• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Hak Cipta

N/A
N/A
Christofer Rapmajaya

Academic year: 2024

Membagikan "Undang-Undang Hak Cipta"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

MUSIK GEREJAWI

Novita Romauli Saragih, S.Th., M.Th., M.Pd.

Dr. Padriadi Wiharjokusumo, SS., SH., MH.

(3)

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4

Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Pembatasan Pelindungan Pasal 26

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:

i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;

ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan;

iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan

iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

MUSIK GEREJAWI

Novita Romauli Saragih, S.Th., M.Th., M.Pd.

Dr. Padriadi Wiharjokusumo, SS., SH., MH.

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA Melong Asih Regency B40 - Cijerah

Kota Bandung - Jawa Barat www.medsan.co.id

Anggota IKAPI No. 370/JBA/2020

(5)

MUSIK GEREJAWI

Novita Romauli Saragih, S.Th., M.Th., M.Pd.

Dr. Padriadi Wiharjokusumo, SS., SH., MH.

Editor:

Rintho R. Rerung

Tata Letak:

Rizqi Mohammad Paqih Desain Cover:

Rintho R. Rerung Ukuran:

A5 Unesco: 15,5 x 23 cm Halaman:

vii, 160 ISBN:

978-623-362-319-3 Terbit Pada:

Januari 2022

Hak Cipta 2022 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA (CV. MEDIA SAINS INDONESIA) Melong Asih Regency B40 - Cijerah Kota Bandung - Jawa Barat www.medsan.co.id

(6)

i PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, karunia dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku referensi ini dengan judul Musik Gerejawi. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dinamika, sejarah, fungsi dan peran Musik Gerejawi dalam meningkatkan perkembangan jemaat baik secara kualitatif maupun kuantitatif di Gereja lokal. Hasil penelitian kemudian dituangkan dalam buku referensi untuk menambah khazanah Musik Gerejawi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan dan menerbitkan buku ini, yakni:

1. Ny. Sariaty PR Siregar Br. Pardede Ketua Yayasan Perguruan Darma Agung Medan.

2. Dr. Gomgom TP Siregar, S.E., S.Sos., S.H., M.Si., M.H 3. Dr.Jaminuddin Marbun, SH.,M.Hum Rektor

Universitas Darma Agung (UDA).

4. Dra. Binur Pretty Napitupu, Direktur Akademi Pariwisata dan Perhotelan Darma Agung (APP).

5. Dra. Rosma Nababan, M.Si.,Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Darma Agung (UDA).

6. Tim Pengembalaan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Avia Sumatera Utara.

7. Media Sains Indonesia selaku penerbit buku ini

(7)

ii

8. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian dan penerbitan buku ini.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sehingga di masa yang akan datang, buku ini akan menjadi lebih baik lagi dan dapat memberi manfaat bagi setiap pembacanya.

Medan, Januari 2022

(8)

iii

KATA SAMBUTAN

Rektor Universitas Darma Agung, Medan

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah dan karuniaNya, akhirnya buku dengan judul Musik Gerejawi sebagai salah satu materi ajar dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Darma Agung, Medan dapat diterbitkan. Terbitnya buku ini merupakan hasil jerih payah dari para penulis sehingga perlu diberikan penghargaan dan apresiasi yang mendalam.

Terbitnya buku ini juga diharapkan agar penulis mampu secara berkesinambungan mengkaji perkembangan terkini Musik Gerejawi. Akhir kata, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan buku referensi ini. Semoga para penulis terus menumbuh kembangkan karyanya dan melahirkan ciptaan buku lainnya untuk memperkaya khasanah Musik Gerejawi.

Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terimakasih kepada Ketua Umum Yayasan Perguruan Darma Agung (YPDA) Ny. Sariaty PR Siregar Br. Pardede atas dukungan tak henti terhadap UDA, secara khusus dalam peningkatan kualitas dosen-dosennya.

Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2022 Rektor UDA Dr. Jaminuddin Marbun, SH.,M.Hum

(9)

iv

(10)

v

DAFTAR ISI

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB 1 DINAMIKA MUSIK GEREJAWI ... 1

BAB 2 HAKIKAT MUSIK GEREJAWI ... 9

BAB 3 ASAL MULA MUSIK ... 15

BAB 4 SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK GEREJAWI MASA KINI (KONTEMPORER) ... 23

BAB 5 PERAN MUSIK GEREJAWI KONTEMPORER DALAM IBADAH ... 29

BAB 6 TEOLOGI MUSIK ... 49

Tujuan Teologi ... 49

Kebutuhan Terhadap Teologi Musik ... 53

Metode Teologi Musik ... 63

BAB 7 BENTUK MUSIK GEREJAWI ... 69

Musik Instrumental... 69

Musik Vokal ... 72

BAB 8 PENGGUNAAN MUSIK GEREJAWI DALAM ALKITAB ... 73

Periode Leluhur (Patriarkal) ... 75

Periode Musa ke Daud ... 77

Daud dan Pembentukan Musisi Lewi ... 92

Musik Bait Allah Dari Salomo Hingga ke Pengasingan ... 101

Mazmur ... 108

Musik Era Pembuangan dan Musik Era Pasca Pembuangan ... 122

Musik Gerejawi Dalam Perjanjian Baru ... 129

(11)

vi

BAB 9 ALLAH, SANG MUSISI ... 143 BAB 10 PRINSIP – PRINSIP ALKITABIAH DALAM

PENGGUNAAN MUSIK ... 149 DAFTAR PUSTAKA ... 158

(12)

vii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Rebana (timbrels)……….………79

Gambar 2 : Sangkakala (trumpets) dalam berbagai

ukuran………81

Gambar 3 : Kinnor/harpa Daud (David harp)……….83 Gambar 4 : Diagram Struktur Lembaga Musik Penyanyi

dan Musisi Lewi Yang Didirikan oleh raja Daud……….100

(13)

viii

(14)

1

BAB 1

DINAMIKA MUSIK GEREJAWI

Sepanjang sejarah kemanusiaan musik telah memainkan peran penting dalam kehidupan umat manusia. Studi dari setiap abad tentang keberadaan umat manusia menunjukkan bahwa musik telah digunakan untuk berbagai tujuan seperti; kesenangan, perayaan, ritual dan ibadah. Musik memiliki kekuatan yang dahsyat dan hal tersebut sangat mempengaruhi manusia di setiap tingkat kehidupan mereka, dan dengan jelas telah menjadi bukti sejarah.

Musik juga selalu memiliki tempat penting dalam ibadah umat Allah. Dari bab pertama Alkitab sampai dalam ibadah Israel, dan Gereja dalam Perjanjian Baru telah menggunakan musik dalam pribadatan. Menurut, Rhoderic J McNeill (1998: 11-12) bahwa warisan tradisi musik gerejawi terjadi sejak permulaan abad Masehi hingga abad ke-3 yang dicatat dalam Nyanyian Kantilasi, yaitu nyanyian yang dinyanyikan pada satu nada saja yang dimulai dan diakhiri dengan frase, yang terdiri dari beberapa nada lain digunakan untuk membaca Alkitab.

Kemudian Mazmur Responsorial, yaitu nyanyian yang dikutip dari salah satu ayat dari mazmur sebagai refrein atau respon terhadap ayat-ayat lain dan dinyanyikan oleh

(15)

2

solois contohnya Mazmur 136. Mazmur Alleluia, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh jemaat, dan setiap ayat mazmur dinyanyikan oleh solois. Mazmur Antiphonal, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh solois dan jemaat secara bergantian dan bersahut-sahutan. Tractus, yaitu sebuah mazmur yang bersifat renungan dinyanyikan setelah membaca Alkitab, serta Jubilus, yaitu sebuah melodi melismatik tanpa kata-kata yang dinyanyikan dengan riang (McNeill: 1998).

Secara historis nyanyian Gregorian (nyanyian suci satu suara tanpa iringan alat musik) dan nyanyian himne (hymn) berkembang dan berperan dalam tata ibadah Gereja di Eropa dari abad pertengahan. Sampai sekarang ini peran musik gerejawi dalam ibadah semakin berkembang seiring perkembangan Gereja dan pertumbuhan iman jemaat. Musik Gerejawi telah menjadi bagian integral dalam kegiatan ibadah di Gereja.

Kebenaran dan dampaknya telah menghasilkan proporsi yang sangat besar dalam teori serta praktik, khususnya di Gereja-gereja dunia Barat dan di Indonesia, terutama di Gereja-gereja kontemporer.

Dalam perjalanannya, musik bukan saja dipersembahkan untuk keperluan ibadah, namun juga melahirkan para musisi dan penyanyi yang menyajikan musik kontemporer atau musik gospel dalam ibadah Gereja. Perkembangan wilayah musik kontemporer tersebut menyebar sampai ke

(16)

3

berbagai benua seperti; Eropa, Amerika Utara, Australia dan sebagian Asia termasuk Indonesia.

Menurut Adolf Heuken (1993: 40) dalam bukunya berjudul Ensiklopedia Gereja. Dia mengatakan bahwa pada dasarnya musik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu musik Gerejawi dan musik sekuler (profan). Musik Gerejawi adalah musik yang ada di dalam Gereja, dimana musik Gerejawi masih dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu musik ibadah/liturgi dan musik rohani.

Karl Edmund Prier (2000: 4) dalam bukunya berjudul Sakralitas Musik Rohani. Dia mengatakan bahwa musik ibadah dan musik rohani harus dibedakan, yaitu bahwa musik ibadah ditulis sebagai bagian integral dari ibadah yang merupakan media permohonan, renungan, penginjilan, ucapan syukur atau iringan peribadatan.

Oleh karena sifatnya tersebut, maka musik ibadah tidak bebas nilai, khususnya pada lirik lagu yang merupakan elemen yang signifikan dari pada elemen arrangemen musiknya sendiri.

Sedangkan musik rohani dapat bersumber dari pengalaman iman keagamaan atau kitab suci. Namun diciptakan untuk kebutuhan Ibadah dan kebutuhan lainnya. Misalnya untuk hiburan, pementasan, pertemuan, pelajaran dan lainnya. Karena tidak ada persyaratan untuk peribadatan, maka musik rohani dapat juga diciptakan untuk mengekspresikan subjektif

(17)

4

perorangan. Hal tersebut kadangkala komposisi maupun arrangemen musiknya lebih penting dari pada liriknya.

Menurut John F. Wilson (1965: 18), dalam bukunya berjudul An Introduction to Church Music. Dia mengatakan bahwa tidak semua musik yang dipersembahkan di Gereja dimanfaatkan secara maksimal bagi kemulian Allah. Menurutnya beberapa gaya dalam mempersembahkan musik bagi Allah di Gereja tidak melahirkan apa-apa terkecuali hanya sebatas euphoria semata. Sedangkan yang lain membawakan musik ibadah di Gereja sedikit lebih bagus, karena mampu mengeksplorasi emosi jemaat.

Lahirnya musik rohani kontemporer untuk kebutuhan ibadah atau penyembahan di Gereja. Hal ini ternyata telah menimbulkan bermacam masalah dan konflik, baik konflik kebudayaan maupun konflik liturgis bagi denominasi Gereja termasuk para teolog yang berkaitan dengan norma, etika, dan dogma Gereja.

Akibat dari pandangan negatif terhadap musik rohani kontemporer, lahir suatu pandangan yang mengatakan bahwa musik rohani kontemporer tidak dapat memenuhi persyaratan menjadi media komunikasi terhadap kebutuhan rohani dalam hubungannya dengan peribadatan. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Prier (2000:4) yang mengatakan bahwa musik rohani tersebut bukanlah musik ritual keagamaan, yang hanya dapat menciptakan dunianya sendiri, sehingga tidak

(18)

5

efisien dan efektif untuk perkembangan jemaat. Dia juga berpandangan bahwa elemen lagu dan lirik yang lemah dalam musik rohani tidak dapat melahirkan suatu pesan penginjilan atau pewartaan, kecuali efek “wah” yang segera hilang.

Pendapat Prier tersebut boleh saja dan sah dalam tataran perdebatan akademis dan teori, akan tetapi pada praktiknya belum tentu didengar oleh semua sarjana dan denominasi Gereja yang lain. Tentunya terkait dengan perdebatan ini dibutuhkan teologi musik Gerejawi agar semua hal yang menjadi perdebatan dapat dicari solusinya dengan pendekatan keilmuan (scientific approach) melalui penelitian.

Lalu muncul beberapa pertanyaan besar. Apa teologi musik Gerejawi itu? Apakah studi tentang musik Gerejawi benar-benar dapat dilakukan dari sudut pandang teologi, dan manfaat apa yang dapat diperoleh dari studi semacam itu? Dalam arti bahwa Allah memenuhi semua ciptaan- Nya, dan semua hal menemukan sumbernya di dalam Dia, serta semua hal dapat dipandang secara teologis dalam beberapa cara termasuk juga musik Gerejawi.

Di Indonesia, perkembangan musik Gerejawi melaju pesat. Hal tersebut tidak saja dalam bentuk musikal, namun juga perannya dalam ibadah terhadap perkembangan iman jemaat . Memang harus diakui bahwa beberapa denominasi Gereja seperti Gereja Tradisional masih tetap setia dalam

(19)

6

mengimplementasikan bentuk dan praktik musik Gerejawi lama seperti himne, dan ibadah yang liturgikal.

Misalnya Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dengan musik tradisional Karo yang dimainkan melalui program musik keyboard, atau Gereja Kristen Jawa (GKJ) dengan musik gamelan dalam ibadahnya termasuk denominasi Gereja-gereja lainnya.

Kebutuhan teologis memungkinkan Gereja melakukan penyesuaian budaya/ inkulturasi, sebab hal ini dipandang penting dan efektif supaya pewartaan Injil dapat diterima oleh beragam suku bangsa. Proses ini oleh David J. Hesselgrave (1995) dalam bukunya berjudul Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model, disebut sebagai “pempribumian”. Dengan demikian, saat kita mengkaji tentang musik Gerejawi dalam ibadah kaitannya terhadap perkembangan jemaat, maka hal tersebut tidak dapat dibatasi oleh satu gaya atau genre musik tertentu, karena masing-masing Gereja mempunyai kebutuhan dan porsi musik Gerejawi yang berbeda-beda.

Sedangkan di sisi lain, ada beberapa Gereja atau denominasi tertentu seperti kharismatik yang telah mempraktikkan musik rohani kontemporer dengan instrumen moderen dalam ibadah mereka, sehingga melahirkan pendekatan baru yang berbeda dalam penyembahan kepada Allah. Berbagai variasi bentuk dan gaya pada musik Gerejawi dalam ibadah tersebut

(20)

7

sebagaimana telah diungkap di atas, telah dipengaruhi secara kuat oleh keragaman denominasi Gereja di Indonesia. Hal ini didasarkan pada sikap dan kebijakan dari setiap denominasi Gereja masing-masing, terhadap musik Gerejawi dalam ibadah kaitannya dengan perkembangan jemaat.

(21)

8

(22)

9

BAB 2

HAKIKAT MUSIK GEREJAWI

Agastya Rama Listya (1999) dalam bukunya berjudul Kontekstualisasi Musik Gerejawi. Dia mengatakan bahwa awalnya keberadaan musik Gerejawi dipahami hanya sebatas sebagai instrumen yang dibutuhkan dalam mengiringi nyanyian jemaat dan paduan suara dalam ibadah di sebuah Gereja. Namun dalam perjalanan waktu dan seiring dengan perkembangannya, musik Gerejawi baik musik instrumental maupun musik vokal seperti nyanyian, maupun paduan suara dinilai telah menjadi bagian integral dalam ibadah umat Kristiani. Namun demikian, menurutnya tidak semua musik dapat disebut sebagai musik Gerejawi, jika musik tersebut bukan menjadi bagian dari ibadah atau liturgi yang ada.

Sebagaimana kita ketahui bahwa musik dapat membantu seseorang menghayati perasaannya termasuk ketika beribadah kepada Allah. Ester Gunawan Nasrani (http://www.gpdiworld.us) dalam tulisannya berjudul Suatu Tinjauan Teologis dan Historis. Dia mengutip pandangan Marthin Luther tentang musik dalam artikelnya, yang mengatakan bahwa musik merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada umatNya.

Oleh karenanya, setiap manusia mempunyai

(23)

10

tanggungjawab untuk menggunakan musik sebagai sarana untuk mengembangkannya secara kreatif dan efektif dalam penyajiannya di Gereja.

Musik Gerejawi juga memiliki peran yang sangat strategis untuk membangkitkan semangat jemaat atau justru melemahkannya dalam suatu ibadah. Bila musik Gerejawi yang dipersembahkan dalam ibadah dapat membuat keberadaan jemaat di Gereja merasa berada di suatu panggung dan memperoleh porsinya untuk bernyanyi bersama-sama dengan jemaat lainnya. Hal ini dapat dipastikan bahwa semangat jemmaat akan bangkit oleh karena persembahan musik yang sedang digelar.

Namun, bila musik yang sedang disajikan tersebut membawa para jemaat seakan berada di padang pasir yang kering dan tandus, dan hanya dapat dinikmati oleh para musisi Gereja sendiri. Hal ini dipastikan akan melemahkan semangat ibadah para jemmat yang datang ke Gereja.

Dengan demikian, tantangan yang besar dan berat bagi hamba Allah yang melayani di departemen musik adalah, bagaimana mereka khusunya yang sedang bertugas melayani Allah mampu menciptakan suatu persembahan musik Gerejawi menjadi ibadah bersama. Artinya musik yang sedang ditampilkan dalam ibadah tidak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok jemaat, yaitu para musisi, singers dan worship leader saja. Musik yang baik mampu menciptakan suasana, di mana seluruh jemaat dapat

(24)

11

berkomunikasi dengan Allah yang sedang disembah dalam suatu ibadah.

Larmer Boschman (2006; 87) dalam bukunya berjudul Praises and Worship: The Priority, Purpose and Portrayal of Worship. Dia mengatakan bahwa musik yang baik akan mengubah suatu ibadah yang biasa-biasa menjadi ibadah yang luar biasa, dan selanjutnya menjadi wahana anugerah Allah. Lebih jauh Boshman mengatakan bahwa ketika Allah menganugerahkan musik bagi umatNya, tentu Allah mempunyai maksud dan tujuan terhadap musik tersebut. Tujuan tersebut adalah untuk membantu manusia dalam memuji Dia.

Namun demikian, musik Gerejawi tidak boleh hanya menjadi satu pertunjukan yang ditonton oleh jemaat.

Musik Gerejawi harus dapat menjadi suatu tempat, di mana emosi dirasakan. Jika tidak ada perasaan berbeda yang dapat dinikmati oleh jemaat maka fungsi dan peran utama dari musik Gerejawi tidak terpenuhi. Musik Gerejawi harus diupayakan sebaik mungkin yang memiliki kualitas tinggi, tetapi tidak boleh membawa kesan sebuah konser dalam ibadah.

Perkembangan Musik Gerejawi Di Indonesia

Pewartaan Injil di Indonesia oleh Gereja dan zending Eropa melahirkan kesan baru baik yang dilakukan oleh misioner Roma Katolik (Portugis dan Spanyol), maupun misioner protestan seperti Belanda, Jerman, Inggris dan

(25)

12

sebagainya. Kedatangan para hamba Allah ini disusupi oleh kepentingan penjajah, yang mana selain menguasai bidang-bidang perdagangan. Mereka juga mengembangkan pendidikan sembari mewartakan berita Injil. Kerapkali Gereja digunakan sebagai instrumen untuk mempengaruhi penduduk Indonesia untuk tidak melawan penjajah. Hal tersebut membuat Gereja menjadi sulit dalam memenangkan jiwa-jiwa, karena dianggap antek-antek penjajah.

Kaitannya dengan musik Gerejawi dalam ibadah di Gereja-gereja Indonesia, musik liturgi ini merupakan musik yang berasal dari Gereja Eropa atau Gereja Barat.

Melalui musik liturgi ini tanpa disadari budaya Barat masuk menjajah budaya pribumi, khususnya musik dan nyanyian liturgi di Gereja-gereja Indonesia. Hal tersebut sampai sekarang menjadi warisan dari penjajah.

Bahkan seringkali ada persepsi bahwa musik dan nyanyian liturgi dari Barat tersebut merupakan musik liturgi yang paling benar. Dari kajian literatur apa yang disampaikan oleh Robinson Aruan (1977) dalam paparannya tentang Studi Musik Batak pada diskusi Pempribumian Liturgia dan Kebaktian, yang diselenggarakan oleh Indonesia Regional Asia Program For Advanced Studies (IRAPAS) di Pematang Siantar.

Dia mengungkapkan bahwa Gereja-gereja di Indonesia, khususnya Gereja suku memiliki keunikan sendiri di bidang musik liturgi menurut daerahnya masing-masing.

(26)

13

Aruan mengatakan,”memang harus kita akui bahwa tidak semua Gereja menggunakan musik daerah untuk di tampilkan di Gereja. Hal ini sangat disayangkan karena musik merupakan pemberian dari Allah yang cukup indah untuk memuliakan namaNya.”

Dia lebih jauh mengatakan bahwa problema yang muncul saat itu adalah adanya anggapan bahwa musik tradisional di Indonesia mengandung unsur kegelapan berupa mistik (okultisme). Hal ini diyakini oleh para misioner Eropa ketika mereka memberitakan Injil di wilayah Indonesia.

Selain itu, mereka berpandangan bahwa kualitas musik tradisional yang ada di wilayah Indonesia adalah rendah, sehingga tidak layak dijadikan sebagai musik liturgi di Gereja-gereja yang mereka dirikan di Indonesia, dan menggantikannya dengan peradaban mereka. Akibat dari kebijakan yang mereka buat, hal tersebut memperkuat budaya Barat melalui Gereja, dan menutup peluang musik tradisional menjadi musik liturgi di Gereja-gereja Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, dan para misioner Barat meninggalkan bumi Indonesia. Timbul suatu kesadaran untuk menggunakan musik tradisional di Gereja (pempribumian/inkulturisasi) khususnya pada Gereja- gereja suku di Indonesia termasuk di daerah Batak. Tentu hal ini perlu disyukuri bahwa musik dan kesenian tradisional mulai digunakan di Gereja-gereja di Indonesia, utamanya di pulau Jawa.

(27)

14

Ada juga beberapa Gereja suku yang menggunakan wayang dan angklung untuk mengungkapkan kesaksian dan iman jemaat untuk menceritakan Firman Allah pada perayaan-perayaan tertentu. Namun demikian, masih ada beberapa Gereja benar-benar menolak untuk menggunakan musik tradisional di dalam gereja (Aruan:

1977).

(28)

15

BAB 3

ASAL MULA MUSIK

Permulaan ekspresi musik telah hilang pada zaman kuno, sehingga tidak mungkin untuk membahas waktu di mana musik berasal. Namun, cara awal ini adalah fokus dari banyak spekulasi, dan ada cukup bukti untuk menarik beberapa kesimpulan dengan pasti.

Musik, awalnya adalah produk dari Sang Pencipta. Ini merupakan pernyataan yang jelas dan penting terutama mengingat kecenderungan kontemporer atau kekinian untuk menghubungkan bentuk atau gaya musik tertentu dengan setan. Hal ini perlu untuk memahami pandangan tertentu bahwa musik itu berasal dari ilah, dan itu telah diakui sepanjang sejarah sebagaimana dijelaskan oleh Kevin Connor (1976: 126).

It seems that nearly all primitive peoples of the earth believe that music was of divine origin. Every civilisation has some kind of legend concerning the origin and creation of music. In practically every case a god discovers it and passes it on to mankind.

Connor melalui bukunya berjudul The Tabernacle of David mengatakan bahwa tampaknya hampir semua orang primitif di bumi percaya bahwa musik itu berasal dari ilah.

Setiap peradaban memiliki semacam legenda tentang asal-usul dan penciptaan musik. Dalam hampir setiap

(29)

16

kasus dijelaskan bahwa seorang dewa menemukan musik dan menyerahkannya kepada umat manusia.

Tidak mengherankan kemudian, bahwa bukti menunjukkan berbagai upaya kemanusian (humanity) pertama dalam ekspresi musik harus diarahkan kembali ke dewa dari siapa musik itu diterima. Edward Dickinson (1969: 26) mencatat di bab awal bukunya yang berjudul Music in the History of the Western Church. Dia memaparkan bahwa sejarah Leon Gautier tentang puisi epik Prancis di mana dia menggambarkan ucapan puisi dan musik kemanusiaan pertama sebagai ekspresi keagamaan.

Dia kemudian melanjutkan untuk melihat bukti bahwa hal ini hanya bisa benar untuk titik dalam perkembangan manusia di mana seni dapat dikatakan telah dimulai.

Harus ditekankan bahwa seni dalam konteks ini bukanlah komoditas yang dikembangkan dan terstruktur sebagaimana kita kenal pada saat ini. Namun demikian, prinsip dasar akan tampak benar, seperti yang dia katakan (Edward Dickinson, 1969: 2):

... then we certainly do find that the earliest attempts at song are occasioned by motives that must in strictness be called religious.

Dickinson mengatakan bahwa … maka kita tentu saja menemukan bahwa upaya yang paling awal pada lagu disebabkan oleh motif yang dengan tegas disebut religius.

(30)

17

Masyarakat suku sangat religius, dan sebagian besar karya seni mereka dikhususkan untuk ekspresi keagamaan. Jika ini dapat dianggap sebagai indikasi asal usul kemanusiaan, maka itu juga akan menunjukkan asal mula musik.

Apa pun motif terhadap ekspresi musik pada awalnya. Hal ini dapat dipastikan bahwa musik menemukan permulaannya sangat dekat dengan asal-usul kemanusiaan itu sendiri. Bukti ekspresi musik dari beberapa bentuk telah ditemukan untuk setiap zaman dibuktikan dengan keberadaan manusia. Bahkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Andrew Wilson dan Dickson (1992: 12) musik ada sebelum bahasa sebagaimana mereka katakan berikut ini :

Consider, for example, the fact that children are able to express their feelings by sounds, some of which could be called melodic, long before they learn to speak. Some linguists suggest that is evidence that vocal music came before language in the developing skills of humanity.

Wilson dan Dickson mengatakan bahwa fakta yaitu, anak- anak dapat mengekspresikan perasaan mereka dengan suara, beberapa di antaranya dapat disebut melodi, jauh sebelum mereka belajar berbicara. Beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa itu adalah bukti bahwa musik vokal ada sebelum bahasa dalam pengembangan keterampilan kemanusiaan.

(31)

18

Bentuk awal musik vokal dikembangkan untuk memasukkan pembacaan puisi. Ini jelas dari faktanya bahwa puisi pada awalnya selalu disampaikan dalam bentuk pidato yang berirama dan "melodi" dalam kata- kata atau suku kata tertentu yang ditekankan dengan cara meninggikan suara. Kadang-kadang hal ini sangat mirip dengan nyanyian sebenarnya.

Bagaimanapun musik meskipun dalam bentuk yang sangat primitif merujuk kembali ke awal mula keberadaan umat manusia. Kemungkinan besar juga bahwa penggunaan musik paling awal bersifat religius. Dalam hal ini, musik sangat dihormati secara universal.

Perkembangan musik secara alami mengarah pada penciptaan instrumen terhadap pembuatan musik.

Kembali dijelaskan bahwa asal usul ini hilang di masa lampau. Namun demikian, kita menemukan bukti instrumen musik dari masa awal. Tampaknya instrumen pertama yang dikembangkan adalah perkusi, dan juga

"pipa" yaitu instrumen angin yang diciptakan pada awal sejarah musik. Sedangkan instrumen bersenar muncul belakangan karena alat musik ini membutuhkan tingkat kecanggihan yang tinggi.

Apa yang telah dipaparkan di atas menjelaskan bahwa rujukan musik paling awal dalam Alkitab diambil dari masa ketika musik sudah cukup berkembang. Referensi pertama untuk musik itu sendiri adalah Kej.4: 21:

(32)

19

Nama adiknya ialah Yubal; dialah yang menjadi bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling.(TB) Banyak para komentator percaya bahwa Jubal telah menjadi tokoh mitos, tetapi apakah dia orangnya atau bukan. Referensi yang mengacu pada harpa mengungkapkan bahwa alat musik gesek banyak digunakan. Jadi, ketika bagian ini ditulis, musik sudah mencapai tingkat kecanggihan yang cukup tinggi. Alkitab tidak memberi kita indikasi seperti apa aktivitas musik sebelumnya.

Perlu dijelaskan bahwa pada masa primitif, musik sangat terkait dengan, dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari tarian. Dalam Alkitab, referensi paling awal terhadap musik sering melibatkan tarian juga. Bahkan dapat dikatakan bahwa tarian mendahului musik dalam perkembangan seni, tetapi tentu saja perkembangannya lebih cepat.

Peran utama tarian adalah menghasilkan suasana kegembiraan di antara para penyembah. Bukan hanya itu peran utama tarian juga digunakan untuk mengembangkan makna simbolis. Dalam penyembahan para penari akan memainkan drama sederhana yang mewakili tindakan para dewa. Dengan demikian, ada elemen yang representatif dan instruktif untuk itu.

Berdasarkan fakta tersebut, tarian menampilkan fungsi ucapan syukur, perayaan, duka, menenangkan amarah dewa, representasi pengajaran atau cerita, serta peniruan

(33)

20

tarian yang dipercayai oleh para dewa sendiri. Akhirnya, di antara para orang Yunani, tarian mencapai status seni rupa dalam hal keindahan dan ekspresi yang dicapai.

Bahkan dalam budaya mereka tarian masih digunakan untuk penyembahan meskipun tidak secara eksklusif.

Karena penggunaan tarian dalam ibadah inilah instrumen musik menjadi berkembang. Pada awalnya musik ini tidak digunakan sebagai tujuan musik itu sendiri, tetapi murni untuk membantu unsur-unsur dalam ibadah seperti;

membantu penyanyi dalam nada dan irama, atau penari pada tempo gerakan. Edward Dickinson (1969: 26) dalam bukunya berjudul Music in the History of the Western Church. Dia mengamati peran instrumen musik di antara orang Ibrani dalam refleksi yang dapat diterapkan pada orang lain juga:

Notwithstanding the prominence of instruments in all observances of public and private life, they were always looked upon as accessory to song.

Dickinson mengatakan bahwa terlepas dari keunggulan instrumen dalam semua pengamatan kehidupan publik dan pribadi, instrumen musik tersebut selalu dipandang sebagai aksesori terhadap lagu.

Dengan demikian, kita dapat mulai menggambar bentuk ekspresi musik paling awal. Awalnya musik adalah ekspresi religius yang murni vokal, disertai dengan gerakan ritme atau tarian. Ini berkembang menjadi

(34)

21

bentuk yang lebih terstruktur dan canggih, dan akhirnya mengarah pada pengembangan instrumen

(35)

22

(36)

23

BAB 4

SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK GEREJAWI MASA KINI (KONTEMPORER)

Musik Gerejawi Masa Kini (kontemporer) yang juga dikenal dengan sebutan Musik Kristen Kontemporer adalah hasil sebuah proses dari perjuangan panjang yang lahir dari musik religious Amerika seperti musik gospel termasuk musik religious Protestan lainnya yang bertumbuh dari budaya masyarakat pedesaan (rural community) di Amerika. Menurut David Willoughby (1996: 52), dalam bukunya berjudul The World of Music.

Dia mengatakan bahwa musik gospel pada hakikatnya merujuk pada himne dan lagu yang liriknya berhubungan dengan pewartaan Injil (gospel preaching) dibandingkan kepada Mazmur. Makna tersebut lahir untuk menerangkan bahwa dalam pengertian luas himne penginjilan dan nyanyian rohani digunakan dalam ibadah Kebangunan Rohani (crusade), pertemuan pendalaman Alkitab (camp meeting), dan Gereja-gereja.

Lebih jauh Willoughby mengatakan bahwa pengaruh ragtime, blues, jazz ke dalam ekspresi musik religius dari Afro-Amerika di awal abad ke-20 melahirkan apa yang disebut dengan black gospel music. Black gospel adalah

(37)

24

sebuah emosional, vocal, fisik, teatrikal, dan mahir secara musikal dengan merangsang antusias fisik, dan secara emosi merespons pendengar.

Masih menurut Willoughby bahwa Negro spiritual merupakan versi dari Eropanisasi lagu rakyat religius pada kaum hitam selatan yang muncul pada awal abad ke-19. Lagu-lagu tersebut diciptakan oleh para budak atau telah diadaptasi menjadi himne atau lagu rakyat dari budaya kulit putih. Sedangkan White gospel seperti, psalm tunes, spiritual songs, dan anthem adalah musik white gospel mula-mula.

Musik Kristen Kontemporer (Christian Contemporary Music) kadangkala dikategorikan sebagai “inspirational music” merupakan genre dari musik populer moderen yang secara syair berkonsentrasi terhadap persoalan iman Kristiani. Dewasa ini, istilah ini merujuk pada musik pop, rock Nashville, Tennesee dan industri musik dalam perayaan ibadah Kristen. Musisi seperti Avalon, Barlow Girl, Jeremy Camp, Casting Crowns, Amy Grant, Jars of Clay, Michael W Smith, Toby Mac, Rebecca St. James dan lain-lain. Beberapa di antara mereka dewasa ini mewakili dari genre ini.

Pada tahun 1960-an genre musik ini dipandang sebagai awal perpaduan musik moderen dengan pelayanan Kristen. Gerakan musik ini dipelopori dan didukung oleh para musisi Kristiani yang mempunyai kerinduan dalam

(38)

25

memenangkan kaum muda dan membawa mereka kepada Kristus melalui musik yang bergaya kekinian.

Winnardo Saragih (2008: 77) dalam bukunya berjudul Misi Musik. Dia mengatakan bahwa musik kristen kontemporer muncul didasari pada sebuah Gerakan Bagi Yesus (Jesus Movement) di California Selatan yang sangat mempengaruhi rakyat Amerika dalam menghadapi kekacauan akibat perang Vietnam dan pembunuhan Presiden Kennedy.

Rakyat Amerika merasa kecewa terhadap perdamaian, kasih dan keterbukaan palsu. Hal ini ditulis oleh John Fischer, seorang wartawan majalah Christian Contemporary Music. Kekristenan yang direformasi akan menawarkan harapan baru terhadap kelaparan dan kehausan rohani (desperate). Yesus dianggap merupakan pribadi yang menyelamatkan bagi kalangan muda (kaum hippies) Amerika. Melalui gerakan ini kaum muda yang bermasalah dengan kehidupan pribadi mereka seperti;

seks bebas, narkoba, dan politik radikal akan mengalami pembaharuan hidup di dalam Kristus.

Ketika lawatan Allah memulihkan anak-anak muda yang sebelumnya bermasalah tersebut. Musik dengan genre baru ini menjadi sangat terkenal di lingkungan Gereja mereka masing-masing. Hal ini menjadikan Gerakan Bagi Yesus pada waktu itu berubah menjadi agen perubahan dalam lingkup sosial kaum muda Kristiani. Hasilnya

(39)

26

gerakan ini melahirkan musik rohani Kristen masa kini dan secara alami memunculkan sebuah industri musik.

Pada dekade 1970-an merupakan tahun dimana pengaruh musik rock bergerak memasuki ruang Gereja.

Gaya musik rock menjadi sangat akrab bagi jemaat Gereja, dan pandangan yang mengatakan bahwa musik rock merupakan musik sekuler mulai dilupakan oleh banyak Gereja khususnya Gereja yang beraliran kharismatik.

Menurut Saragih bahwa dewasa ini musik Kristen kontemporer memiliki pengaruh positif yang sangat signifikan terhadap dunia penginjilan, khususnya dalam mewartakan berita Injil kepada kawula muda, yaitu kaum milenia. Hal ini dilatarbelakangi lahirnya revolusi kebudayaan di Amerika terutama di kalangan muda-mudi pada era itu, yang oleh kalangan musisi Kristen memasukkan kaidah dan nilai Kekristenan dalam musik mereka.

Di Indonesia musik Kristen kontemporer yang kerapkali ditampilkan di berbagai Gereja, khususnya Medan lebih banyak berasal dari musisi Kristen kontemporer seperti Doen Moen, Michael W Smith, (Amerika) dan Hillsong, Darlene Zschech, (Australia) dan sebagian karya-karya mereka telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan digunakan dalam ibadah.

(40)

27

Sekarang ini lagu puji-pujian tidak hanya berasal dari luar negeri. Allah juga memakai anak-anak Tuhan Indonesia untuk menciptakan lagu-lagu pujian yang indah.

Nyanyian pujian yang diciptakan oleh para musisi Gereja di Indonesia dipandang sesuai dengan budaya Indonesia dan mudah diserap oleh generasi milineal Indonesia sebagaimana dihasilkan oleh Symphony Music, True Worshipper, GMB (Giving My Best), Jonathan Prawira, Pdt. DR.Ir. Niko Njotorahardjo, Ir. Welyar Kauntu, Ir.

Djohan E. Handojo, Vetry Kumaseh, Sari Simorangkir dan lain-lain

(41)

28

(42)

29

BAB 5

PERAN MUSIK GEREJAWI KONTEMPORER DALAM IBADAH

Eksistensi musik tidak dapat dihindarkan dari kehidupan umat manusia. Musik dilahirkan dari jiwa (soul) manusia, untuk jiwa manusia dan menyatu dalam kehidupan umat manusia. Seluruh kalangan masyarakat baik kaya maupun miskin, tua hingga muda, apakah mereka menyukai musik atau tidak. Musik menjadi bagian dari kehidupan mereka dan merupakan bahasa universal dalam planet bumi ini.

Dari hasil kajian di atas, musik telah menjadi bagian yang signifikan terhadap ibadah yang dikenal sebagai musik Gerejawi. Seiring dengan perputaran waktu hingga dewasa ini musik Gerejawi telah berproses dan berkembang sesuai dengan aliran denominasi Gereja yang ada khususnya pada denominasi Gereja masa kini yang beraliran kharismatik seperti GBI, dan lain-lain. Setiap jemaat baik laki-laki maupun perempuan pergi ke Gereja, dikarenakan mereka dapat menikmati sukacita dan damai sejahtera ketika bersama-sama menyanyikan puji-pujian bagi Allah yang diiringi oleh musik Gerejawi.

Peran musik Gerejawi kontemporer dalam ibadah yang salah satunya mencakup unsur pujian dan

(43)

30

penyembahan sangat signifikan. Musik yang harmonis dan diurapi oleh Allah akan mampu membawa setiap jemaat masuk pada tingkat “kepenuhan” Roh Kudus (trance). Gilbert Rouget (1985: 154) dalam bukunya berjudul Music and Trance: a theory of relations between music and possession menyebutkan:

Trance yakni sebagai keadaan mental dengan karakteristik merenung hingga di bawah sadar diikuti hilangnya sensitivitas dan “motricity”. Hingga orang tersebut disebut transe, kalangan yang lain menyebutnya sebagai extase.Bahwa musik memiliki hubungan sebab akibat terhadap beberapa jenis trans. Keadaan trans menurutnya dapat dicapai karena adanya pukulan drum yang keras, tempo yang semakin cepat, dan kalimat melodi yang diulang-ulang.

Eksistensi musik Gerejawi kontemporer dalam ibadah diimplementasikan dengan tujuan sebagai media penghantar trance melalui pujian penyembahan. Merujuk pada pandangan yang disampaikan Rouget, trance terjadi melalui perfoma musik yang berawal dari sebuah lagu penyembahan. Instrumen musik seperti piano akan dimainkan termasuk juga drum, bass, dengan dinamik yang lembut.

Keadaan ini akan mencapai puncaknya pada sebuah atmosfir sorak-sorai yang diiringi pukulan drum dengan teknik cymbal trilling, yang mana akan menghasilkan suara drum yang dominan. Suasana ini akan membawa jemaat masuk ke dalam keadaan trance. Menurut Andrew Nehe, ahli syaraf (neurophysiologist) asal Amerika

(44)

31

menyatakan bahwa keadaan trance dipicu oleh suara instrumen, khususnya efek drum yang menghasilkan gerak neurophysiological.

Pergantian pada pukulan drum dalam iringan musik ibadah khususnya penyembahan. Mulai dari yang sederharna sampai pada klimaks, juga diikuti oleh pergantian dinamik oleh seluruh alat musik pengiring. Hal ini akan membawa semua musisi memainkan kadens dan bersorak-sorai. Kemudian leader (pemimpin) musik, yang memainkan piano akan memimpin para musisi lain bergerak memainkan pola melodi do-fa-do-fa atau do-re- la-sol. Hal ini sangat jelas bahwa dalam konteks ini musik tidak dapat dipisahkan dari pola kebersamaan dalam tingkah laku.

Nyanyian bagi Allah yang secara bersama-sama dilakukan sepanjang ibadah dengan syair-syair yang “menyentuh”.

Musik yang sedang dimainkan bergerak semakin keras, dan diikuti oleh tempo yang semakin cepat. Demikian juga kick drum yang dimainkan semakin cepat. Namun demikian, kadangkala musik dimainkan dengan sangat lembut sekali dan akhirnya keadaan menjadi senyap. Hal ini akan mempengaruhi dan membawa jemaat kepada sebuah kondisi penyembahan yang intim, dengan perilaku seperti; menangis, meratap, hingga klimaksnya akan mencapai sebuah manifest atau Spirit possess.

(45)

32

Obaja Tanto Setiawan (2012) dalam bukunya berjudul Mengobarkan Api Penyembahan: Menjadikan Penyembahan Sebagai Gaya Hidup mengatakan:

Masuk Ruang Mahakudus, pada kitab Perjanjian lama dibagi menjadi 3 bagian yaitu halaman (bagian paling luar dari Bait Allah), Ruang Kudus (bagian yang kedua atau tengah), dan Ruang Mahakudus (bagian paling utama tempat Tabut Perjanjian yang melambangkan hadirat Tuhan berada).

Charles Ryrie (1991: 224) dalam bukunya berjudul Teologi Dasar l, mengatakan bahwa ciri-ciri jemaat yang mengalami kepenuhan Roh Kudus (trance) dalam sebuah ibadah yang ekspresif dengan cara berdoa, bermazmur, berbahasa Roh dalam iringan musik secara bersama- sama, dan memohon kepada Allah supaya dirinya dipenuhi Roh Kudus memiliki indikasi seperti; lidah bergetar-getar mengeluarkan suara atau berbahasa Roh, tangan yang bergetar dan bahkan mencapai suatu keadaan manifest.

Kaitannya dengan perbedaan antara pujian dan penyembahan dalam suatu ibadah dijelaskan oleh Bob Sorge (1992: 2) dalam bukunya berjudul Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan sebagai berikut:

Meskipun “pujian” dan “penyembahan” adalah kegiatan bersama yang paling menunjang dan sering kali tampak bila diekspresiakan keluar. Pujian diartikan sebagai suatu tanggapan atas pemahaman dan pengenalan sifat dan karakter Allah (Tuhan) dan respon atas karya pekerjaan Allah (Tuhan) terkadang umatNya (sebagai tanda ucapan syukur). Salah satu ciri utama pujian yang menonjol ditandai dengan

(46)

33

perayaan dan sukacita meluap dan diekspresikan dengan cara menyanyi, berkata-kata, menari-nari, dan ekspresi ke luar lainnya.

Esensi dari sebuah pujian adalah suatu tindakan dari kehendak (will) dan keharusan (must) untuk memuliakan Allah melalui pujian tanpa bergantung pada perasaan tertentu, tetapi dilandaskan pada pengenalan atas sifat dan karakter Allah. Lebih jauh, Sorge mengelaborasikan bahwa penyembahan bukanlah pelaksanaan sebuah ritual biasa, melainkan ini menyangkut masalah Roh dilandaskan pada Injil Yohanes 4:23:

Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan kebenaran;

sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian (TB).

Tujuan penyembahan sampai pada sasaran Tuhan Allah merupakan fokus utama. Musik dalam ibadah harus dilakukan dengan sikap, hati, pikiran, dan jiwa yang bersih serta perasaan yang tulus dari para jemaat. Sorge mengatakan bahwa belum pernah terjadi dalam sejarah gereja di mana Tuhan begitu ditinggikan dan disembah dengan semangat dan gairah yang luar biasa seperti sekarang ini.

Lebih lanjut Sorge mengatakan bahwa faktor tersebut menyebabkan musik dan nyanyian rohani menjadi salah satu alasan utama terhadap perkembangan jemaat. Musik dan pujian yang professional, dan limpahan urapan Roh kudus adalah bagian doa-doa dari banyak Gereja Masa

(47)

34

Kini untuk memenuhi kebutuhan rohani dari setiap jemaat di dalam berbagai ibadah gereja.

Dari literatur yang ada dan pengamatan kami di berbagai Gereja Masa Kini, khusunya yang beraliran kharismatik mengindikasikan terjadinya perkembangan jemaat di berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-kota lain, karena musik dipahami dengan baik. Gereja-gereja tersebut mengalami perkembangan jemaat yang sangat pesat, karena struktur dan pengorganisasian musik dilakukan secara maksimal, dan professional sebagaimana dilakukan oleh Daud dan Salomo pada zamannya.

Rick Warren (1995: 259) dalam bukunya berjudul The Purpose Driven Church dalam bab 15, yang membahas secara khusus tentang peran musik terhadap perkembangan jemaat. Dia menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan untuk penginjilan adalah melalui musik. Dia lebih jauh berkata,” Saya sering menyentuh orang dengan cara itu, sedangkan pendekatan dengan sebuah khotbah tidak berhasil.”

Menurut Warren bahwa musik dapat melewati hambatan intelektual dan membawa pesan langsung ke hati. Musik adalah alat yang ampuh untuk penginjilan. Bahkan potensi dan peran musik melampaui kemampuannya dalam mengatasi hambatan dalam penginjilan, yang kaitannya dengan penjangkauan jiwa-jiwa baru. Lebih dari unsur pelayanan lainnya, Warren berpendapat bahwa

(48)

35

musik memiliki kekuatan untuk membentuk konstituensi layanan, sebagaimana ia ungkapkan berikut ini (1995:

280):

The style of music you choose to use in your services will be one of the most critical (and controversial) decisions you make in the life of your church. It may also be the most influential factor in determining who your church reaches for Christ and whether or not your church grows. You must match your music to the kind of people God wants your church to reach.

Warren mengungkapkan bahwa gaya musik yang dipilih untuk digunakan dalam pelayanan akan menjadi salah satu keputusan yang paling kritis (dan kontroversial) yang pernah dibuat dalam sebuah kehidupan Gereja. Itu mungkin juga merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan siapa yang akan menjadi objek penginjilan Gereja dalam meraih jiwa-jiwa bagi Kristus, dan apakah Gereja tersebut berkembang atau tidak.

Gereja harus menyesuaikan jenis musik bagi jiwa-jiwa seturut dengan kehendak Allah.

Dengan kata lain, Warren berpendapat, musik yang digunakan akan menentukan sebuah Gereja di tengah masyarakat. Musik yang digunakan juga akan menentukan seperti apa Gereja tersebut. Setelah Gereja menentukan jenis atau genre musik yang akan digunakan dalam ibadah. Gereja harus mengarahkan cara-cara yang lebih banyak dari pada yang disadari. Musik akan menentukan jenis jiwa-jiwa yang akan tertarik. Demikian

(49)

36

juga, jenis jemaat yang akan bertahan di Gereja, dan jenis jemaat yang akan meninggalkan Gereja.

Gereja tidak akan mampu menyediakan semua jenis musik bagi jemaat. Menurut Warren (dalam menggembalakan jemaat di Gereja Saddleback Valley Community Church, Amerika Serikat. Dia juga pernah membuat kesalahan dengan mencoba menggairahkan selera setiap jemaat. Dia bersama tim musiknya menampilkan semua jenis musik dari Bach ke Rock dalam sebuah kebaktian. Secara bergantian mereka menyanyikan himne tradisional, koor pujian, dan lagu- lagu Kristen Masa Kini.

Mereka juga menggunakan musik klasik, country, jazz, rock reggae, musik yang ringan bahkan rap. Jemaat tidak mengetahui jenis musik apa yang akan dimainkan berikutnya. Hasilnya mereka tidak menyenangkan siapa pun dan mereka membuat semua jemaat frustrasi.

Warren berkata,”kami seperti pemancar radio yang berusaha menarik perhatian setiap jemaat dengan memainkan semua jenis musik.”

Menurut pandangan kami apa yang disampaikan oleh Warren ada benarnya, karena tidak mungkin untuk menyenangkan kesukaan dan selera musik setiap jemaat.

Warren berkata bahwa gereja Saddleback setuju dengan gaya musik kontemporer yang kekinian. Jemaat Allah di Amerika Serikat menjuluki mereka sebagai “kumpulan

(50)

37

yang suka musik rock.” Mereka menggunakan gaya musik yang sebagian besar mengudara di radio.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Warren terhadap jemaat yang ia gembalakan di Gereja Saddleback sebanyak 6000 (enam ribu) jiwa pada tahun 2012.

Hasilnya 96% dari jemaat mereka mengatakan bahwa mereka mendengarkan musik orang dewasa zaman sekarang yang moderat. Kebanyakan jemaat yang berusia di bawah 40 tahun tidak menyukai musik sebelum tahun 1965. Bagi mereka musik klasik adalah lagu Elvis. Mereka menyukai musik yang ceria, bahagia, serta gembira dengan tempo yang keras. Telinga mereka sudah terbiasa dengan musik yang mempunyai irama bas yang keras.

Masih menurut Warren bahwa untuk pertama kali dalam sejarah, ada gaya musik universal yang dapat didengar di setiap Negara di dunia. Musik tersebut disebut rock kontemporer atau rock masa kini. Lagu-lagu yang sama diputar di radio Nairobi, Tokyo, serta Moskow. Sebagian besar iklan-iklan TV menggunakan gaya musik rock masa kini. Bahkan gaya musik country serta musik western pun menggunakan irama ini. Ini adalah gaya musik utama yang digunakan di gereja Saddleback.

Kembali pada penelitian yang dilakukan oleh Warren.

Akhirnya dia bersama dengan tim musiknya mengambil sebuah keputusan yang sangat penting di gereja Saddleback bahwa mereka berhenti menggunakan lagu- lagu kuno. Selama satu tahun mereka menjalankan

(51)

38

program tersebut. Gereja mengalami perkembangan jemaat. Warren menambahkan,”saya mengakui bahwa kami kehilangan ratusan anggota yang potensial, karena gaya musik yang kami gunakan di Gereja Saddleback.

Namun sebaliknya, kami menarik ribuan jiwa-jiwa baru, khusunya mereka yang belum bergereja karena musik tersebut.”

Berikut adalah beberapa aturan untuk memilih gaya musik menurut teori Peran Musik melalui buku The Purpose Driven Church yang digagas oleh Warren:

Tinjau dulu semua musik yang digunakan di Gereja Jangan melakukan sesuatu yang mengagetkan dalam sebuah ibadah dengan menyanyikan sebuah lagu, yang memakan waktu 20 menit. Jika para musisi tidak mengatur musik yang akan ditampilkan, musik tersebut yang akan mengatur para musisi. Para musisi harus mengadakan parameter supaya musik dapat mendukung tujuan ibadah, bukan bertentangan dengannya.

Jika sebelumnya, para musisi mempersiapkan lagu-lagu yang akan ditampilkan. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri sebagai pertimbangan apakah lirik dari lagu-lagu tersebut mengandung ajaran yang sehat, apakah dapat dipahami oleh jemaat baru, apakah nyanyian itu menggunakan istilah-istilah atau kiasan-kiasan yang tidak dimengerti oleh orang yang belum percaya. Musisi harus memahami maksud lagu-lagu tersebut, apakah

(52)

39

meneguhkan iman, nyanyian penyembahan, persekutuan, atau penginjilan.

Para musisi harus memahami bahwa musik mempunyai pengaruh yang besar pada emosi manusia. Jenis musik yang salah dapat mematikan semangat dan suasana hati dalam sebuah ibadah. Setiap gembala sidang telah mengetahui betapa susahnya untuk menghidupkan kembali suasana ibadah setelah sebuah lagu membuat jemaat merasa murung dan tertekan. Putuskan suasana yang bagaimana yang diinginkan dalam ibadah, dan gunakan gaya musik yang dapat menciptakannya.

Di Gereja Saddleback, penyembahan harus menjadi perayaan, sehingga musik yang ditampilkan menggunakan gaya dengan tempo yang cepat, ceria, dan menggembirakan, dan jarang lagu dinyanyikan dengan kunci minor. Bahkan bila ada penyanyi Kristen yang terkenal menyanyi, wajib hukumnya lagu yang akan dinyanyikan harus diketahui lebih dahulu oleh Gereja.

Gereja tetap ingin mempertahankan suasana ibadah bagi jemaat yang baru, dan hal tersebut jauh lebih penting dari pada ego seorang penyanyi.

Mempercepat Tempo Musik

Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, Alkitab berkata,”beribadahlah kepada Tuhan dengan sukacita; datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak sorai”

(Mzm. 100: 2, hurup miring ditambahkan). Namun banyak kebaktian ibadah kedengaran seperti kebaktian penguburan, bukan perayaan. John Bisagno, gembala

(53)

40

sidang dari Gereja First Baptis yang beranggotakan 15.000 jiwa di Boston, Texas, mengatakan,”lagu-lagu seperti nyanyian penguburan serta pemimpin pujian yang kaku akan mematikan Gereja dengan lebih cepat dari pada hal lainnya di dunia.”

Di Gereja Saddleback, ibadah begitu hidup dan bersemangat. Warren berkata,”saya baru-baru ini menerima kartu kesan pertama dari seorang pengunjung yang berusia 81 tahun dan istrinya. Kartu itu berbunyi,”terima kasih karena merangsang darah kami yang sudah berusia lanjut”. Bila musik sudah dinaikkan tidak mungkin bagi jemaat untuk tidur. Gereja Saddleback ingin musik mereka mempunyai pengaruh rohani dan emosional bagi jemaat.

Menurut Warren di Gerejanya lagu-lagu terdiri dari 2 (dua) jenis; lagu dengan tempo cepat dan lagu dengan tempo lambat. Orang-orang yang belum percaya biasanya lebih menyukai musik perayaan dari pada musik yang bersifat perenungan, oleh karena mereka belum mempunyai hubungan dengan Kristus. Sedangkan lagu-lagu dengan tempo lambat ditujukan untuk meditasi.

Memperbaharui lirik-lirik lagu kuno

Ada banyak nyanyian bagus yang dapat digunakan dalam ibadah bagi jemaat baru, yaitu dengan mengubah satu atau dua kata agar lagu-lagu tersebut dapat dimengerti oleh mereka yang belum percaya. Nyanyian yang mengandung kiasan Alkitab dan istilah-istilah teologi, mungkin perlu diterjemahkan atau dijelaskan. Jika

(54)

41

Alkitab perlu diterjemahkan dari bahasa Inggris abad ke- 17 untuk jiwa-jiwa baru, demikian juga dengan lirik-lirik yang sulit dipahami dari lagu-lagu lama.

Jika Gereja menggunakan himne atau lagu pujian, kadang-kadang nyanyian tersebut perlu disunting dengan teliti. Misalnya “Aku bangun Ebenhaezer,” “Pesta di muka bumi,” “kerubin dan serafin,” “malaikat sembah sujud,”

serta “dibasuh oleh darah domba” merupakan ungkapan- ungkapan yang membingungkan bagi jiwa-jiwa baru.

Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang dinyanyikan oleh jemaat lain. Jiwa-jiwa baru ini berpikir bahwa ungkapan seperti “Penawar dari Gilead” adalah lagu tentang teroris.

Ada jemaat yang akan mengatakan bahwa lagu-lagu lama mengandung teologi yang baik. Pernyataan tersebut memang benar, namun mengapa Gereja tidak menyunting istilah-istilah kuno. Kemudian menulis lirik-lirik dengan irama masa kini atau kekinian? Ingat, musik itu bukan sesuatu yang sakral. Kenakanlah baju baru pada teman- teman lama kita. Apabila para musisi menciptakan lagu- lagu untuk jemaat dalam program Gereja. Musisi Gereja diperbolehkan untuk mengubah lirik lagu tersebut bila digunakan untuk umum.

Dewasa ini ada beberapa koor penyembahan masa kini yang juga mengandung istilah-istilah yang membingungkan sama seperti pada lagu-lagu pujian.

Jemaat baru dan orang yang belum percaya tidak mengerti tentang ungkapan “Yehova Yireh”.

(55)

42

Mendorong Para Jemaat Gereja Untuk Menulis Lagu Baru

Setiap jemaat harus didorong untuk menggubah lagu-lagu ibadah. Jika kita merujuk kepada sejarah Gereja. Kita akan menemukan bahwa setiap kebangunan rohani sejati selalu disertai musik yang baru. Lagu-lagu baru mengatakan,”Allah sedang melakukan sesuatu saat ini, bukan saja ratusan tahun yang lalu.” Setiap generasi membutuhkan lagu-lagu baru untuk mengungkapkan imannya.

Mazmur 96: 1 berbunyi,”Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi!-(TB). Masalahnya, di banyak Gereja jemaat masih menyanyikan lagu lama. Colubia record Company pernah melakukan penelitian, dan hasilnya bahwa setelah sebuah lagu dinyanyikan lima puluh kali, orang tidak akan memikirkan lagi arti lirik-lirik tersebut. Mereka hanya menyanyikan dari hapalan.

Kita menyukai lagu-lagu lama, karena lagu-lagu tersebut membangkitkan kenangan-kenangan emosional dalam diri kita. Ada lagu-lagu tertentu seperti “Kemenangan dalam Yesus,” “Aku berserah,” dan “Utuslah Aku,” yang secara otomatis membuat kita meneteskan air mata, karena mengingatkan kita pada saat-saat penting di dalam kehidupan kita. Namun, lagu-lagu tersebut tidak memberikan pengaruh yang sama pada jiwa-jiwa yang belum percaya, atau bahkan pada jemaat-jemaat lainnya, karena pengalaman kita berbeda.

(56)

43

Banyak Gereja terlalu banyak menggunakan lagu-lagu tertentu berdasarkan pilihan Gembala sidang atau pemimpin musik. Daftar lagu-lagu disandera oleh pemimpin. Kegemaran pemimpin musik atau gembala sidang, seharusnya tidak menjadi faktor penentu dalam gaya musik yang digunakan. Namun sebaliknya, gunakanlah target untu menentukan gaya musik yang dibutuhkan jemaat.

Bila Gereja benar-benar ingin mengetahui apakah lagu- lagu kuno yang dinyanyikan tersebut menjemukan. Ada baiknya melakukan penelitian dengan menggunakan video kamera. Rekamlah suasana ibadah yang sedang berlangsung, saat mereka menyanyikan lagu-lagu kuno yang sama tersebut dan sorotkan kamera ke arah wajah jemaat. Hasilnya dipastikan bahwa kelesuhan dan kebosanan tampak pada wajah mereka. Hal-hal yang sudah dapat diketahui sebelumnya akan dapat mematikan suasana ibadah ketimbang faktor lainnya.

Sebuah lagu akan kehilangan pengaruh kesaksian jika jemaat tidak memikirkan apa yang sedang mereka nyanyikan. Tetapi lagu-lagu tersebut dapat menjadi kesaksian yang sangat berpengaruh kepada jiwa-jiwa yang belum percaya ketika jemaat menyanyikan lagu-lagu yang berpengaruh bagi mereka.

Banyak lagu rohani dari paruh pertama abad ini cenderung mengagungkan pengalaman orang Kristen dan bukan Kristus. Sebaliknya lagu-lagu ibadah yang sangat efektif akhir-akhir ini adalah lagu kasih yang ditujukan

(57)

44

kepada Allah. Ini adalah ibadah yang alkitabiah.

Sekurang-kurangnya tuju belas kali dalam Alkitab kita diajarkan utuk menyanyi bagi Tuhan. Kekuatan banyak lagu ibadah masa kini adalah lagu-lagu tersebut berpusat pada Allah bukan pada manusia.

Mengganti Alat Musik Orgel Dengan Sebuah Band Midi Dengan teknologi zaman sekarang, Gereja mana pun dapat memiliki kualitas dan bunyi musik yang sama seperti album-album yang dibuat secara professional.

Gereja hanya memerlukan sebuah keyboard Midi dan beberapa midi disket. Keuntungan menggunakan Midi adalah bahwa Gereja dapat memakainya untuk "mengisi kekosongan” di mana Gereja kekurangan musisi.

Misalnya, Gereja mempunyai pemain keyboard, terompet, dan gitar, tetapi Gereja kekurangan pemain bas dan drum, Gereja hanya menambahkan soundtrack midi untuk bas dan drum untuk menutupi kekurangan pemusik “hidup”. Jika tidak ada orang di Gereja yang dapat menggunakan teknologi midi, pemimpin musisi dapat memperoleh petunjuk di toko musik. Warren lebih jauh membagikan manfaat teknologi midi dalam pelayan musik di Gerejanya sebagai berikut:

Karena besarnya jumlah anggota jemaat kami, Saddleback sekarang ini mempunyai orkes pop/rock yang lengkap. Namun sebagian besar jemaat tidak mampu memiliki peralatan seperti itu. Jika saya mendirikan sebuah Gereja baru sekarang ini, saya akan mencari orang yang tahu tentang midi dan memberikannya sebuah keyboard. Midi belum dijual ketika saya pertama kali mendirikan Gereja

(58)

45

Saddleback, dan kadang-kadang saya membayangkan berapa banyak jiwa yang dapat kami jangkau pada tahun-tahun pertama jika kami mempunyai musik midi yang berkualitas dalam kebaktian kami.

Ketika Warren melakukan penelitian dengan menggunakan instrumen survei di Gereja Saddleback, tidak ada seorang jemaat pun mengatakan,” saya mendengar musik orgel di radio.” Satu-satunya tempat di mana kita dapat mendengarkan orgel tiupan adalah di Gereja. Apa yang kita dapatkan dari orgel pipa tersebut?

Silahkan renungkan pernyataan yang disampaikan oleh Warren berikut ini:

Kami mengundang orang yang tidak bergereja untuk datang dan duduk di kursi-kursi abad ke-17 (yang kita sebut bangku Gereja), menyanyikan lagu-lagu abad ke-18 (yang kita sebut himne), dan mendengarkan alat musik abad ke-19 (sebuah organ tiupan). Kemudian kita heran mengapa mereka menganggap kita orang yang ketinggalan zaman!

Saya khawatir bahwa kita akan hidup di abad ke-21 sebelum beberapa Gereja mulai menggunakan alat- alat musik abad ke-20.

Para musisi Gereja harus memutuskan apakah Gereja akan menjadi sekolah musik untuk golongan atas yang berbakat musik ataukah menjadi suatu tempat di mana para jemaat biasa dapat membawa sahabat-sahabat yang belum diselamatkan dan mendengar musik yang mereka mengerti dan nikmati.”Di Gereja Saddleback para musisi memainkan musik untuk hati setiap orang, bukan untuk seni,” demikian Warren menjelaskan dalam bukunya The Purpose Driven Church.

(59)

46

Jangan Memaksa Jiwa-Jiwa Yang Belum Percaya Untuk Menyanyi

Dalam kebaktian bagi orang yang tidak bergereja mainkanlah lebih banyak musik dari pada menyuruh jemaat menyanyi. Para pengunjung tidak senang menyanyikan lagu-lagu yang mereka tidak ketahui dan kata-kata nyanyian yang mereka tidak menegerti. Lagi pula tidak mungkin kita mengharapkan orang yang tidak bergereja untuk menyanyikan lagu ibadah dan penyerahan kepada Yesus sebelum mereka menjadi orang percaya. Itu berarti bekerja secara sebaliknya.

Para pengunjung yang tidak bergereja sering kali merasa canggung selama acara puji-pujian. Karena mereka tidak tahu lagu-lagu itu, dan lagu-lagu itu berbicara tentang ibadah dan penyerahan kepada Yesus, mereka terpaksa untuk berdiri sementara orang lain bernyanyi. Hal ini sangat memalukan bila terjadi di Gereja kecil, karena semua orang memperhatikan kalau mereka tidak menyanyi.

Sebaliknya, pengunjung yang tidak bergereja merasa senang mendengarkan musik yang dimainkan, jika gaya musik yang dimainkan itu mereka ketahui. Jadi fokuskan musik instrumen dalam kebaktian orang yang tidak bergereja. Lalu sediakan waktu yang panjang untuk pujian jemaat bagi kebaktian orang percaya. Di Gereja Saddleback pada kebaktian orang yang bergereja disediakan waktu selama 30 (tiga puluh) sampai 40

(60)

47

(empat puluh) menit untuk pujian dan penyembahan secara terus-menerus.

Pahami bahwa semakin besar sebuah Gereja, semakin banyak pujian (praise) dapat digunakan dalam kebaktian bagi orang yang tidak bergereja. Karena ketika seorang pengunjung yang tidak bergereja dikelilingi oleh ribuan orang lainnya, tidak seorang pun perduli apakah ia menyanyi atau tidak. Orang tersebut dapat bersembunyi di antara kerumunan banyak orang dan mendengarkan tanpa merasa diperhatikan, serta meresap emosi yang terasa pada saat itu.

Walaupun lebih baik untuk tidak memperpanjang penyembahan (worship) jemaat dalam kebaktian bagi orang yang tidak bergereja. Menurut Warren kita keliru bila meniadakan semua pujian jemaat dari kebaktian bagi orang yang tidak bergereja, karena ibadah jemaat mengandung unsur yang sangat kuat dan emosianal.

Ketika orang-orang percaya bernyanyi secara harmonis bersama-sama, terciptalah rasa keakraban bahkan dalam kumpulan orang yang banyak. Keakraban ini memberikan kesan kepada orang yang tidak bergereja, yang dapat merasakan bahwa sesuatu yang baik sedang terjadi sekalipun mereka tidak dapat menjelaskannya.

“Pengharmonisan” artinya “menjadikan kompak”. Ketika orang-orang percaya bernyanyi secara harmonis bersama- sama, itu merupakan ungkapan yang dapat didengar dari kesatuan dan persekutuan kumpulan orang percaya. Tiap orang menyanyikan bagiannya sementara mendengarkan

(61)

48

orang lain agar menjadi selaras. Ada sesuatu yang benar- benar menarik perihal pujian bersama orang percaya dalam pujian bersama yang sunguh-sungguh, dan sepenuh hati. Itu merupakan kesaksian bahwa orang- orang ini yang kelihatannya biasa saja betul-betul mempunyai hubungan dengan Kristus dan dengan orang lain.

Jadikan Musik Gereja Anda Berarti

Walaupun musik biasanya merupakan unsur yang sangat diperdebatkan dalam kebaktian bagi orang yang tidak bergereja. Namun musik juga merupakan unsur kritis yang tidak dapat diabaikan. Kita perlu memahami kuasa yang luar biasa dari musik dan menggunakan kuasa itu serta bersedia mengesampingkan kesukaan pribadi kita serta menggunakan musik yang akan menjangkau jiwa- jiwa yang tidak bergereja bagi Kristus. Dengan demikian perkembangan musik secara numerik akan terjadi.

(62)

49

BAB 6

TEOLOGI MUSIK

Tujuan Teologi

Sebelum membahas beberapa alasan tentang teologi musik secara khusus, hal ini akan memberikan pencerahan bagi kita, bila terlebih dahulu mengkaji mengapa teologi sebagai suatu disiplin sangat berguna, dan membahas serta menemukan apakah salah satu dari prinsip-prinsip ini berlaku dalam praktik musik.

Kemudian, diskusi akan menjadi lebih efektif bila dilanjutkan untuk mengkaji kebutuhan akan teologi musik. Dengan demikian, hal ini akan membangun fondasi yang kuat dalam diskusi ini.

John Macquarrie (1977) dalam bukunya berjudul Principles of Christian Theology mendefinisikan teologi sebagai,” ... the study, which, through participation in and reflection upon a religious faith, seeks to express the content of this faith in the clearest and most coherent language available”. Yaitu studi, yang melalui partisipasi dalam dan refleksi atas keyakinan agama, berusaha untuk mengekspresikan isi dari iman dalam bahasa yang paling jelas dan paling koheren yang ada.

Meskipun pertanyaan itu telah dijawab dengan jelas selama berabad - abad, akan tetapi tetap saja, dasar

Gambar

Diagram Struktur Lembaga Musik Penyanyi dan Musisi Lewi  Yang Didirikan Oleh raja Daud

Referensi

Dokumen terkait

TANGGUNG JAWAB PENGELOLA MAL TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA YANG DILAKUKAN OLEH PENYEWA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK

Undang-undang ini berlaku sampai tahun 2014, yang kemudian digantikan oleh undang-undang hak cipta terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yaituHubungan hukum antara

Undang-undang ini berlaku sampai tahun 2014, yang kemudian digantikan oleh undang-undang hak cipta terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yaituHubungan hukum antara

Pengaturan hukum mengenai hak ekonomi menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menunjukkan hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak

E0017412 PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK CIPTA LAGU PADA APLIKASI STREAMING MUSIK SPOTIFY DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA.. Tujuan dari

68 PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK CIPTA TERHADAP KEJAHATAN PEMBAJAKAN SOFTWARE KOMPUTER MENURUT UNDANG –UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Siti Rahma1 Ilmu Hukum,

Dalam konteks Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hak cipta memberikan perlindungan eksklusif kepada pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan karya

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta berisi tentang ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta atau pemegang Hak