TEORI TRAIT DAN FACTOR
(Analisis dalam Layanan Bimbingan Konseling)MUSLIM AFANDI
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau [email protected]
ABSTRAK
Salah satu corak layanan bimbingan konseling adalah teori trait-faktor, dimana corak ini mendeskripsikan layanan konseling yang mengutamakan pada konselor (counselor centered) dan layanan yang diberikan keoada klien mengutamakan data-data dan fakta- fakta yang ada pada diri klien dengan diawali oleh adanya testing psikologis. Bertitik tolak dari konsepnya yang memandang bahwa individu itu adalah berpotensi dan positif, maka teori ini juga memperhitungkan antara minat, bakat, keterampilan yang dimiliki individu itu erat kaitannya dengan pekerjaan atau karir yang akan diraihnya dan bisa direalisasikan melalui jenjang program studi atau pendidikan (sekolah, perguruan tinggi) yang dilalui oleh individu itu.
Kata Kunci : trait-factor, konselor, kecakapan, direktif, vokasional A. Pendahuluan
Dari sekian banyak tokoh terkenal yang selalu diasosiasikan dengan teori trait-faktor adalah E.G. Williamson. Ini dikarenakan pandangan dan konsepnya yang telah banyak dipublikasikan dalam berbagai artikel dalam jurnal dan buku-buku. Teori trait and factor sering pula disebut sebagai konseling direktif atau konseling yang berpusat pada konselor. Teori ini telah berkembang secara dinamis, yang pada mulanya berupa pendekatan konseling vocational, yang kemudian berkembang ke dalam lingkung yang lebih luas yang tidak hanya pada segi vokasional, akan tetapi mencakup aspek perkembangan secara keseluruhan.
Menurut Winkel istilah trait-factor counseling sulit digantikan dengan istilah bahasa Indonesia yang mengena, paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan : corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan beraneka ragam problem yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi dan/atau bidang pekerjaan.1 Dalam buku Vocational Counseling, Williamson menguraikan sejarah perkembangan bimbingan jabatan dan proses
1 W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Grasindo, Jakarta, I997, hlm. 386
lahirnya konseling jabatan yang berpegang pada teori trait-faktor dan kemudian teori ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan yang labih komprehensif.
B. Konsep Utama Teori Trait-Factor
Menurut teori ini kepribadian merupakan suatu sistem sifat atau faktor yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya seperti kecakapan, minat. sikap dan temperamen.
Perkembangan kemajuan individu mulai dari masa bayi hingga dewasa diperkuat oleh interaksi sifat dan faktor. Banyak usaha untuk membuat kategori orang-orang atas dasar macam-macam sifat. Studi ilmiah yang telah dilakukan adalah : pertama menilai ciri-ciri seseorang dengan tes psikologis, kedua mendefinisikan atau menggambarkan seseorang, ketiga, membantu orang untuk memahami diri dan lingkungannya, dan keempat, memprediksi keberhasilan yang mungkin dicapai dimasa datang. Hal yang mendasar bagi konseling trait dan factor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan mengetahui kecakapan dirinya sebagai dasar bagi pengembangan potensinya. Pencapaian penemuan diri menghasilkan kepuasan intrinsik dan memperkuat usaha untuk mewujudkan diri.
Williamson mencatat bahwa “landasan konsep konseling modern" adalah terletak dalam asumsi individualitas yang unik dari setiap anak dan identifikasi keunikan tersebut dengan menggunakan pengukuran obyektif sebagai lawan teknik perkiraan subyektif. Para ahli psikologi telah lama mencoba mengembangkan instrumen yang dapat menilai individu secara obyektif untuk digunakan dalam konseling baik dalam pendidikan maupun vokasional. Dengan mengidentifikasikan diri dan faktor individu konselor dapat membantunya dalam memilih program studi, mata kuliah, perguruan tinggi dan lain sebagainya secara rasional dan dengan perkiraan keberhasilan.
