• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Pertemuan 2 Psikologi Islam 3 F

N/A
N/A
Nazyra Syafa

Academic year: 2024

Membagikan "Tugas Pertemuan 2 Psikologi Islam 3 F"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH KESEHATAN MENTAL DAN ABNORMALITAS DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Islam 3 Dosen Pengampu Lilim Halimah, BHSC, M.HSPY.

Oleh:

Elreisa Widyanita Putri

Nazyra Syafa Pramesti Diadara Rara Syahna Raissa L.

10050021268 10050021269 10050021272

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

BANDUNG 2023

(2)

SEJARAH KESEHATAN MENTAL DAN ABNORMALITAS DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM

Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Abstrak

Kesehatan jiwa juga dikenal sebagai kesehatan mental, merupakan konsep yang telah lama dikenal dalam peradaban manusia sejak zaman Nabi Adam as. Dalam Islam, kesehatan mental dijelaskan sebagai al-tibb al-ruhani dan dihubungkan dengan akhlak al-mazmumah atau sifat tercela. Kontribusi tokoh seperti al-Balkhi dan al-Tabari memainkan peran dalam mengembangkan psikoterapi dalam konteks Islam. Perspektif Islam menggambarkan perilaku abnormal sebagai hasil dari dosa yang terkait dengan sifat tercela. Penanganan gangguan mental dalam Islam melibatkan konsep tazkiyat al- nafs atau penyucian jiwa, di mana taubat dan amalan baik menjadi metode terapeutik untuk mencapai kesehatan mental yang seimbang.

Kata kunci: Kesehatan mental, abnormalitas, gangguan mental

Pendahuluan

Dalam ilmu Psikologi islam, kesehatan mental, yang juga dikenal sebagai kebersihan jiwa, adalah bidang ilmu yang mencakup prinsip-prinsip, aturan, dan prosedur-prosedur untuk meningkatkan kesehatan batin seseorang. Orang yang memiliki kesehatan mental adalah mereka yang selalu merasa tenang, aman, dan damai dalam hati mereka. Dalam konteks Islam, kesehatan mental mencakup kekuatan emosional dan psikologis manusia sebagai individu yang menjalankan agama. Ini melibatkan aspek ritual ibadah, keyakinan (iman), dan norma serta akhlak yang berlaku dalam suatu komunitas.

Proses pertumbuhan jiwa yang diimplementasikan melalui perkembangan, pembinaan, dan pengembangan nilai-nilai psikologis dalam agama membawa manusia menuju kesehatan mental. Namun, sebaliknya, jika seseorang hidup tanpa mengakui keberadaannya dan tidak mempraktikkan iman dengan tulus, maka dia

(3)

akan hidup tanpa moralitas yang benar. Kesehatan mental Terdapat perbedaan besar antara psikologi Islam dengan psikologi kontemporer barat yakni psikologi Islam memiliki pedoman yang mutlak berupa al-quran dan hadits yang membuat Teori-teori maupun pandangan-pandangan yang dihasilkan dari psikologi Islam cenderung bersih, baku, universal dan mengarah pada kebenaran dan kebaikan.

Perilaku abnormal dalam perspektif Islam terkait dengan akhlak tercela dan dosa. Gangguan mental dianggap sebagai hasil dari penyimpangan dari norma-norma masyarakat dan disebabkan oleh faktor internal (rusaknya qalb, hawa nafsu) dan eksternal (godaan setan, makanan dan minuman yang haram).

(4)

Sejarah Kesehatan Mental

Pengertian kesehatan jiwa dapat diartikan sama dengan kesehatan mental yang sebenarnya sudah dikenal sejak lama (sejak lahirnya nabi Adam sebagai manusia pertama). Sebab saat itu Nabi Adam sedang mendapatkan dosa-dosa yang berdampak pada ruhnya. Jiwa menjadi gelisah, takut dan hati menjadi sedih. Untuk memadamkan perasaannya, Nabi Adam AS memohon ampun kepada Allah SWT. Nabi Adam meminta ampun dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Maka Nabi Adam merasakan kedamaian di hatinya. Firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah ayat 37 yang berbunyi:

مي ِح َّرلٱ ُبا َّوَّتلٱ َوُه ۥُهَّنِإ ۚ ِهْيَلَع َباَتَف ٍت ََٰمِلَك ۦِهِ ب َّر نِم ُمَداَء َٰٰٓىَّقَلَتَفُ

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha

Penyayang”.

