memiliki tingkatan yang berbeda-beda dimulai dari usia 7-12 tahun ke atas. Piaget percaya, bahwa kita semua melalui empat tahap, meskipun setiap tahap dilalui dalam usia yang berbeda. Setiap tahap dimasuki ketika otak kita sudah cukup matang untuk memungkinkan logika jenis baru atau operasi (Jarvis, 2011: 148). Perkembangan kognitif setiap individu berbeda-beda, ada yang cepat dan ada juga yang lambat. Dalam hasil penelitian ini perbedaan tersebut dapat terjadi karena dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya yaitu asupan gizi.
Proses Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Jean Piaget dalam Memahami Teorema Phytagoras Kelas VIII-A SMP Islam Durenan Trenggalek Tahun Ajaran 2015/2016 (dalam Skripsi Sadiyah, A. R. 2016). Peneliti menggunakan teknik penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan
sampling sebanyak 31 peserta didik. Namun, diperkecil menjadi 4 peserta didik, yang sering mendapat nilai tertinggi berdasarkan saran guru mata pelajaran matematika. Berdasarkan tabel yang telah disajikan oleh peneliti dalam proses berpikir siswa yang paling dominan yakni proses berpikir secara asimilasi. Pada langkah penyelesaian dalam memahami masalah, menyelesaikan rencana penyelesaian, dan langkah dalam memeriksa kembali, 3 siswa melakukan proses berpikir secara asimilasi. Hal ini diperoleh karena sebagian besar siswa telah mendapatkan pemahaman tentang Teorema Phytagoras walaupun dalam pengaplikasiannya dalam soal masih mengalami kesulitan. Proses berpikir secara asimilasi dapat diketahui dari cara siswa dalam menyelesaikan soal dan menjelaskan jawabannya. Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak individu (Mustofa & Thobroni, 2013: 96). Artinya, siswa menyesuaikan pengetahuan-pengetahuan baru atau pengalaman- pengalaman yang baru didapatkan dengan konsep dasar atau skema yang sudah dimiliki siswa mengenai materi tertentu. Sehingga, siswa yang melakukan proses berpikir secara asimilasi mampu memperbaiki sendiri jawabannya bila mengalami kesalahan.
Implikasi Teori Kognitif Jean Piaget Terhadap Prestasi Belajar PAI Siswa Kelas VII SMP IT Di Pondok Pesantren Al-Quraniyyah (dalam Skripsi Ruwaidah, 2017). Peneliti menggunakan teknik analisis korelasional dalam penelitian ini dengan terjun langsung ke lapangan. Peneliti menggunakan sampling sebanyak 85 peserta didik dengan masing-masing 17 orang di setiap kelas nya. Ditemukan bahwa beberapa prinsip Piaget dapat digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Pertama, isu terpenting proses belajar adalah komunikasi, di mana semestinya guru dapat memahami dan menanggapi cara bicara yang sama dengan yang digunakan peserta didik. Kedua, peserta didik belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Ketiga, peserta didik pada dasarnya adalah makhluk yang berpengetahuan sehingga selalu termotivasi untuk memperoleh pengetahuan.
Dalam mengembangkan tujuan dan strategi belajar tidak menggunakan mekanistik seperti pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan peserta didik dalam proses belajar diperhitungkan, agar lebih bermakna bagi peserta
didik. Hal tersebut agar proses asimilasi dan akomodasi dapat diaktifkan sehingga pengetahuan dan pengalaman terjadi dengan baik. Tugas guru adalah menunjukkan apa yang sedang dipelajari dengan apa yang diketahui siswa dan melihat perbedaan setiap peserta didik. Maka strategi yang dapat digunakan guru adalah (1) metode ceramah, sebagai penghantar dalam proses belajar; (2) tanya jawab, untuk mendorong peserta didik lebih aktif; (3) diskusi, untuk memperoleh pengetahuan yang sama; (4) memberikan teladan yang baik. Dalam penelitian tersebut peneliti mengungkap bahwa 83 peserta didik menunjukkan korelasi yang cukup signifikan terhadap implikasi teori Piaget dengan prestasi belajar siswa dalam bidang studi PAI.
