Kemudian sekitar pukul 02.00 anak korban kembali terbangun karena diganggu oleh terdakwa dengan memeluk anak korban, kemudian terdakwa menyuruh anak korban melepas celana anak korban sambil berkata, “Ayo lihat boru kamu. regar (alat kelamin anda),” kemudian anak korban menjawab, “Tidak mau,” setelah itu terdakwa keluar kamar, sedangkan anak korban masih tidur. Kemudian, pada pukul 04.00 pagi, anak korban kembali terbangun dan menemukan terdakwa berada di samping anak korban, kemudian terdakwa menyuruh anak korban untuk menyentuh alat kelamin terdakwa, namun korban menolak. Kemudian terdakwa mengarahkan kemaluannya ke tangan anak korban sehingga mengenai tangan anak korban dan terdakwa memakai sarung dan tidak berpakaian, kemudian anak korban berusaha menghindar, kemudian anak korban menangis, kemudian terdakwa berkata anak korban, tidak memberitahukan kepada siapapun., dan kemudian terdakwa segera meninggalkan mamar.
Kemudian pada tanggal 24 Maret 2021 sekitar pukul 10.00 WIT, anak korban menceritakan kepada saksi LIDIYAWATU HARAHAP yang merupakan ibu dari anak korban tentang perbuatan tidak senonoh yang dilakukan terdakwa terhadap dirinya dan sehubungan dengan kejadian tersebut saksi LIDIYAWATU HARAHAP mencatat. keberatan. kejadian di Polres Tapanuli Selatan. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya wajib dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dan kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak korban pencabulan, narkotika, minuman beralkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (narkoba), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan orang, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak penyandang disabilitas, dan anak korban penganiayaan dan penelantaran.
Hak dan Kewajiban Anak
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau berkonflik dengan hukum berhak atas kerahasiaan. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kejahatan berhak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya. Setiap anak berhak untuk tidak menjadi sasaran pelecehan, penyiksaan atau hukuman yang tidak manusiawi.
Pelaku di bawah umur tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk diperlakukan secara manusiawi dan diperhatikan kebutuhan perkembangan pribadinya sesuai usianya, serta berhak dipisahkan dari orang dewasa kecuali demi keuntungannya sendiri.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif pada setiap tahap proses hukum yang sesuai. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya mempunyai hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di hadapan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Dalam peraturan perundang-undangan digunakan istilah tindak pidana, peristiwa pidana, dan tindak pidana yang sering juga disebut delik. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat diancam pidana dan dapat dikatakan pelakunya adalah subjek tindak pidana. Menurut Simons pernyataan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan atau perbuatan yang diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan karena kesalahan oleh orang yang cakap untuk mempertanggungjawabkannya.24.
Pada dasarnya unsur-unsur suatu tindak pidana tidak lepas dari dua faktor, yaitu faktor yang ada dalam diri pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar atau faktor lingkungan. Unsur obyektif adalah hal-hal yang berkaitan dengan keadaan luar, yaitu keadaan di mana tindak pidana itu dilakukan dan berada di luar pikiran pelaku. Tindak pidana adalah tentang larangan melakukan perbuatan, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam susunan kata.
Perilaku dalam tindak pidana terdiri atas perilaku aktif atau positif (handelen) yang dapat juga disebut perbuatan material (fakta material) dan perilaku pasif atau negatif (natalen). Bagi pendapat ini, yang disebut hukum tidak hanya hukum (hukum tertulis), tetapi juga mencakup hukum tertulis yaitu peraturan-peraturan atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. c) Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terkandung dalam suatu pasal. Unsur akibat konstitutif ini terdapat dalam tindak pidana materiil (pelanggaran materiil) atau tindak pidana yang akibat tersebut menjadi syarat selesainya tindak pidana tersebut; tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat memberatkan, tindak pidana yang akibat itu menjadi syarat pidana bagi pelakunya.
Unsur ini merupakan unsur tindak pidana yang terdiri atas segala keadaan yang ada dan sah pada saat perbuatan itu dilakukan. Unsur ini hanya terdapat dalam tuntutan pidana, yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang berhak mengajukan banding. Unsur bersyarat ini bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang dimaksud, artinya kejahatan dapat saja terjadi meskipun tanpa adanya unsur tersebut.
Tinjauan Umum Tindak Pidana Memaksa dan Membujuk Anak Melakukan Perbuatan Cabul
- Pengertian Memaksa
- Pengertian Membujuk
- Pengertian Perbuatan Cabul
- Dasar Hukum Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Perbuatan Cabul Terhadap Anak
Salah satu bentuk kejahatan yang terjadi adalah kejahatan memaksa orang lain dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam perkara sebagaimana dimaksud pada angka 2 di atas, tindak pidana dituntut hanya atas dasar pengaduan terdakwa. Membujuk artinya lebih cepat menarik kemauan orang yang dibujuk, karena yang membujuk adalah anak-anak.
Ketentuan pidana pada alinea pertama pasal ini berlaku juga bagi siapa saja yang dengan sengaja melakukan penipuan, menceritakan serangkaian kebohongan atau membujuk seorang anak untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya atau orang lain.” Kamus Hukum juga menjelaskan pengertian pencabulan, yaitu pencabulan merupakan kata dasar dari pencabulan yang berarti tidak senonoh, pelanggaran kesusilaan, kesusilaan, dan hal ini secara umum diatur dalam KUHP, lebih khusus lagi tindak pidana pencabulan terhadap anak pada Pasal 290. , setiap tindakan yang dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain yang melibatkan organ vital atau bagian tubuh yang sensitif.
Soesilo, Kitab Hukum Pidana (KUHP) dan tafsir lengkap pasal demi pasal, Bogor, 1981, hal. 216. Mengenai tindak pidana pencabulan, harus ada orang sebagai subjeknya dan ada orang yang salah melakukannya, dengan kata lain jika dikatakan ada. Jika terjadi tindak pidana pencabulan, berarti ada orang yang menjadi subjek dan orang itu bersalah. Dasar tindak pidana pencabulan diatur dalam pasal KUHP
Dasar terjadinya tindak pidana pencabulan diatur dalam bab KUHP. Unsur pertama suatu tindak pidana adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang (natuurljkepersonen). Orang yang melakukan perbuatan tersebut secara sadar menginginkan perbuatan tersebut dan juga mengetahui atau sadar akan apa yang dilakukannya.
Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Pencabulan 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Sebagaimana disebutkan di atas, tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam hukum pidana. Apabila undang-undang melarang suatu perbuatan dan perbuatan itu sesuai dengan larangan itu, maka dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang. Bertanggung jawab dalam hal ini berarti Anda dapat menyadari sifat haramnya dan menentukan kemauan Anda sesuai dengan realisasi tersebut.
Pelaku dianggap bersalah apabila dengan sengaja atau lalai melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan hukum.
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pencabulan
Oleh karena itu dalam pertanggungjawaban pidana ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pelaku tindak pidana dan pelaku tindak pidana. Dasar hukum kekerasan terhadap anak dapat dilihat pada rumusan tindak pidana pencabulan yang diatur secara jelas dalam Pasal 82 ayat Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp lima miliar rupiah).
Dilarang bagi siapa pun untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, menggunakan paksaan, melakukan penipuan, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul.” Pasal ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh pelaku dewasa adalah pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah.Ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 berlaku apabila pelaku pencabulan terhadap anak adalah orang dewasa, apabila pelaku pencabulan terhadap anak juga merupakan anak maka ketentuan Pasal 82(2) penerapan UU SPPA yaitu pidana penjara dapat yang dikenakan terhadap anak adalah paling lama 1/2 (setengah) dari pidana penjara paling lama bagi orang dewasa.
Namun pertanggungjawaban pidana ini hanya dapat diterapkan pada anak yang melakukan pelecehan seksual antara usia 14 dan 18 tahun. Sebab jika seorang anak melakukan pencabulan pada usia 12 tahun namun belum genap 14 tahun sesuai ketentuan UU SPPA Pasal 69 ayat 2, hanya akan dikenakan sanksi. Sanksi tindakan berdasarkan Pasal 82 ayat 1 UU SPPA meliputi pengembalian kepada orang tua/wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; berobat di LPKS;.
Ruang lingkup penelitian dalam penulisan ini adalah tinjauan hukum terhadap tindak pidana pemaksaan dan membujuk anak untuk melakukan perbuatan tidak senonoh (Putusan No. 203/Pid.Sus/2022/PN Psp).
Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode yang sistematis dan pemikiran tertentu, yang tujuannya mempelajari satu atau beberapa hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. Ruang lingkup penelitian dimaksudkan untuk membatasi dan memperjelas permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi, agar tidak melayang dan menjauh, serta agar penulisan skripsi terarah.
Metode Pendekatan Masalah
Metode legislasi dilakukan dengan mengkaji seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang sedang ditangani.47. Metode pendekatan kasus dilakukan dengan mengkaji perkara-perkara yang berkaitan dengan permasalahan yang ada yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.48 Dalam penelitian ini, perkara yang akan dipahami secara mendalam adalah analisis Putusan nomor 203/Pid.
Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum sekunder antara lain buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar terhadap putusan pengadilan.
Metode Penelitian
Bahan hukum sekunder yaitu segala publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi yang digunakan dalam penelitian, adalah keputusan nomor 203/Pid.
Analisis Bahan Hukum