Dalam islam, konsep kesehatan mental disebut sebagai al-tibb al-ruhani. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934) dalam kitabnya yang berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Al-Balkhi menjelaskan kesehatan spiritual dan kesehatan psikologi dengan menggunakan istilah al-Tibb al- Ruhani tersebut. Sementara, ia menggunakan istilah Tibb al-Qalb untuk menjelaskan kesehatan mental. Al-Balkhi menyatakan bahwa jiwa seperti badan, bisa sehat dan bisa juga sakit. Ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sementara, ketidakseimbangan dalam jiwa bisa menyebabkan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejala-gejala yang berkaitan dengan kejiwaan lainnya.

Selain al-Balkhi, Ali ibnu Sahl Rabban al-Tabari yang merupakan dokter kejiwaan juga berkontribusi dalam peradaban Islam. Al-Tabari telah mengembangkan psikoterapi melalui kitab Firdous al-Hikmah yang ia tulis pada abad ke-9 untuk menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Menurut al-Tabari, pasien yang mengalami sakit jiwa disebabkan oleh imajinasi atau keyakinan yang sesat.

Dalam perspektif Islam, penyakit jiwa sering disamakan dengan beberapa sifat buruk atau perilaku tercela (al-Akhlaq al-Mazmumah), seperti keserakahan, iri hati,

(5)

dengki, kesombongan, emosi, dan lainnya. Hasan Muhammad as-Syarqawi dalam kitabnya Nahw ‘Ilmiah Nafsi (1970), mengkategorikan penyakit jiwa dalam 9 bagian, yaitu: pamer (riya’), marah (al-ghadhab), lalai dan lupa (al-ghaflah wan nisyah), was- was (al-was-wasah), frustrasi (al-ya’s), rakus (tama’), terpedaya (al-ghurur), sombong (al-ujub), dengki dan iri hati (al-hashd wal hiqd).

Muhammad bin Abi Bakar ( رکب يبأ نب دمحم), bin Ayyub bin Sa'd al-Zar'i, al- Dimashqi (يقشمدلا), bergelar Abu Abdullah Syamsuddin (نیدلا سمش الله دبع وبأ), atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Salah satu pencetus tombo ati bahwa konsep tombo ati perspektif Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah sebagai upaya psikoterapi Islam dalam membimbing kesehatan mental yakni, mengobati penyakit hati, mengobati penyakit kebodohan tersebut dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat agar dapat menjadikan hati sembuh dan semakin sehat. Dan Al- Qur’an sebagai terapi penyakit hati karena dalam pandangan Ibnu Qoyyim terdapat dua penyakit di dalam hati yaitu penyakit syubhat dan penyakit syahwat, maka al-Qur’an sebagai obat hati bagi kedua penyakit tersebut.

Adapun Utsman Najati (2003) seorang psikologi islam, ia mengutip beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menunjukkan bahwa seseorang telah mencapai kesehatan mental yang baik, termasuk pendapat Maslow yang menyatakan

“kesehatan mental seseorang tergantung pada kejujuran seseorang terhadap diri sendiri dan orang lain, keberanian mengungkapkan kebenaran, bertanggung jawab atas perbuatannya, serta keberanian mengakui siapa dirinya sebenarnya dan apa yang diinginkannya. Pada saat yang sama dia bersedia menerima hal-hal baik, meskipun itu bukan darinya, dia tidak akan melindungi dirinya sendiri untuk menghancurkan esensi yang ada, dan dia bersedia menerima hal-hal baik itu”.

Selain pendapat Maslow, Najati (2003) juga memperkenalkan pendapat Muhammad Audah dan Kamal Ibrahim yang mengemukakan pentingnya aspek spiritual dalam mempertimbangkan kesehatan mental. Menurut keduanya, indikator kesehatan mental harus mencakup dimensi kehidupan, diantaranya sebagai berikut:

(6)

- Dimensi spiritual terdiri dari keimanan kepada Allah, menunaikan shalat, menerima perintah dan takdir-Nya, selalu merasa dekat dengan Allah, memenuhi kebutuhan dengan halal, dan senantiasa berdzikir kepada Allah.

- Dimensi psikologis meliputi kejujuran, tidak iri hati, percaya diri, kemampuan menoleransi kegagalan dan rasa takut, menjauhi hal-hal yang menyakiti jiwa seperti kesombongan, tipu muslihat, boros, kikir, malas, pesimisme, berpegang teguh pada prinsip syariat, emosi, lapang dada, toleransi, mudah menerima kenyataan hidup, kemampuan memegang kendali, menahan keinginan dan tidak terlalu ambisius.

- Dimensi sosial, terdiri dari rasa cinta terhadap orang tua, rekan kerja, dan anak, membantu orang yang membutuhkan, kemampuan untuk dipercaya, keberanian untuk mengatakan kebenaran, bertanggung jawab dan menghindari melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain, berbohong, memanipulasi, mencuri, berzina, membunuh, memberikan kesaksian palsu, memakan harta anak yatim, memfitnah, mengkhianati, dan melakukan kezaliman.

- Dimensi biologis adalah sehat dan bebas dari berbagai penyakit, tidak mempunyai cacat fisik, memperhatikan kesehatan, dan tidak memberikan tekanan pada tubuh sesuai dengan kemampuannya.

Mushtafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud, menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: 1) pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah), 2) pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.24 Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas dibanding dengan pola pertama.

Manusia dalam kaitannya dengan kesehatan mental berusaha menjadikan dirinya tenang, tenteram dan bebas daripada gangguan mental. Kajian ini bertalian erat dengan pembentukan moral yang positif ataupun negatif. Standar penilaian bermoral itu dianggap bermarwah atau tidak adalah berdasarkan keseragaman pemahaman. Satu pemahaman menyebutkan: moral yang baik dapat diukur dengan munculnya rasa

(7)

solidaritas yang tinggi, pemaaf, kesadaran untuk tidak mengganggu ketenteraman orang lain, dan menjalin hubungan yang baik dengan Allah.Jika basis kepada proses perkembangan psikologi adalah pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan nilai akhlaq al-karimah yang tersentuh dalam diri dan kehidupan manusia, maka akhlak adalah kualitas – kualitas moral yang khusus bagi manusia malahan ia merupakan basis utama kemanusiaan itu sendiri. Dalam akhlak tercermin kepribadian, di mana manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani yang diciptakan dalam keadaan ahsan al-taqwim (sebaik-baik bentuk). Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan azas kemanusiaannya yang akan menyebabkan ia hidup sebagai manusia tanpa kemanusiaannya atau dengan kata lain sebagai makhluk asfal safilin (makhluk yang tidak bermoral).

Abnormalitas dalam Perspektif Psikologi Islam

Berdasarkan Al-Quran dan Hadist, manusia dapat digolongkan menjadi tingkah laku yang normal dan abnormal. Islam mengkaitkan abnormalitas dengan akhlak al- mazmumah (sifat tercela). Sifat tercela yang dimiliki manusia akan menjadi penyakit hati dan jiwa (amaradh al-qulb) dan membawa manusia pada kebinasaan (al- muhlihat). Sifat tercela tersebut akan menggiring manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya dengan cara yang tidak baik sehingga menimbulkan ketidakseimbangan (i’tidal). Lalu, keimanan seseorang juga dapat menentukan kekuatan dalam menghadapi sifat tercela tersebut untuk menahan individu dari syahwat dan hawa nafsunya.

Perilaku abnormal dalam islam disebabkan oleh dosa dari sifat tercela.

Perbuatan dosa tersebut juga disebabkan oleh faktor internal (rusaknya qalb, hawa nafsu dan orientasi hidup yang materialis (hubb dunyaa). Sedangkan, faktor eksternalnya adalah (godaan setan dan makanan minuman yang kurang baik dan haram). Jika seseorang melakukan perbuatan dosa akan menyebabkan ketidakseimbangan pada dirinya dan memunculkan sifat abnormalitas, yaitu adanya gejala simptomatis (perasaan bimbang, resah, rasa bersalah dan stress), masalah penyesuaian diri individu merasa tidak nyaman jika orang lain tahu dosa yang diperbuat sehingga akan timbul masalah pada relasi sosial seperti dalam hadits mengenai

(8)

perasaan aman, Nabi saw pernah bersabda: “Barang siapa di antara kalian merasa aman di tengah keluarganya pada pagi hari, sehat fisik, dan memiliki bahan makanan hari yang dijalaninya maka seakan-akan seluruh dunia menjadi miliknya” (HR.