Analisis Perkembangan Kognitif Siswa pada Pemahaman Konsep Matematika Kelas V SDN Maguwoharjo 1 Yogyakarta (Riyatuljannah, T., &
Suyadi, 2020). Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Ada beberapa siswa yang belum mencapai standar KKM yaitu 70, ditemukan 12 dari 27 siswa yang meraih nilai standar KKM. Hal ini dikarenakan kemampuan prasyarat yang tidak dimiliki siswa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa siswa menyatakan ulang konsep dengan kategori cukup sebesar 50%, siswa mengklasifikasi objek menurut sifat tertentu sebagai konsepnya dengan kategori baik sebesar 65%, siswa perlu atau syarat cukup dari suatu konsep dengan kategori kurang sebesar 30%, siswa menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu dengan kategori sangat kurang sebesar 20% dan siswa mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah dengan kategori kurang sebesar 20%. Skor rata-rata yang diperoleh pada pemahaman konsep sebesar 40,71%. Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas V di SD Negeri Maguwoharjo 1 Yogyakarta belum menguasai indikator pemahaman konsep matematika. Kesulitan yang dialami oleh siswa kelas V diantaranya; (1) kesulitan dalam memilih rumus untuk pemecahan adalah, (2) siswa tidak sesuai dalam menggunakan rumus dengan kondisi prasyarat berlakunya rumus atau tidak mencantumkan rumus (Nym, Darjiani, Meter, Agung, & Negara, 2015). Piaget mengatakan bahwa “Anak dilahirkan dengan beberapa kemampuan sensorimotor yang memberi kerangka bagi interaksi awal lingkungan anak tinggal. Tapi bagi Piaget sendiri, sensorimotor adalah proses
yang lambat karena skemata baru terus menerus berkembang dari skemata sebelumnya. Skemata ini menunjukkan bahwa pertumbuhan intelektual diawali dengan tanggapan refleksif anak pada lingkungan akan selalu berkembang hingga mencapai titik dimana anak dapat berpikir peristiwa yang memungkinkan dan mampu secara mental untuk bereksplorasi kemungkinan akibatnya” (Fatimah, 2015). Hal inilah yang menjadi kendala siswa usia dasar dalam memenuhi indikator pemahaman konsep matematika.
Implikasi Teori Jean Piaget di Bidang Bimbingan dan Konseling
Implikasi teori belajar kognitif dari Jean Piaget dalam pembelajaran dan bidang bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh seorang pendidik yang dituntut untuk memahami perkembangan kognitif peserta didiknya serta memahami kebutuhan, dan kemajuannya, juga mampu menentukan jenis metode belajar dan jenis kemampuan yang dibutuhkan peserta didik dalam memahami setiap bahan pelajaran. Dalam teori Piaget, dijelaskan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif individu menurut Piaget. Sehingga seorang pendidik perlu memahami bahwa tingkat pemahaman siswa berbeda-beda, serta model dan metode penanganan yang digunakan juga akan sangat bervariatif dilihat dari fase usianya. Maka hal tersebut dapat menjadi landasan untuk guru dalam mengajar sehingga pembelajaran dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran.
Terkait teori kognitif sebagaimana dikemukakan oleh Piaget, ada beberapa hal yang dapat diterapkan untuk siswa dalam pembelajaran diantaranya:
a). Siswa dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri. Titik pusat dari teori belajar kognitif Piaget yaitu individu dapat mengalami kemajuan tingkat perkembangan kognitif atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi.
Pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu dapat dibentuk dan dikembangkan oleh individu itu sendiri melalui interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah. Dalam berinteraksi dengan lingkungan tersebut, individu mampu beradaptasi dan mengorganisasikan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan dalam struktur kognitifnya, pengetahuan, wawasan dan pemahamannya semakin berkembang. Proses pendidikan bukan hanya sekedar transfer of
knowledge, tetapi juga bagaimana merangsang struktur kognitif individu sehingga mampu melahirkan pengetahuan dan temuan-temuan baru.
b). Individualisasi dalam pembelajaran. Dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan seorang individu, karena setiap tahap perkembangan kognitif memiliki karakteristik berbeda-beda. Susunan saraf seseorang akan semakin kompleks seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang diluar kemampuan kognitifnya. Tingkat perkembangan peserta didik harus dijadikan dasar pertimbangan guru dalam menyusun struktur dan urutan mata pelajaran di dalam kurikulum.
Maka, didalam proses pembelajaran seorang guru dapat bekerja sama dengan guru bimbingan dan konseling dalam memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Mengetahui bahwa bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran juga seorang guru perlu menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir peserta didik.
GLOSARIUM
Akomodasi proses memodifikasi struktur kognitif.
Asimilasi proses seorang individu mengintegrasikan antara persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema kognitifnya.
Ekuilibrasi tendensi bawaan untuk mengorganisasikan pengalaman agar mendapatkan adaptasi yang maksimal; proses untuk mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi tingkat demi tingkat.
Epistemologi studi tentang hakikat pengetahuan.
Epistemologi Genetik istilah yang sering digunakan untuk mendeskripsikan Teori Piaget. Istilah genetik berarti perkembangan daripada berhubungan dengan warisan. Epistemologi mengacu pada studi tentang pengetahuan; dengan demikian istilah epistemologi genetik adalah digunakan untuk mendeskripsikan studi pengetahuan sebagai suatu fungsi dari pendewasaan dan pengalaman
Functional Invariants proses yang tidak spesifik pada tahapan tertentu, tetapi hadir di semua tahap perkembangan. Contohnya mencakup asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi.
