• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK (Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK (Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

i

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

(Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Hukum

Kekhususan Hukum Pidana

Diajukan Oleh:

Akhmad Najmi Arzaq NIM: 30301900027

PROGRAM STUDI (S.1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2023

(2)

ii

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

(Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)

Diajukan oleh:

Akhmad Najmi Arzaq NIM: 30301900027

Pada tanggal, 30 Juli 2023 telah Disetujui oleh:

Dosen Pembimbing:

Dr. H. Aji Sudarmaji S.H., M.H NIDK: 88-4297-0018

(3)

iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : AKHMAD NAJMI ARZAQ

NIM : 30301900027

Fakultas : Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa, karya tulis yang berjudul:

“TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

(Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)”

Adalah benar hasil karya saya dan penuh kesadaran bahwa saya tidak melakukan tindak plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika dikemudian hari saya terbukti

melakukan tindakan plagiasi, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Semarang, 30 Juli 2023 Yang menyatakan

AKHMAD NAJMI ARZAQ

NIM : 30301900027

(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

( Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)

Dipersiaplan dan disusun oleh:

AKHMAD NAJMI ARZAQ NIM : 30301900027

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Pada Tanggal, 15 Agustus 2023

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat dan lulus

Tim Penguji

Ketua,

Dr. Hj. Siti Rodhiyah Dwi Istinah, S.H., M.H NIDN : 06-1306-6101

Anggota Anggota

Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H Dr. H. Aji Sudarmaji, S.H., M.H

NIDN : 06-0707-7601 NIDK : 88-4297-0018

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum UNISSULA

Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H.

NIDN: 06-0707-7601

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

TIDAK ADA UJIAN YANG TIDAK BISA DISELESAIKAN.

TIDAK ADA KESULITAN YANG MELEBIHI BATAS KESANGGUPAN.

KARENA, “ALLAH TIDAK AKAN MEMBEBANI SESEORANG MELAINKAN SESUAI DENGAN KADAR KESANGGUPANNYA”

Q.S AL- BAQARAH: 286

PERSEMBAHAN Skripsi ini dipersembahkan untuk:

1. Bapak (Herbagus Tri Noeroso, S.E) dan Ibu (Nurul Amelia, S.E) tercinta;

2. Dosen Pembimbing saya (Bapak Dr. H. Aji Sudarmaji S.H., M.H) 3. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum UNISSULA.

(6)

vi

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : AKHMAD NAJMI ARZAQ NIM : 30301900027

Fakultas : Hukum

Dengan ini menyerahkan Karya Ilmiah berupa Skripsi yang berjudul:

“TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

(Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)”

Menyetujui menjadi Hak Milik Universitias Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang serta memberikan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif untuk disimpan, dialih mediakan, dikelola dalam pangkalan data, dan dipublikasi di internet atau media lain untuk kepentingan akademis selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai pemilik Hak Cipta.

Pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh. Apabila dikemudian hari ada pelanggaran Hak Cipta / Plagiarisma dalam Karya Ilmiah ini, maka segala bentuk tuntukan hukum yang timbul akan saya tanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak Universitas Isltam Sultan Agung Semarang .

Semarang, 30 Juli 2023 Yang menyatakan

AKHMAD NAJMI ARZAQ NIM : 30301900027

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Tinjauan Yuridis Putusan Majelis Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pada Anak” (Studi kasus Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg).

penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi, yakni:

1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H. S.E. Akt. M. Hum., selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H. M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

3. Dr. Hj. Widayati, S.H. M.H., selaku Wakil Dekan I dan Dr. Arpangi,S.H.

M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

4. Dr. Achmad Arifullah, S.H. M. Hum., selaku dosen wali ketua Prodi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang Ir. H. Rachmat Mudiyono, M.T., Ph. D selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

5. Dr. H Aji Sudarmaji.S.H., M.H selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing saya dalam penulisan skripsi ini.

6. Novrida Diansari.S.H selaku Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang telah bersedia menjadi narasumber dalam riset dan penelitian untuk memenuhi keperluan dalam penulisan karya ilmiah (skripsi) penulis.

(8)

viii

7. Segenap teman–teman angkatan 2019 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan dari bantuan yang diberikan kepada Penulis, hingga selesainya Tugas Akhir dan menjadikan amal ibadah yang mulia disisi–

Nya,

Allahuma’Aamiin.

Kata maaf yang sebesar–besarnya disampaikan oleh Penulis apabila dalam penyusunan skripsi terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan yang tidak disengaja.