Tugas konseling trait dan factor menurut Shertzer & Stone adalah membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kaitan dengan tujuan perubahan kemaiuan tujuan- tujuan hidup dan karir.2 Begitu juga menurut Williamson bahwa maksud konseling ini adalah untuk membantu perkembangan kesempurnaan berbagai aspek kehidupan manusia. Konseling dilaksanakan dengan membantu individu untuk memperbaiki kekurangan, ketidakmampuan, dan keterbatasan serta membantu pertumbuhan dan integrasi kepribadian. Dalam hubungan konseling, individu mampu untuk menghadapi, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-
2 Shertzer & Stone, Fundamentals of Counseling, Boston: Houghton Mifflin Company, 1980, hlm. 171
masalahnya. Dari pengalaman ini individu belajar untuk mengahadapi situasi konflik di masa mendatang.
Mengenai martabat kehidupan manusia, Williamson mengatakan bahwa manusia berpotensi untuk melakukan yang baik dan yang jahat, namun kehidupan adalah mengejar yang baik dan menolak serta mengontrol yang jahat. Dalam perkembangannya manusia membutuhkan bantuan dari orang lain untuk dapat mengembangkan semua kemampuan yang dimilikinya secara memadai. Konselor di institusi pendidikan berusaha dengan sejujur-jujurnya untuk mempengaruhi arah perkembangan itu dan klien meminta bantuan konselor karena dirinya sendiri belum menemukan arah perkembangannya sendiri.
C. Asumsi Dasar Teori Trait-Factor
Asumsi pokok yang medasari teori konseling sifat dan faktor adalah :
1. Karena setiap individu itu sebagai suatu pola kecakapan dan kemampuan yang terorganisasikan secara unik, dan karena kemampuan kualitasnya relative stabil setelah remaja , maka tes obyektif dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik- karaktersitik tersebut.
2. Pola-pola kepribadian dan minat berkorelasi dengan prilaku kerja tertentu. Oleh karena itu maka identifikasi karakteristik para pekerja yang berhasil merupakan suatu informasi yang berguna dalam membuat individu memilih karir.
3. Kurikulum sekolah yang berbeda akan menuntut kapasistas dan minat yang berbeda dan hal ini dapat ditentukan. Individu akan belajar dengan lebih mudah dan efektif apabila potensi dan bakatnya sesuai dengan tuntutan kurikulum.
4. Baik siswa maupun konselor hendaknya mendiagnosa potensi siswa untuk mengawali penempatan dalam kurikulum atau pekerjaan. Hasil diagnosis juga dapat dijadikan dasar memprogram proses belajar mengajar.
5. Setiap omng mempunyai kecakapan dan keinginan untuk mengidentifikasi secara kognitif kemampuannya sendiri. Individu berusahan untuk mendapatkan dan memelihara kehidupannya dan memanfaatkan kecakapannya dalam mencapai kepuasan kerja dan kehidupan rumah tangga. Masih berkaitan dengan asumsi dasar teori trait- faktor, Winkel mengatakan sebagai berikut :
1. Setiap individu mempunyai sejumlah kemamuan dan potensi, seperti taraf intelegensi umum, bakat khusus, taraf kreatifitas, wujud minat serta keterampilan, yang bersama- sama membentuk suatu pola yang khas untuk individu itu. Kemampuan dan variasi potensi itu merupakan ciri-ciri kepribadian (traits) yang telah agak stabil sesudah masa remaja dilewati dan dapat diidentifikasikan melalui tes-tes psikologis. Data hasil testing memberikan gambaran deskriptif tentang individualitas seseorang yang lebih dapat diandalkan dari pada hasil instrospeksi atau refleksi terhadap diri sendiri.
2. Pola kemampuan dan potensi yang tampak pada seseorang menunjukkan hubungan yang berlainan dengan kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada seorang pekerja diberbagai bidang pekerjaan. Begitu juga wujud minat yang dimiliki seseorang menunjukkan hubungan yang berlainan dengan pola minat yang ditemukan pada orang berkarir diberbagai bidang pekerjaan. Dengan demikian dibutuhkan informasi jabatan (vocational information) yang tidak hanya mendeskrispsikan tugas-tugas yang dilakukan, tetapi menggambarkan pula pola kualifikasi dalam kepribadian pekerja yang harus dipenuhi supaya mencapai sukses dalam suatu bidang pekerjaan.
3. Sesuai dengan pola berfikir pada butir 2 di atas, kurikulum suatu program studi menuntut sejumlah kualifiksi tertentu. Siswa akan belajar dengan lebih mudah dan dengan hasil yang lebih memuaskan jika pola kemampuan dan minatnya sesuai dengan pola kualifikasi tertentu yang dituntut dari siswa yang mengikuti program studi tertentu.
Dengan demikian informasi pendidikan (educational information) yang dibutuhkan bukan hanya mendeskripsikan isi dari suatu program studi, tetapi juga menggambarkan pola kualifikasi (human capacities) yang dituntut. Informasi ini harus bersifat obyektif . Diagnosis terhadap pola kemampuan dan minat yang dimiliki seseorang harus mendahului penerimaan dan penempatan dalam program studi tertentu. Diagnosis atau analisis psikologis ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan aneka alat tes yang teruji.
4. Setiap individu mampu, berkeinginan dan berkecenderungan untuk mengenal diri sendiri serta memanfaatkan pemahaman diri itu dengan berfikir secara baik, sehingga dia akan menggunakan seluruh kemampuan semaksimal mungkin dan dengan demikian bisa mengatur kehidupannya sendiri secara dengan memuaskan.3
3 W.S.Winkel, Op. Cit, hlm. 388
D. Proses Konseling dalam Teori Trait-Factor
Menurut teori trait-factor peranan konselor dalam teori ini adalah memberitahu klien tentang berbagai kemampuannnya yang diperoleh konselor malalui hasil testing. Berdasarkan hasil testing pula ia mengetahui kelemahan dan kekuatan pribadi klien, sehingga dapat meramalkan jabatan apa atau jurusan apa yang cocok bagi klien. Konselor membantu klien menentukan tujuan yang akan dicapainya sesuai dengan hasil tes. Juga dengan memberitahuan sifat dan bakat klien, maka klien bisa mengelola hidupnya sendiri sehingga dapat hidup lebih berbahagia. Jadi peranan konselor adalah memberitahukan, memberi informasi, mengarahkan, karena itu pendekatan ini disebut kognitif rasional.
Menurut Williamson hubungan konseling merupakan hubungan yang akrab, sangat bersifat pribadi dari hubungan tatap muka, kemudian konselor bukan hanya membantu individu mengembangkan individualitas apa saja yang sesuai dengan potensinya, tetapi konselor harus mempengaruhi klien berkembang ke satu arah yang terbaik baginya. Konselor memang tidak menetapkan, tetapi hanya cara yang baik memberi pengaruh. Kerena ini pula aliran ini disebut konseling yang direktif.
Proses konseling model trait-factor dibagi menjadi lima tahapan yaitu:
1. Analisis
Terdiri dari pengumpulan informasi dan data mengenai klien. Sebelum konseling dilaksanakan, baik klien maupun konselor harus mempunyai informasi yang dapat dipercaya, valid dan relevan untuk mendiagnosa pembawaan, minat motif, kesehatan jasmani, keseimbangan emosional dan sifat-sifat lain yang memudahkan atau mempersulit penyesuaian yang memuaskan baik di sekolah maupun dalam pekerjaan. Alat analisis yang dapat digunakan adalah: (l) catatan kumulatif. (2) wawancara, (3) format distribusi waktu, (4) otobiografi, (5) catatan anekdot dan (5) tes psikologis. Selain itu studi kasus dapat merupakan alat analisis mapun metode untuk memadukan semua data dan terdiri dari catatan komprehensif yang mencakup keadaan keluarga, perkembangan kesehatan, pendidikan maupun pekerjaan serta minat rekreasi dan sosial serta kebiasaan-kebiasaan. Selain mengumpulkan data obyektif konselor juga memperhatikan cita-cita dan sikap klien. Bagaimana ia mendekati permasalahan, menyatakan pula cara hidupnya. Kalau klien memperlihatkan sikap kooperatif, maka ia dapat bekerjasama dengan konselor.
2. Sintesis
Merupakan langkah untuk merangkum dan mengatur data dari hasil analisis sedemikian rupa sehingga menunjukkan bakat klien, kelemahan serta kekuatannya, penyesuaian diri maupun ketidak sanggupan penyesuaian diri.
3. Diagnosis
Sebenarnya merupakan langkah pertama dalam bimbingan dan hendaknya dapat menemukan ketetapan dan pola yang menuju kepada permasalahan, sebab-sebabnya serta sifat- sifat klien yang berarti dan relevan yang berpengaruh kepada proses penyesuaian diri.