Inteligensi daya reaksi atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, terhadap pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta atau kondisi baru; kecerdasan.
Interiorisasi proses tindakan adaptif menjadi semakin terselubung daripada terang-terangan. Nyatanya, operasi dapat dianggap sebagai tindakan interiorisasi.
Keseimbangan Progresif organisme hidup terus menerus mencari keseimbangan antara dirinya dan lingkungannya. Namun menurut Piaget, secara kognitif struktur suatu organisme selalu berubah sebagai hasil pendewasaan dan pengalaman. Oleh
karena itu, sebuah keseimbangan tidak pernah bisa mutlak tetapi harus menjadi sebuah keseimbangan progresif, yaitu keseimbangan yang terbaik dalam situasi yang berlaku.
Konten merujuk kepada spesifikasi tertentu manifestasi khusus sebuah skema.
Learning Dilemma pertentangan Dollard dan Miller bahwa untuk terjadinya proses belajar, perilaku yang dipelajari sebelumnya dan pola perilaku bawaan harus tidak efektif dalam memecahkan suatu masalah. Dalam pengertian ini kegagalan merupakan prasyarat untuk belajar.
Clinical method bentuk pertanyaan terbuka di mana pertanyaan peneliti dipandu jawaban anak-anak atas pertanyaan sebelumnya.
Operasional Formal tahap perkembangan intelektual, yaitu anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks.
Operasional Konkret tahap perkembangan intelektual di mana anak-anak dapat menangani secara logis hanya peristiwa yang dapat mereka alami secara langsung, Pemikiran Pra Operasional tahap perkembangan intelektual di mana anak-anak mulai mengklasifikasikan objek dan peristiwa ke dalam kategori dasar.
Reversibilitas berarti bahwa begitu sesuatu dipikirkan, itu bisa menjadi "tidak terpikirkan" yaitu, sebuah operasi, setelah dilakukan, dapat dibatalkan secara mental.
Tahap Sensorimotor tahap awal intelektual perkembangan di mana anak-anak menanggapi secara langsung peristiwa saat terjadi di lingkungan. Selama ini tahap perkembangan, anak menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam hal skema mereka seperti menggenggam, melihat, menghisap, dan meraih,
Skema suatu pola yang sistematis individu dalam bertindak, berperilaku, berpikir dan strategi pemecahan masalah dalam segala tantangan dan situasi.
Struktur kognitif Jumlah skemata yang tersedia di suatu organisme pada waktu tertentu itu.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, R. (2019). Analisis Teori Perkembangan Kognitif Piaget Pada Tahap Anak Usia Operasional Konkret 7-12 Tahun Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 9(1). Hlm. 27-34.
Fathurrohman, M. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Hergenhahn, B. R., & Olson, M.H. (2001). Theories of Learning. New Jersey: Prentice- Hall Inc.
Ibda, F. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita, 3(1), 27-38.
Kemendikbud. (2016). [Online]. Diakses online melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/.
Nurhadi. (2020). Transformasi Teori Kognitivisme dalam Belajar dan Pembelajaran.
Bintang : Jurnal Pendidikan dan Sains, 2(1), 16-34.
Purnomo, H. (2019). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: LP3M.
Riyatuljannah, T., & Suyadi. (2020). Analisis Perkembangan Kognitif Siswa pada Pemahaman Konsep Matematika Kelas V SDN Maguwoharjo 1 Yogyakarta. Edu Humaniora: Jurnal Pendidikan Dasar, 12(1), 48-54.
Rosyid, M.F., & Baroroh, R.U. (2019). Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Arab. AL-Lisan: Jurnal Bahasa, 4(2), 180-198.
Ruwaidah. (2017). Implikasi Teori Kognitif Jean Piaget Terhadap Prestasi Belajar PAI Siswa Kelas VII SMP IT Di Pondok Pesantren Al-Quraniyyah. [skripsi]. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses melalui: http://repository.uinjkt.ac.id/.
Sa’diyah, A. R.(2016). Proses Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Jean piaget Dalam Memahani Teorema Phytagoras Kelas VIII-A SMP Islam Durenan Trenggalek Tahun Ajaran 2015/2016. [skripsi]. Diakses melalui: http://repo.iain- tulungagung.ac.id/4176/.
Sutarto. (2017). Teori Kognitif dan Implikasinya dalam Pembelajaran. Islamic Counseling, 1(2). Hlm. 1-26.
Thahir, A. (2014). Psikologi Belajar. Bandar Lampung: Tarbiah Media.
Thobroni, M. & Mustofa, A. (2013). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ufie, A. (2017). Implementasi Teori Genetik Epistemologi dalam Pembelajaran Guna Memantapkan Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah. Jurnal Pedagogika dan Dinamika Pendidikan, 5(1). Hlm. 26-43.