TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BADAN PELAKSANA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN
GAS BUMI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-X/2012
Daris A. Raft Ginting Fakultas Hukum Universitas Riau
Email: [email protected] Gusliana H.B. dan Dodi Haryono
Fakultas Hukum Universitas Riau abstract
Relations between the Implementing Agencies of Oil and Gas with Business Entities or Permanent Establishment has put the State and Business Entities or Permanent Establishments that manage oil and gas are in the same position. As a result, the State lost the discretion to make regulations for the benefit of the People. While the Government in carrying out the functions of state control over oil and natural gas resources should has the discretion to make regulation that is profitable for the prosperity of the entire community.
Those conditions are so far from optimality. Indonesian oil and gas industry is still heavily dependent on foreign domination. Do Indonesian people ask for judicial review of Oil and Gas Law to the Constitutional Court. While the result of Constitutional Court is the Implementing Agencies of Oil and Gas disbanded. As a replacement, the Government through Presidential Decree No. 9 of 2013 on Maintenance of Management for Upstream Oil and Gas takes over all the functions and duties of the Implementing Agencies of Oil and Gas.
Keywords: Oil and Gas, Implementing Agencies of Oil and Gas, functions of state control
abstrak
Hubungan antara BP Migas dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah menempatkan Negara dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola minyak dan gas di posisi yang sama. Akibatnya, negara kehilangan keleluasaan untuk membuat peraturan untuk kepentingan Rakyat.
Sedangkan Pemerintah dalam melaksanakan fungsi kontrol negara atas sumber daya minyak dan gas alam harus memiliki keleluasaan untuk membuat aturan yang menguntungkan kemakmuran keseluruhan Masyarakat. Beberapa kondisi yang begitu jauh dari optimal. Industri minyak dan gas Indonesia masih sangat tergantung pada dominasi asing.
Apakah, masyarakat Indonesia meminta uji materi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi. Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi adalah BP Migas menjadi bubar. Sebagai penggantinya, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemeliharaan Manajemen Hulu Kegiatan Minyak dan Gas Bumi konfigurasi unit khusus minyak dan gas (SK Migas) yang mengambil alih semua fungsi dan tugas BP Migas.
Kata Kunci: Minyak dan Gas, BP Migas, Fungsi Kontrol Negara, Putusan Mahkamah Konstitusi
A. Pendahuluan
Hubungan antara BP Migas dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap Pengelola Migas telah mendegradasikan kedudukan Negara Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Hal ini dikarenakan hubungan antara BP Migas sebagai representasi Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap Pengelola Migas dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KS) yang disepakati oleh kedua belah pihak tersebut.
Sehingga, Pemerintah tidak bisa leluasa mengadakan kebijakan dan pengaturan dalam kegiatan usaha hulu migas agar tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui ketersediaan migas dengan harga murah, mudah, dan stabil.
Oleh karena itu, Rakyat Indonesia yang diwakili oleh sebagian besar Ormas Islam mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK), lantaran merasa hak-hak konsitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Migas khususnya materi muatan mengenai keberadaan dan fungsi BP Migas. Akhirnya, MK memutuskan bahwa pasal-pasal UU Migas yang mengatur tentang keberadaan dan fungsi BP Migas beserta seluruh hal yang terkait dengan BP Migas dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. MK juga memutuskan bahwa tugas dan fungsi BP Migas dilaksanakan oleh Kementerian terkait sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dijawab dalam jurnal ini adalah bagaimanakah kedudukan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-X/2012; dan bagaimanakah implikasi Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 terhadap kedudukan BP Migas.
B. Pembahasan
1. Kedudukan BP Migas sebelum Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 Pembentukan BP Migas dilatarbelakangi oleh kehendak untuk memisahkan antara badan yang melakukan regulasi atau badan yang membuat kebijakan dengan badan yang melakukan bisnis migas yang kedua fungsi tersebut sebelumnya dilaksanakan oleh Pertamina. BP Migas diharapkan dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri, demi kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu Migas yang sebelumnya dilakukan oleh Pertamina, kini dilakukan oleh BP Migas selaku representasi Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang menyelenggarakan penguasaan negara atas sumber daya alam migas.
BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang merupakan institusi yang mengendalikan dan mengawasi bisnis migas di sektor hulu.
Dengan demikian, BP Migas berperan sebagai ujung tombak bagi Pemerintah untuk terlibat secara langsung dalam bisnis migas sehingga Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha.1
Pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KS).2Sebelum berlakunya UU Migas, maka berdasarkan UU Pertamina, para pihak yang terkait dalam KS adalah Pertamina dan Kontraktor. Kontraktor dapat berasal dari kontraktor dalam negeri dan dari luar negeri. Dengan berlakunya UU Migas, maka para pihak yang terkait dalam KS yaitu Negara yang diwakili oleh BP Migas dengan pihak kedua atau kontraktornya adalah Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap.3
Pasal 6 ayat (2) UU Migas mengatur bahwa KS paling sedikit memuat persyaratan sebagai berikut:
a. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; dan c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap.
1Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Konsitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.
2Pasal 11 ayat (1) UU Migas.
3 Cut Asmaul Husna TR, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi terhadap Regulasi Production Sharing Contract”, Jurnal Konstitusi, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Konstitusi Republik Indonesia, Vol. 9, No. 4, Desember 2012, hlm. 601.
Dalam rangka menjalankan fungsinya tersebut, maka berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UU Migas, BP Migas bertugas sebagai berikut:
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta KS;
b. melaksanakan penandatanganan KS;
c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri terkait untuk mendapatkan persetujuan;
d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud huruf c di atas;
e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri terkait mengenai pelaksanaan KS; serta
g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Dari ketujuh tugas di atas, terlihat bahwa tugas penandatanganan KS merupakan tugas yang paling penting, karena dengan adanya penandatanganan kontrak itu akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Oleh karena BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam migas, maka negara dalam hal ini pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam migas pada kegiatan hulu. Padahal menurut Putusan No. 002/PUU-I/2003, makna penguasaan mencakup makna penguasaan negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber kekayaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektifitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
Rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada Negara Pemerintah untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Kelima mandat tersebut merupakan satu kesatuan agar hajat hidup Bangsa Indonesia terpenuhi demi tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.4
Oleh karena itu, fungsi penguasaan negara yang dijalankan oleh BP Migas berdasarkan ketentuan UU Migas telah mereduksi makna penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK No. 002/PUU-I/2003. Hal ini terlihat dari Pemerintah dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya dikendalikan melalui KS yang ditandatangani sendiri oleh BP Migas sebagai wakil kuasa pertambangan. Padahal sebagai konkretisasi urusan
4Dalil pemohon yang didukung oleh keterangan ahli Irman Putra Sidin sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.
pemerintahan, perwujudan kewajiban konstitusional pemerintah itu harus berlandaskan pada prinsip-prinsip konstitusi dan asas-asas pemerintahan yang baik yang berlaku di Indonesia, bukan berlandaskan kontrak, agar pelaksanaan fungsi penguasaan negara atas migas mampu mendorong terwujudnya Rakyat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.5
Pengamat Perminyakan Kurtubi berpandangan bahwa UU Migas menganut pola hubungan business to government (B to G) antara BP Migas sebagai wakil kuasa pertambangan dengan pihak investor atau perusahaan minyak. Jika pemerintah yang berkontrak, maka kedaulatan negara menjadi hilang, sebab posisi pemerintah menjadi sejajar dengan kontraktor, karena pemerintah menjadi bagian dari para pihak yang berkontrak. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa langsung mengeksekusi kebijakan atau regulasi atas pengelolaan kekayaan migas kalau pihak kontraktor tidak menyetujuinya.6
Kurtubi juga berpandangan bahwa keberadaan BP Migas telah menggerogoti kedaulatan negara. Karena dengan adanya pola B to G, maka aset pemerintahlah yang akan dijadikan sebagai alat pemenuh sanksi apabila Negara Pemerintah menghadapi sengketa hukum dengan kontraktor KS dan dinyatakan kalah atau cedera janji oleh lembaga penyelesaian sengketa.
Meskipun BP Migas mewakili pemerintah dalam mendantangani KS, ternyata BP Migas tidak memiliki aset sendiri. Keadaan inilah yang menurut Kurtubi dapat membahayakan negara. Namun, apabila pola hubungan yang dianut dalam UU Migas berupa B to B dan pemerintah berada di atas kontrak, maka kedaulatan negara terjamin dan pemerintah bisa langsung mengeksekusi regulasi atau kebijakan untuk kepentingan bangsa dan negara walaupun tanpa persetujuan kontraktor.7
Berikutnya, UU Migas ini menjadikan sistem perminyakan Indonesia sangat tidak efesien, tidak sejalan dengan prinsip good cooperate governments, menggiring terbukanya lubang inefisiensi yang sangat menganga. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dewan komisaris atau lembaga pengawas dalam struktur BP Migas. Kemudian, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang melonjak mengakibatkan melonjaknya subsidi listrik yang berujung pada naiknya TTL (tarif tenaga listrik) yang harus dibayar oleh rakyat dan kalangan dunia usaha. Melonjaknya BPP Listrik disebabkan oleh Pembangkit PLN kekurangan gas. Namun pada saat yang sama, gas bumi dari Tangguh Papua diekspor ke luar negeri dengan harga yang sangat
5Ibid.
6 Keterangan Ahli Dr. Kurtubi sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 36/PUU- X/2012.
7Ibid.
murah8. Hal ini disebabkan oleh status BP Migas sebagai BHMN bertindak untuk melakukan penandatangan KS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Padahal tidak sewajarnya sebuah badan hukum seperti BP Migas memiliki kewenangan dalam pemutusan usaha migas, yang seharusnya hanya memberikan pertimbangan dan melakukan pengawasan usaha migas di Indonesia.9 Karena statusnya tersebut, maka BP Migas sebagai pengelola kekayaan migas nasional tidak bisa berbisnis, tidak bisa membangun pabrik Liquid Natural Gas (LNG), dan tidak bisa menjual gas milik/bagian negara secara langsung sehingga harus menunjuk pihak lain.10
Contoh lain kerugian negara dengan sistem tata kelola di bawah BP Migas ialah menyangkut blok produksi yang selesai kontrak. Hingga 2021, sekitar 12 blok produksi migas yang akan selesai kontrak, termasuk blok- blok besar seperti Blok Mahakam yang menghasilkan 34% dari produksi gas nasional, akan selesai pada 2017. Blok Rokan yang menghasilkan minyak mentah sekitar 47% dari produksi minyak nasional akan selesai pada 2021.11
Menurut ketentuan, blok produksi yang selesai kontrak dikembalikan ke negara dengan seluruh asetnya sudah menjadi milik/hak negara, baik berupa sisa cadangan migas yang ada di perut bumi maupun semua infrastruktur produksi. Mestinya blok yang sudah selesai kontrak dikembalikan dan dilanjutkan pengoperasiannya oleh negara. Namun, karena BP Migas bukan perusahaan, mustahil bagi BP Migas untuk melanjutkan operasi produksinya. Akibatnya, timbul rekayasa untuk diperpanjang atau dialihkan ke kontraktor lain.12
Memperpanjang kontrak blok produksi yang sudah selesai kontrak sama artinya dengan memberikan secara gratis (semacam sedekah) harta milik negara kepada kontraktor. Hal ini tentunya merupakan pelanggaran terhadap konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), melanggar etika (karena rakyat Indonesia sendiri masih miskin), dan bahkan berpotensi melanggar hukum atau tindakan kriminal (dengan merekayasa/bersekongkol).13
Apabila UU Migas ditelaah secara historis, maka dapat disimpulkan bahwa UU Migas bersumber dari agenda Washington Consensus yang masuk melalui Letter of Intens (LoI) yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Krisis ekonomi yang berlangsung sejak tahun 1997 memaksa pemerintah untuk mencari dukungan
8Ibid.
9 http://semestaglory.blogspot.com/2012/07/makalah-analisis-kelahiran-uu-migas.html, diakses pada tanggal 30 mei 2013
10 http://koestoer.wor dpress.com/tophit/mengapa-bpm igas-harus-bubar, diakses tanggal 2 mei 2013
11Ibid.
12Ibid.
13Ibid.
IMF untuk menyokong neraca pembayaran yang defisit akibat krisis kepercayaan dan pelarian modal (capital flight).14
Dari sekian agenda reformasi ekonomi yang tertuang dalam Letter of Intents (LoI), di antaranya tertuang program reformasi sektor energi.
Reformasi sektor energi tercantum dalam butir kesepakatan huruf F (The energy Sector) dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (Letter of Intens), 20 Januari 2000.15 Reformasi sektor energi Indonesia intinya adalah reformasi harga energi dan reformasi kelembagaan pengelola energi. Reformasi sektor energi tidak hanya merupakan pintu masuk bagi penghapusan subsidi BBM, tetapi juga memberikan peluang besar dan sangat terbuka bagi masuknya perusahaan multinasional untuk merambah sektor hulu dan hilir migas di Indonesia. Poin krusial yang disorot pihak kreditur adalah monopoli penyelewengan industri migas yang dituding sebagai penyebab inefisiensi dan gurita praktek korupsi. Karena itu, desain besar reformasi energi adalah membuka pintu lebar-lebar agar pihak swasta dapat masuk dan dilibatkan dalam kegiatan bisnis di sektor tersebut.16
Terkait dengan skenario tersebut, maka posisi Pertamina sedikit dilemahkan untuk memberikan kesempatan pihak asing bersaing di bisnis migas. Tanpa intervensi tersebut, maka tidak akan ada yang menanam investasi di bidang industri migas nasional karena sistem dan mekanisme yang sangat tertutup pada masa itu.
Agar agenda privatisasi dapat berjalan lancar, maka Pemerintah harus mengurangi keterlibatannya secara langsung dalam bisnis migas melalui skema deregulasi. Senafas dengan minimal state, kuasa pertambangan sebagai wujud dari kedaulatan negara tidak tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Hal tersebut termaktub dalam pasal 1 angka (5) UU Migas secara tegas membatasi pengertian Kuasa Pertambangan hanya pada sektor hulu yang menyangkut kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Sementara kegiatan sektor hilir yang mencakup penghilangan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga tidak dilihat sebagai kesatuan kegiatan penguasaan pertambangan yang dikuasai Negara.17 Melalui UU Migas, Kuasa Pertambangan diambil alih Pemerintah dan diserahkan kepada pelaku (badan usaha/bentuk usaha tetap) oleh Menteri ESDM (Pasal 12 Ayat (3)). Jika dilihat lebih dalam, menyerahkan Kuasa Pertambangan kepada
14 http://semestaglory.blogspot.com/2012/07/makalah-analisis-kelahiran-uu-migas. htm l, diakses pada tanggal 30 Mei 2013.
15M. Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing; Liberalisasi Industri Migas di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2009), hlm 159.
16Ibid.
17 http://majalahenergi.com/akademisi/kisruh-migas-pasca-uu-migas-no-22-tahun2001, diakses pada tanggal 30 Mei 2013.
pelaku usaha sama halnya dengan menisbikan kedaulatan negara atas sumber daya alam strategis yang meguasai hajat hidup orang banyak.18
Apabila ditelaah secara yuridis, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi kesalahan fatal dalam pembentukan UU Migas. Hal ini terlihat pada penunjukan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua UUD 1945 sebagai salah satu butir konsiderans mengingat UU Migas. Sehingga, konsiderans tersebut yang merupakan landasan pembentukan UU Migas tidak dapat dibenarkan baik oleh pembuatnya maupun oleh putusan hakim melalui penafsiran hukum sebagai nilai hukum yang telah diubah.19
Apabila ditinjau dari sudut norma Hak Asasi Manusia (HAM), negara khususnya pemerintah, berkedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty barrier). Dalam hal ini, terdapat sekurang-kurangnya tiga kewajiban yang melekat pada negara atas HAM sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 8, Pasal 71, dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Dengan formulasi norma HAM seperti ini, salah satu kewajiban negara yang paling fundamental dalam konteks penguasaan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah optimalisasi perlindungan negara terhadap pemenuhan hak warga negara atas ketersediaan minyak dan gas (migas) dengan harga yang murah, mudah, dan stabil.
Apabila formulasi norma HAM dibandingkan dengan ketentuan- ketentuan UU Migas dalam kenyataannya, terbukti bahwa pemerintah beserta organ-organ dibawahnya khususnya BP Migas telah lalai dalam mengupayakan pemenuhan hak warga negara atas ketersediaan minyak dan gas (migas) dengan harga yang murah, mudah, dan stabil. Sehingga landasan etikal-yuridis dalam penyelenggaraan kegiatan usaha migas berupa sebesar- besar kemakmuran rakyat menjadi tidak tercapai.
Dengan demikian, setiap lembaga atau organ pemerintah yang akan dibentuk harus memiliki tujuan yang sesuai dengan amanat konstitusi yakni mendorong terwujudnya sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat Indonesia.
Apabila keberadaan lembaga atau organ pemerintah tersebut dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya menurut aturan pembentukannya ternyata tidak memenuhi tujuan yang sesuai dengan amanat konstitusi, maka lembaga atau organ tersebut mengakibatkan kerugian konstitusional sehingga lembaga atau organ tersebut dapat dibubarkan dan aturan pembentuknya layak direvisi melalui putusan
18 http://semestaglory.blogspot.com/2012/07/makalah-analisis-kelahiran-uu-migas.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2013.
19Keterangan Ahli Margarito Kamis sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 36/PUU- X/2013.
pengadilan yang menyatakan bahwa kedua-duanya bertentangan dengan konstitusi dan tidak berkekuatan hukum mengikat sejak putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Hal tersebut merupakan konsekuensi dianutnya konsepsi negara hukum sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Maka, setiap kebijakan negara yang bertentangan dengan konstitusi harus dinyatakan batal demi hukum (null and void) karena peraturan yang rendah harus tunduk kepada aturan yang lebih tinggi (lex superior derogate lex inferior).
2. Implikasi Putusan MK No. 36/PUU-X/2012
Pengujian materi UU Migas dimohonkan oleh sejumlah Ormas dan sejumlah tokoh nasional (perorangan). Ormas tersebut sebagian besar merupakan Ormas Islam. Alasan para pemohon mengajukan uji materi UU Migas kepada Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah Konstitusi) adalah para pemohon merasa bahwa hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas.
Menurut Mahkamah Konstitusi, model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Walaupun UU Migas, menentukan tiga syarat minimal dalam KS, yakni:
a. kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b. pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan
c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Ketiga syarat minimal tersebut tidak serta merta berarti bahwa penguasaan negara dapat dilakukan dengan efektif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu:
pertama, Pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha hulu; kedua, setelah BP Migas menandatangani KS, maka seketika itu pula negara terikat pada seluruh isi KS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KS; dan ketiga, tidak maksimalnya keuntungan Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, karena adanya potensi penguasaan migas keuntungan
besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau Badan Hukum Swasta yang dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar, dan transparan.
Dalam hal ini, dengan konstruksi penguasaan migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola sumber daya alam migas, padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena konstruksi, hubungan yang demikian maka menurut Mahkamah Konstitusi keberadaan BP Migas menurut Undang-Undang a quo, bertentangan dengan konstitusi yang menghendaki penguasaan negara yang membawa manfaat sebesar- besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan penguasaan negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam migas yang membawa keuntungan lebih besar bagi rakyat.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945. Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan baik dalam modal, teknologi, dan manajemen untuk mengelola sumber daya alam migas, maka pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan kepada badan swasta.
Bahwa untuk mengembalikan posisi negara dalam hubungannya dengan sumber daya alam migas, maka negara/pemerintah tidak dapat dibatasi tugas dan kewenangannya pada fungsi pengendalian dan pengawasan semata tetapi juga memunyai fungsi pengelolaan. Menurut Mahkamah Konstitusi, pemisahan antara badan yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang melakukan pengelolaan dan bisnis migas secara langsung, mengakibatkan terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam migas. Walaupun terdapat prioritas pengelolaan migas diserahkan kepada BUMN sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004, namun efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy) tanpa ditambahi dengan birokrasi dengan pembentukan BP Migas. Dalam posisi demikian, Pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, kebijakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan atas sumber daya alam migas. Dalam menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsepsi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. BUMN itulah yang akan melakukan KS dengan BUMD, Koperasi, Usaha Kecil, Badan Hukum Swasta, atau
Bentuk Usaha Tetap. Dengan model seperti itu, seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 terlaksana dengan nyata.
Mahkamah Konstitusi memertimbangkan bahwa tujuan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sehingga implementasinya ke dalam pengorganisasian negara dan pemerintahan pun harus menuju ke arah tercapainya tujuan tersebut. Oleh sebab itu, setiap pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena keberadaan BP Migas, sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga dalam praktiknya telah membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka menurut Mahkamah Konstitusi keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan Negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan. Sekiranyapun dikatakan bahwa belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional. Jikalau diasumsikan kewenangan BP Migas dikembalikan ke unit pemerintahan atau kementerian yang terkait tetapi juga masih potensial terjadi inefisiensi, maka hal itu tidak mengurangi keyakinan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pengembalian pengelolaan sumber daya alam ke Pemerintah karena dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, justru harus menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian maka Pemerintah dapat segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya alam berupa Migas dengan berpijak pada “penguasaan oleh negara” yang berorientasi penuh pada upaya “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat”
dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung Pemerintah.
Atas dasar hal-hal di atas, Mahkamah Konstitusi menilai dalil para pemohon sepanjang mengenai BP Migas beralasan hukum. Mahkamah Konstitusi pada akhirnya memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan para pemohon berupa: pertama, Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memunyai kekuatan hukum mengikat; kedua, Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana” dandalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memunyai kekuatan hukum mengikat; ketiga, seluruh hal yang terkait dengan Badan Pelaksana
dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memunyai kekuatan hukum mengikat; dan keempat, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah, Kementerian terkait, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi di atas membawa implikasi berupa hilangnya eksistensi atau bubarnya BP Migas dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Migas. Sehingga, fungsi dan tugas BP Migas dalam kegiatan usaha hulu migas dialihkan ke Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur tentang migas. Kini berdasarkan Perpres No. 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu, lembaga pengganti BP Migas ialah Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas.
Dengan adanya Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 yang menitikbertakan pada keberadaan BP Migas yang dinyatakan inkonstitusional dan tidak lagi berkekuatan hukum mengikat. Maka, untuk menghindari kevakuman hukum dalam kegiatan usaha hulu migas, Pemerintah dapat menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pengalihan tugas dan fungsi BP Migas kepada organ pemerintah dan pengalihan hak dan kewenangan BP Migas yang timbul dari KS kepada BUMN. Kemudian langkah jangka panjang yang dapat diambil oleh Pemerintah ialah mengajukan RUU tentang Perubahan UU Migas yang memilki landasan hukum dan sosiologis yang kuat, serta mengandung materi muatan yang sesuai dengan amanat Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 kepada DPR-RI.
Dalam RUU tentang Perubahan UU Migas sebaiknya diatur tentang penguatan kedudukan Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan yang berhak mengadakan kebijakan dan melakukan tindakan pengawasan.
Sehingga, pemerintah berada di atas kontrak, yang mana kontrak tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pelaku usaha, yakni BUMN dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (Kontraktor KS). Oleh karena itu, pola hubungan yang diterapkan dalam kegiatan usaha migas ialah B to B. Dengan pola hubungan demikian, maka Pemerintah dapat berperan lebih maksimal lagi dalam mendayagunakan fungsi penguasaan atas kekayaan sumber daya alam demi terwujudnya Rakyat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
C. Penutup 1. Kesimpulan
Kedudukan Badan BP Migas sebelum Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/201012 merupakan organ pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah melakukan fungsi penguasaan negara atas migas khususnya kegiatan hulu, yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan KS Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber
daya alam migas milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi penguasaan negara yang dijalankan oleh BP Migas berdasarkan ketentuan UU Migas telah mereduksi makna penguasaan Negara yang terdiri dari kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Hal ini terlihat dari Pemerintah dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya dikendalikan melalui KS yang ditandatangani sendiri oleh BP Migas sebagai wakil kuasa pertambangan. Seharusnya perwujudan kewajiban konstitusional pemerintah itu harus berlandaskan pada prinsip-prinsip konstitusi dan asas-asas pemerintahan yang baik yang berlaku di Indonesia, bukan berlandaskan kontrak. Sehingga, frasa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tata kelola kekayaan migas, yang harus dikuasai negara, saat ini tidak tercapai.
Dengan demikian, sistem tata kelola yang dibangun dalam UU Migas membuat Negara Pemerintah telah gagal memenuhi hak warga negara atas ketersediaan migas dengan harga yang murah, mudah, dan stabil, serta menggerogoti kedaulatan negara.
Implikasi Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 terhadap Kedudukan BP Migas ialah segala hal yang menyangkut BP Migas baik dalam pasal-pasal maupun dalam penjelasan UU Migas inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum tetap, sehingga eksistensi BP Migas menjadi hilang atau bubar. MK juga memutuskan bahwa fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah, Kementerian terkait, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut. Secara kelembagaan, Putusan MK No. 36/PUU- X/2012 membawa implikasi berupa terbentuknya organisasi baru pengganti BP Migas berupa SK Migas berdasarkan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2013. Namun, kewenangan yang dimiliki SK Migas sama dengan yang dimiliki oleh BP Migas sebelum adanya Putusan MK. Hanya saja, SK Migas ini dilengkapi dengan Komisi Pengawas. Secara pengaturan, Putusan MK ini berimplikasi berupa amanat kepada Pemerintah dan DPR untuk segera membentuk UU Perubahan terhadap UU Migas yang berlandaskan pada Konstitusi, kepentingan masyarakat luas, dan mengakomodir Pertimbangan Hukum dan Putusan MK tersebut.
2. Saran
Dengan adanya Putusan MK di atas, maka penulis menyarankan Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU Migas agar kedaulatan negara dalam menjalankan fungsi penguasaan atas kekayaan sumber daya alam terjamin demi tercapainya kemakmuran rakyat.
Daftar Pustaka A. Buku
Fatmawati, 2005. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Manan, Bagir, dan Kuntana Magnar, 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, edisi revisi, Bandung: Alumni.
M.D, Moh Mahfud, 2011. Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press.
Notonagoro, 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, Jakarta: Bina Aksara.
Salim, 2006. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syeirazi, M. Kholid, 2009. Di Bawah Bendera Asing; Liberalisasi Industri Migas di Indonesia, Cetakan pertama, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia.
Thaib, Dahan, dkk., 2008. Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wiratno, R., dkk., 1958. Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pembangunan.
Yuliandri., 2010. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta: Rajawali Pers.
B. Jurnal Hukum
Asmaul Husna TR, Cut. 2012. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi terhadap Regulasi Production Sharing Contract. Jurnal Konstitusi. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152.
D. Putusan Hakim
Putusan Mahkamah Konstitusi Konsitusi Nomor 36/PUU-X/2012
E. Situs Internet
http://semestaglory.blogspot.com/2012/07/makalah-analisis-kelahiran-uu- migas.html.
http://koestoer.wordpress.com/tophit/mengapa-bpmigas-harus-bubar.
http://majalahenergi.com/akademisi/kisruh-migas-pasca-uu-migas-no-22- tahun2001.