Maka dari itu, besar harapan penulis atas kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan bersama dan semoga skripsi ini agar dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya dalam perkembangan keilmuan dalam bidang hukum pidana.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 30 Juli 2023

AKHMAD NAJMI ARZAQ

NIM : 30301900027

(9)

ix DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xi

Abstract ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian... 8

E. Terminologi ... 9

F. Metode Penelitian... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19

A. Pngertian Tindak Pidana ... 19

B. Pengertian Anak ... 21

C. Pengertian Pemidanaan ... 24

D. Tujuan Pemidanaan ... 25

E. Pengertian Pertimbangan Hakim dalam Putusan ... 27

F. Pengertian Putusan Hakim ... 32

G. Pengertian Kekerasan Seksual pada Anak ... 35

H. Teori Pembuktian (bewics theorie) ... 38

I. Tindak Pidana dalam Perspektif Islam ... 41

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak (studi kasus perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg). ... 46

B. Hambatan–hambatan dan solusi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak (studi kasus perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg). ... 75

BAB IV PENUTUP ... 80

(10)

x

A. SIMPULAN ... Error! Bookmark not defined.

B. SARAN ... 82 DAFTAR PUSTAKA ... 83

(11)

xi ABSTRAK

Tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak adalah salah satu tindak pidana khusus yang aturan dan hukuman yang berlaku khusus di Indonesia.

Pelecehan seksual terhadap anak merupakan ancaman yang serius bagi keamanan dan ketertiban umum. Akar permasalah pelecahan seksual terhadap anak adalah sedikitnya pemahaman mengenai seksual dan kesadaran akan pribadi masing masing untuk menjaga hawa nafsu sehingga banyak sekali pelaku yang melampiaskan nafsu kepada anak yang dianggapnya kurang atau tidak mempunyai power untuk melawan. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak, khususnya pada Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg dan untuk mengetahui bagaimana hambatan dan solusi bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak, pada Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan Yuridis Sosiologis dengan menggunakan sumber data primer yang berasal dari wawancara dan observasi, dan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh Penulis didapat melalui studi wawancara, observasi, putusan pengadilan dan studi pustaka.

Hasil penelitian menunjukan bahwa tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak pada perkara Nomor: 56/Pid.Sus/2023/PN Smg, putusan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa telah melangar Pasal 81 Ayat (2) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, sehingga putusan majelis hakim menjatuhka hukuman untuk terdakwa 6 tahun dan 9 bulan serta denda Rp.

800.000,00 dengan ketentuan jika tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan masing – masing 4 bulan. Adapun hambatan yang dihadapi oleh majelis hakim yaitu anak yang tidak terbuka dalam memberikan keterangan, tidak adanya penyidik anak, dan tidak adanya ruangan khusus untuk anak saat memberikan keterangan di Pengadilan Negeri Semarang.

Kata kunci: Anak, kekerasan seksual, pertimbangan hakim, tindak pidana.

(12)

xii Abstract

The crime of sexual abuse of children is a special crime whose rules and punishments apply specifically in Indonesia. Sexual abuse of children is a serious threat to security and public order. The root of the problem of sexual abuse of children is the lack of understanding about sexuality and awareness of each other's personality to protect their lusts so that many perpetrators take their passions on children whom they deem lacking or do not have the power to fight back. This research aims to find out the legal considerations by judges in imposing sentences on perpetrators of sexual violence against children, especially in the case study Case Number 56/Pid.Sus/2023/PN Smg and to find out what are the obstacles and solutions for judges in passing decisions on perpetrators of crimes of sexual violence against children, in the case study Case Number 56/Pid.Sus/2023/PN Smg.

The research method used is a Sociological Jurisdis approach using primary data sources derived from interviews and observations, and secondary data in the form of primary, secondary and tertiary legal materials. The data collection technique used by the author was obtained through interviews, observations, court decisions and literature studies.

The results of the study show that the crime of sexual violence against children in case Number: 56/Pid.Sus/2023/PN Smg, the decision on the crime of sexual violence against children has been legally and convincingly proven that the defendant has violated Article 81 Paragraph (2) of the Law – Law Number 23 of 2002 concerning child protection, so that the panel of judges' decision sentenced the defendant to 6 years and 9 months and a fine of Rp. 800,000.00 with the condition that if not paid it is replaced with imprisonment for 4 months each. The obstacles faced by the panel of judges were children who were not open in giving information, there were no child investigators, and there was no special room for children when giving statements at the Semarang District Court.

Keywords: Children, sexual violence, judge's consideration, crime.

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Hal ini secara jelas disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang rumusannya “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 1 Negara hukum menghendaki agar hukum ditegakkan oleh semua anggota masyarakat. Artinya, setiap perbuatan haruslah didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hukum adalah rangkaian peraturan- peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota-anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib di dalam masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, sehingga anggota-anggota masyarakat dalam memenuhi kepentingannya tersebut mengadakan hubungan-hubungan yang diatur oleh hukum untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai negara hukum.Negara Republik Indonesia memiliki tujuan yang dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia betujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

1 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945, CV. Cahaya Agency: Surabaya, hlm.4.

