TUGAS MINI PAPER
ARTI PENTING PERATURAN KEHUTANAN
Oleh:
Nama : Aqilla Khaizuran Putra Sudrajat NIM : 22/505941/SV/22004
Kelas : B
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN PENGELOLAAN HUTAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI HAYATI DAN VETERINER
SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA
2022
1. Pendahuluan
Hutan yaitu sebagai suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari hamparan lahan yang berisi sumbe daya alam hayati yang terdapat pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan.
Manfaat hutan tersendiri yaitu untuk menjaga daur hidup air, menjaga kelstarian hayati ataupun hewani, sebagai alat pernafasan dunia, dan masih banyak lagi. Namun karena banyak sekali manfaat hutan untuk keberlangsungan hidup manusia sendiri, masih juga orang orang yang memanfaatkanya berlebihan dan tidak disertai permudaan agar hutan tetap terjaga.
Akibatnya banyak masalah-masalah yang muncul karena perbuatan tersebut. Diantaranya hilangnya satwa-satwa yang hidupm di hutan, terjadi bencana-bencana alam akibat daerah resapan air yang hilang, pemanasan global, kekeringan, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu perlunya suatu gagasan atau peraturan yang mengatur tentang pengelolaan hutan, kawasan hutan, perdagangan hasil hutan dan sebagainya yang berhubungan dengan kehutanan. Agar hutan tetap terjaga kelestarianya sehingga mahkluk hidup beserta ekosistemnya tetap lestari dan berlangsung tanpa halangan.
2. Tinjauan Pustaka
Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industry pengolahan kayu makin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pengembangan hutan rakyat. (Dafrandi dan Ahmad Jamaan, 2012)
Hutan yaitu sebagai suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari hamparan lahan yang berisi sumbe daya alam hayati yang terdapat pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan. (Marpaung 2006)
3. Pembahasan
Peraturan perundangan menjadi sangat diperlukan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup, gagasan yang tepat akan memberikan kesejahteraan yang maksimal dengan keadaan alam yang tetap terjaga kelestarianya. Kehutanan merupakan bidang yang sangat di soroti dan menjadikan penting bagi perkembangan dan pembangunan bangsa.Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industry pengolahan kayu makin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pengembangan hutan rakyat. Mengingat bahwa hasil hutan rakyat adalah hasil dari lahan milik sendiri yang pemanfaatan dan pengolahan hasil hutan sepenuhnya menjadi hak pemilik, sedangkan pemerintah sendiri hanya melakukan pembinaan kelestarian hutan dan melindungi kelancaran perputaran hasil hutan melalu pengelolaan
hasil hutan. Agar tidak timbul masalah atau kasus-kasus yang ada yang semakin diperbanyak. Bahkan dari berbagai masalah di dunia yang luas ini kehutanan banyak berepengaruh mengikutsertakan bagianya.
Berbagai masalah tersebut tentunya memiliki peraturanya sendiri-sendiri setelah masalah tersebut muncul. Ada beberapa kasus yang muncul dan menjadi berdampak besar bagi kelangsungan hidup bangsa terkhususnya Indonesia. Kasus-kasus tersebut muncul karena belum adanya peraturan yang mengaturnya atau ada juga perubahan peraturan yang malah menjadikan hutan jadi rusak. Kasus-kasus tersebut diantara lain salah satunya perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 126/Kpts-II/2003 menjadi Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P55/Menhut-II/2006.
Pergantian yang terjadi dalam peratutran kehutanan sektor tata usaha kayu yang dulunya dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 126/Kpts-II/2003 menjadi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P 55/Menhut-II/2006 secara general yaitu terjadinya
peniadaan kewenangan pemerintah dalam mengontrol pengolahan hasil hutan oleh perusahaan dan terdapat konsep self accsess-ment bagi perusahaan itu sendiri. Selain itu, dalam teknis mekanisme yang baru berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P 55/ Menhut-II/2006 dalam pemunculan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat sangatlah simple dan mudah, tidak haru melulu ditanda-tangani oleh pejabat yang berwenang.
Namun dalam kebijakan yang baru ini masih dipertanyakan apakah kebijakan ini akan semudah dan seserderhana sesuai yang tertulis dan apakah akan menjadikan pengelolaan hutan yang lestari.
Dibawah ini merupakan dampak secara teknis di lapangan yang terjadi darki perbuahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 126/Kpts-II/2003 menjadi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P 55/Menhut-II/2006, yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 13 tentang dokumen Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH)
Pengurusan dokumen SKSHH yang semulanya adalah dalam proses penerapanya harus ditandatangani dan disetujui oleh pejabat eselon III di Pemerintahan Kabupaten Siak. Namun dengan adanya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P 55/Menhut- II/2006 mengakibatkan tidak adanya kewenengan bagi pejabat eselon III untuk menandatangani SKSKB.
Dengan berkurangnya kewenangan bagi pejabat eselon III tingkat Provinsi dan Kabupaten dalam mengesahkan file SKSKB yang mengakibatkan pemerintah mengalami kerugian yang besar dan perusahaan malah sebaliknya mendapatkan keuntungan.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P 55/Menhut-II/2006 berdampak pada menghilangnya wewenang petugas lapangan agar melakukan pemeriksaaan terhadap file-file penting yang jika dibiarkan dapat menimbulkan kerugian besar bagi negara karena hilangnya fungsi pengatur dari pihak yang berwenang.
2. Pasal 17 mengenai Pengesehan Laporan Hasil Penebangan
Dulu awalnya dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 126/Kpts- II/2003 pasal 17 Pungutan Sumber Daya Hutan dipakai Sebagai pengesahan untuk
Laporan Hasil Penebangan (LHP) namun dengan adanya pergeseran dan
perombakan Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P 55/Menhut-II/2006 pasal 10 maka terjadi perubahan yang signifikan dengan timbulnya pengesahan LHP yang dijadikan sebagai acuan dalam pemenuhan pungutan sumber daya hutan dan dana reboisasi.
Dengan perubahan tersebut, maka LHP yang dijadikan acuan dalam pemenuhan terhadap pungutan sumber daya hutan mengakibatkan munculnya celah bagi kerugian negara. Hal tersebut bisa terlihat dengan adanya pengesahan laporan hasil yang hanya berdasarkan pada permintaan perusahaan akan dana yang dibutuhkan dan itu tidak dikaji lagi sehingga menguntungkan perusahaan dan mengakibatkan kerugian negara.
3. Pasal 13 tentang suplisi (kelebihan pengangkutan)
Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 126/Kpts-II/2003 menerangkan bahwa kelebihan pengangkutan kayu yang dilakukan oleh
perusahaan, untuk mengangkut kayu dari wilayah hutan menuju wilayah industri dikelola melalui pembayaran kelebihan pengangkutan (suplisi). Namun dengan terjadinya perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P 55/Menhut-II/2006 menjadi saat ini kelebihan pengangkutan hasil kayu dari hutan negara tidak lagi di Kelola oleh pemerintah dan tidak dikenakan biaya. Dihapusnya hak pemerintah untuk menetapkan kelebihan pengangkutan menyebabkan dampak keuntungan yang besar bagi perusahaan. Oleh perihal itu maka negara mengalami kerugian, karena hilangnya devisa yang masuk dari hasil suplisi tersebut.
4. Pasal 19 mengenai pengukuran kayu bulat
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126/Kpts-II/2003 pasal 19 diterangkan bahwa setiap Kayu Bulat yang masuk ke industri Pulp maupun plywood tidak ada perlakuan khusus untuk cara pengukuran Kayu Bulat tersebut, namun setelah mengalami perubahan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P 55/Menhut-II/2006 dalam hal pengukuran KB (kayu bulat) yang diterima di industri Pulp dan Plywood mengalami perlakuan yang berbeda- beda, dimana kayu bulat yang masuk di industry pulp diukur dengan teknis staple meter sedangkan dalam industry plywood kayu bulat tetap menganut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126/KPTS/II yang berisi bahwa
penghitungan kayu bulat dihitung perbatang. Untuk keakuratanya sendiri lebih akurat di ukur dengan cara perbatang tetapi membutuhkan waktu yang lama.
Oleh karena itu dengan pengukuran kayu bulat melalui batang perbatang menyebabkan diskriminisasi terhadap perusahaan kecil oleh perusahaan pulp besar. Perusahaan plywood relatif beroprasi dengan jumlah kayu yang sedikit sehingga mengakibatka mudahnya pengukuran kayu bulat dibandingkan dengan perusahaan pulp besar.
5. Pasal 13 mengenai pengangkutan kayu dari Kawasan hutan
Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 126/Kpts-II/2003
diterangkan bahwa dokumen SKSHH digunakan setiap pengangkutan hasil hutan dari ujung hulu sampai hilir, tetapi menurut peraturan yang baru yaitu Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor: P 55/Menhut-II/2006 menerangkan bahwa penggunaan dokumen hanya untuk kayu bulat yang langsung diangkat dari wilayah hutan tetapi kalu susah bisa di letakkan di tempat transit kayu. Dengan adanya peraturan yang baru ini memungkinkan perusahaan untuk memanipulasi laporan yang ada karena tidak langsung dibawa tetapi di transitkan ke tempat transit kayu dahulu dengan salah satu alasanya terjadi kerusakan kayu ditempat transit.
4. Kesimpulan
Dengan berbagai macam kasus yang telah diurakan di atas yaitu tentang perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 126/Kpts-II/2003 menjadi Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P55/Menhut-II/2006 menarik kesimpulan bahwa peraturan yang
mengatur tentang kehutanan haruslah tepat dan bisa menjadi devisa negara dengan tentunya tetap menjaga kelestarian hutan, ekosistem dan juga daur hidup alam agar dapat menjadi sumber daya bagi generasi mendatang. Uraian-uraian di atas juga menjelaskan bahwa betapa pentingnya peraturan kehutanan yang tepat dan jelas untuk keberlangsungan hidup manusia sendiri.
5. Daftar Pustaka
Dafriandi, Ahmad Jamaan. (2012). Analisis Peraturan Kehutanan Bidang Tata Usaha Kayu.
Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah. Volume 10 (1). Hlm 47-54. ISN: 1693- 5349.
M. Irfan Islamy, 1997, Prinsip-prinsip Perumusan Kabijakan Negara, Bumi Aksara: Jakarta.
Setyarso, A. “Aturan Baru Bisa Musnahkan Hutan RI”. Harian Kompas, tanggal 16 Nopember 2006.
Eddy Wibowo, 2005, Seni Membangun Kepemimpinan Publik. BPFE: Yogyakarta.
Rian Nugroho, 2003, Kebijakan Publik:Formulasi, Implementasi Dan Evaluasi, Elekmedia Komputindo: Jakarta