• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Tiga

3. Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial Bagi Masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta

3.1 Sejarah Singkat & Keadaan Umum GBKP Runggun Yogyakarta.

Sejarah singkat tentang berdirinya GBKP Yogyakarta tidak bisa terlepas dari suatu

perkara tanah yang pernah terjadi di Yogyakarta yang melibatkan Lurah Sariharjo Yogyakarta.

Beliau bernama Noto Sugio.Selama mengikuti persidangan perkara tanah tersebut diketahui

bahwa Jaksa atau Hakim yang melaksanakan sidang perkara tersebut ialah orang bersuku

Simalungun. Setelah persidangan selesai dan pembacaan keputusan telah dibacakan, dinyatakan

bahwa Noto Sugio menang atas perkara tersebut. Kemudian sebagai ucapan terima kasih kepada

Jaksa dan Hakim yang telah membantu perkara tersebut diberikanlah tanah kepada Jaksa atau

Hakim tersebut.1

Pemberian tanah ini diketahui oleh salah satu Jaksa bernama Tuan Silangit, dan tuan

Silangit juga menginginkan agar tanah yang diberikan Lurah tersebut dibagi dua kepada mereka.

Dan pada akhirnya tanah itu dibagi menjadi dua. Setelah pembagian tanah itu selesai, kemudian

ada inisiatif dari beberapa masyarakat Karo dan Simalungun untuk mendirikan Gereja GBKP

dan GKPS. Dan pada akhirnya Gereja GBKP dan GKPS dibangun bersebelahan sesuai dengan

pembagian tanah.

Selama proses pembangunan Gereja beberapa orang Karo yang memiliki keuangan yang

memadai seperti Masri Singarimbun, Sutradara, Dr Lukas , Tuan Silangit dan Tuan Pandia

1

(2)

melakukan penggalangan dana secara pribadi sesuai dengan kesanggupan mereka. Dana yang

dikumpulkan secara pribadi ini digunakan untuk menggali tanah dan membangun fondasi Gereja.

Kemudian berjalannya waktu, dilakukan penggalangan dana secara global yang melibatkan

masyarakat Karo Yogyakarta secara luas. Da sampai melakukan penggalangan dana ke Jakarta

untuk menemui orang Karo yang memiliki keuangan secara baik sehingga dapat memberi

bantuan dana.2

Selama proses penggalangan dana, dana juga diperoleh dari pemuda-pemudi yang ingin

berkuliah di Yogyakarta, melalui orang tua mereka yang memberikan dana kepada pihak gereja

sebagai ungkapan terima kasih sudah menerima keberadaan anak mereka. Menurut Deta

Singarimbun keberadaan orang Karo Di Yogyakarta di mulai dari tahun 1954. Sejak tahun itu

sudah mulai banyak masyarakat Karo mulai berdatangan ke Yogyakarta dan turut membantu

pembelian tanah serta pembangunan Gereja. Sehingga berdirinya Gereja GBKP Yogyakarta

tidak terlepas dari pergerakan pemuda-pemuda Karo yang berkuliah di Yogyakarta.3

Pada tanggal 1 Desember 1985 diresmikan untuk pertama kalinya oleh KGPH

Mangkubumi. Kemudian direnovasi dan diresmikan kembali pada hari sabtu tanggal 1 Desember

2012 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengku Buwono X. Dengan

diresmikannya Gereja ini oleh pihak Kesultanan Keraton Yogyakarta. Gereja memiliki kekuatan

berbadan hukum untuk berdirinya Gereja dan melaksanakan Kegiatan-kegiatan Gereja.4

2

Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib.

3

Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib

4

(3)

Jemaat GBKP Yogyakarta sekarang meliputi pemudi yang berasal dari

pemuda-pemudi dari Tanah Karo tidak hanya itu mereka juga berasal dari Jakarta, dari Kalimantan,

Medan dan ada juga berasal dari suku Jawa Yogyakarta. Dan sekarang sudah 56 Kepala

Keluarga yang bergereja di GBKP Yogyakarta dan sekitar 250 jemaat yang bergereja di GBKP

Yogyakarta. Secara umum mereka memiliki profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, Wiraswasta,

pensiunan dari kedinasan sipil Yogyakarta dan mahasiswa yang berkuliah di Yogyakrta. Secara

ekonomi kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta cukup mapan. Itu terlihat dari Ibadah Minggu,

parkiran mobil dan sepeda motor yang berjejer memenuhi halaman depan gereja GBKP

Yogyakarta. Dan dapat dilihat dari kelengkapan alat musik Gereja yang modern seperti drum,

gitar listrik, keyboard., serta keadaan bangunan yang masih terawat dengan baik.5

Kemudian di dalam Pelayanan Kategorial GBKP Runggun Yogyakarta terdiri

Perpulungen Jabu-Jabu ( Ibadah keluarga) yang terbagi menjadi 3 sektor yaitu Korinti yang

dilaksanakan tiap hari senin pukul 19.00-21.00 Wib, kemudian tiap hari selasa sektor Filipi pada

pukul yang sama dan tiap hari Rabu Sektor Galatia pada pukul yang sama. Kemudian ada

pelayanan Kaum Bapa (mamre) dan Kaum Ibu (moria) yang dilaksanakan setiap hari minggu

selesai Ibadah Minggu dimulai pada pukul 10.00-12.00 Wib. Kemudian Ibadah Pemuda yang

dibagi menjadi tiga sektor yang dilaksanakan pada tiap hari sabtu sesuai dengan kebutuhan

sektor masing-masing. Dan kemudian ada ibadah minggu yang dilaksanakan pada pukul

08.00-10.00. Wib. 6

5

Wawancara dengan Ibu Iriana Br Tarigan di lakukan di Aula GBKP Runggun GBKP Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 2017. Pada pukul 19.20-19.30 & 20.30-21.00. Wib.

6

(4)

Kemudian di Gereja GBKP Yogyakarta jemaat juga tidak hanya berasal dari suku Karo

saja melainkan juga sudah terjadi perkawinan campuran antara suku Karo dan suku Jawa dan

lainnya. Pada umumnya mereka juga ikut berpartisipasi di dalam ibadah Gereja dan ibadah

rumah tangga. Itu penulis lihat ketika di dalam ibadah rumah tangga ada beberapa orangtua yang

berasal dari suku Jawa yang mengikuti ibadah rumah tangga tersebut. dan menurut penuturan

beberapa informan bahwa jemaat yang mengalami perkawinan campuran pada umumnya aktif di

dalam kegiatan gereja dan tidak merasa asing ketika berkumpul dan bersama-sama dengan orang

Karo. Karena memiliki kesamaan karakter yang mudah bergaul dan bisa menghormati satu

dengan lainnya.7

3.2. Konsep Diri Tentang Orang Karo.

Orang Karo pada dasarnya sangat beragam baik secara sifat, karakter dan interaksi yang

mereka bangun di dalam suatu komunitas budaya dan masyarakat lainnya. Berbagai pendapat

tentang siapa orang Karo dan bagaimana ciri-ciri mereka tidak terlepas pada pengalaman diri

Orang Karo dan kontek Kekaroannya. Ada yang beranggapan bahwa orang Karo adalah suatu

kelompok budaya yang ada di Sumatera Utara bagian timur.

Dan yang tinggal di dataran tinggi Sumatera Utara, dan yang berada di Kabupaten Karo.

Tetapi ada pandangan lain bahwa masyarakat yang bersuku Karo yang berada diluar Tanah

Karo juga disebut sebagai orang Karo dengan alasan bahwa mereka masih menyandang

7

(5)

Merga/Beru8 dari suku Karo. Kemudian mengidentifikasikan siapa orang Karo bisa dicermati

dengan kenyataan bahwa siapapun yang tinggal di daerah Tanah Karo layak disebut sebagai

orang Karo karena mereka bersentuhan langsung dengan praktek budaya dan situasi sosial

kekaroan yang muncul di daerah Tanah Karo. 9. Orang Karo ditandai dengan Merga/beru yang

mereka miliki dan yang mereka dapati dari keturunan orang tua mereka dan orang tersebut yang

layak disebut sebagai orang Karo. Mereka juga harus mengenal tutur (budaya

kekerabatan/perkenalan dalam suku Karo) dan mengenal merga Silima10 (lima dasar marga

orang Karo)11. Berdasarkan data diatas dapat diambil simpulan sederhana bahwa informan

memandang siapa orang Karo berdasarkan dari lokasi mereka tinggal kemudian melihat

masyarakat yang mendiami tanah Karo layak dikatakan sebagai orang Karo dan di tambah lagi

dengan masyarakat Karo yang tinggal diluar Tanah Karo dapat dikatakan sebagai orang Karo

selama merga/beru dan pemahaman mereka tentang konsep dasar suku Karo seperti tutur tidak

pudar berarti mereka masih layak dikatakan orang Karo.

Orang Karo sebenarnya berasal dari kata Haro yang artinya suku pendatang di daerah

Tanah Karo. menurut informan orang Karo yang mendiami tanah Karo ialah suku pendatang

sebab sebelum mereka mendiami daerah Karo sudah ada masyarakat lainnya yang mendiami,

tetapi untuk mendapatkan pengakuan secara khusus, maka daerah yang mereka diami tersebut

8

Merga berasal dari kata “Meherga” yang artinya mahal. Kata merga ini dipakai untuk laki-laki. Di karenakan dalam masyarakat Karo laki-laki menjadi ahli waris dan penerus keturunan maka dari itu kata merga dilabelkan kepada laki-laki. Sedangkan Beru berasal dari kata “Mberu” yang artinya cantik. Dan akhirnya dilabelkan untuk

perempuan yang bersuku Karo. Sehingga di dalam suku Karo ketika ingin menanyakan nama keluarga mereka disesuaikan dengan jenis kelamin mereka laki-laki atau perempuan.

9

Wawancara dengan Diaken Alvia Ezra Natalia Br Tarigan S.Psi, Pt. Bp. Arbi Bangun & Drs. Sinar Sebayang Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 18,19&21 Agustus 2017, pukul 18.33-19.01. WIB, 16.15-16.42.WIB & 17.53-18.10. WIB.

10

Merga Silima adalah lima dasar di dalam suku Karo yang terdiri dari Karo-Karo, Ginting. Perangin-Angin, Sembiring dan Tarigan. Kelima merga ini memiliki sub merga. Tetapi lima merga ini merupakan rumpun merga

yang dijadikan sebagai merga dasar dalam masyarakat Karo.

11

(6)

diberi nama Tanh Karo. Kemudian di tambahkan lagi bahwa orang Karo memiliki aksen bahasa

yang lebih memakai kata “e” dan logat bahasanya mendayu-dayu seperti logat melayu sehingga

orang Karo dalam pengucapan, intonasinya lebih lembut didengar.12

Varian lainnya tentang siapa orang Karo bisa kita lihat di dalam praktek kehidupannya.

Kebiasan orang Karo adalah menjunjung tinggi persaudaraan oleh karena itu orang Karo adalah

orang yang menjunjung tinggi budaya dan tidak meninggalkan budayanya meski sudah pergi

merantau. Kemudian ciri orang karo selanjutnya tidak meninggalkan merga/berunya dan tidak

meninggalkan kekaroannya yaitu kekeluargaan. Orang Karo awal menjunjung tinggi

persaudaraan, orang Karo tidak individualis. Sehingga orang karo sangat menjunjung tinggi

budaya menolong sesama. Dan orang Karo pasti menemukan Keluarganya dimana pun mereka

berada karena mereka sudah diwarisi dengan kemampuan mengambil hati orang Karo yang di

tempat lain13. Sehingga ketika orang Karo bertemu dengan sesamanya pasti mereka akan

langsung mencari tali persaudaraan melalui tutur (perkenalan), menanyakan merga/beru, asal

kampung dan siapa nama orangtua. Barangkali dengan cara begitu tali persaudaraan dapat

ditemukan.

Selanjutnya identifikasi orang Karo ditinjau dari perspektif budaya artinya berbicara

tentang identitas personal yang melekat di dalam diri seseorang. Orang Karo bukan hanya

dipandang sebagai orang yang memiliki merga suku Karo melainkan orang Karo ialah orang

yang tetap menjalankan adat-istiadat Suku Karo Adat istiadat itu tercermin dari peradatan yang

terjadi di dalam suku Karo yang dikenal sebagai runggu (musyawarah), mengenal rakut si telu.

12

Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45. WiB.

13

(7)

Kemudian orang tidak memiliki merga bersuku Karo, tetapi mereka menjalankan dan

melestarikan budaya Karo bisa juga dikatakan sebagai Orang Karo. 14

Dengan kata lain Orang Karo lebih tepatnya ialah yang mengimplementasikan budaya Karo.

Ciri-ciri orang Karo lainnya ditandai juga dengan orang yang memiliki sangkep Nggeluh

(struktur persaudaraan dalam kekerabatan Suku Karo yang dilihat dari garis keturunan Ayah dan

Ibu). Sangkep nggeluh itu terdiri dari kalimbubu (Saudara laki-laki dari pihak ibu),

senina/sembuyak ( saudara satu merga dan saudara kandung & anak beru ( orang yang memiliki

beru yang merganya sama denga pihak laki-laki.15

Di pertegas lagi bahwa Orang Karo ialah yang menghormati kalimbubu, menyayangi

senina/sembuyak dan membantu anak berunya dan pada hakekatnya itulah fungsi sosial orang

Karo, selalu berelasi dengan tiga hal yang mendasar dalam kekerabatan suku Karo. Sehingga

mereka layak disebut sebagai orang Karo16. Berdasarkan temuan di atas, bahwa orang Karo

secara umum dapat diketahui dengan cara mereka memiliki merga/beru yang berasal dari lima

merga dasar atau yang disebut sebagai merga silima. Selain itu bisa dicermati melalui praktek

budayanya yang masih menjalankan runggu (musyawarah), mengenal sangkep nggeluhnya.

Temuan sederhana ini akan mengawali tentang peran nyata rakut si telu bagi masyakat Karo

yang merantau.

3.3. Karakteristik dan Sifat Orang Karo Berdasarkan Temuan.

14

Wawancara dengan Ibu Setia Ukur Br Pinem Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 19.05-19.25. WIB.

15

Wawancara dengan Cinta Muli Br Ginting yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017. Pukul 19.00-19.15.00 Wib

16

(8)

Karakteristik dan sifat Orang Karo berarti suatu karakter dan gaya hidup seseorang yang

secara alamiah yang melekat dalam dirinya sehingga nilai-nilai tersebut menjadi acuan dalam

dirinya untuk berinteraksi dan menjalankan struktur-struktur kehidupan yang seseorang miliki.

Kemudian ketika menjelaskan karakteristik dan sifat orang Karo terlebih dahulu kita harus

mencantumkan bahwa ciri utama orang Karo ialah fasih berbahasa Karo, dengan fasih berbahasa

Karo mereka layak disebut sebagai orang Karo. Tidak terbatas hanya kepada orang yang

memiliki merga/beru suku Karo saja. Siapa saja yang memiliki kemampuan berbahasa Karo

dapat dikategorikan sebagai orang Karo.

Kemudian ciri orang Karo yang lebih spesifik ialah memahami budaya Karo

terkhususnya rakut si telu (kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru). Dengan memiliki dan

memahami rakut sitelu, orang tersebut dikatakan sebagai orang Karo. sebab dasar orang Karo

menunjukkan kekaroannya ialah mengimplementasikan dan memiliki rakut sitelu. Disitulah letak

identitas awal orang Karo.17 Pada bagian berikutnya akan dijelaskan secara jelas tentang rakut si

telu serta peranannya.

Kemudian dari sisi tindakannya dalam hidup karakteristik orang Karo, kuat dalam

bekerja, tekun dalam melakukan sesuatu dan tidak mudah menyerah. Hal ini yang menyebabkan

orang Karo yang diaspora pada umumnya memiliki kekuatan sosial yang sangat kuat didalam

bertahan disuatu wilayah dikarenakan sifat tekun bekerja dan tidak pantang menyerah menjadi

suatu simbol hidup mereka.18 Simbol-simbol semacam ini biasanya masih sering dijumpai di

kehidupan orang Karo dimana pun mereka berada. Karena ini yang selalu diajarkan dan di tekuni

17

Wawancara dengan Drs. Sinar Sebayang di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 17.53-18.10. Wib.

18

(9)

mereka sehingga orang Karo biasa pergi merantau karena memiliki modal semacam itu.

Selanjutnya orang Karo biasanya gampang curiga, lebih sensitive dan orang Karo mudah

bersosialisasi dan sangat bergantung kepada orang lain termasuk kepada rakut si telu.19

Masyarakat Karo pada umumnya bergantung kepada orang lain dan terkhususnya kepada

kelompok rakut si telu dikarenakan setiap acara peradatan suku Karo rakut si telu yang dimiliki

oleh tiap-tiap orang Karo harus hadir dan bertanggung jawab menyelesaikan tugas peradatan ini.

Sehingga ini yang membuat orang Karo selalu membutuhkan kehadiran orang lain di dalam

kehidupannya dan peradatan yang mereka lakukan. Misalnya di dalam kehidupan sosialnya,

ketika ada masalah dan membutuhkan pertolongan orang Karo sudah tahu kemana mereka akan

meminta pertolongan yaitu kepada sangkep nggeluhnya20 (rakut si telu).

Secara kemasyarakatannya orang Karo terkhusus orang sudah merantau memiliki

ciri-ciri sebagai orang yang demokratis. Demokratis disni tidak lagi terfokus kepada orang Karo saja

melainkan sudah membuka diri terhadap kehadiran orang lain. Sehingga jiwa tolong menolong

dan rasa persatuan sudah dinyatakan kepada masyarakat lainnya. Sehingga orang Karo yang

diaspora sudah mulai terbuka dan berkomunitas lebih banyak denga lainnya. Kemudian orang

Karo sering labelkan sebagai orang yang anceng, cian, cikurak ( iri, suka menceritakan orang

lain, dan suka mencari keributan). Dalam orang Karo diaspora hal ini sudah mulai luntur,karena

sudah berbicara tentang bagaimana menolong sesama di daerah rantau. Lebih memperhatikan

sesamasebagai orang Karo yang diaspora dan masyarakat disekitarnya.21

19

Wawancara dengan Hendri Perangin-Angin di lakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017. Pada Pukul, 20.00-20.20. Wib.

20

Struktur kekerabatan yang diambil dari garis keturunan Ayah dan Ibu.

21

(10)

Tambahannya orang Karo ditandai dengan memiliki identitas merga Karo. tetapi dengan

perjumpaan orang lain ciri-ciri orang Karo yang memiliki merga tidak menjadi jaminan sebagai

orang Karo. Tetapi siapa pun yang menghayati dan menghormati nilai-nilai budaya Karo mereka

layak disebut sebagai orang Karo. Kemudian ciri-ciri orang Karo biasanya mandiri, rajin tetapi

memiliki sifat pendendam dan mudah menjudge orang lain kemudian secara positifnya sangat

menghormati orang lain, sopan, ramah, halus dan orang Karo ketika bertemu dengan orang karo

yang baru bertemu langsung bisa dijadikan sebagai keluarga dikarenakan orang Karo mudah

bersosialiasi dan mudah mengambil hati orang lain.22

Selain orang Karo ialah orang yang memiliki merga suku Karo tidak menutup

kemungkinan juga orang yang diangkat dan memiliki merga Karo dapat dikatakan sebagai orang

Karo. Terkhususnya di GBKP Yogyakarta ini yang bersuku Jawa misalnya. ketika sudah

ditabalkan merga Karo dan menjalankan budaya Karo bisa dikatakan sebagai Orang Karo dan

memiliki peran dan tugasnya dalam peradatan suku Karo. Hal ini berkaitan dengan kelompok

Sosial di dalam rakut si telu.23

3.4. Sistem Kekerabatan Orang Karo

Sistem kekerabatan orang Karo sering dikenal dengan sebutan Rakut Si Telu artinya

Rakut= ikat Si= yang dan Telu= tiga artinya ikatan yang24 Berarti ada tiga ikatan yang mendasar

dan kemudian mengikat masyarakat Karo menajdi suatu ikatan yang satu, saling berhubungan

dalam suatu ikatan budaya. Rakut si telu di identikkan dengan sangkep nggeluh. Sangkep

22

Wawancara dengan Jekonia Tarigan, Pt. Em. Madison Ginting & Ibu Rosdiana B.Sc di lakukan di Aula GBKP Runggun GBKP Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 2017. Pada pukul 19.20-19.30 & 20.30-21.00. Wib.

23

Wawancara dengan Ibu Iriana Br Tarigan di Aula GBKP Yogyakarta, pada pukul 18.00-18.15. Wib. Pada tanggal 21 Agustus 2017.

24

(11)

nggeluh ialah suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang pada umumnya dibagi

menjadi 3 bagian besar yaitu kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru.

Kemudian di tambah lagi dengan keberadaan sukut. Sukut ialah pribadi/keluarga tertentu

yang dikelilingi oleh rakut si telu.25 Ini menandakan bahwa rakut si telu adalah suatu kelompok

sosial yang bertugas untuk melaksanakan adat Karo yang tercermin dari tugas mereka dari

kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru sedangkan sangkep nggeluh adalah sistem

kekeluargaan yang mengikat individu Karo dan yang dimiliki orang Karo sebagai saudara

terdekat mereka yang diambil dari keturunan Ayah dan Ibu.

Sangkep Nggeluh di dalam masyarakat Karo tercermin dari cara orang Karo menarik

keturunan baik dari Ayah dan Ibu. Hal inilah yang melekat dalam individu Karo. Dalam hal ini

penulis akan mencontohkan sangkep nggeluh yang penulis miliki dari ayah dan ibu.

1. Merga/Beru. Nama keluarga untuk seseorang yang berasal dari Ayahnya. Kalau untuk anak

perempuan disebut beru. Dan untuk anak laki-laki merga tersebut akan diturunkan turun

temurun. Penulis punya merga Karo-Karo (salah satu merga dasar suku Karo) dan sub merga

yang dimiliki penulis ialah Barus. Sehingga merga yang dimiliki penulis ialah barus mengikuti

sub merganya. Tetapi untuk penulisan cukup dengan barus saja. Tetapi untuk pengucapan nama

karo-karo tetap digunakan.

2. Bere-Bere. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Beru ibu penulis adalah

Ginting Suka, jadi bere-bere penulis ialah Ginting Suka.

25

(12)

3. Binuang. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ayah atau ibu dari ayah.

Bere-bere ayah penulis ialah Ginting Munthe. Dapatkan diartikan ini adalah nenek dari penulis

(dari ayah)

4. Kempu (perkempun). Nama keluarga yang diwarisi dari bere-bere ibu. Dapat diartikan sebagai

nenek dari penulis melalui keturunan ibu. Nenek dari ibu penulis mempunyai beru Sitepu. Jadi

penulis merupakan kempu dari Sitepu.

5. Kampah. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere kakek ayah penulis. Ibu dari

kakek penulis memiliki beru ginting munthe. Sehingga penulis memiliki kampah ginting munthe.

6. Soler. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru dari neneknya ibu. Beru dari

neneknya ibu penulis ialah beru Sembiring Gurukinayan.26 Inilah 6 kekerabatan yang dimiliki

oleh tiap individu Karo, hal ini harus diketahui oleh orang Karo sebagai bentuk kekerabatan yang

mereka miliki. Dengan ke enam hal ini, inilah saudara terdekat orang Karo atau pada hal ini

dikaitkan dengan penulis. Dan siapapun orang Karo yang memiliki merga/beru di atas

merupakan saudara dekat meskipun tidak kandung.

Rakut si telu memiliki fungsi sebagai berikut.Pertama, mengikat masyarakat suku Karo

menjadi satu, mengikat dan mempersatukan setiap individu-individu masyarakat Karo dalam

setiap kegiatan adat istiadat dan didalam kehidupan sehari-harinya.27 Artinya orang Karo sudah

diikat oleh budaya dan tidak bisa dilepaskan oleh apapun. Hal yang mengikat itu biasanya

berasal dari merga dan kelompok sosial yang individu Karo miliki.

26

Brahmana, Daliken Si Telu, 36-37.

27

(13)

Pengikatan itu dilakukan agar orang Karo tetap melihat sesamanya sebagai saudara dalam

kehidupan sosial dan tidak hanya sebatas praktik-praktik budaya saja. Sebab kelihaatan aneh jika

kekuatan budaya begitu mengikat individu Karo tetapi kehidupan sosialnya dengan orang lain

sangat minim dengan nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Sehingga ikatan ini mencirikan orang

Karo yang beridentitas sosial. Kemudian yang kedua, Terikat kepada kepada kekerabatan

tiap-tiap individunya secara terbuka.28

Polarisasi kekerabatan suku Karo sangat spiral dalam arti tidak terputus. Mungkin hari ini

bisa menjadi yang memiliki acara, kemudian hari bisa menjadi kalimbubu, senina/sembuyak &

anak beru di dalam struktur kekerabatannya. Sehingga varian peran semacam ini membutuhkan

keterbukaan dari tiap individu Karo guna menyadari bahwa dirinya membutuhkan orang lain dan

memiliki rasa rendah hati terhadap peran sosial didalam sistem kekerabatan orang Karo. Ketiga,

mengikat dalam hubungan sosial sehingga ada rasa gotong royong didalam kehidupannya

sehingga memunculkan rasa empati didalam dirinya dan mengutamakan mufakat dan

menghormati pendapat orang lain.29 hal ini terlihat dalam tradisi orang Karo yang disebut runggu

(musyawarah).

Dimana musyawarah ini tempat berkumpulnya tiga kelompok sosial yang ada didalam

sistem kekerabatan orang Karo. penjelasan tentang runggu akan dibahas dalam bagian

selanjutnya. Rakut si telu adalah ikatan fungsi sosial dalam masyarakat Karo yang

mengelompokkan tiap individu Karo ke dalam peran, fungsi dan status didalam sistem

kekerabatan orang Karo. Dimana pengelompokkan ini berfungsi dalam peradatan suku Karo dan

didalam praktik kehidupannya bersama orang lain.

28

Brahmana, Daliken Si Telu, 6.

29

(14)

Kemudian rakut si telu terbagi atas 3 bagian yaitu:

1. Kalimbubu

Kelompok sosial pertama ialah kalimbubu. Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara

bagi keluarga. Dalam hal ini kalau diilihat dalam keadaan penulis, yang termasuk dalam

kalimbubu penulis ialah saudara laki-laki dari ibu penulis (paman). Kalimbubu juga memiliki

sebutan sebagai dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan). Konsep kalimbubu sebagai Tuhan

kelihatan disebabkan oleh tugas dan tanggung jawab mereka yang diidentikan sebagai penasehat

dalam peradatan suku Karo, dengan kata lain pada kelompok kalimbubu memiliki tugas

mengawal keseluruhan acara yang ada dalam peradatan suku Karo. Selain itu kelompok

kalimbubu ini memiliki makna tambahan sebagai kelompok yang begitu mempengaruhi struktur

sosial yang ada didalam masyarakat Karo. Pengaruh itu ditandai dengan kalimbubu menjadi

tumpuan dan wadah bagi masyarakat Karo ketika ingin melakukan peradatan, mempersiapkan

sampai menyelenggarakan peradatan tersebut.

Sehingga kalimbubu sangat disegani didalam sistem kekerabatan suku Karo dikarenakan

memiliki peran yang sangat penting didalam peradatan karena dia adalah pemberi dara bagi

keluarga. Kalimbubu bisa diartikan sebagai paman dari ibu individu Karo. Biasanya kalimbubu

memiliki kewajiban untuk memberikan saran-saran kepada orang Karo disekitarnya dan dapat

pula memaksakan kehendaknya sesuai dengan keinginannya. Sehingga kalimbubu menjadi

prioritas utama dalam pelaksanaan adat di Suku Karo. Itu sebabnya menyegani kalimbubu berarti

menghormati peradatan yang sedang berlangsung. 30

30

(15)

Dalam kehidupan sosial masyarakat Karo, kalimbubu dijadikan untuk tetap bertanya

pendapat, saran dan nasihat ketika terjadi suatu permasalahan dalam keluarga. Biasanya

kalimnbubu akan memberikan saran, nasihat atapun solusi yang tepat untuk suatu permasalahan

yang terjadi. Dan menjadi kebiasaan dalam suku Karo untuk mengikuti saran ataupun solusi dari

kalimbubu. Karena dianggap saran dan solusi yang diberikan oleh pihak kalimbubu dapat

menyelesaikan permasalahan keluarga tersebut.

Kalimbubu juga dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

Kalimbubu berdasarkan tutur (berdasarkan tradisi sehari-hari).Kalimbubu bena-bena.

Kelompok keluarga pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak dara dari keluarga itu. Atau dengan kata lain kelompok ini sebagai pemberi dara sekurang-kurangnya tiga generasi. Kemudian kalimbubu Simajek lulang

yang golongannya mendirikan kampung. Biasanya kelompok ini diberikan secara turun temurun dalam suatu kampung.31

Kalimbubu iperdemui adalah orangtua/saudara dari isteri orang/keluarga tertentu.

Kalimbubu ini sering disebut sebagai kalimbubu sierkimbang. Artinya kalimbubu

berfungsi membawa pakaian adat bagi menantunya dan ini dijalankan pada pesta ada tertentu.

Kalimbubu Simada Dareh (bere-bere)

Orang tua (bapa) atau turang (saudara) ibu. Dalam praktek kalimbubu ini dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan keadaan tertentu. 1.kalimbubu singalo ulu emas. Bila bere-bere (keponakan)nya yang laki-laki kawin, maka ia disebut kalimbubu singalo ulu emas.2. Kalimbubu Singalo bere-bere. Bere-berenya yang perempuan kawin, maka ia disebut sebagai kalimbubu singalo bere-bere.3. Kalimbubu Singalo Maneh-Maneh. Apabila anak beru meninggal dunia dalam usia lanjut. Kalimbubu ini berhak untuk menerima utang adat.4. Kalimbubu singalo morah-morah. Anak beru dareh meninggal dunia, umur belum lanjut, anak belum berkeluarga semua, maka ia menerima utang adat berupa morah-morah. Terakhir ialah kalimbubu singalo sapo iluh. anak beru darah yang meninggal dalam usia muda, belum berkeluarga maka utang adatnya bernama sapu iluh.32

Kalimbubu Bapa (Binuang)

31

Kalvinsius Jawak, “Teologi Agama-Agama GBKP”. (Doktor diss., Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,2014, 147.

32

(16)

Kalimbubu dari ayah, kalau dalam tutur ia menjadi binuang, memiliki sub kalimbubunya sesuai dengan fungsinya. 1. Kalimbubu Simajek Diliken. Anak berunya ( yang

binuangnya adalah dia yang memasuki rumah baru maka, dia disebut kalimbubu simajek diliken. 2. Kalimbubu Singalo Perninin. anak beru menteri (anak perempuan dari bere-berenya laki-laki) kawin. Maka ia menerima utang adat dari neneknya. 3. Kalimbubu Singalo ciken-ciken. Anak beru menteri (laki-laki yakni anak dari bere-berenya yang perempuan meninggal dunia, maka ia menerima utang adat dari kalimbubu ciken-ciken.

Kalimbubu Nini (Kampah)

Kalimbubu dari kakek (ayah dari ayah). Kalimbubu ini sering disebut sebagai kalimbubu bena-bena.

Kalimbubu tua. Kalimbubu ini dibagi menjadi tiga bagian:

Kalimbubu Tua Jabu. 1 Kalimbubu yang secara terus-menerus memberi anak daranya dari empung, kakek sampai ke ayah. 2. Kalimbubu Tua Kesain. Kelompok dari merga

tertentu yang diangkat menjadi kalimbubu ketika mendirikan kesain33tertentu34

Kalimbubu berperantara ke sukut. Dibagi menjadi beberapa bagian. 1. Puang Kalimbubu

(kalimbubu dari ibu kita) kalau dilihat dari struktur kekerabatan penulis ini, puang kalimbubu penulis adalah ia yang bermerga sitepu. Kemudian, puang kalimbubu yang menerima perkempun dan ciken-ciken, seperti puang ni puang(soler) Dan yang terakhir

kalimbubu Sepemeren. Sipemeren dari kakak laki-laki ibu kita.35

2. Senina/Sembuyak

Kelompok sosial kedua yaitu Sembuyak/Senina. Secara harafiah sembuyak berasal dari

kata „se‟ berarti satu dan „mbuyak’ berarti perut/rahim, jadi sembuyak artinya merga/klen asal

usulnya berasal dari satu perut/rahim.36 Artinya saudara kandung yang berasal dari ibu yang

sama. Ini biasanya berasal dari satu garis keturunan yang sama (merga yang sama). Kemudian

peranan sembuyak adalah bertanggung jawab kepada setiap upacara, adat

sembuyak-sembuyaknya, baik kedalam maupun keluar. Hal ini menandakan bahwa sembuyak dijadikan

sebagai kekuatan keluarga untuk membantu satu keluarga yang sedang bermasalah ataupun ingin

melakukan peradatan baik perkawinan dan kematian dan bisa untuk peradatan lainnya. Karena

33

Tempat dilakukannya upacara adat Karo pada zaman dahulu.

(17)

sembuyak merupakan saudara kandung, mereka wajib membantu segala keperluan saudara

kandungnya.

Biasanya ini terjadi ketika suatu keluarga yang mengalami permasalahan baik secara

ekonomi, sosial, maupun masalah lainnya. Saudara kandung dari Ayah, ibu dan anak-anak

mereka wajib untuk memberikan bantuan sesuai dengan apa yang diperlukan. Hal ini harus

dilakukan sebagai tanda bahwa mereka bersaudara kandung. Peranan mereka sangat penting

dalam keberlangsungan kehidupan suatu keluarga.37 Bantuan itu biasanya bersifat mendamaikan

jika terjadi perselisihan antar keluarga, selain itu bantuannya berupa memberikan bantuan moril (

keuangan) jika memang permasalahan soal keuangan. Keberadaan Kelompok ini semakin

mempertegas bahwa sembuyak menjadi penghibur, pendamai dan penyayang karena tugas

mereka sangat berkaitan dengan kesadaran nurani untuk menolong saudara kandungnya.

Kemudian senina berasal dari „se‟ berarti satu dan „nina‟ berarti kata atau pendapat, jadi

senina adalah orang-orang yang bersaudara yang satu kata dan satu pendapat.38Senina ini bukan

berarti berasal dari saudara kandung, bisa saja itu berasal dari merga/submerga yang sama.

Sehingga diangkat menjadi senina dalam satu keluarga. Sehingga senina banyak diambil dari

merga yang sama. Demi mempertahankan struktur sosial didalam kekerabatan dan keluarga.

Sehingga biasanya persaudaraan terlihat juga dalam senina ini karena sudah dianggap seperti

sembuyak yang sama berasal dari perut ibu yang sama. Kemudian ditambahkan lagi bahwa ada

senina sikaku ranan. Kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai merga yang sama

37

Wawancara dengan Yanti Br Pencawan dilaksanakan di Aula GBKP Yogyakarta. Pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 18.00-18.15 Wib.

38

(18)

tetapi sub merga yang berbeda. Dalam musyawarah (runggu) kelompok ini menjadi juru

bicara.39

Kemudian ditambah lagi dengan Sipemeren. Orang-orang yang bersaudara, karena ibu

mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama. Selain itu ada siparibanen. Kelompok

orang-orang yang bersaudara karena isteri mereka bersaudara (sembuyak) atau beru istri mereka sama.

Ada juga jenis senina sepengalon. Persaudaraan yang timbul karena perempuan kita kawin

kepada pria yang sudah mengambil istri dari merga tersebut. Dan yang terakhir adalah

Sendalanen. Persaudaraan, yang timbul karena menjadi menantu laki-laki dari paman dari ibu

kita. Atau menikah dengan sepupu kandung.40

Selain itu ada kelompok senina. Tugas senina adalah memimpin permbicaraan dalam

musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan.

Fungsinya adalah sebagai sekaku/sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi

kesalahpahaman ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anak

beru.41 Dengan begitu senina memiliki fungsi juga sebagai media patner antara yang memiliki

pesta dengan kerabat keluarga yang datang. Oleh sebab itu, ketika ada hal-hal yang ingin

disampaikan dalam suatu musyawarah, para pemilik pesta sudah terlebih dahulu mendiskusikan

hal-hal apa saja yang nantinya mau disampaikan dan didiskusikan.

Kelompok sosial ini semakin memperjelas bahwa orang Karo tidak hanya memiliki rasa

hormat dengan kalimbubu saja melainkan harus memiliki rasa peduli dengan senina, sebab

mereka jadi penyambung lidah si pemilik pesta. Sehingga kondisi seperti ini, sering membuat

orang Karo memiliki senina yang banyak karena itu membuat mereka memiliki teman cerita

39

Prints, Adat Karo, 39.

40

Prints, Adat Karo, 39-40.

41

(19)

dalam kehidupan mereka sebagai orang Karo meski senina itu bukan berasal dari saudara

kandungnya tetapi bisa saja diambil dari merga yang sama ataupun bebere ( beru ibu) yang sama

dengan orang Karo yang pemilik pesta adat tersebut.42

Selain itu Kelompok senina dalam konteks bermasyarakat sangat dekat dengan

seninanya. Meski tidak satu merga, kedekatan mereka sudah dibangun berdasarkan keinginan

dan kebutuhan mereka bahwa suatu saat mereka saling membutuhkan dalam hal peradatan dan

berdasarkan kebutuhan lainnya. Pola kekerabatan semacam ini memberikan peluang bagi

masyarakat Karo untuk selalu bisa memiliki saudara yang banyak. Selain secara budaya sudah

ditentukan siapa saja yang bisa dijadikan sebagai senina mereka.

Tetapi secara konteks bermasyarakat, senina bisa mereka angkat dalam pengertian

kerabat dekat yang memiliki hubungan dekat keluarga. Meski dalam peradatan Karo yang

mereka tidak bisa memberikan bantuan secara peradatan, tetapi secara kehidupan lainnya diluar

budaya, mereka bisa dijadikan sebagai kerabat. Kerabat dalam pekerjaan, kerabat dalam

bergereja. Ini menandakan fungsi senina tak terbatas budaya melainkan sudah mulai memiliki

peranannya memperlengkapi hubungan keluarga masyarakat Karo dalam hal penyelesaian

masalah keluarga maupun sebagai teman sharing.

3. Anak Beru

Kelompok sosial ketiga adalah anak beru. Anak beru ialah para pengambil anak dara atau

penerima anak gadis dari klen tertentu untuk diperistri.43 Atau biasanya anak beru ialah yang

satu merga dengan Ayah si pemilik pesta yang perempuan. Tugas anak beru ini sangat penting

42

Wawancara dengan Setia Br Pinem dilaksanakan di Aula GBKP Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 19.00.-19.15. Wib.

43

(20)

dikarenakan tugas mereka sebagai orang dibalik layar dalam konteks bermasyarakat Karo,

memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan acara adat dari kalimbubunya. Oleh sebab itu

ketika acara adat berlangsung anak beru wajib hadir sebagai penanggungjawab acara dalam

suatu peradatan suku Karo.

Anak beru dibagi menurut dua bagian yaitu:

1. anak beru berdasarkan tutur, terbagi atas:

Anak beru tua. Pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus selama tiga generasi. Tugas anak beru ini ialah kordinator dalam acara adat yang diadakan oleh pihak kalimbubunya. Kemudian anak beru taneh. Penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan

2. Anak beru berdasarkan kekerabatan.

Anak beru jabu. Orang yang langsung boleh menyimpan barang simpanan

kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan untuk menjaganya. Karena dia

merupakan anak kandung saudara perempuan Ayah. Kemudian anak beru langkip. Penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari kalimbubunya. Atau dengan kata lain dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Kemudian ada anak beru menteri.Anak beru dari anak beru. Fungsinya untuk menjaga penyimpanan-penyimpanan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika adat sedang berlangsung. Dan yang terakhir adalah anak beru singukuri. Anak beru dari anak beru menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.44

Secara umum anak beru memiliki tugas yaitu:

1.Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat. Anak beru biasanya

bertugas dalam mencatat apa saja yang dibicarakan dalam musyawarah. Pembicaraan ini

dipersiapkan oleh anak beru. Hal ini mereka lakukan agar persiapan-persiapan pesta bisa

berjalan dengan baik. Dan tidak terjadi lagi kekurangan dalam peradatan.

44

(21)

2.Menyiapkan hidangan pada pesta.Tugas ini mereka lakukan dengan cara

mempersiapkan menu makananan, minuman yang sudah disepakati dalam musyawarah. Dimulai

dengan membeli bahan makanan, kemudian memasaknya. Bahan makanan biasanya keperluan

dapur, beras, dan bahan makanan dan minuman lainnya. Ini yang harus dilakukan oleh anak

beru

3.Menyiapkan peralatan dalam pesta. Biasanya mereka bertugas untuk menyiapkan

peralatan masak, seperti kuali, sendok, lokasi memasak dan lain sebagainya yang berhubungan

dengan peralatan memasak. Kemudian mereka bertugas untuk menyewa jambur (tempat

pelaksanan pesta peradatan).

4.Menanggulangi sementara biaya semua pesta. Secara ekonomis, mereka bertanggung

jawab untuk menyelesaikan biaya pesta yang masih kurang. Sehingga kelompok anak beru

memang sudah mempersiapkan dana jika memang si pemilik pesta kekurangan dana. Kemudian

ketika pesta sudah selesai, nantinya keluarga akan mengumpulkan anak berunya untuk

membicarakan kekurangan biaya dan mendiskusikan untuk hal pelunasan.

5.Mengawasi harta semua kalimbubu wajib menjaga dan mengetahui harta benda

kalimbubunya. Dalam konteks orang Karo mula-mula, masyarakat Karo dulunya tinggal dalam

rumah adat orang Karo atau sekarang dikenal dengan istilah rumah siwaluh jabu (rumah delapan

keluarga). Ketika anak beru melihat harta, atau benda milik keluarga tersebut tercecer didalam

rumah tersebut, mereka berkewajiban untuk menjaga ataupun menyimpannya terlebih dahulu.

Tetapi dalam konteks orang Karo zaman sekarang hal itu tidak dilakukan lagi, karena orang Karo

(22)

6.Menjadwalkan pertemuan keluarga. Anak beru berkewajiban mengatur pertemuan

keluarga dengan kerabat keluarga lainnya. Biasanya pertemuan keluarga yang diatur ialah

pertemuan persiapan peradatan Perkawinan, makan bersama keluarga besar kalimbubu. Kalau

secara mendadak, misalnya mengadakan pertemuan untuk peradatan kematian.

7. Memberikan kabar atau menyampaikan undangan kepada para kerabat yang lain bila

ada pesta adat kalimbubunya. Mereka menyampaikan undangan kepada kerabat keluarga yang

bersangkutan. Undangan ini tidak boleh tidak sampai kepada kerabat keluarga dan benar-benar

diterima oleh kerabat bersangkutan. Jika ada yang tertinggal, biasa kerabat yang tidak dapat

undangan tetap hadir dan akan memberi tahu bahwa undangan tidak sampai ketika peradatan

berlangsung ataupun ketika peradatan sudah selesai dilaksanakan dalam rangka mengingatkan,

sebagai bahan evaluasi kepada kalimbubu.

8. Menjadi juru damai bagi kalimbubunya.45 Ketika terjadi perselisihan antara kalimbubu

dengan kerabat keluarga lainnya. Anak beru berkewajiban sebagai juru damai. Dengan cara

melakukan musyawarah untuk mempertemukan kalimbubu dengan kerabat yang berselisihan. Di

sini anak beru diharapkan netral dan tidak memihak kemanapun. Fungsi mereka sebagai juru

damai bukan sebagai pembela atas kalimbubunya.

Oleh sebab itu kalimbubu berkewajiban untuk menyayangi anak berunya. Istilah Karo

menyebutnya name-nami ( menyayangi ). Karena kelompok sosial anak beru ini memiliki fungsi

yang penting. Tanpa anak beru suatu pesta dari kalimbubu tidak bisa berjalan. Tidak ada yang

bisa menggantikan posisi anak beru ini. Biasanya Orang Karo memiliki rasa empati dan

menyayangi anak beru karena posisi mereka banyak memberikan aksi sosial yang sangat besar

45

(23)

dibandingkan dengan yang lainnya secara tindakannya. Dengan melihat ketiga kelompok sosial

ini, dapat ditemukan suatu jalinan atau jaringan komunikasi yang sangat diatur dalam

sendi-sendi kehidupan orang Karo. Terlihat dalam hal peradatan, kebutuhan sosial orang Karo (

ekonomi dan lain sebagainya).

3.5. Pemahaman Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta Tentang Rakut Si Telu

Jemaat di GBKP Yogyakarta pada umumnya ialah orang Karo yang hijrah dari Tanah

Karo dan Medan. Tujuannya awalnya untuk kuliah di Yogyakarta. Kehidupan yang jauh dari

keluarga menuntut mereka untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain. Bahkan jika bisa

bersosialisasi dengan orang Karo meski tidak memiliki hubungan bersaudara seperti di kampung

mereka. sehingga untuk mempersatukan kehidupan mereka antar orang Karo satu dengan lainnya

mereka mencari dan menentukan dan mengangkat siapa yang menjadi sangkep nggeluhnya.46

Oleh sebab itu sangkep nggeluh yang mereka miliki tidak berasal dari saudara kandungnya

melainkan mereka mencari kedekatan pertalian saudara mereka dari struktur merga, bebere, serta

asal kampung mereka.

Hal ini berdasarkan kesepakatan dan kekerabatan yang mereka miliki dan untuk

mengetahui dan mengangkat kalimbubu, senina dan anak beru bagi tiap-tiap orang Karo yang

berdiaspora biasanya tahapan awalnya berkenalan dan mencari hubungan kekerabatan mereka

kemudian sampai pada tahap pertemuan di tiap-tiap peradatan yang dilakukan di Yogyakarta

Rakut si telu sering diidentikkan dengan sangkep nggeluh ( persaudaraan berdasarkan

struktur kekerabatan). Mengetahui orang Karo bersaudara dengan sesamanya, biasanya orang

Karo harus berkenalan terlebih dahulu sehingga mereka bisa menentukan bagaimana posisi

46

(24)

mereka didalam hubungan kekerabatan suku Karo. Setelah melakukan perkenalan, mereka

bercerita tentang siapa sanak saudara yang ada di kampung ataupun berasal dari kampung mana.

Biasanya kalau memiliki merga yang sama, tingkat kesulitannya tidak terlalu sulit karena

disebabkan nenek moyangnya pasti terjalin antara kampung satu dengan lainnya (contohnya

barus dengan barus yang memiliki satu merga yang sama di dalam Karo-Karo. Kemudian kalau

yang berbeda merga biasanya ditanyakan ibunya beru apa dan berasal darimana. Jika belum

ditemukan di tali persaudaraan sampai kepada tahap kakek dan nenek siapa dan berasal dari

kampung mana. Jika tidak ditemukan lagi maka diangkatlah sangkep nggeluh secara simbolik.

Sehingga tetap memiliki struktur persaudaraan secara budaya dan adat. Di dalam proses ini

jemaat GBKP Yogyakarta menempatkan peran dan posisi mereka dalam struktur rakut si telu.47

Dengan konteks kemasyarakatan diatas. Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta pada

umunya memahami struktur rakut si telu. Struktur ini berupa tiga keatas, dua ketengah dan tiga

kebawah. 3 keatas itu ialah kalimbubu ( beru ibu), puang kalimbubu ( beru nenek dari ibu),

puang ni puang ( beru dari nenek ibu). Kemudian kedua ketengah ialah senina dan sembuyak.

Senina ialah marga yang memiliki rumpun merga yang sama. Sedangkan sembuyak ialah

saudara kandung yang satu perut dengan ibu kita. Dan tiga kebawah ialah anak beru.48 Tiga

konsep dasar ini dimiliki oleh oleh jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan masyarakat Karo

pada umumnya. Dengan mengetahui struktur ini orang Karo menemukan suatu ikatan budaya

dan ikatan sosial secara kemasyarakatan di dalam menjalankan kehidupannya. Umumnya di

Yogyakarta orang Karo sudah memiliki ketiga hal diatas.

47

Wawancara dengan Iriana Br Tarigan, Bp. Bebas Tarigan, Bp.soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19,21&23 Agustus 2017. Pada pukul, 20.30-20.50, 20.40-21.00 & 15.00-15.45.Wib.

48

(25)

Rakut si telu ialah hal yang mendasar dalam budaya Karo dan dijadikan sebagai

pengikat yang kuat di dalam kekerabatan suku Karo.Biasanya orang Karo yang merantau

langsung mencari sangkep nggeluhnya karena itu merupakan tiga komponen dasar budaya harus

dimiliki oleh orang Karo ketika mereka merantau.49 Karena ini merupakan suatu hal yang harus

dilakukan orang Karo di Yogyakarta maka dari itu mereka mulai membangun komunikasi yang

dengan sangkep nggeluhnya. Komunikasi itu dibangun ketika mereka berada dalam suatu

peradatan seperti perkawinan, kematian dan masuk rumah baru dan arisn-arisan Karo yang

mereka ikuti bersama. Selain itu pemahaman rakut si telu di Karo diaspora mulai mengarah

rakut si telu sebagai fungsi sosial.

Fungsi sosial orang Karo yang harus dilakukan ialaah mereka harus siap dimanapun

peran dan posisi mereka dalam suatu struktur kekerabatan. Rakut si telu perannya akan selalu

berganti. Orang Karo tidak akan selalu menempati posisi kalimbubu akan ada kalanya mereka

akan menduduki posisi senina/sembyak atau anak beru. Sesuai dengan bagaimana hubungan

persaudaran yang dimiliki antara tiap-tiap orang Karo.50 Ketika kita bertutur atau berkenalan

biasanya kita sudah tau dimana status budaya/peradatan kita untuk orang lain yang baru kita

kenal karena kita terlebih dahulu menyampaikan merga dan bebere-bere kita yang melekat di

dalam diri kita sebagai konsep dasar ciri orang Karo yang mengetahui asal usul merga ayah dan

ibu.51

Peran rakut sitelu sudah mendarah daging dalam diri orang Karo. Kemudian pada

dasarnya orang Karo mengetahui rakut si telu secara umum saja dikarenakan hidup di tanah

49

Wawancara dengan Bp. Bedul Tarigan, dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017. Pada pukul 11.10-11.40 Wib.

50

Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib.

51

(26)

rantau dan kehidupan bersama dengan orang Karo yang merantau menyebabkan mereka mampu

mempertahankan adat-istiadat yang ada dalam suku Karo. Karena orang Karo Diaspora

mengetahui benar bagaimana hidup merantau begitu memberikan resiko yang besar dan mereka

membutuhkan suatu ikatan/perkumpulan.komunitas yang sama-sama berasal dari satu suku yang

sama. Maka dari itu mereka mencari sangkep nggeluhnya. Itulah cara yang dilakukan orang Karo

diaspora Yogyakarta terkhusus bagi jemaat GBKP Runggun Yogyakarta agar pelaksanaan rakut

sitelu bisa berjalan dan tetap diwarisi di Yogyakarta.52

Pertemuan rakut si telu di Yogyakarta tidak hanya dilakukan dalam suatu peradatan suku

Karo saja. Melainkan itu terjadi di dalam suatu arisan53 merga orang Karo. arisan orang karo

terdiri dari arisan per merga, arisan asal kampung dan arisan secara keseluruhan masyarakat

Karo yang ada di Yogyakarta.54 Secara umum penerapan rakut si telu dapat dilihat dan

ditemukan dalam suatu peradatan di suku Karo. Narasi komunikasi ketiga hal tersebut sangat

terlihat di peradatan baik di peradatan perkawinan, pernikahan dan masuk rumah baru.

Tetapi di Yogyakarta pertemuan rakut si telu ini dapat juga dilihat dari arisan-arisan

yang dilakukan. Arisan ini dilaksanakan dalam rangka tetap membangun komunikasi yang ada

antar orang karo yang ada di Yogyakarta. Misalnya apa yang menjadi kendala didalam

perkumpulan tersebut, kemudian tentang keluarga yang jarang kelihatan atau yang memiliki

permasalahan yang mana kala arisan tersebut bisa memberikan solusi dan bantuan yang dapat

memberikan keringanan atas masalah tersebut.

52

Wawancara dengan Hendri Perangin-Angin di lakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017. Pada Pukul, 20.00-20.20. Wib.

53

Arisan merga ada perkumpulan masyarakat Karo berdasarkan merga, asal kampung dan kekerabatan

54

(27)

Di dalam peradatan suku Karo yang ada di Yogyakarta. Peradatan biasanya dilakukan

suatu aula atau yang biasanya disebut sebagai jambur ( balai pertemuan). Karena keterbatasan

pemahaman tentang budaya Karo. Balai pertemuan yang melaksanakan adat Karo sudah

dipersiapkan tempat-tempat yang sudah diberi nama/jabatan dalam peradatan untuk

mempermudah orang Karo yang datang untuk bisa langsung mengetahui dimana mereka bisa

duduk dan mengetahui jabatan apa yang mereka lakukan selama suatu peradatan suku Karo ini

lakukan. 55

Hal ini dilakukan karena tidak semua orang Karo disini yang mengetahui secara persis

proses peradatan yang akan dilakukan dikarenakan mereka memang telah lama meninggalkan

tanah Karo, sebab lain karena mereka lahir dan besar di Yogyakarta. Dan untuk sebagai wahana

pembelajaran, balai pertemuan diberikan tanda atau nama jabatan yang dituliskan agar orang

Karo bisa tau dimana posisi jabatan mereka. Tetapi biasanya secara umum mereka mengetahui

dengan benar. Tetapi proses pelaksanaan peradatan dibutuhkan tetua Karo yang membantu

menjelaskan. Dan itu berasal dari orang Karo yang bergereja di GBKP Yogyakarta. Sehingga

orang Karo di GBKP Yogyakarta menjadi poros untuk membantu pelaksanaan peradatan di

Yogyakarta

Kemudian kebermanfaatan rakut si telu di rasakan oleh orang Karo di Yogyakarta karena

pelaksanaan adat suku Karo tidak diperlukan lagi suatu kepanitiaan dalam melaksanakan suatu

peradatan dikarenakan sudah ada rakut si telu. Biasanya orang Karo pasti sudah tahu posisi

dirinya di dalam suatu pelaksanaan peradatan suku Karo. misalnya anak beru sudah tau, hal-hal

apa saja yang harus dipersiapkan selama peradatan berlangsung dan senina/sembuyak dalam

55

(28)

keluarga tersebut sudah tau arahan-arahan yang seperti apa saja yg harus mereka berikan kepada

anak beru dalam pelaksanaan adat Karo tersebut. Dan kemudian Kalimbubu sudah mengetahui

saran-saran apa saja yang diberikan kepada anak beru dan senina. Dan dengan adanya rakut si

telu pekerjaan budaya dalam suku Karo lebih mudah karena sudah terorganisir. 56

Selama Ada GBKP di Yogyakarta, rakut si telu diusahakan selalu dilaksanakan. Dan

orang Karo di GBKP Yogyakarta sebagai promotor pelaksanaan budaya di Yogyakarta. Ada

beberapa orang Karo yang sudah menikah dengan suku lain disini tetapi tidak mempergunakan

budaya Karo lagi dan seolah-olah tidak mengenal orang Karo lagi. Dimensi semacam ini masih

ada di Yogyakarta. Untuk peradatan perkawinan dan peradatan orang meninggal rakut si telu

berjalan disini, meski bukan sangkep nggeluh kandung tetapi mereka tetap menjalankan tugas

mereka sebagai pemangku jabatan yang harus menyelesaikan suatu peradatan dengan baik dan

tepat. Caranya mencari kesamaan merga, kesamaan bebere-bere untuk senina dan mencari

kalimbubu terdekat dalam suatu keluarga.

Rakut si telu tidak membatasi kehidupan orang Karo, melainkan rakut si telu bisa kita

jalankan untuk suku lain. Misalnya suku jawa. Ketika laki-laki Karo menikah dengan perempuan

jawa, paman perempuan jawa yang berasal dari ibunya tersebut sudah dilabelkan sebagai

kalimbubu pihak laki-laki dan kita harus menghormatinya. Dengan kata lain rakut si telu

memberi ruang bagi suku lain untuk mendapatkan jabatan struktural budaya di dalam suku Karo

itu sendiri. Kalimbubu bagi pemahaman orang Karo disini masih menganggap mereka sebagai

Tuhan yang kelihatan, berarti menjadi orang yang paling bijaksana di dalam kehidupan orang

Karo. sehingga peran kalimbubu di suku Karo sangatlah penting. Tidak menutup kemungkinan

56

(29)

orang yang sudah diberi merga suku Karo bisa lebih memahami dan mengenal merga dan

budaya Karo. hal ini disebabkan mereka sering mengikuti dan menjalankan fungsi-fungsi sosial

rakut si telu.57

Relasi dengan Sangkep Nggeluh disini cukup baik. Karena mereka merupakan tulang

punggung pelaksana adat. Berbeda dengan halnya kalau di Tanah Karo yang masih memiliki

saudara-saudara kandung dan terdekat yang mau membantu. Karena di Yogyakarta sangat

terbatas. Oleh sebab itu penerapan nyata rakut si telu cukup nyata kelihatan di dalam peradatan

di Yogyakarta. Karena memiliki kesamaan nasib yaitu sama-sama merantau sehingga harus

berupaya semaksimal mungkin menjadi rakut si telu yang bisa menyelesaikan suatu peradatan.

Ketika ada suku lain yang sudah diberi merga suku Karo. biasanya orang Karo akan

menjelaskan ketiga hal ini apa saja tugasnya, serta kewajiban apa saja yang harus mereka penuhi

sehingga mereka memahami bagaimana mereka bersikap dengan kalimbubu, senina, dan anak

beru yang mereka miliki.58 Rakut si Telu pada umumnya membebaskan. Karena rakut si telu

memberikan strata sosial bagi kita untuk tiap-tiap keluarga orang Karo yang ada di Yogyakarta.

sebab ketika menjadi suku Karo kita sudah pasti memiliki ketiga peran budaya ini dan itu

melekat dalam diri kita. Kemudian rakut si telu menjadi fondasi awal di dalam bergereja. Sangat

terlihat rakut si telu dilaksanakan didalam kehidupan berkomunitas suku Karo di Yogyakarta.

Misalnya masih ada runggu atau musyawarah yang sering dilakukan dalam melaksanakan

kegiatan-kegiatan di Gereja.

57

Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib.

58

(30)

Sebab masyarakat Karo juga dalam budayanya juga melaksanakan runggu. Di dalamnya

terdapat ketiga jabatan tersebut yang dimana mereka membahas hal-hal apa saja yang harus

dilakukan untuk melaksanakan suatu kegiatan gereja. Hanya saja budaya Karo disini dikemas

dengan wajah baru saja tidak terlalu kaku dan dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan orang

Karo khususnya di GBKP Yogyakarta. Tetapi berbicara tentang peradatan, tidak hanya orang

Karo GBKP saja melainkan pelaksanaan adat itu sama-sama dilakukan dengan orang Karo

Kristen lainnya, orang Karo khatolik dan Orang Karo muslim. Tidak menutup kemungkinan

sangkep nggeluh mereka berasal dari orang Karo yang bergereja di GBKP Yogyakarta.59

Rakut si telu sebenarnya mengatur tatanan bermasyarakat suku Karo yang ada di

Yogyakarta. Sehingga kita memiliki memiliki status sosial dan identitas budaya yang sah

didalam bermasyarakat sehingga dengan adanya rakut si telu masyarakat Karo disini lebih

mengetahui pola bermasyarakat yang baik itu seperti apa. Sehingga orang Karo disini mudah

diterima dengan suku lain di Yogyakarta karena sudah terbiasa hidup dengan menghormati,

menyayangi dan menolong sesama, dan itu didapatkan selama rakut si telu hidupi sebagai

kekuatan sosial bagi orang Karo disini. 60

Rakut si telu disini memberikan kebebasan yang terbatas. Karena ketiga hal ini berputar

terus menerus sesuai dengan siapa yang melaksanakan peradatan dan kita memiliki jabatan

budaya apa di dalam suatu peradatan karo yang sedang dilaksanakan. Sehingga tidak selamanya

orang Karo berada dalam posisi kalimbubu bisa saja mereka akan berada di posisi anak beru dan

senina. Karena sangkep Nggeluh yang ada di masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta bukanlah

dari se darah dengan kita, maka siapa saja yang sudah diangkat menjadi kalimbubu, senina, dan

59

Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib.

60

(31)

anak beru sudah dianggap menjadi saudara kandung sehingga ketika orang karo disini

mengalami kesusahan dan membutuhkan pertolongan mereka sudah tau kemana mereka harus

menyampaikan persoalan mereka. Karena sudah pengangkatan secara legal formal rakut si telu

di Masyarakat Karo terkhususnya di GBKP Yogyakarta. 61

Penerapan rakut si telu sudah berjalan di masyarakat Karo Yogyakarta sedemikian baik,

karena sudah mulai ada diskusi-diskusi budaya, arisan per merga. Dan di dalam arisan per merga

lah rakut si telu ini kelihatan karena kita duduk bersama dengan senina kita, anak beru kita

bahkan juga bisa dengan kalimbubu kita. Semua sudah menjadi satu di dalam arisan per merga.

Karena setiap merga yang kita punya pasti sudah ada ketiga hal tersebut. Sehingga kalau di

Yogyakarta tidak hanya dalam peradatan saja melainkan di arisan merga Karo sudah di terapkan.

Di Perantauan budaya Karo sudah mulai tidak kaku lagi, lebih sudah dipermudah dikarenakan

keterbatasan orang Karo dalam melaksanakan peradatan. Karena keterbatasan saudara kandung

oleh sebab itu pengangkatan sangkep nggeluh yang ada saja dilakukan tidak secara penuh seperti

di kampung lakukan.

3.6. Penerapan Rakut Si Telu di dalam Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta.

Pada umumnya masyarakat Karo yang tergabung di dalam Jemaat GBKP Yogyakarta

masih menerapkan sangkep nggeluhnya di dalam kehidupannya sehari-hari. Sangkep nggeluh itu

terlihat dari penerapan rakut si telu di dalam aktivitas jemaat GBKP Yogyakarta. Penerapan itu

terlihat dari setiap peradatan perkawinan, kematian, runggu (musyawarah), arisan komunitas

Karo dan perpulungen jabu-jabu (ibadah keluarga). Unsur-unsur di atas membuat rakut si telu

tetap menjadi hidup dan berkembang, sehingga persaudaraan dan kesatuan jemaat GBKP

61

(32)

Yogyakarta tetap masih terlihat. Penerapan rakut si telu tersebut tidak hanya berlaku pada di

jemaat GBKP Yogyakarta saja melainkan masyarakat Karo yang beragama Islam dan Katolik.

Penerapan pertama terlihat dari adat perkawinan dan kematian yang dilakukan di

Yogyakarta menurut penuturan Tuan Soni Surbakti (beliau merupakan salah satu jemaat di

GBKP Yogyakarta), beliau menuturkan bahwa adat perkawinan dan kematian suku Karo di

Yogyakarta terkhususnya bagi jemaat GBKP masih dijalankan. Ada yang memilih peradatan

dilakukan di Yogyakarta dan ada yang memilih untuk dilaksanakan di kampung halamannya

masing-masing.62 Kemudian beliau menambahkan tentang bagaimana keadaan umum tentang

peradatan perkawinan dan kematian yang terjadi di Yogyakarta.

Beliau menuturkan bahwa peradatan perkawinan dan kematian suku Karo pada biasanya

dilakukan di jambur (balai desa), tetapi kalau di Yogyakarta dilaksanakan di Aula pertemuan

ataupun ruang tertutup yang cukup besar. Beliau menjelaskan bahwa di dalam peradatan suku

Karo, ketika sudah berada di Aula atau ruang pertemuan posisi pihak perempuan berada di

sebelah kanan pintu masuk, makna dari sebelah kanan ialah orang yang dihormati (pihak

perempuan) dan kemudian yang disebelah kiri pintu masuk ialah pihak laki-laki yang artinya

pihak laki-laki yang menghormati pihak perempuan. Sehingga keadaan peradatan tersebut

terbagi menjadi dua bagian.

Di dalam dua bagian tersebut, tempat duduk masyarakat Karo pun diatur, posisi pihak

perempuan urutannya ialah pojok kanan dimulai dari teman meriah (tetangga rumah/jiran, teman

kantor, teman organsisasi atau yang berkaitan dengan teman dekat yang diluar dari rakut si telu).

Kemudian disusul kalimbubu (paman), senina/sembuyak (satu merga yang satu

62

(33)

darah/kandung/garis keturunan dan yang satu merga meski tak sedarah) dan yang paling terakhir

adalah anak beru (saudara perempuan yang satu merga dengan ayah). Anak beru mendapat

posisi paling terakhir atau dekat dapur dikarenakan mereka yang akan melayani atau

menghidangi acara makan bersama. Oleh sebab itu mereka memiliki posisi di paling belakang.

Begitu juga sebaliknya dengan pihak laki-laki, urutanya juga sama dengan pihak perempuan.63

Hal ini menandakan bahwa di dalam kehidupan masyarakat Karo diusahakan dalam hal

apapun diatur dengan tujuan supaya ada keteraturan dan terlihat rapi. Dan hal ini menunjukkan

bahwa setiap peradatan suku Karo yang dilakukan sangat mahal harganya sehingga dibutuhkan

sesuatu yang sempurna. Kemudian Tuan Bedul Tarigan menambahkan bahwa fungsi kalimbubu,

senina/sembuyak dan anak beru terihat ketika acara peradatan perkawinan dan kematian dimulai.

Mereka akan melakukan dialog terbuka yang dipimpin oleh anak beru tua (juru bicara ini berasal

dari anak beru tua pemilik pesta adat tersebut).

Jika yang melakukan peradatan ialah penulis berarti yang menjadi juru bicara/pemimpin

peradatan yang ialah yang berasal dari keluarga penulis. Kemudian Juru bicara/pemimpin

peradatan akan mengarahkan sangkep nggeluh dari pihak laki-laki dan perempuan untuk

berdialog, biasanya dialog yang diceritakan ialah mahar (uang yang akan diterima oleh pihak

perempuan) dari pihak laki-laki ini dalam konteks perkawinan jika dalam konteks kematian ini

dinamakan utang adat (uang yang akan diterima oleh kalimbubu, senina/sembuyak dan anak

beru) dari keluarga yang sedang mengalami dukacita. Biasanya uang yang dibicarakan dalam

konteks kematian, nominalnya akan lebih rendah dibandingkan dari mahar di perkawinan.64

63

Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib.

64

(34)

Selain itu sebelum dialog dilakukan, biasanya diberikan kampil (keranjang kecil yang

berisikan sirih, tembakau, buah pinang, rokok, dan korek api. Kampil ini diberikan dari pihak

laki-laki ke pihak perempuan yang diterima oleh kalimbubu dari pihak perempuan. Makna

diberikan kampil ini ialah untuk perempuan diberikan sirih, tembakau dan buah pinang karena

perempuan Karo pada umumnya suka makan sirih dan rokok untuk pihak laki-laki. Ini menjadi

simbol penghormatan bahwa kebutuhan sangkep nggeluh yang hadir merupakan suatu hal yang

harus dipenuhi. Tidak hanya kalimbubu aja yang mendapatkannya senina/sembuyak dan anak

beru mendapatkan bagian yang sama. 65

Selain mahar/utang adat yang ditentukan, dialog itu juga membahas tentang urutan

tentang kelompok yang terlebih dahulu yang akan menyampaikan kata-kata sukacita/dukacita

kepada pihak yang melaksanakan pesta, kemudian membahas pada pukul berapa untuk makan

siang dan pada pukul berapa peradatan akan selesai dilaksanakan. Hal semacam ini masih

dilakukan di Yogyakarta meski tak seakurat yang ada di kampung halaman dikarenakan

keterbatasan saudara dekat/kandung. Tetapi biasanya ketiga rumpun kalimbubu,

senina/sembuyak dan anak beru pasti ada untuk mewakili sangkep nggeluh yang melaksanakan

pesta adat.

Selain itu, penerapan rakut si telu juga dilaksanakan jemaat GBKP Yogyakarta di dalam

pelaksanaan runggu (musyawarah). Runggu adalah suatu musyawarah yang dilaksanakan oleh

masyarakat Karo. musyawarah ini melibatkan rakut si telu dan pihak yang akan melaksanakan

pesta peradatan. Di dalam runggu biasanya yang berbicara adalah saudara yang satu merga

(anak beru) dari pihak keluarga yang mau melaksanakan adat Karo. Runggu dikatakan sah atau

65

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, dengan meneliti strategi yang digunakan oleh pelajar dalam mempelajari bahasa, proses-proses pembelajaran bahasa yang melibatkan aspek-aspek

The results indicate that on-the-job training (including the initial training, informal training, mentoring, coaching, and the availability of resources) improve the

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Analisis penilaian kinerja karyawan terhadap aspek-aspek kompetensi untuk menentukan posisi yang sesuai dengan kemampuan seorang karyawan pada bagian/divisi

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Kantor yang berhasil menciptakan kesan yang baik merupakan promosi secara tidak langsung, dan sebagai hasilnya dapat menambah relasi / hubungan

Pengaruh perlakuan dosis bahan organik, pupuk biosulfo dan jenis tanah terhadap berat umbi kering bawang merah pada Alfisol, Entisol dan Vertisol.. KESIMPULAN DAN SARAN