• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled - Repository UMJ

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Untitled - Repository UMJ"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

Permasalahan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana Indonesia mengakibatkan penegak hukum kesulitan untuk menindak dan mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap korporasi yang melakukan kejahatan. Selanjutnya untuk memahami kedudukan korporasi dan pengurusnya sebagai pelaku independen atau sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Perkembangan doktrin korporasi sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia masih menyisakan permasalahan dalam hukum pidana.

Hal ini diamati tidak hanya pada tataran teoritis, tetapi juga dalam praktik hukum, korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam beberapa kasus belum terbukti independen dalam melakukan tindak pidana, hal ini menjadi permasalahan dalam penilaian korporasi sebagai subjek hukum independen. , bahkan. dalam beberapa putusan peradilan masih belum memiliki model yang sama dalam menentukan keterlibatan korporasi dalam tindak pidana, khususnya korupsi. Seolah-olah telah terjadi suatu tindak pidana yang membebankan tanggung jawab ganda, yaitu kepada direktur utama dan korporasi. Padahal menurut Wirjono Projodikoro, dalam setiap tindak pidana hanya ada satu pelaku yang akan dipidana.

Dalam CND, aksi korporasi tidak dilihat dari tindakan pengendalian personel (directing mind), namun masih terdapat kelemahan ketika keputusan kolektif personel korporasi dianggap sebagai bentuk aksi korporasi, namun di sisi lain manajemen yang terlibat tidak dianggap sebagai pelaku tindak pidana dalam putusan tersebut. Dengan kata lain, perseroan hanya dijadikan sebagai pelampiasan tanggung jawab bagi pengurus yang perbuatannya mengakibatkan tindak pidana. Nusa Kontruksi Enjiring (PT. NKE) yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama dengan dirutnya.

Oleh karena itu, dalam putusan ini, pengadilan harus menentukan tingkat keterlibatan korporasi agar tindak pidana yang didakwakan dapat dilakukan.

PEMBAHASAN

Dalam UU Tipikor, ketentuan tentang tindak pidana yang dimaksud tidak hanya terbatas pada orang, tetapi juga pada perusahaan. Penetapan badan usaha sebagai subyek tindak pidana merupakan konsekuensi logis dari adanya tindak pidana yang tidak selalu bertujuan langsung melakukan tindak pidana. Dalam konteks perusahaan sebagai pelaku korupsi, pendekatan pelaku fungsional memungkinkan perusahaan terlibat dalam penciptaan kejahatan.

Dengan diterimanya konsep pembinaan fungsional (functioneel daderschap), penentuan objek kejahatan didasarkan pada kemampuannya cukup menimbulkan perbuatan yang dilarang. Bahkan, sulit menjangkau keterlibatan korporasi dalam korupsi karena jarang ada kebijakan. Menurut Van Hamel dan Trapman partisipasi mensyaratkan suatu perbuatan yang memenuhi semua rumusan suatu kejahatan.

Dengan kata lain, setiap pelaku turut serta memahami secara utuh semua unsur rumusan pidana. Dalam hal ini, penyertaan adalah keikutsertaan yang disengaja dalam melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dengan kata lain, pelaku hanya ikut serta dalam melakukan perbuatan yang erat kaitannya dengan perbuatan pelaku materiil guna terciptanya kejahatan tersebut (Abidin, 2006).

Dengan kata lain, penyertaan sebagai bentuk penyertaan dimaksudkan untuk menutupi perbuatan seseorang yang tidak sempurna memenuhi rumusan tindak pidana. Dalam hal ini, Moeljatno mengikuti pendapat Pompe yang mengatakan pencantuman tersebut merupakan perluasan dari rumusan tindak pidana. Dengan kata lain, penyertaan merupakan bagian dari rumusan pidana yang juga harus dibuktikan dalam dakwaan penuntut umum.

Perluasan rumusan kesalahan jenayah adalah bertujuan untuk mencapai mana-mana kesalahan yang mempunyai hubungan rapat dengan situasi yang dilarang. Menurutnya, tiada penyertaan jika tidak berdasarkan matlamat bersama setiap pencipta untuk mencipta kesalahan jenayah tertentu. Pelaku telah melakukan perbuatan yang telah diperluaskan untuk memenuhi kelayakan rakan sejenayah (co-perpetrator), walaupun perbuatan itu tidak memenuhi definisi perbuatan jenayah.