(14)

2

umum.mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta melakukan perdamaian dunia atas kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tujuan Negara Republik Indonesia yaitu adanya perlindungan bagi masyarakat dan hak-hak masyarakat yang dijamin dalam setiap aspek kehidupan. Namun, yang terjadi di masyarakaat saat ini justru berbanding terbalik dengan tujuan negara kita. Ada banyak macam permasalahan hukum yang mulai terjadi, tingkah laku manusia atau seseorang menjadi semakin menyimpang dan tidak sesuai norma-norma yang ada di dalam masyarakat akhirnya dapat berujung pada terjadinya pelanggaran bahkan kejahatan.

Kejahatan tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, maka dari itu kejahatan harus mendapatkan perhatian khusus.

Kejahatan telah membuat keresahan, mengganggu keamanan, dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu bentuk kejahatan yang terus berkembang dikehidupan masyarakat adalah kekerasan, kekerasan ini merupakan sebuah Tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sewenang-wenang untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Perempuan dan Anak biasanya yang lebih sering menjadi korban karena lemah. Namun, seiring berkembangnya zaman anak bukan saja menjadi korban melainkan juga telah menjadi pelaku tindak pidana kekerasan ini.

Pelecehan seksual terhadap anak merupakan masalah yang sangat memprihatinkan bagi semua kalangan, biasanya dalam kasus ini pelaku merupakan orang-orang yang sudah dikenal korban seperti tetangga atapun

(15)

3

kerabat terdekat, bahkan ada yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan dan karyawan sekolah.2

Penanganan kasus pelecehan seksual terhadap anak, pemerintah membuat kebijakan tentang penanganan khusus untuk mencegah dan melindungi anak sebagai korban seperti yang terdapat dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak bahwa:

“Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pemberian perlindungan hukum kepada anak sebagai korban didasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak salah satunya adalah menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana pelecehan tersebut. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak mengatur tentang bentuk-bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan pada anak yang menjadi korban kejahatan, eksploitasi baik secara ekonomi atau seksual, fisik dan psikis.

Kasus pelecehan seksual pada anak, telah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dalam melakukan penanganan kasus tersebut pemerintah membuat kebijakan yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak di dalam Pasal 76D dan Pasal 76E. Pasal

2 Trini Handayani, “Perlindungan dan Penegakan Hukum Terhadap Kasus Kekerasan Seksual pada

Anak, Jurnal Mimbar Justitia, Vol. II, 02, Juli-Desember 2016, h. 835

(16)

4

76D berbunyi: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Kemudian Pasal 76E berbunyi: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Pelaku pelecehan seksual dapat dijerat dengan menggunakan pasal percabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP atau Pasal 414 sampai dengan Pasal 422 UU 1/2023 dengan tetap memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing- masing. Jika bukti-bukti dirasa cukup, penuntut umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.

Hukum islam belum menjelaskan sanksi untuk memidanakan pelaku pelecehan seksual, apakah ta‟zir, had, seperti hukuman pada perbuatan zina, karena belum dijelaskan secara terperinci dalam nash. Oleh karena itu bagi pelaku pelecehan seksual akan dikenakan hukuman ta‟zir. Bentuk hukuman ta‟ir ini akan diserahkan kepada penguasa atau hakim yang berhak untuk memutusan suatu perkara. 3

Memutus perkara, para hakim harus bersikap adil dengan tetap menghormati manusia sebagai seorang hamba dan khalifatullah di muka bumi, bukan sebagai obyek hukum. Oleh karena itu sudah seharusnya hakim menjadi “USWATUN HASANAH” (model hakim yang benar, adil dan

3 Imam Mashudin, 2016, Sanksi Tindak Pidana Pelecehan Seksual terhadap Aak dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Semarang.

(17)

5

mandiri) seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dengan demikian citra pengadilan dan wibawa hakim dapat diperbaiki, kepastian hukum dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan negara tetap berjalan diatas dasar hukum bukan diatas dasar kekuasaan. Dalam kerangka demikian itu, maka peran hakim menjadi strategis, ia tidak hanya menggali ilmu hukum dari pengalaman empiris dan menjadi model hakim yang dapat dicontoh (Uswah) oleh masyarakat, tetapi juga sebagai pembaru citra lembaga peradilan dan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. “ia tidak hanya mengerjakan pekkerjaan rutinnya memutus perkara, tetapi juga senantiasa melakukan refleksi teoritis dan abstraksi empiris secara terus menerus sehingga dapat meahirkan “Ijtihad” yang inovatif dalam pembangunan hukum di Negara yang kita cinta ini”.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (Harun Arrasyid). Untuk itu harus dijamin oleh Undang – Undang tentang kedudukan dari hakim itu sendiri, lembaganya, dengan tujuan agar didalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hakim sesuai dengan prinsip independent of judiciary harus bersifat mandiri tidak boleh ada intervensi dari lembaga – lembaga lain apalagi pleh pemerintah/penguasa, hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 24 UUD 1945, dan sekarang dalam amandemen Pasal 24 Ayat (1) dan didalam Undang – Undang pokok kekuasaan kehakiman.

Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakina bahwa suatu tindak pidana benar

(18)

6

– benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya. Alat bukti yang sah menurut sistem peradilan pidana di Indonesia ialah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tentang keyakinan hakim, hakim tidak boleh menjatuhkan suatu putusan kepada seseorang kecuali sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah kemudian mendapatkan suatu keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan Terdakwa lah yang salah melakukanya. Kaitanya dengan digunakanya keyakinan sebagai unsur pembuktian maka ecara teori dapat dijelaskan 4 (empat 9 teori pembuktian (bewics theorie) yaitu: pertama, teori pembuktian positif (positief wettelijk bewijstheorie), keyakinan semata (convinction intime), keyakinan dalam batas-batas logis (conviction rasionee), dan teori pembuktian secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie).

Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 Ayat (1) menegaskan, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidak berulangan.

(19)

7

Putusan pemidanaan ditentukan dalam Pasal 193 Ayat (1) KUHAP, putusan pemidanaan adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan. Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap anak adalah salah satu tindak pidana khusus yang aturan dan hukuman yang berlaku khusus di Indonesia. Pelecehan seksual terhadap anak merupakan ancaman yang serius bagi keamanan dan ketertiban umum. Akar permasalah kekerasan seksual terhadap anak adalah sedikitnya pemahaman mengenai seksual dan kesadaran akan pribadi masing masing untuk menjaga hawa nafsu sehingga banyak sekali pelaku yang melampiaskan nafsu kepada anak yang dianggapnya kurang atau tidak mempunyai power untuk melawan dan juga kasus kekerasan seksual pada anak ini kian meningkat tiap tahunnya, khususnya diwilayah Kota Semarang.

Atas dasar pemikiran dan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Putusan Majelis Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pada Anak (Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg)”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan diatas, penulis merummuskan beberapa permasalahan, antara lain:

1. Bagaimana Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak?

(Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg).

(20)

8

2. Bagaimana hambatan – hambatan dan solusinya bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak?

(Putusan Perkara Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN Smg).

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak.

2. Untuk mengetahui hambatan – hambatan dan solusinya bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak.

D. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum kepidanaan khususnya mengenai penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Dan diharapkan dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum kepidanaan

(21)

9

khususnya mengenai penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak. Dan diharapkan dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. Dan juga dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan berguna terutama bagi:

a) Institut Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Hasil penelitian ini diharapkan menambah karya ilmiah yang dapat dijadikan sebagai literatur bagi mahasiswa ataupun dosen yang ingin melakukan penelitian serupa.

b) Sebagai pedoman dan masukan bagi semua pihak terutama masyarakat agar lebih mengawasi anak agar tidak terjadi tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak yang akhirakhir ini lebih sering terjadi. Sebagai bahan informasi semua pihak yang berkaitan dengan perkembangan ilmu hukum kepidanaan dalam hal ini dikaitkan dengan tindak pidana kekerasan seksual pada anak.

E. Terminologi 1. Tinjauan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tinjauan berasal dari kata tinjau yang berarti melihat, menjenguk, memeriksa dan meneliti untuk kemudian menarik kesimpulan.

(22)

10 2. Yuridis

Yuridis berdasarkan kamus hukum berarti menurut hukum atau secara hukum.44 Pengertian yuridis dari para ahli adalah hukum, kata ini banyak digunakan untuk aspek yuridis. Di Indonesia Aspek yuridis adalah aspek hukum Pancasila. Dalam hal penulisan karya ilmiah pengertian yuridis adalah segala hal yang memiliki arti hukum dan disahkan oleh pemerintah.5 Berdasarkan pengertian di atas kajian yuridis dapat disimpulkan menjadi penyelidikan tentang sesuatu secara hukum.

3. Putusan

Pengertian putusan secara bahasa disebut dengan vonnis (Belanda) atau al-aqda’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”.

Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa”.6 Definisi Putusan yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama menjelaskan bahwa: “Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Menurut Sudikno Mertokusumo, Putusan adalah suatu pernyataan yang diberikan oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang

4 Suharso dan Ana Retnoningsih, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lux, Semarang, Widya Karya, hlm.644.

5 Pengertian Menurut Para Ahli, Pengertian Yuridis,

http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-yuridis/, diakses pada hari senin,27 februari 2023, pada pukul 15:21

6 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006),203.

(23)

11

terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.

4. Hakim

Menurut undang-undang Republik Indonesia nomer 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.7

5. Pelaku

Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga.

6. Tindak Pidana

Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap

7 UU RI No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehamikan

(24)

12

ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.8

7. Kekerasan

Kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal (yang bersifat,berciri) keras,perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.9

8. Seksual

Seksual dapat didefinisiakan sebagai bentuk perilaku atau kekuatan hidup yang mendorong untuk berbuat yang sifatnya seksual, baik dengan tujuan reproduksi atau tidak.10

9. Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dlam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai menusia seutuhnya, lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,

8 Pengertian menurut para ahli,pengertian pidana,

https://fh.unikama.ac.id/id/2017/05/24/pengertian-hukum-

pidana/#:~:text=Menurut%20Sudarto%2C%20pengertian%20Pidana%20sendiri,sengaja%20agar

%20dirasakan%20sebagai%20nestapa

9 Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, PN.Balai Pustaka, Jakarta,2003.Hal.550

10 Noviana, “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya”

(25)

13

memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.11

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam pembuatan skripsi adalah sebagai berikut:

a) Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah menekankan penelitian yang bertujuan memperoleh pengetahuan hukum secara empiris dengan jalan terjun langsung ke objeknya.

b) Spesifikasi Penulisan

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Semarang yang terletak di Jalan Siliwangi No.512, Kembangarum, Kec.

Semarang Barat, Kota Senarang, Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa di Pengadilan Negeri Semarang tersedia data yang berkaitan dengan tema penelitian.

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptis Analisis yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya yang pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa

11 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 8.

(26)

14

adanya. dan penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.

c) Jenis dan Sumber Data Penelitian a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh peneliti dari sumber utama penelitiannya di lapangan melalui beberapa cara seperti wawancara kepada narasumber dan observasi langsung di lapangan untuk mengetahui pola – pola perilaku yang berhubungan dengan penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang bersifat studi perpustakaan.

Studi perpustakaa merupakan sebuah cara dalam memperoleh data secara tidak langsung yang berguna untuk mendapatkan data – data dan landasan teori yang diperlukan dari obyek penelitian. Studi kepustakaan dilakukan dengan metode research yang berasal dari literature, artikel dan jurnal dari internet, dan dokumen – dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan serta peraturan perundang – undangan mengenai pokok bahasan. Data sekunder dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang- undangan, diantaranya:

(27)

15

- kitab Undang-Undang hukum pidana - kitab Undang-Undang hukum acara pidana

- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.

2. Bahan Hukum Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, teori, pendapat, atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahn untuk memperoleh informasi tentang hal- hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan dan wawancara.

3. Bahan Hukum Tersier

Contoh Bahan Hukum Tersier adalah katalog perpustakaan, ensiklopedia dan kamus hukum.

d) Lokasi dan Subjek Penelitian

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Semarang yang terletak di Jalan Siliwangi No.512, Kembangarum, Kec.

Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa di Pengadilan Negeri Semarang tersedia data yang berkaitan dengan tema penelitian.

(28)

16

Subjek penelitian adalah pelaku dalam penelitian. Adapun Subjek dalam penelitian ini adalah Pengadilan Negeri Semarang.

e) Teknik Pengumpulan Data

Teknik perancangan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan Data Primer 1. Wawancara

Wawancara adalah pertemuan yang dilakukan oleh dua orang untuk bertukar informasi maupun suatu ide dengan cara tanya jawab, sehingga dapat dikerucutkan menjadi sebuah kesimpulan atau makna dalam topik tertentu. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara semi struktur ditujukan agar narasumber memberikan pendapatnya secara terbuka dalam mengemukakan pendapat berdasarkan ide – idenya dan peneliti dapat mencatat secara rinci segala informasi yang berasal dari narasumber.

2. Observasi

Observasi adalah sebuah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang diteliti. Observasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui secara riil penerapan – penerapan dalam menentukan putusan dalam persidangan dilokasi penelitian.

b. Pengumpulan Data Sekunder

(29)

17

Studi pustaka dilakukan sebagai sarana memperluas pengetahuan mengenai berbagai konsep yang akan digunakan sebagai dasar atau pedoman proses penelitian.12 Peneliti menggunakan studi kasus kepustakaan dalam teknik pengumpualan data, studi pustaka dalam teknik pengumpulan data ini merupakan jenis data sekunder yang digunakan untuk membantu proses penelitian yaitu dengan mengumpulkan informasi yang terdapat dalam literature buku, jurnal dari internet, surat kabar, karya ilmiah pada penelitian sebelumnya, serta dokumen – dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan serta peraturan perundang – undangan mengenai pokok bahasan.

Tujuan dari studi ini adalah untuk mencari fakta dan mengetahui konsep metode yang digunakan.

A. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini agar lebih jelas untuk dibaca, maka penulis membuat sistematika penulisan skripsi tersebut diatas menjadi 4 (empat) bab sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan peneltian, Terminologi, metodologi penelitian materi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan perluasan dari pembahasan skripsi. Perluasan ini lebih spesifik menuangkan telaah pustaka dalam sub-sub bab penelaahan pustaka. Yang di dalamnya menguraikan tinjauan tentang pengertian tindak

12 Nanang Martono, 2011 “Metode Penelitian Kuantitatif”, Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada, hal 97.

(30)

18

pidana, pengertian anak, pengertian pemidanaan, tujuan pemidanaan, pengertian pertimbangan hakim dalam putusan, pengertian putusan hakim, pengertian kekerasan seksual pada anak, teori pembuktian, pengertian tindak pidana dalam perspektif islam.

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang merupakan jawaban dari perumusan masalah. Dimana dalam penelitian ini membahas tentang pertimbangan, hambatan, dan solusi oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak

BAB 4 PENUTUP

Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.

(31)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pngertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda "strafbaar feit" atau "delict". Dalam bahasa Indonesia disamping istilah tindak pidana juga ada istilah lain yang banyak dipakai yaitu (1) perbuatan pidana, (2) perbuatan yang boleh dihukum, (3) peristiwa pidana, (4) pelanggaran pidana, (5) perbuatan yang dapat dihukum.

Andi Zainal Abidin Farid13 menggunakan istilah delik yang berasal dari bahasa latin delictum dan delicta, karena:

a. Bersifat universal, semua orang didunia ini mengenalnya;

b. Bersifat ekonomis, karena singkat;

c. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana (bukan peristiwa yang dipidana tetapi perbuatannya);

d. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga dengan delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi, orang mati, orang tidak dikenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.

Adami Chazawi, memberikan arti tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan negara kita.14 Dalam hampir seluruh perundangundangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana

13 Andi Zainal Abidin Farid, 2007. Asas-Asas Hukum Bagian I, Bandung, Alumni, hlm.246.

14 Adami Chazawi, 2010. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, PT Raja Grafindo, hlm.67.

(32)

20

tertentu. Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.15

Menurut Simon, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16 Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simons17 bahwa untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);

2. Diancam dengan pidana;

3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Moeljatno lebih cenderung menggunakan istilah "perbuatan pidana"

dengan pengertiannya bahwa Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupaya pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.18 Untuk dapat dikatakan adanya perbuatan pidana menurut Moeljatno harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan

15 Martiman Prodjomidjojo, 1995. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I, Jakarta, Pradnya Pramita, hlm.16.

16 Ibid.

17 Ibid

18 Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, hlm.54.

(33)

21 b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)19

Unsur-unsur tindak pidana menurut pengertian Rancangan KUHP Nasional adalah:20

1. Unsur-Unsur Formal a. Perbuatan sesuatu;

b. Perbuatan iitu dilakukan atau tidak dilakukan;

c. Perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang;

d. Peraturan itu oleh peraturan perundang-undangan diancam pidana.

2. Unsur-Unsur Materiil

Perbuatan itu harus bersifat bertentangan dengan hukum yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

B. Pengertian Anak

Berbagai ketentuan perundang-undangan, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak dan merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu, kepentingan tertentu, dan tujuan tertentu, sehingga perumusan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang pengertian anak tidak memberikan konsepsi yang jelas tentang anak.

19 Ibid,hlm. 57.

20 Andi Sofyan, Nur Azisa, 2016. Hukum Pidana, Makassar, Pustaka Pena, hlm. 99.

(34)

22

Perbedaan tentang pengertian anak dalam peraturan perundang-undangan adalah. Sebagai berikut:

a) Menurut Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindngan anak, mengatakan bahwa anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

b) Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2012, dalam Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) penggolongan anak yang disebut anak yang berhadapan dengan hukum terdiri dari anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Pengertian anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Pasal 1 angka 3 yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam Pasal 1 angka 4 dinyatakan bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana, sedangkan pengertian anak yang menjadi saksi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang selanjutnya

(35)

23

disebut saksi anak adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

c) Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 1 angka 2, menyebutkan: “Anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pemah kawin”. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa dasar atau alasan yang menjadi pertimbangan batasan usia tersebut adalah terutama kepada kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, tahap kematangan pribadi, dan tahap kematangan mental dan seorang anak.

d) Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tidak ada Pasal yang mengatur tentang pengertian atau definisi anak, akan tetapi pada Pasal 1 angka 8 dijelaskan bahwa Anak Didik Pemasyarakatan yaitu Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa anak adalah orang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

(36)

24

e) Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, walaupun seorang anak itu masih berada di dalam kandungan ibunya, anak tersebut tetap dianggap sebagai seorang manusia yang juga memiliki hak asasi yang harus diakui, dihargai, dan dihormati sebagaimana manusia lainnya. Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan tentang definisi anak pada Pasal 1 angka 5, yang unsurnya: "Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".

Walaupun pengertian anak dalam peraturan perundang-undangan itu berbeda-beda tetap perlu diberikan batasan tentang arti dan pengertian anak dalam proses perkara pidana. Dalam masalah ini, Penulis membatasi pengertian anak merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

C. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan didalam hokum Indonesia merupkan suatu cara atau proses untuk menjatuhkan sangsi atau hukuman untuk seseorang yang telah melakukan tindak pidana ataupun pelanggaran. Pemidanaan adalah kata lain dari sebuah penghukuman. Menurut Prof Sudarto, bahwa

(37)

25

penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang hukumanya”.21 . Dalam artian disini menetapkan hukum tidak hanya untuk sebuah peristiwa hukum pidana tetapi bisa juga hukum perdata. Pemidanaan adalah suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan, dimana pemidanaan ditujukan bukan karena seseorang telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Jadi dari pernyataan diatas bisa kita simpulkan bahwa pemidanaan ataupun penghukuman itu adalah sebuah tindakan kepada para pelaku kejahatan yang mana tujuannya bukan untuk memberikan balas dendam kepada para pelaku melainkan para pelaku diberikan pembinaan agar nantinya tidak mengulangi perbuatannya kembali.

D. Tujuan Pemidanaan

Pemidanaan dilaksanakan untuk memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan kejahatan tersebut. Dalam hal ini teori ini juga dapat diartikan sebagai pencegahan terjadinya kejahatan dan sebagai perlindungan terhadap masyarakat.

21 Muladi dan Barda Nawawi A. 1984. Teori – Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

Hal.01

(38)

26

Penganjur teori ini yaitu Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan

“hanya dengan mengadakan ancaman pidana pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan pemjatuhan pidana kepada si penjahat”.22 Mengenai tujuan–tuujuan itu terdapat tiga teori yaitu: untuk menakuti, untuk memperbaiki, dan untuk melindungi. Yang dijelaskan sebagai berikut:23

a. Untuk menakuti:

Teori dari Anselm van Feurbach, hukuman itu harus diberikan sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk melakukan kejahatan.

Akibat dari teori itu ialah hukuman yang diberikan harus seberat–

beratnya dan bisa saja berupa siksaan.

b. Untuk memperbaiki:

Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si terhukum sehingga sehingga di kemudian hari ia menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar peraturan hukum.

c. Untuk melindungi

Tujuan pemidanaan yaitu melindungi masyarakat terhadap perbuatan kejahatan. Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk semntara, maka masyarakat akan diberikan rasa aman dan merasa di lindungi oleh orang–orang yang berbuat jahat tersebut.

Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang kitab Undang–Undang Hukum Pidana pada Pasal 51 Pemidanaan bertujuan:23

22 Dalam Erdianto Efendi, SH. M.Hum. 2011. Hukum Pidana Indonesia. Refika Aditama.

Bandung. 23 bid hal:142

(39)

27

a) mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;

b) memasyaralatkan terpidana dengan mengadalan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;

c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa arnan dan damai dalam masyarakat; dan.

d) menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pasal 52:

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia.

E. Pengertian Pertimbangan Hakim dalam Putusan

Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang dihubungkandengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi. Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula Pasal - Pasal dari peraturan hukum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut.24

Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar

23 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 2023

24 Damang, Definisi Pertimbangan Hukum, dalam http://www.damang.web.id, diakses 10 juli 2023

(40)

28

sebelum memutus kasus. Menurut Rusli Muhammad dalam melakukan pertimbangan hakim ada dua macam yaitu pertimbangan secara yuridis dan non-yuridis:

a. Pertimbangan yuridis

pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh UndangUndang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebut antara lain:

1. Dakwaan Penuntut Umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.

2. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri.

Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, Penuntut Umum ataupun dari penasihat hukum.

3. Keterangan Saksi

(41)

29

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan utama oleh hakim dalam putusannya.

4. Barang-Barang Bukti

Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi:

a. Benda atau tagihan atau terdakwa seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana;

b. Benda Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan;

c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung tindak pidana yang dilakukan.

5. Pasal-Pasal dalam Peraturan Hukum Pidana

Dalam praktek persidangan, Pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan

(42)

30

terdakwa telah atau tidak memenuhi unsurunsur yang dirumuskan dalam Pasal peraturan hukum pidana.

b. Non-Yuridis

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan non-yuridis adalah sebagai berikut:

1. Latar Belakang Terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

2. Akibat Perbuatan Terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

3. Kondisi Diri Terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa:

tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan

(43)

31

lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat.

4. Agama Terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.25

Pertimbangan hakim secara non-yuridis juga disebut dengan sosiologis. Pertimbangan hakim secara sosiologis diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.26 Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu kasus, antara lain:

a. Memperhatikan sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

b. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilainilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.

25 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana kontemporer, Jakarta: Citra Aditya, hal 212-220

26 Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan Pasal 5 ayat (1) dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

(44)

32

c. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan korban.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.27

F. Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti- nantikan oleh pihak-pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.28

Untuk dapat memberikan putusan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, serta peraturan hukum yang mengaturnya yang akan diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis.29 seperti hukum kebiasaan. Karenanya dalam UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan

27 HB. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal 68.

28 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2004), hal. 124.

29 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, cet. I, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1998), hal. 83.

(45)

33

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.30

Berdasarkan amar putusan, terdapat 3 jenis putusan hakim dalam tindak pidana, yaitu:

1. Putusan bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam surat dakwaan.

Dakwaan tidak terbukti apabila tidak memenuhi apa yang disyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu:

a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP, seperti hanya ada satu saksi tanpa diteguhkan oleh bukti lain.

b. Meski terdapat dua alat bukti yang sah tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa.

c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.

2. Putusan lepas dari segala tuntutan

30 ndonesia, (a), op. cit., psl. 28 ayat (1).

(46)

34

Dasar hukum putusan lepas dari segala tuntutan tertuang dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, pada putusan pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut bukan

“perbuatan pidana” tetapi masuk ke ranah hukum perdata, hukum dagang, atau hukum adat.

3. Putusan pemidanaan

Putusan pemidanaan ditentukan dalam Pasal 193 Ayat (1) KUHAP, putusan pemidanaan adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan. Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam Pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Adapun bentuk putusan pemidanaan yang dapat dijatuhkan oleh hakim diatur dalam KUHAP, di antaranya:

a. Pidana pokok, yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.

(47)

35

b. Pidana tambahan, yang terdiri atas pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman keputusan hakim.

Jenis-jenis putusan hakim dalam tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum berisi atas penilaian hakim terhadap tindak pidana yang didakwakan apakah terbukti atau tidak. Maka dari itu, hakim dapat menilai bahwa telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak dalam sebuah perkara dan memutus perkara tersebut.

G. Pengertian Kekerasan Seksual pada Anak

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan orang dewasa atau orang yang lebih tua, yang menggunakan anak untuk memuaskan kebutuhan seksualnya. Bentuk-bentuk pelecehan seksual sebenarnya beragam. Seperti meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual dengan anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, dan melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik di luar tindakan medis. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelaku seksual adalah orang yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.

Undang-Undang Hukum Pidana, pengertian kekerasan seksual dapat dilihat dalam Pasal 285 dan Pasal 289. Pasal 285 dijelaskan bahwa barangsiapa menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan memaksa

(48)

36

wanita yang bukan istrinya untuk berhubungan seksual dengan dia, akan dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Pasal 289 KUHP dikatakan bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain melakukan perbuatan zinah diluar pernikahan, akan dihukum karena merusak moral dengan hukuman penjara sembilan tahun. Menurut KPAI, kekerasan seksual pada anak adalah aktivitas seksual yang melibatkan anak, dilakukan oleh orang dewasa secara paksaan dan mengancam, lalu memanfaatkan setiap kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadi. 31 Adapun laporan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual.32 Pada kasus kekerasan terhadap anak, 45,1 persen kasus dari 14.517 merupakan kasus kekerasan seksual.33

Tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Bab II tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan ketentuan tersebut, jenisjenis tindak pidana kekerasan seksual adalah sebagai berikut:

a. Pelecehan seksual nonfisik;

b. Pelecehan seksual fisik;

31 Neng Lani Ligina, Ai Mardhiyah, and Ikeu Nurhidayah, “Peran Orang Tua Dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Bandung,” Ejournal Umm 9, no. 2 (2018):

109– 118

32 Vitorio Mantalean, “Pemerintah Mencatat 6.500 Lebih Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sepanjang 2021,” Kompas.Com, last modified 2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/01/1 9/18555131/pemerintah-catat-6500-lebih- kasus-kekerasan-seksual-terhadap-

anak- sepanjang?page=all.

33 Ibid.

(49)

37 c. Pemaksaan kontrasepsi

d. Pemaksaan sterilisasi e. Pemaksaan perkawinan;

f. Penyiksaan seksual;

g. Eksploitasi seksual;

h. Perbudakan seksual; dan

i. Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang terdapat dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, yaitu:

a. Perkosaan;

b. Perbuatan cabul;

c. Persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak;

d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;

e. Pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;

f. Pemaksaan pelacuran;

g. Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;

h. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;

i. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan

(50)

38

j. Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan.

H. Teori Pembuktian (bewics theorie)

1. Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie) Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya Terdakwa semata-mata digantungkan pada alat bukti yang sah.34 Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

Referensi

Dokumen terkait

ii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KEASLIAN KARYA ILMIAH SKRIPSI Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Dewi Ismiatun NIM : 14020217120037 Departemen : Administrasi Bisnis Fakultas :

ii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KEASLIAN KARYA ILMIAH SKRIPSI Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Ignatius Fortino Yulian Pamungkas NIM : 14030118140103 Fakultas : Ilmu

iii PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan dibawah ini, Nama mahasiswa : Shyelivia Thesalonica NIM : 22010318130046 Program studi : Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran

ix PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Saya yang bertanda tangan di bawah ini, sebagai sivitas akademika Universitas Maritim Raja Ali Haji: Nama : Surmita Nomor

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Saya bertanda tangan dibawah ini : Nama : LIDA FARIDA PEBRIANI NIM : P2.06.20.1.19.020 Program Studi : DIII Keperawatan Tasikmalaya Judul Karya Tulis

iii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Arifin Maulana NIM : P2.06.20.1.19.045 Program Studi : Prodi D III Keperawatan Tasikmalaya

iii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : ELA NURLAELASARI NIM : P2.06.20.1.19.012 Program Studi : D III Keperawatan Tasikmalaya JUDUL

iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Anita Angelina Lovica Putu Buraen NIM : 712018209 Program Studi : Teologi Fakultas :