Diagnosis ini melalui tiga langkah penting yaitu :
Pertama, identifikasi masalah, yang sifatnya deskriptif, misalnya dengan menggunakan kategori Bordin atau Pepinsky. Kategori diagnostik Bordin ialah:
a. dependence atau ketergantungan
b. lack of information atau kurangnya informasi c. self-conflict atau konflik diri
d. choise-anxiety atau kecemasan dalam membuat pilihan Kategori diagnostic Pepinsky
a. lack of assurence atau kurang dukungan b. lack of information atau kurangnya informasi c. lack of skill atau kurangnya keterampilan d. dependence atau ketergantungan
e. self-conflict atau konflik diri
Kedua, menentukan sebab-sebab, yang mencakup pencaharian hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa depan yang dapat menerangkan sebab-sebab gejala. Konselor menggunakan intuisinya yang dicek oleh logika, oleh reaksi klien dan oleh uji coba dari program kerja berdasarkan diagnosis sementara.
Ketiga, prognosis, yang sebenarnya terkandung di dalam diagnosis, misalnya diagnosisnya kurang cerdas, prognosisnya menjadi kurang cerdas untuk pekerjaan sekolah yang sulit, sehingga mungkin sekali gagal kalau ingin belajar menjadi dokter. Kalau klien belum sanggup berbuat demikian, maka konselor bentanggung jawab dan membantu klien untuk untuk mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab untuk dirinya sendiri, yang berarti dia mampu dan mengerti secara logis tetapi secara emosional belum mau menerima.
4. Konseling
Konseling menurut Koestoer merupakan suatu hubungan yang sengaja dilakukan dengan manusia lain, dengan maksud agar dengan berbagai cara psikologis kita dapat mempengaruhi beberapa fase kepribadiannya sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh sesuatu efek tertentu.4 Dalam pengertian lain konseling merupakan hubungan membantu klien untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber di luar dirinya, baik di lembaga mapun sekolah dan masyarakat dalarn upaya mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuannya. Konseling juga merupakan usaha untuk menerapkan metode sebab akibat dari analisis kepada semua fase kehidupan dan prilaku sebagai …”a generalized method of learning to deal with all kinds of situations”.5 Konsep konseling yang lebih mudah untuk dipahami adalah adalah usaha untuk membantu klien sehingga lebih siap untuk memecahkan masalah situasi penyesuaiannya sebelum begitu jauh terlibat dalam konflik diri dan penilaiannya sehingga membutuhkan terapi yang dalam dan rumit. Dalam kaitan ini terdapat lima jenis konseling yaitu :
a.
belajar terpimpin untuk menuju pengertian dirib.
mendidik kembali atau mengajar kembali sesuai dengan kebutuhan individu sebagai alat untuk mencapai tujuan kepribadiannya dan penyesuaian hidupnyac.
bantuan pribadi dari konselor supaya kline mengerti dan terampil dalam menerapkan prinsip dan teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari-harid.
mencakup hubungan dan teknik yang bersifat menyembuhkan dan efektife.
bentuk mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyaluran.5. Tindak lanjut
Mencakup bantuan klien dalam menghadapi masalah baru dengan meningatkannya kepada masalah sumbernya sehingga menjamin keberhasilan konseling, teknik yang digunakan konselor harus disesuaikan dengan individualis klien, mengingat bahwa setiap individu untuk sifatnya, sehingga tidak ada teknik yang baku yang berlaku untuk semua
E. Teknik Konseling Trait-Factor
4 Koestoer Partowisastro, Bimbingan Penyuluhan di Sekolah-sekolah, Erlangga, Jakarta 1987, hlm. l6 5 Petterson, C.H., Theories of Counseling and Psychotherapy, Happer & Row , New York, 1973, hlm. 55
Konseling tidak dibatasi pada jenis konflik tertentu, oleh karena itu konseling mencakup berbagai teknik yang relevan dan sepadan dengan hakikat masalah klien dan situasi yang dihadapi. Keragaman individu memunculkan keragaman teknik konseling. Menurut Williamson dalam Petterson disebutkan bahwa di dalam teknik konseling "tidak ada teknik tertentu yang dapat digunakan untuk konseling kepada seluruh siswa" dan "arah konseling bersifat individual".6 Teknik konseling harus disesuaikan dengan individualitas klien, dan kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa setiap masalah menuntut fleksibilitas dan keragaman konseling.
