• Tidak ada hasil yang ditemukan

204103010007 - Tradisi Grebeg Suro sebagai Implementasi Nilai-nilai Islam Nusantara di Ponorogo - Muhammad Dhiya'ul Haqqi [Artikel]

N/A
N/A
Muhammad Dhiya'ul Haqqi

Academic year: 2023

Membagikan "204103010007 - Tradisi Grebeg Suro sebagai Implementasi Nilai-nilai Islam Nusantara di Ponorogo - Muhammad Dhiya'ul Haqqi [Artikel]"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021 |1

TRADISI GREBEG SURO SEBAGAI IMPLEMENTASI NILAI- NILAI ISLAM NUSANTARA DI PONOROGO

Muhammad Dhiya’ul Haqqi

Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember dhiyaulhaqqimuhammad@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih memadai tentang nilai-nilai Islam Nusantara dalam tradisi Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo. Grebeg Suro merupakan sebuah agenda rutin tahunan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan selalu mendapatkan perhatian publik. Ini adalah salah satu ritual budaya Jawa terkenal, Grebek Suro, yang dilakukan pada bulan pertama penanggalan Jawa. Studi ini menemukain bahwa nilai Islam dari ritual tersebut adalah salam atau keselamatan. Data diperoleh dari sumber primer, sumber sekunder dan dokumen. Teknik pengambilan data dengan observasi, wawancara dan pencatatan dokumen. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tradisi Grebeg Suro Ponorogo mengandung nilai-nilai Islam Nusantara. Nilai-nilai tersebut berupa ungkapan rasa syukur dengan melakukan tirakatan (banyak berdzikir dan beramal soleh) dan kenduri (selamatan berbagi rezeki), serta menjalin silaturahmi antarwarga. Tradisi Grebeg Suro Ponorogo ini dapat disimpulkan sebagai Implementasi nilai-nilai Islam Nusantara yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia.

Kata Kunci : Tradisi, Nilai-nilai islam, Islam Nusantara, Grebeg Suro Abstract

This paper aims to get a more adequate picture of the Islamic values of the archipelago in the Grebeg Suro tradition in Ponorogo Regency. Grebeg Suro is an annual routine agenda organized by the Ponorogo Regency Government and always gets public attention. This is one of the famous Javanese cultural rituals, Grebek Suro, which is performed in the first month of the Javanese calendar. This study found that the Islamic value of the ritual is greeting or salvation. Data obtained from primary sources, secondary sources and documents.

Data collection techniques by observation, interviews and document recording. The data analysis uses a qualitative analysis of the interactive model. The results of the study indicate that the Grebeg Suro Ponorogo Tradition contains the values of Nusantara Islam. These values are in the form of expressions of gratitude by doing tirakatan (a lot of dhikr and doing good deeds) and feasts (salvation of sharing sustenance), as well as establishing friendships between residents. The Grebeg Suro Ponorogo tradition can be concluded as the implementation of Nusantara Islamic values that take into account local culture and customs in Indonesia.

Keywords: Tradition, Islamic Values, Islam Nusantara, Grebeg Suro

(2)

2 | Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021

Pendahuluan

Suro adalah nama bulan pertama dari dua belas bulan dalam Saka Jawa, penanggalan Jawa.

Kalender memiliki siklus delapan tahun. Kalender asli di Jawa pada awalnya didasarkan pada tahun matahari. Namun, sistem perhitungan tanggal diubah berabad-abad yang lalu oleh seorang raja Jawa untuk mengikuti sistem Islam, berdasarkan sistem bulan. Bagi orang Jawa yang dikenal sangat percaya takhayul, Suro adalah suci. Banyak masyarakat yang percaya bahwa kekuatan gaib berkeliaran di malam hari pada tanggal 1 Suro, sehingga mereka tidak meninggalkan rumah kecuali untuk berdoa atau melakukan ritual spiritual. Namun, di tempat lain di Jawa, tanggal 1 Suro adalah malam perayaan. Di Yogyakarta misalnya, pada hari pertama Suro, ribuan orang keluar berjalan-jalan dalam diam di sekitar benteng keramat. Prosesi ini dikenal dengan sebutan

“tapa bisu mubeng benteng”. Orang-orang percaya itu sebagai ritual pembersihan jiwa dan berdoa untuk tahun yang lebih baik. Tidak jauh dari Yogyakarta, beberapa jam ke utara, di Solo, sultan mengadakan pawai budaya yang disebut “kirab pusaka” atau karnaval warisan.

Suro juga dikenal sebagai Muharram bagi umat Islam. Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam. Bulan pertama, Muharram, adalah salah satu dari empat bulan suci dalam setahun bagi umat Islam selain Rajab, Zulhijah, Dzulqoidah, dan Ramadhan. Selama bulan-bulan suci ini, peperangan dilarang. Muharram dianggap sangat religius. Muharram berarti “terlarang” karena dianggap suci. Banyak Muslim menggunakannya sebagai periode doa dan refleksi. Puasa di bulan Muharram adalah hal yang lumrah. Dahulu kala, ada beberapa peristiwa penting yang dilakukan di bulan Muharram. Muharram juga menandai peringatan pertempuran Karbala, di mana cucu nabi Islam Muhammad, Imam Hussain Ibn Ali, terbunuh.

Bagi masyarakat Jawa dan Muslim, Suro atau Muharram adalah suci dan sangat penting karena diyakini sebagai catatan awal untuk tahap kehidupan baru untuk tahun berikutnya. Sebagai perbandingan, Muharram dirayakan sebagai kedatangan Tahun Baru Islam oleh umat Islam. Bagi umat Islam yang tinggal di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, Suro atau Muharram adalah bulan dimana mereka melakukan refleksi atas apa yang telah mereka lakukan di tahun sebelumnya dan sebagai perayaan tahun baru serta doa untuk keselamatan, kemakmuran, dan kebahagiaan di tahun mendatang.

Komunitas Muslim Jawa mengadakan upacara yang sangat terkenal di bulan Suro yang disebut Grebeg Suro. Diselenggarakan di sebagian besar kota dan tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Ponorogo, Banyuwangi, dan Lumajang (Hanif & Zulianti, 2012). Upacara ini dilakukan untuk mendapatkan keselamatan sedangkan pelaksanaannya berbeda-beda di setiap daerah.

(3)

Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021 |3 Akulturasi nilai-nilai Islam dan budaya lokal di Indonesia, khususnya di Jawa, dapat ditelusuri kembali bagaimana Islam pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat di Indonesia dan bagaimana ia diterima oleh sebagian besar masyarakat (Sumbulah, 2012). Masuknya Islam di Indonesia memiliki sejarah yang unik. Islam di Indonesia bukanlah produk lokal. Islam lahir di Arab, tepatnya di wilayah Hijaz. Menurut beberapa sumber dari Gujarat, India, para pedagang sufi membawa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13 (Nurbaiti, 2020). Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui Hindu dan Budha sebagai agama dominan masyarakat di Jawa dan Sumatera.

Masuknya Islam di Indonesia mengubah akidah dan struktur sosial masyarakat. Agama Hindu, Budha, dan aliran-aliran lain masuk ke Indonesia jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia.

Masyarakat Indonesia sudah terbiasa menjalankan tradisi budaya dan adat istiadat yang diwarnai oleh agama-agama tersebut. Namun, karena kedatangan Islam, terjadi proses transformasi sosial dalam praktik keagamaan. Sampai batas tertentu, budaya yang masuk biasanya akan melalui akulturasi dengan budaya yang sudah ada sebelumnya, praktik ritual lokal, dan bagaimana suatu komunitas menerima dan beradaptasi dengan cara hidup yang baru. Contoh akulturasi Islam dan budaya Jawa yang dikenal banyak orang adalah slametan, yang kemudian diarahkan ke Tahlilan di era Wali Songo, dengan konsep yang sama, yaitu berkumpul, berdoa, dan makan bersama (Lestari, 2011).

Selanjutnya, Islam dibawa ke berbagai daerah di Indonesia melalui ajakan misionaris perdamaian, bukan perang. Islam diperkenalkan sebagai agama damai. Islam tidak bertentangan dengan budaya dan adat setempat, namun mewarnai mereka. Cara Islam diperkenalkan kepada masyarakat membuat masyarakat Nusantara rela menerima Islam. Masyarakat bahkan mengembangkan metode mereka untuk menjaga keharmonisan antara apa yang mereka miliki sebagai cara hidup dan apa yang ditawarkan Islam kepada mereka. Mereka sangat memahami bahwa budaya dan tradisi akan terus ada tanpa menyinggung semangat Islam, dan Islam akan dijalankan dengan tetap menjaga keharmonisan tradisi lokal.

Proses Islamisasi di Nusantara mengalami proses yang sangat rumit dan panjang yang lambat laun membawa Islam menyatu dengan tradisi, norma, dan tata kehidupan masyarakat adat (Musawar & Zuhdi, 2019). Terjadi perjumpaan antara ajaran Islam yang baru saja dibawakan oleh para pendakwah dengan tradisi-tradisi lokal yang menyatu dalam masyarakat secara individu maupun kolektif (Luthfi, 2016; Purwanto, 2019; Ridwan dkk., 2019). Tidak dapat digolongkan

(4)

4 | Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021

sebagai produk Islami dan lokal, namun diwariskan dan diturunkan dari masa lalu hingga masa kini.1

Pembahasan

A. Pengertian dan Pemaknaan Tradisi Grebeg Suro Ponorogo

Menurut kamus Jawa Kuno Indonesia yang dimaksud dengan Grebeg adalah derap banyak kaki yang bergemuruh. Sedangkan menurut sejarahnya, kata “grebeg” berasal dari kata

“gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Hal ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh. Sedang grebeg di Ponorogo mempunyai makna yaitu untuk mendekatkan diri dan memanjatkan doa kepada Yang Kuasa agar senantiasa diberi keselamatan dan kesejahteraan serta merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa) dan kegiatan rutin bertujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa, yakni kekhasan dan keaslian Reog yang menjadi seni asli Ponorogo.2

Kata bahasa Jawa Garebeg, Grebeg dan gerbeg bermakna suara angin menderu. Kata bahasa Jawa anggarebeg mengandung makna mengiring raja, pembesar atau pengantin.

Sedang garebeg di Surakarta dan Yogyakarta mempunyai makna khusus yaitu upacara kerajaan yang diselengggarakan untuk memperingati har kelahiran nabi Muhammad SAW, merayakan Idul Fitri dan Idul Adha (Depdikbud, 1980: 27).

Suro berarti nama bulan pertama dalam tahun Jawa. Menurut sejarahnya, tahun atau tarikh Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Pada waktu itu yang digunakan adalah tarikh Saka dan Masehi, yang berdasarkan perhitungan putaran matahari, serta tarikh Hijriah yang berdasarkan perhitungan putaran bulan. Kemudian Sultan Agung membuat tarikh Jawa (Islam) yang berdasarkan putaran bulan, melanjutkan umurnya tarikh Saka, 1555. 3

Tahun Jawa mulai diberlakukan sejak 1 Sura, Alip 1555 (1 Asvina 1555 Saka= 1 Januari 1633 Masehi = 1 Muharam 512 Hijriah )Tarikh Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung

1Penny Respati Yurisa et al., “ISLAMIC VALUES BEHIND THE RITUAL OF A COW HEAD BURIAL IN GREBEG SURO,” El-HARAKAH (TERAKREDITASI) 23, no. 1 (June 16, 2021): 157–72, https://doi.org/10.18860/eh.v23i1.10576.

2 071311333119 Nataya Zuhairini Fakhriza, “Perubahan Kebijakan Ritual Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo dalam Teori Orientasi Aktor,” Jurnal Politik Muda 6, no. 3 (August 2017): 171–79.

3 Ulfatu Sholihah, “GREBEG TUTUP SURO SEBAGAI TRADISI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI PONOROGO JAWA TIMUR” (OSF Preprints, December 6, 2019), https://doi.org/10.31219/osf.io/x6r8q.

(5)

Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021 |5 dilengkapi unsus-unsur seperti; 7 hari ( Ahad, Senen, Slasa, Rebo, Kemis, Jumuah dan Setu ), 5 pasaran ( Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon ), 12 bulan ( Sura, Sapar, Mulud, dst.), 8 tahun ( Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir ), 4 windu (Adi, Kunthara, Sangsara dan Sancaya ), 30 wuku ( Sinta, Landep, Wukir, dst.), 12 mangsa (Kasa, Karo, Katelu, dan seterusnya), serta 5 Kurup (Jamngiyah, Kamsiyah, Arbangiyah/Aboge, Salasiyah/ Asapon dan Isneniyah ). Kelengkapan dari unsur-unsur itu kemudian digunakan sebagai Pawukon, sebagai dasar perhitungan perbintangan Jawa.

Pada dasarnya Grebeg Suro Ponorogo merupakan suatu acara yang diadakan untuk memperingati datangnya tahun baru Islam (dalam istilah Jawa disebut Suro). Berbagai macam dan tata cara kegiatan dalam menyambut bulan Sura bagi masyarakat Ponorogo adalah bagian dari kegiatan religius. Semua itu dilakukan hanya dalam proses pendekatan kepada Yang Kuasa. Sedangkan tata cara termasuk grebeg dan adanya kesenian Reog hanyalah sebuah sarana berdasarkan kepercayaan dari naluri budaya yang berlaku.4

B. Sejarah Awal Grebeg Suro

Mewarisi naluri budaya Jawa berarti mempercayai laku tirakat. Seperti halnya ketika menyambut pergantian tahun Jawa atau suran. Masyarakat Ponorogo melakukan laku tirakat dibulan Sura, yaitu dengan melakukan tirakatan mengelilingi kota dan tidak tidur pada malam satu suro (melekan) yang selanjutnya tradisi tersebut disebut Grebeg Suro. Cikal bakal Grebeg Suro diyakini ratusan tahun yang lalu telah dilakukan masyarakat Ponorogo secara spontan, responsif dalam menyambut tahun baru Suro (Wawancara dengan Sunardi, 27 April 2011). Menurut Djudiono (53 tahun) tradisi Grebeg Suro dilakukan sejak dulu dengan bersama-sama menuju satu tujuan yang diyakini dengan kesepakatan Bersama menuju alon-alon kota Ponorogo.

Selain laku tirakat bulan suro identik dengan sakralitas. Pada bulan suro masyarakat Jawa melakukan laku prihatin dan juga ziarah di makam-makam keramat. Sementara ada yang mengadakan pementasan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon tertentu yang dianggap keramat. Seperti yang dilakukan oleh para Bupati dan pegawai Pemerintahan di Kabupaten Ponorogo, mereka melakukan ziarah makam Batoro Katong sambil membawa

4 Muhammad Hanif and Zulianti Zulianti, “SIMBOLISME GREBEG SURO DI KABUPATEN PONOROGO,”

AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 2, no. 1 (January 10, 2012), https://doi.org/10.25273/ajsp.v2i1.766.

(6)

6 | Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021

duplikat pusaka yang akan dikirab pada sore harinya (Wawancara dengan Sunardi, 27 April 2011).5

Disisi lain Seni Reyog Ponorogo yang telah terkenal dan menjadi salah satu khasanah budaya bangsa Indonesia hingga ke manca negara, ternyata pada dekade 1970 an sampai 1980 an perkembangannya mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan. Kondisi ini ditandai dengan mulai ditinggalkannya Seni Reyog Ponorogo oleh generasi muda dan senimannya, serta perkembangannya seni Reyog Ponorogo yang semakin menurun baik secara kuantitas maupun kualitas harinya (Wawancara dengan Budi S., 9 Mei 2011).

Menyadari adanya kondisi tersebut diatas serta dalam upaya menggugah kembali kecintaan akan budaya khas tradisional khususnya Seni Reyog Ponorogo, maka bupati Ponorogo ke 11 (Alm. Drs. Subarkah Putro Hadiwiryo) pada tahun 1987 memprakarsai sebuah ide pagelaran seni Reyog dengan memanfaatkan tradisi masyarakat Ponorogo tersebut yang diwujudkan dalam pementasan festifal Reyog Ponorogo pada perayaan Grebeg Suro (Disbudparpora Ponorogo, 2008).6

C. Runtutan Agenda Grebeg Suro

Runutan agenda kegiatan “Grebeg Suro” dimulai dari penyelenggaraan Festival Reog Nasional, yang biasanya dilakukan selama 4 (empat) hari, yang melibatkan peserta yang berasal dari Kabupaten Ponorogo maupun luar Kabupaten. Selanjutnya peserta tersebut akan diambil 10 Besar group Reyog terbaik dan 10 besar pembina terbaik, kemudian sehari sebelum 1 Suro akan diselenggarakan Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka dari kota lama ke kota tengah untuk mengenang perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Ponorogo dari kota lama ke kota tengah. Malam 1 Suro diadakan penutupan Festival Reog Nasional dan pengumuman lomba, dan tepat tanggal 1 Suro diadakan Larungan Risalah Do’a di Telaga Ngebel. Nilai Local Wisdom yang ada dalam aktifitas tersebut yakni nilai simbolik, nilai tanggung jawab, nilai keindahan, nilai moral, nilai hiburan, nilai budaya, nilai sosial, nilai

5 Yusuf Adam Hilman and Irfan Nugroho, “THE EFFECTIVENESS OF ONLINE TICKET MANAGEMENT BY VOLUNTEER IN GREBEG SURO 2018 AND REYOG PONOROGO NATIONAL FESTIVAL XXV,”

CosmoGov 6, no. 1 (May 20, 2020): 99, https://doi.org/10.24198/cosmogov.v6i1.24793.

6 Hanif and Zulianti, “SIMBOLISME GREBEG SURO DI KABUPATEN PONOROGO.”

(7)

Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021 |7 ekonomi, nilai apresiasi, dan nilai religius.7 Adapun agenda Tradisi Grebeg Suro Ponorogo sebagai berikut :

1. Malam Pembukaan Perayaan Grebeg Suro

Serangkaian acara yang digelar pada Malam Pembukaan Perayaan Grebeg Suro, yang diakhiri dengan penyulutan kembang api, di panggung utama aloon-aloon Ponorogo telah mampu merangsang segenap warga Ponorogo dari seluruh penjuru kota untuk berbondong-bondong ke aloon-aloon dan sekitarnya. Tidak kurang dari 50.000 orang memadati aloon-aloon Ponorogo dan sekitarnya untuk menyaksikan Malam Pembukaan tersebut.

2. Tari Reyog Massal dan Pawai Sepeda Unto

Salah satu kegiatan untuk memeriahkan Perayaan Grebeg Suro yang diselenggarakan Tari Reyog Massal. Dengan seragam Kaos, celana, dan udeng agar kelihatan serempak, jumlah peserta tari reyog tersebut sekitar 19.000 orang. para peserta tari reyog massal dari anak TK mayoritas diantar oleh orang tua mereka dan banyak menyedot perhatian pengunjung (penonton) untuk datang di aloon-aloon Ponorogo.

Sedangkan acara Pawai Sepeda Unto yang dilaksanakan diikuti oleh sekitar 2.500 peserta.

3. Pameran Bonsai, Bunga dan Produk Unggulan

Pameran yang diselenggarakan dalam rangka Perayaan Grebeg Suro Pameran Bonsai, Tanaman Hias, Bunga, dan Industri Kecil dan Produk Unggulan. Dalam penelitian ini jumlah sampel penelitian yang diambil adalah sebanyak 15 orang, yaitu terdiri dari jenis usaha Bunga (3 orang), Tanaman Hias (2 orang), Bonsai (5 orang), dan Industri Kecil dan Produk Unggulan (5 orang).

4. Kirab Pusaka dan Malam Penutupan (Malam 1 Suro)

Kirab Pusaka pada sore hari dan Malam Penutupan Perayaan Grebeg Suro (Malam 1 Suro), merupakan acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Ponorogo dan sekitarnya. Mulai siang hari (Kirab Pusaka) sampai dengan malam hari (Malam Penutupan) pada jam 24.00 WIB, tidak kurang dari 200.000 orang, baik dari dalam kota maupun luar kota Ponorogo, seperti Kabupaten Magetan, Trenggalek,

7 Khoirurrosyidin Khoirurrosyidin, “Perayaan Grebeg Suro sebagai Potensi Pengembangan Sektor Wisata Budaya Ponorogo,” ARISTO 6, no. 2 (July 1, 2018): 344–53, https://doi.org/10.24269/ars.v6i2.1027.

(8)

8 | Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021

Madiun, Wonogiri, Malang, Surabaya dan lain-lain, memadati aloon-aloon Ponorogo dan jalan-jalan di kota Ponorogo. Mulai siang sampai dengan menjelang pagi hari pada malam itu (Malam Satu Suro) Kota Ponorogo gemerlapan lampu dan ramai berbagai hiburan rakyat.

5. Larung Risallah Doa di Telaga Ngebel Ponorogo

Kegiatan Larung Risallah Doa pada Perayaan Grebeg Suro yang diselenggarakan di sekitar Telaga Ngebel mampu menarik pengunjung yang cukup besar. Diperkirakan hampir 24.000 orang memadati kawasan Telaga Ngebel Ponorogo untuk menyaksikan jalannya prosesi Larung Risallah tersebut. Jumlah pengunjung yang sangat besar di Telaga Ngebel Ponorogo pada acara Larung Risallah di sekitar kawasan Telaga Ngebel. Beberapa usaha Pedagang Kaki Lima (PKL), mulai penjual buah, bakso, mie ayam, dan sate kelinci, maupun usaha rumah makan telah mendapatkan keuntungan yang cukup besar dengan adanya kegiatan tersebut.8

D. Kaitan Tradisi Grebeg Suro dengan Konsep Islam Nusantara

Ritual yang dilakukan setiap bulan Suro dengan mengubur kepala sapi merupakan ciri khas masyarakat Ponorogo. Ini adalah perilaku asli, yang mencakup makna, nilai, dan kepercayaan kontekstual dalam lingkungan keluarga, sosial, budaya, dan ekologis (Kim, 2000). Ritual Grebeg Suro dianggap bisa mendatangkan keselamatan dari segala mara bahaya. Asumsi slamet atau keselamatan dibalik Tradisi atau Ritual Grebeg Suro menimbulkan rasa penasaran penulis untuk mendapatkan ulasan dan penjelasan dari pelaku tentang konsep tersebut.9

Orang Jawa telah memperoleh banyak gagasan keagamaan: animisme, ajaran-ajaran Hindu-Budha dan menggabungkan sihir, mistisisme, dan kekaguman terhadap jiwa-jiwa yang kuat, pemujaan roh, dan pemujaan tempat-tempat suci (Hakam, 2017). Budaya dan agama Jawa terdiri dari variasi yang signifikan dari kepercayaan, konsep, pandangan, dan nilai-nilai, seperti kepercayaan kepada Tuhan, pada nabi Muhammad, pada nabi-nabi lain, pada orang-orang kudus, konsep penciptaan kosmogonik, dan pandangan kosmologis

8 Ekapti Wahjuni, “HEGEMONI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN GREBEG SURO MASYARAKAT PONOROGO,” ARISTO 3, no. 2 (February 18, 2016): 44–53, https://doi.org/10.24269/ars.v3i2.5.

9 Hanif and Zulianti, “SIMBOLISME GREBEG SURO DI KABUPATEN PONOROGO.”

(9)

Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021 |9 tentang alam, dan dunia, eskatologi, kepercayaan pada dewa, konsep kematian dan kehidupan setelah kematian, roh leluhur, roh penjaga, hantu, hantu dan raksasa, dan konsep kekuatan magis.10

Setelah masuknya Islam di Jawa, perubahan keyakinan mereka tidak mengarah pada menjadi Muslim Jawa yang homogen, melainkan memungkinkan mereka menjadi beragam dalam memaknai Islam dan ajarannya serta keyakinan mereka yang dulu atau yang sudah ada. Non-homogenitas Muslim Jawa dapat ditafsirkan baik secara hierarkis maupun melalui latar belakang sosial budaya. Seperti yang dikemukakan Geertz (1994), orang Jawa dikategorikan menjadi tiga; abangan, santri, dan priyayi. Para priyayi pada awalnya adalah keturunan bangsawan atau keluarga kerajaan di kerajaan-kerajaan Jawa kuno, dan mereka menjadi pejabat pemerintah di bawah jajahan Belanda. Orang-orang elit ini memegang tradisi menghormati etiket istana, rasa seni yang kompleks termasuk drama, musik, tari, mistisisme Hindu-Budha, dan aspek linguistik, seperti puisi dan penggunaan tingkat bahasa yang berbeda dan menangani antara lapisan sosial sebagai bawahan dapat berbicara bahasa yang sama.11

Dalam budaya Jawa, sapi adalah hewan yang suci dan baik. Keberadaan mereka signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah sumber pangan, mitra dalam bekerja dan mengolah pertanian. “...mengubur kepala sapi melambangkan kesucian niat dan ketangguhan dalam etos kerja karena sapi adalah hewan keramat sekaligus sahabat dalam mencari rejeki dalam sumber rejeki masyarakat…” (Wawancara 3, 19). Ritual penguburan kepala sapi dikaitkan dengan makna simbolis bahwa sangat penting adanya niat suci yang ada di kepala, dikuatkan hati dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Bekerja keras saja tidak cukup. Perlu niat yang suci karena niat yang tidak murni akan membawa orang pada keserakahan dan perilaku tidak baik. Penguburan sapi mengingatkan masyarakat bahwa perlu menata pilihannya di tahun depan agar kehidupan menjadi lebih baik, dan berkah terus diberikan. Pelestarian budaya ini menunjukkan bahwa masyarakat Sumbermujur mengedepankan kebaikan, berperilaku berdasarkan niat yang benar, yaitu mencari ridho Tuhan Yang Maha Esa.

10 Wahjuni, “HEGEMONI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN GREBEG SURO MASYARAKAT PONOROGO.”

11 Nur Intan Fibriana et al., “Analisis Tinjauan Ritual Grebeg Suro Desa Sumber Mujur dengan Pendekatan Etnosains sebagai Tradisi Masyarakat Lumajang,” Experiment: Journal of Science Education 1, no. 2 (September 30, 2021):

71–79, https://doi.org/10.18860/experiment.v1i2.12799.

(10)

10 | Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021

Menurut Ki Narto Sabdo, budaya adalah aura keindahan. Ada kecenderungan Islam termodifikasi dengan budaya Jawa (dalam Amin, 2000). Hal tersebut melahirkan berbagai produk baru, salah satunya adalah interelasi nilai budaya Jawa dan Islam dalam aspek ritual.

Dalam Islam terdapat ajaran agama yang dibentuk dalam kegiatan peribadatan ritual. Ritual ini dalam Islam mengacu pada rukun Islam yang harus dilakukan seorang Muslim, yang di dalamnya ditemukan doa yang selalu meminta keridhaan Allah kepada-Nya. Sama halnya dengan tujuan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, yaitu untuk mencari berkah, atau yang dikenal dengan ngalap barokah, yang artinya mengharapkan keselamatan, kebahagiaan, dan belas kasihan.12

Ritual atau upacara itu mengandung sesuatu yang mistis, suci, dan sakral (Syam, 2005). Hakikat pemujaan dalam agama Jawa adalah pemujaan terhadap leluhur (Geertz, 1999). Ini memanifestasikan dirinya dalam sikap mistis dan abadi. Meski memuja ruh, pada hakikatnya mereka tetap fokus kepada Tuhan Yang Maha Esa (Endraswara, 2006).

Kearifan lokal dan kearifan lokal mengekspresikan ajaran agama melalui budaya dan tradisi lokal (Hidayat, 2012). Ritual atau upacara tersebut pada awalnya merupakan penawar dari hal-hal buruk yang dapat merugikan manusia. Dilakukan dengan memberikan sesajen kepada hal-hal gaib, dengan harapan kehidupan akan aman (Purwadi, 2007). Slamet adalah sebuah konsep untuk kemaslahatan hidup. Bukan hanya sekedar dimensi sehat, aman, dan sejahtera melainkan anugerah bagi orang lain dan makhluk lainnya. Dan hal ini tercermin dalam ucapan syukur masyarakat Desa Sumbermujur, “...selain mengubur kepala sapi, kami juga menyiapkan sesaji atau sedekah dari hasil pertanian masyarakat kami. Ini menunjukkan rasa syukur kita atas karunia yang telah Tuhan berikan. Secara teknis, baik kepala sapi maupun persembahan hasil panennya disiapkan bersama, disumbangkan bersama, dan juga dinikmati bersama…” (Wawancara 3, 47)13

Veth (dalam Kholil, 2008) berpendapat bahwa tidak semua pemeluk Islam masuk Islam murni. Menurut Veth, pemeluk Islam dikelompokkan menjadi empat kelompok:

Islamis yang masih menganut kepercayaan campuran Brahma dan Buddha; Islamis yang memiliki ide magis dan dualisme; Islamis yang memiliki animisme; dan pemeluk Islam yang

12 Yusuf Adam Hilman and Titing Kartika, “Dinamika Kelembagaan Sektor Pariwisata Di Kabupaten Ponorogo,”

Indonesian Journal of Tourism and Leisure 1, no. 1 (April 16, 2020): 26–37, https://doi.org/10.36256/ijtl.v1i1.82.

13 Fitriah Hanim and Sariyatun Sariyatun, “PENGINTEGRASIAN MATERI ISLAM DI INDONESIA DENGAN HASIL KEBUDAYAAN ISLAM (GREBEG SURO DI JIPANG, CEPU, BLORA, JAWA TENGAH),” Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia 3, no. 2 (December 14, 2020): 126–36, https://doi.org/10.17977/um0330v3i2p126-136.

(11)

Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021 |11 menjalankan ajaran Islam secara murni. Orang Jawa termasuk dalam tiga golongan pertama, dan sampai saat ini ajaran Jawa Kejawen masih banyak dianut oleh umat Islam yang meneruskan tradisi lokal. Tradisi lokal tidak pernah statis atau berhenti tetapi berkembang, sehingga sikap Islam dalam menyikapi budaya dapat dibagi menjadi tiga: (1) menerima dan mengembangkan suatu budaya, mengikuti prinsip-prinsip Islam untuk kemuliaan hidup manusia; (2) menolak tradisi dan unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip Islam; (3) membiarkannya seperti cara berpakaian (Zuhdi, 2019).14

Simpulan

Budaya Jawa secara historis dinamisme-animisme, Hindu, Budha, dan Islam berakulturasi.

Selanjutnya, akulturasi ini menciptakan keragaman yang unik dan kaya, yang pada akhirnya membentuk budaya Jawa yang mandiri. Grebeg Suro adalah contoh bagaimana nilai-nilai Islam dan budaya lokal diakulturasi. Bukan hanya acara budaya, tetapi juga mengandung nilai-nilai Islam Nusantara. Pembelajaran Hasil penelitian mendeskripsikan makna slamet dari serangkaian Ritual Grebeg Suro Kabupaten Ponorogo sebagai pendekatan psikologi adat. Slamet merupakan konsep tentang kemanfaatan hidup. Bukan hanya dimensi sehat, aman, dan sejahtera, tetapi bermanfaat bagi orang dan makhluk lain. Itu tercermin dalam ucapan syukur oleh orang-orang atau masyarakat Ponorogo. Tokoh masyarakat Kabupaten Ponorogo juga menyatakan bahwa slamet berarti pelestarian sumber air dan jaminan bahwa lahan pertanian terlindungi dari bencana. Selain itu, ia memiliki dimensi duniawi dan spiritual. Kehidupan masyarakat di Ponorogo diharapkan dapat berjalan dengan baik dan dapat meningkat secara kualitas dan kuantitas. Secara psikologis, seranglaian ritual Grebeg Suro masyarakat Ponorogo merasakan kedamaian sebagai rasa syukur dan kepercayaan terhadap “slamet”. Tulisan ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mengajak masyarakat untuk melestarikan budaya lokal dan nilai-nilai Islam Nusantara dalam ritualnya.

Hanya sebatas penggalian nilai-nilai Islam Nusantara di balik serangkaian ritual Grebeg Suro Ponorogo. Tulisan ini lebih lanjut mungkin menganalisis ritual dari latar belakang sejarah. Selain itu, analisis tentang ritual Grebeg Suro lainnya, seperti Tari Reyog Massal, Pawai Sepeda Unto, Pameran Bonsai, Kirab Pusaka, dan Larung Risallah bisa menjadi pilihan yang bagus untuk dilakukan.

14 Yurisa et al., “ISLAMIC VALUES BEHIND THE RITUAL OF A COW HEAD BURIAL IN GREBEG SURO.”

(12)

12 | Ummul Quro, Vol. 02, No. 56, November/Desember 2021

Daftar Pustaka

Fibriana, Nur Intan, Rafiatul Hasanah, Fitri Ayu Nur Azizah, Alfina Fitriyatun Nur Jannah, and Anisatur Rohmah. “Analisis Tinjauan Ritual Grebeg Suro Desa Sumber Mujur dengan Pendekatan Etnosains sebagai Tradisi Masyarakat Lumajang.” Experiment: Journal of Science

Education 1, no. 2 (September 30, 2021): 71–79.

https://doi.org/10.18860/experiment.v1i2.12799.

Hanif, Muhammad, and Zulianti Zulianti. “SIMBOLISME GREBEG SURO DI KABUPATEN PONOROGO.” AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 2, no. 1 (January 10, 2012). https://doi.org/10.25273/ajsp.v2i1.766.

Hanim, Fitriah, and Sariyatun Sariyatun. “PENGINTEGRASIAN MATERI ISLAM DI INDONESIA DENGAN HASIL KEBUDAYAAN ISLAM (GREBEG SURO DI JIPANG, CEPU, BLORA, JAWA TENGAH).” Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia 3, no. 2 (December 14, 2020): 126–36. https://doi.org/10.17977/um0330v3i2p126-136.

Hilman, Yusuf Adam, and Titing Kartika. “Dinamika Kelembagaan Sektor Pariwisata Di Kabupaten Ponorogo.” Indonesian Journal of Tourism and Leisure 1, no. 1 (April 16, 2020):

26–37. https://doi.org/10.36256/ijtl.v1i1.82.

Hilman, Yusuf Adam, and Irfan Nugroho. “THE EFFECTIVENESS OF ONLINE TICKET MANAGEMENT BY VOLUNTEER IN GREBEG SURO 2018 AND REYOG PONOROGO NATIONAL FESTIVAL XXV.” CosmoGov 6, no. 1 (May 20, 2020): 99.

https://doi.org/10.24198/cosmogov.v6i1.24793.

Khoirurrosyidin, Khoirurrosyidin. “Perayaan Grebeg Suro sebagai Potensi Pengembangan Sektor Wisata Budaya Ponorogo.” ARISTO 6, no. 2 (July 1, 2018): 344–53.

https://doi.org/10.24269/ars.v6i2.1027.

Nataya Zuhairini Fakhriza, 071311333119. “Perubahan Kebijakan Ritual Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo dalam Teori Orientasi Aktor.” Jurnal Politik Muda 6, no. 3 (August 2017): 171–79.

Sholihah, Ulfatu. “GREBEG TUTUP SURO SEBAGAI TRADISI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI PONOROGO JAWA TIMUR.” OSF Preprints, December 6, 2019.

https://doi.org/10.31219/osf.io/x6r8q.

Wahjuni, Ekapti. “HEGEMONI PEMERINTAH DAERAH DALAM

PENYELENGGARAAN GREBEG SURO MASYARAKAT PONOROGO.” ARISTO 3, no. 2 (February 18, 2016): 44–53. https://doi.org/10.24269/ars.v3i2.5.

Yurisa, Penny Respati, Rika Fu’aturosida, Yusuf Ratu Agung, and Ulfah Muhayani. “ISLAMIC VALUES BEHIND THE RITUAL OF A COW HEAD BURIAL IN GREBEG SURO.” El-HARAKAH (TERAKREDITASI) 23, no. 1 (June 16, 2021): 157–72.

https://doi.org/10.18860/eh.v23i1.10576.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, budaya dan tradisi masyarakat terdahulu mencerminkan nilai- nilai Pancasila yang salah satunya adalah tradisi yang dibawanya di kalangan umat Islam, Diba`an yang sering