Dengan kata lain, persoalan tindak pidana yang dilakukan korporasi selalu dikonstruksikan dalam bentuk penyertaan karena melibatkan beberapa subjek hukum. Oleh karena itu, hukum pidana dituntut untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang sekalipun tidak memenuhi rumusan pidana, tetapi telah menyumbang pada terwujudnya tindak pidana tersebut. Korporasi sebagai subjek tindak pidana yang berdiri sendiri diartikan sebagai pembuat tindak pidana atas perbuatan yang dilarang yang dilakukan olehnya.

Namun persoalan korporasi sebagai pelaku atau pelaku dalam bentuk penyertaan lainnya bukanlah ketentuan khusus bagi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

PENUTUP

Namun tidak demikian korporasi dapat berperan sebagai pelaku, karena seluruh redaksi tindak pidana tersebut harus dipenuhi, sehingga korporasi hanya dapat ditempatkan dalam bentuk penyertaan lain selain “pelaku” tindak pidana. Dengan demikian, korporasi dianggap sebagai pencipta kejahatan jika dilihat secara fungsional dari lalu lintas sosial dan ekonomi, ia turut serta melakukan kejahatan untuk kepentingan dan/atau kelanjutan kebijakan korporasi, meskipun korporasi tidak secara langsung melakukan beberapa unsur tindak pidana, tindak pidana, dan secara kontekstual perbuatan korporasi dilihat dari hubungannya dengan pelaku yang secara langsung (personel korporasi) melakukan unsur tindak pidana dan tidak dapat dipisahkan dari hubungan tersebut. Hal inilah yang menjadikan konsekuensi logis dari penerapan doktrin keikutsertaan terhadap korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, tidak menutup kemungkinan peran pelaku diambil oleh korporasi melalui tindakan yang dilakukan oleh oknumnya.

Nusa Kontruksi Enjiniring (PT. NKE), diketahui Tabel Hakim mencantumkan korporasi sebagai pelaku turut serta menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh pengurusnya. Dalam penelitian ini, untuk menegaskan kedudukan korporasi dan anggotanya dalam tindak pidana, masih perlu dipisahkan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana antara keduanya berdasarkan perbuatannya masing-masing. Pembagian ini juga bertujuan menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang mandiri dan terlihat jelas bahwa masing-masing memiliki peran dalam menyempurnakan tindak pidana yang telah dilakukannya, apalagi tindak pidana yang dilakukan dalam konstruksi penyertaan.

Oleh karena itu, penetapan suatu perusahaan melakukan tindak pidana korupsi masih menganut doktrin vicarious liability dan aggregation, sehingga susunan kata undang-undang tipikor masih dipengaruhi oleh adagium “masyarakat/universitas delinquere non potest”. Dengan kata lain, tindak pidana korporasi tetap dinilai dari perbuatan orang yang melakukan kejahatan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rumusan aturan hukum pidana sehingga apabila terjadi tindak pidana korupsi yang melibatkan suatu perusahaan, maka turut serta ditunjuk pihak-pihak lain termasuk pegawai perusahaan sebagai pelaku atau pelaku turut serta. (ko-pelaku). .

2003), Hukum Pidana, Komentar Pasal-pasal Terpenting KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

88 JURNAL NUSANTARA OF RESEARCH Universitas Nusantara PGRI Kediri 2019, Vol.5, No.2, P-ISSN: 2579-3063/ E-ISSN: 2355-7249 JURNAL NUSANTARA OF RESEARCH 2019, Vol.6, No.2, 88-94

| 220 Copyright © 2020 Jurnal Math Educator Nusantara; Wahana Publikasi Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan Matematika ISSN 2459-9735 print, ISSN 2580-9210 online school has

88 JURNAL NUSANTARA OF RESEARCH Universitas Nusantara PGRI Kediri 2019, Vol.5, No.2, P-ISSN: 2579-3063/ E-ISSN: 2355-7249 JURNAL NUSANTARA OF RESEARCH 2019, Vol.6, No.2, 88-94