• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Taukil Wali Pernikahan di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Tinjauan Yuridis Taukil Wali Pernikahan di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

1

Tinjauan Yuridis Taukil Wali Pernikahan di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Sandi Yoga Pradana Institut Agama Islam Badrus Sholeh Kediri

novimahafnan17@gmail.com, sandiyogapradana1995@gmail.com

Abstrak:

Penelitian ini mengkaji tentang tinjauan yuridis taukil wali di kalangan santri pondok pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami dengan cara menganalisis kedudukan taukil wali dalam perspektif Hukum Islam dan faktor-faktor para santri lebih memilih taukil wali. Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan (Hukum Normatif dan Hukum Empiris). Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kedudukan taukil wali dalam perspektif Hukum Islam diperbolehkan, namun dengan syarat muwakil dan wakilnya memenuhi rukun dan syarat syar’i. Seperti halnya muwakil yang mempunyai penyakit serius dan sukar disembuhkan atau jarak yang jauh membuat tidak mungkin menjadi wali. Kemudian untuk faktor-faktor para santri lebih memilih taukil wali antara lain sebagai berikut:

kurangnya pengetahuan tentang cara mengucapkan akad nikah, rasa minder dan rasa ta’dzim terhadap Kyainya.

Kata Kunci: Taukil wali pernikahan, hukum keluarga islam.

Abstract:

The research examines a juridical review of the Taukil wali among students at the Al- Hikmah Islamic Boarding School, Purwoasri, Kediri. The purpose of this study is to know and understand by analyzing the position of Taukil wali from the point of view of Islamic law and the factors that make students prefer Taukil wali. The research method used is a combination (normative and empirical). The results of this study explain that the position of Taukil wali in the perspective of Islamic law is permissible, but with the condition that the representatives and their representatives fulfill the pillars and requirements of Syar'i.

Likewise with the Muwakil who is seriously ill and difficult to heal or the long distance makes it impossible to become a guardian. Factors for students who prefer Taukil Wali include a lack of knowledge about the pronunciation of the marriage contract, feelings of inferiority, and respect for Kyai.

Keywords: Taukil guardiant of marriage, Islamic family law.

(2)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

2

Pendahuluan

Pada era society 5.0 tentunya hukum Islam juga telah mengalami perkembangan dan perubahan dalam menghadapi tantangan yang terus berlangsung. Semangat serta nilai-nilai dasar hukum islam tetap relevan dan berlaku baik di masa lampau maupun masa depan. Ukhuwah Basyariyah merupakan manifestasi dari interaksi dengan Sang Khaliq. Apabila baik interaksi dengan makhluk Allah yang lain, bisa dikatakan baik pula interaksi dengan pencipta-Nya. Oleh karena itu, hukum Islam memprioritaskan kemanusiaan.

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku bagi seluruh makhluk hidup di dunia. Allah SWT, memilih cara ini agar makhluk hidup dapat berkembang biak dan melestarikan kehidupan. Terlebih sebagai manusia yang telah ditetapkan pasangan hidupnya sejak awal penciptaannya. Menurut Syari’at Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan telah di atur dengan sangat indah yang disatukan dalam sebuah ikatan berupa pernikahan.1 Al-Quran telah menyebutkan bahwa pernikahan disebut mithaqān ghalīza yaitu ikatan yang kuat artinya suatu ikatan yang sakral dan berharga serta mengandung nilai ubudiyah dan tujuan mulia.

Selain sebagai fitrah manusia, tujuan pernikahan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang harmonis, saling mencintai, dan menciptakan kebahagiaan (sakinah, mawadah dan wa rohmah) dalam sebuah rumah tangga serta sebagai bentuk ibadah yang mengandung nilai-nilai kesucian.2 Pernikahan merupakan salah satu landasan kehidupan, landasan utama dalam komunikasi sosial. Suatu pernikahan dianggap sah bila dilakukan menurut hukum dan keyakinan agama yang memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ada. Artinya hukum mengizinkan setiap agama untuk menentukan validitas atau keabsahan sebuah pernikahan.

Pernikahan merupakan salah satu komponen penting dalam hukum Islam yang diatur sesuai hukum syariah. Pelaksanan pernikahan harus sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dan memperhatikan nilai- nilai hukumnya. Adapun setiap orang yang ingin menikah harus mematuhi aturan hukum syariat islam yang berlaku sehingga saat melangsungkan akad nikah dapat dianggap sah oleh agama. Elemen utama dalam pernikahan adalah 2 calon mempelai (laki-laki dan perempuan) yang akan menikah serta adanya ijab qabul dan persetujuan dari kedua belah pihak.

Dalam agama Islam, Ijab (pernyataan dari wali saat penyerahan mempelai wanita terhadap mempelai pria) dan qabul (ungkapan mempelai pria dalam menerima persetujuan) sebagai bukti kesepakatan kedua pihak yang bersangkutan (Sa’rani, t.t.).

Ijab qabul adalah faktor terpenting dalam pernikahan, khususnya antara pihak yang menandatangani akad yaitu wali, dan pihak penerima akad yaitu calon suami atau penggantinya. Sehingga sebuah pernikahan tidak akan sah tanpa adanya wali karena ia merupakan orang yang menentukan sah dan tidaknya suatu pernikahan.

Perwalian dibahas dalam wilayah tazwij yang mencakup pelaksanaannya, urutan perwalian, siapa yang menjadi wali, jenis dan peran wali dalam menyelenggarakan urusan pernikahan hingga boleh tidaknya perempuan menjadi wali. Wali pernikahan dan keharusan mempunyai wali merupakan syarat untuk mengetahui sah atau tidaknya

1 Syamsarina Nasution, ‘Tinjauan Hukum Islam Tentang Taukil Wali Nikah Kepada Buya (Studi Kasus Di Desa Kayu Aro Ambai)’, Istishab; Journal of Islamic Law Volume, 03 Nomor 01 Juni (2022), p. 33.

2 Muhammad Thalib, Tuntutan Upacara Perkawinan Islami (Bandung: Irsyad Baitussalam.).

(3)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

3

perkawinan itu. Kehadiran wali mutlak diperlukan dalam perkawinan, karena akad nikah terjadi antara wali dengan pihak mempelai pria, bukan mempelai wanita. Sebagaiamana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan tegas bahwa pernikahan seorang wanita tidaklah sah apabila tidak mendapatkan restu dari wali. Dengan kata lain bahwa seorang wali sangat penting untuk menunjang terlaksananya proses pernikahan. Karena pentingnya wali pernikahan, dalam keadaan apa pun dia tidak boleh tidak hadir, meskipun melalui perwakilan wali.

Namun ada pula yang berpendapat bahwa wakil wali nikah itu tidak biasa (aneh), karena mereka menganggap wali nikah mempunyai hak penuh untuk mengawinkan anaknya.

Menurut syariat Islam, ada kemungkinan nyata bahwa seseorang tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya disebabkan usianya yang syar'i, seperti penyakit yang berat, kemiskinan yang tidak dapat terobati, dan jarak yang jauh membuat tidak mungkin menjadi wali. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran akademis tentang apakah alasan tersebut bisa menjadi alasan terjadinya taukil wali.

Wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak bertindak atas nama calon pengantin perempuan dalam suatu akad.3 Adanya wali disini berfungsi untuk mengakadkan ijab bagi perempuan dibawah perwaliannya secara langsung sebagai wali nasab, ataupun dengan diwakilkan kepada wali hakim. Hal tersebut yang sering kita kenal dengan istilah taukil wali. Karena hak perwalian dapat dipindahkan kepada wali hakim, maka tidaklah jarang orang melakukan hal tersebut. Banyak orang memilih untuk mewakilkan pernikahannya kepada orang yang dianggap lebih pantas meskipun orang tersebut bukanlah dari golongan kerabatnya.

Seperti yang terjadi di Desa Purwoasri Kediri, tepatnya di Pondok Pesantren Al- Hikmah. Tidak jarang santri di pondok ini yang lebih memilih untuk dinikahkan oleh Kyainya daripada ayahnya sendiri. Namun apakah alasan yang digunakan para santri

3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia . (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), p.

69.

(4)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

4

disini hanya sekedar sebagai bentuk rasa ta’dzim kepada Kyainya saja atau ada alasan yang lain. Melihat permasalahan diatas maka penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kedudukan taukil wali dalam perkawinan ditinjau dari hukum Islam, sehingga penelitian ini dapat memperjelas lebih jauh mengenai kedudukan taukil wali dalam pernikahan. Selain itu penulis juga ingin mengetahui lebih lanjut terkait alasan- alasan para santri memilih taukil wali.