Teknik konseling bersifat khusus bagi individu dan masalahnya. Setiap teknik hanya dapat digunakan bagi masalah dan klien secara khusus dan teknik-teknik yang digunakan dalam proses konseling adalah :
1. Pengukuran hubungan intim (rapport). Konselor harus menerima klien dalam hubungan yang hangat, intim, besifat pribadi, penuh pemahaman dan terhindar dari hal-hal yang mengancam klien. Koestoer menyebutkan bahwa dalam rapport paling tidak terdapat tiga hal yaitu (1) menunjukkan cooperatif yang optimal, (2) berikhtiar sebaik-baiknya untuk berhasilnya konseling dan (3) berikhtiar sungguh-sungguh untuk mengatasi hambatan inhibition yang normal, supaya dengan cara semacam ini dapatlah diperlihatkan kepribadian yang sebenarnya.7
2. Memperbaiki pemahaman diri. Klien harus memahami kekuatan dan kelemahan dirinya dan harus dibantu untuk mau menggunakan kekuatannya dan mengatasi kelemahannya. Hal ini menuntut konselor untuk menfasirkan data secermat mungkin.
Penafsiran data dan diagnosis ini dilakukan bersama-sama dengan klien, namun hendaknya konselor menghindari untuk menunjukkan hasil profil tes kepada klien.
Moh' Surya menyatakan bahwa pemahaman terhadap klien meliputi : (1) identitas diri, (2) kondisi jasmaniah dan kesehatan, (3) kapasitas dan kecakapan, (4) sikap dan minat, (5) watak dan temperamen, (6) aspirasi sekolah dan pekerjaan, (7) aktivitas sosial, (8) hobi dan pengiaian waktu senggang, (9) kelainan-kelainan, keluarbiasaan yang dimiliki individu dan (10) latar belakang keluarga. 8
6 Ibid, hlm. 36
7 Koestoer Partowisastro, Op. Cit, hlm. 26
8 Moh. Surya, Rochman, Pengantar Bimbingan dan Penyuluian, Depdikbud, 1986, hlm. 60
3. Pemberian nasihat atau perencanaan program kegiatan. Konselor mulai bertolak dari pilihan, tujuan, pandangan atau sikap klien dan kemudian menunjukkan data yang mendukung atau tidak mendukung dari hasil diagnosis. Konselor mempertimbangkan evidensi dan dia menjelaskan mengapa dia memberikan nasihat seperti itu kepada klien. Dalam hal ini klien harus siap menerima nasihat. Ada tiga metode pemberian nasihat yang dapat digunakan konselor yaitu; (1) direct advising atau nasihat langsung, dimana konselor secara terbuka dan jelas menyatakan pendapatnya.
Pendekatan ini dapat digunakan kepada klien yang berpegang teguh kepada pilihan atau kegiatannya, yang oleh konselor diyakini bahwa keteguhan klien itu akan membawa kegagalan bagi dirinya, (2) metode persuasive, dengan menunjukkan pilihan pasti secara jelas. Konselor menata evidensi secara logis dan beralasan sehingga klien melihat alternative tindakan yang mungkin dilakukan, (3) metode penjelasan, yang merupakan metode yang paling dikehendaki dan memuaskan.
Konselor secara berhati-hati dan perlahan-lahan menjelaskan data diagnostik dan menunjukkan kemungkinan situasi yang menuntut penggunaan potensi klien. Metode ini merupakan pemikiran yang hati-hati dan mendetil tentang implikasi data individu.
4. Melaksanakan rencana, yaitu menetapkan pilihan atau keputusan. Konselor dapat memberikan bantuan secara terarah di dalam implementasinya.
5. Menunjukkan kepada petugas lain atau referal, Jika konselor merasa tidak mampu menangani masalah klien, maka dia harus menunjuk klien kepada petugas lain yang lebih berkompeten untuk membantu klien.
Selanjutnya, senada dengan langkah-langkah yang dijeklaskan di atas, konselor yang berpegang pada pendeketan trait-factor ini mengikuti rangkaian langkah kerja yang agak mirip dengan pelaksanaan studi kasus dan pelayanan dokter kepada seorang pasien, yaitu ; analisis atau pengumpulan data yang relevan; sistetis atau organisasi dari data itu untuk memperoleh gambaran selengkap mungkin tentang klien; diagnosis atau kesimpulan tentang semua unsur pokok dalam masalah klien dan sebab-sebabnya; prognosis atau perkiraan tentang perkembangan klien selanjutnya serta berbagai implikasi dari hasil diagnosis; konseling atau wawancara perseorangan untuk memikirkan penyelesaian terhadap problem yang dihadapi;
tindak lanjut (follow up) atau bantuan kepada klien bila timbul masalah lagi dan evaluasi terhadap efektifitas konseling.
F. Ilustrasi Penerapan Trait-Factor dalam Pendidikan
Seorang siswa yang sudah duduk di kelas III SMA belum dapat menentukan pilihan program studi yang dipilih di perguruan tinggi setelah ia tamat nanti. Dalam konseling disepakati bahwa akan dikumpulkan data tentang siswa yang relevan, yaitu berkaitan dengan:
taraf intelegensi, bakat khusus dan minat melalui testing psikologis (analisis). Data hasil testing yang masuk menyatakan bahwa siswa tersebut mempunyai taraf intelegensi tinggi, berbakat khusus dalam bidang studi matematika, cukup mampu dalam pengamatang ruang, dan mempunyai minat yang mengarah pada pekerjaan sosial; maka tampak pada siswa itu suatu pola kemampuan dan minat tertentu (sintesis). Siswa itu dahulu pernah mengatakan bahwa dia pemah memikirkan program studi teknik sipil, arsitektur dan keguruan di bidang matematika.
Sebanarnya ada kecocokan antara milik/bekal kemampuan kognitif dengan kualifikasi yang dituntut dalam ketiga bidang studi itu, tetapi hanyalah terdapat kecocokan dalam arah minat dengan bidang keguruan. Dengan demikian inti problemnya adalah menentukan atau memilih suatu bidang studi yang menuntut pola kualifikasi yang sesuai, baik dengan kemampuan di bidang kognitif maupun dengan arah minat (diagnosis). Implikasi dari hasil diagnosis itu adalah supaya siswa meninjau kecocokan antara pola kualifikasi yang dituntut dalam ketiga bidang di atas dengan pola kemampuan dan minat yang telah diidentifikasikan pada dirinya sendiri (prognosis). Peninjauan itu dilakukan dalam wawancara dengan konselor sampai siswa akhirnya memilih program studi Pendidikan Matematika di IKIP S 1 (konseling). Klien menghadap kembali jika temyata muncul kesulitan dalam pelaksanaan keputusannya (follow up). Konseling menuntut pendekatan trait-faktor juga dapat diterapkan terhadap masalah lain bila akan digunakan berbagai macam tes psikologis (konseling klinikal), tetapi dalam praktek lapangan di institusi pendidikan corak konseling ini paling sering diterapkan terhadap permasalahan pilihan bidang studi dan/atau bidang pekerjaan.
G. Kesimpulan
Teori trait-factor merupakan model layanan bimbingan yang mengutamakan peran konselor sehingga disebut dengan istilah konseling direktif atau conselor centered. Selain menganggap bahwa manusia itu adalah berpotensi dan positif, juga kelebihan teori ini tertelak pada data dan fakta individu yang digunakan untuk melakukan layanan konseling, dan data atau fakta tersebut dihasilkan dari berbagai testing psiklogis, sehingga layanan bimbingan konseling bisa berhasil secara maksimal.
Penekanan yang diberikan pada diagnosis mengandung makna sebagai suatu perhatian terhadap masalah dan sumbernya dan mengarah kepada upaya mengkreasikan teknik-teknik yang digunakan untuk mengatasinya begitu juga penekanan aspek kognitif merupakan upaya menyeimbangkan pandangan lain yang lebih menekankan aspek afektif atau emosional sehingga semua aspek dalam segala sisi kehidupan individu bisa mendapat layanan konseling yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
C.H. Petterson. 1973. Theoris of Counseling and Psychotherapy. New York : Happer & Row Partowisastro, Koestoer. 1987. Bimbingan Penyulusan di Sekolah-Sekolah, Jakarta: Erlangga Shertzer & Stone. 1980. Fundamentals of Cpunseling. Boston : Houghton Mifflin Company Surya, Moh., Rochman. 1986. Pengantar dan Penyuluhan. Depdikbud
Winkel, W.S. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo