• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. NOMOR: 3/Pid.SUS-ANAK/2015/PN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. NOMOR: 3/Pid.SUS-ANAK/2015/PN."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG

MENYEBABKAN KEMATIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

NOMOR: 3/Pid.SUS-ANAK/2015/PN.Mrs

OLEH

SAM SAHRIL

B11112638

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(2)

i

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Nomor: 3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs

OLEH :

SAM SAHRIL

B11112638

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi

Sarjana dalam Program Studi Ilmu Hukum

Pada

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(3)
(4)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :

Nama : Sam Sahril

Nomor Induk : B11112638

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak

Pidana Kekerasan yang menyebabkan kematian Yang Dilakukan Oleh Anak

Nomor:3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Makassar , November 2017

Pembimbing I Pembimbing II

( Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan , S.H , M.H ) ( Dr. NurAzisa SH , MH )

NIP : 196201051986011001 NIP :

(5)
(6)

v ABSTRAK

Sam Sahril (B11112638 ), Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana kekerasan yang menyebkan kematian Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan dalam Perkara Pidana Nomor: 3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs),dibawah Bimbingan Bapak Andi Muhammad Sofyan , Sebagai Pembimbing I dan IbuHj. NurAzisa, Sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku tindak pidana kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor:3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs.dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Pidana dalam perkara tindak pidana kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor: 3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs.

Penelitian ini dilakukan di Kota maros dengan lokasi Pengadilan Negeri Maros.Penelitian ini adalah penelitian normative yang bersifat deskriptif, tehnik analisis data secara kualitatif terhadap data primer dan data sekunder ,selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif untuk memberikan gambaran mengenai penerapan hukum pidana tindak pidana kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor:3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Pidana dalam perkara tindak pidana kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor: 3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penerapan hukum pidana materiil terhadap kasus tindak pidana kekekrasan yang menyebabkan kematian ini yakni pasal 80 ayat (3) UURI No 23 tahun 2002 telah sesuai dengan fakta fakta hukum baik keterangan para sanksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa , Hanya saja Pertimbangan hukum yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa dalam kasus tersebut untuk sebagian telah sesuai dengan teori hukum pemidanaan tetapi untuk bagian lainnya masih terdapat kelemahanya itu dalam menjatuhkan sanksi pidana hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan bagi para terdakwa, tidak lazim dalam suatu putusan tidak mencantumkan pertimbangan menyangkut hal hal yang meringankan terdakwa,dimana dalam perkara ini hanya hal-hal yang memberatkan yang menjadi dasar pertimbangan hakim. Selain itu pidana penjara yang dijatuhakan dalam perkara pidana tersebut cukup berat mengingat terdakawanya adalah anak.Akan lebih baik jika hakim menjatuhkan pidana sedikit lebih ringan disertai dengan lebih menekankan pada pemberian bimbingan atau pembinaaan dan pelatihan sesuai dengan Undang-Undang No11 Tahun 2012 Tentang Pengadilan Anak.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirohim AssalamuAlaikumWarahmatullahiWabarakatuh.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, shalawat serta salam juga tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai panutan seluruh muslim di dunia ini.

Penulis sebagaimana manusia biasa tentunya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan serta keterbatasan akan pengetahuan, sehingga penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini, baik materi, teknis maupun penyusunan kata-katanya belum sempurna sebagaimana diharapkan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada :

1. Istriku Suryaningsi Syukur S.ST dan Anak – Anakku Muh. Dzaki Khaizuran dan Annisa Zahirah Islami yang tak henti hentinya memberikan Doa Dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya

2. Buat kedua orang tuaku ALM. Ayahanda Kamaruddin Nonci dan Ibundaku Samsia serta buat mertuaKu Muh. Syukur dan Rukina S.ST M.Kes dan saudara saudaraku yang selalu mendoakan kesuksesanku

(8)

vii

3. Kepada Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan , S.H , M.H, Sebagai Pembimbing I dan Ibu Hj. NurAzisa, Sebagai Pembimbing II atas segala masukan, bantuan, serta perhatian yang diberikan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen serta para karyawan dan petugas akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu.

5. Seluruh angkatan Polri 28 DREGS maros terima kasih atas dukungan dan motivasi selama saya menyusun skripsi ini

6. Seluruh angkatan saya difakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran juga masih diperlukan namun tetap berharap mampu memberikan manfaat bagi dunia keilmuan dan kepada semua yang sempat membaca skripsi ini pada umumnya.

WassalamuAlaikumWarahmatullahiWabarakatuh

Makassar November 2017

(9)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii

DAFTAR ISI ……… iii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ……… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

A. Tindak Pidana ……… 6

1. Pengertian Tindak Pidana……… 6

2. Unsur – Unsur Tindak Pidana ………. 9

a. Unsur Perbuatan ……… 9

b. Unsur Pertanggung Jawaban Pidana ……… 16

B. Tindak Pidana kekerasan Yang Menyebabkan Kematian yang dilakukan oleh anak 1. Pengertian ……….. 21

2. Unsur – unsur Tindak Pidana Pembunuhan ……… 22

3. Jenis – jenis Tindak Pidana Pembunuhan menurut KUHP………. 24

4. Kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian menurut UUD 23 tahun 2002………... 27

C. Tinjauan Terhadap Anak 1. Pengertian Anak………... 28

(10)

ix

2. Sebab – sebab timbulnya kriminologi anak ...……… 30

3. Pertimbangan Pemidanaan Anak ………31

4. Jenis – jenis pidana dan tindakan bagi anak ………..33

BAB III METODE PENELITIAN ………. 39

A. Lokasi Penelitian ……….………39

B. Jenis dan Sumber Data ………..……….. 39

C. Tekhnik Pengumpulan Data ……… 39

D. Analisa Data ……….40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..41

A. Tindak pidana Melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak. ……….……….. 41

B. Kualifikasi hukum pada tindak pidana Melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak ………... 58

BAB V PENUTUP ……….………..77

A. Kesimpulan ………...77

B. Saran ……….78

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap warga negara wajib “menjunjung hukum”. Dalam kenyataan sehari-hari, warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut “melanggar hukum” karena kewajiban tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum.( Leden Marpaung, 2011 : 22 )

Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain.( topo santoso dan eva Achani zulfa, 2011 : 3). Sehingga bukan hal yang mustahil bagi manusia untuk melakukan kesalah-kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja, sehingga perbuatan itu merugikan orang lain dan tidak jarang pula melanggar hukum, kesalahan itu dapat berupa suatu tindak pidana (delik).

Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat adalah tindak pidana kekerasan dan kekejaman mengakibatkan kematian. Pembunuhan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan/merampas jiwa orang lain. Selain itu pembunuhan dianggap perbuatan yang sangat terkutuk dan tidak berperikemanusiaan. Dipandang dari sudut agama, pembunuhan merupakan suatu yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan.

Didalam tindak pidana kekerasan yang mnyebabkan kematian yang menjadi sasaran si pelaku adalah jiwa nyawa seseorang yang tidak dapat diganti dengan apapun. Dan perampasan itu sangat bertentangan dengan Undang-Undang 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

(12)

2

Apabila kita melihat ke dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat KUHP, segera dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuanketantuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang itu dalam Buku ke II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.( P.A.F, Lamintang ,Theo Lamintang, 2012: 11)

Salah satu masalah yang sering muncul dimasyarakat adalah tindak pidana pembunuhan, tindak pidana pembunuhan adalah suatu bentuk kejahatan dalam jiwa seseorang dimana perbuatan tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarkat yaitu norma agama dan adat-istiadat, sekaligus bertentangan dengan norma ketentuan hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup.

Beberapa tahun belakangan ini juga terjadi fenomena-fenomena sosial yang mucul di dalam masyarakat, dimana kejahatan-kajahatan tindak pidana pembunuhan tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa akan tetapi juga dilakukan oleh anak-anak baik secara sendi-sendiri, maupun secara bersama-sama.

Terhadap anak yang melakukan tindak pidana tersebut akan dilakukan tindakan hukum atau proses hukum. Dalam tindakan hukum tersebut, yang masih anak-anak lebih didepankan pada aspek perlindungan hak-hak anak tersebut dalam tiap tingkat pemeriksaannya.

Hal ini didasarkan karena dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak anak sebagaimana layaknya manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak sebagai salah satu sumber daya manusia merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus terutama anak yang berperkara dengan hukum.

Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya

(13)

3

harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi 4 kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.( Maidin Gultom,2010 : 39 )

Jika harus dilakukan proses hukum terhadap anak maka tentunya kurang adil jika kepada terdakwa anak diberlakukan proses hukum yang sama dengan terdakwa dewasa. Begitu juga dengan pidana yang nantinya akan dijatuhkan kepada anak, tentunya sangat tidak adil jika pidana yang harus dijalani sama dengan pidana terdakwa dewasa. Apalagi mengingat bahwa anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa, sehingga dalam menanangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak, harus betul-betul memperhatikan kepentingan dan masa depan anak.

Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada hukum materiil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP tersebut ketentuan hukumnya bersifat konvensional yang mengacu kepada kepentingan hukum kolonial Belanda, tetapi juga karena perilaku dan perdaban manusia sudah sedemikian kompleks bahkan perkembangannya jauh lebih cepat dari peraturan yang ada.( Bunadi Hidayat, 2010 : 49 )

Oleh karena itu, melalui Pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain yang menurut undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang undang-undang itu bertalian dengan masalah anak 4 Maidin Gultom, perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, dan tidak bertentangan dengan ketentuan KUHP (lex specialis derogat legi generali).

Melalui asas ini pula hukum pidana anak membenarkan undangundang lain, di luar KUHP yang bertalian dengan masalah anak seperti Ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang system pradilan anak, di dalam

(14)

4

undang-undang ini mengatur pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman pemidanaannya.

Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undangundang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.( Wigiat Soetodjo, 2010 : 29).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas yang dalam kenyataan hakim dalam menjatuhkan putusan kadang-kadang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibatnya dapat merugikan bagi diri si pelaku, terutama dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan perhatian khusus untuk terus tumbuh dan berkembang sebagi generasi penerus bangsa, dalam konteksnya sering dianggap tidak adil bagi anak.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang penerapan hukum dan pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Untuk itu penulis mengangkat skiripsi dengan judul: Tinjauan Yuridis Tindak Pidana kekerasan yang mengakibatkan Kematian Yang Dilakukan Oleh Anak

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Kualifikasi perbuatan Melakukan kekerasan, yang dilakukan oleh anak dalam pandangan hukum pidana

(15)

5

2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materiil dan pertimbangan hokum hakin dalam perkara tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh anak Nomor: 3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Tujuan penulisan yaitu :

1. Untuk mengetahui Kualifikasi perbuatan Melakukan kekerasan, yang dilakukan oleh anak dalam pandangan hukum pidana

2. Untuk Mengetahui penerapan hukum pidana materiil dan pertimbangan hokum hakin dalam perkara tindak kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak Nomor: 3/Pid.SUS-Anak/2015/PN.Mrs

Sementara kegunaan penulisan yaitu :

1. Memberikan wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para mahasiswa hukum mengenai penerapan hukum pidana materiil terhadap tindak pidana kekerasan yang menyebakan kematian yang dilakukan oleh anak.

2. Memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.

3. Sebagai literatur tambahan bagi yang berminat untuk meneliti lebih lanjut tentang masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

(16)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Para pembentuk undang – undang tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya di maksud dengan kata “strafbaar Feit”, maka timbullah dalam doktrin berbagai pendapat mengenai apa sebenarnya maksud dari kata “ starfbaar Feit”

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.( Andi Sofyan , Nur azisah, 2016 : 97 – 98 )

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang- undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.( Amir Ilyas ,2012 : 20 )

Penulis akan memaparkan beberapa pengertian strafbaarfeit menurut beberapa pakar antara lain:

Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai: “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.( P.A.F., Lamintang , 2011 : 182 )

(17)

7

Simons mengartikan sebagaimana dikutip dalam buku Leden Marpaung strafbaarfeit sebagai berikut. “strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.( Leden Marpaun, 2012: 8 )

Sementara Jonkers merumuskan bahwa “Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.(Amir Ilyas, OP, CIT : 20 )

Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut: “Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipididana dan dilakukan dengan kesalahan.(Andi Hamzah , 2010 : 96 )

Sianturi merumuskan tindak pidana sebagai berikut:( Amir Ilyas ,: 22) “Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab).

Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai berikut: “Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.

Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ialah delik, dikarenakan alasan sebagai berikut:

(18)

8

b. Lebih singkat, efesien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati

c. Orang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan perbuatan pidana juga menggunakan delik

d. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh koorporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia

e. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “peristiwa Pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang dapat dipidana melainkan pembuatnya). (Zainal Abidin Farid, 2007 :231- 232 )

Jonkers dan Utrecht berpendapat rumusan Simons merupakan rumusan yang paling lengkap karena meliputi:

a. diancam dengan pidana oleh hokum b. bertentangan dengan hokum

c. dilakukan oleh orang yang bersalah

d. orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

Berdasarkan rumusan yang ada maka tindak pidana (strafbaarfeit) memuat beberapa syarat-syarat pokok sebagai berikut:

a. Suatu perbuatan manusia

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;

c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. (Teguh Prasetyo , 2011 : 48 )

(19)

9

Dalam KUHP sendiri, tindak Pidana dibagi menjadi dua yakni pelanggaran dan kejahatan yang masing-masing termuat dalam buku III dan Buku II KUHP. Pelanggaran sanksinya lebih ringan daripada kejahatan.

Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaarfeit, bermacam-macam istilah dan pengertian yang digunakan oleh para pakar dilatarbelakangi oleh alasan dan pertimbangan yang rasional sesuai sudut pandang masing-masing pakar.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Pada pembahasaan sebelumnya telah dibicarakan mengenai berbagai pengertian dari tindak pidana oleh ahli hukum. Istilah Tindak dari tindak pidana merupakan “tindakan”sehingga ada orang yang melakukan suatu tindakan sedangkan orang yang melakukan melakukan dinamakan “petindak” antara petindak dengan suatu tindakan ada suatu hubungan kejiwaan, hubungan dari penggunaan dari salah satu tubuh .( andy sofyan,Nur azisah : 2016, 99 )

a. Unsur Perbuatan

1. Perbuatan menurut pengetahuan hukum

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, perbuatan manusia (actus reus) terdiri atas:

a. (commision/act) yang dapat diartikan sebagai melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang atau sebagain pakar juga menyebutnya sebagai perbuatan (aktif/positif).

b. (ommision), yang dapat diartikan sebagai tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang atau sebagian pakar juga menyebutnya perbuatan (pasif/negatif). Pada dasarnya bukan hanya berbuat (commisio/act)

(20)

10

orang dapat diancam pidana melainkan (ommision) juga dapat diancam pidana, karena commision/act maupun ommision merupakan perbuatan yang melanggar hukum.

Untuk lebih jelasnya baik commision/act maupun ommisionakan penulis perlihatkan perbedaannya, hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang terkait yang terdapat dalam KUHP, anatara lain sebagai berikut:

Ommision/act, yang sebagian pakar menyebutnya sebagai perbuatan aktif atau perbuatan positif, contohnya terdapat pada Pasal 362 KUHP yang rumusannya antara lain: “barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang seluruh atau sebagian kepunyaan

orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak , dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.(R. Soesilo, 1995 : 249 )

Ommision, yang sebagian pakar sebut sebagai perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan yang contohnya terdapat pada Pasal 165 KUHP yang rumusannya antara lain: ( R.Soesilo, 1995 : 249)

“barang siapa yang mengetahui ada orang yang bermaksud hendak melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan sepatutnya dan waktunya baik kepada yang terancam, jika kejadian itu benar terjadi dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500”( Ibid : 141).

2. Ada Sifat Melawan Hukum

Penyebutan “sifat melawan hukum” dalam pasal-pasal tertentu menimbulkan tiga pandapat tentang arti dari “melawan hukum” ini yaitu diartikan:

(21)

11

Ke-2 : bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain; Ke-3 : Tanpa hak.( Wirjono Prodjodikoro , 2010 : 2 )

Lamintang menjelaskan sifat melawan hukum sebagai berikut:

“menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat Wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur delik yang terdapat dalam rumusan delik menurut undang-undang. Adapun menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti meteriil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai Wederrechtelijk atau tidak, masalahnya buka harus ditinjau dari ketentuan hukum yang tertulis melainkan harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.( P.A.F Lamintang, : 445 )

Melihat uraian defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam yakni:

1. Sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk).

Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali diadakan pengecualianpengecualian yang telah ditentukan oleh undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. (Amir Ilyas ,Op Cit :53 ) 2. Sifat melawan hukum materill (materiel wedderrchtelijk).

Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undangundang saja (hukum yang tertulis), tatapi juga meliputi hukum yang tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku di masyarakat.

(22)

12

Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum ( Amir Ilyas, Op.Cit. :53). baik secara eksplisit maupun emplisit ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang eksplisit maupun emplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak dapat disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau si terdakawa dapat dilakukan penuntututan dan pembuktian didepan pengadilan. (Teguh Prasetyo, Op cit : 49 )

Adanya sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam ketentuan perundang-undangan, hal ini disebabkan karena perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu dicantumkan secara eksplisit, misalnya pada Pasal 338 KUHP tidak mengandung kata melawan hukum, namun setiap orang normal memandang bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah melawan hukum, bertentangan tidak saja dengan hukum, tetapi semua kaidah-kaidah sosial dan agama. (Zainal Abidin Farid ,Op.cit, : 240 )

Tidak semua perumusan tindak pidana dalam KUHP memuat rumusan melawan hukum. hal ini dapat dilihat antara lain, dalam pasal-pasal berikut ini:

1. Pasal 167 KUHP, yang berbunyi antara lain sebagai berikut: “barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa kedalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan yang dipakai oleh orang lain, atau sedang ada disitu dengan tidak ada haknya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500. ( R Soesilo, Op.cit , : 143 )

(23)

13

2. Pasal 333, yang berbunyi antara lain sebagai berikut:

“(1) barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau dengan meneruskan tahanan itu dengan melawan hak dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun.

3. Pasal 406, yang berbunyi antara lain sebagai berikut: “(1) barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi dipakai atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.29( Ibid, : 278 )

Dalam ketiga pasal di atas, dirumuskan dengan jelas unsur melawan hukum, akan tetapi ada juga pasal dalam KUHP yang tidak memuat unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, antara lain:

1. Pasal 281 KUHP, yang menentukan bahwa antara lain sebagai berikut:

“dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau

denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah”. “(1) barang siapa dengan sengaja merusak kesusilan di depan umum”. (Ibid ,: 204 )

2. Pasal 351 KUHP, yang berbunya antara lain sebagai berikut: “(1) penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500.( ibid : 244 )

Dalam beberapa pasal tidak disebutkan unsur melawan hukum dikarenakan para pembentuk undang-undang menganggap unsur tersebut sudah jelas jadi tidak perlu lagi dimuat dalam rumusan KUHP.

3. Tidak Ada Alasan Pembenar 1. Daya Paksa Absolute

(24)

14

Sathochid Kartanegara mendefinisikan daya paksa Absolutte sebagai berikut: “Daya paksa absolute adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia oleh orang lain.”( Leden Marpaung, Op. cit: 55)

Daya paksa (overmacht), telah diatur oleh pembentuk undang-undang di dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

“Tidaklah dapat dihukum barang siapa telah melakukan suatu perbuatan dibawah pengaruh dari suatu keadaan yang memaksa” Teks asli pasal tersebut yaitu:

“Niet strafbaar is hij die een feit begaat wartoc hij door overmacht is gedrongen”

Daya paksa (Overmacht), dapat terjadi pada peristiwaperistiwa berikut: a. Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara fisik

b. Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara psikis

c. Peristiwa-peristiwa dimana terdapat suatu keadaan yang biasanya disebut Nothstand,

Noodtoestand atau sebagai etat de necessite, yaitu suatu keadaan di mana terdapat:

 Suatu pertentangan antara kewajiban hukum yang satu dengan kewajiban

hukum yang lain.

 Suatu pertentangan antara suatu kewajiban hukum dengan suatu

kepentingan hokum

 Suatu pertentangan antara kepentingan hukum yang satu dengan

kepentingan hukum yang lain.33 (P.A.F Lamintang, Op. Cit. : 428 ) 2. Pembelaan Terpaksa

Pembelaan terpaksa (noodwear) dirumuskan di dalam KUHP Pasal 49 Ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa

(25)

15

dilakukanya, untuk mempertahankan dirinya atau orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hak atau mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.( R soesilo, Op Cit,: 64 )

Para pakar pada umumnya, menetapkan syarat-syarat pokok pembelaan terpaksa yaitu:

1. Harus ada serangan Menurut doktrin serangan harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:

 Serangan itu harus mengancam dan datang tiba-tiba

 Serangan itu harus melawan hukum.

2. Terhadap serangan itu perlu diadakan pembelaan.

Menurut dioktrin harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

 Harus merupakan pembelaan terpaksa; (Dalam hal ini, tidak ada jalan lain

yang memungkinkan untuk menghindarkan serangan itu).

3. Pembelaan itu dilakukan dengan serangan yang setimpal; Hal ini dimaksudkan bahwa adanya keseimbangan kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dikorbankan

4. Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain, perikesopanan (kehormatan) diri atau orang lain, benda kepunyaan sendiri atau orang lain.( Leden Marpaung. Op Cit, : 60 – 61 )

3. Menjalankan Ketentuan Undang-Undang Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa:

“barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Perundang-undangan, tidak boleh dihukum. (R sosilo ,Op. Cit, : 66 )

(26)

16

a. Pengertian peraturan perundang-undangan;

Dahulu Hoge raad menafsirkan undang-undang dalam arti sempit yaitu undang-undang saja, yang dibuat pemerintah bersama-sama DPR. Hoge raad menafsirkan peraturan perundangan dalam arrestnya tanggal 26 juni 1899, W7303, sebagai berikut: “peraturan perundang-undangan adalah setiap peraturan yang telah dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang-undang.”

b. Melakukan perbuatan tertentu

Menurut Sathochid Kartanegara mengenai kewenangan adalah sebagai berikut: “Walaupun cara pelaksanaan kewenangan undangundang tidak diatur tegas dalam undang-undang, namun cara itu harus seimbang dan patut. ( Leden Marpaung , Op.Cit , : 68 )

4. Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah

Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Tiada boleh dihukum barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah, yang diberikan oleh pembesar (penguasa), yang berhak untuk itu. ( R Soesilo, Op Cit, :l 66 )

Sathocid kartanegara mengutarakan bahwa: “pelaksanaan perintah itu harus juga seimbang, patut dan tidak boleh melampaui batas-batas keputusan pemerintah.(Leden Marpaung .Loc. Cit )

b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang mejurus kepada pemidanaan pelaku dengan meksud untuk menentukan seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.( Amir Ilyas, Op Cit,:73 )

(27)

17

Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang diuraikan sebagai berikut:

1. Mampu Bertanggung jawab

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur mampu bertanggungjawab mecakup:

1. Keadaan jiwanya

 Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara

(temporai)

 Tidak cacat dalam pertumbuhan (gau,idiot,imbecile,dan

sebagainya); dan

 Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,

pengaruh bawah sadar (reflexe beweging), melindur (slaapwandel), mengigau karena demam (koorts), nyidamdan dan lain sebagainya, dengan perkataan lain diadalam keadaan sadar.

2. Kemampuan jiwanya:

 Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

 Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

(28)

18

 Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. ( Amir Ilyas,

op Cit, : 76 ) 1. Kesalahan

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum positif indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, yang artinya, untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat diminta pertanggungjawaban atasnya.( Teguh Prasetyo, Op cit, : 226 -227).

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas sebagai berikut:

1. Kesengajaan (Opzet)

Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja (Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. (Zainal Abidin Farid, Op Cit : 226 )

Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni: (Leden Marpaung, Op.Cit, Hal 9 )

 kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang.

(29)

19

Kalau yang dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan melakukan berbuat.(Teguh Prasetyo, Op.Cit ,: 98 )

 kesengajaan dengan insaf pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn).

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatnnya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu. (Amir Ilyas, Op. Cit.: 80 )

 kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus

eventualis).

Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran akan kemungkinan” bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang. (Leden Marpaung, Op.Cit :18 )

2. Kealpaan (Culpa)

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap hati-hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang lebih ringan daripada kesengajaan.

Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, (Ibid, : 26)

 kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld/culpa lata).

Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga akibat tersebut.

(30)

20

 kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa levis)

Dalam hal ini, si pelaku tidak membayang atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.( Ibid )

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini menyangkut pertanggungjawababn seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah Alasan ini dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan:

1. Daya Paksa Relatif

Dalam M.v.T daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa seseorang berada dalam posisi terjepit (dwangpositie). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar diri si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya.( Amir Ilyas , Op. Cit, : 88 – 89 )

2. Pembelaaan Terpaksa Melampaui Batas

Ada persamaan antara pembelaan terpaksa noodwer dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas nodwer exces, yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan, kesusilaan, dan harta benda baik diri sendiri maupun orang lain.

Perbedaanya ialah:

 Pada noodwer, si penyerang tidak boleh di tangani atau dipukul

(31)

21

noodwerexces pembuat melampaui batas-batas pembelaan darurat oleh karena keguncangan jiwa yang hebat.

 Pada noodwer, sifat melwan hukum perbuatan hilang, sadangkan

pada noodweexces perbuatan tetap melawan hukum, tetapi pembuatnya tidak dapat dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.

 Lebih lanjut pembelaan terpaksa yang melampaui batas

nodwerexces menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan terpaksa (noodwer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.( Zainal Abidan Farid, Op.Cit: 200 – 201) 3. Perintah Jabatan Tidak Sah

Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang, pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut berdasarkan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada pada lingkungan pekerjaanya.( Amir Ilyas, Op.Cit : 90 )

B. Tindak Pidana Kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak

1. Pengertian

Kekerasan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berciri keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, dan paksaan.Pengertian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam Bab IX Pasal 89 KUHP dinyatakan bahwa “ Membuat orang pingsan atau

(32)

22

membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya”

Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seseoarang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut. Dengan demikian, orang belum dapat berbicara tentang terjadinya suatu tindakan pidana pembunuhan, jika akibat berbuat meninggalnya orang lain tersebut.( P.A.F Lamintang, Theo Lamintang, 2012 : 1 ) 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana kekerasan yang mengakibatkan kematian

Mengenai pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP, yang bunyinya antara lain sebagai berikut: “barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa

orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamnya lima belas tahun .”54( R Soesilo, Op, Cit, : 240 )

Dengan melihat rumusan pasal diatas kita dapat melihat unsurunsur tindak pidana pembunuhan yang terdapat di dalamnya, sebagai berikut:

a. Unsur subyektif dengan sengaja.

Pengertian dengan sengaja tidak terdapat dalam KUHP jadi harus dicari dalam karangan-karangan ahli hukum pidana, mengetahui unsur-unsur sengaja dalam tindak pidana pembunuhan sangat penting karena bisa saja terjadi kematian orang lain, sedangkan kematian itu tidak sengaja atau tidak dikehendaki oleh si pelaku.

(33)

23

Secara umum Zainal Abidin Farid menjelaskan bahwa secara umum sarjana hukum telah menerima tiga bentuk sengaja, yakni:

1. Sengaja sebagai niat;

2. Sengaja insaf akan kepastian

3. Sengaja insaf akan kemungkinan.55 ( Zainal Abidin Farid , Op.Cit, : 262)

Menurut Anwar mengenai unsur sengaja sebagai niat, yaitu: Hilangnya nyawa seseorang harus dikehendaki, harus menjadi tujuan. Suatu perbuatan dilakukan dengan maksud atau tujuan atau niat untuk menghilangkan jiwa seseorang, timbulnya akibat hilangnya nyawa seseorang tanpa dengan sengaja atau bukan tujuan atau maksud, tidak dapat dinyatakan sebagai pembunuhan, jadi dengan sengaja berarti mempunyai maksud atau niat atau tujuan untuk menghilangkan jiwa seseorang. ( Anwar, 1994 : 63 )

Sedangkan Prdjodikoro berpendapat sengaja insaf akan kepastian, sebagai berikut: Kesengajaan semacam ini ada apabila sipelaku, dengan perbuatannya itu bertujuan untuk mencapai akibat yang akan menjadi dasar dari tindak pidana, kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu mengikuti perbuatan itu.( Wirjono Prodjodikoro , 2003 : 63 )

Selanjutnya Lamintang mengemukakan sengaja insaf akan kemungkinan, sebagai berikut. Pelaku yang bersangkuatan pada waktu melakukan perbuatan itu untuk menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh undangundang telah menyadari kemungkinan akan timbul suatu akibat lain dari pada akibat yang memang ia kehendaki..( Laden Marpaung, Op.Cit: 18 )

(34)

24

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur kesengajaan meliputi tindakannya dan obyeknya yang artinya pelaku mengetahui dan menghendaki hialngnya nyawa seseorang dari perbuatannya.

b. Unsur Obyektif:

1. Perbuatan: menghilangkan nyawa

Menghilangkan nyawa orang lain hal ini menunjukan bahwa kejahatan pembunuhan itu telah menunjukan akibat yang terlarang atau tidak, apabila karena (misalnya: membacok) belum minimbulakan akibat hilangnya nyawa orang lain, kejadian ini baru merupakan percobaan pembunuhan (Pasal 338 joPasal 53), dan belum atau bukan merupakan pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksudkan Pasal 338.

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

 Adanya wujud perbuatan.

 Adanya suatu kematian (orang lain)

 Adanya hubungan sebab dan akibat (causal Verband) antara perbuatan dan

akibat kematian (orang lain).( Adami Chazaw, 2010 : 57 )

Menurut Wahyu Adnan, mengemukakan bahwa.( Wahyu Adnan, 2007 : 45 ).

Untuk memenuhi unsur hilangnya nyawa orang lain harus ada perbuatan walaupun perbuatan tersebut, yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Akibat dari perbuatan tersebut tidak perlu terjadi secepat mungkin akan tetapi dapat timbul kemudian.

(35)

25

Dari ketentuan-ketentuan mengenai pidana tentang kejahatankejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang sebagaimana dimaksudkan di atas, kita juga dapat mengetahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud membuat pembedaan antara berbagai kejahatan yang dilakukan orang terhadap nyawa orang dengan memberikan kejahatan tersebut dalam lima jenis kejahatan yang ditujukan tehadap nyawa orang masing-masing sebagai berikut:( Ibid, : 11 13 )

a. Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dalam pengertiannya yang umum, tentang kejahatan mana pembentuk undang-undang selanjutnya juga masih membuat perbedaan kesengajaan menghilangkan nyawa orang yang tidak direncanakan terlebih dahulu yang telah diberi nama doodslag dengan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan direncanakan terlebih dahulu yang telah disebut moord. Doodslag diatur dalam Pasal 338 KUHP sedang moord di atur dalam Pasal 340 KUHP

b. Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya sendiri. Tentang kejahatan ini selanjutnya pembentuk undang-undang selanjutnya juga masih membuat perbedaan kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya yang dilakukan tanpa direncanakan terlebih dahulu yang telah diberi nama kinderdoodslag dengan kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang anak yang baru dilahirkan ibunya sendiri dengan direncanakan terlebih dahulu yang telah disebut kindermoord. Jenis kejahatan yang terlabih dahulu itu oleh pembentuk undangundang disebut kinderDoodslag

(36)

26

dalam Pasal 341 KUHP dan adapun jenis kejahatan yang disebut kemudian adalah kindmoord diatur dalam Pasal 342 KUHP

c. Kejahatan berupa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang bersifat tegas dan bersunguh-sungguh dari orang itu sendiri, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.

d. Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri atau membantu orang lain melakukan bunuh diri sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 345 KUHP

 Kejahatan berupa kesengajaan menggurkan kandungan seorang wanita

atau menyebabkan anak yang berada dalam kandungan meninggal dunia. Pengguguran kandungan itu yang oleh pembuat 34 undang-undang telah disebut dengan kata afdrijving. Mengenai kejahatan ini selanjutnya pembuat undang-undang masih membuat perbedaan antara beberapa jenis afdrijving yang di pandangnya dapat terjdi dalam praktik, masing-masing yaitu:

 Kesengajaan menggugukan kandungan dilakukan orang atas permintaan wanita yang mengandung seperti yang telah diatur dalam Pasal 346 KUHP

 Kesengajaan menggugurkan kandungan orang tanpa mendapat izin

dahulu dari wanita yang mengandung seperti yang telah diatur dalam Pasal 347 KUHP.

 Kesengajaan menggurkan kandungan yang dilakukan orang dengan mendapat izin dahulu dari wanita yang mengandung seperti yang diatur dalam Pasal 348 KUHP.

(37)

27

 Kesengajaan menggugurkan kandungan seorng wanita yang pelaksanaannya telah dibantu oleh seorang dokter, seorang bidan, atau seorang permu obat-obatan, yakni seperti yang di atur dalam Pasal 349 KUHP.62 ( P. A . F Lamintang, Theo Lamintang, Op. Cit, Hal 11 – 13) 4. Kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian menurut UUD 23 tahun

2002

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Oleh karna itu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk memberi perlindungan hukum kepada anak, Pemerintah Indonesia membentuk UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pada pasal 80 UU Nomor 23 tahun 2002

 ayat (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman

kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

 Ayat (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat,

maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(38)

28

 Ayat (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka

pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 Ayat (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

C. Tinjauan Umum Terhadap Anak 1. Pengertian Anak.

Terdapat beberapa pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan begitu juga menurut para pakar. Namun tidak ada keseragaman mengenai pengertian anak tersebut. Secara umum kita ketahui yang dimaksud dengan anak yaitu orang yang masih belum dewasa atau masih belum kawin.

Berikut ini merupakan beberapa perbedaan pengertian anak dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam Pasal 330 ditetapkan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 45, anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Sedangkan apabila ditinjau batasan umur anak sebagai korban kejahatan (Bab XIV) adalah apabila berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dalam pasal 1 ayat (8) ditentukan bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil yang dididik di lapas paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun.

(39)

29

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, penjelasan tentang anak terdapat dalam pasal 1 ayat 1 Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang berada dalam kandungan.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat 3 Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Nomor: 1/PUUVII/2010, Tanggal 24 Februari 2011, Terhadap Pengadilan Anak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa frase ’8 tahun’ dalam pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1 UU No 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga MK memutuskan batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.

Sedangkan pembatasan pengertian anak menurut menurut beberapa ahli yakni sebagai berikut:

Menurut Sugiri sebagai mana yang dikutip dalam buku karya Maidi Gultom mengatakan bahwa:

“selama di tubuhnya masih berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki.( Maidin Gultom, 2010 : 32 )

Adapun Hilman Hadikusuma masih dalam buku yang sama merumuskannya dengan:

(40)

30

“Menarik batas antara sudah dewasa dengan belum dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang, dam sebagainya, walaupun ia belum berenang kawin.( Ibid )

Dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan batasan pengertian anak yakni seseorang telah mencapai usia 8 (delapan) tahun dan belum 18 (delapan belas) tahun serta belum kawin.

2. Sebab-Sebab Timbulnya Kriminologi Anak

Zakiah Drajat mengemukakan mengemukakan terjadinya kenakalan anak remaja:

“ Dimana kekacauan dan dan kegelisahan atau tekanan perasaan yang dideritanya, dipantulkan keluar dalam bentuk kelakuan yang mungkin menggangu orang lain atau dirinya sendiri, sering kali menyebabkan timbulnya kenakalan anak atau remaja. ( Yesmil Anwar dan adang, 2010 : 384 )

Undang-Undang No 11 Tahun 2012 mengatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang dimaksud anak nakal adalah:

1. Anak yang melakukan tindak pidana

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. ( Bambang Waluto, 2008 : 26 )

(41)

31

Dengan menggunakan logika yang sangat sederhana, kita akan menyetujui bahwa pada dasarnya manusia mempunyai kecendrungan untuk berbuat baik, akan tetapi, untuk mewujudkannya terkadang ia harus bergulat dengan faktor yang ada di dalam dirinya atau juga kemungkinan situasi dan kondisi, yang menjadikan dirinya berbuat sebaliknya.( Walyadi1991 : 17 )

Romli Atmasasmita mengemukakan pendapatnya mengenai motivasi instrintik dan motivasi ekstrintik yang menyebabkan kenakalan anak:

a. Motivasi intrinstik dari kenakalan anak-anak ialah: 1. Faktor intelegentia

2. Faktor usia 3. Faktor kelamin

4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga. b. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah

1. Faktor rumah tangga

2. Faktor pendidikan dan sekolah 3. Faktor pergaulan anak

4. Faktor mass media. 3. Pertimbangan Pemidanaan Anak.

Hakim yang menangani perkara pidana anak sedapat mungkin mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tuanya. atas pertimbangan bahwa rumah yang jelek lebih baik dari lembaga pemasyarakatan anak yang baik (a bad home is better than a good institusion/prison). Hakim seyogyanya benar-benar teliti dan mengetahui segalah latar belakang anak sebelum sidang dilakukan.( Ibid )

(42)

32

Dalam hal hakim memutus untuk memberikan pidana pada anak maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan:

a. Sifat kejahatan yang dijalankan b. Perkembangan jiwa si anak

c. Tempat dimana ia harus menjalankan hukumannya. ( Wigiati Soetodjo, 2010 : 45 – 47 )

Sejak adanya sangkaan atau diadakannya penyelidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat/case study tentang anak dalam sidang.

Adapun yang tercantum dalam case study ialah gambaran keadaan si anak, berupa:

a. Masalah sosialnya b. Kepribadiannya

c. Latar belakang kehidupannya, misalnya: 1. Riwayat sejak kecil

2. Pergaulannya didalam dan diluar rumah 3. Keadaan rumah tangga si anak

4. Hubungan antara bapak ibu dan si anak

5. Hubungan si anak dengan keluarganya dan lain-lain

6. Latar belakang saat diadakannya tindak pidana tersebut.71 ( Ibid )

case study ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak dikemudian hari, karena didalam memutuskan perkara anak dengan melihat case study dapat dilihat dengan nyata keadaan si anak secara khusus (pribadi). Sedangakan apabila hakim yang memutus perkara anak

(43)

33

tidak dibantu dengan pembuatan case study, maka hakim tidak akan mengetahui keadaan sebenarnya dari si anak sebab hakim hanya boleh bertemu terbatas dalam ruang sidang yang hanya memakan waktu beberapa jam saja dan biasanya dalam case study petugas BISPA menyarankan kepada hakim tindakan-tindakan yang sebaiknya diambil oleh para hakim guna kepentingan dan lebih memenuhi kebutuhan.( Burani Hidayat, 2010 : 111 )

4. Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Nakal

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang System Peradilan Anak ( UU SPPA ). Yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan Hukum dalam Masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusu kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penmpatan anak yang menjalani proses peradilan . Substansi yang paling mendasar dalam UU adalah keadilan Restoratif dan Diversi

1. Keadilan restorative meliputi

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai ketntuan peeraturan perundang-undangan

b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum

(44)

34

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan

2. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana

Tujuan Diversi adalah

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

Beberapa hal yang penting diatur dalam UU SPPA:

1. Definisi anak di bawah umur

UU SPPA mendefinisikan anak dibawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori

a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana ( Pasal 1 ayat 3 UU SPPA )

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana ( anak korban ) ( Pasal 1 ayat 4 UU SPPA )

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi ) ( Pasal 1 ayat 5 UU SPPA )

2. Penjatuhan sanksi

Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan 2 sanksi yaitu sanksi tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang brumur dibawah 14 tahun (

(45)

35

Pasal 69 ayat 2 UU SPPA ) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun keatas

a. Sanksi tindakan yang dikenakan meliputi ( Pasal 82 UU SPPA ) 1. Pengembalian kepada orang tua / wali

2. Penyerahan kepada seseorang 3. Perawatan diRS jiwa

4. Perawatan di LPKS

5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta

6. Pencabutan Surat ijin mengemudi 7. Perbaikan akibat tindak pidana b. Sanksi pidana

Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan

1. Pidana pokok terdiri atas a. Pidana peringatan

b. Pidana dengan syarat ( pembinaan diluar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan )

c. Pelatihan kerja

d. Pembinaan dalam lembaga e. penjara

2. Pidana tambahan terdiri atas

Perampasan keeuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat

(46)

36

Selain itu UU SPPA juga mengatur dalam hak anak belum berumur 12 ( duabelas ) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana , penyidik , pembimbing kemasyarakatan dan pekrja social professional mengambil keputusan ( Pasal 21 UU SPPA )

a. Menyerahkan kembali kepada orang tua / wali, atau

b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS diinstansi yang menangani bidang kesejahteran social baik ditingkat pusat maupun daerah paling lama 6 ( enam ) bulan

3. Hak – hak anak

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak ( Pasal 3 UU SPPA )

a. Diberlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya

b. Dipisahkan dari orang dewasa

c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif d. Melakukan kegiatan rekresional

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam , tidak manusiawi serta merendahkan derajat dan martabatnya

f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup

g. Tidak ditangkap , ditahan atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat

h. Memperoleh keadilan dimuka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak dan dalam sidang yang tertutup untuk umum

i. Tidak dipublikasikan identitasnya

j. Memperoleh pendampigan orang tua / wali dan orang yang dipercaya oleh anak

(47)

37 k. Memperoleh advokasi social l. Memperoleh kehidupan pribadi

m. Memperoleh aksebilitas, terutama bagi anak cacat n. Memperoleh pendidikan

o. Memperoleh pelayanan kesehatan, dan

p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas :

a. Remisi atau pengurangan masa pidana b. Asimilasi

c. Cuti mengunjungi keluarga d. Pembebasan bersyarat e. Cuti menjelang bebas f. Cuti bersyarat

g. Hak – hak lain sesuai perturan perundang-undangan 4. Penahanan

Pasal 32 ayat ( 2 ) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 ( emepat beelas ) Tahun atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan diatas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5. Pemeriksaan terhadap anak sebagai saksi atau anak korban

UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak sanksi atau anak korban dalam membrikan keterangan di pengadilan. Saksi / koraban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan

(48)

38

apapun dapat memberikan keterangan diluar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan setempat dengan dihadiri oleh penyidik atau penuntut umum dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi / korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan ini, anak harus didampingi oleh orang tua/wali, pembimbingan kemasyarakatan atau pendamping lainnya ( Pasal 58 ayat ( 3 ) UU SPPA ).

6. Hak mendapatkan bantuan hukum

UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk meendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalhakn jenis tindak pidana yang dilakukan.

Anak berhak mendapatkan bantuan hukum disetiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan , penuntutan maupun tahap pemeriksaan di pengadilan ( Pasal 23 UU SPPA).

7. Lembaga Pemasyarakatan

Dalam pasal 86 ayat ( I ) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di lembaga Pembinaan Khusus anak ( LPKA ) dan telah mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun dipindahkan ke Lembaga pemasyarakatan pemuda.

UU SPPA dan UU pengadila anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak dilembaga pemasyarakatan dilakukan dengan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas ) tahun sampai 21

(49)

39

(duapuluh satu ) tahun ( pasal 86 ayat ( 2 ) UU SPPA da Penjelasan Pasal 61 ayat ( 2 ) UU Pengadilan Anak

(50)

40 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis pilih dalam melakukan pengumpulan data guna menunjang penelitian ini adalah di wilayah hukum Pengadilan Negeri Maros. Alasan dipilihnya pengadilan Negeri Maros sebagai lokasi penelitian yakni karena lokasi tersebut pernah menangani beberapa perkara tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam dua jenis yaitu:

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan para hakim yang pernah menangani perkara tindak pidana kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

2. Data sekunder yaitu berupa data yang diperoleh melalui studi pustaka berupa buku-buku, dokumen, peraturan perundangundangan, karya ilmiah, internet lain-lain, yang berkaitan dengan masalah yang diteleti.

C. Tekhnik Pengumpulan Data

Tehknik yang digunakan untuk mengumpulkan data-data dilakukan dengan dua cara yakni:

1. Penilaian kepustakaan (library reseach) penelitian dilaksanakan dengan mengumpulkan, membaca, dan menelusuri sejumlah bukubuku, dokumen, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan litelatur-litelatur lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

(51)

41

2. Penelitian lapangan (field reseach). Penelitian yang dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian untuk mengadakan pengamatan langsung. Metode ini menempuh dua cara yaitu:

a) Wawancara langsung dengan hakim yang pernah menangani perkara tindak pidana kekrasan kekejaman yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

b) Dokumentasi yaitu menelusuri data berupa dokumen dan arsip yang diberikan oleh pihak terkait.

D. Analisa Data

Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriftif yaitu dengan cara menjelaskan dan mengambarkan sesuai permasalahan yang terkait dengan penulisan skripsi ini.

(52)

42 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak

Sebelum penulis menguraikan mengenai penerapan hukum pidana materiil dalam kasus putusan nomor 03/pid.sus-anak/2015/PN.Mrs , maka perlu diketahui terlebih dahulu posisi kasus dan penjatuhan putusan oleh majelis hakim dengan melihat acara pemeriksaan biasa pada Pengadilan Negeri Maros yang memeriksa dan mengadili perkara ini.

1. Posisi Kasus

Rijal (tersangka ) dan Sainal ( korban ) teman akrab dan masih seepupu dua kali. Rijal melakukan pembunuhan karena merasa dendam sama SAENAL Alias Enal karena Rijal peernah dipukuli oleh bapaknya Enal lalu badik Rijal pernah dicuri dan dijual oleh eenal.

Rijal juga kehilangan uang RP.20.000,- dan ternyata Enal yang mengambilnya lalu Rijal pernah di tampeleng oleh Enal tanpa alas an yang jelas kemudian Enal lari.

Sekitar seetahun yang lalu sapi bapaknya enal ( Lalo dg. Tangga) masuk dikebun ubiRijal sehinggal Rijal usir keluar dan saat sapi itu melompat pagar ternyata kakinya patah, hal itu kemudian Enal sampaikan kepada bapaknya Enal marah kepada Rijal. Tiga hari kemudian Rijal bertemu dengan bapaknnya nal lalu Rijal dipukuli pakai kayudan mengenai kepala Rijal kemudian kayu itu patah dikepala Rijal. Setelah rijal pulang dan menyampaikan hal itu kepada bapaknya kemudian bapak Rijal

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengamatan dengan mikroskop pada pembesaran 100 x 100 dari hasil penelitian Lichenes di Brayeun Kecamatan Leupung Aceh Besar di ambil salah satu

Hasil dari pengorganisasian bisa dilihat melalui perubahan yang telah terjadi pada masyarakat Dusun Balekambang diantaranya: masyarakat mulai memahami dan menerapkan

Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari perbandingan pemakaian tipe busi nikel, iridium dan platinum terhadap daya, torsi dan emisi gas buang pada sepeda motor Yamaha

Hasil dari Pengujian Hipotesis menentukan bahwa Hipotesis Alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan oleh teka teki silang dalam penguasan kata

Beberapa metode yang dibahas dalam perhitungan daya dukung tiang diantaranya dengan cara statik dan calendring, untuk metode statik menggunakan data triaxial,

ديرجتلا مسلاا : مدشر دمت٤ يساسلأا مقرلا : َُِّّّْٓ ةيلك / ةبعش لع : و ميلعتلاك ةيبتًلا ـ / ةيبرعلا ةغللا سيردت ؿكلأا ؼرشت١ا : تَتسجات١ا فويتوسن دلاخ

Adaptasi Model Cropsyst pada Tanaman Kedelai dalam Menghadapi Perubahan Iklim / Aminah..... Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Pengutipan atau memperbanyak sebagian atau

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dapat dikemukakan adalah (1) Bagaimana bentuk pertunjukan Kelompok Jaranan Pegon Suko Budoyo di Kabupaten