• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toleransi Beragama Moderasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Toleransi Beragama Moderasi"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

RELIGIUSITAS, MODERASI DAN TOLERANSI BERAGAMA MAHASISWA PERGURUAN TINGGI

KEAGAMAAN ISLAM NEGERI

Tim Peneliti:

Prof. Dr. Zulkifli, M.A. : Koordinator Sholikatus Sa’diyah, M.Pd

. : Anggota

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN) LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020

(2)

conservative turn’ akhir-akhir ini. Gerakan-gerakan kelompok radikal cenderung menunjukkan pengaruh yang semakin kuat dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Berbagai survei menunjukkan gejala peningkatan intoleransi dan radikalisme keagamaan di kalangan siswa dan mahasiswa. Sebuah survei terkini 2019 terhadap pola keberagamaan mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri menunjukkan bahwa mahasiswa UIN Jakarta dan UIN Bandung adalah yang paling fundamentalis, konservatif dan eksklusif dalam beragama. Sebagai bangsa yang majemuk, sikap dan perilaku intoleran dan radikal di kalangan masyarakat tentu saja mengganggu keragaman dan persatuan bangsa serta mengancam kontinuitas demokrasi dan kehidupan beragama yang ramah. Kebanyakan studi sebelumnya menunjukkan bahwa religiusitas memiliki pengaruh negatif terhadap toleransi beragama, baik dalam masyarakat Muslim maupun masyarakat agama lain. Penelitian ini bertujuan menjelaskan religiusitas, moderasi beragama, dan toleransi beragama mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia. Secara spesifik, penelitian ini berupaya menguji apakah variabel religiusitas dan karakteristik sosial ekonomi, yakni jenis kelamin, organisasi kemahasiswaan, penghasilan orang tua, dan besaran uang saku berpengaruh terhadap variabel moderasi beragama dan variabel toleransi beragama di kalangan mahasiswa PTKIN di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran tetapi yang utama adalah pendekatan kuantitatif dengan metode survei terhadap mahasiswa PTKIN (N=578) dengan teknik sampling sistematis berjenjang, yang dilengkapi dengan FGD terbatas.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan melalui google form. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis melalui analisis regresi berganda (multiple regression analysis). Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa tingkat moderasi beragama dan toleransi beragama pada Mahasiswa PTKIN cenderung sedang. Penelitian ini menemukan bahwa variabel religiusitas berpengaruh positif terhadap moderasi beragama tetapi tidak memiliki pengaruh terhadap toleransi beragama. Namun, penghasilan orang tua merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya baik terhadap moderasi beragama maupun terhadap toleransi beragama di kalangan mahasiswa PTKIN.

Keywords: religiusitas, moderasi beragama, toleransi beragama, karakteristik sosial ekonomi, mahasiswa.

(3)

turn’. Intolerant and radical movements tend to show a growing influence in social and political developments in Indonesia. Various surveys have shown indications of increasing religious intolerance and radicalism among university students. A recent 2019 survey of the religious patterns of public university students surprisingly revealed that students of UIN Jakarta and UIN Bandung were among the most fundamentalist, conservative and exclusive in religious patterns. As democratic and pluralistic nation and society, the said intolerant and radical attitudes and behavior of members of Indonesia society certainly threaten the continuity of democracy and friendly religious life. In addition, most previous studies have shown that religiosity has a negative influence on religious tolerance, both in Muslim communities and communities of other religions. Therefore, this research aims to explain the religiosity, religious moderation, and religious tolerance of students of the State Islamic Higher Educational Institutions (PTKIN) in Indonesia. Specifically, this study seeks to examine whether the variables of religiosity and socio-economic characteristics, namely gender, student organization, parents’ income, and the amount of allowance affect the variable of religious moderation and religious tolerance among PTKIN students in Indonesia.

This study used a mix approach but its main approach was quantitative with a survey method for PTKIN students (N = 578) with a multi-stage systematic sampling technique, completed with a limited FGD. The data collection technique was conducted by using a questionnaire distributed via google form. The collected data was processed and analyzed through multiple regression analysis. Based on data analysis, we found that the level of religious moderation and religious tolerance among PTKIN students tended to be moderate. This study also revealed that the variable of religiosity had a positive effect on religious moderation but had no effect on religious tolerance. However, parents’ income is the variable with the greatest influence both on religious moderation and on religious tolerance among PTKIN students.

Keywords: religiosity, religious moderation, religious tolerance, socio-economic characteristic, student

(4)

Nama : Prof. Dr. Zulkifli, M.A.

Jabatan : Guru Besar 1050

Unit Kerja : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Alamat : Komplek Pamulang Permai I Blok B8 Nomor 10 Pamulang, Tangerang Selatan

dengan ini menyatakan bahwa:

1. Judul penelitian “RELIGIUSITAS, MODERASI DAN TOLERANSI BERAGAMA MAHASISWA PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI” merupakan karya original kami.

2. Jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa judul, hasil atau bagian dari laporan penelitian kami merupakan karya orang lain dan/atau plagiasi, maka kami akan bertanggung jawab untuk mengembalikan 100% dana hibah penelitian yang telah kami terima, dan siap mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku serta bersedia untuk tidak mengajukan proposal penelitian kepada Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2 tahun berturut-turut.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, September 2020 Yang menyatakan

Koordinator,

Materai Rp.6000,-

PROF. DR. ZULKIFLI, M.A.

NIP 196608131991031004

(5)

TOLERANSI BERAGAMA MAHASISWA PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI”, merupakan laporan akhir pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh PROF. DR. ZULKIFLI, M.A. dan SHOLIKATUS SA’DIYAH, M.PD., dan telah memenuhi ketentuan dan kriteria penulisan laporan akhir penelitian sebagaimana yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian dam Penerbitan (PUSLITPEN), LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2020 Tim Peneliti:

Koordinator Anggota:

PROF. DR. ZULKIFLI, M.A. SHOLIKATUS SA’DIYAH, M.PD.

NIP 196608131991031004 NIP 197504172005012007

Mengetahui;

Kepala Pusat, Ketua Lembaga,

Penelitian dan Penerbitan Penelitian dan Pengabdian kepada

(PUSLITPEN) Masyarakat (LP2M)

LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DR. IMAM SUBCHI, MA. JAJANG JAHRONI, MA., PH.D

NIP. 196708102000031001 NIP. 196706121994031006

(6)

karena atas limpahan kasih dan sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan judul “Religiusitas, Moderasi dan Toleransi Beragama Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri”. Penelitian ini termasuk ke dalam kategori Penelitian Terapan Pengembangan Nasional (PTPN) yang dibiayai dengan anggaran BOPTN pada tahun 2020.

Laporan ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban, sekaligus menjadi dokumentasi atas penelitian yang telah kami laksanakan. Meskipun pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia, penelitian kami relatif tidak mengalami hambatan yang berarti karena memang didisain dengan metode survey secara online, kecuali keterbatasan dalam melaksanakan diskusi antar anggota tim peneliti.

Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyukseskan penelitian ini. Kami berharap agar hasil penelitian ini berkontribusi dalam meningkatkan khazanah ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan di kementerian/lembaga maupun bagi pimpinan PTKIN dan perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya.

Ciputat, September 2020 Koordinator,

Prof. Dr. Zulkifli, M.A.

(7)

Abstrak...i

Abstract...ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI...iii

LEMBAR PENGESAHAN...iv

Kata Pengantar...v

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...ix

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah...6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

1.3.1 Tujuan Penelitian...6

1.3.2 Manfaat Penelitian...6

1.4. Sistematika Penulisan...7

BAB II LITERATURE REVIEW, KERANGKA TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR...9

2. 1 Literature Review...9

2.2 Moderasi Beragama...15

2.2.1 Konsep Moderasi Beragama...15

2.2.2 Dimensi Moderasi Beragama...21

2.2.3 Pengukuran Moderasi Beragama...22

2.3 Toleransi Beragama...23

2.3.1 Definisi Toleransi Beragama...23

2.3.1 Dimensi Toleransi Beragama...26

2.3.2 Pengukuran Toleransi Beragama...26

2.4 Religiusitas...26

2.4.1 Definisi Religiusitas...26

2.4.2 Dimensi Religiusitas...28

2.5 Kerangka Berpikir...30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...32

(8)

3.2.2 Definisi Operasional...33

3.3 Teknik Pengumpulan Data...34

3.4 Instrumen Penelitian...35

3.4.1 Skala Moderasi Beragama...35

3.4.2 Skala Toleransi Beragama...37

3.4.3 Religiusitas...37

3.5 Pengujian Validitas Alat Ukur...39

3.5.1 Hasil Uji Validitas Skala Moderasi Beragama...40

3.5.2 Hasil Uji Validitas Skala Toleransi Beragama...42

3.5.3 Hasil Uji Validitas Skala Religiusitas...43

3.6 Teknik Analisis Data...44

BAB IV HASIL PENELITIAN...46

4.1 Karakteristik Responden...46

4.2 Hasil Analisis Deskriptif...49

4.3 Kategorisasi Skor Variabel Utama Penelitian...50

4.4 Analisis Variabel Karakteristik Sosial Ekonomi...53

4.4.1 Uji Beda Variabel Moderasi Beragama Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin...54

4.4.2 Uji Beda Variabel Moderasi Beragama Berdasarkan Variabel Organisasi Kemahasiswaann...54

4.4.3 Uji Beda Variabel Moderasi Beragama Berdasarkan Variabel Penghasilan Orang Tua...55

4.4.4 Uji Beda Variabel Moderasi Beragama Berdasarkan Variabel Besaran Uang Saku...56

4.4.5 Uji Beda Variabel Toleransi Beragama Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin...57

4.4.6 Uji Beda Variabel Toleransi Beragama Berdasarkan Variabel Organisasi Kemahasiswaan...58

4.4.7 Uji Beda Variabel Toleransi Beragama Berdasarkan Variabel Penghasilan Orang Tua...59

(9)

Kemahasiswaan...62

4.4.11 Uji Beda Variabel Religiusitas Berdasarkan Variabel Penghasilan Orang Tua...63

4.4.12 Uji Beda Variabel Religiusitas Berdasarkan Variabel Besaran Uang Saku...64

4.5 Hasil Uji Hipotesis Penelitian...65

4.5.1 Moderasi Beragama...65

4.5.2 Toleransi Beragama...70

4.6 Proporsi Varian...74

4.6.1 Proporsi Varian Varibel Karakteristik Sosial Ekonomi dan Religiusitas Terhadap Moderasi Beragama...74

4.6.2 Proporsi Varian Varibel Karakteristik Sosial Ekonomi dan Religiusitas Terhadap Toleransi Beragama...75

4.7 Pembahasan...77

BAB V KESIMPULAN...80

5.1 Kesimpulan...80

5.2 Rekomendasi...81

DAFTAR PUSTAKA...83

KUESIONER...90

BIODATA PENELITI...94

(10)

Tabel 3.3...38

Tabel 3.4...41

Tabel 3.5...42

Tabel 3.6...43

Tabel 4.1...46

Tabel 4.2...47

Tabel 4.3...48

Tabel 4.4...49

Tabel 4.5...50

Tabel 4.6...50

Tabel 4.7...51

Tabel 4.8...54

Tabel 4.9...55

Tabel 4.10...56

Tabel 4.11...57

Tabel 4.12...58

Tabel 4.13...59

Tabel 4.14...60

Tabel 4.15...61

Tabel 4.16...62

Tabel 4.17...63

Tabel 4.18...64

Tabel 4.19...65

Tabel 4. 20...66

Tabel 4. 21...67

Tabel 4.22...68

Tabel 4.23...70

Tabel 4.24...71

Tabel 4.25...72

Tabel 4.26...74

Tabel 4.27...76

(11)

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sering dipuji karena karakteristik Islamnya yang moderat, inklusif, dan konstitusi menjamin kebebasan beribadah bagi penganut enam agama yang diakui oleh negara. Dalam konteks mengelola kehidupan beragama dan meningkatkan fungsi agama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, pada 2019 Kementerian Agama mencanangkan mainstraiming atau penguatan gerakan moderasi beragama sebagai prinsip dan pijakan penting dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara sehingga karakteristik Islam moderat dan inklusif terus terpelihara dan dianut mayoritas penduduk Muslim di Indonesia. Kemudian konsep dan kebijakan moderasi beragama masuk ke dalam Rencana Pengembangan Jangka Menegah nasional (RPJMN) Bappenas 2020-2024 dan Kementerian Agama memiliki andil utama dalam program tersebut.

Memang, dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan berbasis agama telah meningkat di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini.

Belakangan ini dengan dampak globalisasi dengan meluasnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi serta pengaruh gerakan Islam transnasional, ada yang disebut ‘conservative turn’ mengacu pada posisi yang menolak tafsir kontekstual ajaran Islam (van Bruinessen, 2013). Hal itu ditunjukkan dengan maraknya intoleransi agama, radikalisme agama, bahkan ideologi ekstremis oleh segelintir orang termasuk mahasiswa. Hal ini tentu saja merusak reputasi karakteristik moderat dan pluralis Muslim Indonesia. Intoleransi, radikalisme agama, dan pelanggaran kebebasan beragama cenderung meningkat di Indonesia, menurut laporan dari Setara Institute (2017). Pelanggaran kebebasan beragama meningkat secara signifikan, dari 134 pada 2014 menjadi 208 insiden pada 2016. Laporan ini juga menemukan

1

(12)

tindakan intoleransi agama meningkat, dari 177 pada 2014 menjadi 270 pada 2016.

Insiden-insiden ini telah dianalisis oleh para sarjana ilmu politik dan ilmu sosial, misalnya, seiring dengan peningkatan pengaruh gerakan kelompok-kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI, dibubarkan pemerintah pada 2017), dan Aksi Bela Islam dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia.

Berbagai penelitian tentang sikap dan perilaku keagamaan kalangan muda Muslim di Indonesia, baik siswa maupun mahasiswa, mengungkapkan kecenderungan peningkatan intoleransi dan radikalisme keagamaan, dan bahkan terpapar ekstremisme dengan kekerasan dan terorisme. Setara institute (2019) menemukan kecenderungan tipe keberagamaan yang formalistik, konservatif, dan eksklusif yang lebih tinggi daripada tipe keberagamaan yang substantif, moderat, dan eksklusif pada mahasiswa PTN di Indonesia. Sebelumnya, PPIM (2018) juga menemukan kecenderungan yang hampir sama. Di kalangan siswa dan mahasiswa terdapat 58,8% sikap radikal meskipun mereka cenderung mengambil tindakan moderat (74,4%). Sementara mereka cenderung lebih toleran secara eksternal daripada terhadap perbedaan internal komunitas Muslim terutama terhadap kelompok minoritas Muslim seperti kelompok Syiah dan Ahmadiyah dalam hal sikap dan perilaku intoleran. Studi-studi tersebut berupaya mennemukan faktor-faktor yang menyebabkan mengapa fenomena intoleransi dan radikalisme keagamaan tersebut terjadi meskipun dalam analisis yang terbatas. Setara Institute menjelaskan faktor- faktor kontributif terhadap pola keberagamaan mahasiswa perguruan tinggi negeri mencakup orang tua, guru agama, dosen agama, literatur keagamaan, peer group, dan media sosial terhadap pola keberagamaan mahasiswa dan orang tua adalah yang paling berpengaruh. Sementara PPIM menunjuk tiga faktor pembentukan intoleransi dan radikalisme keagamaan di kalangan siswa dan mahasiswa, yakni guru dan pembelajaran PAI, akses internet, dan persepsi terhadap Islamisme dan kinerja penerintah.

(13)

Meski demikian, survei tahunan tentang kerukunan hidup umat beragama di Indonesia oleh Badan Penelitian dan Pelatihan Keagamaan Kementerian Agama pada dasarnya menegaskan kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang damai dan harmonis. Meskipun mengalami fluktuasi, indeks kerukunan umat beragama di Indonesia tergolong tinggi, yaitu 72,20 pada tahun 2017, 70,90 pada tahun 2018, dan 73,93 pada tahun 2019. Artinya, mayoritas penduduk dari berbagai penganut agama di Indonesia cenderung memiliki sikap dan perilaku moderat dalam kehidupan beragama. Walaupun indeks kerukunannya tinggi, di antara tiga dimensi kerukunan umat beragama yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerjasama, namun aspek toleransi paling rendah sedangkan aspek kerja sama paling tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan, 2019). Temuan ini tentu harus dicermati dalam bentuk penelitian lanjutan.

Pandangan lain menganggap Islam Indonesia sebagai sangat beragam dan jauh dari pembentukan blok ideologis. Dalam pandangan ini, Islam Indonesia merupakan spektrum yang luas dan koheren longgar, mulai dari bentuk yang sangat moderat, toleran, sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi gaya Barat dan masyarakat majemuk hingga bentuk yang sangat fanatik, intoleran, dan bahkan militan (Kolig, 2005).

Sebagian besar penelitian yang ada tentang sikap intoleransi terdiri atas studi opini publik berskala besar yang dilakukan selama beberapa dekade oleh sosiolog dan ilmuwan politik, survei tingkat toleransi politik pada populasi orang dewasa (Davis, 1975; Lawrence, 1976; McClosky, 1964; Nunn, Crockett, & Williams, 1978; Prothro

& Grigg, 1960; Stouffer, 1955).

Kami menduga bahwa kaum muda Muslim Indonesia khususnya mahasiswa pada prinsipnya dapat menjelaskan pemahaman kita tentang sikap moderat dan toleran, terutama dalam hal penjelasan mereka tentang sikap-sikap itu. Remaja tumbuh dan berfungsi di dunia di mana keragaman kepercayaan dan pendapat ada di mana-mana. Dalam percakapan dan perselisihan mereka dengan teman dan orang tua,

(14)

remaja menggunakan ekspresi yang berhubungan dengan pengetahuan dan kepercayaan, serta pada kebenaran dan kepalsuan (Wainryb, Shaw & Maianu, 1998).

Sedangkan penelitian lain telah menunjukkan bagaimana remaja dan dewasa muda berpikir tentang keragaman kepercayaan (misalnya, Chandler, 1987; King &

Kitchener, 1994; Kuhn, Amsel, & O'Loughlin, 1988; Perry 1970) dan bagaimana mereka menilai penerimaan terhadap kepercayaan yang berbeda. Dalam konteks yang berbeda (misalnya, Wainryb, Shaw, Laupa & Smith, 2001), baru sedikit penelitian dengan pendekatan psikologis seperti itu telah dilakukan dengan anak muda di Indonesia sebagai subjek penelitiannya.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa orang muda kurang berprasangka dan kurang toleran terhadap orang yang dianggap berbeda dari orang yang lebih tua (Pettigrew dan Meertens, 1995; Vala, Lima dan Lopes, 2004). Namun, penelitian-penelitian tersebut dilakukan di negara-negara Eropa, dan masih ada keraguan apakah temuan mereka dapat diperluas ke negara lain. Selain itu, studi survei Eropa baru-baru ini secara konsisten menunjukkan bahwa meskipun kaum muda mendaftarkan skor keterbukaan yang lebih tinggi untuk berubah (yang dapat memfasilitasi sikap toleran), penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kaum muda memiliki nilai universal yang lebih sedikit, yang dapat menumbuhkan sikap berprasangka dan kurang keterbukaan terhadap keanekaragaman budaya (Ferreira, 2006; Menezes, 2005).

Saat ini, kita dapat melihat berbagai jenis pertikaian di kalangan anak muda Muslim Indonesia, misalnya, di media sosial. Perbedaan pendapat semacam ini dapat berupa pertentangan politik atau agama, dan biasanya terjadi ketika orang muda berbicara politik dengan mereka yang memiliki pendapat politik yang berbeda (Parsons, 2010). Dalam situasi ini, terdapat sejumlah orang yang dapat mengenali dan menolak informasi yang berbeda, suatu proses yang disebut sebagai bias diskonfirmasi. Menerapkan logika ini untuk berbicara tentang emosi dan ketidaksepakatan, orang yang kurang berpengetahuan mungkin lebih rentan terhadap efek emosional dari ketidaksepakatan, sementara orang yang lebih berpengetahuan

(15)

mungkin dapat menolak informasi dari mereka yang memiliki pemikiran yang berbeda. Dalam konteks ini, sikap intoleran mungkin juga ditemukan di kalangan mahasiswa dan tentu masih perlu dibuktikan.

Berdasarkan fenomena kehidupan beragama yang dikemukakan di atas dan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang cenderung pada aspek-aspek yang negatif keberagamaan khususnya dengan mengusung variabel intoleransi dan radikalisme keagamaan, penelitian ini berfokus pada aspek religiusitas, moderasi beragama, dan toleransi beragama di kalangan mahasiswa PTKIN di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, PTKIN sendiri terus mengalami perkembangan dan perubahan terutama setelah sejumlah perguruan tinggi keagamaan Islam mengalami transformasi menjadi universitas yang menawarkan program-program studi umum, baik ilmu-ilmu murni maupun terapan, baik dalam lingkup ilmu sosial, humaniora, maupun ilmu-ilmu alam. Kedokteran, kesehatan masyarakat, farmasi, keperawatan, teknologi informatika, sistem informasi, agribisnis, sosiologi, psikologi, dan hubungan internasional merupakan prodi umum yang sudah disajikan di beberapa PTKIN. Sekarang telah ada 17 UIN yang tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Perkembangan ini tentu saja memiliki dampak luas dan multidimensional.

Input mahasiswa, misalnya, sudah semakin didominasi oleh alumni sekolah, selain dari madrasah dan pesantren. Artinya, hal ini mungkin saja memiliki konsekwensi terhadap keberagamaan di kampus PTKIN.

Bagaimana dengan moderasi beragama dan toleransi beragama anak muda Muslim Indonesia atau mahasiswa dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh perlu dikaji secara empirik. Variabel bebas utama yang perlu dilihat adalah religiusitas terutama karena terdapat kontradiksi hasil-hasil penelitian tentang pengaruhnya terhadap toleransi keagamaan. Selain itu, variabel karakteristik sosial ekonomi juga diuji. Dengan demikian, penelitian ini menguji apakah faktor religiusitas dan faktor sosial ekonomi, yakni jenis kelamin, organisasi kemahasiswaan, penghasilan orang

(16)

tua, dan besaran uang saku berpengaruh terhadap moderasi beragama dan toleransi beragama di kalangan mahasiswa PTKIN di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat moderasi beragama dan toleransi beragama di kalangan mahasiswa PTKIN?

2. Apakah religiusitas mempengaruhi moderasi beragama dan toleransi beragama?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi moderasi beragama dan toleransi beragama tersebut?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis tingkat moderasi beragama dan toleransi beragama pada mahasiswa PTKIN.

2. Membuktikan pengaruh religiusitas terhadap moderasi beragama dan toleransi beragama.

3. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap moderasi beragama dan toleransi beragama pada mahasiswa PTKIN.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini dapat berkontribusi pada pengembangan keilmuan sosial, politik, dan psikologi, pada khususnya terkait pemahaman yang lebih baik terkait faktor-faktor

(17)

kontributor keberagamaan pada mahasiswa Muslim, baik berkenaan dengan moderasi beragama, toleransi beragama maupun religiositas.

2. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pembuat kebijakan baik pada tingkat perguruan tinggi maupun kementerian atau lembaga terkait dalam memformulasikan strategi internalisasi, sosialisasi, dan bahkan intervensi peningkatan keberagamaan dan toleransi di kalangan mahasiswa Muslim, sekaligus pencegahan terhadap sikap dan perilaku intoleran dan radikal.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan dalam menyusun strategi penguatan moderasi beragama di perguruan tinggi keagamaan Islam maupun di perguruan tinggi umum sehingga program dan kebijakan tersebut dapat berjalan secara maksimal.

1.4. Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini disajikan dalam lima bab termasuk kesimpulan yang disajikan dalam bab kelima. Pada bab pertama kita uraikan aspek-aspek rasionalitas mengapa masalah penelitian ini penting dikaji dan pokok masalah apa yang diteliti serta apa signifikansi masalah tersebut baik untuk kepentingan pengembangan ilmu maupun untuk kepentingan praktis dan kebijakan. Bab pertama ini mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan laporan.

Bab kedua menyajikan tinjauan pustaka, kerangka teoretis, dan kerangka berpikir. Ketika aspek ini perlu dipisahkan karena masing-masing memiliki fungsi yang berbeda dalam setiap penelitian. Kita menyajikan tinjauan pustaka terhadap studi-studi terdahulu yang relevan dengan topik penelitian kita, khususnya tentang moderasi beragama dan toleransi beragama serta pengaruh faktor religusitas terhadap kedua variabel utama tersebut, selain pengruh faktor sosial ekonomi. Fungsi utamanya adalah untuk meletakkan posisi topik penelitian kita dalam konteks

(18)

penelitian yang ada sehingga ditemukan gap yang akan diisi dalam penelitian ini dan sekaligus menunjukkan aspek kebaruan penelitian ini. Sedangkan kerangka teoretis dimaksudkan sebagai perspektif teoretis yang dapat digunakan untuk menjelaskan masalah yang telah dirumuskan terutama tentang konsep, definisi, dan pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini. Tentu saja, semua itu berasal dari studi-studi terdahulu. Adapun kerangka berpikir sesungguhnya merupakan kerangka penalaran logis, yakni operasionalisasi dari kerangka teoretis tersebut dalam bentuk bagan yang lebih mudah dipahami.

Bab ketiga menguraikan penjelasan bagaimana metodologi telah diterapkan dalam penelitian ini yang mencakup subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, pengujian validitas alat ukur, dan teknik analisis data.

Adapun bab keempat adalah penyajian hasil penelitian dan pembahasan atas hasil tersebut. Bab ini diawali dengan deskripsi karakterstik responden, dilanjutkan dengan deskripsi dan kategorisasi variabel utama, yakni moderasi beragama, toleransi beragama, dan religiusitas, analisis variabel karaktersitik sosial ekonomi, pengujian hipotesis penelitian, dan pembahasan hasil penelitian.

(19)

2. 1 Literature Review

Sejauh riset yang telah dilakukan, belum ditemukan studi yang secara spesifik melihat kaitan antara religiusitas, moderasi beragama, dan toleransi beragama. Tetapi cukup banyak studi yang menguji hubungan antara religiusitas dan toleransi, baik toleransi beragama maupun toleransi sosial dan politik. Studi-studi tentang religiusitas dan toleransi dapat diklasifikasikan kepada beberapa jenis.

Pertama. Religiusitas berpengaruh positif terhadap intoleransi tetapi hubungan tersebut sangatlah kompleks. Dengan kata lain, religiusitas berpengaruh negatif terhadap toleransi. Artinya, semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang maka semakin rendah tingkat toleransinya, atau sebaliknya. Tidak sedikit sarjana meyakini bahwa religiusitas dapat melahirkan intoleransi, konflik, dan bahkan kekerasan dan memang telah cukup banyak penelitian yang menemukan kecenderungan ini. Beatty dan Walter (1984) menemukan hubungan negatif antara kehadiran di gereja dengan toleransi di Amerika. Demikian juga Putnam dan Cambell (2010) mengungkapkan bahwa kehadiran di gereja melahirkan chaufinisme agama dan ketidaksenangan terhadap agama lain di Amerika.

Beberapa penelitian di masyarakat Muslim juga menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Yusuf, Shidiq, dan Hariyadi (2020) menemukan bahwa tingkat religiusitas berhubungan erat dengan intoleransi keagamaan. Dalam analisis mereka tentang pengaruh karakteristik sosial ekonomi dan religiusitas terhadap intoleransi, mereka menemukan bahwa religiusitas adalah satu-satunya variabel pada tingkat individu yang memiliki hubungan yang secara statistik signifikan dan kuat dengan semua jenis intoleransi agama. Adapun faktor-faktor lain

9

(20)

yang berhubungan dengan intoleransi adalah tingkat penghasilan, kualitas pekerjaan, dan pendidikan tinggi. Sementara Setiawan (2020) menemukan bahwa religiusitas berperan penting, namun berbeda, dalam hubungannya dengan dukungan terhadap konflik antaragama, termasuk di Indonesia. Praktik agama tidak begitu saja berkaitan dengan dukungan kepada konflik antaragama, tetapi ritual-ritual lingkaran hidup (rite of passage) tampak lebih berkaitan dengan dukungan kepada konflik antaragama daripada kehadiran dalam ritual agama biasa. Sebaliknya, makna atau arti-penting agama (religious salience) berpengaruh negatif terhadap dukungan kepada permusuhan kekerasan terhadap kelompok lain.

Hoffman (2020) mengungkapkan bahwa perilaku beragama di dunia Arab secara umum mempunyai pengaruh yang ambigu terhadap toleransi. Orang yang sering datang ke masjid cenderung lebih intoleran terhadap kelompok aliran lain dibandingkan orang yang jarang ke masjid. Di Lebanon proses terjadinya kecenderungan tersebut melalui mekanisme identifikasi kelompok. Kehadiran di masjid mendorong tingkat identifikasi sektarian yang lebih tinggi, yang pada gilirannya membuat mereka merasa berbeda dengan aliran lain. Partisipasi dalam ibadah komunal meningkatkan solidaritas sektarian dengan mengorbankan simpati terhadap kelompok aliran lain. Sebaliknya ibadah privat memiliki pengaruh yang positif terhadap sikap toleran di dunia Arab dan Lebanon khususnya. “Sementara sembahyang berjamaah cenderung meningkatkan identitas sektarian dan memperkuat sikap intoleran, warga negara yang taat secara individual—paling tidak, mereka yang sembahyang secara privat—cenderung lebih toleran kepada aliran lain daripada rekan mereka yang kurang taat”.

Dalam riset tentang berbagai aspek dampak religiusitas terhadap toleransi sosial di Timur Tengah dan Afrika Utara, Spierings (2018) menemukan bahwa derajat identifikasi keagamaan tidak memiliki dampak negatif terhadap toleransi sosial kecuali beberapa kasus di mana terdapat kekuasaan kelompok Islamis. Dalam keadaan normal keyakinan agama literalis cenderung lebih toleran terhadap yang lain tetapi kurang toleran jika merasa terancam dan terrepresi dan kehadiran di masjid

(21)

memiliki dampak negatif terhadap toleransi sosial etnik-agama dan bahkan cenderung menguat jika negara Islamis konservatif secara koersif mengatur agama dan kontennya seperti khutbah.

Demikian juga studi tentang penilaian terhadap variasi toleransi di 27 negara mayoritas Muslim dan Barat menemukan bahwa orang yang tinggal di negara mayoritas Muslim cenderung kurang toleran dibandingkan mereka yang tinggal di negara-negara Barat. Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa pada tingkat individu orang Muslim yang tidak mempraktikkan ajaran agamanya cenderung lebih toleran dibandingkan mereka yang taat beragama baik di negara-negara mayoritas Muslim maupun di negara-negara Barat. Lebih jauh lagi penelitian tersebut merujuk kepada peran rezim politik Islam yang melahirkan masalah pada toleransi sosial (Milligan, Andersen, dan Brym, 2014).

Namun, ternyata masalah religiusitas dan toleransi tidak hanya terjadi pada masyarakat Muslim. dalam risetnya tentang religiusitas dan prasangka terhadap minoritas etnis di Eropa. Scheepers (2002) mengemukakan bahwa penganut Katolik dan Protestan sama-sama mendukung prasangka terhadap kelompok minoritas etnis dan terdapat keterkaitan antara kehadiran di gereja dengan prasangka; semakin sering orang hadir di gereja, mereka semakin mendukung prasangka. Akan tetapi, keyakinan doktrinal justru berbanding terbalik dengan prasangka. “Semakin kuat kehidupan orang dijiwai dengan religiusitas semakin kuat mereka memisahkan diri dari prasangka” (Scheepers, Gijsberts, and Hello, 2002).

Membandingkan religiusitas dan toleransi di Amerika dan Polandia, Karpov (2002) menemukan bahwa dua komponen utama religiusitas, yakni komitmen dan partisipasi keagamaan memiliki pengaruh langsung yang terbatas terhadap toleransi politik di kedua negara tersebut tetapi keduanya tidak berpengaruh langsung terhadap aspek lain dari toleransi. Sementara orientasi teokratik di kedua negara tersebut memiliki pengaruh langsung secara signifikan terhadap semua aspek toleransi.

Pengaruh tidak langsung komitmen dan partisipasi keagamaan yang berkaitan dengan orientasi teokratik yang kuat dan norma sosial konservatif menurunkan toleransi.

(22)

Religiusitas diasosiasikan dengan sikap sosial konservatif dan, oleh karena itu, memiliki pengaruh negatif terhadap toleransi. Studi tersebut menyimpulkan bahwa dua prediktor religius utama intoleransi di kedua negara adalah keyakinan teokratik dan ortodoksi doktrinal evangelis.

Dalam studi tentang hubungan religiusitas dengan intoleransi rasial, Doebler (2013) menemukan bahwa keyakinan agama menjadi masalah besar bagi kecenderungan masyarakat Eropa untuk toleran terhadap Muslim dan immigran.

Kelompok religius cenderung lebih intoleran terhadap kelompok etnik dan kelompok agama lain dibandingkan kelompok non-religius. Aspek religiusitas yang paling berkaitan dengan intoleransi rasial adalah keyakinan. Keyakinan kepada Tuhan dan kekuatan spirit cenderung lebih toleran sedangkan fundamentalis cenderung lebih intoleran dibanding kelompok non-believing. Namun konteks nasional juga berpengaruh di mana individu yang tinggal di negara-negara Eropa yang religius dan memilki warisan konflik etnik dan agama dengan GDP rendah cenderung lebih intoleran dibandingkan mereka yang tinggal di negara sekuler, maju, dan kaya.

Kedua, sebagaimana sudah ditunjukkan di atas, religiusitas tidak berhubungan dengan toleransi. Bilgili (2015) mengungkapkan bahwa di Turki, intoleransi memang menjadi masalah umum. Terlepas dari aspek religiusitas, baik anggota masyarakat religius maupun sekuler di Turki cenderung intoleran terhadap kelompok lain atau toleransi sosial. Temuan penelitian Bilgili ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya tentang hal ini di Turki mengungkapkan bahwa terdapat hubungan erat antara religiusitas dengan intoleransi dan semakin religius seseorang, maka dia semakin kurang toleran. Tetapi hubungan negatif itu sendiri cenderung semakin lemah dan masyarakat Turki semakin meningkat toleransinya (Yesilada dan Noordijk, 2010).

Dalam beberapa penelitiannya, Hassan secara sosiologis mempelajari tingkat religiusitas umat Islam di berbagai belahan dunia dan kaitannya dengan modernitas, kesadaran umat Islam, dan intoleransi (penistaan agama). Hassan menemukan bahwa religiusitas tidak berpengaruh terhadap modernitas, khususnya

(23)

Indeks Pembangunan Manusia. Namun ia bahkan menemukan bahwa, seperti yang ditegaskan oleh banyak sarjana sebelumnya, religiusitas berpengaruh positif terhadap intoleransi, terutama penistaan agama (2007). Sebaliknya, penelitian PPIM menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu siswa dengan tingkat religiusitas tinggi cenderung memiliki sikap dan perilaku religius yang moderat. Dengan demikian, terdapat pengaruh positif religiusitas terhadap toleransi beragama. Karena kontradiksi hasil penelitian tentang pengaruh religiusitas terhadap toleransi beragama, maka penelitian ini mencoba menguji variabel religiusitas terhadap moderasi beragama dan sekaligus toleransi beragama.

PPIM (2018) mengungkapkan tiga faktor penyebab utama intoleransi dan radikalisme keagamaan di kalangan siswa dan mahasiswa, yaitu guru dan Pendidikan Agama Islam, akses internet, dan persepsi tentang Islamisme dan kinerja pemerintah.

Sementara Setara Institute (2019) juga menemukan faktor penyebab serupa yang mempengaruhi pola beragama siswa: orang tua, guru agama, dosen agama, literatur keagamaan, kelompok sebaya, dan media massa. Di antara faktor-faktor ini, pengaruh orang tua adalah yang paling penting. Persoalan utama kedua penelitian tersebut adalah kerancuan konseptual. Keduanya menggunakan konsep keberagamaan atau sikap dan perilaku keagamaan dengan cara yang berbeda. Konsep keberagamaan pada penelitian Setara Institute langsung tertuju kepada soal-soal konservatifisme, fundamentalisme, apresiasi keragaman, privatisasi agama, dan visi agama terhadap negara. Tentu saja semua aspek ini tidak merujuk kepada konsep keberagamaan secara ilmiah. Bahkan apa yang disebut fundamentalisme sepertinya lebih dekat dengan komitment beragama atau bahkan religiusitas. Pada penelitian PPIM tingkat keberagamaan langsung tertuju kepada dua dimensi (yang disebut keliru dengan istilah variabel), yakni intoleransi dan radikalisme keagamaan.

Karena moderasi beragama merupakan konsep dan kebijakan baru di Indonesia, kajian khusus tentangnya masih terbatas. Apalagi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap moderasi beragama. Di antara studi terbatas tersebut, Ali (2020) menginisiasi untuk mengukur moderasi beragama di kalangan mahasiswa di

(24)

dua universitas di Kalimantan dengan sampel 356 mahasiswa. Analisis deskriptifnya memberikan persentase aspek moderasi beragama. Yang cukup menarik ia menemukan bahwa meskipun tingkat pengetahuan, partisipasi, dan pengalaman dalam moderasi beragama rendah, siswa memiliki tingkat sikap dan perilaku yang tinggi terkait dengan dimensi moderasi beragama, yaitu toleransi beragama sebesar 91,5%, komitmen nasional sebesar 95,6%, dan mengakomodasi budaya lokal sebesar 94,9%. Tetapi dia tidak memberi penjelasan tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap moderasi beragama.

Yang paling mendekati penelitian tentang moderasi beragama adalah survei tahunan tentang kerukunan hidup beragama yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Agama Kementerian Agama RI. Sebagaimana telah disinggung di atas, telah terjadi fluktuasi indeks kerukunan umat beragama masyarakat Indonesia meskipun tergolong tinggi yaitu 72,20 pada tahun 2017, 70,90 pada tahun 2018, dan 73,93 pada tahun 2019. Penelitian juga menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi indeks kerukunan. kehidupan beragama tahun 2017, 2018, dan 2019 berbeda satu sama lain.

Namun, karakteristik sosial ekonomi dan keragaman agama pada umumnya merupakan faktor yang signifikan (Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan, 2019). Penelitian ini juga mempertimbangkan karakteristik sosial ekonomi dan religiusitas sebagai faktor yang mempengaruhi moderasi beragama dan toleransi beragama.

Karena tidak ada kerangka teoretis tunggal yang dapat menjelaskan faktor- faktor di balik moderasi beragama dan toleransi beragama, kami mengadopsi landasan teoretis dari sosiologi, psikologi, dan ekonomi untuk merumuskan penjelasan untuk moderasi beragama dan toleransi beragama di kalangan mahasiswa PTKIN. Religiusitas merupakan variabel yang diambil dari teori sosiologis dan psikologis. Seperti yang telah disepakati secara umum bahwa religiusitas merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan, sebagaimana Setiawan et al. (2020) berpendapat, hal itu berkaitan erat dengan identitas sosial di mana individu mengidentifikasikan dirinya dalam kaitannya dengan kelompok agama

(25)

lain. Selain itu, faktor sosial ekonomi dari wawasan sosiologis dan ekonomi dianggap mempengaruhi moderasi beragama dan toleransi beragama di kalangan mahasiswa PTKIN. Survei tahunan tentang kerukunan umat beragama di Indonesia oleh Badan Penelitian dan Pelatihan Keagamaan juga menemukan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi indeks kerukunan hidup umat beragama. Faktor sosial ekonomi dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, organisasi kemahasiswaan, pendapatan orang tua, dan jumlah uang saku bulanan.

Berikut ini adalah uraian tentang konsep, dimensi, dan pengukuran variabel- variabel utama dalam penelitian ini, yakni moderasi beragama, toleransi beragama, dan religiusitas sehingga variabel-variabel utama tersebut memiliki definisi operasional dan alat pengukuran yang jelas.

2.2 Moderasi Beragama

2.2.1 Konsep Moderasi Beragama

Moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem (Kementerian Agama, 2019).

Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai

“pilihan terbaik”. Adapun lawan kata moderasi adalah berlebihan, atau tatharruf dalam bahasa Arab, yang mengandung makna extreme, radical, dan excessive dalam

(26)

bahasa Inggris. Kata extreme juga bisa berarti “berbuat keterlaluan, pergi dari ujung ke ujung, berbalik memutar, mengambil tindakan/jalan yang sebaliknya”. Dalam KBBI, kata ekstrem didefinisikan sebagai “paling ujung, paling tinggi, dan paling keras” (Kementerian Agama, 2019).

Sikap moderat adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di tengah-tengah di antara pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku melebihi batas-batas moderasi dalam pemahaman dan praktik beragama. Oleh karena itu, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama (Kementerian Agama, 2019).

Kadang-kadang ada yang menggunakan istilah moderasi islam dalam makna yang hampir sama dengan moderasi beragama. Islamic Moderation (IM) merupakan ciptaan intelektual yang berbeda atau seni pemikiran yang memunculkan domain konseptual khusus dalam kehidupan (Yaakub, Othman dan Nazli, 2019). Moderasi Islam adalah konsepsi yang luas, yang berisi gagasan yang berbeda dan plural.

Sumber utama moderasi Islam adalah Islam itu sendiri. Islam berarti menyerah, membimbing pada perdamaian dan kepuasan, dan membangun keamanan. Moderasi Islam diwakili oleh Qur’an dan Sunnah Nabi (Hussain, 2015). Moderasi adalah asumsi posisi tengah di antara kedua posisi ekstrem. Posisi atau sikap ekstrem dilarang dan sering didefinisikan oleh cendekiawan Muslim sebagai mode kelebihan (ifrat) dan kelemahan (tafrit) (Hassan, 2014).

Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau sikap adil dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem, berlebihan, fanatik, dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah

(27)

diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, yakni kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan kutub liberal atau ekstrem kiri di sisi lain (Kementerian Agama, 2019).

Jadi, moderasi beragama tidak dimaksudkan untuk mengurangi semangat keberagamaan atau menyepelekan agama—sebagaimana dikemukakan sejumlah orang--tetapi justru untuk menempatkan esensi dan prinsip dasar beragama tersebut dalam posisi yang sesungguhnya.

Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Kebijakan pada moderasi dengan menolak segala bentuk ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan agar terpeliharanya peradaban umat manusia dan terciptanya perdamaian dunia. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia moderasi beragama sesungguhnya bukan merupakan pilihan, melainkan suatu keharusan (Kementerian Agama, 2019).

Dalam rumusan lain dapat dikatakan bahwa ada tiga syarat terpenuhinya sikap moderat dalam beragama, yakni memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas dan selalu berhati-hati. Semuanya saling berkaitan. Dengan pengetahuan agama yang luas, kontrol terhadap emosi yang baik, dan sikap berhati-berhati, sikap dan perilaku moderasi beragama terwujud. Jika disederhanakan, rumusan tiga syarat moderasi beragama ini bisa diungkapkan dalam tiga kata, yakni harus berilmu, berbudi, dan berhati-hati (Kementerian Agama, 2019).

Moderasi beragama meniscayakan umat beragama untuk tidak mengurung diri, tidak eksklusif (tertutup), melainkan inklusif (terbuka), melebur, beradaptasi, bergaul dengan berbagai komunitas, serta selalu belajar di samping memberi pelajaran. Dengan demikian, moderasi beragama akan mendorong masing-masing umat beragama untuk tidak bersifat ekstrem dan berlebihan dalam menyikapi ke-

(28)

ragaman, termasuk keragaman agama dan tafsir agama, melainkan selalu bersikap adil dan berimbang sehingga dapat hidup dalam sebuah kesepakatan Bersama (Kementerian Agama, 2019).

Dalam konteks bernegara, prinsip moderasi ini pula yang pada masa awal kemerdekaan dapat mempersatukan tokoh kemerdekaan yang memiliki ragam sikap dan pikiran, ragam kepentingan politik, serta ragam agama dan kepercayaan.

Semuanya bergerak ke tengah mencari titik temu untuk bersama-sama menerima Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kesepakatan bersama. Kerelaan dalam menerima Pancasila dan NKRI sebagai dasar negara dan bentuk final dalam bernegara dapat dikategorikan sebagai sikap moderasi dan toleran untuk menerima konsep negara-bangsa (Kementerian Agama, 2019).

Kata wasath juga biasa digunakan oleh orang-orang Arab untuk menunjukkan arti khiyar (pilihan atau terpilih). Jika dikatakan, “ia adalah orang yang wasath”, berarti ia adalah orang yang terpilih di antara kaumnya. Jadi, sebutan umat Islam sebagai ummatan wasathan itu adalah sebuah harapan agar mereka bisa tampil menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Baik dalam ber- ibadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat. Ajaran ini begitu sentral dalam dua sumber utama ajaran Islam, al-Quran dan hadis Nabi SAW (Kementerian Agama, 2019).

Dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya komitmen seseorang terhadap moderasi sesungguhnya juga menandai sejauh mana komitmennya terhadap nilai- nilai keadilan. Semakin seseorang moderat dan berimbang, semakin terbuka peluang untuk bersikap dan berbuat adil. Sebaliknya, semakin ia tidak moderat dan ekstrem berat sebelah, semakin besar kemungkinan untuk bersikap dan berbuat tidak adil.

Indonesia yang secara kodrati majemuk memiliki akar kultural yang sangat kokoh

(29)

dan juga memiliki modal sosial sebagai landasan bagi konsep dan penerapan moderasi beragama (Kementerian Agama, 2019).

Berkaitan dengan konsep dan prinsip moderasi beragama, pandangan Mohammad Hashim Kamali (2015) tentang manifestasi moderasi dalam Islam penting dikemukakan di sini, yaitu pertama, moderasi adalah prinsip yang menjaga Islam agar terpusat pada esensinya dan terbebas dari kecenderungan parokialis dan kaku, mencakup kepentingan individu dan masyarakat dengan memperhatikan visi spiritual, rasional, dan ilmiah, serta mengambil jalan tengah antara pemahaman tradisional dan modern, baik untuk generasi sekarang dan yang akan datang; kedua, moderasi mengikat berbagai dimensi agama, hukum, ekonomi, dan poltik dengan perkembangannya berdasarkan prinsip tauhid sehingga perkembangan dan kecenderungan perbedaan terintegrasi dengan esensi dan prinsip dasar Islam; ketiga, moderasi mempertahankan keseimbangan antara kesinambungan dan perubahan dengan menjaga hal-hal yang tetap dan tidak dapat diubah seperti prinsip keimanan atau rukun iman dari hal-hal yang boleh dan bahkan harus berubah seperti penerapan fikih; keempat, moderasi menganjurkan prinsip gradual dalam perubahan, dakwah, dan legislasi dalam hampir semua aspek kehidupan; kelima, moderasi menjunjung tinggi keseimbangan antara kemanfaatan dan kemudaratan yang harus dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan; keenam, moderasi menganjurkan keterlibatan, partisipasi, dan dialog baik antarindividu, komunitas maupun antarnegara; ketujuh, moderasi cenderung pluralistik dan konsultatif; dan kedelapan, moderasi memelihara lingkungan yang damai dan masyarakat yang hidup damai secara internal dan eksternal dengan masyarakat dan bangsa lain. Dalam konteks ini, moderasi dapat dimaknai sebagai kearifan praktis (practical wisdom) yang “melihat ke dalam realitas suatu situasi, di dalam atau di luar bidang agama, dengan wawasan reflektif, menyeimbangkan peluang, memahami aturan, peraturan dan insentif, keuntungan dan kerugian, dan kapan menggunakan atau tidak menggunakan opsi tertentu” (Kamali, 2015).

(30)

Ada dua prinsip dasar moderasi beragama, yaitu adil dan berimbang. Artinya, moderasi beragama mengandung prinsip adil dan berimbang dalam seluruh aspek beragama baik dalam pemahaman. sikap maupun perilaku beragama, khususnya terkait konsep-konsep yang berpasangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individu dan kemaslahatan umum, antara teks dan konteks. Lawan dari adil adalah zalim sedang lawan dari berimbang adalah ekstrem. Kedua prinsip dasar tersebut, adil dan berimbang, saling berkaitan dan bermuara pada pemenuhan dan pencapaian keadilan dan kemanusiaan pada umumnya. Keadilan dan keseimbangan membutuhkan prasyarat utama, yakni kebijaksanaan, ketulusan, dan keberanian, ketiganya berkaitan erat dengan prasyarat bagi adanya moderasi beragama. Prasyarat tersebut adalah ilmu, budi, dan sikap hati- hati sehingga seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berbudi luhur dan berakhlak mulia, dan berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku agar terwujud moderasi beragama (Kementerian Agama, 2019).

Secara sederhana, moderasi beragama itu dapat dimaknai sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku beragama secara proporsional atau beragama sesuai dengan prinsip dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Proporsional berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, secara apa adanya tanpa mengurangi atau melebih-lebihkan, menempatkan aspek-aspek yang prinsip dan tidak prinsip, yang mutlak dan yang relatif pada tempat yang sesungguhnya. Dengan kata lain, sesungguhnya esensi moderasi beragama itu sesuai dengan prinsip beragama yang ditentukan oleh Allah dan sesuai juga dengan cara pandang, sikap, dan perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai contoh teladan bagi umat manusia. “Nabi sendiri dan para sahabatnya telah menyetujui moderasi dan memilih posisi adil dan moderat di hampir setiap kesempatan” (Kamali, 2015).

Dari beberapa pengertian diatas, dalam penelitian ini menggunakan pengertian yang dipaparkan oleh Kementerian Agama (2019) yaitu moderasi ber-

(31)

agama dapat dipahami sebagai “cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama”.

2.2.2 Dimensi Moderasi Beragama

Dimensi moderasi beragama yang dikemukakan Kementerian Agama adalah empat hal, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal (Kementerian Agama, 2019). Namun, dimensi toleransi beragama dijadikan variabel tersendiri sehingga dikeluarkan dari konsep dan variabel moderasi beragama dalam penelitian ini.

1. Komitmen kebangsaan merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme. Sebagai bagian dari komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam Konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.

2. Penolakan terhadap kekerasan adalah sikap dan perilaku penolakan terhadap segala bentuk kekerasan atas nama agama. Istilah radikalisme atau kekerasan dalam konteks moderasi beragama ini dapat dipahami sebagai suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem atas nama agama, baik kekerasan verbal, fisik dan pikiran. Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan.

(32)

3. Praktik dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kesediaan untuk menerima praktik amaliah keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi karena agama tidak hadir dalam ruang kosong tetapi cenderung kontekstual dengan ruang dan waktu. Orang-orang yang moderat memiliki kecenderungan lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.

2.2.3 Pengukuran Moderasi Beragama

Sejauh penelitian telah dilakukan terdapat model pengukuran moderasi beragama yang mungkin dapat dijadikan perbandinga. Pertama, Islamic Moderation Personality (IMP) adalah alat ukur moderasi bergama yang dibuat oleh Yaakub, Othman, dan Nazli (2019) yang mencakup tiga indikator, yaitu paradima konseptual, praktik, dan manifestasi. Kedua, Ali (2020) juga menginisiasi pengukuran moderasi beragama yang mencakup aspek pengetahuan, pengalaman, sikap, dan perilaku dalam moderasi beragama. Konsep moderasi beragama yang dikemukakan oleh kementerian Agama memiliki empat dimensi yang secara keliru digunakan istilah indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Penelitian ini menyusun alat ukur sendiri dengan memodifikasi dimensi moderasi beragama kementerian Agama, yakni mengeluarkan dimensi toleransi beragama karena Kementerian agama sendiri pada bagian lain mengemukakan bahwa toleransi beragama adalah hasil dari proses moderasi beragama. Penelitian ini menyusun alat ukur untuk toleransi beragama sebagai variabel dependen kedua dalam penelitian ini. Alat ukur moderasi beragama yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 15 item, dengan merujuk pada teori dan indikator moderasi beragama Kementerian Agama (2019).

(33)

2.3 Toleransi Beragama

2.3.1 Definisi Toleransi Beragama

Toleransi beragama dapat dipahami sebagai “sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini” (Kementerian Agama, 2019). Artinya, toleransi beragama merupakan sikap dan perilaku menerima perbedaan dan menghormatinya dengan sepenuh hati, tanpa sikap curiga dan khawatir karena perbedaan itu adalah sunnatullah. Ditegaskan bahwa toleransi beragama dan berbagai jenis toleransi lainnya seperti toleransi sosial dan politik menjadi fondasi penting bagi keberlangsungan demokrasi di suatu masyarakat dan negara.

Toleransi beragama dapat dianggap sebagai konstruksi sosial yang dapat dimaknai dalam berbagai konsep utama. Atas dasar berbagai aspek tersebut, toleransi beragama dapat digambarkan sebagai pendekatan penghormatan dan empati, baik individu maupun kelompok, dalam konteks penerimaan atas perbedaan dan pelestarian atas hak orang lain untuk berpegang teguh pada kepercayaan dan nilai- nilai tertentu sekaligus pengakuan bahwa orang lain memiliki hak dalam penilaian dan evaluasi terhadap keyakinan tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan mereka sendiri (Broer et al, 2014).

Toleransi beragama dapat juga didefinisikan sebagai serangkaian sikap dan perilaku yang melibatkan rasa hormat terhadap hak individu lain untuk memeluk keyakinan agama mereka sendiri dan menjalankan agama tersebut secara bebas dan tanpa hambatan (Putnam & Campbell, 2012). Toleransi beragama adalah demonstrasi sikap positif terhadap orang lain dengan mengakui dan mendukung bahwa setiap individu memiliki hak dan kebebasan untuk mengekspresikan keyakinannya sendiri dan praktiknya yang sah sesuai dengan keyakinan tersebut (Hein, 2005).

(34)

Toleransi, baik toleransi agama, sosial, mapun toleransi politik, dapat dianggap sebagai fenomena bergerak, tidak statis, sehingga tidak mudah untuk digambarkan dan didefiniskan secara tepat dan komprehensif. Hal ini juga membuktikan bahwa toleransi beragama memiliki banyak dimensi dan, oleh sebab itu, antara konsep toleransi yang satu dengan yang lain meliputi dimensi yang berbeda atau bahkan mungkin bertentangan dan bergantung pada perspektif teoretis yang dipakai. Oleh karena itu, toleransi harus dilihat sebagai fenomena yang dinamis dengan berbagai perspektif. Toleransi beragama atau jenis oleransi lain seperti toleransi sosial dan politik senantiasa berkenaan dengan konteks atau waktu yang relevan; artinya, bentuk dan jenis toleransi cenderung bersifat kontekstual dan terikat dengan momen momen tertentu. Komunitas penganut agama, aliran atau kelompok tertentu dengan pandangan dunia yang berbeda biasa dapat hidup bersama secara damai selama berabad-abad, atau bertahun-tahun dan bisanya dikatakan sebagai kehidupan yang toleran satu sama lain atau terdapat toleransi dalam hubungan tersebut. Akan tetapi, kadang-kadang insiden kecil seperti perkelahian antara dua orang dari kelompok yang berbeda atau kematian karena kecelakaan seorang di tangan anggota komunitas agama lain dapat memicu serangan intoleransi keagamaan dari kelompok lain dan bahkan dapat melahirkan konflik berkepajangan dan mungkin berlangsung selama bertahun-tahun. Sebaliknya, kejadian positif seperti penyelamatan terhadap seseorang dan terbebas dari bahaya oleh anggota kelompok lawan yang bertikai mungkin dapat mengakhiri konflik dan kekerasan sehingga dapat melahirkan periode toleransi beragama yang berlangsung lama (Walt, 2014).

Dalam perspektif fungsionalisme-struktural, tingkat toleransi, baik toleransi agama, sosial, mapun toleransi politik, dalam suatu masyarakat bergantung pada tingkat keseimbangan dalam sistem. Berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat cenderung toleran terhadap satu sama lain jika mereka melakukan check and balance.

Kecenderungan toleransi tersebut akan bertahan jika keseimbangan antarkelompok terus dijaga. Intoleransi biasanya terjadi karena terjadinya percikan atau pemicu untuk

(35)

mengawalinya. Kehidupan masyarakat yang relatif harmonis, damai, dan toleran dapat berubah menjadi konflik jika ada saatu kejadian yang bertindak sebagai percikan atau pemicu. Tidak jarang, insiden kecil yang relatif tidak penting dapat bertindak sebagai pemicu yang dapat melahirkan ketidakseimbangan dalam sistem.

Perbedaan prinsip atau keyakinan apriori dari masing-masing kelompok mungkin berpotensi dalam melahirkan intoleransi dan bahkan menimbulkan konflik. Pada sebagian orang bisa jadi lebih kuat potensi tersebut. Bagi orang atau kelompok ini, kehidupan yang harmonis dan damai dapat dicapai dengan syarat bahwa mereka tidak dihadang oleh suatu cara situasi yang tidak sesuai atau kondisi yang mejauhkan mereka dari kekhawatiran akan keberlangsungan keyakinan dan prinsip mereka.

Kedamaian dan toleransi akan tercapai sepanjang tidak ada insiden yang bertindak sebagai pemicu atau penyulut intoleransi dan konflik (Walt, 2014).

Dari beberapa pengertian toleransi beragama di atas, pada penelitian ini kami menggunakan pengertian yang dipaparkan Putnam & Campbell (2012) bahwa toleransi beragama didefinisikan sebagai serangkaian sikap dan perilaku yang melibatkan rasa hormat terhadap hak individu lain untuk memeluk keyakinan agama mereka sendiri dan menjalankan agama mereka sendiri tanpa hambatan.

Dalam penelitian ini, toleransi dibatasi pada toleransi beragama. Jadi tidak termasuk toleransi sosial, toleransi politik, toleraansi budaya atau jenis toleransi lainnya. Toleransi beragama itu sendiri mencakup toleransi eksternal dan toleransi internal. Toleransi eksternal adalah sikap dan perilaku menghormati dalam hubungan antaragama. Sedangkan toleransi internal adalah sikap dan perilaku menghormati antarpenganut mazhab atau aliran dalam agama yang sama. Berkenaan dengan toleransi eksternal, sikap dan perilaku dapat berupa saling menghormati, dialog, kerja sama, dan saling membantu dengan pemeluk agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, budha, dan Konghucu. Adapun toleransi interal mencakup sikap dan perilaku menghormati, dialog, kerja sama, dan saling membantu dengan penganut kelompok

(36)

lain dalam agama sendiri seperti dengan kelompok Syiah dan Ahmadiyah (Kementerian Agama, 2019).

2.3.1 Dimensi Toleransi Beragama

Putnam & Campbell (2012) mengatakan bahwa terdapat dua dimensi utama pada toleransi beragama, yaitu:

1 Relational contruct, secara relasional, bagaimana seseorang terlibat secara langsung dengan orang, keluarga, dan komunitas yang agama atau keyakinannya berbeda.

2 Intellectual, mengenai keyakinan dan nilai, seseorang melibatkan pemahamannya bahwa setiap orang memiliki dasar hak untuk memilih dan menjalankan agamanya sendiri.

2.3.2 Pengukuran Toleransi Beragama

Alat ukur yang digunakan penulis untuk mengukur toleransi beragama dalam penelitian ini adalah skala religious tolerance dari Putnam & Campbell (2012) yang terdiri atas dua dimensi, yaitu konstruk relasional dan konstruk intelektual tetapi dilengkapi dengan toleransi eksternal dan toleransi internal.

2.4 Religiusitas

2.4.1 Definisi Religiusitas

Religiusitas merupakan konsep yang menggambarkan fenomena yang kompleks dan multidimensional. Karena kompleksitas konsep religiusitas, berbagai konsepsi, definisi, dan pengukuran telah berkembang. Semua itu bergantung pada perspektif yang digunakan dan bidang disiplin ilmu yang dipakai. Glock dan Stark

(37)

(1965), dalam bidang sosiologi agama, mendefinisikan religiusitas sebagai totalitas fungsi jiwa individu yang mencakup keyakinan, perasaan, dan perilaku yang diwujudkan secara sadar dan sungguh-sungguh dalam bentuk lima dimensi, yaitu ideologi, intelektual, ritual, pengalaman, dan dimensi konsekwensial. Jika ideologi merujuk kepada keyakinan-keyakinan agama yang melandasi sikap dan perilaku, dimensi intelektual berkenaan dengan harapan bahwa seseorang memiliki informasi dan memahami dasar-dasar ajaran agama sehingga kedua dimensi tersebut berkaitan satu sama lain. Dimensi ritualistik merupakan perilaku dan ritual agama yang dilaksnakan seseorang. Sedang dimensi pengalaman berkenaan dengan pengalaman personal yang mungkin dalam bentuk yang transendental dan selanjutnya berupa dimensi konsekwensial dari berbaga dimenasi lain. Hassan dan beberapa sarjana menggunakan definisi dan dimenasi religiusitas Glock dan Stark untuk diterapkan dalam mengkaji religiusitas masyarakat Muslim di berbagai negara. Demikian juga El-Menouar (2014) menggunakan konsep Glock dan Stark dan mengembangkannya dalam bentuk konsep dan pengukuran khusus bagi masyarakat Muslim yang disebutnya sebagai religiusitas Muslim. Dia mengembangkan dimensi religiusitas Muslim menjadi lima tetapi berbeda dengan Glock dan Stark, yaitu religiusitas dasar, kewajiban utama, pengalaman beragama, pengetahuan keagamaan, dan ortopraksis.

Menurut Joseph Diduca (2007), religiositas adalah tingkat konsepsi individu terhadap agama dan tingkat komitmen terhadap agama dalam mengagumi, mematuhi, dan melaksanakan ajaran-ajaran agama sebagai perwujudan komitmen tersebut. Huber dan Huber juga berangkat dari Glock dan Stark tetapi juga mengkritisi dan memformulasikan pengukuran sendiri tentang religiusitas. Huber dan Huber (2012) berpendapat bahwa secara umum religiusitas itu merujuk kepada intensitas, makna, signifikansi, dan sentralitas agama bagi individu. Religiusitas seseorang dapat diukur dari intensitas menjalankan kewajiban dan nilai-nilai agama yang paling menonjol dalam diri seseorang.

Religiusitas kadang-kadang berhubungan dengan pembentukan identitas anggotanya dan kemudian berpengaruh dalam kehidupan sosial dan politik. Oleh

(38)

karena itu, identitas agama dapat dikonseptualisasikan sebagai fungsi sentralitas isi dari konstruksi sistem religiusitas pribadi seseorang. Keyakinan agama yang lebih sentral dalam proses pembentukan identitas semakin berpengaruh pada identitas seseorang dan kehidupan secara keseluruhan. Dalam masyarakat Muslim di Indonesia identitas religiusitas dan kesalehan baik personal maupun sosial menjadi sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam interaksi sosial. Artinya, tidak hanya afiliasi agama saja tetapi religiusitas atau ketaatan dan kesalihan itu sangat sentral dalam kehidupan.

Dari beberapa pengertian di atas, dalam penelitian ini menggunakan pengertian yang dipaparkan oleh Huber dan Huber (2012), yaitu religiusitas sebagai pikiran dan keyakinan yang dimiliki seseorang untuk memandang dunia sehingga mempengaruhi pengalaman dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.

2.4.2 Dimensi Religiusitas

Jika Glock dan Stark menyusun lima dimensi sebagaimana disebutkan di atas, ahli lain seperti Fukuyama membagi empat dimensi cognitive, cultic, creedal, dan devotional. Ahli terkenal lain seperti Allport dan Ross mengidentifikasi dya dimensi utama religiusitas, yaitu dimensi intrinsik dan dimenasi ekstinsik. Penelitian ini menggunakan konsepsi Huber & Huber (2012) membagi religiusitas ke dalam lima dimensi, yaitu dimensi intelektual, ideologi, praktik publik, praktik personal, dan pengalaman beragama.

1. Dimensi inteletual adalah dimensi yang merujuk kepada ekspektasi sosial bahwa seseorang yang religius cenderung memiliki pengetahuan agama yang memadai sehingga yang bersangkutan berpikir, melakukan interpretasi, dan dapat menjelaskan pandangan mereka tentang berbagai topik tentang agama yang dianutnya. Indikator umum untuk dimensi intelektual adalah frekuensi berpikir tentang masalah agama. Pengukuran dapat dilakukan dengan menunjukkan seberapa sering pengetahuan agama diperoleh melalui proses pemikiran, yang mengarah kepada jantung dimensi intelektual. Selain itu,

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pembahasan moderasi beragama, istilah moderasi beragama merupakan lawan kata dari sikap fanatisme dan ekstrimisme. Moderat berarti tidak terlalu condong pada

References 25 List of tables Table 1 Correlation between Groundwater Management Plan and EPBC 2010/5491 Condition 12 3 Table 2 Groundwater management and monitoring actions 13