Tirmidzi) adan memunculkan masalah religiusitas (jauh dari Allah)

Sesuai dengan penjelasan Al-Ghazali bahwa individu yang sakit jiwanya (abnormal) adalah yang berakhlak buruk (tunduk pada hawa nafsu, berlebihan dalam berbicara, iri, dengki, cinta dunia, riya, sombong, suka menipu), sedangkan yang sehat jiwanya adalah yang berakhlak baik. Hal ini juga pernah dijelaskan dalam Hadits riwayat Ahmad, “Sesuatu yang baik itu adalah yang membuat perasaan (nafs) tentram dan hati senang. Sebaliknya dosa itu adalah yang membuat perasaan tidak tenang dan hati gelisah sekalipun banyak orang memberikan fatwa” (HR. Ahmad).

Al-Quran menggambarkan abnormalitas ini pada orang munafik yang bimbang dan ragu dalam menentukan pilihan antara keimanan dan kekufuran, antara bergabung dengan kelompok Islam dan kelompok kafir. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran,

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.

mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam Keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An-Nisa: 142).

Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan.

Gangguan mental yang dijelaskan oleh (A. Scott, 1961) meliputi beberapa hal :

1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.

2. Ketidak bahagiaan secara subyektif 3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan

(9)

4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiater di rumah sakit, namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.

Gangguan mental ini sesuai dengan Al-Quran (QS. Al Baqarah 2:10) yang Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”

Dalam Islam, adapun cara untuk menenangkan diri ketika dilanda perasaan negatif. Diriwayatkan oleh Hudzaifah RA bahwa ia berkata: “Jika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam merasa gundah karena sebuah perkara, maka beliau menunaikan shalat” (HR. Abu Dawud). Hal ini tentu mengisyaratkan pentingnya ritual shalat untuk menciptakan rasa tenang dan tentram pada jiwa seseorang. Perilaku abnormal dalam Islam dapat disembuhkan dengan cara tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) seperti yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din yang secara garis besar mirip seperti taubat an-nasuha.

Seseorang akan mendapatkan kelegaan batin dengan taubat karena dia merasa pengakuan dosa dan penyesalannya didengar, diperhatikan dan diterima oleh Allah SWT, serta mendapatkan ampunan dan kasih sayang dari-Nya. Taubat yang murni dengan meyakini sifat Allah SWT yang Maha Penerima Taubat, Pengampun dan Penyayang, akan membuat seseorang itu sehat mentalnya dan menjadikan taubat sebagai metode terapeutik (pengobatan). Taubat yang diimbangi dengan amalan- amalan baik, akan membebaskan seorang salik daripada kegelisahan dan kecemasan yang terdapat dalam dirinya. Amal saleh setelah taubat dalam psikoterapi sufistik, disebut juga dengan Tajalli (anugerah Ilahi atas penerimaan taubatnya dan mengisinya dengan ubudiyah dan amal saleh) yang secara psikologi dikenali dengan proses pencegahan.

Ayat-Ayat Quran tentang Gangguan Mental

Di bawah ini terdapat surah-surah yang berkaitan dengan kesehatan &

gangguan mental, di antaranya sebagai berikut:

1. Q.S Al-Imran (3): 110

َنَمآ ْوَل َو هَِّللاِب َنوُنِمْؤُت َو ِرَكْنُمْلا ِنَع َن ْوَهْنَت َو ِفو ُرْعَمْلاِب َنو ُرُمْأَت ِساَّنلِل ْتَج ِرْخُأ ٍةَّمُأ َرْيَخ ْمُتْنُك نوُقِساَفْلا ُمُه ُرَثْكَأ َو َنوُنِمْؤُمْلا ُمُهْنِم ْۚمُهَل ا ًرْيَخ َناَكَل ِباَتِكْلا ُلْهَأَ

(10)

Artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S Al- Imran: 110).

Ayat Al-Qur'an ini mengutamakan hubungan antara manusia dengan dirinya serta pengembangan dan pemanfaatan potensi manusia yang berupa 'amr ma'ruf wa nahi munkar atau sebaliknya hawa nafsu yang ada dalam diri manusia. Menurut Quraisy Shihab, dalam tafsir Al- Misbah di atas menyatakan bahwa pada ayat ini yang dimaksud adalah

"kita", jika kamu beriman kepada Tuhan & memenuhi segala syaratnya dan dilahirkan sesuai syarat yang telah Allah tetapkan, maka kamu akan menjadi sebaik-baik yang dilahirkan untuk manusia.

2. Q.S. Al-Baqarah (2): 155

نی ِرِباَّصلا ِرِ شَب َو ه ِتا َرَمَّثلا َو ِسُفْنَ ْلْا َو ِلا َوْمَ ْلْا َنِم ٍصْقَن َو ِعوُجْلا َو ِف ْوَخْلا َنِم ٍءْيَشِب ْمُكَّن َوُلْبَنَل َوَ

Artinya: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.

Ada hubungan antara kesabaran dan kesejahteraan psikologis.

Kesabaran sangat diperlukan ketika menghadapi cobaan dan kesulitan. Secara umum sabar sering diartikan sebagai ketabahan hati dalam menghadapi cobaan dan kesulitan, serta kegigihan dalam mengejar suatu tujuan.

3. Q.S. Al-Ra’d (13): 28

ه ُب ْوُلُقْلا ُّنِٕىَمْطَت ِ هاللّٰ ِرْكِذِب َلََا ه ِ هاللّٰ ِرْكِذِب ْمُهُب ْوُلُق ُّنِٕىَمْطَت َو ا ْوُنَمَٰا َنْیِذَّلا

(11)

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.

Hanya dengan mengingat Allah seseorang dapat memiliki ketenangan pikiran. Ketika manusia melupakan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan kehilangan pandangan terhadap Tuhan, hidup menjadi hampa. Konteks ayat ini adalah tentang żikrullāh yang mendatangkan ketenangan jiwa, meliputi keagungan, larangan, dan perintah, serta tentang Allah sebagai penolong dan pelindung.

4. Q.S. Al-baqarah (2): 10

َن ْوُبِذْكَی ا ْوُناَك اَمِب ٌۙە ۢ ٌمْيِلَا ٌباَذَع ْمُهَل َو ۚاًض َرَم ُ هاللّٰ ُمُهَدا َزَف ٌٌۙض َرَّم ْمِهِب ْوُلُق ْيِف

Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta”.

Kelalaian mereka disebabkan karena mereka mempunyai alat yang membantu mereka memahami dalam mereka sakit, sehingga penyakit tidak membuat mereka memahami apa yang bermanfaat bagi mereka dan apa yang merugikan mereka. Ada keraguan, kemunafikan dan kedengkian dalam hati mereka. Akibatnya, mereka akan dihukum atas berbagai perbuatan maksiat yang patut mendapat hukuman, dan akan mendapat hukuman pedih atas kedustaan mereka.

5. Q.S Yusuf (12): 53

۞ ىِ ب َر َّنِإ ۚ ٰٓىِ ب َر َم ِح َر اَم َّلَِإ ِء ٰٓوُّسلٱِب ٌۢة َراَّمَ َلْ َسْفَّنلٱ َّنِإ ۚ ٰٓىِسْفَن ُئ ِ رَبُأ ٰٓاَم َو مي ِح َّر ٌروُفَغٌ

Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena

sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang

(12)

diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Diantara perkara yang paling besar mudhorotnya bagi seorang hamba adalah kekosongan waktunya, karena nafsu itu tidak mampu diam dengan kekosongannya bahkan ketika ia tidak disibukkan dengan hal yang positif maka akan disibukkan dengan hal-hal yang membahayakannya, { َسْفَّنلا َّنِإ ءوُّسلاِب ٌة َراَّمَ َلِْ } "karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan".

Hadits tentang Gangguan Mental

Allah SWT menganugerahkan manusia jiwa yang tidak terhingga nilainya.

Dengan jiwa, manusia bisa merasakan suka, duka, bahagia, gelisah, marah, kecewa, dan sebagainya. Akan tetapi, jiwa seperti tubuh, ia mampu merasakan sakit dan sehat.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa terdapat delapan penyakit jiwa yang bisa dirasakan oleh jiwa manusia. “Dari Anas bin Malik bahwa Nabi Saw bersabda kepada Abu Talhah: Carilah seorang anak kecil dari milikmu untuk melayaniku (selama kepergianku ke Khaibar). Abu Talhah keluar bersamaku dengan memboncengku. Saat itu aku adalah seorang anak kecil yang hampir baligh. Aku melayani Rasulullah SAW saat beliau singgah dan aku selalu mendengar Nabi banyak berdoa: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat (jiwa) gelisah, sedih, lemah, malas, kikir, pengecut, terlilit hutang, dan dikuasai manusia” (HR al-Bukhari).

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, bahwa kesehatan mental maupun tubuh lebih penting daripada harta benda yang ada di dunia. ''Tidak ada salahnya seseorang memiliki kekayaan asalkan dia tetap bertakwa. Akan tetapi, bagi orang yang bertakwa, kesehatan lebih baik daripada kekayaan. Selain itu, hati yang bahagia (thibin nafs) adalah bagian dari (kenikmatan) surga).'' (HR Ibnu Majah).

Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Hindarilah tujuh macam dosa yang merusakkan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah. Apakah tujuh dosa itu? Nabi menjawab: yaitu menyekutukan Allah, sihir, membunuh nafs yang

(13)

diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan cara yang benar, makan riba', memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran, dan menuduh zina pada perempuan mukmin yang baik-baik yang terhindar dari zina”. (HR.Bukhâri).

Kesimpulan

Pengertian kesehatan jiwa dalam konteks Islam mengacu pada kesehatan mental yang sudah diakui sejak lama, sejak zaman Nabi Adam. Ketika Nabi Adam mengalami penderitaan jiwa akibat dosa, ia memohon ampun kepada Allah SWT, dan setelah mendapatkan ampunan, merasakan kedamaian di hatinya. Dalam Islam, konsep kesehatan mental disebut al-tibb al-ruhani dan al-Tibb al-Qalb, mengacu pada kesehatan spiritual dan mental. Gangguan mental seringkali disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam tubuh dan jiwa, serta adanya sifat buruk atau perilaku tercela. Beberapa tokoh seperti al-Balkhi, al-Tabari, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan kontribusi dalam pengembangan psikoterapi Islam untuk menyembuhkan gangguan jiwa. Di samping itu, ada pandangan tentang indikator kesehatan mental dalam Islam, yang mencakup dimensi spiritual, psikologis, sosial, dan biologis. Islam memberikan solusi untuk menangani perasaan negatif dan gangguan mental melalui praktik-praktik keagamaan seperti shalat dan taubat. Taubat dianggap sebagai metode terapeutik yang dapat membantu seseorang mendapatkan kelegaan batin dan sehat mental. Kesehatan mental dalam Islam juga berkaitan dengan penerimaan taubat, pengakuan dosa, penyesalan, ampunan Allah, dan melakukan amal saleh sebagai upaya untuk membebaskan diri dari kegelisahan dan kecemasan.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Ariadi, P. (2019). Kesehatan mental dalam perspektif Islam. Syifa'MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 3(2), 118-127.

Budiharjo & Samain. KONSEP KESEHATAN MENTAL DALAM AL-QUR’ĀN

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT

PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH dalam ATTA’DIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Bone, Vol. 1, No. 2, Desember 2020.

Fisulusi, I. (2022). Konsep Tombo Ati Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Sebagai Bentuk Psikoterapi Islam Dalam Menumbuhkan Kesehatan Mental.

Fuad, I. (2016). Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur‟an dan Hadits.

Roby Cahyadi (2016). Abnormalitas dalam Psikologi Islam.

Yuliani, H. (2019). KONTRIBUSI AGAMA ISLAM TERHADAP KESEHATAN MENTAL.

Referensi

Dokumen terkait

Zakiah Daradjat tentang pendidikan Islam dalam perspektif psikologi agama, yang menarik di sini; ialah psikologi agama merupakan disiplin ilmu yang merupakan bagian dari

Salah satu alasan yang dapat digunakan adalah bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama dalam kehidupan manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu

Pendekatan psikologi juga dapat digunakan sebagai alat untuk menanamkan ajaran agama Islam kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.. Dengan berbekal

Oleh itu pengkajian psikologi kognitif dalam perspektif psikologi Islam adalah salah satu usaha melakukan islamisasi akal dan fikiran, dan salah satu usaha yang dilakukan adalah

Ketika konsep kematian menurut Islam Wetu Telu ditinjau dari perspektif Psikologi Islam, makan dapat diketahui bahwa ketika nafs berpisah dengan tubuh, nafs akan tetap ada

Psikologi Belajar Agama: Perspektif Agama Islam. Bandung: Pustaka

Salah satu alasan yang dapat digunakan adalah bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama dalam kehidupan manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu

4. Yahya, M.A selaku Dosen Wali saya di Fakultas Psikologi Univesitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri