i
TRADISI PARU DHEKO (LARI IKUT) PERSPEKTIF FIQIH MUNAKAHAT DALAM ISLAM
(Studi Kasus Kelurahan Mautapaga Kilometer 3, Kota Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur)
Oleh Indah Lestari NIM 180202035
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM MATARAM
2022
ii
TRADISI PARU DHEKO (LARI IKUT) PERSPEKTIF FIQIH MUNAKAHAT DALAM ISLAM
(Studi Kasus Kelurahan Mautapaga, Kilometer 3) Skripsi
diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram untuk melengkapi Persyaratan Mencapai gelar
Sarjana Hukum.
Oleh
Indah Lestari NIM 180202035
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM MATARAM
2022
iii
iv
vi
vii keaslian
"Kepercayaan akan diri sendiri adalah rahasia utama untuk sukses.”
Carl Rogers
viii
PERSEMBAHAN
Dengan rasa bangga dan penuh cinta, karya ini ku persembahkan untuk beberapa orang yang sangat berarti bagi hidupku:
1. Orang tuaku tercinta, Alm Ayah Syafrudin Ruka dan Ibu Siti Fatimah Syafrudin, terima kasih untuk doa, motivasi dan cinta yang tak akan bisa tergantikan dengan apapun
2. Untuk saudara dan saudariku, terkhusus Kakak perempuan pertamaku, atas keringat dan pengorbanannya sehingga saya bisa menyelesaikan pendidikan hingga di bangku perkuliahan ini.
3. Untuk Ustazah-ustazahku dan seluruh kawan hijrahku selama di Mataram
4. Teruntuk Almamater dan Kampus UIN Mataram
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang telah melimpahkan rahmat kepada kita, sehingga peneliti bisa menyelesaikan penelitian ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhamad SAW, kepada para keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Semoga kita medapatkan syafaat beliau di hari akhir kelak. Aamiin Allahumma Aamiin.
Peneliti menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak akan sukses tanpa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. oleh karena itu, peneliti memberikan penghargan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu sebagai berikut:
1. Prof. Hj. Atun Wardatun, M.A., Ph.D sebagai Pembimbing I dan Muhamad Zamroni, MH.I sebagai Pembimbing II yang memberikan bimbingan, koreksi mendetail, terus menerus dan tanpa bosan di tengah kesibukannya dalam suasana keakraban menjadikan skripsi ini lebih matang dan cepat selesai;
2. Hj. Ani Wafiroh, sebagai Penguji I dan Heri Zarkasih, S.H., M.H selaku Penguji II, yang telah mengoreksi kesalahan dalam penulisan penulis.
3. Hj. Ani Wafiroh, M.Ag. sebagai Ketua Jurusan dan Nunung Susfita, M.SI selaku Sekretaris Jurusan yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi, sehingga skripsi ini bisa selesai;
4. Dr. Moh Asyiq Amrulloh, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah
x
5. Prof. Dr. Masnun, M. Ag. selaku Rektor UIN Mataram yang telah memberikan tempat bagi peneliti untuk menuntut ilmu dan memberikan bimbingan selama peneliti menempuh studi;
6. Kepada orang tua peneliti, Alm. Bapak tercinta dan Ibu tercinta yang telah memberikan doa, dukungan dan cinta kasih dalam keseharian peneliti
7. Kepada kakak perempuan pertama peneliti, Kakak Mardian Purnamawati yang telah bekerja keras untuk menyekolahkan peneliti sehingga peneliti bisa sampai di titik ini.
8. Seluruh teman-teman Hukum Keluarga Islam angkatan 2018 kelas A Semoga amal kebaikan dari berbagai pihak tersebut mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semesta. Aamiin Allahumma Aamiin
Mataram, Penulis,
Indah Lestari
xi DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN LOGO ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iv
NOTA DINAS PEMBIMBING ... v
PENGESAHAN DEWAN PENGUJI...vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... vii
HALAMAN MOTTO ...viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... ivx
ABSTRAK ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ... 7
F. Telaah Pustaka ... 7
G. Kerangka Konseptual... 10
H. Metode Penelitian ... 21
xii
I. Sistematika Pembahasan ... 27
BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN ... 29
A. Gambaran Umum Kelurahan Mautapaga ... 29
B. Praktik tradisi paru dheko (lari ikut) di Kelurahan Mautapaga ... 32
C. Faktor yang melatarbelakangi tradisi paru dheko (lari ikut) di Kelurahan Mautapaga ... 36
D. Konsep Fiqih Munakahat dalam Islam terhadap tradisi lari ikut (paru dheko) di Kelurahan Mautapaga ... 40
BAB III ANALISIS TERHADAP LARI IKUT (PARU DHEKO) KIBAT ZINA DI KELURAHAN MAUTAPAGA ... 43
A. Analisis terhadap lari ikut (paru dheko) di Kelurahan Mautapaga ... 43
B. Analisis terhadap faktor yang melatarbelakangi tradisi lari ikut (paru dheko) di Kelurahan Mautapaga ... 47
C. Analisis Konsep Fiqih Munakahat terhadap tradisi lari ikut (paru dheko) di Kelurahan Mautapaga ... 50
BAB IV PENUTUP ... 54
A. Saran ... 54
B. Kesimpulan ... 55 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN BIODATA
xiii
DAFTAR TABEL
Gambar 2.1 Struktur tatanan kerja Kelurahan Mautapaga
Gambar 2.2 Nama Kepala Lurah Mautapaga dari periode ke periode Gambar 2.3 Batas Wilayah Kelurahan Mautapaga
Gambar 2.4 Jumlah Penduduk Kelurahan Mautapaga
xiv
TRADISI PARU DHEKO (LARI IKUT) PERSPEKTIF FIQIH MUNAKAHAT DALAM ISLAM (Studi Kasus Kelurahan
Mautapaga, Kilometer 3, Kota Ende, NTT) OLEH
INDAH LESTARI 180202035 ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh hasil temuan peneliti di Kelurahan Mautapaga, Kilometer 3, bahwasanya masih banyak terjadi praktik lari ikut atau paru dheko akibat zina oleh pasangan muda mudi yang hendak melangsungkan pernikahan, namun tidak mendapatkan restu dari keluarga perempuan karena beberapa faktor dan memilih untuk menikah dengan cara lari ikut atau paru dheko. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik paru dheko (lari ikut), mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya tradisi paru dheko (lari ikut) dan ingin mengetahui Konsep Fiqih Munakahat dalam Islam terhadap tradisi paru dheko (lari ikut) dalam pernikahan adat di Kelurahan Mautapaga.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kualitatif, sedangkan menggunakan pendekatan Yuridis Empiris. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah definisi menikah dalam perspektif Islam, pernikahan menurut hukum adat, Hukum adat, Kawin lari dan Zina.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, ada beberapa faktor penyebab masyarakat melakukan lari ikut (paru dheko) yakni, akibat hamil di luar nikah, faktor ekonomi dan hubungan yang tidak direstui. Praktik paru dheko atau lari ikut merupakan pelarian seorang gadis ke rumah laki-laki dan menginap selama dua atau tiga hari tanpa sepengetahuan orang tuanya di rumah laki-laki tersebut. Ini dianggap sebagai pelanggaran adat pada masyarakat Kelurahan Mautapaga.
Kegiatan praktik paru dheko atau lari ikut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan pacaran, berniat merencanakan waktu pelarian dan tidak diketahui oleh pihak keluarga sama sekali.
Apabila ditinjau dari Fiqih Munakahat dalam Islam, dimana Islam
xv
melarang keras hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dan tidak memiliki ikatan pernikahan.
Kata Kunci : Praktik, Lari ikut (paru dheko), Perspektif, Fiqih Munakahat
16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Allah swt menciptakan bumi dan segala isinya dengan beraneka ragam makhluk hidup di dalamnya serta mereka dijadikan berpsang-pasangan. Salah satu penciptaan- Nya adalah diciptakan laki-laki dan perempuan, diharapkan diantara mereka terjalin rasa cinta dan kasih sayang. Perkawinan adalah jalan yang dipilih Allah SWT untuk melestarikan keturunan. Tujuan perkawinan menurut syariat Islam yaitu untuk membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat dan saling meridhoi, memelihara keturunan dengan baik serta menimbulkan suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan sosial.1
Dalam kitab-kitab fiqih, pembahasan pernikahan dimasukkan kedalam suatu bab yang disebut dengan munakahat, yaitu suatu bagian dari ilmu lain dengan masalah yang berbeda. Kata “munakahat” mengandung interaksi dua pelaku atau lebih, sebab perkawinan memang tidak pernah terjadi dengan pelaku tunggal, selamanya melibatkan pasangan, dua jenis pelaku yang berlainan kelamin. 2Sebagaimana dalam firman Allah SWT3
ْن ِمَو ًة َّد َو َّم ْم ُكَنْيَب َلَع َجَو اَهْي َ
لِا ا ْٖٓوُنُك ْسَتِِّل اًجا َوْزَا ْمُك ِسُفْنَا ْنِِّم ْمُكَل َقَلَخ ْنَا ٖٓ هِتٰيٰا َن ْوُر َّك َفَتَّي ٍمْو َقِِّل ٍتٰيٰ َلَ َكِلٰذ ْيِف َّنِاۗ ًةَمْحَرَّو
Artinya: “Dan di antara tanda (kebesaran-Nya) ialah Dia menciptakan pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung merasa tenteram kepadanya dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Setiap daerah memiliki berbagai tradisi yang dipertahankan di daerahnya masing-masing dengan tata cara pelaksanaan yang berbeda pula. Apabila tradisi yang ada di masyarakat tersebut membawa satu nilai positif bagi masyarakatnya, maka tetap diberlakukan di daerah tersebut. Sebaliknya, jika suatu tradisi tersebut terlihat bertentangan dengan adat masyarakat setempat atau yang tidak relevan dengan perkembangan zaman, maka tradisi tersebut bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan zaman serta tidak menutup diri untuk mendapat pengaruh-pengaruh.
1H.M. Zufran Sabrie, Analisa Hukum Islam tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta: Depertemen Agama RI), 1998, hlm 7
2 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia), 2000, hlm 11
3Qs Ar- Rum [30]: 21
17
Dalam pasal 18B ayat 2 tahun 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di atur dalam undang-undang.
Di masyarakat Ende, terdapat tiga cara atau tahapan dalam prosedur dalam melangsungkan pernikahan, pertama, melalui pinangan (tana ale) yakni orang tua dan pasangan mengambil keputusan lalu orang tua mengatur proses pernikahannya dari awal sampai akhir dengan proses sesuai adat pada masyarakat Ende pada umumnya, Kedua, pinangan tidak formal (pou uta wanga kaju) artinya pilihan pasangan seringkali tidak tergantung dari orang tua tetapi pilihan sendiri yang tetapi disetujui oleh pihak keluarga untuk menikah, Ketiga cara paru dheko (lari ikut) yakni dimana anak gadis lari kerumah laki-laki selama dua atau tiga hari tanpa sepengetahuan orang tuanya yang sudah direncanakan oleh keduanya dalam keadaan hamil. Setelah dua atau tiga hari keberadaan perempuan di rumah laki-laki tersebut, maka keluarga laki-laki datang memberitahu kepada keluarga perempuan untuk izin menikah. Selanjutnya, terjadi pertemuan antara kedua belah pihak keluarga antara Imam kampung atau RT yang mewakili keluarga dari pihak perempuan untuk membicarakan kelanjutan dari proses lari ikut menuju pernikahan dengan keluarga laki-laki4
Dalam Bahasa Ende, kata paru dheko memiliki dua arti, yakni “paru” yang memiliki arti lari dan “dheko” berarti ikut. Yang ada pada masyarakat Ende, dikenal dengan istilah lari ikut (paru dheko). Pernikahan terjadi setelah si wanita melarikan diri dan menyerahkan diri ke keluarga laki-laki. Setelah penyerahan diri langsung diproses peresmian perkawinan mereka. Belis pada umumnya tidak dituntut karena seluruh hak keluarga wanita dianggap hilang dengan penyerahan diri si gadis itu. 5 Dalam hal ini, pasangan muda mudi pada masyarakat Kelurahan Mautapaga yang melakukan praktik lari ikut (paru dheko) adalah mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi menengah ke bawah atau masih dalam pengasuhan orang tua atau sudah dalam keadaan hamil di luar nikah. Sehingga lari ikut atau paru dheko adalah salah satu cara untuk menghindari beban yang akan ditanggung oleh laki-laki selama proses pelamaran di masyarakat Ende.
Dalam kehidupan, Islam memerintahkan umatnya hendaknya saling bergaul dan berinteraksi antar satu dengan yang lain. Namun dalam hal ini, ketika menjalankan interaksi, bergaul utamanya dengan lawan jenis. Islam telah memberikan aturan dan pedoman yang harus dijalankan. Agar dalam kehidupan, tidak adanya pergaulan bebas yang menjerumuskan pada perbuatan zina. Sehingga hal demikian tidak terjadi pada masyarakat yang sudah tertata kehidupan masyarakatnya.
Seperti pada penjelasan sebelumnya, ini semua berawal dari hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak membatasi pergaulannya. Ada yang sedemikian mengatakan
4Fatimah, Wawancara, Ende, 23 Februari 2022
5F.X Soenaryo, Ransiska Dewi Setiowati, Anak Agung Inten Asmariati, Masyarakat Multikultural Kota Ende: Tinjauan Sejarah dan Integrasi, Univ. Udayana, 2014, hlm 70
18
ingin merajut asmara atau yang disebut pacaran. Keduanya menginginkan pembuktian dari cintanya, yaitu pembuktian dengan cara bersetubuh meski belum menikah dan hasilnya berdampak pada kehamilan. Bahkan wanita hamil di luar nikah dianggap biasa karena dilakukan suka sama suka, namun hal tersebut menentukan keabsahan anak yang dikandungnya.6 Untuk mengindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat justru menutupinya, ada yang lari ke dokter atau ke dukun kandungan, guna menggugurkan kandungannya, ada pula yang langsung menikahi pasangan zinanya atau dengan orang lain agar kehamilannya diketahui masyarakat sebagai kehamilan yang sah.7 Adapun wanita hamil dengan lelaki yang menzinahinya melakukan pernikahan, maka sah dan boleh saja. Sebagaimana dalam firman Allah swt
ِ ر ُحَو ٌۚ ك ِر ْشُم ْوَا ٍناَز َّلَِا ٓاَهُحِكْنَي َلَ ُةَيِناَّزلاَّوۖ ًةَكِر ْشُم ْوَا ًةَيِناَز َّلَِا ُحِكْنَي َلَ ْيِناَّزلَا َكِل ٰذ َم
َنْيِنِمْؤ ُ ْلْا ىَلَع
Artinya: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang mukmin.”8
Sehingga dalam Islam, adanya jalinan pernikahan agar terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah. serta melanjutkan keturunan.
Secara umum, pandangan pakar fiqih mengenai perkawinan wanita hamil karena zina dapat dibedakan menjadi dua, ulama yang mengharamkan perkawinan wanita hamil karena zina dan ulama yang membolehkan perkawinan wanita hamil karena zina.
Akan tetapi secara lebih rinci, pendapat mereka dapat dikelompokkan menjadi 6:
1. Menurut pendapat Abu Hanifah berdasarkan riwayat dari Hasan dikabarkan bahwa beliau membolehkan perkawinan wanita hamil zina, tetapi tidak boleh tidur dengan suaminya sebelum anak yang dikandungnya lahir, karena tidak adanya ketentuan syara’ secara tekstual yang melarang perkawinan wanita hamil karena zina. 9
2. Abu Yusuf berpendapat bahwa perkawinan wanita hamil karena zina tidak boleh seperti ketidakbolehan perkawinan wanita hamil selain zina (seperti ditinggal wafat oleh suami dalam keadaan hamil). Karena tidak memungkinkan tidur bersama, maka tidak boleh melaksanakan perkawinan.10
3. Ulama Malikiyyah tidak membolehkan perkawinan wanita hamil zina secara mutlak sebelum yang besangkutan benar-benar terbebas dari hamil (istibra’) yang dibuktikan dengan tiga kali haidh selama tiga bulan. Apabila perempuan tersebut nikah sebelum istibra’, pernikahan tersebut fasid (batal dengan sendirinya), karena
6 H. Abdullah Sidik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tirta Mas, 1983), hlm 25
7 Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al-mawardi Prima, 2001), hlm 8
8 QS an-Nur [24]: 3
9 Wahbah al-Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Depok: Gema Insani, 2007 hlm. 6649
10 Ibid, 6649
19
khawatir bercampurnya keturunan di dalam dan Nabi Saw. melarang kita menyirami tanaman orang lain.11
4. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita hamil zina boleh dinikahkan, karena kehamilannya tidak dapat dinasabkan kepada seseorang (kecuali kepada ibunya) adanya kehamilan dipandang sama dengan tidak adanya kehamilan. Imam al- Nawawi menjelaskan bahwa wanita yang hamil karena zina tidak diwajibkan melaksanakan iddah (waktu tunggu). Alasannya adalah karena wanita hamil zina tidak termasuk yang dilarang kawin.12 Sebagaimana Allah berfirman:
اًظْيِل َغ اًقاَثْيِِّم ْمُكْنِم َنْذَخَاَّو ٍضْعَب ىٰلِا ْمُكُضْعَب ى ٰ ضْفَا ْدَقَو ٗهَنْوُذُخْأَت َفْيَكَو
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. 13
5. Ulama Hanabilah menentukan dua syarat mengenai kebolehan menikahi wanita yang hamil karena zina. Menurut Ulama Hanabilah, seorang laki-laki yang mengetahui seseorang wanita telah berzina, tidak halal menikahi wanita tersebut dengan dua syarat:
a. Telah habis masa tunggunya, waktu tunggu bagi wanita hamil zina adalah sampai anak yang ada dalam kandungan lahir, sebelum anak yang ada dalam kandungan lahir, wanita yang hamil karena zina haram menikah karena Nabi Saw. Melarang kita menyirami hasil tanaman orang lain.
b. Wanita yang hamil zina telah bertaubat (Sebelum menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya). Sebelum bertaubat, wanita hamil karena zina haram dinikahi orang beriman.14
6. Ibnu Hazm berpendapat bahwa wanita hamil karena zina boleh dikawinkan atau dilakukan walaupun belum melahirkan anaknya, Ibnu Hazm menjelaskan bahwa wanita hamil yang tidak boleh dikawinkan adalah wanita hamil yang dicerai atau ditinggal wafat oleh suaminya. Wanita hamil selain dari hasil hubungan yang sah, boleh dikawinkan karena bersangkutan tidak berada dalam ikatan perkawinan dan tidak berada dalam waktu tunggu.15
Dalam praktek pernikahan tradisi paru dheko di Kelurahan Mautapaga pada tahun 2021-2022, terjadinya tradisi paru dheko atau lari ikut dengan cara menikah karena hamil. Maka peneliti ingin mengkaji lebih jauh dari aspek Fiqih Munakahat tradisi tersebut
11 Ibid, 6650
12 Ibid, 6650
13 QS an-Nisa [4]: 21
14 Ibid, hlm 6649
15 Ibnu Hazm, al-Muhalla, Beirut: Dar al-Jayl, 2000, hlm 474-478
20
Dengan demikian, peneliti mengangkat Skripsi dengan judul “TRADISI PARUDHEKO (LARI IKUT) PERSPEKTIF FIQIH MUNAKAHAT DALAM ISLAM (Studi kasus Kelurahan Mautapaga, Km 3, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, dapat ditarik Rumusan Masalah yang dapat diteliti oleh peneliti sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik tradisi paru dheko (lari ikut) dalam perkawinan adat Kelurahan Mautapaga?
2. Apa faktor yang melatarbelakangi terjadinya tradisi paru dheko (lari ikut) dalam perkawinan adat Kelurahan Mautapaga ?
3. Bagaimana konsep Fiqih Munakahat dalam Islam terhadap tradisi paru dheko (lari ikut) dalam perkawinan adat Kelurahan Mautapaga ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik paru dheko (lari ikut) dalam pernikahan adat Kelurahan Mautapaga
2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi terjadinya tradisi paru dheko (lari ikut) dalam pernikahan adat Kelurahan Mautapaga
3. Untuk mengetahui Konsep Fiqih Munakahat dalam Islam terhadap tradisi paru dheko (lari ikut) dalam pernikahan adat Kelurahan Mautapaga
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis dan praktis
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai sarana referensi bagi seluruh pihak yang bernaung dalam dunia pendidikan terkhususnya dalam bidang Pernikahan Islam
b. Untuk memberikan kontribusi dalam rangka pengembangan khazanah keilmuan 2. Manfaat Praktis
Dalam penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar acuan bagi para Penentu Kebijakan dalam menertibkan pelaksanaan akad nikah bagi masyarakat Kelurahan Mautapaga.
E. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian 1. Ruang Lingkup
Penelitian ini tentang tradisi lari ikut (paru dheko) Perspektif Fiqih Munakahat di Kelurahan Mautapaga, Kilometer 3, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur
2. Setting Penelitian
21
Setting penelitian ini di lakukan di Kelurahan Mautapaga, Kecamatan Ende Timur, Kota Ende; alasan dilakukan penelitian di lokasi tersebut adalah karena di Kelurahan Mautapaga masih banyak pasangan muda mudi yang melakukan lari ikut (paru dheko) akibat zina (Perspektif Fiqih Munakahat). Sehingga peneliti ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh ajaran Islam.
F. Telaah Pustaka
Dalam melakukan sebuah penelitian, adanya telaah pustaka sangat dibutuhkan untuk menunjang keaslian sumber data pada hasil penelitian guna menghindari plagiasi dan duplikasi selama penelitian. Pada telaah pustaka, peneliti melakukan penelusuran beberapa jurnal, skripsi dan artikel terkait lari ikut.
1. Dalam skripsi yang ditulis oleh Muhammad Aldin Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuludin dan Studi Agama dengan judul “Belis dalam adat perkawinan lari di Desa Nuca Molas Kecamatan Satar Mese Barat Kabupaten Manggarai, NTT”
yang membahas tentang Belis yang merupakan pemberian laki-laki kepada perempuan yang merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun dalam adat perkawinan adat Desa Nuca Molas pihak laki-laki merasa keberatan karena pada proses penentuan belis yang diminta oleh pihak wanita terlalu berat atau terlalu tinggi tidak sesuai dengan pendapatan pihak laki-laki sehingga pada akhirnya banyak laki-laki yang mengambil keputusan untuk kawin lari dengan pasangannya. 16
Perbedaan penelitian yang dilakukan Muhamad Aldin dengan peneliti adalah dalam penelitian terdahulu membahas tentang nilai-nilai sosiologis kemasyarakatan dalam praktik penentuan belis dalam perkawinan lari di masyarakat Desa Nuca Molas Manggarai NTT. sedangkan pada penelitian ini, peneliti menggunakan konsep fiqih munakahat. Sedangkan persamaan penelitian ini terletak pada kesamaan menganalisis, yakni perkawinan lari.
2. Tesis yang ditulis oleh Rukiah, PascaSarjana Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifudin Jambi yang berjudul “Lari kawin dan dampak hukumnya dalam perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam” dalam penelitian ini menjelaskan bahwa lari kawin pada Kampung Baruh dikenal dengan istilah lahi kawin, menurut tokoh adat Kampung Baruh Muhamad Rais lari kawin merupakan kata lain dari Nyasat atau peminangan pada umumnya. Praktik lari kawin yang terjadi pada masyarakat Kampung Baruh dilakukan atas persetujuan orang tua, menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dari masa ke masa dan tidak merupakan aib bagi keluarganya.17
Persamaan yang dilakukan dalam penelitian ini dengan yang dilakukan peneliti adalah objeknya yang sama-sama membahas tentang salah satu praktik pernikahan adat. Sedangkan perbedaan dengan penelitian terdahulu dan yang
16Muhamad Aldin, Belis dalam adat perkawinan lari di Desa Nuca Molas Kecamatan Satar Mese Barat Kabupaten Manggarai, NTT”(Skripsi, FUSA UIN Mataram, Mataram, 2019), hlm 5
17Rukiah, Lari Kawin dan Dampak Hukumnya dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam, (Tesis, Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifudin, Jambi, 2018), hlm 5
22
menjadi fokus masalah pada peneliti terdahulu adalah pandangan hukum adat dan dampak hukum dari tradisi masyarakat Kampung Baruh sedangkan pada penelitian sekarang, yang menjadi fokus masalahnya yakni praktik paru dheko, latarbelakang dan konsep munakahat terhadap tradisi tersebut.
3. Skripsi yang ditulis oleh Annisa Rizky Amalia dengan judul “ Tradisi perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi kasus integrasi Agama dengan budaya masyarakat tradisional” yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah yang menggunakan pendekatan antropologi agama.18
Perbedaan dengan yang dilakukan oleh Annisa Rizky Amalia pada penelitian terdahulu menggunakan pola integrasi agama sedangkan dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep fiqih munakahat terhadap tradisi lari ikut. Sedangkan persamaan terletak pada bahasan mengenai tradisi perkawinan adat.
4. Dalam skripsi yang ditulis oleh Ramlah, UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang berjudul
“Fenomena praktik kawin lari (kerje naek) di masyarakat Kecamatan Dabun Gelang Kabupaten Gayo Lues”. Dalam penelitian ini membahas tentang kerje naek (kawin lari) dimana laki-laki membawa lari seorang perempuan dan mereka melangsungkan pernikahan tanpa ada wali dari pihak perempuan. Ketiadaan wali dalam praktik kerje naek boleh jadi sebagai konsekuensi dari pernikahan yang tidak direstui, untuk itu keduanya terpaksa dan memutuskan untuk melakukan kawin lari dengan walinya terkadang diambil dari wali hakim19.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Ramlah dengan peneliti adalah objek peneltiannya tentang kawin lari. Sedangkan perbedaan terletak pada judul yang diangkat oleh Ramlah dengan judul “Fenomena praktik kawin lari (ikerje naek) pada masyarakat Kecamatan Dabun Gelang Kabupaten Gayo Lues” pada penelitian terdahulu memfokuskan upaya yang dilakukan perangkat adat untuk menanggulangi tradisi tersebut sedangkan judul yang diangkat oleh peneliti adalah “Tradisi paru dheko (lari ikut Perspektif Fiqih Munakahat dalam Islam pada masyarakat Kota Ende)”
5. Skripsi, Kurniati dengan judul “Latar Belakang Kawin Lari (Setakatan) di kalangan bujang gadis Kelurahan Sindakersa Kayu Agung Ogan Komering Ilir pada tahun 2010-2018” dalam penelitian ini mejelaskan tentang perkawinan Rasa Muda (Setakatan) yang dilakukan oleh gadis dan bujang yang pada sebelumnya keduanya telah melakukan perundingan secara rahasia antara calon pasangan sebelum mereka melarikan diri.20
18Annisa Rizky Amalia, Tradisi perkawinan Merariq Suku Sasakdi Lombok: Studi kasus integrasi Agama dengan budaya masyarakat tradisional, (Skripsi, FUSHU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017) hlm iv
19Ramlah, Fenomena praktik kawin lari (kerje naek) di masyarakat Kecamatan Dabun Gelang Kabupaten Gayo Lues, (Skripsi, FSH UIN Ar-Raniry Daarussalam, Banda Aceh, 2020), hlm 2
20Kurniati, Latar Belakang Kawin Lari (Setakatan) di kalangan bujang gadis Kelurahan Sindakersa Kayu Agung Ogan Komering Ilir pada tahun 2010-2018, (Skripsi, FKIP Univ. Muhamadiyah Palembang, Palembang, 2019), hlm 4
23
Persamaan pada penelitian ini adalah sama-sama tentang perkawinan adat.
Sedangkan, pada penelitian Kurniati membahas tentang dampak dari kawin lari terhadap kondisi sosial budaya di kalangan bujang dan gadis Kelurahan Sindakersa Kayu Agung Ogan Komering Ilir tahun 2010 sampai 2018, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti faktor yang melatarbelakangi lari ikut (paru dheko) akibat zina di masyarakat Kelurahan Mautapaga.
G. Kerangka Konseptual
1. Pernikahan Menurut Islam
a. Definisi Pernikahan dalam Islam
Pernikahan merupakan kata yang diambil dalam Bahasa Arab, yakni dari kata nakaha atau zawaj yang berarti kawin. Dalam arti sesungguhnya, Nikah memiliki arti “menghimpit” atau “berkumpul” dalam makna kiasan artinya bersetubuh. 21
Perkawinan bukan hanya menyatu dua pasangan manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah behwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tenteram dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita- cita kehidupan keluarga, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran- ajaran Allah dalam al-qur’an dan sunah yang sifatnya secara global, terlebih lagi perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu negara.22
Dalam kehidupan masyarakat adat, pola perkawinan adalah hal yang bersifat krusial sebagaimana yang telah terjadi pada masa lampau. Perkawinan yang bukan hanya bersifat individual melainkan mengikat pada jaringan sosial masyarakat. Para pakar atau ahli juga banyak memberikan definisi menarik dan komplek terkait definisi pernikahan. Pernikahan adat yang merupakan salah satu upacara masyarakat adat dengan aturan adat tertentu untuk tetap menjaga kelestarian dan keberlangsungan hukum adat tersebut sampai saat ini.
Dalam Ajaran Islam, Pernikahan adalah aspek yang paling substansi. Hal ini terdapat dalam Al-Qur’an kurang lebih 80 ayat yang membahas tentang perkawinan yang ada kata nakaha yang artinya berhimpun dan kata zawwaja yang berarti berpasangan.23
Semua ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an merupakan petunjuk atau sebagai aturan untuk manusia dalam menjalankan kehidupannya terutama dalam konteks berkeluarga untuk tercapainya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah. Karena islam hadir untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat terutama dalam lingkup berkelurga.
21Asmin, Status perkawinan antar agam ditinjau dari UU No 1 Tahun 1974, Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hal 28
22Moh. Fauzan Januri, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm 214
23Musda Mulia, Pandangan Islam tentang poligami, (Jakarta: LKAJ&SP), 1999, hal 1
24
Menurut Yuridis Konstitusional di Indonesia, perkawinan di atur dalam Undang-undang ayat 1 pasal 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa,
“Perkawinan adalah ikatan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa24. Sebagaimana Indonesia yang merupakan negara yang berdasarkan pancasila, yang selalu berhubungan erat dengan agama, maka salah satu aturan tentang masalah pernikahan juga diatur oleh agama atau kepercayaan seseorang sebab pernikahan merupakan perbuatan sakral yang menimbulkan akibat hukum untuk suami dan istri.
Dengan demikian Pernikahan merupakan asas yang paling utama untuk bangunan masyarakat yang sempurna. Sebab, pernikahan yang dilakukan bukan hanya tentang kehidupan rumah tangga suami atau istri melainkan akan berpindah kepada kedua keluarga besar sehingga terbukanya pintu perkenalan satu kaum dengan kaum lainnya atau satu anggota keluarga dengan keluarga lainnya.
b. Dasar hukum perkawinan
Dalam salah satu Hadis Nabi SAW, Para Jumhur Ulama menyatakan bahwa Pernikahan pada dasarnya memiliki hukum Sunnah. Sedangkan para Ulama menyatakan pernikahan memiliki bermacam-macam dasar, bisa Wajib atau Sunnah. Adapun Menurut Ulama Syafiiyah Pernikahan memiliki hukum asal Sunah bisa juga Wajib, Mubah, Makruh atau bisa saja Haram.25
Dalam Al-Ahkam Al-Khanza, Dasar Hukum perkawinan adalah sebagai berikut:
1) Wajib, Apabila seorang laki-laki dan perempuan yang telah memiliki kemampuan untuk menikah dan ada ketakutan pada dirinya akan terjerumus perbuatan zina.
2) Sunnah, Apabilaseseorang yang sudah memiliki kecukupan materi tapi belum memiliki niat untuk menikah dan mampu mengendalikan hawa nafsunya, dengan kata lain ia tidak khawatir terjerumus dalam perbuatan zina
3) Mubah26, Artinya bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri
4) Makruh27,Artinya bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
24Tim Redaksi Citra Umbara, Undang-undang No 1 Tahun 1974, Bandung: Cira Umbara, 2013, hal 2
25Abd. Raahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal 18
26Perkawinan yang hukumnya mubah (boleh) berarti perkawinan itu boleh dilaksanakan dan boleh tidak dilaksanakan. Jika dilaksanakan tidak mendapat sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala atau tidak berdoa
27Perkawinan yang hukumnya makruh adalah perkawinan itu lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa
25
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak menikah.
5) Haram, Artinya bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila melangsungkan perkawinan, maka terlantarlah dirinya dan istrinya. Dengan demikian, hukum pernikahan bagi orang seperti ini adalah haram.
c. Rukun dan Syarat Pernikahan
Dalam melangsungkan pernikahan, Rukun Nikah adalah salah satu unsur yang paling penting dalam pelaksanaan akad, adalah sebagai berikut:
1) Calon suami dan istri 2) Wali
3) Saksi
4) Akad Nikah, merupakan suatu perjanjian yang berlangsung antara dua belah pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. 28
Suatu akad pernikahan menurut Hukum Islam, ada yang sah dan ada yang batal. Akad pernikahan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat dan rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan agama. Syarat pernikahan menurut Idris Ramulyo;
1) Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil balig).
2) Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
3) Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya.
4) Harus dihadiri sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki- laki Islam merdeka.
5) Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.
6) Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (pernikahan) maka hendaknya diadakan walimah (pesta pernikahan).
7) Sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan, sesuai dengan analogi surat Ali- Imran ayat 282 harus diadakani i’lan an-nikah (pendaftaran nikah), kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No.32 Tahun 1954 jo UU No.1 Tahun 1974 (lihat juga Pasal 7 KHI Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991.29
Dalam penjelasan KHI (Kompilasi Hukum Islam), sebagaimana terdapat dalam pasal 14 dijelaskan mengenai syarat sahnya suatu pernikahan.
1) Calon suami
28Wahyu Wibisana, Pernikahan dalam Islam, (Jurnal: Pendidikan Agama Islam- Ta’lim, Vol 14., No 2), 2016
29 Muhamad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara), 2002, hlm 48-49
26 2) Calon istri
3) Wali nikah
4) Dua orang Saksi, sebagaimana terdapat dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 24.
5) Ijab dan kabul
Sebagaimana dijelaskan kembali dalam BAB II Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa persoalan syarat nikah terdapat dalam pasal 6- 12, yakni
1) Syarat pernikahan harus berdasarkan persetujuan
2) Syarat usia kematangan berusia 21 tahun untuk siap nikah30 3) Wali31
4) Syarat untuk melakukan hal terlarang dalam menikah
Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama kepercayaan itu (pasal 2 ayat 1). Dengan penjelasan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Rumusan pasal 2 ayat 1 beserta dengan penjelasannya itu menerangkan bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, kalau tidak, maka perkawinan itu tidak sah (Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).32
d. Hikmah Pernikahan
Islam adalah Agama Rahmatal Lil’alamiin bagi seluruh umat manusia.
Penjelasan tentang perjalanan kehidupan sudah di jelaskan dalam Al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi manusia, misalnya tentang pernikahan yang pernah dilakukan oleh Nabi dan Rasul terdahulu. Sebagaimana dalam Firman Alah Swt.
َيِت ْ أَّي ْن َ
ا ٍلْو ُسَرِل َنا َك اَمَوۗ ًةَّيِِّرُذَّو اًجاَوْزَا ْمُهَل اَنْلَعَجَو َكِلْبَق ْنِِّم ًلً ُسُر اَنْل َسْرَا ْدَقَلَو
باَت ِك ٍل َج َ
ا ِِّل ُكِلۗ ِ هاللّٰ ِنْذِاِب َّلَِا ٍةَيٰاِب
Artinya : “Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka isteri-isteri dan
30Syarat kematangan dalam usia menikah adalah 21 tahun, tetapi untuk laki-laki jika telah mencapai usia 19 tahun dan wanitanya berusia dibawah 16 tahun, maka untuk melangsungkan pernikahan dibutuhkan dispensasi nikah dari Pengadilan
31Perwalian dalam perkawinan dapat diganti sesuai dengan siapa yang berhak, apabila tidak ada wali sama sekali atau terjadi perbedaan pendapat, wali dapat diserahkan ke pengadilan
32Tulus Prijanto, Tinjauan dan Pandangan Hukum terhadap Perkawinan yang tidak tercatat Pemerintah serta dampaknya secara Ekonomi, Jurnal: Edunomika, Vol 5. No 2, 2021
27
keturunan. Tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat) melainkan atas izin Allah. Untuk setiap masa ada kitab tertentu”33
Secara implisit syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang siap mental, fisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan merupakan bagian dari ibadah. Substansi hukum islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan masa depan.
Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam.
34
Nabi dan Rasul merupakan teladan bagi seluruh umat manusia, apapun yang diperintahkan Allah swt merupakan suatu kebaikan untuk manusia, misal pernikahan untuk meneruskan keturunan. Namun di Zaman yang modern ini, pernikahan seolah menjadi beban ekonomi yang harus ditanggung pihak suami padahal sebelum manusia dilahirkan Allah SWT sudah menjamin rezeki setiap hambanya. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT
ِح ِل هصلاَو ْم ُكْنِم ىٰماَيَ ْلَا اوُحِكْنَا َو ُم ِهِن ْغُي َءۤاَرَقُف اْوُنْوُكَّي ْنِا ْۗمُكِٕىۤاَمِاَو ْمُكِداَبِع ْنِم َنْي
مْيِلَع ع ِساَو ُ هاللّٰ َو ۗ هِل ْض َ
ف ْن ِم ُ هاللّٰ
Artinya: “Dan nikahlah orang-orang yang sendiri di antara kamu dan orang- orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuni, Nomor 2a-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) dan Maha Mengetahui.35
Dengan demikian, melakukan pernikahan yang sah akan memperoleh hikmah yang sangat besar, adalah sebagai berikut:36
1) Menghindari terjadinya perzinahan
2) menikah dapat merendahkan pandangan mata dari melihat perempuan yang diharamkan
3) Menghindari terjadinya penyakit kelamin yang diakibatkan oleh perzinahan seperti AIDS
4) Lebih mengembangkan kemantapan jiwa dan kedewasaan serta tanggung jawab kepada keluarga
5) Nikah merupakan setengah dari agama
33QS ar-ra’ad [13]: 38
34Tri Eka Muhtarivansyah Waruwu, Analisis Yuridis Empiris terhadap Konsep Masahah Perkawinan di Usia Muda, Syarah, Vol 9, Nomor 2, 2020, hlm 180
35An-Nur [24]: 32
36Mardani, Hukum Keluarga Islam di Dunia Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Grup, ed 1, 2016, hlm 37-38
28
6) Menikah dapat menubuhkan kesungguhan, keberanian dan rasa tanggung jawab kepada keluarga, masyarakat dan negara
7) perkawinan dapat memperhubungkan silaturahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupanmasyarakat dan sosial.
Agama Islam memandang pernikahan merupakan perjanjian yang sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti sunah Rasul dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab dan mengikuti ketetuan-ketentuan hukum yang harus dilakukan. Secara umum, hampir seluruh agama memiliki pendapat bahwa pernikahan atau perkawinan adalah hal yang cukup penting. Tidak aneh jika agama lain memiliki pedoman sebagai tuntutan kepada pemeluknya, agar pernikahan yang mereka lakukan dapat mencapai tujuan ideal seperti diharapkan.
37
Sebagaimana Allah swt telah menciptakan laki-laki dan perempuan agar dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan perintah Allah.38
َلَع َج ُ هاللّٰ َو ْم ُكَقَز َرَّو ًة َد َف َح َو َنْيِنَب ْم ُك ِجاَوْزَا ْنِ م ْمُكَل َلَعَجَّو اًجاَوْزَا ْمُك ِسُفْنَا ْنِ م ْمُكَل
ِتٰبِ ي َّطلا َنِ م
Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu bersamanya anak-anak dan cucu-cucu serta telah memberimu rezeki yang baik”
e. Pernikahan Menurut UU Perkawinan 1 Tahun 1974
Dalam pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya untuk menciptakan Unifikasi Hukum di bidang perkawinan karena sebelumnya pada Tahun 1974 di Indonesia terdapat berbagai hukum perkawinan yang berlaku bagi masing-masing golongan penduduk. Di dalam Pasal 1 UU Perkawinan yang dirumuskan bahwa perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bunyi rumusan tersebut, menyatakan arti dan tujuan perkawinan. Arti perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan dari Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal .
37Aisyah Ayu Musyafah, Perkawinan dalam perspektif Filosofid Hukum Islam, Jurnal Crepido, Vol 2, Nomor 2, November 2020, hlm 111-112
38A. Rahman I. Doi, Penjelasan lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2002, hlm 150.
29
Oleh karena itu, suami dan istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahtraan material dan spritual.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, Undang-Undang perkawinan meletakkan syarat-syarat diperbolehkan melangsungkan perkawinan.
Oleh karena itu, apabila perkawinan para pihak yang bersangkutan menurut hukum dianggap sah, maka akibat dari perkawinan itu pun dianggap sah oleh hukum. Sebenarnya pencatatan bukan merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, tetapi syarat pencatatan ini juga harus dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, sebab pencatatan perkawinan ini merupakan suatu bukti bahwa negara telah mengakui adanya perkawinan yang dilakukan oleh para pihak.39
Undang-undang No 1 Tahun 1974 menganut Asas Monogami apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan karena hukum dan agama bersangkutan yang mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari satu meskipun dikehendaki oleh orang yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat tertentu yang diputuskan oleh Pengadilan.
2. Hukum Adat
a. Definisi Hukum Adat
Hukum Adat adalah terjemahan dari Bahasa Belanda adatrech. Orang pertama yang menggunakan istilah adatrecht adalah Snouck Hurgronje, Ia adalah seorang Ahli Sastra Ketimuran berkebangsaan Belanda. Istilah tersebut kemudian dikutip dan dipakai oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis – yuridis.40
Istilah adatrecht, dalam berbagai literatur pada saat itu digunakan sebagai Hukum Adat. Kata adatitu sendiri berasal dari bahasa Arab yang berartikebiasaan. Di Indonesia dimaknai sebagai perilaku yang dilakukan berulang yang diikuti oleh lainnya, sehingga secara turun temurun melakukan hal yang sama yang pada akhirnya mengikat dan ditaati.
Ada beberapa ungkapan definisi Hukum adat yang dikemukakan oleh para Tokoh, yakni;
1) Menurut Terhaar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keutusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhsar dikenal dengan teori ‘keputusan’ artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu dilihat dari sikap penguasa masyarakat terhadap si pelanggar peraturan adat istiadat.
39Bing Waluyo, Sahnya perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JMPPPKn/article/view/135, diakses pada tanggal 5 Juni 2020, pukul 12.30
40Bushar Muhamad, Asas-asas Hukum Adat,peraturan tersebut hal 9. 1991
30 2) Cornelis Van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruahn tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
3) Sukanto
Hukum adat adalah kompleks adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi juga mempunyai akibat hukum.
4) Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
5) M.M Djojodigoeno
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan- peraturan.
6) Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
7) Soeroyo Wignyodipuro
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku manusia di kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
8) Soepomo
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan yang tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi tetap ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan asas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 41
b. Definisi Pernikahan Menurut Hukum Adat
Perkembangan Hukum Adat di Indonesia selalu mengalami perubahan.
Termasuk dalam konteksPernikahan dalam Hukum Adat. Hukum Adat memiliki definisi sendiri terkait Pernikahan yang sangat erat kaitannya dengan masyarakat.
Menurut Hukum Adat, Pernikahan tidak hanya berhubungan antara laki-laki dan perempuan (suami dan istri), melainkan adanya ikatan kekeluargaan antara keluarga dan masyarakat adat.
41Suriayaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta: Prenadamedia Group), 2014, cet 1, hal 5
31
Menurut Ngani Nico, Perkawinan dalam Hukum Adat merupakan kepentingan keluarga dan masyarakat, baik masyarakat sedesa atau masyarakat adat. Dengan demikian, perkawinan dalam Hukum Adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari susunan kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yakni:
1) Perkawinan dalam Keluarga Patrilinier terdiri dari:
a) Corak perkawinan adalah “Perkawinan Jujur”
b) Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si istri dengan orang tuanya dan kerabatnya
c) Istri masuk ke keluarga suami beserta anak-anaknya
d) Apabila suami meninggal, maka istri tetap tinggal di rumah suaminya dengan saudara muda almarhum seolah-olah seorang istri itu diwarisi oleh adik almarhum42.
2) Perkawinan dalam Keluarga Matrilinier, terdiri atas
a) Dalam upacara perkawinan, mempelai laki-laki di jemput
b) Suami berdiam di rumah istrinya, tetapi suaminya tetap dapat keluarga sendiri
c) Anak-anak masuk ke dalam klan istrinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak43
3) Perkawinan dalam Keluarga Parental
Setelah menikah, suami dan istri menjadi satu keluarga baik keluarga suami maupun keluarga istri.
c. Definisi Kawin Lari
Secara Umum, kawin lari diartikan sebagai sebagai pelarian gadis oleh bujang dan langsung terjadi perkawinan tanpa musyawarah adat dan persetujuan orang tua gadis. Sedangkan kawin lari menurut Adat adalah pelarian gadis oleh bujang ke rumah Kepala Adat atau kerabat bujang untuk meminta persetujuan dari orang tua gadis melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua bujang dan gadis sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut. Kawin Lari secara umum sering juga diartikan sebagai pelarian gadis oleh bujang dan langsung terjadi perkawinan tanpa musyawarah adat dan persetujuan orang tua gadis.44
Dalam artian, perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran, oleh karena itu, dari kejadian perkawinan lari ini
42 M. Lutfi Chakim, Perkawinan menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, dalam http://www.lutfichakim.com/2012/01/perkawinan-menurut-hukum-adat-dan.html, diakses 6 Juni 2020, Pukul 14.20
43 M. Lutfi Chakim, Perkawinan menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, dalam http://www.lutfichakim.com/2012/01/perkawinan-menurut-hukum-adat-dan.html, diakses 6 Juni 2020, Pukul 14.22
44Bang Ichal, Istilah kawin sebambangan dalam masyarakat adat Lampung, dalam http://pakarinfo.blogspot.com/2010/06/istilah-kawin-sebambangan-dalam.html, diakses tanggal 5 Juni 2020, pukul 12.45
32
dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda atau bebas/ mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua belah pihak. Hal ini merupakan tujuan agar tidak memberatkan proses adat yang berlaku pada masyarakat tersebut yang tidak didahului dengan proses lamaran antara kedua keluarga atas dasar suka sama suka. Adanya kawin lari menunjukkan persetujuan laki-laki dan perempuan untuk melakukan perkawinan dan juga sebagai bentuk pemberontakan terhadap kekuasaan orang tua. Namun terjadinya kawin lari itu tidak berarti akan melaksanakan perkawinan sendiri tanpa pengetahuan dan campur tangan orang tua, terutama orang tua pihak laki-laki harus berusaha menyelesaikannya secara damai dengan pihak perempuan melalui jalur hukum adat yang berlaku 45
3. Zina
a. Pengertian Zina
Kata zina berasal dari bahasa arab (انزلا) dan dari bahasa Ibrani, zanah artinya perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan).46
Secara mutlak, zina diartikan dengan menyetubuhi perempuan tanpa melalui akad yang diatur oleh agama. Secara umum, zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia yang termasuk dikategorikan sebagai perbuatan zina. Ada juga yang mengartikan zina adalah seorang pria mencampuri seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai dengan syar’i.
b. Syarat-syarat zina
Dalam penerapan hukuman zina, di perlukan syarat-syarat sebagai berikut: 47
1) Adanya saksi. Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan di akui kebenarannya apabila telah terpenuhi syarat-syaratnya, diantaranya;48
a) Saksi berjumlah empat orang atau lebih b) Saksi harus laki-laki
c) Berakal sehat d) Merdeka e) Adil f) Muslim
g) Melihat sendiri perbuatan zina dan dapat menjelaskan h) Berada dalam satu majelis
45Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni), 2007, hlm 44
46 Muhamad Tamyiz Ridho, Perkawinan wanita hamil akibat zina (Menurut UU 1974 dan Fatwa mui DKI Tahun 2000), (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014), hlm 27
47 E. Hassan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2008, hlm 439
48 Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azam), 2011, hlm 54
33 2) Adanya pengakuan
a) Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila)
b) Pelakunya berbuat tanpa paksaan
c) Pelakunya mengetahui bahwa zina haram, walaupun belum tahu hukumnya
d) Hubungan seksual terjadi pada kemaluan e) Tidak adanya syubhat
f) Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan 3) Adanya kehamilan
a) Hamil tidak memiliki suami
b) Tidak memiliki tuan (apabila seorang budak) c) Tidak adanya syubhat dalam kehamilan c. Dasar Hukum Zina
Menurut ajaran Islam, zina adalah salah satu perbuatan yang mengundang murka Allah dan hukumnya haram. Dan juga termasuk perbuatan yang merusak tatanan kehidupan rumah tangga dan kelompok masyarakat. Sebagaimana Allah swt berfirman:
ِ ق َح ْلاِب َّلَِا ُ هاللّٰ َمَّرَح ْيِتَّلا َسْفَّنلا َنْوُلُتْقَي َلََو َرَخٰا اًهٰلِا ِ هاللّٰ َعَم َنْوُعْدَي َلَ َنْيِذَّلاَو َ
لََو
ًناَه ُم ٖهْيِف ْد ُلْخَيَو ِةَمٰيِقْلا َمْوَي ُباَذَعْلا ُهَل ْفَعٰضُّي اًماَثَا َقْلَي َكِلٰذ ْلَعْفَّي ْنَمَو ٌَۚنْوُنْزَي ا
ۙ
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan alasan yang benar dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni dosanya akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina”.49
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan Peneliti adalah Metode Kualitatif, yang merupakan narasi yang terdiri dari fakta selama penelitian. Bukan Penelitian Kuantitatif yang membutuhkan angka untuk penelitiannya. Pada penelitian ini, peneliti fokus memaparkan temuan yang berupa bagaimana bentuk praktik kawin lari (paru dheko) yang biasa dilakukan pada masyarakat Kota Ende, faktor yang melatarbelakangi dan konsep fiqih munakahat.
49 QS. al-Furqan [25]: 68-69
34
Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan dengan Yuridis Empiris, yakni pendekatan yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana perilaku hukum masyarakat dan bagaimana bekerjanya hukum di dalam lingkungan masyarakat50 atau penelitian yang lebih mengutamakan implementasi pemberlakuan hukum pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana masyarakat Kota Ende yang sudah menjadikan lari ikut (paru dheko) sebagai perilaku yang terus berkembang pada masyarakat, sehingga tradisi lari ikut (paru dheko) terus terjadi terlebih pada kalangan pasangan yang sudah memiliki hubungan special. Disini peneliti mengamati pemberlakukan hukum oleh para pejabat daerah yang ada pada masyarakat Ende untuk menekan laju arusnya tradisi lari ikut (parudheko) dan mengetahui langsung praktik kawin lari yang ada pada masyarakat Ende.
Dan juga menggunakan Penelitian Etnografi untuk mengungkap makna Sosio-Kultural yang terjadi dalam ruang masyarakat tertentu khususnya pada masyarakat Kota Ende. Dalam penelitian ini, peneliti mengungkapkan sosial budaya yang ada pada masyarakat Ende dalam konteks permasalahan pernikahan dengan cara lari ikut, mulai dari mahar atau uang pertama yang harus diberikan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.
2. Kehadirin Peneliti
Dalam penelitian ini, Peneliti berperan sebagai pengamat penuh untuk mendapatkan data yang valid dan akurat sesuai dengan keadaan masyarakat Kota Ende. Adapun kronologi kegiatan yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
a. Wawancara, Kegiatan ini dilakukan untuk menunjang keakuratan data yang diperoleh. Adapun yang menjadi Narasumer Penelitian ini antara lain, pelaku paru dheko(lari ikut) dan Ibu SFS (ibu dari salah satu perempuan yang melakukan parktik paru dheko/ lari ikut), Tokoh adat dan tokoh agama.
b. Observasi, Kegiatan mengamati praktik paru dheko (lari ikut) yang dilakukan masyarakat Kelurahan Mautapaga Kota Ende. Selain melakukan kegiatan observasi dan wawancara, peneliti juga mencatatkan data-data untuk mengetahui bagaimana proses paru dheko atau lari ikut pada masyarakat Kota Ende.
c. Dokumentasi, kegiatan ini untuk mengumpulkan foto atau beberapa potret untuk mendukung data yang dihasilkan oleh peneliti dalam penelitian
3. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian yang diambil di Kelurahan Mautapaga, Kilometer 3, Kota Ende, Kecamatan Ende Timur, NTT. Alasan peneliti mengambil lokasi ini adalah, karena ingin mengetahui praktik lari ikut (paru dheko) yang dilakukan oleh muda mudi yang ingin melangsungkan pernikahan di Kelurahan Mautapaga akibat dari perbuatan zina sebelum menikah.
4. Sumber data
50Bachtiar, Metode Penelitian Hukum, (Banten: Unpam Press, 2019), hal 85
35
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data primer
Data yang diperoleh langsung oleh peneliti dan dikumpulkan langsung dari objek yang di teliti di lapangan. Data ini diperoleh langsung oleh Informan yaitu individu atau perorangan, misal seperti wawancara atau Interview yang dilakukan oleh Peneliti. Data yang diperoleh dalam hasil wawancara kepada pihak terkait yakni pengantin yang melakukan praktik paru dheko (lari ikut) dan orang tua perempuan, tokoh adat serta tokoh agama.
b. Data Skunder
Skunder yang digunakan untuk mendukung informasi primer yang telah diperoleh adalah sumber Hukum Islam (Al-qur’an dan Hadis), Buku, Jurnal, Peraturan Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974,Penelitian terdahulu dan berbagai data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini.
5. Prosedur pengumpulan data a. Metode observasi
Ada dua jenis observasi yang digunakan oleh peneliti, adalah sebagai berikut;
1) Observasi non partisipatif51
Observasi non partisipatif adalah apabila peneliti tidak ikut ke dalam kehidupan orang yang akan di observasi dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat.
Dalam hal peneliti melakukan observasi non partisipan, dalam hal ini peneliti datang ke tempat kejadian melainkan hanya untuk mengamati praktik lari ikut (paru dheko) yang terjadi di masyarakat Kelurahan Mautapaga.
2) Wawancara Terstruktur
Wawancara adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui tanya jawab secara lisan untuk mendapatkan keterangan.52 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara terstruktur dengan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu untuk melakukan proses wawancara.
Peneliti menggunakan tiga responden untuk mendukung data dalam penelitian, karena ketiganya dianggap memiliki wewenang untuk menceritakan mengenai penelitian ini.
Lampiran Pedoman Wawancara, adalah sebagai berikut a) Tujuan
Untuk mengetahui bagaiamana praktik Kawin lari atau Parudheko b) Pertanyaan panduan
51 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara), 2009, hlm
175
52Koentjaraningolorat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utma 1985), hal 129
36 (1) Identitas diri
Nama : Fatima
TTL : Ende, 15 Agustus 1965
Hubungan : Ibu dari perempuan (yang melakukan praktik paru dheko) atau lari ikut.
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Gatot Soebroto KM3,
Lingk. Bawah Pendidikan terakhir : SMP
(2) Identitas Diri (Astin Dewi)
Nama : AD
TTL : Ende, 24 Juni 1992
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Ahmad Yani, RT 004/ R4 002,
Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende Selatan Pendidikan terakhir : SD
(3) Identitas Diri
Nama : Samsudin Said
TTL : Ende, 11 Maret 1992
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Ahmad Yani, RT 004/ R4 002,
Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende Selatan 3) Metode Observasi
Metode obeservasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara mengamati atau meninjau secara cermat dan langsung di lokasi penelitian untuk membuktikan kebenaran dari penelitian yang dilakukan. Metode ini digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dan kesesuaian yang diperoleh dari responden.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Metode Obeservasi terang dimana Peneliti mengungkapkan secara terus terang kepada narasumber atau masyarakat Kota Ende, Kelurahan Mautapaga bahwa peneliti sedang melakukan observasi sehingga seluruh proses penelitian diketahui.
Selanjutnya peneliti menggunakan metode obesevasi non partisipan, peneliti hanya berlaku sebagai pengamat objek yang diteliti tanpa terlibat secara langsung dengan objek yang menjadi fokus kajian peneliti.
37
Dalam pengamatan (Observasi) yang dilakukan peneliti, adalah pada Kelurahan Mautapaga, Kecamatan Ende Timur, sebagai berikut:
a) Tujuan
Untuk memperoleh informasi terkait dengan lokasi penelitian peneliti b) Aspek yang diamati
(1) Gambaran umum Lokasi penelitian (2) Bangunan fisik lokasi penelitian (3) Visi dan misi lokasi penelitian 4) Metode Dokumentasi
Ini ditujukan untuk memperoleh data langsung dari tempat penelitian, buku-buku yang relevan, peraturan-peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, video dokumenter dan data yang relevan penelitian.53
6. Teknis Analisi Data
Dalam sebuah penelitian, analisis data menjadi hal yang sangat diutamakan.
Hal ini, diutamakan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan data.54
Upaya menemukan makna di tiap kronologi penelitian mulai dari, wawancara, dokumentasi dan observasi dengan penyusunan yang sistematis sampai pada titik penarikan kesimpulan.
7. Pengecekan keabsahan data
Dalam Penelitian Kualitatif, temuan data atau temuan yang diperoleh pada lapangan dapat dinyatakan valid atau akurat manakala tidak ada perbedaan antara apa yang dilaporkan oleh peneliti sebagai temuan dan apa yang terjadi pada objek yang diteliti. Dengan demikian untuk melakukan validitas data, peneliti melakukan hal sebagaimana berikut:
a. Ketekunan dalam pengamatan
Yang dimaksud dengan Ketekunan Pengamatan adalah teknik Pemeriksaan Keabsahan Data berdasarkan “Seberapa tinggi deraja