Metode Penelitian

A. Jenis dan Data Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian gabungan antara hukum normatif dan empiris (sosiologis), yang menggunakan data sekunder sebagai data pendukung. Data empiris diperoleh dari perilaku manusia baik verbal (wawancara) maupun aktual (pengamatan langsung).4 Adapun data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah dokumen hukum yang didapat dari studi kepustakaan meliputi bahan hukum primer, hukum sekunder dan non hukum.

Sedangkan data sekunder meliputi fakta-fakta empiris yang berkaitan dengan perilaku manusia baik verbal, aktual maupun perilaku yang dicatat dalam temuan atau catatan perilaku lain secara bersama-sama.

B. Tempat Pengambilan Data Primer

Data primer adalah dokumen hukum yang didapatkan melalui studi kepustakaan dari beberapa website, antara lain:

C. Lokasi Penelitian dan Cara Pengambilan Data Sekunder

Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Al-Hikmah yang terletak di Jl. Raya Nomor 86 Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan selama kurang lebihnya 2 (dua) minggu untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan peneliti.

4 Soerjono Sukanto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), p. 280.

(5)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

5

Adapun pengumpulan data melalui wawancara kepada informan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya, ia dianggap memiliki pengetahuan yang luas tentang permasalahannya. Peneliti melakukan wawancara kepada pengurus pondok dan para santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri, Jawa Timur. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara formal menggunakan pedoman wawancara (wawancara terstruktur) dan wawancara informal (dengan mengajukan pertanyaan secara spontanitas kepada responden atau informan yang akan diwawancarai).

D. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara sistematis melalui pengklasifikasian data primer dan sekunder. Penelitian ini memadukan hukum normatif dan hukum empiris (sosiologi) yang kemudian dianalisis secara deskriptif dan kualitatif meliputi penjelasan dan penafsiran berkaitan dengan peristiwa yang telah terjadi dan berusaha menemukan makna yang terkandung dalam hukum normatif secara rinci dan mendalam.5

Penelitian ini kemudian akan menarik kesimpulan tentang kedudukan taukil wali dalam perkawinan ditinjau dari hukum Islam dan alasan-alasan para santri memilih taukil wali.

Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pengertian Taukil Wali

Kata taukil wali (wakil wali) sering kita dengar dalam pernikahan karena alasan syariah, wali kurang percaya diri sehingga menitipkan anaknya kepada orang lain. Hal ini menimbulkan banyaknya penafsiran sehingga muncul pertanyaan mengapa wali nikah melakukan hal tersebut. Karena wali adalah salah satu rukun pernikahan yang memiliki peranan penting. Oleh karena itu, akan dibahas mengenai arti kata taukil wali secara etimologi dan terminologi.

Secara etimologis taukil merupakan bentuk masdar dari kata wakkala- yuwakkilu-taukilan artinya memindahkan, melimpahkan. Dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), taukil berarti proses, cara, tindakan penyerahan (perpindahan) kekuasaan. Istilah taukil sering disamakan dengan wakalah. Kata al-wakalah atau al- wikalah bersifat representatif yang berarti penyerahan, pendelegasian dan penyerahan tugas.6 oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara taukil dan wakalah dari segi bahasa. Sebab keduanya berasal dari bentuk yang sama yaitu wakkala.

Sedangkan secara terminologi, taukil atau wakalah dalam istilah syariah ditinjau dari berbagai aliran pemikiran, diantaranya;

1. Ulama Hanafiyah mengatakan wakalah adalah orang yang mengambil kedudukan orang lain secara administrasi.

2. Ulama Malikiyah berpendapat wakalah merupakan orang yang menggantikan jabatan orang lain secara hak dan kewajiban serta mampu mengurusnya.

5 Sukanto, p. 283.

6 Bisri dkk., Kamus Al-Bisri: Indonesia-Arab, Arab-Indonesia. (Pustaka Progressif., 1999).

(6)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

6

3. Ulama Hambali mengatakan bahwa al-wakalah adalah permohonan penggantian seseorang agar pihak yang lain mendapat keseimbangan, yang meliputi penggantian hak Allah SWT dan manusia.

4. Ulama Syafi’i, menyatakan bahwa wakalah merupakan orang yang mempercayakan atau mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain selama pengangkutnya masih hidup.7

Berdasarkan definisi para ulama yang berbeda-beda, dapat diambil kesimpulan al-wakalah yaitu mempercayakan pekerjaan kepada orang lain (wakil seseorang) untuk melakukan tugas, dan selanjutnya wakil mengambil kedudukan perwakilan (muwakkil) hak dan kewajiban yang berlaku selama muwakkil dalam keadaan hidup.

2. Rukun dan Syarat Taukil Wali

Pelaksanaan taukil, ada beberapa pilar dan syarat yang harus dipenuhi oleh pemangku kepentingan. Adapun rukun dan syarat taukil adalah sebagai berikut:

a. Muwakkil (orang yang digambarkan)

Perwakilan tersebut harus sah atau berwenang untuk melakukan tindakan yang diwakilinya. Dengan demikian, dalam menjalankan pekerjaannya orang tersebut dilarang berbuat seperti: orang gila dan anak kecil yang masih dalam pengasuhan orang tuanya.8

b. Wakil

Syarat umum menjadi wakil ialah memiliki kesanggupan untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh muwakkil dan orang tersebut ditunjuk oleh muwakkil.

Adapun syarat- syaratnya diantaranya islam, dewasa, laki-laki, dan mempunyai integritas yang baik (hanya berlaku bagi wakil wali dan bukan untuk wakil mempelai laki-laki).9

c. Muwakkil fih (Suatu yang diwakilkan), diisyaratkan:

1. Terima penggantian. Artinya, jika wakil tersebut tidak dapat melaksanakannya, ia diperbolehkan memberikan wewenang kepada orang lain untuk memenuhi permintaan tersebut.

2. Pekerjaan atau barang milik muwakkil.

3. Perbuatan yang dijelaskan merupakan perbuatan yang tidak dilarang (mubah).

4. Diketahui dengan jelas.

Muwakkil harus dapat menunjukkan kepada wakilnya pihak yang mewakilinya. Seperti “Aku wakilkan perbuatan ini kepada engkau atau si fulan”.

d. Shigat (lafaz mewakili)

Shigat tersebut perlu berupa ucapan yang mengungkapkan keinginannya, seperti: “Saya mempercayakan tindakan ini kepada Anda, atau ini atau itu.”

Perwakilan tidak harus menerima tetapi tidak bisa menolak.10

7 Al-Juzairy, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’Ah (Kairo: Dar al-Jauzy., 2014).

8 Al-Zuhaily, Wahbah, ‘Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu’, Juz VII (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989).

9 Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam (Press: Universitas Islam Indonesia (UII), 2000), p.

43.

10 Mas, Ibnu.t.t. “ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Imam Syafi’i" Di Kutip Dari Ridwan. Taukil Wali Perspektif Hukum Islam Di Indonesia.

(7)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

7

3. Taukil Wali dalam Perspektif Hukum Islam

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, taukil atau wakilah adalah penyerahan wewenang oleh seseorang kepada orang lain dalam hal yang dapat diwakili.11 Ada yang hanya bisa diwujudkan dalam bentuk mu’amalah seperti jual beli, hibah, sedekah, dan akad nikah. Hal itu merupakan bagian saling mendukung atas dasar kebaikan dan ketakwaan. Sebagaimana firman-Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah (5) ayat 2:

Berdasarkan Al-Quran dan kaidah fiqhiyah tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam hal mewakili atau memberi wewenang orang lain dalam urusan apa pun yang tidak dilarang oleh syariat, termasuk akad nikah maka diperbolehkan izinnya namun hal ini harus ditegaskan dalam kaidahnya: muwakkil mempunyai hak untuk mencapai sesuatu yang berada dalam kekuasaannya. Dengan kata lain, apabila perwakilan berkaitan dengan perwalian pernikahan, maka pihak muwakkil harus memelihara hubungan baik dengan pihak muwakhil fih agar perwalian (taukil wali) dapat dilimpahkan kepada pihak yang mewakili.

Waktu melaksanakan fungsi perwalian dalam pernikahan, wali dapat melaksanakan sendiri akad nikah bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau memberi kuasa bagi orang yang mewakilkan. Adapun syarat yang harus dipenuhi menjadi wali di antaranya: islam, laki-laki, berakal sehat, dewasa, dan Adil.12

Seseorang yang berkewajiban untuk mewakili suatu akad pernikahan, maka tidak diperbolehkan melaksanakan kewajiban tersebut untuk orang lain. Pemberian wewenang tersebut berlaku bila wakil tersebut melaksanakan fungsi perwakilannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh wakilnya. Jika tidak konsisten atau menyesatkan, maka representasi tersebut dianggap tidak valid atau tidak sah.

11 Slamet Abidin Aminuddin, “ Fiqih Munakahat” (Bandung: CV. Pustaka Setia., 1999). Di kutip dari Ridwan. Taukil Wali Perspektif Hukum Islam Di Indonesia. Artikel web Taukil Wali H.Ridwan.pdf. 02 Januari 2022

12 Soemiyati, “ Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan” (Yogyakarta: Liberty, 2017).

(8)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

8

Dalam kasus taukil wali atas pernikahan anak di luar nikah pada masyarakat yang belum mengenal hukum Islam, maka boleh menggunakan wali hakim bagi muwakil yang tidak mempunyai hambatan, namun jika tidak mampu boleh diwakilkan oleh penghulu. Sesuai kitab fiqh, penulis berpendapat tentang konsep taukil bahwa muwakkil (perwakilan) wajib menjadi pemilik barang yang diwakilkan. Jika hal ini menyangkut perkara yang penulis jelaskan, maka taukil walinya batal dan pernikahan itu dengan sendirinya batal. Pasalnya calon pengantin tidak memiliki hubungan darah dengan wakilnya. Namun jika penghulu bertindak menjadi wali mempelai wanita di hadapan hakim maka pernikahan tersebut sah.

Menurut peraturan, apabila suatu benda tidak dimiliki secara sah oleh yang mewakili, maka benda tidak mempunyai kuasa untuk diberikan kepada yang mewakili, karena salah satu syarat agar benda itu dapat dialihkan kepada yang mewakili adalah benda itu harus dialihkan secara sah. Begitu juga dalam konsep taukil wali. Dalam UU Perkawinan Pasal 1 Tahun 1974 tidak secara khusus menjelaskan aturan mengenai wali, namun dalam Kompendium Hukum Islam Pasal 23 ayat 1 memberikan alternatif lain jika terjadi kekosongan antar wali saat penceraian. Namun saat akad nikah, khususnya:

Berdasarkan penjelasan di atas, apabila seorang wanita hendak menikah namun tidak mempunyai wali dalam pernikahannya karena berpisahnya wali, wali gaib, wali adhal, dan atas dasar perwalian pada saat haji atau umroh, tidak melalui wali yang mewakili, melainkan dengan wali hakim.

4. Faktor Penyebab terjadinya Taukil Wali

Adanya Taukil wali disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya:

1. Seseorang tidak bisa menangani pekerjaannya sekaligus dikarenakan sibuk.

2. Jaraknya jauh dan tidak terjangkau.

3. Seseorang tidak memahami tata cara atau syarat-syarat perilaku dalam kegiatan perwakilan.

4. Seseorang yang memiliki kepentingan tersebut sedang berada dalam kondisi uzur syar’i, seperti sakit.

(9)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

9

Terdapat kaidah fiqhiyyah yang artinya suatu perbuatan yang mudah dijalankan tidak dapat digugurkan dengan perbuatan yang sukar dijalankan.13 Dengan ketentuan ini dapat dipahami bahwa dalam setiap pelaksanaan hukum syar’i harus dilaksanakan sesuai dengan kapasitas mukallaf. Sesuatu yang mudah dicapai tidak akan dibarengi dengan sesuatu yang sulit dicapai. Dengan kata lain, apa yang dilakukan dalam batas maksimal kemampuan seseorang dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah. Sebagaimana dalam pelaksanaan akad nikah, maka wali yang tidak dapat menghadiri akad nikah karena beberapa sebab di atas boleh memberikan kuasa kepada orang lain yang syaratnya terpenuhi untuk menjadi taukil wali sehingga pernikahan dapat berlangsung.

a. Menurut hukum Islam melalui ‘Urf pelaksanaan pelaksanaan taukil wali di kalangan santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri, ini sah untuk dilakukan. Dilihat dari hukum asal mewakilkan adalah mubah (boleh) dan juga dilihat dari kebiasaan yang dilakukan termasuk ke dalam ‘Urf Shahih (benar) dan bukan pada ranah ‘Urf Fasid (rusak kesempitan.

b. Berlaku secara umum dalam artian tidak dilakukan hanya oleh beberapa orang saja.

Terdapat syarat-syarat bahwasanya ‘Urf diperkenankan sebagai hukum Islam, yaitu: 14

c. Tidak ada dalil khusus terkait permasalahan tersebut baik dalam Al-Qur’an atau Sunah.

d. Pemakian tidak mengakibatkan batalnya nas syari’at, juga tidak menimbulkan masalah, kesulitan atau Berkaitan dengan pembagian ‘Urf dalam syariat islam, terdiri dari 2 jenis, yaitu: 15

a. ‘Urf shahih, ialah suatu perilaku yang tidak berlawanan dengan syari’at, tidak menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Contohnya jual beli dengan cara indent atau memesan sebelumnya, pembayaran mahar dengan kontan atau terhutang, kebiasaan mempelai pria memberi hadiah kepada mempelai wanita di luar mahar, dan lain-lain.

b. ‘Urf fasid, ialah kebiasaan yang bertentangan dengan hukum syara’. Contohnya meminum minuman keras dalam sebuah acara, praktik riba, berjudi, togel, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, para ulama menyatakan tentang keabsahan 'Urf bahwa 'Urf shahih dapat digunakan bahan pertimbangan para mujtahid dan hakim dalam menentukan hukum berdasarkan perbuatan yang terjadi di masyarakat. Artinya menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum asalkan tidak bertentangan dengan syariat islam.

13 Nurhayati, Ali Imran Sinaga., Fiqh Dan Ushul Fiqh (Kencana, 2018).

14 Ahmad Syafi’i Karim, Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), p. 86.

15 Yahya Mukhtar dan Fatchurrahaman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung: al- Ma;arif, 1986), p. 110.

(10)

Novimaturrohmah Lutfia Afnani, Tinjaun Yuridis Taukil Wali Nikah di Kalangan Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri

10

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dari sudut hukum Islam, taukil wali diperbolehkan, namun dengan syarat muwakil dan wakil memenuhi syarat hukum syariah. Bagaikan melambangkan penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan serta adanya jarak yang menghalangi seseorang menjadi wali. Adapun wakil yang sesuai syarat antara lain: islam, laki-laki, baligh, sehat, dan benar (mengamalkan agamanya dengan baik. Namun berbeda dengan hakim wali, ada syarat syariah seperti tidak ada wali, wali gaib, agama lain, wali di jarak dan wali pada saat ibadah haji dan umrah. Dan kalangan santriwati yang lebih memilih untuk dinikahkan oleh Kyainya daripada ayahnya.

Bagi mereka hal tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa ta’dzim terhadap kyainya.

Awalnya mereka merasa dilema untuk menentukan siapa yang nantinya akan menjadi wali nikahnya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya mereka lebih memlilih untuk dinikahkan oleh kyainya. Namun juga tetap ada santri yang memilih dinikahkan oleh ayahnya saja. Melalui penelitian ini dapat disarankan kepada kalangan santriwati untuk berkonsultasi dengan terlebih dahulu dengan pihak pondoknya serta pihak keluarganya sebelum menentukan siapa yang akan menjadi taukil walinya.

Referensi

Al-Juzairy, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’Ah (Kairo: Dar al-Jauzy., 2014) Al-Zuhaily, Wahbah, ‘Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu’, Juz VII (Damsyiq: Dar al-Fikr,

1989)

Aminuddin, Slamet Abidin, “ Fiqih Munakahat” (Bandung: CV. Pustaka Setia., 1999) Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam (Press: Universitas Islam Indonesia

(UII), 2000)

Bisri dkk., Kamus Al-Bisri: Indonesia-Arab, Arab-Indonesia. (Pustaka Progressif., 1999) Karim, Ahmad Syafi’i, Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006)

Mas, Ibnu.t.t. “ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Imam Syafi’i" Di Kutip Dari Ridwan.

Taukil Wali Perspektif Hukum Islam Di Indonesia

Mukhtar dan Fatchurrahaman, Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung: al-Ma;arif, 1986)

Nasution, Syamsarina, ‘Tinjauan Hukum Islam Tentang Taukil Wali Nikah Kepada Buya (Studi Kasus Di Desa Kayu Aro Ambai)’, Istishab; Journal of Islamic Law Volume, 03 Nomor 01 Juni (2022)

Nurhayati, Ali Imran Sinaga., Fiqh Dan Ushul Fiqh (Kencana, 2018)

Soemiyati, “ Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan” (Yogyakarta:

Liberty, 2017)

Sukanto, Soerjono, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia . (Jakarta: Prenada Media Group, 2009)

Thalib, Muhammad, Tuntutan Upacara Perkawinan Islami (Bandung: Irsyad Baitussalam.)

Referensi

Dokumen terkait

Summary observations of the Group on Agenda Items  Details of the mean maximum and minimum temperature during the week 31st December, 2015 to 06th January, 2016 were as under:-

Peluang dan tantangan pengembangan sistem pendidikan santri di SMP pondok Pesantren Al Iman Ulu Ale-Ale yaitu: peluang mengembankan sistem pendidikan santri di SMP Pondok pesantren Al